Anda di halaman 1dari 27

HUBUNGAN ANTARA DIABETE MELITUS TIPE 2

DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH


PADA USIA DEWASA DI WILAYAH CIPUTAT PADA
TAHUN 2023

Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk


memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN

OLEH :
Fathan Akbar Al Bahri
NIM: 11221330000030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
Lampiran 2
Contoh Lembar Pernyataan Keaslian Karya

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 13 Sepetember 2023

Materai
Rp 6000

Fathan Akbar AlBahri


Lampiran 3
Contoh Lembar Persetujuan Pembimbing

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TENAGA KESEHATAN


TENTANG PENGGUNAAN SARUNG TANGAN

Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)

Oleh
Fathan Akbar Al Bahri
NIM: 11221330000030

Pembimbing

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
Lampiran 4
Contoh Lembar Pengesahan
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Laporan Penelitian berjudul PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU


TENAGA KESEHATAN TENTANG PENGGUNAAN SARUNG TANGAN
yang diajukan oleh Azakia Fahrayni (NIM: 0000000000), telah diujikan dalam
sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 20 November 2009.
Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi Pendidikan Dokter.

Jakarta, 20 November 2009

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang
Pembimbing Penguji

DR. dr. Santoso, M. Kes, SpB DR. Dr. Etika Hanoko, MSc.

PIMPINAN FAKULTAS

Dekan FKIK UIN Kaprodi PSPD FKIK UIN

Prof. Dr.MK. Tadjudin, SpAnd DR. Syarief Hasan Lutfie, Sp. RM.
Lampiran 5

Contoh Abstrak
ABSTRAK

Nama. Program Studi. Judul Laporan Penelitan. Tahun Penelitan. (Bahasa Indonesia)

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Kata Kunci : xxxxxxxxxxx

Nama. Program Studi. Judul Laporan Penelitan. Tahun Penelitan. (Bahasa Inggris)

Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Keyword : xxxxxxxxxxxxxx
BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih atau ISK adalah salah satu penyakit yang terjadi dikarenakan oleh
infeksi bakteri. Pada keadaan tubuh yang normal tidak terdapat bakteri pada saluran kemih. Baik
itu di ginjal, ureter, kandung kemih maupun pada uretra. Saluran kemih adalah daerah yang steril,
tidak terdapat bakteri. Apabila terdapat bakteri pada saluran kemih, bakteri tersebut dapat
menginfeksi saluran kemih tergantung tempat bakteri tersebut,yakni ginjal, ureter, kandung
kemih, dan uretra. Secara umum infeksi saluran kemih terjadi dikarenakan bakteri yang berada
pada uretra kembali naik menuju kandung kemih. Infeksi saluran kemih ini tergolong kedalam
infeksi saluran kemih yang naik (ascending). Infeksi saluran kemih ini juga dapat digolongkan
kedalam infeksi saluran kemih bagian bawah yang mana infeksi bakteri tersebut terjadi di uretra
atau kandung kemih. [7] Bakteri yang ada pada saluran kemih akan berkembang biak atau
kolonisasi. Tubuh akan menjalankan respon untuk membunuh bakteri tersebut, yakni inflamasi.[4]
Hal ini akan menyebabkan gejala-gejala yang timbul, seperti meningkatnya frekuensi buang air
kecil, terasa nyeri pada saat buang air kecil, atau bisa juga dapat terjadi demam dan menggigil
pada beberapa kasus infeksi saluran kemih.[1] Bakteri yang menjadi penyebab dominan terjadinya
infeksi saluran kemih adalah Escherichia coli.[2] Di indonesia, penderita infeksi saluran kemih
terjadi pada usia baik muda maupun tua.[7] Walaupun infeksi saluran kemih dapat terjadi pada
semua usia, terdapat peningkatan angka prevalensi. Pada usia 70 tahun, terjadi peningkatan angka
prevalensi Sebesar 5%-10%. Sedangkan, pada usia 80 tahun terjadi peningkatan angka prevalensi
sebesar 20%. Di indonesia setiap tahunnya terjadi 180.000 kasus infeksi saluran kemih. [8] Infeksi
saluran kemih dapat berkembang semakin parah apabila tidak dilakukan atau diberikan
penanganan cepat dan tepat. Infeksi saluran kemih yang berkelanjutan dapat memberikan
kerusakan pada ginjal. Oleh sebab itu, diperlukan penanganan yang tepat dan juga cepat.
Salah satu faktor resiko terjadinya infeksi saluran kemih adalah diabetes melitus. Diabetes
melitus adalah sebuah penyakit yang mana tubuh tidak ada mengontrol kadar glukosa di dalam
tubuh penderita. Tingginya kadar glukosa pada tubuh dikarenakan asupan glukosa yang tinggi
atau dapat juga terjadi dikarenakan menurunnya sekresi hormon insulin pada tubuh.[5] Pada
penderita diabetes akan mengalami kondisi yang bernama hiperglikemia. Hiperglikemia adalah
sebuah kondisi dimana kadar glukosa pada darah dalam kondisi yang tinggi dibandingkan kondisi
normalnya. Hal ini dapat mengganggu proses inflamasi. Proses inflamasi yang bertujuan untuk
mempertahankan sistem tubuh dari serangan patogen-patogen.[1] Apabila proses ini terganggu
patogen yang menyerang tubuh tidak dapat teratasi secara sempurna. Pada penderita diabetes
melitus, apabila terdapat infeksi bakteri di saluran kemih, proses inflamasi yang seharusnya
berjalan dengan normal menjadi terganggu. Hal ini menyebabkan pembasmian bakteri yang
menginfeksi saluran kemih menjadi tidak sempurna. Bakteri masih dapat berkolonisasi dan dapat
menyebabkan gejala infeksi saluran kemih.
Terdapat beberapa penelitian yang membahas hal yang serupa. Sebuah penelitian
mendapatkan hasil bahwa pada penderita diabetes melitus selama 10 tahun dapat meningkatkan
resiko terjadinya infeksi saluran kemih.[3] Penelitian lain juga menjelaskan bahwa pengendalian
gula darah yang kurang atau buruk dapat meningkatkan terjadi komplikasi Infeksi saluran kemih.
[3] Adapula sebuah penelitian yang ada di indonesia mendapatkan hasil 47% yang menderita
infeksi saluran kemih dari penderita diabetes yang diujikan ada penelitian ini. [4]
Diabetes melitus memiliki peran terjadinya infeksi saluran kemih. Salah satu jenis diabetes
melitus, yakni diabetes melitus tipe 2. Salah satu jenis infeksi saluran kemih, yakni infeksi saluran
kemih komunitas. Infeksi saluran kemih komunitas adalah infeksi bakteri yang terjadi pada
lingkungan masyarakat. Diabetes melitus tipe 2 dan infeksi saluran kemih komunita akan menjadi
variabel pada penelitian ini. Pada penelitian ini akan membahas lebih lanjut hubungan antara
diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran kemih komunitas. Penelitian ini akan lebih
berfokus pada wilayah Ciputat.
1.2 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran kemih
komunitas pada usia dewasa di wilayah Ciputat Pada 2023?

1.3 Hipotesis

Terdapat hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran kemih
komunitas pada usia dewasa di wilayah Ciputat pada 2023

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum


 Untuk mengetahui hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran
kemih komunitas pada usia dewasa di wilayah Ciputat pada tahun 2023

1.4.2 Tujuan Khusus

• Untuk mengetahui gambaran prevalensi pasien diabetes melitus tipe 2 pada pasien dewasa
di wilayah Ciputat
• Untuk mengetahui gambaran prevalensi pasien Infeksi saluran kemih komunitas pada
dewasa di wilayah Ciputat pada tahun 2023
• Untuk mengetahui hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan kejadian infeksi saluran
kemih komunitas pada usia dewasa di wilayah Ciputat pada tahun 2023

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

• Meningkatkan kemampuan dalam bidang ilmiah


• Memperbaiki kemampuan dalam bidang penulisan
• Menambah ilmu serta wawasan penyakit infeksi saluran kemih
• Memenuhi syarat untuk kelulusan peneliti pada modul IRM

1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran

• Menambah sumber literatur untuk penelitian yang berkaitan dengan Infeksi Saluran
Kemih

1.5.3 Bagi Masyarakat

• Memberikan pengetahuan tentang infeksi saluran kemih pada Masyarakat.


2.1 Kerangka/Landasan Teori

2.1.1 Infeksi Saluran Kemih


2.1.1.1 Definisi
Bakteriuria adalah adanya bakteri dalam urin; bisa tanpa gejala atau dengan gejala. Infeksi saluran
kemih adalah keberadaan pertumbuhan murni dari >10.000 organisme per mL air seni segar. ISK
bagian bawah: uretra (uretritis), kandung kemih (sistitis), prostat (prostatitis). ISK bagian atas:
pelvis ginjal (pielonefritis). Hingga sepertiga wanita dengan gejala memiliki MSU negatif (=
sistitis tanpa bakteri atau sindrom uretra). [oxford handbook]
ISK dapat tidak menimbulkan gejala (infeksi subklinis) atau menimbulkan gejala
(penyakit). Oleh karena itu, istilah infeksi saluran kemih mencakup berbagai entitas klinis,
termasuk bakteriuria tanpa gejala , sistitis, prostatitis, dan pielonefritis. Perbedaan antara ISK
dengan gejala dan ASB memiliki implikasi klinis yang penting. Baik infeksi saluran kemih
maupun bakteriuria mengindikasikan adanya bakteri dalam saluran kemih, biasanya disertai
dengan sel darah putih dan sitokin peradangan dalam urin.
Namun, bakteriuria terjadi tanpa adanya gejala yang dapat dikaitkan dengan bakteri di
saluran kemih dan biasanya tidak memerlukan pengobatan,
sedangkan infeksi saluran kemih umumnya diasumsikan sebagai penyakit yang menunjukkan
gejala yang memerlukan terapi antimikroba. Sebagian besar literatur mengenai infeksi saluran
kemih, terutama infeksi terkait kateter, tidak membedakan antara infeksi saluran kemih dan
bakteriuria. Istilah infeksi saluran kemih merujuk pada penyakit yang menunjukkan gejala;
sistitis, infeksi yang menunjukkan gejala pada kandung kemih; dan pielonefritis, infeksi yang
menunjukkan gejala pada ginjal. Infeksi saluran kemih yang tidak rumit mengacu pada sistitis
atau pielonefritis akut pada wanita non hamil tanpa kelainan anatomi atau alat bantu pada saluran
kemih; istilah infeksi saluran kemih yang rumit mencakup semua jenis ITU lainnya. Infeksi
saluran kemih berulang tidak selalu rumit; episode individu dapat dianggap tidak rumit dan
diobati sebagai demikian. Bakteriuria terkait kateter dapat berupa gejala atau tanpa gejala.
[Harrison 20th]
2.1.1.2 Anatomi Saluran Kemih
Sistem saluran kemih penting dalam mengatur volume, komposisi elektrolit, dan pH lingkungan
internal; mengeluarkan zat sisa dan kelebihan air, garam, asam, dan elektrolit lain dari plasma dan
membuangnya ke dalam urin. [Sherwood 8th] Sistem saluran kemih meliputi:
1. Ginjal (Renal)
Ginjal berperan penting dalam mempertahankan homeostasis dengan mengatur konsentrasi
berbagai konstituen plasma, khususnya elektrolit dan air, dan dengan mengeliminasi semua
sampah metabolik (kecuali karbondioksida yang dikeluarkan oleh paru). Sewaktu plasma difiltrasi
secara cepat melalui ginjal, mereka memelihara konstituen yang bernilai bagi tubuh dan
mengeliminasi bahan yang berlebih dan yang tidak diinginkan di dalam urine. Suatu hal yang
penting adalah kemampuan ginjal untuk mengatur volume dan osmolaritas (konsentrasi solut)
lingkungan cairan internal dengan mengontrol keseimbangan cairan dan garam. Hal yang juga
penting adalah kemampuan ginjal dalam mengatur pH dengan mengontrol eliminasi asam dan
basa di urine

Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik berikut, yang sebagian besar di antaranya


membantu
mempertahankan stabilitas lingkungan cairan internal:
1. Mempertahankan keseimbangan air
2. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh yang sesuai, terutama melalui regulasi
keseimbangan H20. Fungsi ini penting untuk mencegah fluks-fluks osmotik masuk atau keluar
sel, yang masing-masing dapat menyebabkan pembengkakan atau penciutan sel yang merugikan
3. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES, termasuk natrium (Na+ ), ldorida
(C1- ), kallum (K+ ), kalsium (Ca2+), ion hidrogen (H+ ), bikarbonat (HCO3 - ), fosfat (P04 3-),
sulfat (S04 2-), dan magnesium (Mg2+). Fluktuasi kecil konsentrasi sebagian elektrolit ini dalam
CES bahkan dapat berpengaruh besar. Sebagai contoh, perubahan konsentrasi K+ CES dapat
menyebabkan disfungsi jantung yang dapat mematikan .
4. Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan jangka-panjang
tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran regulatorik ginjal dalam
keseimbangan garam (NaC1) dan H20.
5. Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3 - di urine.
6. Mengeluarkan (mengekskresikan) produk-produk akhir (sisa) metabolisme tubuh, misalnya
urea (dari protein), asam urat (dari asam nuldeat), kreatinin (dari kreatin otot), bilirubin (dari
hemoglobin), dan hormon metabolit. Jika dibiarkan menumpuk, banyak bahan-bahan sisa ini
bersifat toksik, terutama bagi otak.
7. Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan bahan
eksogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
8. Menghasilkan eritropoietin, suatu hormon yang merangsang produksi sel darah merah.
9. Menghasilkan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu suatu reaksi berantai yang penting
dalam konservasi garam oleh ginjal.
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

[Sherwood 8th]

Sumber: Tortora

2. Ureter
Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.
Panjangnya ± 25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga
abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis. Lapisan dinding ureter menimbulkan
gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan
dinding ureter terdiri dari:
a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)
b. Lapisan tengah lapisan otot polos
c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

3. Vesika urinaria (kandung kemih)


Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir (kendi).
Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria dapat mengembang
dan mengempis seperti balon karet.
4. Uretra
Uretra merupakan saluran yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi
menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira- kira 13,7-16,2 cm, terdiri dari:
a. Uretra pars prostatika
b. Uretra pars membranosa
c. Uretra pars spongiosa.
Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. Sphincter uretra terletak di sebelah
atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi.

2.1.1.3 Patofisiologi
infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah kondisi yang terjadi ketika bakteri atau mikroorganisme
lainnya menginfeksi salah satu bagian sistem kemih, seperti uretra, kandung kemih, ureter, atau
bahkan ginjal. Patofisiologi ISK melibatkan beberapa tahap proses infeksi, dan berikut adalah
gambaran umum mengenai patofisiologi ISK:
- Kontaminasi: Infeksi saluran kemih biasanya dimulai dengan kontaminasi bakteri atau
mikroorganisme lainnya di sekitar daerah uretra. Bakteri paling umum yang terlibat adalah
Escherichia coli (E. coli), tetapi infeksi juga dapat disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, virus,
atau jamur.
- Penempelan dan Penetrasi: Bakteri yang telah mencapai uretra dapat menempel pada
dinding uretra dan mulai berkembang biak. Mereka memiliki kemampuan untuk menempel dan
merambat ke atas saluran kemih menuju kandung kemih. Faktor-faktor seperti adhesin pada
bakteri membantu mereka menempel pada epitel dinding saluran kemih.
- Proliferasi Bakteri: Setelah menempel pada dinding saluran kemih, bakteri berkembang biak
dan mulai menghasilkan koloni yang lebih besar. Proliferasi bakteri ini menyebabkan peningkatan
jumlah mikroorganisme dalam saluran kemih.
- Respon Inflamasi: Proliferasi bakteri dalam saluran kemih memicu respon inflamasi oleh
sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih (leukosit) bergerak ke daerah yang terinfeksi untuk
melawan bakteri. Ini dapat menyebabkan gejala khas infeksi seperti peradangan, nyeri,
pembengkakan, dan produksi nanah.
- Gejala Klinis: Gejala klinis yang sering terkait dengan ISK meliputi sering buang air kecil
(urgensi), nyeri atau terbakar saat buang air kecil (disuria), peningkatan frekuensi buang air kecil,
dan perasaan tidak selesai setelah buang air kecil. Infeksi yang melibatkan kandung kemih
(cystitis) juga dapat menyebabkan perasaan penuh atau tekanan di perut bagian bawah.
- Penyebaran: Jika infeksi tidak diobati, bakteri dapat terus menyebar lebih jauh ke saluran
kemih bagian atas, seperti ureter dan ginjal, menyebabkan infeksi yang lebih serius seperti
pielonefritis. Pielonefritis dapat menyebabkan demam, nyeri punggung, mual, muntah, dan gejala
sistemik lainnya.
Patofisiologi
ISK terjadi ketika terdapat mikroorganisme yang masuk dan tumbuh didalam saluran kemih.
Mikroorganisme dapat masuk kedalam saluran kemih melalui beberapa cara sebagai berikut:
Ascending infection
Mikroorganisme masuk kedalam saluran kemih melalui jalur ascending mulanya bisa disebabkan
karena infeksi saluran cerna.Mikroorganisme dapat memasuki traktus urinari melalui uretra yang
kemudian berlanjut menuju kandung kemih. Faktor predisposisi seperti perempuan, pengguna
spermisidal, dan pasien yang menggunakan kateter dapat mempermudah mikroorganisme dalam
melakukan ascending infection pada saluran kemih. [9]
Hematogen
ISK yang terjadi secara hematogen dibatasi pada beberapa mikroorganisme dan jarang terjadi
seperti Staphylococcus aureus, Candida sp. dan Mycobacterium tuberculosis yang biasa didapat
dariinfeksi primer ditempat lain. [9]
Limfogen
Infeksi saluran kemih berasal dari infeksi organ sekitar seperti infeksi usus atau abses
retroperitoneal yang disebarkan dan sampai ke saluran kemih melalui sistem limfogen. [9]

2.1.1.4 Patogenesis
Saluran kemih dapat dipahami sebagai sistem struktural yang terhubung oleh aliran urine
yang berkelanjutan yang membentang dari uretra hingga ginjal. Pada sebagian besar infeksi
saluran kemih (ISK), bakteri memulai infeksi dengan bergerak ke atas dari uretra ke kandung
kemih. Jalur paling umum untuk infeksi parenkim ginjal melibatkan bakteri naik lebih tinggi
melalui ureter untuk mencapai ginjal. Namun, masuknya bakteri ke dalam kandung kemih tidak
selalu menghasilkan infeksi yang persisten dan bergejala. Apakah invasi jaringan dan infeksi
bergejala terjadi bergantung pada interaksi antara faktor seperti pertahanan tubuh tuan rumah,
karakteristik patogen, dan kondisi lingkungan. Sebagai contoh, bakteri sering memasuki kandung
kemih setelah hubungan seksual, tetapi pertahanan alami kandung kemih tubuh dan buang air
kecil secara teratur dapat menghilangkan mikroorganisme ini. Setiap benda asing dalam saluran
kemih, seperti kateter kemih atau batu, memberikan permukaan bagi bakteri untuk berkembang
biak. Pola buang air kecil yang tidak teratur atau jumlah urine sisa yang signifikan juga dapat
mempromosikan infeksi. Dengan kata lain, segala hal yang meningkatkan kemungkinan bakteri
masuk ke dalam kandung kemih dan tinggal di sana meningkatkan risiko ISK.

Bakteri juga dapat memasuki saluran kemih melalui aliran darah. Namun, penyebaran hematogen
hanya menyumbang kurang dari 2% dari ISK yang tercatat dan biasanya disebabkan oleh
bakteremia yang disebabkan oleh patogen yang relatif agresif, seperti Salmonella dan
Staphylococcus aureus. Sebenarnya, ketika patogen-patogen ini diisolasi dari pasien tanpa kateter
atau alat medis lainnya, itu menunjukkan bahwa sumber infeksi dalam aliran darah harus
diselidiki. Infeksi hematogen dapat menyebabkan abses lokal atau daerah pielonifritis dalam
ginjal dan dapat menghasilkan kultur urine positif. Patogenesis kandiduria berbeda dalam hal rute
hematogen sering terlibat. Menemukan Candida dalam urine pasien imunokompeten yang tidak
diinstrumen menunjukkan kemungkinan candidiasis genitourinari atau sistemik Faktor
Lingkungan

Ekologi Vagina
Ekologi vagina adalah faktor lingkungan penting yang mempengaruhi risiko UTI pada
wanita. Kolonisasi introitus vagina dan area periurethral dengan organisme dari flora usus
(biasanya E. coli) adalah langkah awal kritis dalam patogenesis UTI. Hubungan seksual dikaitkan
dengan peningkatan risiko kolonisasi vagina dengan E. coli dan dengan demikian meningkatkan
risiko UTI. Nonoxynol-9 dalam spermisida beracun bagi lactobacilli vagina normal dan dengan
demikian juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kolonisasi E. coli vagina dan bakteriuria. Pada
wanita pascamenopause, lactobacilli vagina yang sebelumnya dominan digantikan dengan bakteri
gram-negatif kolonisasi. Penggunaan estrogen topikal untuk mencegah UTI pada wanita
pascamenopause kontroversial; mengingat efek samping penggantian hormon sistemik, estrogen
oral tidak boleh digunakan untuk mencegah UTI.

Kelainan anatomi fungsional


Setiap kondisi yang memungkinkan stasis urin atau obstruksi membuat individu rentan
terhadap UTI. Benda asing seperti batu atau kateter urin menyediakan permukaan inert untuk
kolonisasi bakteri dan pembentukan biofilm persisten. Dengan demikian, refluks vesikoureteral,
obstruksi ureter sekunder terhadap hipertrofi prostatik, kandung kemih neurogenik, dan operasi
pengalihan urin menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi UTI. Pada orang dengan
kondisi tersebut, Suku E. coli yang tidak memiliki faktor virulensi urin tipikal sering menjadi
penyebab infeksi. Inhibisi peristalsis ureter dan penurunan tonus ureter yang mengarah ke refluks
vesikoureteral penting dalam patogenesis pielonefritis pada wanita hamil. Faktor anatomi—
khususnya, jarak uretra dari anus—dianggap sebagai alasan utama mengapa UTI terutama adalah
penyakit wanita muda daripada pria muda.

Faktor Host
Latar belakang genetik inang mempengaruhi kerentanan individu terhadap UTI berulang,
setidaknya di antara wanita. Disposisi keluarga terhadap UTI dan pielonefritis sudah
terdokumentasi dengan baik. Wanita dengan UTI berulang lebih mungkin mengalami UTI
pertama mereka sebelum usia 15 tahun dan memiliki riwayat maternal UTI. Komponen
patogenesis mendasar dari predisposisi keluarga ini terhadap UTI berulang mungkin adalah
kolonisasi vagina persisten dengan E. coli, bahkan selama periode asimtomatik. Sel-sel mukosa
vagina dan periurethral dari wanita dengan UTI berulang mengikat tiga kali lebih banyak bakteri
uropatogen daripada sel-sel mukosa dari wanita tanpa infeksi berulang. Sel epitel dari wanita yang
bukan sekretor antigen golongan darah tertentu mungkin memiliki jenis reseptor tertentu yang
dapat diikat oleh E. coli, sehingga memfasilitasi kolonisasi dan invasi. Mutasi dalam gen respons
imun bawaan inang (mis., Yang mengkode reseptor Toll-like dan reseptor interleukin 8) juga telah
dikaitkan dengan UTI berulang dan pielonefritis. Pola genetik yang memprediksikan sifilis dan
pielonefritis tampaknya berbeda.

Faktor Organisme
Saluran kemih yang normal secara anatomi memberikan hambatan yang lebih kuat
terhadap infeksi daripada saluran kemih yang terganggu. Oleh karena itu, strain E. coli yang
menyebabkan infeksi invasif saluran kemih yang bersifat simtomatik pada inang normal
seringkali memiliki dan mengekspresikan faktor virulensi genetik, termasuk adhesin permukaan
yang memediasi pengikatan ke reseptor spesifik pada permukaan sel uroepitel. Adhesin yang
paling banyak dipelajari adalah P fimbriae, struktur protein seperti rambut yang berinteraksi
dengan reseptor spesifik pada sel epitel ginjal. (Huruf P menunjukkan kemampuan fimbriae ini
untuk berikatan dengan antigen golongan darah P, yang mengandung residu d-galaktosa-d-
galaktosa.) P fimbriae penting dalam patogenesis pielonefritis dan invasi aliran darah berikutnya
dari ginjal.
Adhesin lainnya adalah pilus tipe 1 (fimbria), yang dimiliki oleh semua strain E. coli tetapi
tidak semua strain E. coli mengekspresikannya. Pilus tipe 1 diyakini memainkan peran kunci
dalam memulai infeksi kandung kemih E. coli; mereka memediasi pengikatan ke mannosa pada
permukaan luminal sel uroepitel kandung kemih. Toksin, sistem perolehan logam (besi),
pembentukan biofilm, dan kapsul juga dapat berkontribusi terhadap kemampuan E. coli patogen
untuk berkembang biak di kandung kemih.
[Harisson 20th]

2.1.1.5 Diagnosis
Diagnosis dari setiap sindrom ISK atau ASB dimulai dengan riwayat yang detail. Riwayat
yang diberikan oleh pasien memiliki nilai prediktif yang tinggi dalam kasus sistitis yang tidak
rumit. Sebuah meta-analisis yang mengevaluasi probabilitas UTI akut berdasarkan riwayat dan
temuan fisik menyimpulkan bahwa, pada wanita yang menunjukkan setidaknya satu gejala UTI
(disuria, frekuensi, hematuria, atau nyeri punggung) dan tanpa faktor komplikasi, probabilitas
sistitis akut atau pielonefritis adalah 50%. Tingkat akurasi diagnosis diri yang lebih tinggi di
antara wanita dengan UTI berulang mungkin menjelaskan keberhasilan pengobatan yang diinisiasi
pasien untuk sistitis berulang. Jika keputihan vagina dan faktor komplikasi tidak ada dan faktor
risiko untuk UTI ada, maka probabilitas UTI mendekati 90%, dan tidak diperlukan evaluasi
laboratorium. Kombinasi disuria dan frekuensi buang air kecil dalam ketiadaan keputihan vagina
meningkatkan probabilitas UTI menjadi 96%. Evaluasi laboratorium lebih lanjut dengan
pengujian dipstick atau budaya urin tidak perlu pada pasien seperti itu sebelum dimulainya terapi
definitif.

Dalam menerapkan riwayat pasien sebagai alat diagnostik, dokter harus ingat bahwa
penelitian yang termasuk dalam meta-analisis di atas tidak mendaftarkan anak-anak, remaja,
wanita hamil, pria, atau pasien dengan UTI yang rumit. Satu kekhawatiran signifikan adalah
bahwa penyakit menular seksual—yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis khususnya—
mungkin diobati secara tidak tepat sebagai UTI. Kekhawatiran ini sangat relevan untuk pasien
perempuan di bawah usia 25 tahun. Diagnosis diferensial yang harus dipertimbangkan ketika
wanita hadir dengan disuria termasuk servisitis (C. trachomatis, Neisseria gonorrhoeae), vaginitis
(Candida albicans, Trichomonas vaginalis), uretritis herpetik, sistitis interstisial, dan iritasi vagina
atau vulva non-infeksius. Wanita dengan lebih dari satu pasangan seksual dan penggunaan
kondom yang tidak konsisten berisiko tinggi untuk UTI dan penyakit menular seksual, dan gejala
saja tidak selalu membedakan antara kondisi ini.

Tes batang urin, urinalisis, dan budaya urin adalah alat diagnostik yang berguna, keduanya
memberikan informasi perawatan titik, dan budaya urin, yang dapat mengkonfirmasi diagnosis
sebelumnya secara retrospektif. Memahami parameter tes batang urin penting dalam menafsirkan
hasilnya. Hanya anggota keluarga Enterobacteriaceae yang mengubah nitrat menjadi nitrit, dan
nitrit harus cukup terakumulasi dalam urin untuk mencapai ambang deteksi. Jika seorang wanita
dengan sistitis akut memaksa cairan dan buang air kecil dengan sering, tes batang urin untuk nitrit
kurang mungkin positif, bahkan ketika E. coli ada. Tes esterase leukosit mendeteksi enzim ini
dalam leukosit polimorfonuklear dalam urin inang, apakah sel-sel itu utuh atau lisis. Banyak
ulasan telah mencoba untuk menggambarkan akurasi diagnostik pengujian batang urin. Intinya
bagi klinisi adalah bahwa tes batang urin dapat mengkonfirmasi diagnosis sistitis yang tidak rumit
pada pasien dengan probabilitas pra-uji yang cukup tinggi dari penyakit ini; baik positivitas nitrit
atau esterase leukosit dapat ditafsirkan sebagai hasil positif. Darah dalam urin juga dapat
menunjukkan diagnosis UTI. Tes batang urin negatif untuk kedua nitrit dan esterase leukosit pada
jenis pasien ini harus mendorong pertimbangan penjelasan lain untuk gejala pasien dan
pengumpulan urin untuk budaya. Tes batang urin negatif tidak cukup sensitif untuk
menyingkirkan bakteriuria pada wanita hamil, di mana penting untuk mendeteksi semua episode
bakteriuria.

Mikroskop urine mengungkapkan piuria dalam hampir semua kasus sistitis dan hematuria
dalam ~ 30% kasus. Dalam praktik saat ini, sebagian besar laboratorium rumah sakit
menggunakan sistem otomatis daripada pemeriksaan manual untuk mikroskop urine. Mesin
menghisap sampel urine dan kemudian mengklasifikasikan partikel-partikel dalam urine
berdasarkan ukuran, bentuk, kontras, penyebaran cahaya, volume, dan sifat lainnya. Sistem
otomatis ini bisa kewalahan oleh jumlah sel darah merah dismorfik, sel darah putih, atau kristal
yang tinggi; secara umum, hitungan bakteri kurang akurat daripada hitungan sel darah merah dan
putih. Rekomendasi klinis penulis adalah bahwa gejala dan presentasi pasien harus lebih berat
daripada hasil urinalisis otomatis yang tidak sesuai.

Deteksi bakteri dalam budaya urine adalah standar emas diagnostik untuk UTI; sayangnya,
bagaimanapun, hasil budaya tidak tersedia sampai 24 jam setelah presentasi pasien.
Mengidentifikasi organisme spesifik dapat memerlukan tambahan 24 jam. Studi tentang wanita
dengan gejala sistitis telah menemukan bahwa ambang batas hitungan koloni ≥102 bakteri/mL
lebih sensitif (95%) dan spesifik (85%) daripada ambang batas 105 /mL untuk diagnosis sistitis
akut pada wanita. Pada pria, tingkat minimal yang menunjukkan infeksi tampaknya 103 /mL.
Spesimen urine sering terkontaminasi dengan flora mikroba normal dari uretra distal, vagina, atau
kulit. Kontaminan ini dapat tumbuh hingga angka tinggi jika urine yang dikumpulkan dibiarkan
berdiri pada suhu ruangan. Dalam kebanyakan kasus, budaya yang menghasilkan spesies bakteri
campuran terkontaminasi kecuali dalam pengaturan kateterisasi jangka panjang, retensi urin
kronis, atau adanya fistula antara saluran kemih dan saluran pencernaan atau saluran genital.

Pendekatan diagnostik dipengaruhi oleh sindrom ISK klinis yang dicurigai.


Sistitis Tidak Rumit pada Wanita Sistitis tidak rumit pada wanita dapat diobati berdasarkan
riwayat saja. Namun, jika gejalanya tidak spesifik atau jika riwayat yang dapat diandalkan tidak
dapat diperoleh, maka tes batang urin harus dilakukan. Hasil nitrit atau esterase leukosit positif
pada wanita dengan satu gejala UTI meningkatkan probabilitas UTI dari 50% menjadi ~80%, dan
pengobatan empiris dapat dipertimbangkan tanpa pengujian lebih lanjut. Dalam pengaturan ini,
hasil batang urin negatif tidak menyingkirkan UTI, dan budaya urin, tindak lanjut klinis yang
ketat, dan mungkin pemeriksaan panggul direkomendasikan. Pada wanita dengan UTI yang rumit
(misalnya, karena kehamilan, resistensi bakteri yang dicurigai, atau UTI baru-baru ini), budaya
urin diperlukan untuk memandu terapi yang tepat.

Sistitis pada Pria Tanda dan gejala sistitis pada pria mirip dengan wanita, tetapi penyakit
ini berbeda dalam beberapa cara penting dalam populasi pria. Pengumpulan urin untuk budaya
sangat dianjurkan ketika seorang pria memiliki gejala UTI, karena dokumentasi bakteriuria dapat
membedakan sindrom prostatitis bakteri akut dan kronis yang kurang umum dari entitas nyeri
panggul kronis yang sangat umum, yang tidak terkait dengan bakteriuria dan oleh karena itu
biasanya tidak responsif terhadap terapi antibakteri. Pria dengan UTI demam sering memiliki
tingkat serum antigen spesifik prostat yang tinggi serta prostat dan vesikula seminalis yang
membesar pada ultrasound - temuan menunjukkan keterlibatan prostat. Dalam sebuah studi
tentang 85 pria dengan UTI demam, gejala retensi urin, kekambuhan UTI awal, hematuria pada
tindak lanjut, dan kesulitan buang air kecil adalah prediktif gangguan yang dapat diperbaiki secara
bedah. Pria tanpa gejala ini memiliki saluran kemih atas dan bawah normal pada pemeriksaan
urologi. Secara umum, pria dengan UTI demam pertama harus melakukan pencitraan (CT atau
ultrasound); jika diagnosis tidak jelas atau jika UTI berulang, rujukan untuk konsultasi urologi
dan evaluasi lebih lanjut - termasuk budaya lokalisasi potensial menggunakan tes Meares-Stamey
dua atau empat gelas (pengumpulan urin setelah pijat prostat) - adalah tepat.

Bakteriuria Asimtomatik Diagnosis ASB melibatkan kriteria mikrobiologis dan klinis.


Kriteria mikrobiologis (termasuk dalam bakteriuria asimtomatik terkait kateter urin) adalah ≥105
CFU bakteri/mL urin. Kriteria klinis adalah ketiadaan tanda atau gejala yang merujuk ke UTI.
[Harrison 20th]

2.1.1.6 Faktor Resiko


Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus, bahkan ketika terkontrol dengan baik, dilaporkan berkorelasi dengan
frekuensi ABU yang lebih tinggi. Satu RCT menunjukkan bahwa penghapusan ABU tidak
mengurangi risiko UTI simtomatik dan komplikasi infeksi pada pasien dengan diabetes mellitus.
Waktu hingga episode simtomatik pertama juga serupa di kedua kelompok. Selain itu, ABU yang
tidak diobati tidak berkorelasi dengan nefropati diabetik. Oleh karena itu, skrining dan pengobatan
ABU pada diabetes mellitus yang terkontrol dengan baik tidak dianjurkan. Namun, diabetes yang
tidak terkontrol adalah faktor risiko untuk UTI simtomatik dan komplikasi infeksi.[13]
ABU pada Wanita Pasca-Menopause
Wanita lanjut usia memiliki peningkatan insiden ABU. Empat RCT membandingkan
pengobatan antibiotik ABU dengan kontrol plasebo atau tanpa pengobatan, pada populasi wanita
pasca-menopause, dengan dosis dan rejimen antibiotik yang berbeda. Wanita dalam penelitian ini
sebagian besar adalah penghuni rumah perawatan, yang mungkin mempengaruhi hasil analisis ini.
Tiga RCT melaporkan tentang tingkat UTI simtomatik (RR rata-rata 0,71, 95% CI 0,49 hingga
1,05; 208 wanita) dan resolusi bakteriuria (RR rata-rata 1,28, 95% CI 0,50 hingga 3,24; 203
wanita), tanpa manfaat signifikan dari pengobatan antibiotik. Oleh karena itu, ABU pada wanita
pasca-menopause tidak memerlukan pengobatan, dan harus dikelola seperti pada wanita pra-
menopause.[13]
Pasien Institusional Lanjut Usia
Tingkat ABU adalah 15-50% pada pasien institusional lanjut usia. Diagnosis diferensial
ABU dari UTI simtomatik sulit pada pasien dengan banyak penyakit dan penurunan mental, dan
mungkin menjadi penyebab pengobatan antibiotik yang tidak perlu. Tujuh RCT membandingkan
pengobatan antibiotik ABU dengan kontrol plasebo atau tanpa pengobatan pada pasien lanjut usia,
dengan dosis dan rejimen antibiotik yang berbeda. Tiga RCT melaporkan tentang tingkat UTI
simtomatik. Pengobatan antibiotik tidak secara signifikan bermanfaat dalam mengurangi tingkat
UTI simtomatik dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan (RR rata-rata 0,68, 95% CI
0,46 hingga 1,00; n=210). Enam RCT melaporkan tentang resolusi bakteriuria. Tidak ada manfaat
pengobatan antibiotik dibandingkan dengan plasebo dalam resolusi ABU (RR rata-rata 1,33, 95%
CI 0,63 hingga 2,79; n=328). Satu RCT membandingkan tingkat inkontinensia pada kelompok
pasien ini sebelum dan setelah penghapusan ABU, dan tidak menemukan efek pengobatan
antibiotik. Oleh karena itu, skrining dan pengobatan ABU tidak dianjurkan dalam kelompok
pasien ini.[13]

Pasien dengan Transplantasi Ginjal


Dua RCT dan dua studi retrospektif membandingkan efek pengobatan antibiotik dengan
tanpa pengobatan pada pasien transplantasi ginjal. Meta-analisis dari dua RCT tidak menemukan
manfaat pengobatan antibiotik dalam hal mengurangi UTI simtomatik (RR 0,86, 95% CI 0,51
hingga 1,45; n=200). Dua studi retrospektif mencapai kesimpulan yang sama. Selain itu, tidak ada
perbedaan signifikan dalam tingkat clearance ABU, kehilangan graft atau perubahan fungsi ginjal
selama tindak lanjut jangka panjang hingga 24 bulan. Oleh karena itu, pengobatan ABU tidak
dianjurkan pada penerima transplantasi ginjal.[13]
Pasien dengan Disfungsi dan/atau Saluran Kemih yang Direkonstruksi
Pasien dengan disfungsi saluran kemih bagian bawah (LUTD) (misalnya pasien kandung
kemih neurogenik sekunder terhadap sklerosis multipel, pasien cedera sumsum tulang belakang,
pasien dengan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, pasien dengan neo-kandung
kemih dan ileo-cystoplasty, pasien menggunakan kateterisasi intermiten bersih (CIC), dan pasien
dengan konduksi ileal, penggantian kandung kemih ortotopik dan reservoir kontinen) sering
menjadi terkolonisasi. Studi telah menunjukkan tidak ada manfaat dalam pengobatan ABU pada
kelompok pasien ini. Selain itu, pada pasien LUTD yang tidak secara spontan mengembangkan
ABU, kolonisasi yang disengaja dengan strain ABU (Escherichia coli 83972) telah menunjukkan
efek protektif terhadap kekambuhan simtomatik. Oleh karena itu, skrining dan pengobatan ABU
pada kelompok pasien ini tidak dianjurkan. Jika kelompok pasien ini mengembangkan UTI
simtomatik berulang efek protektif ABU yang dikembangkan secara spontan terhadap UTI bagian
bawah harus dipertimbangkan sebelum pengobatan apa pun.[13]

Pasien dengan Kateter


Saluran Kemih Pasien dengan kateter permanen atau suprapubik dan tabung nefrostomi pasti
menjadi pembawa ABU, dengan pengobatan antibiotik tidak menunjukkan manfaat. Ini juga
berlaku untuk pasien dengan ABU dan stent ureteral yang menetap. Pengobatan rutin bakteriuria
yang terkait dengan kateter tidak dianjurkan. [13]
Pasien dengan ABU yang Menjalani Penempatan/Penukaran Kateter
Pada pasien yang menjalani penempatan/penukaran kateter uretral yang menetap tanpa
komplikasi, ABU tidak dianggap sebagai faktor risiko dan tidak harus diskrining atau diobati.
Pada pasien yang menjalani penempatan/penukaran tabung nefrostomi dan stent ureteral yang
menetap, ABU dianggap sebagai faktor risiko untuk komplikasi infeksi.[13]
Pasien dengan Sistem Kekebalan Tubuh yang Lemah dan Pasien dengan Penyakit Parah,
Pasien dengan Kandiduria Kelompok pasien ini harus dipertimbangkan secara individual
dan manfaat skrining dan pengobatan ABU harus ditinjau dalam setiap kasus. Pasien dengan
kandiduria asimtomatik mungkin, meskipun tidak selalu, memiliki gangguan atau cacat yang
mendasarinya. Pengobatan kandiduria asimtomatik tidak dianjurkan. [13]

2.1.2 Diabetes Melitus


2.1.2.1 Definisi
Diabetes melitus diambil dari bahasa yunani diabetes yang berarti menyedot – melewati
dan dari bahasa latin melitus artinya manis. Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa istilah
“diabetes” pertama kali digunakan oleh Apollonius dari Memphis sekitar tahun 250 hingga 300
SM. Peradaban Yunani kuno, India, dan Mesir menemukan sifat manis urin dalam kondisi ini, dan
karenanya munculah penyebaran kata Diabetes Mellitus. Mering dan Minkowski, pada tahun
1889, menemukan peran pankreas dalam patogenesis diabetes. Pada tahun 1922 Banting, Best,
dan Collip memurnikan hormon insulin dari pankreas sapi di Universitas Toronto, yang mengarah
pada tersedianya pengobatan yang efektif untuk diabetes pada tahun 1922. Selama bertahun-
tahun, pekerjaan luar biasa telah dilakukan, dan berbagai penemuan, serta strategi manajemen,
telah diciptakan untuk mengatasi masalah yang berkembang ini. Sayangnya, bahkan saat ini,
diabetes adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum di negara ini dan di seluruh dunia.
Di AS, penyakit ini tetap menjadi penyebab kematian ketujuh terbesar.[5]

Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolik yang melibatkan peningkatan kadar
glukosa darah yang tidak tepat. DM memiliki beberapa kategori, antara lain tipe 1, tipe 2,
maturity-onset diabetes of the young (MODY), diabetes gestasional, diabetes neonatal, dan
penyebab sekunder akibat endokrinopati, penggunaan steroid, dll. Subtipe utama DM adalah
diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2, yang secara klasik disebabkan oleh gangguan
sekresi insulin (diabetes melitus tipe 1) dan/atau kerja insulin (diabetes melitus tipe 2). Diabetes
melitus tipe 1 terjadi pada anak-anak atau remaja, sedangkan diabetes melitus tipe 2 diperkirakan
menyerang orang dewasa paruh baya dan lanjut usia yang mengalami hiperglikemia
berkepanjangan akibat gaya hidup dan pilihan pola makan yang buruk. Patogenesis diabetes
melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 sangat berbeda, dan oleh karena itu masing-masing tipe
memiliki etiologi, presentasi, dan pengobatan yang berbeda. [5]

2.1.2.2 Diagnosis
Diabetes dapat didiagnosis berdasarkan kriteria glukosa plasma. Untuk kriteria glukosa
plasma, nilai glukosa plasma puasa atau nilai glukosa plasma 2 jam selama tes toleransi glukosa
oral 75-g dapat digunakan. Tingkat glukosa plasma 200 mg/dL (11,1 mmol/L) atau lebih tinggi
pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemik cukup untuk
mendiagnosis diabetes. Kriteria glukosa plasma juga dapat digunakan untuk diagnosis. Penting
untuk mengukur tingkat glukosa plasma untuk mengkonfirmasi gejala dan menginformasikan
keputusan manajemen. Kriteria untuk mendiagnosis diabetes tercantum dalam Tabel.[14]
2.1.2.3 Komplikasi
Terlepas dari jenis diabetes tertentu, komplikasinya melibatkan masalah mikrovaskuler,
makrovaskular, dan neuropatik. Komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular bervariasi sesuai
dengan derajat dan durasi diabetes yang tidak terkontrol, termasuk nefropati, retinopati, neuropati,
dan kejadian ASCVD, terutama jika dikaitkan dengan penyakit penyerta lain seperti dislipidemia
dan hipertensi. Salah satu konsekuensi paling buruk dari DM adalah dampaknya terhadap
penyakit kardiovaskular (ASCVD). Sekitar dua pertiga penderita DM akan meninggal karena
infark miokard atau stroke. Pada DMT2, glukosa puasa lebih dari 100 mg/dL secara signifikan
berkontribusi terhadap risiko ASCVD, dan risiko kardiovaskular dapat berkembang sebelum
hiperglikemia nyata.
DM juga merupakan penyebab umum kebutaan pada orang dewasa berusia 20 hingga 74 tahun di
Amerika Serikat. Retinopati diabetik berkontribusi terhadap 12.000 hingga 24.000 kasus kebutaan
baru setiap tahunnya, dan pengobatan umumnya terdiri dari operasi laser dan kontrol glukosa.
Penyakit ginjal merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada pasien DM.
Penyakit ini merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) di Amerika
Serikat, dan banyak pasien dengan ESRD perlu memulai dialisis atau menerima transplantasi
ginjal. Jika albuminuria menetap pada kisaran 30 hingga 300 mg/hari (mikroalbuminuria), hal ini
tampaknya merupakan penanda awal timbulnya neuropati diabetik yang dapat diprediksi. Setelah
makroalbuminuria (lebih besar dari 300 mg/24 jam) terjadi, perkembangan menjadi ESRD
semakin cepat. Spesimen urin spot acak untuk pengukuran rasio albumin terhadap kreatinin
adalah metode yang cepat, mudah, dan dapat diprediksi serta merupakan metode yang paling
banyak digunakan dan disukai untuk mendeteksi mikroalbuminuria. Dua dari tiga tes, yang
dilakukan selama enam bulan menunjukkan tingkat kreatinin lebih dari 30 mcg/mg, menegaskan
diagnosis mikroalbuminuria.
DM juga merupakan penyebab utama amputasi anggota tubuh di Amerika Serikat; hal ini
terutama disebabkan oleh vaskulopati dan neuropati yang berhubungan dengan DM. Banyak
pasien yang menderita neuropati perlu menjalani pemeriksaan kaki secara teratur untuk mencegah
infeksi dari luka yang tidak diketahui.
Durasi menderita diabetes merupakan faktor risiko paling penting dalam perkembangan retinopati
diabetik. Pada penderita diabetes tipe 1, penyakit ini biasanya terjadi sekitar 5 tahun setelah
timbulnya penyakit. Oleh karena itu dianjurkan untuk memulai pemeriksaan retina tahunan pada
pasien ini sekitar lima tahun setelah diagnosis. Di antara pasien diabetes tipe 2, banyak pasien
mungkin sudah mengalami perubahan retina pada saat diagnosis. Sekitar 10% pada usia sepuluh
tahun, 40% pada usia 15 tahun, dan 60% pada usia 20 tahun akan menderita penyakit retina
nonproliferatif. Pada pasien ini, rekomendasinya adalah memulai skrining retina tahunan pada
saat diagnosis. Penelitian demi penelitian menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang wajar
memiliki efek menguntungkan pada permulaan dan perkembangan retinopati diabetik. Tekanan
darah yang tidak terkontrol merupakan faktor risiko tambahan untuk edema makula. Menurunkan
tekanan darah pada pasien diabetes juga mempengaruhi risiko perkembangan retinopati. Suntikan
antibodi agen faktor pertumbuhan endotel vaskular (anti-VEGF) umumnya digunakan sebagai
terapi awal pada kasus edema makula. Dalam kasus retinopati diabetik nonproliferatif,
fotokoagulasi pan-retina digunakan. Dalam kasus retinopati proliferatif diabetik, modalitas
kombinasi agen anti-VEGF dan fotokoagulasi pan-retina kini digunakan. Hilangnya penglihatan
secara tiba-tiba dapat terjadi karena beberapa sebab pada pasien diabetes melitus, yang paling
umum adalah perdarahan vitreus. Penyebab kurang umum yang perlu dipertimbangkan termasuk
oklusi vaskular (oklusi vena retina sentral atau vena cabang yang melibatkan makula), ablasi
retina, glaukoma stadium akhir, dan neuropati optik iskemik.
Selain itu, bukti menunjukkan bahwa T2DM juga dapat berkontribusi terhadap perkembangan
kanker, khususnya kanker kandung kemih, pada mereka yang menggunakan pioglitazone. Pasien
yang menggunakan metformin telah meningkatkan kelangsungan hidup spesifik kanker pada
mereka yang menderita kanker prostat, pankreas, payudara, dan kolorektal. Namun, tidak jelas
bagaimana metformin berperan dalam memodulasi kanker pada pasien diabetes.
Mereka yang menderita diabetes gestasional mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan
secara sesar dan hipertensi kronis. Pasien hamil dengan DMT2 umumnya memiliki prognosis
yang lebih baik dalam hal komplikasi neonatal dan kehamilan dibandingkan dengan pasien
T1DM. Umumnya neonatus dari ibu penderita DM akan mengalami hipoglikemia dan
makrosomia.
Komplikasi DM yang paling akut adalah ketoasidosis diabetik (DKA), yang biasanya muncul
pada T1DM. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh dosis yang tidak memadai, dosis yang terlewat,
atau infeksi yang sedang berlangsung. Dalam kondisi ini, kekurangan insulin berarti jaringan tidak
dapat memperoleh glukosa dari aliran darah. Kompensasi untuk hal ini menyebabkan
metabolisme lipid menjadi keton sebagai sumber energi pengganti, yang menyebabkan asidosis
sistemik, dan dapat dihitung sebagai asidosis metabolik dengan kesenjangan anion yang tinggi.
Kombinasi hiperglikemia dan ketosis menyebabkan diuresis, acidemia, dan muntah yang
menyebabkan dehidrasi dan kelainan elektrolit, yang dapat mengancam jiwa. Pada DMT2,
sindrom hiperglikemik hiperosmolar (HHS) menjadi perhatian baru. Gejalanya mirip dengan
DKA dengan rasa haus yang berlebihan, peningkatan glukosa darah, mulut kering, poliuria,
takipnea, dan takikardia. Namun, tidak seperti DKA, HHS biasanya tidak muncul dengan keton
urin yang berlebihan karena insulin masih diproduksi oleh sel beta pankreas. Perawatan untuk
DKA atau HHS melibatkan pemberian insulin dan hidrasi intravena yang agresif. Pengelolaan
elektrolit yang hati-hati, khususnya kalium, sangat penting dalam pengelolaan kondisi darurat ini.
[5]

2.1.2.4 Faktor Resiko Diabetes Melitus Tipe 2


Faktor risiko DM tipe 2 dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi:

Usia
Usia merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang
mempengaruhi terjadinya diabetes melitus tipe 2. Pada usia lanjut, terjadi penurunan fungsi alat
tubuh, termasuk pankreas yang menghasilkan insulin. Hal ini menyebabkan peningkatan risiko
terkena diabetes melitus tipe 2. Oleh karena itu, penting bagi seseorang yang sudah berusia di atas
40 tahun untuk rutin memeriksa kadar gula darah, mengatur pola makan, dan menjaga gaya hidup
sehat guna menjaga kadar gula darah tetap normal.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian diabetes melitus
tipe 2. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan
aktivitas dan gaya hidup sehari-hari antara perempuan dan laki-laki mempengaruhi kejadian
penyakit ini. Faktor-faktor seperti perubahan hormonal pada perempuan, peningkatan indeks
massa tubuh, dan kondisi seperti sindrom premenstruasi dan pasca menopause dapat
meningkatkan risiko terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada perempuan..

Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dapat menjadi faktor risiko dalam terjadinya diabetes melitus tipe 2. Jika
kedua orang tua menderita diabetes, kemungkinan besar salah satu dari anaknya atau anak-
anaknya dapat terkena diabetes melitus. Risiko terbesar bagi anak terserang diabetes terjadi jika
salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit DM sebelum berumur 40 tahun. Faktor
genetik merupakan faktor penting pada DM yang dapat mempengaruhi sel beta dan mengubah
kemampuannya untuk mengenali sekretoris insulin.

Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi:

Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga atau
energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan
latihan fisik atau olahraga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu.
Menurut WHO, aktivitas fisik dapat berupa aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat. Aktivitas
fisik secara teratur memiliki efek menguntungkan bagi lemak tubuh, tekanan darah, berat badan,
dan sindroma metabolik kronik. Aktivitas fisik yang teratur juga dapat mencegah penyakit
diabetes melitus, kardiovaskuler, dan hipertensi.

Obesitas
Obesitas adalah peningkatan lemak tubuh yang berlebihan.Obesitas disebabkan adanya
keseimbangan energi positif sebagai akibat ketidakseimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi, sehingga terjadi kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak.
Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yang diduga sebagian besar disebabkan interaksi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan antara lain aktivitas fisik, gaya hidup, sosial ekonomi
dan nutrisional.Obesitas (kegemukan) adalah persentase abnormalitas lemak yangdinyatakan
dalam Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu perbandingan berat badan dengan tinggi badan kuadrat
dalam meter. Obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian diabetes melitus. Kontrol
berat badan penting dalam manajemen diabetes dan pencegahan perkembangan prediabetes
menjadi DM. IMT merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.
Obesitas didefinisikan sebagai berat badan lebih dari berat badan normal atau Indeks Masa Tubuh
(IMT), yang merupakan angka yang didapat dari hasil berat badan dalam kilogram dibagi tinggi
badan dalam meter kuadrat. IMT digunakan untuk mengetahui apakah berat badan seseorang telah
ideal atau belum. Berdasarkan kategori IMT menurut Perkeni 2015, terdapat beberapa klasifikasi
berdasarkan hasil IMT, seperti BB Kurang, BB Normal, BB Lebih, dan BB dengan Risiko.\
Klasifikasi Indeks Masa Tubuh (IMT) menurut kriteria Indonesia

Kepatuhan Pengobatan
Kepatuhan obat dapat menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi karena pengobatan
yang tidak patuh dapat mempengaruhi pengendalian kadar gula darah pada lansia penderita
diabetes melitus tipe 2. Ketika lansia tidak patuh dalam mengkonsumsi obat-obatan yang
diresepkan, hal ini dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah dalam tubuh. Oleh karena
itu, kepatuhan obat menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan memberikan
pendampingan dan dukungan kepada lansia agar lebih patuh dan rutin dalam mengkonsumsi obat
diabetes serta menjalani gaya hidup sehat.

Jadi, faktor risiko DM tipe 2 meliputi usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, aktivitas fisik,
obesitas, dan kepatuhan pengobatan.

2.1.3 Hubungan Diabetes melitus terhadap infeksi


2.1.3.1 Sistem Imun terhadap Diabetes
Diabetes melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia, polidipsi,
poliuria, polifagia, dan penurunan berat badan.[16] Diabetes melitus dibagi menjadi tipe 1 dan
tipe 2. Diabetes melitus tipe 1 terjadi ketika sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin
karena penyakit autoimun, sehingga sistem imun tubuh membuat antibodi yang menyerang dan
merusak sel beta pankreas.[16] Diabetes melitus tipe 1 ini tidak bisa disembuhkan namun bisa
dikontrol.[16] Diabetes melitus tipe 2 terjadi apabila sel beta pankreas tidak dapat memenuhi
kebutuhan insulin dalam tubuh.

Sistem imunitas tubuh memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kondisi tubuh
penderita diabetes melitus. Jika imunitas tubuh penderita mengalami penurunan karena suatu hal,
maka bertambah pula infeksi yang ditimbulkan dalam tubuh penderita diabetes melitus. [16]
Sistem imun yang menurun dan rentannya penderita terhadap terjadinya kerusakan jaringan
dianggap berperan penting dalam masalah infeksi pada DM. [16]

Sel imun membantu tubuh dalam menyingkirkan patogen atau benda asing yang akan masuk ke
tubuh. Hal ini berarti apabila sistem imunitas tubuh tidak dapat bekerja dengan semestinya, maka
yang terjadi infeksi akan menyebar bahkan ke seluruh tubuh penderita Diabetes Melitus. [16]
Penderita DM akut, jika terindikasi bahwa sistem imun tubuh sudah tidak bisa bekerja dengan
baik, hal tersebut dapat menyebabkan kematian dari penderita. [16]

Penurunan sistem imun penderita dapat diakibatkan oleh beberapa faktor dari dalam maupun luar
tubuh. Contohnya faktor stres penderita mengenai suatu hal atau bisa juga faktor lingkungan.[16]
Otak akan mengirimkan sinyal-sinyal ketidakmampuan tubuh dalam adaptasi faktor-faktor
tersebut. Sehingga keseimbangan tubuh akan terganggu dan berdampak pula pada imunitas tubuh
penderita.[16]
Oleh karena itu, penderita Diabetes Melitus wajib untuk mempertahankan tubuhnya dalam kondisi
yang dikatakan baik, baik dari segi pikiran maupun fisiknya. Jika tidak demikian, maka penderita
akan mengalami infeksi lanjut dan berakibat pada timbulnya penyakit lain1.

2.1.3.2 Mekanisme terjadi infeksi pada pasien diabetes melitus tipe 2


Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia dan
gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan
secara absolut atau relatif dari kerja dan atau sekresi insulin. [17] Pada penderita diabetes melitus
tipe 2, terjadi peningkatan risiko infeksi. Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap
peningkatan risiko ini.

Pertama, hiperglikemia, atau tingkat glukosa darah yang tinggi, dapat menghambat fungsi sistem
imun tubuh, membuatnya lebih sulit bagi tubuh untuk melawan infeksi. [18] Selain itu, tingkat
glukosa darah yang tinggi juga dapat menyebabkan dehidrasi, yang dapat mempengaruhi sirkulasi
dan proses penyembuhan tubuh. [18]

Kedua, diabetes melitus tipe 2 sering dikaitkan dengan penurunan aliran darah. Aliran darah yang
buruk dapat mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengirim sel-sel sistem imun ke area yang
terinfeksi, serta menghambat proses penyembuhan. [18]

Ketiga, banyak penderita diabetes melitus tipe 2 juga memiliki neuropati perifer, atau kerusakan
saraf di kaki dan tangan. Neuropati ini dapat mengurangi sensasi di area-area tersebut, membuat
lebih sulit bagi seseorang untuk merasakan luka atau iritasi yang bisa menjadi pintu masuk bagi
kuman. [18]

Keempat, beberapa komplikasi diabetes jangka panjang, seperti penyakit ginjal dan penyakit
jantung, juga dapat mempengaruhi respons imun tubuh dan membuat seseorang lebih rentan
terhadap infeksi.[18]

Oleh karena itu, penting bagi penderita diabetes melitus tipe 2 untuk menjaga kadar gula darah
mereka tetap terkontrol, menjaga hidrasi yang baik, merawat kaki mereka dengan baik untuk
mencegah luka dan infeksi, dan mengelola komplikasi jangka panjang mereka untuk membantu
mencegah infeksi. [18]

2.2 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep


2.2.1 Kerangka Teori

2.2.2 Kerangka Konsep


Orang dewasa yang tinggal di wilayah Ciputat
pada tahun 2023

Penderita diabetes melitus tipe 2

Penderita Infeksi saluran kemih

Karakteristik Orang Dewasa Karakteristik Penderita Karakteristik Penderita


Diabetes Melitus Tipe 2 Infeksi Saluran Kemih
- Umur - Diagnosis dari dokter - Diagnosis dari dokter
- Warga Asli Ciputat - Gejala - Gejala

Variabel Bebas
Memengaruhi
Variabel Terikat

2.2.3 Definis Operasional


1) Karakteristik Orang Dewasa

 Umur: lama hidup pasien yang dihitung berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai dengan yang
tercatata pada kartu tanda penduduk (KTP) atau akta kelahiran

 Warga Asli Ciputat: Sebagai seseorang yang lahir dan besasr di ciputat yang tertera jelas pada kartu
tanda penduduk atau akta kelahiran

2) Karateristik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2

 Diagnosis dari dokter: seseorang yang memiliki diagnosis dari dokter. Hal tersebut dapat
dipertanggungjawabkan

 Gejala: seseorang yang memiliki gejala-gejala diabetes melitus tipe 2, seperti Ingin buang air kecil terus-
menerus, terutama saat malam hari, sering merasa haus, sering merasa lapar walaupun sudah makan,
namun berat badan turun drastic, area sekitar alat kelamin terasa gatal, luka di kulit yang sulit mengering
atau sembuh, mudah lelah.

3). Karakteristik Penderita Infeksi Saluran Kemih

 Diagnosis dari dokter: seseorang yang memiliki diagnosis dari dokter. Hal tersebut dapat
dipertanggungjawabkan

 Gejala: seseorang yang memiliki gejala-gejala infeksi saluran kemih, seperti sering buang air kecil
(sering kencing), sensasi terbakar atau perih saat buang air kecil, perasaan ingin buang air kecil terus-
menerus, bahkan setelah baru saja buang air kecil, urin berubah warna menjadi keruh atau berbau tidak
sedap, nyeri atau rasa tertekan di daerah panggul atau perut bagian bawah, kadang-kadang, urin bisa
mengandung darah (hematuria), demam atau gejala flu, seperti rasa tidak enak badan atau menggigil.
Lampiran 6

Contoh Penulisan Tabel

1. Tabel yang berasal dari data hasil penelitian sendiri

Tabel 4.1 Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

JenisKelamin Jumlah Persentase (%)


Laki-laki 56 46,7
Perempuan 64 53,3
Total 120 100

2. Tabel yang berasal dari tinjauan pustaka atau saduran hasil penelitian orang lain

Tabel 2.5. Persentase bayi yang mengalami penyakit gastrointestinal sampai


umur 1 tahun berdasarkan lamanya menyusui*

Lamanya menyusui (penuh dan sebagian) X2


Umur Tidak 1-13 14-26 27-39 40-52 >52 Tidak Tidak
bayi pernah minggu minggu minggu minggu minggu pernah pernah vs
(minggu) (n=246) (n=164) (n=49) (n=71) (n=60) (n=30) vs 1-13 14-52
minggu minggu
0-13 15.7 16.6 2.2 3.5 6.3 7.7 0.06 11.02
14-26 18.0 20.3 8.6 9.1 7.2 3.5 0.32 8.06
27-39 21.6 21.0 13.7 13.4 16.0 7.4 0.02 4.03
40-52 22.3 12.7 7.9 14.2 11.7 13.4 6.02 6.70

*tergantung dari kelas sosial, umur ibu, dan orang tua yang merokok.
Sumber : Lawrence & Lawrence, 2005
Lampiran 7
Contoh Penulisan Gambar
1. Gambar / Grafik yang berasal dari hasil penelitian sendiri

Gambar 4.2. Sebaran Responden Berdasarkan Usia

2. Gambar yang berasal dari tinjauan pustaka atau saduran hasil penelitian orang
lain

8
7
6
5
Absensi

4
3
2
1
0
Jan Feb Mar Apr May Jun Jul

Bulan

Gambar 2.1. Absensi murid sekolah dasar di Jakarta, 2005*


* Nilai rata-rata absensi semua murid sekolah dasar
Sumber : Laporan UKS 1978

Anda mungkin juga menyukai