Anda di halaman 1dari 17

UJIAN AKHIR SEMESTER IMUNOLOGI INFEKSI

RESPON IMUN TUBUH TERHADAP BAKTERI INTRASELULER


(LEPRA DAN TUBERKULOSIS)

Oleh:
Rosyinta Muim
21222007

PROGRAM STUDI MAGISTER IMUNOLOGI


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas anugerah dan
karunia-Nya, saya selaku penulis akhirnya dapat menyelesaikan review artikel mata
kuliah Imunologi Infeksi terkait “Respon Imun Tubuh terhadap Bakteri
Intraseluler (Lepra dan Tuberkulosis)” sebagai Tugas Ujian Akhir Semester
dalam semester ganjil ini.
Semoga review aryikel ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri
khususnya maupun bagi para pembaca pada umumnya.
Tentu saja sebagai manusia, penulis tidak dapat terlepas dari kesalahan. Dan
penulis menyadari makalah yang dibuat ini jauh dari sempurna. Karena itu penulis
merasa perlu untuk meminta maaf jika ada sesuatu yang dirasa kurang.
Penulis mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritikan demi
perbaikan yang selalu perlu untuk dilakukan agar kesalahan-kesalahan dapat
diperbaiki di masa yang akan datang.

Surabaya, 15 Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i


KATA PENGGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ....................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................... 2
C. TUJUAN ............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. LEPRA (MYCOBACTERIUM LEPRAE)
1. Innate Immunity pada Penyakit Kusta............................................ 3
2. Manipulasi Respon Imunitas Bawaan oleh M. leprae ................... 5
3. Adaptive Immunity pada Penyakit Kusta........................................ 6
4. Reaksi Kusta................................................................................... 8
B. TUBERKULOSIS (MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS)
1. Innate Immunity pada Penyakit Tuberkulosis ............................... 9
2. Adaptive Immunity pada Penyakit Tuberkulosis ........................... 10
3. Penghindaran Respon Imunitas oleh Mtb...................................... 12
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit
dapat dikategorikan menjadi patogen ekstraseluler atau intraseluler dari
perspektif imunopatologis. Bakteri intraseluler dapat membentuk infeksi
persisten dan kadang-kadang dapat menetap seumur hidup, dikarenakan patogen
ini menyebabkan infeksi akut yang harus secara efektif dibersihkan oleh respon
imun. Beberapa bakteri intraseluler ini berhasil menghindari pemantauan respon
imun host dan menyebabkan penyakit dengan mereplikasi di dalam sel host.
Bakteri ini mengembangkan beragam strategi pelarian kekebalan dan mengatasi
respons imun dengan tinggal dan berkembang biak di dalam sel kekebalan inang,
terutama makrofag. Demikian juga, sistem kekebalan tubuh host juga dilengkapi
dengan beragam fungsi efektor untuk melawan pembentukan persistensi patogen
dan kerusakan dalam tubuh host berikutnya (Thakur et al., 2019).
Menurut Abbas et al., (2022), beberapa jenis bakteri intraseluler yang
dapat bertahan hidup dan bereplikasi bahkan ketika tertelan oleh fagosit yaitu
Mycobacterium leprae, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella thypi, Listeria
monocytogenes, Neisseria meningitidis serta Legionella pneumophila.
Karakteristik bakteri fakultatif intraseluler adalah kemampuannya untuk hidup
bahkan bereplikasi di dalam fagosit. Mikroorganisme ini dapat bersembunyi
sehingga tidak terjangkau antibodi dalam sirkulasi. Untuk mengeliminasi bakteri
ini diperlukan respon imunitas seluler (Nasronuddin, 2011).
Respon imun merupakan respon terkoordinasi sel dan molekul terhadap
pathogen dan bahan lainnya yang masuk ke dalam tubuh. Fungsi fisiologis yang
paling umum dari imunitas adalah mencegah dan membasmi infeksi, terutama
infeksi yang disebabkan oleh bakteri intraseluler. Pathogen ini resisten terhadap
degradasi pada makrofag. Dalam proses fagositosis, bakteri intraseluler menjadi
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuclear sehingga kekebalan
innate menjadi tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga
menjadi kronik dan sulit diberantas. Respon imun spesifik terhadap bakteri

1
intraseluler terutama diperankan oleh CMI (cell mediated immunity) oleh sel
limfosit T namun fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperankan oleh
makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama IFN-
α (Munasir, 2016).
Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung.
Sitokin IFN-α akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi
untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga
menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan
pengumpulan makrofag local yang teraktivasi yang membentuk granuloma di
sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi
seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas dan
menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Kerusakan jaringan ini disebabkan
terutama oleh respon imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraseluler,
misalnya infeksi mycobacterium. Mycobacterium tidak memproduksi toksin
atau enzim yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan
pertama terhadap mycobacterium akan merangsang inflamasi selular lokal dan
bakteri berproliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan Sebagian
ada yang menjadi dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi
terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi
granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan
bakteri berikutnya (Munasir, 2016).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah respon imunitas tubuh terhadap bakteri (Mycobacterium
leprae dan Mycobacterium tuberculosis)?
2. Apa sajakah mekanisme penghindaran respon imun terhadap bakteri
(Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis)?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui respon imunitas tubuh terhadap bakteri intraseluler
(Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis).
2. Untuk mengetahui mekanisme penghindaran respon imun terhadap bakteri
(Mycobacterium leprae dan Mycobacterium tuberculosis).

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. LEPRA (MYCOBACTERIUM LEPRAE)
Mycobacterium leprae merupakan penyebab penyakit kusta, dimana
respon imun pada penyakit ini sangat kompleks karena melibatkan respon imun
seluler dan humoral. Mycobacterium leprae adalah bakteri obligat intraseluler,
dimana respon imun yang berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap
infeksi ini adalah respon imun seluler, yang merupakan hasil dari aktivasi
makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi
atau menghancurkan bakteri. Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivitas
makrofag dengan meningkatkan kemampuannya dalam menekan multiplikasi
atau menghancurkan bakteri ini. Sedangkan respon imun humoral adalah
aktivitas sel limfosit B yang berada dalam jaringan limfosit dan aliran darah.
Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan mengubah sel limfosit B
menjadi sel yang yang menghasilkan antibodi untuk membantu dalam proses
opsonisasi. Namun, pada penyakit kusta fungsi respon imun humoral ini tidak
efektif dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena
diproduksi secara berlebihan yang tampak pada kusta lepramatosa (Amelia,
2017).
Penyakit ini menginfeksi kulit dan saraf perifer penderita yang terinfeksi
(Chandran et al., 2021). Penyakit kusta diklasifikasikan dalam 6 bentuk, yaitu
bentuk tuberkuloid polar (TT) dan kusta lepromatosa (LL) serta tuberkuloid
batas menengah (BT), batas batas (BB) dan bentuk lepromatosa batas (BL) dan
terakhir kusta intermediate (IL) (Fonsesca et al., 2017). Sel schwann merupakan
sel penyokong system saraf tepi yang merupakan target utama dari M. leprae.
Dikatakan bahwa M. leprae masuk ke dalam saraf mencapai sel schwann dengan
cara menempel pada permukaan sel schwann dan ditelan, namun sel schwann
tidak mampu menghancurkan M. leprae (Pinheiro et al., 2018).
1. Innate Immunity pada Penyakit Kusta
Menurut Pinheiro et al (2018), beberapa respon imun bawaan yang
berkaitan dengan penyakit kusta adalah:

3
a. Makrofag, yang berperan penting dalam pathogenesis kusta, dimana
selama respon inflamasi, sel-sel endotel yang tidak distimulasi memicu
monosit menjadi makrifag M2 dan IFN-γ mengaktifkan sel-sel endotel
untuk menginduksi monosit untuk berdiferensiasi menjadi makrofag M1
dengan mekanisme yang diatur oleh JAG1, protein yang terlokalisasi di
endothelium vaskular.
b. Sel dendritik, dimana pada lesi pasien kusta tuberkuloid, sel dendritik
dihubungkan dengan matriks metalloproteinase (MMP)-12 dan
berkontribusi pada pembentukan granuloma. Komponen M. leprae
memicu CD209 pada DC untuk menginduksi produksi IL-10 dalam sel
lepramatosa. CD209 dapat berfungsi juga sebagai reseptor masuk untuk
M. leprae ke dalam host. Sel dendritik memfagositosis M. leprae dan
mengekspresikan antigen yang berasal dari bakteri, seperti glikolipid
fenolik 1 (PGL-1). Dikatakan juga bahwa M. leprae menurunkan kapasitas
DC dalam menginduksi respon sel T dengan mekanisme yang melibatkan
PGL-1 ini, dikarenakan blockade PGL-1 di permukaan DC meningkatkan
respon CD4 dan CD8 dan merusak pematangan dan aktivasi sel dendritik,
sehingga hal ini dapat memfasilitasi kelangsungan hidup M. leprae.
c. Keratinosit, mengekspresikan ICAM-1 ditemukan pada lesi dari pasien
kusta yang menunjukkan respon imun seluler yang kuat terhadap M.
leprae, tuberkuloid, namun tidak pada lesi lepramatosa. Keratinosit lebih
rentan terhadap infeksi M. leprae dibandingkan sel dendritik yang secara
spontan membuat konsentrasi peptide antimikroba cathelicidin yang lebih
tinggi. Dalam lesi kulit tubekuloid, keratinosit merupakan produsen utama
CXCL-10 tetapi tidak pada sel lepramatosa, karena diperlukan IFN-γ yang
diproduksi oleh sel T untuk menginduksi kemokin ini.
d. Sel Schwann, dimana M. leprae dapat menginfeksi sel Schwann mielinasi
dan non-mielinasi pada pasien kusta. M. leprae dapat menghasilkan sel
Schwann yang terdiferensiasi dengan menyebabkan demielinasi awal

4
untuk membentuk sel, memasuki sel dan kemudian memprogram ulang ke
tahap progenitor atau sel seperti sel induk (pSLCs) untuk menyebarkan
infeksi. M. leprae menginduksi sejumlah besar gen terkait kekebalan yang
Sebagian besar terdiri dari kekebalan bawaan dari tahap awal infeksi sel
Schwann dan memuncak dalam ekspresi ketika sel Schwann mengubah
identitasnya menjadi pSLC. M. leprae juga memodulasi metabolisme
glukosa sel Schwann untuk meningkatkan generasi kapasitas reduksi dan
kontrol radikal bebas. Sel Schwann pada lesi kulit dari pasien kusta
mengekspresikan TLR2. Dalam biopsi saraf pasien dengan neuritis,
diidentifikasi TNF, reseptor TNF dan enzim pengubah TNF dalam sel
Schwann. Bahkan, ada pendapat yang mengungkapkan bahwa ligan M.
leprae menginduksi kematian sel Schwann dengan melibatkan jalur TLR2
dan TNF serta ada kemungkinan kontribusi dari sitokin pro inflamasi
untuk apoptosis sel Schwann.
e. Neutrofil, akan melepaskan TNF dan IL-8 setelah stimulasi dengan M.
leprae, serta tingkat apoptosis neutrofil ENL lebih tinggi pada pasien
lepramatosa. Neutrofil yang beredar mengekspresikan CD64 pada
permukaan sel, dan tingkat keparahan ENL dikaitkan dengan tingkat
ekspresi CD64 yang tinggi. PTX3 atau pentraxin-3, protein yang diinduksi
oleh sinyal inflamasi primer seperti TNF dan IL-1β juga dikaitkan dengan
peningkatan ENL. Ditemukan juga bahwa terdapat hubungan anara kadar
serum PTX3 dan ekspresi permukaan CD64 pada neutrofil yang
bersirkulasi.
2. Manipulasi Respon Imun Bawaan oleh M. leprae
Menurut Pinheiro et al (2018), beberapa manipulasi respon imun
bawaan yang dapat menjadi perlindungan pada infeksi oleh M. leprae yaitu:
a. TLR (Tol Like Receptor), dimana peran dari TLR1 dan 2 dalam reaksi
kusta dikatakan dapat berkontribusi dalam perjalanan penyakit kusta.
b. NLRs (Nod-Like receptors), dimana dikatakan bahwa reseptor ini dapat
merekrut dan mengaktifkan caspases inflamasi menjadi inflamasom atau
dapat memicu peradangan melalui jalur yang berbeda termasuk NFkB

5
mitogen-activated protein kinase dan jalur faktor pengatur. Disebutkan
juga bahwa terdapat data yang menunjukkan bahwa blockade fagositosis
menghambat produksi IL-1β dan TNF sebagai respon terhadap M. leprae.
c. Apoptosis, dimana terdapat bukti suatu penelitian bahwa pada pasien
tuberkuloid, apoptosis merupakan mekanisme yang berkontribusi untuk
mempertahankan infeksi.
d. Komplemen Kaskade, dimana dikatakan bahwa ketika terganggu, M.
leprae mengaktifkan komplemen dan polimorfisme pada gen kaskade
komplemen yang menunjukkan adanya hubungan gen komplemen dengan
kerentanan kusta.
e. Autofagi, dimana dilaporkan bahwa meskipun aktivasi autofagi terjadi
sebagai respon terhadap infeksi M. leprae pada makrofag, namun ia juga
mempromosikan respon anti-inflamasi yang dimediasi sel T penghasil IL-
10, yang dalam siklus umpan balik negatif menghambat autofagi dan
memungkinkan kelangsungan hidup M. leprae pada makrofag. Pada
gambar 1.1, ditunjukkan bahwa makrofag jaringan lepramatosa
berinteraksi dengan M. leprae. BCL2 berkolokalisasi dengan mikrobakteri
beclin 1 yang memungkinkan kelangsungan hidup M. leprae melalui
penghambatan autofagi.
3. Adaptive Immunity pada Penyakit Kusta
M. leprae awalnya dikenali oleh beberapa reseptor imun bawaan
termasuk TLR, kemudian M. leprae mengaktifkan heterodimer TLR1/2 yang
diekspresikan dalam makrofag kulit yang memediasi aktivasi sel untuk
memulai pembunuhan M. leprae. Sel schwann juga dapat mengekspresikan
TLR2 dan aktivasi TLR2 dan berkontribusi terhadap kerusakan saraf pada
kusta. Pada pasien kusta tuberkuloid (TT), respon imun bawaan diaktifkan
oleh TLR1/2. IL-15 merangsang program antimikroba yang bergantung pada
vitamin D dalam makrofag dan menghambat fagositosis mikrobakteri.
Peristiwa ini mempromosikan respon sitokin sel Th1 (IFN-γ, IL-2, TNF dan
IL-15) yang mengandung infeksi pada granuloma yang terbentuk dengan baik
dan respon Th17 (IL-17A, IL-17F, IL-21 dan IL22) yang mengarah pada

6
peradangan dan penghancuran jaringan, rekrutmen neutrophil, aktivasi
makrofag dan peningkatan sel efektor Th1. Sedangkan pada pasien kusta
lepromatosa (LL), IL-4, IL-10, LILRA2 dan fosfolipid teroksidasi
menghambat sitokin yang diinduksi TLR1/2 namun mempertahankan
pelepasan IL-10. Kompleks imun akan memicu produksi IL-10 dan
meningkatkan fagositosis M. leprae, ApoB, kompleks haptoglobin-
hemoglobin dan fosfolipid teroksidasi oleh makrofag melalui reseptor CD209
dan CD163, tanpa mengaktifkan jalur antimikroba yang bergantung pada
vitamin D. penampilan makrofag yang berbusa disebabkan oleh akumulasi
tetesan lipid di dalam sel-sel ini. Kemudian terjadi peningkatan perilipin dan
protein terkait diferensiasi adiposa dalam kompleks RE-golgi dengan
pembentukan vesikel yang mengandung lipid, fosfolipid, ester kolestrol dan
kolestrol. Selanjutnya, ada peningkatan sintesis reseptor LDL (CD36, LDL-
R, SBA-1, SR-B1 dan LRP-1) dan penyerapan kolestrol endogen yang
terakumulasi secara intraseluler. Hal ini mengiduksi profil kekebalan Th2 dan
Treg dengan produksi IL-4 dan IL-10, produksi antibody, tidak adanya
granuloma dan kegagalan untuk membatasi pertumbuhan M. leprae.
Kemudian, sel dendritik sebagai sel penyaji antigen akan berperan dalam
menghubungkan imunitas bawaan dan adaptif. Namun, dikatakan pada
beberapa penelitian bahwa pada pasien lesi TT, sel dendritik tidak terlibat
dalam respon imun terhadap M. leprae (Fonsesca et al., 2017).

Gambar 2.1 Adaptive Immunity Kusta


(Sumber: Aryal, 2022)

7
4. Reaksi Kusta
Menurut Aryal (2022), Reaksi kusta terdiri dari dua jenis, yaitu:
a. Reaksi lepra Tipe-1, disebut sebagai reaksi pembalikan dan terjadi pada
kasus batas (BT, BB, BL) yang mengembangkan imunitas yang dimediasi
sel dan akibatnya bergeser ke arah bagian spektrum tuberkuloid. Secara
klinis ada eritema dan pembengkakan lesi kulit yang mungkin mengalami
ulserasi dan terdapat respons Th1 yang dominan dengan peningkatan kadar
IFN-γ dan IL-2.
b. Reaksi Lepra Tipe-2, dikembangkan terutama pada pasien lepromatosa
(LL atau BL) selama menjalani kemoterapi. Fitur yang paling umum
adalah tanaman papula eritematosa yang menyakitkan, yang menjadi
nodular disebut sebagai ENL. Kekambuhan sering terjadi dan kasus
berulang lebih parah dan terdapat respons Th2 yang dominan dengan
peningkatan kadar IL-6 dan IL-8. TNF-α memainkan peran sentral dalam
imunologi ENL.

Gambar 2.2 Karakteristik Reaksi Kusta


(Sumber: Aryal, 2022)
B. TUBERKULOSIS (MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS)
Mycobacterium tuberculosis adalah pathogen intraseluler yang dapat berada
dalam tubuh host bahkan hingga bertahun-tahun yang menyebabkan penyakit
tuberculosis. Penyakit TB terjadi ketika respon patologis yang menginfeksi paru-
paru dan peradangan kronis mendominasi respon imun untuk membatasi
penyakit dan membunuh bakteri Mtb. Namun, Mtb dapat menghindari respon

8
imun dan mengganggu ikatan antara imunitas bawaan dan adaptif sehingga
memperparah penyakit (Liu et al., 2017).
1. Respon Imun Bawaan Mtb
Mycobacterium Tuberculosis yang terhirup akan masuk melalui
mukosa saluran napas yang merupakan dinding penghalang terhadap invasi
patogen serta sebagai situs induksi atau tempat awal dimulainya respons imun
mukosa yang selanjutnya secara bertahap memberikan pertahanan lini
pertama bagi host untuk mempertahankan diri dari patogen. Jika pertahanan
pertama ini berhasil mengeliminasi Mtb dengan cepat, infeksi akan berhenti.
Namun, jika tidak berhasil akan terjadi fagosit (Wahyuniati, 2018). Mtb yang
terhirup ke dalam alveoli paru, maka akan segera difagositosis oleh makrofag
alveolar dengan dikenali oleh reseptor pengenalan pola termasuk TLR
(seperti TLR1, TLR2, TLR4, TLR7, TLR8 dan TLR9), NLR (seperti NOD1,
NOD2, NLRP3 dan NLRC4) dan reseptor slektin tipe-C (seperti MR, DC-
SIGN, Mincle, Dectin-1, Dectin-2, Dectin-3, CL-LK dan DCIR) serta fungsi
seluler yang terlibat dalam pertahanan imun bawaan terhadap Mtb (Liu et al.,
2017).

Gambar 2.1 Imunitas Bawaan Mtb


(Sumber: Liu et al, 2017)
Di dalam makrofag, Mtb dapat hidup dan bermultiplikasi dikarenakan
makrofag merupakan tempat yang cocok untuk Mtb dengan cara menghambat
penyatuan fagosom yang berisi Mtb dengan lisosom, sehingga terhindar dari
degradasi oleh enzim hidrolitik. Multiplikasi Mtb di dalam makrofag akan
membuat jumlah bakteri ini semakin bertambah dan kemudian akan
menyebar ke makrofag dan dendritik lain yang baru direkrut oleh sistem
pertahanan tubuh untuk membantu proses eliminasi Mtb. Sejumlah subset

9
Mtb juga akan berpindah dari paru ke kelenjar getah bening lokal. Di kelenjar
getah bening lokal Mtb akan menginisiasi respon imun adaptif melalui proses
presentasi antigen ke sel limfosit T naif. Pada beberapa kondisi, sejumlah
populasi bakteri Mtb akan disebarkan ke organ-organ perifer lain melalui
aliran darah, Mtb akan berada pada kondisi laten selama beberapa dekade
sebelum mengalami reaktivasi yang akan menyebabkan tuberkulosis
ekstrapulmoner. Setelah muncul respon imun adaptif seluler (kira-kira 3
minggu setelah infeksi awal), yang didominasi oleh sel limfosit T CD4+ yang
menunjukkan diferensiasi ke arah Th1, pertumbuhan Mtb di paru akan
terhambat, dan proses perkembangan penyakit akan berhenti sementara
(Wahyuniati, 2018).
2. Respon Imun Adaptif Mtb
Sifat khas yang dimiliki oleh bakteri intraseluler fakultatif seperti Mtb
adalah kemampuannya untuk dapat bertahan hidup bahkan dapat melakukan
multiplikasi di dalam sel fagosit. Oleh karena mikroba ini mampu
bersembunyi dari antibodi host yang bersirkulasi, maka proses eliminasi
mikroba ini membutuhkan mekanisme cell-mediated immunity. Menurut
Wahyuniati (2018), Cell-mediated immunity terdiri dari 2 tipe reaksi:
a. Sel T CD4+ merekrut sel fagosit dan mengaktivasi mereka melalui CD40
ligand dan IFN-γ yang akan membunuh mikroba yang telah difagositosis.
b. Cytotoxic T lymphocytes CD8+ membunuh sel host yang telah terinfeksi.
IFN-γ akan mengaktivasi sejumlah jalur signaling dan faktor-faktor
transkripsi, terutama yang paling penting dalam hal ini adalah STAT1 (Signal
tranducer and activator of transcription 1), sedangkan sinyal dari Toll like
receptor (TLR) dan CD40 akan mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB dan
activation protein 1 (AP-1). Faktor-faktor transkripsi ini akan menstimulasi
ekspresi sejumlah enzim pada fagolisosom makrofag, meliputi: enzim fagosit
oksidase, yang akan menginduksi produksi reactive oxygen species (ROS);
inducible nitric oxide synthase (iNOS), yang menstimulasi produksi nitric
oxide (NO); dan enzim-enzim lisosom. Berbagai substansi ini akan
menghancurkan mikroba yang telah diingesti di dalam vesikel serta juga

10
bertanggung jawab atas fungsi-fungsi mikrobisidal yang dimainkan oleh
makrofag yang telah teraktivasi. IFN-γ juga menstimulasi produksi isotypes
antibodi (seperti IgG2a pada mencit) yang akan mengaktivasi komplemen
dan mengopsonisasi bakteri untuk difagositosis, yang mana hal ini akan
membantu fungsi efektor makrofag (Wahyuniati, 2018).
Adanya interaksi antara makrofag yang telah terinfeksi Mtb dan sel
limfosit T juga akan menimbulkan pelepasan berbagai mediator seperti IL-
1β, IL-6, IL-10 dan TNF-α. Berbagai sitokin ini memainkan peran regulasi
tertentu yang dapat mengontrol atau bahkan dapat meningkatkan
pertumbuhan Mtb di dalam makrofag. IFN-γ, TNF-α dan IL-18 masing-
masing berkontribusi untuk menghambat pertumbuhan Mtb, namun peran
masing-masing sitokin ini memperlihatkan suatu mekanisme pengontrolan
pertumbuhan Mtb yang lebih efektif (Wahyuniati, 2018).
Mekanisme autophagy merupakan mekanisme pertahanan innate
yang sangat berperan dalam mengeliminasi bakteri-bakteri patogen
intraseluler. Adanya induksi autophagy akan mengantarkan mikobakteria ke
dalam lisosom yang mana hal ini akan menyebabkan berhasil dibunuhnya
bakteri tersebut. IFN-γ telah diketahui dapat menginduksi terjadinya
mekanisme autophagy pada sel yang terinfeksi mikobakteria. Induksi
autophagy oleh IFN-γ ini berhubungan dengan imunitas protektif terhadap
tuberkulosis. Namun, bagaimana mekanisme pasti timbulnya autophagy
akibat induksi IFN-γ belum diketahui secara jelas. Sitokin-sitokin TH2 seperti
IL-4 dan IL-13 menghambat autophagy akibat induksi IFN-γ, hal ini telah
ditunjukkan pada makrofag mencit dan manusia. IL-6 yang yang dihasilkan
oleh makrofag yang terinfeksi mikobakteria juga secara selektif menghambat
respon makrofag terhadap IFN-γ, namun apakah IL-6 turut berperan dalam
mekanisme autophagy yang diinduksi IFN-γ belum diketahui dengan pasti
(Wahyuniati, 2018).

11
Gambar 2.3 Adaptive Immunity Mtb
(Sumber: Syafa’ah & Yudhawati, 2016)
3. Penghindaran Respon Imunitas oleh Mtb
Bakteri Mtb telah mengembangkan berbagai strategi untuk melawan
eliminasi oleh fagosit, yaitu diantaranya menghambat fusi fagolisosom atau
melarikan diri ke dalam sitosol dan secara langsung menonaktifkan zat
mikrobisida seperti ROS. Hasil dari infeksi oleh organisme ini biasanya
sering tergantung pada keunggulan dari sel T makrofag atau resistensi
makrofag terhadap mekanisme antimikroba yang dirangsang. Resistensi
terhadap eliminasi yang dimediasi oleh fagosit juga merupakan alasan bakteri
penyebab penyakit kronis ini sulit untuk diberantas, dan bertahan dalam
keadaan laten diam dalam fagosit dan menjadi aktif saat sistem kekebalan
terganggu (Abbas et al., 2022).

12
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa referensi yang digunakan, dapat ditarik sebuah kesimpulan
sebagai berikut:
1. Beberapa bakteri intraseluler ini berhasil menghindari pemantauan respon imun
host dan menyebabkan penyakit dengan mereplikasi di dalam sel host.
2. Beberapa jenis bakteri intraseluler yang dapat bertahan hidup dan bereplikasi
bahkan ketika tertelan oleh fagosit yaitu Mycobacterium leprae, Mycobacterium
tuberculosis, Salmonella thypi, Listeria monocytogenes, Neisseria meningitidis
serta Legionella pneumophila.
3. Imunitas alami bakteri intraseluler (M.leprae dan Mtb) terutama melalui peran
penting fagosit, neutrofil dan NK sel dan respon adaptifnya adalah melalui
imunitas seluler, yang terdiri atas dua tipe reaksi yaitu makrofag oleh CD4+ Th1
dan lisis sel terinfeksi oleh CD8+.
4. Mekanisme penghindaran respon imun M. leprae yaitu melalui TLR, NLRs,
apoptosis, komplemen kaskade dan autofagi.
5. Mekanisme penghindaran respon imun Mtb untuk melawan eliminasi oleh
fagosit, yaitu diantaranya menghambat fusi fagolisosom atau melarikan diri ke
dalam sitosol dan secara langsung menonaktifkan zat mikrobisida seperti ROS.

13
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. (2022). Cellular and Molecular Immunology (10th
ed.). Elsevier.

Amelia, R. A. (2017). Pendampingan Masyarakat Mantan Penderita Kusta. ALTER.

Aryal, S. (2022). Pathogenesis and Clinical Manifestations of Mycobacterium leprae. In


Microbe Notes.

Chandran, S. L. N., Geluk, A., Saunderson, P., & Richardus, J. hendrik. (2021).
Mycobacterium leprae transmission characteristics during the declining stages of leprosy
incidence: A systematic review. PLOS Neglected Tropical Diseases, 2.
https://doi.org/https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0009436

Fonsesca, A. B. de L., Simon, M. do V., Cazzaniga, R. A., Moura, T. R. de, Almeida, R. P. de,
Duthie, M. S., Reed, S. G., & Jesus, A. R. de. (2017). the Influence of Innate and
Adaotative Immune Responses on The Differential Clinical Outcomes of Leprosy.
Infectious Disease of Poverty, 6(5).

Liu, C. H., Liu, H., & Ge, B. (2017). Innate immunity in tuberculosis: host defense vs pathogen
evasion. Cellular & Molecular Immunology, 14(12), 963–975.
https://doi.org/https://doi.org/10.1038%2Fcmi.2017.88

Munasir, Z. (2016). Respons Imun terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatri, 2(4), 193.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14238/sp2.4.2001.193-7

Nasronuddin. (2011). Penyakit Infeksi di Indonesia & Solusi Kini Mendatang (Nasronuddin,
U. Hadi, M. Vitanata, E. A. Triyono, Bramantono, Suharto, E. Soewandojo, A. R. P.
Rahayu, & I. S. Tantular, Eds.; 2nd ed.). Airlangga University Press.

Pinheiro, R. O., Schmitz, V., Silva, B. J. de A., Dias, A. A., & Souza, B. J. de. (2018). Innate
Immune Responses in Leprosy. National Library of Medicine, 9(518).

Syafa’ah, I., & Yudhawati, R. (2016). Peran Imunitas Mukosa terhadap Infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Jurnal Respirasi, 2(2), 61–68.

Thakur, A., Mikkelsen, H., & Jungersen, G. (2019). Intracellular Pathogens: Host Immunity
and Microbial Strategies. Journal of Immunology Research.

Wahyuniati, N. (2018). Peran Interferon Gamma pada Infeksi Mycobacterium Tuberculosis.


Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 18(2). https://doi.org/10.24815

14

Anda mungkin juga menyukai