Anda di halaman 1dari 30

PEMBENTUKAN NILAI-NILAI DASAR

DAN VISI BERSAMA

Disusun guna memenuhi tugas Kepemimpinan dan berfikir sistem

Dosen pengampuh : Prof. Dr. Sunarto Kadir, Drs., M.Kes

OLEH :

KELOMPOK II

1. Rivaldo I. Berahim

2. Pricillia Josina Yacomina Antou

3. Regina Putri Hamzah

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang
berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Prof. Dr. Sunarto Kadir, Drs., M.Kes
sebagai dosen pengampu mata kuliah Kepemimpinan dan berfikir sistem yang telah membantu
memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan karena
keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Gorontalo, Agustus 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................2
A. Kepemimpinan melalui kecerdasan.................................................................................................2
B. Ciri pribadi dan sikap pemimpin, Kepemimpinan, Tim...................................................................7
C. Adversity Quotient........................................................................................................................16
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................26
A. Kesimpulan....................................................................................................................................26
B. Saran..............................................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota
dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Lebih jauh lagi, Griffin (2000) membagi
pengertian kepemimpinan menjadi dua konsep, yaitu sebagai proses, dan sebagai atribut.
Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para pemimpin,
yaitu proses di mana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan
organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang dipimpinnya, memotivasi mereka untuk
mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam
organisasi.
Adapun dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai
seorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain tanpa
menggunakan kekuatan, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai
sosok yang layak memimpin mereka.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepemimpinan melalui kecerdasan ?
2. Bagaimana ciri pribadi dan sikap pemimpin ?
3. Apa yang dimaksud dengan Adversity Quiotient

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kepemimpinan Melalui Kecerdasan
2. Untuk memahami ciri pribadi dan sikap pemimpin
3. Untuk mengetahui tentang Adversity Quiotient

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan melalui kecerdasan


Sebagaimana diketahui bahwa persoalan kepemimpinan merupakan topik yang
sangat menarik untuk terus dibicarakan, didiskusikan dan dikaji. Hal ini tidak aneh karena
sejak adanya manusia di muka bumi ini sejak zaman Adam hingga sekarang manusia selalu
bersentuhan dengan tema kepemimpinan. Kenapa? Karena manusia, sebagai makhluk
sosial, selalu hidup berkelompok, saling berinteraksi dan mempunyai tujuan bersama yang
akan dicapai. Tujuan antara manusia satu dan lainnya tentu saja berbeda, tetapi ada
satuatau beberapa tujuan bersama yang menyatukan kelompok manusia tersebut sehingga
mereka bersatu dan bersama-sama bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Di dalam
kenyataan, tidak semua orang yang menduduki jabatan pemimpin memiliki kemampuan
untuk memimpin atau memiliki ‘kepemimpinan’, sebaliknya banyak orang yang memiliki
bakat ke-pemimpinan tetapi tidak pernah mendapat kesempatan untuk menjadi pemimpin
dalam arti yang sebenarnya. Disadari bahwa tugas pemimpin tidaklah ringan. Sebagai
pemimpin dan berada di pucuk struktur organisasi, dipundaknyalah perwujudan visi misi
organisasi banyak dibebankan. Maka penting untuk diperhatikan kecerdasan apa yang
kiranya perlu dimiliki seorang pemimpin, sebab tanpa kecerdasan yang baik, ia akan
mudah terombang-ambing dalam kebingungan.
Kecerdasan sangat diperlukan karena pemimpin harus pandai memilih strategi,
menetapkan programprogram perubahan dan mengilhami teknik-teknik mengatasi masalah
yang sesuai dengan situasi dan kondisi organisasi yang ada berserta dinamikanya.
Kecerdasan yang diperlukan dalam hal ini adalah kecerdasan yang multidimensional, yang
pada intinya meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Dengan kecerdasan
intelektual berarti ia memiliki pengetahuan, wawasan,dan kreativitas berpikir yang
diperlukan. Dengan kecerdasan emosional berarti ia pandai mengelola emosi diri maupun
emosi orang lain, sehingga proses perubahan dapat berjalan efektif (Cooper dan Sawaf,
1997). Dan dengan kecerdasan spiritual berarti ia memiliki kesadaran etis yang tinggi
sehingga tujuan perubahan tidak semata-mata demi peningkatan keefektifan organisasi,

2
namun juga demi tertunaikannya tanggungjawab moral dan etik kepada semua stakes
holders (Hendricks dan Ludeman, 2003).
Jadi, ketiga kecerdasan tersebut sangat berperan dalam membantu pembentukan
pemimpin yang ideal dalam organisasi. Biasanya, pemimpin yang hanya memiliki atau
hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja banyak yang mengalami kegagalan.
Secara teori ia bisa saja menguasai pengetahuan kognitif yang sangat tinggi, akan tetapi
pengetahuan kognitif yang tinggi belumlah menjadi jaminan keberhasilan seseorang dalam
menjalankan roda kepemimpinan. Orang yang memiliki inteligensi (IQ) tinggi belum tentu
sukses dalam memimpin suatu organisasi jika tidak didukung oleh kecerdasan lainnya.
Penjelasan dari ketiga kecerdasan tersebut, berikut ini:
A. Kecerdasan Intelektual
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan intelektual (IQ)? Kecerdasan
intelektual adalah kecerdasan yang berkaitan dengan pemikiran rasional, logis, dan
matematis. Kecerdasan intelektual adalah syarat minimum kompetensi yang dapat
dikembangkan secara optimal dengan memahami bagaimana sistem kerja otak manusia
dan seperangkat latihan praktis. Dengan kecerdasan intelektual berarti ia memiliki
pengetahuan, wawasan, dan kreativitas berpikir yang diperlukan. Penelitian mutakhir
menunjukan bahwa otak manusia terdiri dari bermilyar-milyar sel aktif. Ditemukan
minimal terdiri 100 milyar otak aktif sejak lahir. Otak kita berkembang melalui proses
belajar alamiah dengan kecepatan 3 milyar sambungan per detik. Sambungansambungan
itu adalah kunci kekuatan otak, sehingga Gordon Dryden (1999) menyatakan ”otak anda
adalah pemilik komputer paling hebat di dunia”.
Dalam proses belajar atau kehidupan sehari-hari orang sering hanya menggunakan
setengah kemampuannya yaitu otakkiri. Otak kiri bertanggung jawab untuk ”pekerjaan”
verbal, kata-kata, bahasa, angka-angka, matematika, urut-urutan, logika, analisa dan
penilaian dengan cara berpikir linier. Melatih dan membelajarkan otak kiri akan
membangun kecerdasan intelektual (IQ). Saat belajar biasanya kita dituntut untuk
berpikir urut dan logis, sedangkan otak kanan sangat membantu kita dalam proses
menghafal cepat, membaca cepat, dan berpikir kreatif. Otak kanan bertanggungjawab dan
berkaitan dengan gambar, warna, musik, emosi, seni atau artistik, imajinasi, kreativitas,
dan intuitif Pemimpin yang mempunyai fungsi perencana, pemikiratau konseptor harus

3
menggunakan otaknya untuk dapat mengoptimalkan konsep-konsep yang sedang
disusunnya. Pemimpin yang memiliki karakter kecerdasan otak akan selalu memiliki
insting, gagasan, kreatif dan inovatif, serta selalu dinamis terhadap kondisi dan situasi
yang berkembang.
Kreativitas adalah keterampilan, artinya siapa saja yang berniat menjadi kreatif dan
ia mau menggunakan kecerdasan otaknya maka ia akan menjadi kreatif. Kreativitas
bukanlah sekedarbakat yang dimiliki oleh orang-orang tertentu saja. Kunci untukmenjadi
kreatif adalah yakin bahwa berpotensi untuk menjadi kreatif, dan setiap manusia
bertindak secara kreatif dari yang sederhana, tahap demi tahap menuju yang lebih
kompleks. Berpikir kreatif adalah dengan cara membuang kata “ tidak mungkin”, “tidak
dapat dikerjakan”, “tidak ada gunanya mencoba “ dari pikiran dan pembicaraan.
Terbukalah terhadap gagasan baru. Tanya setiap hari bagaimana saya dapat bekerja lebih
baik?, bagaimana saya dapat bekerja lebih banyak?. Berbaurlah dengan orang-orang
dengan latar belakang berbeda. Langkah-langkah tersebut dapat meningkatkan daya pikir
dan berjiwa besar.
B. Kecerdasan Emosional (EQ)
Mengandalkan kecerdasan intelektual saja seorang pemimpin tidak akan cukup
untuk membawa organisasi meraihkeberhasilan. Hal ini disebabkan suatu keberhasilan
yang diperoleh bukan sekedar karena pemimpin mampu menata serta mengembangkan
aspek organisasi tertentu secara rasional, namun lebih dari itu, ada aspek-aspek tertentu
yang membutuhkan penanganan dengan sentuhan emosi, seperti memotivasi bawahan,
memunculkan rasa memiliki terhadap organisasi, dan lain-lain. Menurut Veithzal Rivai,
dkk. (2013), tanpa kecerdasan emosional, termasuk ketenangan batin dan kemampuan
mengendalikan diri (emosi), mustahil bisa berpikir jernih. Goleman mempopulerkan
pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang
berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ. Ia menyebutnya dengan istilah
kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola
perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi
tersebut, kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita tidak mampu mengelola
aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek IQ
secara efektif, demikian menurut Goleman. Cooper dan Sawaf (1998), menyebutkan

4
kecerdasan Emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara aktif
menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan
pengaruh yang manusiawi. Menurut Goleman (2000) bahwa kecerdasan emosi
(Emotional Intelligence) adalah kemampuan untuk mengenali perasaan kitasendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dengan
kecerdasan emosional berarti seseorang pandai mengelola emosi diri maupun emosi
orang lain, sehingga proses perubahan dapat berjalan efektif.
Kecerdasan emosi mencakup berbagai kemampuan yang berbeda, tetapi saling
melengkapi dengan kecerdasan intelektual yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni
yang diukur dengan IQ. Meskipun IQ tinggi, tetapi bila kecerdasan emosi rendah, maka
tidak akan banyak membantu. Banyak orang cerdas secara IQ, tetapi tidak mempunyai
kecerdasan emosi, ternyata bekerja sebagai bawahan orang yang IQ lebih rendah namun
unggul dalam kecerdasan emosi.
Kepemimpinan yang berdasarkan EQ adalah kepemimpinan yang selalu
menginstropeksi diri untuk memahami dan mengeksplorasi kekuatan dan kelemahan
internal. EQ menentukan bagaimana seseorang dapat menyesuaikan diri di dalam
organisasi dan bukan organisasi yang menyesuaikan diri dengan seorang pemimpin.
Karakter dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain di pengaruhi oleh tingkat EQ.
Inilah ukuran kematangan emosi dan kemampuan seorang pemimpin mempengaruhi
orang untuk menggapai tujuan yang lebih besar. Pemimpin yang berdasarkan EQ akan
memiliki kepribadian seperti: (a) Selalu memandang orang lain dengan pikiran positif;
(b) Memandang tindakannya pada orang lain merupakan tindakan terhadap dirinya
sendiri; (c) Memahami perasaan orang lain atau bawahannya; (d) Mampu mengatur
emosi pada saat yang tidak menyenangkan; (e) Selalu ingin berinteraksi secara positif
terhadap lingkungan kerjanya.
C. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Mengembangkan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup, khususnya bagi
perkembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan. Sebab kecerdasan ini lebih berpusat
hanya pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara ada dimesi
lain yang tidak kalah penting bagi manusia yang bersifat vertikal. Kemampuan dalam

5
membangun hubungan vertikal inilah yang sering dikenal dengan istilah kecerdasan
spiritual. Zohar dan Marshall mengikut-sertakan aspek konteks nilai sebagai suatu bagian
dari proses berpikir dalam hidup yang bermakna, untuk itu mereka mempergunakan
istilah kecerdasan spiritual.
Kecerdasan spiritual berarti pemimpin yang memiliki kesadaran etis yang tinggi
sehingga tujuan perubahan tidak semata demi peningkatan keefektifan organisasi, namun
juga demi tertunaikannya tanggungjawab moral dan etik kepada semua stakes holders
(Hendricks dan Ludeman, 2003). Kecerdasanspiritual ini merupakan kecerdasan yang
bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego, atau
jiwa sadar. Kecerdasan yang kita gunakan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang
ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Indikasi-indikasi
kecerdasan spiritual ini dalam pandangan meliputi kemampuan untuk menghayati nilai
dan maknamakna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk
memandangsesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-
jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dan lain-lain.
Dalam catatan pribadinya Covey (1995) memberi pernyataan yang menarik,
“Saya percaya bahwa ada bagian dari sifat manusia yang tidak dapat dicapai melalui
undang-undang atau pendidikan, tetapi memerlukan kekuatan Tuhan untuk mengatasinya.
Saya percaya bahwa sebagai manusia, kita tidak dapat meyempurnakan diri kita sendiri,
sampai tingkat di mana kita menyelaraskan diri dengan prinsip yang benar, anugerah ilahi
akan diserahkan pada sifat kita, sehingga memungkinkan untuk memenuhi ukuran
ciptaan kita.” Pernah suatu ketika Robin Leach mewawancarai ratusan orang kaya dan
terkenal, hasilnya memperlihatkan bahwa kekayaan dan kemasyhuran tidak serta merta
menghantarkan mereka pada kebahagiaan yang hakiki. Lantas yang menjadi pertanyaan,
faktor apakah yang menyebabkan seseorang bahagia? Sebagian menjawab “uang”,
“kekayaan”, “kenikmatan seksual”, “kedudukan”, kesehatan”, dan lain-lain.
Namun semua jawaban itu tidak menjawab kebahagiaan hakiki. Semua itu
merupakan jawaban yang parsial dan tidak menyentuh pada substansi dan hakiki
kebahagiaan. Ada sepasang suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall yang dianggap
awal mula mengelaborasi temuan-temuan ilmiah menjadi kecerdasan spiritual (Spiritual
Quotient, SQ). Berdasarkan uraian dari ketiga kecerdasan tersebut di atas, maka seorang

6
pemimpin perlu membekali diri dengan pengetahuan bagaimana cara meningkatkan
kecerdasannya melalui apa yang disebut dengan Kecerdasan Kuatum (Quantum
Quotient) yaitu penggabungan kecerdasan intelegensia (IQ), kecerdasan emosional (EQ),
dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dengan mempelajari kecerdasan kuantum diharapkan seorang pemimpin dapat
menjalankan tugas-tugasnya dengan sangat baik menuju keberhasilan. Oleh karena itu,
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual secara simultan
harus dimiliki oleh seorang pemimpin, karena ketiga hal tersebut saling mendukung dan
melengkapi dalam proses keberhasilan dan kesuksesan seseorang untuk membawa
organisasi mencapai tujuan.

B. Ciri pribadi dan sikap pemimpin, Kepemimpinan, Tim


A. Ciri-ciri Pemimpin
Banyak ciri-ciri pemimpin dan kepemimpinan yang ditampilkan oleh para pakar
yang meliputi ciri-ciri fisik, ciri-ciri intelektual, dan ciri-ciri kepribadian. Dr.W.A.
Gerungan telah mengetengahkan ciri-ciri yang dimiliki oleh kebanyakan pemimpin yang
baik dan dijadikan perhatian para penilai ketika sedang melaksanakan penyaringan
terhadap calon-calon pemimpin dalam latihan-latihan kader kepemimpinan.
Penjelasannya sebagai berikut:
1. Persepsi Sosial
Persepsi sosial dapat diartikan sebagai kecakapan dalam melihat dan memahami
perasaan, sikap dan kebutuhan anggota-anggota kelompok. Kecakapan ini sangat
dibutuhkan untuk memenuhi tugas kepemimpinan. Persepsi sosial ini terutama
diperlukkan oleh seorang pemimpin untuk dapat melaksanakan tugasnya dalam
memberikan pandangan dan patokkan yang menyeluruh dari keadaan-keadaan didalam
dan diluar kelompok.
2. Kemampuan berfikir abstrak
Kemampuan berpikir abstrak dapat menjadikkan indikasi bahw seseorang
mempunyai kecerdasan yang tinggi. Kemampuan abstrak yang sebenarnya merupakan
salah satu segi dari struktur intelegensi, khusus dibutuhkan oleh seorang pemimpin
untuk dapat menafsirkan kecenderungan-kecenderungan kegiatan di dalam kelompok

7
dan keadaan umum diluar kelompok dalam hubungannya degan tujuan kelompok. Ini
berarti bahwa ketajaman persepsi dan kemampuan menganalisis didampingi oleh
kemampuan abstrak dan mengintegrasikan fakta-fakta interaksi sosial didalam dan
diluar kelompok. Kemampuan tersebut memerlukan taraf intelegensia yang tinggi pada
seorang pemimpin yang harus diarahkan oleh persepsi sosial yang telah diterangkan
diatas.
3. Keseimbangan Sosial
Merupakan faktor paling penting dalam kepemimpinan. Jelasnya, pada diri
seorang pemimpin harus terdapat kematangan emoional yang berdasarkan kesadaran
yang mendalam akan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, cita-cita, dan alam
perasaan, serta pengintegrasian kesemuanya itu kedalam suatu kepribadian yang
harmonis. Dan ini bukanlah suatu kepribadian harmoni yang beku dan statis, melainkan
suatu harmoni dalam ketegangan-ketegangan emosional, suatu keseimbangan yang
dinamis, yang dapat bergerak kemana-mana, tetapi mempunyai dasar yang matang dan
stabil. Kematangan emosional ini diperlukkan oleh seorang pemimpin untuk dapat turut
merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompok dalam rangka melaksanakan tugas
kepemimpinan dengan sukses.
B. Tipe-tipe Kepemimpinan
1. Tipe Otokratik
Dilihat dari persepsinya seorang pemimpin yang otokratik adalah seorng yang
sangat egois. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjuukkan sikap yang menonjol
”keakuannya”, antara lain dalam bentuk:
a. Kecenderungan memperlakukan para bawahannya sama dengan alat-alat lain
ddalam organisasi, seperti mesin, dan dengan demikian kurang menghargai
harkat dan martabat mereka.
b. Pengutamaan orientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas tanpa
mengaitkan pelaksanaan tugas itu dengan kepentingan dan kebutuhan para
bawahannya.
c. Pengabaian peran para bawahan dalam proses pemgambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan yang dipergunakan adalah:

8
a. Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya. Dalam menegakkan disiplin
menunjukkan keakuannya.
b. Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi.
c. Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh
bawahan.
2. Tipe Paternalistik
Tipe pemimpin paternalistik hanya terdapat dilingkungan masyarakat yang
bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat agraris. Salah satu ciri utama masyarakat
tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota
masyarakat kepada orang tua atau seseorang yang dituakan. Pemimpin seperti ini
kebapakan, sebagai tauladan atau panutan masyarakat. Biasanya tokohtokoh adat,
para ulama dan guru. Pemimpin ini sangat mengembangkan sikap kebersamaan.
3. Tipe Kharismatik
Tidak banyak hal yang dapat disimak dari litelatur yang ada tentang kriteria
kepemimpinan yang kharismatik. Memang ada karakteristiknya yang khas yaitu daya
tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang
jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Tegasnya seorang pemimpin yang
kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para
pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang
tersebut dikagumi
4. Tipe Laissez faire
Pemimpin ini berpandangan bahwa umumnya organisasi akan berjalan lancar
dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang
sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran
apa yang ingin dicapai, tugas yang harus ditunaikan oleh masing-masing anggota dan
pemimpin tidak terlalu sering intervensi
5. Tipe Demokratis
a. Pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku
koordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi.

9
b. Menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa
sehingga menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang
tidak bisa dilakukan demi tercapainya tujuan
c. Melihat kecenderungan adanya pembagian peranan sesuai dengan tingkatnya
d. Memperlakukan manusia dengan cara manusiawi dan menjunjung harkat dan
martabat manusia.
C. Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan membicarakan bagaimana seseorang menjadi pemimpin atau
bagaimana timbulnya seorang pemimpin. Ada beberapa teori tentang kepemimpinan di
antaranya ialah.
1. Teori Genetie Inti dari teori ini tersimpul dalam mengadakan "leaders are born and
not made". bahwa penganut teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin akan karena
ia telah dilahirkan dengan bakat pemimpin.Dalam keadaan bagaimana pun seorang
ditempatkan pada suatu waktu ia akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk itu.
Artinya takdir telah menetapkan ia menjadi pemimpin.
2. Teori Sosial Jika teori genetis mengatakan bahwa "leaders are born and not made",
make penganut-penganut sosial mengatakan sebaliknya yaitu : "Leaders are made and
not born". Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa setiap orang akan dapat
menjadi pemimpin apabila diberi pendidikan dan kesempatan untuk itu.
3. Teori Ekologis Teori ini merupakan penyempurnaan dari kedua teori genetis dan
teori sosial. Penganut-penganut teori ini berpendapat bahwa seseorang hanya dapat
menjadi pemimpin yang baik apabila pada waktu lahirnya telah memiliki bakat-bakat
kepemimpinan, bakat mana kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur
dan pangalaman-pengalaman yang memungkinkannya untuk mengembangkan lebih
lanjut bakat-bakat yang memang telah dimilikinya itu.
Teori ini menggabungkan segi-segi positif dari kedua teori genetis dan teori sosial
dan dapat dikatakan teori yang paling baik dari teori-teori kepemimpinan. Namun
demikian penyelidikan yang jauh yang lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat
mengatakan secara pasti apa faktor-faktor yang menyebabkan seseorang timbul sebagai
pemimpin yang baik.
D. Syarat pemimpin yang baik

10
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa seorang yang tergolong sebagai pemimpin
adalah seorang yang pada waktu lahirnya yang berhasil memang telah diberkahi dengan
bakat-bakat kepemimpinan dan karirnya mengembangkan bakat genetisnya melalui
pendidikan pengalaman kerja. Pengembangan kemampuan itu adalah suatu proses yang
berlangsung terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki
lebih banyak ciri-ciri kepemimpinan.
Walaupun belum ada kesatuan pendapat antara para ahli mengenai syarat-syarat ideal
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan tetapi beberapa di antaranya yang
terpenting adalah sebagai berikut :
1. Memiliki inteligensi yang tinggi dan pendidikan umum yang luas
2. Bersifat ramah tamah dalam tutur kata, sikap, dan perbuatan
3. Berwibawa dan memiliki daya tarik
4. Sehat jasmaniah maupun rohaniah (fisik maupun mental)
5. Kemampuan analistis
6. Memiliki daya ingat yang kuat
7. Mempunyai kapasitas integratif
8. Keterampilan berkomunikasi
9. Keterampilan mendidik
10. Personalitas dan objektivitas
11. Jujur (terhadap diri sendiri, atasan, bawahan, sesama pegawai)
E. Sikap pemimpin
Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kepribadian
sendiri yang unik dan khas sehingga tingkah laku dan gayanya yang membedakan
dirinya dari orang lain. Gaya atau style hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan
tipe kepemimpinannya. Kepemimpinan merupakan kekuatan aspirasional, kekuatan
semangat, dan kekuatan moral yang kreatif, yang mampu mempengaruhi para anggota
untuk mengubah sikap, sehingga mereka searah dengan kemauan dan aspirasi pemimpin.
Padahal semestinya pemimpin merupakan sosok yang menjadi teladan panutan bagi
yang dipimpinnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Pemimpin harus selalu dapat memotivasi anggota
organisasi perguruan tinggi untuk melakukan perbaikan-perbaikan mutu. Tetapi kalau

11
setiap kali dan dalam setiap hal harus memberi perintah atau pengarahan, itu akan
menimbulkan kesulitan. Kalau setiap melakukan pekerjaan dengan baik itu harus dengan
perintah pimpinan, dan kalau tidak ada perintah pimpinan tidak dilakukan pekerjaan
dengan baik, maka perbaikan mutu kinerja yang terus menerus akan sulit diwujudkan.
Oleh karena itu agar kepemimpinan itu selain untuk memberi pengarahan atau perintah
tentang hal-hal yang perlu ditingkatkan mutunya, juga perlu digunakan untuk
menumbuhkan motivasi intrinsik, yaitu menumbuhkan kesadaran akan perlunya setiap
orang dalam perguruan tinggi itu selalu berupaya meningkatkan mutu kinerjanya
masing-ma-sing secara individual maupun bersama-sama sebagai kelompok ataupun
sebagai organisasi.
Di dalam pola kepemimpinan yang dijelaskan di atas selalu mengalami kendala dan
kelemahan di dalam prakteknya.Dan pada umumnya yang tercermin bahwa pemimpin
itu adalah hal yang sangat di takuti dan ada gap .Sehingga keadaaannya menjadi tidak
tercipta rasa kekeluargaan yang membuat suasana kerja menjadi tidak nyaman. Untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan ini diperlukan dikembangkan suatu model
kepemimpinan.
Ada 18 (delapan belas) nilai karakter bangsa sebagaimana yang dikeluarkan oleh
Kemediknas yaitu:
1. Nilai Religius
2. Kejujuran
3. Toleransi
4. Disiplin
5. Kerja Keras
6. Kreatif
7. Mandiri
8. Demokratis
9. Rasa Ingin Tahu
10. Semangat Kebangsaan
11. Cinta Tanah Air
12. Menghargai Prestasi
13. Bersahabat/Komunikatif

12
14. Cinta Damai
15. Gemar Membaca
16. Peduli Lingkungan
17. Peduli Sosial
18. Tanggung Jawab.

Kegiatan pemimpin dalam melakukan manajemen organisasinya mulai dari


pengambilan keputusan sampai pada pelaksanaan dan evaluasi kerja menunjukkan suatu
perilaku. Perilaku pemimpin dalam suatu organisasi menjadi sorotan dan memengaruhi
timbulnya perilaku anggota atau perilaku kelompok. Apabila perilaku pemimpin, baik dalam
memberikan instruksi, mengawasi, maupun melakukan evaluasi, termasuk dalam
mengemukakan pikiran-pikirannya maka dapat menciptakan efektivitas organisasi.4
Perilaku kepemimpinan tersebut, yaitu perilaku instruktif, konsultatif, partisipatif, dan
delegatif.

Perilaku kepemimpinan tersebut, masing-masing memiliki ciri pokok sebagai berikut:

a. Perilaku instruktif; terbangunnya komunikasi satu arah, pimpinan membatasi


peranan bawahan, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menjadi
tanggung jawab pemimpin, pelaksanaan pekerjaan diawasi dengan ketat.
b. Perilaku konsultatif; pemimpin masih memberikan instruksi yang cukup besar
serta menentukan keputusan, telah diharapkan komunikasi dua arah dan
memberikan suportif terhadap bawahan, pemimpin mau mendengar keluhan dan
perasaan bawahan dalam pengambilan keputusan, bantuan terhadap bawahan
ditingkatkan tetapi pelaksanaan keputusan tetap pada pemimpin.
c. Perilaku persuasif; control atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
antara pemimpin dan bawahan seimbang, pemimpin dan bawahan sama-sama
terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi dua
arah semakin meningkat, pemimpin makin mendengarkan secara intensif
terhadap bawahannya, keikutsertaan bawahan dalam pemecahan dan
pengambilan keputusan makin bertambah
d. Perilaku delegatif ; pemimpin mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan
bawahan dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya

13
kepada bawahan, bawahan diberi hak menentukan langkah-langkah bagaimana
keputusan dilaksanakan dan bawahan diberi wewenang untuk menyelesaikan
tugas-tugas sesuai dengan keputusan sendiri.

Menurut Stogdill yang di kutip oleh Muwahid Shulhan, mengemukakan bahwa untuk menilai
perilaku kepemimpinan ada 12 faktor yang perlu di perhatikan, yaitu:

1. Perwakilan (representation), pemimpin berbicara dan bertindak sebagai wakil kelompok.


2. Tuntutan perdamaian (reconciliation), pemimpin mendamaikan tuntutan konflik dan
mengurangi ketidakteraturan dari sistem yang ada.
3. Toleran terhadap ketidakpastian (tolerance of uncertainty), pemimpin mampu
memberikan toleransi terhadap ketidak pastian dan penundaan tanpa kekhawatiran atau
gangguan.
4. Keyakinan (persuasiveness), pemimpin mampu menggunakan persuasi dan organisasi
secara efektif serta memperlihatkan keyakinan yang kuat.
5. Struktur inisiasi (inisiation of structure), pemimpin dengan jelas mendefinisikan peranan
kepemimpinan dan memberikan kesempatan bawahan mengetahui apa yang diharapkan
dari mereka.
6. Toleransi kebebasan (tolerance of freedom), pemimpin membiarkan bawahan
berkesempatan untuk berinisiatif, terlibat dalam keputusan dan berbuat.
7. Asumsi peranan (role Assumption), pemimpin secara aktif menggunakan peranan
kepemimpinannya daripada menyerahkan kepemimpinan kepada orang lain.
8. Konsiderasi (consideration), pemimpin memperlihatikan ketengan, kerjasama, dan
kontribusi (bantuan) bawahan.
9. Penekanan pada hal-hal yang produktif (productive emphasis), pemimpin mementingkan
atau menekankan kepada hal-hal yang bersifat produktif.
10. Ketepatan yang bersifat produktif (predictive accuracy), pemimpin memperlihatkan
wawasan kedepan dan kecakapan untuk memperkirakan hasil yang akan datang secara
akurat.
11. Integrase (integration), pemimpin memelihara secara akrab jaringan organisasi dan
mengatasi konflik antar anggota.

14
12. Orientasi kepada atasan (superior orientation), pemimpin memelihara hubungan ramah-
tamah dengan atasan yang mempunyai pengaruh terhadap pemimpin, dan berjuang untuk
memperoleh kedudukan yang lebih tinggi.
Kedua belas faktor tersebut sangat membantu dalam menganalisa dan memperbaiki
perilaku pemimpin dalam organisasi apapun. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola
dasar, yaitu pertama, gaya kepemimpinan yang berpola mementingkan pelaksanaan tugas
secara efektif dan efisien, agar mampu mewujudkan tujuan secara efektif dan efisien,
agar mampu mewujudkan tujuan secara maksimal; kedua, gaya kepemimpinan yang
berpola mementingkan pelaksanaan hubungan kerja sama; dan ketiga, gaya
kepemimpinan yang berpola mementingkan hasil yang dapat dicapai dalam rangka
mewujudkan tujuan organisasi. Di sini pemimpin menaruh perhatian yang besar dan
memiliki keinginan yang kuat, agar setiap anggota berprestasi sebesar-besarnya.
F. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok
individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang kepala
madrasah harus dapat mempengaruhi seluruh warga madrasah yang dipimpinnya melalui
cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah.10 Kepemimpinan pada
dasarnya kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut mau
melakukan tindakan apa pun demi suatu tujuan tertentu.
Kepemimpinan merupakan kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk
dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan dan kalau perlu
memaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang
dapat membantu pencapaian tujuan-tujuan tertentu. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto
yang di kutip oleh Muwahid Shulhan, kepemimpinan adalah usaha yang dilakukan untuk
mempengaruhi anggota kelompok agar mereka dengan suka rela menyumbangkan
kemampuannya secara maksimal demi pencapaian tujuan kelompok yang telah ditetapkan.
Berdasarkan dari definisi-definisi yang telah dikemukakan diatas, dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar mau
bekerjasama dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Jadi maksudnya masing-masing definisi
kepemimpinan berbeda menurut sudut pandang penulisnya. Namun, demikian ada kesamaan

15
dalam mendefinisikan kepemimpinan yaitu mengandung makna mempengaruhi orang lain
untuk berbuat seperti pemimpin yang dikehendaki.
Dengan demikian, dapat di kemukakan bahwa hakikat kepemimpinan di antaranya,
1. proses memengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada pengikutnya
dalam upaya mencapai tujuan organisasi;
2. seni memengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan,
kehormatan, dan kerja sama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama;
3. kemampuan untuk memengaruhi, memberi inspirasi, dan mengarahkan tindakan
seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diharapkan;
4. melibatkan tiga hal, yaitu pemimpin, pengikut, dan situasi tertentu;
5. kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan.

C. Adversity Quotient
A. Pengertian Adversity Quotient
Setiap manusia diberikan keistimewaan oleh Allah SWT yaitu akal dan pikiran. Manusia
disebut sebagai makhluk sempurna karena memiliki 2 (dua) hal ini. Setiap akal dan pikiran
akan menimbulkan suatu hal yang ajaib dan mengagumkan yang pernah ada, hal itu adalah
sebuah kecerdasan.
Kecerdasan didefinisikan bermacam-macam. Para ahli, termasuk para psikolog tidak
sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan. Bukan saja karena definisi kecerdasan itu
berkembang, sejalan dengan perkembangan ilmiah menyangkut studi kecerdasan dan sains-
sains yang berkaitan dengan otak manusia, tetapi juga karena penekanan definisi kecerdasan
tersebut sudah barang tentu akan sangat bergantung pada teori kecerdasan itu sendiri.
Sebagai contoh, teori kecerdasan IQ sudah barang tentu akan berbeda dengan teori
Emotional Quotient dan Spiritual Quotient dalam mendefinisikan kecerdasan.
Menurut Howard Gordner definisi kecerdasan sebagaimana dikutip oleh Agus Efendi,
adalah kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya
tertentu. 2 Definisi kecerdasan lain adalah kecerdasan dari Piaget, menurut Wilian H.Calvin
dalam bukunya How Brain Think (Bagaimana Otak Berpikir), Piaget mengatakan
´Intellegence is what you use hen you don’t know what to do” (Kecerdasan adalah apa yang
kita gunakan pada saat kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan).

16
Sejalan dengan berjalannya waktu, kecerdasan sebagai sebuah teori terus mengalami
berbagai perubahan dan penambahan. Berbagai penelitian terus dikembangkan, sehingga
berbagai teori terus bermunculan. Pada awalnya kita memahami kecerdasan itu dari IQ
(Intellectual Quotient). Kita menganggap seseorang itu cerdas jika mempunyai IQ tinggi,
dan begitu sebaliknya jika seorang itu bodoh berarti mempunyai IQ yang rendah. Kemudian
muncul teori Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk) dari Gardner, yang kemudian
memicu terhadap berkembangnya kesadaran akan adanya kecerdasan-kecerdasan baru selain
kecerdasan intelektual.
Berbagai teori kecerdasan pun akhirnya bermunculan, seperti EQ (Emotional
Intelligence) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman, CQ (Creative Quotient), SQ
(Spiritual Intelligence) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, AQ ( Adversity Quotient ) oleh
Paul G. Stoltz dan berbagai kecerdasan yang lain .
Perjalan hidup orang sukses dan orang gagal sama, yakni menghadapi dan mengalami
berbagai kesulitan hidup. Adapun perbedaannya terletak pada kecerdasan dalam menghadapi
kesulitan tersebut, yaitu sebuah bentuk kecerdasan baru yang lebih dititikberatkan dalam
menghadapi permasalahan hidup. Dalam rangka mengaktualisasikan diri sebagai hamba
(abid ) dan wakil Allah ( Khalifatullah ) di bumi, secara fitri manusia dibekali potensi
kecerdasan oleh Allah SWT. Kecerdasan intelektual (IQ) dapat membantu memahami dan
menghadapi dunia, sedangkan dengan kecerdasan emosional (EQ) berguna untuk memahami
dan menghadapi diri sendiri dan orang lain. IEQ adalah dua bagian dari satu keseluruhan,
sumber sinergis, tanpa yang lain menjadi tidak lengkap dan tidak efektif. Meskipun EQ tidak
secara langsung meningkatkan IQ, tetapi jelas peranan yang dimainkannya dalam
kehidupan.
Menurut Ari Ginanjar dalam bukunya membuktikan bahwa ternyata IQ dan EQ saja
tidaklah cukup untuk membawa diri kita, perusahaan kita, masyarakat kita, atau bangsa kita
dalam kebahagiaan dan kebenaran yang hakiki. Masih ada nilai-nilai yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya, yaitu kecerdasan spiritual atau SQ. Artinya, IQ memang penting
kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia bisa memanfaatkan tekhnologi
demi efisiensi dan efektivitas. Juga peran EQ yang memegang begitu penting dalam
pembangunan hubungan antar manusia yang efektif sekaligus peranannya dalam

17
meningkatkan kinerja, namun SQ yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, maka kebrhasilan
itu hanyalah akan menghasilkan hitler-hitler baru atau fir’aun-fir’aun kecil di muka bumi.
Kecerdasan baru yang dimaksud berawal dari hasil yang dilakukan ilmuwan kelas atas
selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500 referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni
psikologi kognitif, psikoneuromunologi dan neurofisiologi dan menerapkan hasil penelitian
dan pengkajian selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan
bahwa terdapat satu kecerdasan baru yaitu Adversity Quotient.
Manusia pada prinsifnya dilahirkan memiliki sifat mendaki. Pendakian ini maknanya
adalah bergerak untuk mencapai tujuan hidup ke masa depan. Maka Adversity Quotient
adalah bagian dari penentu kesuksesan seseorang untuk mencapai puncap pendakian. Secara
naluri, dalam proses untuk melakukan pendakian akan dihadapkan pada berbagai hambatan,
tantangan dan kesulitan. Semuanya itu tidak dapat hanya diselesaikan dengan bermodalkan
kecerdasan intelektual saja akan tetapi juga perlu dengan bantuan kecerdasan emosional,
spiritual dan Adversity Quotient.
Dalam kehidupan manusia tentu berbagai hal yang tidak diharapkan pasti terjadi.
Kadang-kadang sesuatu hal yang tidak diharapkan itu akan menjadi sesuatu hal yang dapat
menghancurkan raga dan jiwanya. Suka duka, susah senang, lapang dan sempitnya perasaan
yang dirasakan bisa diatasai apabila hal itu disikapi sebagai suatu sunnatullah atau hakikat
kehidupan di dunia yang pastinya dirasakan oleh setiap manusia. dalam Al-Qurȃn dan juga
hadits Nabi SAW telah disebutkan dan diterangkan beragam hukum Allah dan cara
bagaimana manusia harus mampu menyikapinya. Hukum Allah atau yang lebih dikenal
dengan sunnatullah memiliki makna etimologi, yakni suatu gambaran atau deskripsi
kehidupan yang akan dihadapi. Makna asalnya adalah jalan atau arah.
Orang yang memiliki Adversity Quotient tinggi tidak akan pernah takut dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam proses keahidupannya. Bahkan dia akan mampu
untuk mengubah tantangan yang dihadapinya dan menjadikannya peluang. Kesulitan
memang kelihatan kejam secara zhahir. Kesulitan tidak peduli apakah sesorang gagal atau
sukses. Kesulitan tidak peduli dengan definisi keadilan manusia, dan akan menekan serta
mendorongnya melewati tantangannya. Seperti angin ribut yang kuat, kesulitan bisa
menyebabkan kerusakan serius. Atau, jika dimanfaatkan, kesulitan malah bisa mengantarkan
seseorang ke pencapaian yang lebih tinggi daripada jika dia tidak mengalaminya.

18
Berita bagusnya, betapapun pelik dan menyakitkannya masalah-masalah yang dialami,
hal ini bisa digunakan untuk mendapatkan hasil yang dramatis. Kesuksesan belajar dan kerja
seseorang dalam hidup sebagian besar ditentukan oleh Adversity Quotientnya. Adversity
Quotient menjadi demikian penting karena,
Pertama Adversity Quotient menunjukkan seberapa baik dia dapat bertahan menghadapi
kesulitan dan mengatasinya. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sukses adalah orang
yang tetap gigih berusaha meskipun banyak rintangan atau bahkan kegagalan. Tidak ada
orang yang mencapai sukses sejati tanpa merasakan kegagalan sebelumnya.
Kedua, Adversity Quotient merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk
memprediksi siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang jatuh. Dimensi-
dimensi Adversity Quotient merupaka faktor signifikan penentu kesuksesan atau kegagalan
seseorang. Sebagai contoh, dimensi kontrol (kendali), orang yang memiliki kendali baik ia
akan mampu bertahan dalam kesulitan, kemudian mengaturnya untuk mendapatkan peluang
berikutnya. Lebih jauh mengenai dimensi Adversity Quotient akan dibahas kemudian.
Ketiga, Adversity Quotient memprediksi siapa yang akan mencapai kinerja sesuai
harapan dan potensi dan siapa yang gagal. Semua orang memiliki potensi yang besar untuk
menjadi sukses. Tetapi hanya sedikit orang yang meyakini potensi dirinya. Orang yang
memiliki keyakinan terhadap potensinya dapat bekerja dengan baik. Sementara orang yang
meragukan kemampuan dirinya bekerja dengan kinerja rendah.
Keempat, Adversity Quotient memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang
akan menang. Apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam melaksanakan tugas dapat
diprediksi dari nilai Adversity Quotient yang dimiliki.
B. Dimensi-Dimensi Adversity Quotient
Paul G. Stoltz dan Erik Weihenmayer menjelaskan bahwa AQ terdiri atas empat dimensi
yang disingkat dengan CORE (Control, Ownership, Reach, Endurance).Sebelumnya Stoltz
mengatakan bahwa dimensi AQ terdiri dari Control, Origin, dan Ownership, Reach, dan
Endurance (CO2RE). Dalam penelitiannya Stoltz mengatakan bahwa dimensi Origin dan
Ownership saling berkaitan, seseorang harus menyalahkan orang lain untuk peristiwa yang
buruk agar tetap gembira padahal orang yang paling efektik adalah memikul tanggung jawab
untuk menghadapi maslalah, tidak peduli apa yang menyebabkan kesulitan. Jadi Stoltz
memutuskan bahwa dimensi AQ adalah Control, Ownership, Reach, dan Endurance

19
1. Control ( Pengendalian ) / Mengendalikan diri saat menghadapi masalah
C adalah singkatan dari “Control” atau kendali. Kendali yaitu sejauh mana
seseorang mampu mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi
apapun. Dimensi Control mempertanyakan “berapa banyak kendali yang anda rasakan
terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan”. Yang menjadi titik fokus di
sini adalah kalimat “rasakan”. Kendali terhadapat seberapa banyak masalah yang kita
dapatkan hampir tidak dapat diukur. Kendali terhadap bagaimana kita rasakan terhadap
masalah tersebut jauh lebih penting. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan
kendali yang lebih besar atas peristiwa dalam hidupnya daripada seseorang yang
memiliki AQ yang lebih rendah dan mereka yang AQ-nya lebih tinggi cenderung
melakukan pendakian dan relative kebal terhadap ketidakberdayaan, sementara orang
yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.
2. Ownership (Penguasaan Diri)
Dimensi ini mempertanyakan: sejauh mana individu mengandalkan diri sendiri
untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa memperdulikan penyebabnya. Individu
yang memiliki Ownership tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki
keadaan, apapun penyebabnya. Adapun individu yang memiliki Ownership sedang
memiliki cukup tanggung jawab atas keesulitan yang terjadi, tapi mungkin akan
menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang
memiliki Ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab dan menyalahkan
orang lain atas kesulitan yang terjadi Penguasaan diri mengharuskan kita mengajukan
pertanyaan “bagaimana kemungkinan saya berkembang untuk melakukan apa pun
dalam rangka memperbaiki situasi tanpa memperhitungkan rincian pekerjaan saya
Dengan kata lain, penguasaan diri bukan berarti menanggung semua beban atau
membuang-buang energi yang berharga dengan menunjukkan kesalahan. Lebih dari itu,
penguasaan diri adalah memperkuat kecenderungan melakukan sesuatu, sekecil apa pun
itu, untuk menjadikan segalanya lebih baik.
Dengan kata lain, daripada mengkhawatirkan siapa yang menyebabkan situasi
tersebut, atau siapa yang harus bertanggung jawab untuk mencari solusinya, lebih baik
fokus kepada bagaimana memengaruhi situasi atau kesulitan ini dengan cepat dan
positif. Jangan melakukan tawar-menawar kekuatan dan momentum yang berharga

20
dengan menunggu orang lain. Jadikan diri menjadi orang yang bisa menginspirasi orang
lain untuk dapat melakukan hal yang sama.
Semakin tinggi AQ seseorang, semakin besar kemungkinan dia maju dan
terlibat.Semakin rendah AQ seseorang, semakin dia mundur dan tidak mau terlibat.
Mungkin karena sudah merasa kewalahan. Kekurangan penguasaan diri berarti prioritas
penting masih belum terpenuhi sehingga tugas pokok menjadi pekerjaan orang lain.
Semakin kecil kendali yang dirasakan dan semakin kecil penguasaan diri yang
digunakan, maka akan semakin menjadi letih dan semakin kecil kemungkinan maju
pada kali berikutnya untuk menghadapi tantangan atau peluang yang akan datang.
Penguasaan diri juga merupakan salah satu urat nadi bagai kesuksesan seseorang setiap
hari. Maju untuk membantu segala sesuatu lebih baik akan meningkatkan tidak hanya
diri sendiri, tetapi juga semua orang yang ada disekitarnya. Kadang, penguasaan diri
seseorang berarti melakukan sesuatu di luar batas pekerjaannya atau tanggung jawab
hari ini, bahkan ketika dia sibuk
3. Reach (Jangkauan)
Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-
bagian lain dari kehidupan seseorang. Respon-respon AQ yang rendah akan membuat
kesulitan memasuki segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor
Reach (jangkauan) seseorang, semakin besar kemungkinannya orang tersebut
menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana. Kadang-kadang rapat yang
tidak berjalan dengan lancar bisa mengacaukan seluruh kegiatan pada hari itu, sebuah
konflik bisa merusakkan seluruh hubungan yang sudah terjalin, suatu penilaian kinerja
yang negatif akan menghambat karir yang kemudian akan menimbulkan kepanikan
secara finansial, sulit tidur, kepahitan, menjaga jarak dengan orang lain dan
pengambilan keputusan yang buruk. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan
anda untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan. Membiarkan jangkauan kesulitan
memasuki satu atau lebih wilayah kehidupan anda akan menghabiskan kekuatan dan
waktu yang anda miliki.
4. Endurance (Daya Tahan)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan berapa lamakah kesulitan
akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung.

21
Semakin rendah Endurace ( Daya Tahan ) semakin besar kemungkinan seseorang
menganggap kesulitan dan penyebabnya berlangsung lama.
Kebanyakan orang akan kehilangan harapan ketika situasi berubah menjadi sulit.
Dimensi terakhir dari CORE yaitu Endurance, berkaitan dengan waktu dan lamanya.
Dimensi ini cenderung mendorong dan mematikan harapan. Ketika kesulitan
menghantam, ketahanan berarti menanyakan dan memprediksi berapa lama kesulitan
tersebut akan berlangsung atau bertahan.
Orang dengan AQ tinggi tetap berharap dan bersikap optimis. Mereka bisa
menyaksikan lewat keadaan paling buruk sekalipun. Orang dengan AQ rendah
cenderung melihat kemunduran dalam jangka panjang, kalau bukan permanen. Persepsi
ini bisa menghancurkan kemungkinan untuk keluar dari sisi lain. Endurance memainkan
peranan penting dengan perubahan. Orang yang melihat kesempatan yang ada sebagai
sesuatu yang bersifat sementara dan sesuatu yang bisa mereka kerjakan untuk
mempercepat transisi cenderung diperkuat oleh perubahan. Orang yang merasakan
perubahan sebagai proses melelahkkan, mengerikan dan berlangsung lama cenderung
hancur di bawah reruntuhannya yang gelap.
C. Peranan Adversity Quotient dalam kehidupan
Faktor-faktor kesuksesan berikut dipengaruhi oleh pengendalian individu serta cara
individu tersebut merespon kesulitan diantaranya :
1. Daya Saing Seseorang yang merespon kesulitan secara lebih optimis dapat
diramalkan akan bersifat lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan
reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak bersikap pasif
dan hati-hati. Seseorang yang bereaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih
tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil
dalam persaingan. Persaingan sebagian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan, dan
keuletan yang sangat ditentukan oleh cara seseorang menghadapi tantangan dan
kegagalan dalam kehidupan.
2. Produktivitas Orang yang tidak dapat merespon kesulitan yang dia alami dengan
baik akan kurang bisa melakukan sesuatu yang dia kerjakan seperti apa yang seharusnya
dia lakukan, dan biasanya kinerjanya dalam melakukan sesuatu akan terlihat tidak
maksimal dibandingkan orang yang dapat merespon segala sesuatunya dengan baik.

22
Orang yang dapat merespon segala sesuatunya dengan sudut pandang yang positif akan
dapat melakukan seuatu yang harus dikerjakannya dengan lebih maksimal, bahkan
cenderung melebihi apa yang harus dia kerjakan.
3. Kreatifitas Joel Barker sebagaimana yang diungkapkan Paul G. Stoltz dalam
bukunya menyebutkan bahwa kreativititas menuntut kemampuan untuk mengatasi
kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Hal ini dapat diartikan bahwa
kreativitas seseorang sangat diperlukan ketika dia menghadapi sesuatu yang sepertinya
tidak mungkin untuk dilakukan. Joel Barker mengemukakan bahwa orang-orang yang
tidak mampu menghadapi kesulitan dengn baik menjadi tidak mampu untuk bertindak
kreatif dan memandang segala sesuatunya serba tidak mungkin.
4. Motivasi Dari penelitian Paul G. Stoltz ditemukan bahwa orang-orang yang
mempunyai AQ tinggi dianggap sebagai orang-orang yang memiliki motivasi tinggi
dalam melakukan dan menjadikan segala sesuatunya menjadi lebih baik. Motivasi yang
tinggi akan mendorong seseorang ke tingkat yang mugkin dianggap orang-orang yang
ber-AQ sedang atau rendah sebagai sesuatu hal yang mustahil bahkan tidak mungkin
untuk dilakukan.
5. Mengambil Resiko Seseorang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif,
bersedia untuk mengambil banyak resiko dalam melakukan sesuatu. Resiko merupakan
aspek paling penting dalam pendakian seseorang dalam memposisikan diri lebih tinggi
dari orang lain. Orang yang memandang resiko sebagai suatu hal yang positif dan
merupakan bagian dari sebuah kesuksesan, akan lebih bisa mencoba sesuatu yang tidak
bisa dikerjakan oleh orang yang ber-AQ sedang atau rendah.
6. Ketekunan Ketekunan merupakan inti untuk maju. Ketekunan adalah kemampuan
seseorang untuk terus menerus melakukan sesuatu walaupun kadang dalam segala hal
yang dia lakukan akan dihadapkan dengan berbagai hambatan bahkan kegagalan.
7. Belajar Seseorang dengan respon-respon yang pesimistis terhadap berbagai
hambatan dan kesulitan tidak akan banyak belajar dan menciptakan berbagai peluang
untuk mengatasi kesulitan tersebut dibandingkan dengan orang-orang yang lebih
optimis. Seseorang yang ber-AQ tinggi akan bersikap optimis ketika menghadapi
kesulitan dan hambatan, sehingga setiap hal terjadi selalu dipandang memiliki celah dan
peluang untuk menjadikannya lebih maju.

23
D. Cara mengembangkan Adversity Quotient
Menurut Paul G. Stoltz, cara mengembangkan dan menerapkan AQ dapat diringkas
dalam kata LEAD, yaitu :
1. Listen
Mendengarkan repon terhadap kesulitan merupakan langkah yang penting dalam
mengubah AQ seseorang. Dia akan berusaha menyadari dan menemukan penyebab dari
segala kesulitan dan hambatan yang terjadi, kemudian dia akan menanyakan pada diri
sendiri respon-respon apa yang baik serta menyadari dimensi AQ mana yang lebih
tinggi (Quitter, Champer atau Climber).
2. Explore
pada tahap ini, seseorang didorong untuk menjajaki asal-usul atau mencari
penyebab dari segala masalah dan hambatan yang ada. Setelah itu dia akan berusaha
menemukan mana yang merupakan kesalahannya, lalu mengeksplorasi alternative
tindakan yang paling tepat.
3. Analize
Pada tahap ini, seseorang diharapkan mampu menganalisa apa yang menyebabkan
dia tidak dapat mengendalikan masalah, bahwa kesulitan itu harus menjangkau wilayah
lain dalam kehidupan, serta mengapa kesulitan itu harus berlangsung lebih lama dari
semestinya. Fakta-fakta ini perlu dianalisa untuk menemukan sikap terbaik dalam
mengatasinya.
4. Do
Terakhir, seseorang diharapkan dapat mengambil tindakan nyata setelah melewati
tahapan-tahapan sebelumnya. Dalam hal ini dia diharapkan dapat mendapatkan
informasi tambahan guna melakukan pengendalian akan berbagai situasi yang sangat
sulit, kemudian membatasi jangkauan keberlangsungan masalah saat kesulitan terjadi.
Menurut para ahli psikolgi kognitif, diantara serangkaian luas responrespon
terhadap kesulitan, satu respon yang bisa melumpuhkan adalah menganggap sesuatu
hambatan sebagai bencana. Orang-orang menganggapnya sebagai sebuah bencana
apabila meeka mengubah ketidaknyamanan- ketidaknyamanan sehari-hari menjadi
kemunduran besar, dan mengubah kemunduran-kemunduran besar itu menjadi

24
malapetaka. Menganggap sesuatu sebagai bencana seringkali mencakup merenungi
peristiwa-peristiwa yang buruk secara destruktif. Semakin banyak seseorang merenungi
peristiwa itu di benaknya, semakin mengerikanlah jadinya dan semakin berat serta
semakin besar akibat- akibat yang muncul.
Sebelum sesuatunya menjadi tidak terkendali, kita dapat mengembangkan
keterampilan LEAD ketika mendapatkan hambatan. Pertama, kita gunakan pendengaran
(listen) untuk mempelajari semua masalah yang ada dengan mendengarkan kata hati dan
pendapat orang lain, kemudian kita gali (explore) masalah tersebut untuk mencari asal
penyebab masalah dan berusaha menemukan solusi yang paling tepat untuk keluar dari
permasalahan tersebut. Selanjutnya, kita analisis (analize) mana berbagai macam solusi
yang sudah kita kumpulkan mana yang mempunyai tingkat AQ paling tinggi. Dan yang
terakhir adalah lakukan (do), laksanakan apa yang sudah menjadi ketetapan setelah
melalui tahapantahapan sebelumnya. Karena setiap masalah sejatinya memang harus
dihadapi, bukannya lari dan menghindar jauh

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemimpin adalah orang mampu mempengaruhi dan menggerakkan orang lain
untuk mencapai tujuan dengan kriteria memiliki pengikut, memiliki kekuasaan, dan
memiliki kemampuan. Justru itu, kepemimpinan pada hakikatnya merupakan
kemampuan untuk memengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan.
Pada dasarnya kepemimpinan dapat dilihat dari enam aspek, yaitu: sifatnya, perilaku
atau sikapnya, kemampuan mengelola situasi, jalan-tujuan, kelebihannya, dan
kharismatik yang tampak. Sementara dari aspek kemunculannya, pemimpin itu lahir
muncul berdasarkan keturunannya, kondisi sosial hidupnya, dan kondisi lingkungannya.
Untuk menjadi pemimpin yang memiliki kepemimpinan efektif, maka ada
beberap hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, yaitu: pertama, memiliki
kecerdasan (intelektual, emosional, dan spiritual); kedua, memiliki kemampuan
berkomunikasi, manajemen konflik, memotivasi, dan mengambil keputusan; ketiga,
bekerja secara taktis dan praktis.

B. Saran
Berkaitan dengan kesimpulan di atas maka kita dapat mengemukakan saran
diantaranya setiap pemimpin harus memiliki kecerdasan yang multidimensional meliputi
kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
Sehingga diharapkan dapat meningkatkan atmosfir tempat kerja yang lebih
nyaman, bisa mengayomi dan memberi arahan kepada bawahan dalam menghadapi
permasalahan baik itu di lingkungan kerja internal ataupun eksternal serta bisa mencapai
hasil sesuai target yang di tetapkan.

26
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sanusi & M. Sobry Sutikno. 2008. Kepemimpinan Sekarang dan Masa Depan.
Bandung: Prospect.
Burt Nanus. 1992. Visionary Leadership: Creating a Compelling Sense of Direction for Your
Organization. San Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers
Danin, Sudarwan. 2004. Makalah Kecerdasan Emosional. Jakarta: UNJ.
Dubrin, Andrew J. 2009. Leadership (Edisi Kedua). Jakarta: Prenada Media Group.
Fiedler, F.E., 1967, A Theory of Leadership Effectiveness, McGraw-Hill, New York
Hadari Nawawi & Martini Hadari, M. 2006. Kepemimpinan yang Eektif. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Lako, Andreas. 2004. Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi. Yogyakarta: Amara Books

27

Anda mungkin juga menyukai