Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Berwudhu dan Tayamum Dalam Islam


Dosen : Sahrialsyah S., S.Pdi, M.Pd.i
Mata Kuliah : Agama II

DISUSUN OLEH :
IRHAN MAULANA / 2212000135

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN ILMU KOMPUTER


PROGRAM STUDI INFORMATIKA
T/A 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Medan, April 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................ii
BAB I...........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................1
BAB II..........................................................................................3
A. Penegasan Istilah...............................................................3
B. Pengertian.........................................................................5
C. Masyrun’Iyah.....................................................................6
D. Tayamum Tidak Mengangkat Hadast.................................7
BAB III.........................................................................................9
KESIMPULAN..............................................................................9
SARAN........................................................................................ 9

iii
BAB I

1.Latar Belakang
Masalah Mengkaji pendidikan merupakan hal yang sangat urgen dan tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan seseorang bisa menjalani kehidupannya dengan
baik. Dengan pendidikan seseorang bisa merubah sifat seseorang yang awalnya kurang baik menjadi
lebih baik bahkan maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari mutu pendidikan tersebut. Pendidikan
adalah pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. 1 Pendidikan Islam menurut Muhammad Fadil
Al-Djamaly adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang
mengangkat derajat kemanuasiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarny

bahwa sesungguhnya manusia sejak lahir telah dibekali dengan fitrah.Dan fitrah ini telah ada sejak
zaman azali, dimana penciptaan jasad manusia belum ada. Banyak pendapat mengenai jenis fitrah
ini, salah satunya adalah fitrah intelek, Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah.5Fitrah intelek inilah yang membedakan antara manusia dan ciptaan-Nya yang lain.
Selain itu, salah satu pandangan modern dari seorang ilmuan Muslim, pakar pendidikan Islam
Muhammad Ibrahimy (Bangladesh) mengungkapkan pengertian pendidikan Islam yang
berjangkauan luas, sebagai berikut: “Islamic education is true sense of the term, is a system of
education which enables a man to lead his life according to the Islamic ideology, so that he may
easily mould his life in accordance with tenets of islam. And thus peace and prosperity may prevail
in his own life as well as in the whole world. These Islamic scheme of education is, of necessity an
all embracing system, for Islam enchomphasses the entire gamut of moslem’s life. It can justly be
said that all branches of learning which are not Islamic are included in the Islamic education. The
scope of Islamic education has been changing at different times. In view of the demands of the age
and the development of science and technology, its scope has also widened.”6 Berdasarkan
pemaparan yang disampaikan oleh Muhammad Ibrahimy dapat diambil kesimpulan, bahwa
pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang menerapkan ideologi Islam sesuai dengan ajaran
islam. Adapun cabang
belajar bukan hanya dalam bidang ibadah, namun juga dalam bidang sains dan teknologi termasuk
pendidikan Islam. Begitu juga ruang lingkup pendidikan Islam terus bersifat dinamis sesuai dengan
perkembangan zaman. Dalam pendidikan Islam terdapat komponen-komponen dasar pendidikan
Islam. Salah satu komponen-komponen dasar dalam pendidikan Islam adalah kurikulum. Kurikulum
dalam pendidikan Islam merupakan pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing
peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses
yang dilakukan secara serampangan, tetapi mengacu pada konseptualisasi manusia paripurna (insan
kamil) yang strateginya telah tersusun secara sistematis dalam pendidikan Islam.7 Dalam kurikulum
terdapat komponen-komponen meliputi : Tujuan, isi kurikulum, media, strategi, proses

1
pembelajaran dan eveluasi. Dalam kurikulum pendidikan Islam salah satu komponen yang urgen
adalah isi kurikulumnya. Dalam kurikulum tersebut berupa materi yang telah diprogramkan untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Materi tersebut disusun ke dalam silabus dan
mengaplikasikannya dicantumkan pula dalam Satuan Pembelajaran dan Rencana Pembelajaran.8
Salah satu materi pendidikan Islam adalah mata pelajaran fikih. Fikih merupakan salah satu mata
pelajaran yang termasuk dalam muatan Pendidikan Agama Islam di sekolah atau madrasah.
Pendidikan
Agama Islam, khususnya fikih sesungguhnya jauh lebih berat daripada pengajaran umum apapun.
Beratnya tidak terletak pada ilmiahnya, akan tetapi pada isi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam
Mata Pelajaran Fikih mempelajari tentang fikih ibadah yaitu menyangkut pengenalan dan
pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan
sehari-hari, serta fikih muamalah yang menyangkut tentang hukum-hukum syara’ yang mengatur
hubungan antara manusia dengan manusia yang lain dalam bidang kegiatan ekonomi.9 Atau berupa
aturan-aturan Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam
pergaulan sosial.10 Secara substansial mata pelajaran fikih memiliki kontribusi dalam memberikan
motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan menerapkan hukum Islam dalam
kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan
manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya
ataupun lingkungannya.11 Mempelajari fikih bukan sekedar teori yang mengutamakan ilmu
pengetahuan saja. Akan tetapi, ia bersifat amaliah, yang mengandung unsur teori dan praktek.
Belajar fikih untuk diamalkan, bila berisi suruhan atau perintah, harus dapat dilaksanakan, bila
berisi larangan, harus dapat ditinggalkan atau dijauhi, seperti halnya perintah berwudhu yang harus
Ali as-Shabuni dalam kitab Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat tersebut
membahas tentang hukum berwudhu dan tayamum. Melalui ayat ini Allah SWT menjelaskan
tentang berwudhu dan tayamum. Dia
(Allah) berfirman: jika kalian wahai orang Mukmin hendak melaksanakan shalat dan kalian dalam
keadaan berhadats maka basuhlah maka basuhlah wajah dan kedua tangan kalian sampai ke siku-
siku air yang suci, usaplah kepala kalian, basuhlah kedua kaki kalian sampai dengan kedua mata
kaki.13 Dan jika kalian berhadats besar maka mandilah dengan menggunakan air. Dan jika kalian
dalam keadaan sakit, berpergian, atau berhadats kecil atau menggauli perempuan dan tidak
menemukan air maka bertayamumlah dengan menggunakan debu yang suci. Kemudian usaplah
kedua wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai ke siku-siku dengan menggunakan debu suci
itu. Allah SWT tidak menghendaki atas kalian kesulitan dalam menjalankan hukum-hukum agama
Islam. Akan tetapi, Allah menghendaki kesucian kalian dari dosa-dosa, dari penyakit-penyakit dan
Allah menyempurnakan nikmat pada kalian dengan penjelasan syariat Islam supaya kalian
bersyukur kepada- Nya atas nikmat-Nya dan memuji-Nya.14 Berwudhu juga dapat dilakukan ketika
hendak menyentuh atau
Seseorang yang ingin mendapat kesempurnaan dalam melaksanakan wudhu harus melalui
pembelajaran. Karena dalam pelaksanaan wudhu dan amalan ibadah-ibadah lainnya mempunyai tata
cara, aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam yang
Mukallaf. Oleh sebab itu, guru diharapkan memberikan pemahaman kepada siswa akan pentingnya
pengetahuan tentang wudhu. Pengetahuan siswa dalam mempelajarari wudhu dan memahaminya ini
disebut juga dengan hasil kognitif. Menurut Soedijarto mendefinisikan hasil belajar sebagai tingkat
penguasaan yang dicapai oleh mahasiswa dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai degan
tujuan pendidikan yang ditetapkan. 16 Hasil belajar kognitif adalah perubahan perilaku atau

2
kemampuan siswa dalam berfikir, menganalisa, dan mengamati sesuatu akibat proses
pembelajaran17 Madrasah Tsanawiyah Al-Hikmah Kota Dumai materi pelajaran fikihnya
menggunakan Madzhab Syafi’i. Madrasah tersebut sudah memberikan pemahamaan kepada siswa
tentang pelaksanaan wudhu yang benar yaitu dengan cara mengajarkan materi tentang wudhu
dengan baik di kelas, dan menjelaskan tata-tata cara pelaksanaan wudhu yang benar ketika hendak
melaksanakan shalat. Dengan demikian secara teoritiknya siswa Madrasah Tsanawiyah Al-Hikmah
Kota Dumai sudah memiliki hasil belajar kognitif yang baik. Ditandai dengan nilai rata-rata siswa
85 (delapan puluh lima) pada mata
pelajaran fikih. Seyogyanya siswa yang memiliki nilai kognitif baik dapat melaksanakan wudhu
dengan baik pula. Namun berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan penulis di Madrasah
Tsanawiyah Al-Hikmah Kecamatan Dumai Barat Kota Dumai masih ditemukan siswa yang
melakukan kesalahan-kesalahan dalam melaksanakan wudhu. Hal ini dapat dilihat dari gejala –
gejala sebagai berikut: 1. Masih ditemukan siswa melakukan kesalahan ketika gerakan membasuh
wajah. 2. Masih ditemukan siswa yang melakukan kesalahan ketika membasuh kedua tangan. 3.
Masih ditemukan siswa melakukan kesalahan ketika menyapu ( mengusap) kepala. 4. Masih
ditemukan siswa yang melakukan kesalahan ketika membasuh kedua kaki. Berdasarkan latar
belakang dan gejala-gejala tersebut

BAB II

A. Penegasan Istilah
Untuk lebih terarah dan mendalam istilah yang digunakan dalam judul ini, maka penulis perlu
menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan judul penelitian tersebut. Adapun penjelasannya
adalah sebagai berikut

1. Hasil Belajar Kognitif 9

Kognitif berasal dari kata cognition yang artinya adalah mengetahui. Dalam arti luas, kognitif
ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.18 Kogintif yang penulis maksud
disini adalah hasil Belajar kognitif yaitu kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui
kegiatan belajar. 19 Dengan kata lain, hasil belajar kognitif mencakup ilmu pengetahuan yang
diperoleh oleh siswa melalui proses pembelajaran dalam Mata Pelajaran Fikih, dan dapat
memahami ilmu tersebut, serta mampu menerapkan, menganalisa, mensintesis dan
mengevaluasinya.

2. Keterampilan

Keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti cakap dalam menyelesaikan tugas,
mampu dan cekatan, kemudian mendapatkan awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi

3
“keterampilan” yang dijadikan kecakapan untuk menyelesaikan tugas.20 Keterampilan yang
penulis maksud dalam penelitian ini adalah keterampilan melaksanakan wudhu.
Keterampilan melaksanakan wudhu yaitu suatu kemampuan, kecakapan dan keahlian yang
meliputi keterampilan gerakan wudhu dengan baik dan benar yang sesuai dengan syarat-
syarat dan rukun-rukun yang telah ditentukan oleh syara

3. Wudhu
Wudhu secara bahasa artinya nama untuk suatu perbuatan yang memanfaatkan air dan
digunakan untuk membersihkan anggota-anggota badan tertentu. 21 Wudhu menurut syara’
adalah kegiatan kebersihan khusus atau perbuatan tertentu yang dimulai dengan niat yang
khusus.22 Maksudnya wudhu dalam peneletian ini adalah wudhu yang telah disyariatkan
kepada umat Islam sebelum memulai sebuah ibadah seperti: shalat, membaca Al-Quran.

4. Madzhab

Madzhab adalah hasil ijtihad seorang Imam (Mujtahid) tentang hukum sesuatu masalah
yang belum ditegaskan oleh nash. 23 Madzhab Syafi’i yang penulis maksud dalam
penelitian ini adalah keterampilan wudhunya menggunakan tata cara wudhunya madzhab
Syafi’i.
5. Fikih Fikih

adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’ melalui dalil-dalil yang jelas
dan terperinci.24 Adapun fikih yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu mata
pelajaran yang membahas tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah dan
bertujuan untuk memberikan pemahaman dan pengalaman pada siswa dalam
menyelesaikan persoalan yang ada disekitarnya.

6.Tayamum
Semua kita tahu bahwa tayammum itu adalah pengganti wudhu dan mandi janabah.
Tayammum merupakan salah satu bentuk keringanan dalam syariat umat Nabi Muhammad
SAW, yang tidak didapat dalam syariat umat terdahulu. Namun tidak banyak yang tahu
bahwa ternyata posisi tayammum sebagai pengganti wudhu’ dan mandi janabah tidak
secara mutlak. Kalau wudhu itu fungsinya untuk mengangkat hadats kecil, lalu mandi
janabah fungsinya untuk mengangkat hadats besar, maka tayammum justru tidak
mengangkat hadats kecil atau pun hadats besar. Peranan tayammum sebagai pengganti
wudhu dan mandi janabah ternyata peranan yang sifatnya darurat saja. Kedudukannya tidak
equal, tidak seimbang dan tidak menjadi pengganti yang benarbenar 100% menggantikan.
Ibarat dalam satu pengajian, jamaah sudah berkumpul semua, tingga ustadz yang belum
datang, maka sementara mengisi kekosongan, satu orang maju untuk membacakan ayat-
ayat Al-Quran. Begitu sang ustadz tiba, maka yang baca Al-Quran minggir. Sebab acaranya
bukan acara mendengarkan bacaan Al-Quran, tapi acaranya adalah pengajian, yang
memang seharusnya merupakan penyampaian materi dari sang ustadz. Demikian juga
dengan tayammum. Posisinya sekedar jadi pengganti sementara selama tidak ada
air untuk berwudhu atau mandi janabah. Begitu ada air, otomatis tayammum menjadi tidak

4
berguna. Kita wajib berwudhu atau mandi janabah dengan air. Demikian pandangan para
ulama dari tiga mazhab muktamad dalam memposisikan tayammum, yaitu mazhab Al-
Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan AlHanabilah. Mereka boleh juga kita sebut sebagai
representasi dari jumhur ulama. Semua sepakat mengatakan bahwa tayammum itu
sesungguhnya tidak mengangkat hadats kecil atau pun hadats besar. Tayammum hanya
sekedar membolehkan shalat bagi mereka yang berhadats, namun tidak bisa mendapatkan
air. Seharusnya orang yang berhadats kecil atau berhadats besar, tidak sah kalau
mengerjakan shalat. Sebab salah satu syarat utama sah-nya shalat suci dari hadats. Biar suci
dari hadats kecil, maka harus berwudhu. Dan biar suci dar hadats besar maka harus mandi
janabah. Dalam kondisi darurat tidak ada air, Al-Quran memberi solusi dengan tayammum.
Lalu didapat penjelasan dari banyak hadits-hadits nabawi, bahwa dalam praktek tayammum
Rasulullah SAW, ternyata tayammum itu maksudnya bukan untuk mengangkat hadats,
tetapi sekedar untuk membolehkan shalat. Oleh karena itu niat kita ketika bertayammum
tidak sama dengan niat kita ketika berwudhu atau mandi janabah. Ketika kita berwudhu,
niatnya untuk mengangkat hadats kecil. Ketika mandi janabah, niatnya untuk mengangkat
hadats besar.
Adapun ketika kita tayammum, maka niatnya bukan lagi mengangkat hadats kecil atau
hadats besar. Niatnya hanya sekedar untuk membolehkan shalat yang wajib dikerjakan. Jadi
kalau dilafadzkan,
niat tayammum itu berbunyi : ‫ نويت التيمم السباحة الصالة‬Aku niat tayammum untuk
membolehkan shalat. Memang yang dipahami oleh banyak umat Islam tidak seperti yang
saya jelaskan di atas. Selama ini kebanyakan kita memahami bahwa tayammum itu benar-
benar 100% pengganti wudhu secara equal dengan wudhu atau mandi janabah. Tidak
sedikit yang beranggapan bahwa dengan tayammum, maka hadats kecil dan hadats besar
terangkat sekaligus. Pendapat ini sebenarnya tidak salah-salah amat. Setidaknya ada
mazhab Hanafi yang juga seperti itu pandangannya. Memang pendapat ini agak menyelisihi
pendapat mayoritas ulama yang tegas tidak menyamakan tayammum dengan wudhu atau
mandi janabah. Pada lembar-lembar berikutnya pembaca yang budiman insyaallah akan
mendapatkan keterangan yang lebih rinci. Dan semoga buku tipis ini bisa sedikit
memberikan tetes embun ilmu-ilmu keislaman di tengah gersangnya sahara kewaman.
B. Pengertian
1. Bahasa

Secara bahasa, makna kata tayammum itu ada beberapa terjemah, antara lain : ▪ Al-
Qashdu (‫ القصد‬: (artinya adalah bertujuan atau yaitu bermaksud ▪ At-Ta'ammud (‫ مّد التع‬:
(artinya adalah melakukan sesuatu dengan sengaja ▪ At-Tawakhi (‫ التوخي‬: (artinya
membayangkan sesuatu

2. Istilah

Sedangkan secara istilah syar’i, beberapa ulama dari masing-masing mazhab menuliskan
definisi tayammum sesuai dengan apa yang mereka tetapkan di masing-masing mazhab. a.
Al-Hanafiyah ‫ رَّ هَ طُ ِ عٍيد م ن صَ َ ِ ع ينَ دَ اليَ ِج ه وَ الوُ سحَ م‬Mengusap wajah dan kedua
tangan dengan tanah yang mensucikan.1 b. Al-Malikiyah َ َ‫اليَ ِج ه وَ الوِ سحَ م ىَ لَ ِ مل عَ شت‬
‫ تٌ ةَّ يِ اب َر ُ تٌ ةَ ارَ هَ طٍ ةَّ ِ ي نِ بِ ينَ د‬Thaharah dengan tanah yang tercakup di 1

5
Hasyiyatu Ibnu Abdin, jilid 1 hal. 153-154 Halaman 10 dari 56 muka | daftar isi dalamnya
mengusap wajah dan kedua tangan dengan niat.2 c. Asy-Syafi'iyah ِ‫سلُ الغِ و ى أِ وء ضُ ُ الو‬
َ‫ِ من ضوُ ن عَ عً الَ دَ و ب ىٍ ة أ وص‬- ‫نَ عً الَ دَ بِ ينَ دَ اليَ ِج ه وَ الو ىَِ لِ ب إ اَ ر ال اّلتُ يصَ ِ إ‬
‫ خصُ َ مِ طَ ائَ َ شَ ِ ا بَ ِ مِ ه ائ عضَ ى أ‬Menyampaikan tanah ke wajah dan kedua tangan
sebagai ganti dari wudhu atau mandi, atau sebagai ganti dari anggota wudhu dengan
syarat-syarat khusus.

3 d. Al-Hanabilah

‫ ورُ هَ ٍ ب ط اَ ُ ِّ تُ بِ ينَ دَ اليَ ِج ه وَ الوُ سحَ ص م و خصُ َ ٍج ه مَ و ىَ لَ ع‬Mengusap wajah dan


kedua tangan dengan tanah yang suci dengan ketentuan yang khusus.

4 Thaharah dengan tayammum


ini hanya khusus berfungsi untuk menjawab masalah hadats kecil atau hadats besar saja,
dimana karena berhadats itu seseorang terhalang dari melakukan shalat dan beberapa
ibadah lainnya. Sedangkan dalam masalah menghilangkan najis, meski bisa disucikan
dengan menggunakan tanah, namun tidak diistilahkan dengan tayammum. Mensucikan
bagian tubuh atau pakaian yang

terkena air liur anjing memang disyaratkan harus dicuci tujuh kali dan salah satunya
dengan tanah. Namun penggunaan tanah dalam mensucikan najis anjing tidak disebut
dengan tayammum.

C. Masyru’iyah
Syariat tayammum dilandasi oleh dalil-dalil syar’i baik dari Al-Quran Sunnah dan Ijma’. 1.
Dalil Al-Quran Allah SWT telah mensyariatkan kebolehan bertayammum bagi umat Nabi
Muhammad SAW, yaitu pada kondisi tertentu, seperti ketika dalam keadaa sakit, atau
ketika seseorang berada di dalam perjalanan yang jauh, atau juga bisa disebabkan karena
tidak adanya air untuk berwudhu dan mandi janabah. Ada dua ayat di dalam Al-Quran yang
menyebutkan hal itu, di dua surat yang berbeda, namun dengan redaksi yang mirip sama.
Ayat pertama adalah ayat ke-43 dari Surat AnNisa’, yaitu : ِ‫ن إَ و نِ ُ كم م نِ د مٌ َ اء َأحَ ٍ ر َأو جَ ف‬
‫َ َلى سَ َ ضى َأو ع مرَّ مُ ُ كنتِ ِ ط َأو آئَ الغ اً يدِ عَ وا صُ َّ ممَ يَ تَ اء فَ وا مُ د َلمََ ِتَ اء فَ سِ النُ مُ َ ست‬
‫اَلم اً بِ وا يًّ فَ َطُ َ ن عَ كاَ ن ّاللَّ ِ ُ كم إ ي َأيِد َ ُ كم وِ وهُ جُ ِ و وا بُ حَ امسَ ف اً ورُ َ غف‬
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafiratau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan kemudian kamu tidak mendapat air maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema’af lagi Maha Pengampun.(QS. An-Nisa : 43)

Ayat kedua sangat mirip dengan ayat di atas, namun terdapat di dalam surat yang lain, yaitu
Surat Al-Maidah ayat ke-6 : َ ‫نِ ُ كم م من دَّ ٌ َ اء َأحَ ٍ ر َأو جَ فَ َلى سَ َ ضى َأو ع مرَّ مُ ُ كنتِ ن إَ و اءَ وا‬
‫مُ د َلمََ ِتَ اء فَ سِ النُ مُ َ ستِ ِ ط َأو اَلم ائَ الغَ يَ تَ ف اً يدِ عَ وا صُ َّ ممُ كم ي َأيِد َ ُ كم وِ وهُ جُ ِ و وا بُ ح‬
َّ‫َ امسَ ا فً بِ َطيَ َ لَ جع يِ لُ ّاللُ ِ ريدُ ا يَ مُ نهِ م ن َل ِك َ ٍ ج وَ رَ ن حِ ُ كم م َليَ ُ كمَ ع َلي عُ هَ تَ عمِ ن‬
‫مِ تُ يِ لَ ُ كم وَ هر ََّطُ يِ لُ ِ ريدُ يُ كمَّ لَ َو ن َلعُ ُ كرَ ش ت‬
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan

6
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Maidah : 6)
2. Dalil Sunnah
Halaman 13 dari 56 muka | daftar isi Selain dari Al-Quran Al-Karim ada juga landasan
syariah berdasarkan sunnah Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang pensyariatan
tayammum ini. َ‫ نَ ع َأِ بُأ ةَ امَ م َو ل هلالُ سَ ن ر‬ ‫ َلت اأَلرِ عُ َ ج ا هُّ ُ كل ِِم تَّ ن ُأِ مُ اًلَ جَ كت‬: ‫َال َأَّ َ ُ ض ق‬
- ‫رَ ا َأدرَ َ م َأينَ ا فً ورُ َطهَ ا وً دَ سِج ِِم ت مِ أَّلَ ِ يل وُ هَ ند ِعَ وُ هُ دَ سِج مُ هَ ندِ َ ع فُ صاَلة الَّ ُ هُ ورُ َطه‬
‫روامها أمحد‬
Dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahw Rasulullah SAW bersabda"Telah dijadikan tanah
seluruhnya untukkku dan ummatku sebagai masjid dan pensuci. Dimanapun shalat
menemukan seseorang dari umatku maka dia punya masjid dan media untuk bersuci. (HR.
Ahmad)
3. Ijma’
Selain Al-Quran dan Sunnah, syarait tayammum juga dikuatkan dengan landasan ijma’ para
ulama muslimin yang seluruhnya bersepakat atas adanya masyru’iyah tayammum.
D. Tayammum Tidak Mengangkat Hadats
Tidak Mengangkat Hadats Seluruh ulama sepakat bahwa pada saat tidak ditemukan air
untuk berwudhu' atau mandi janabah, maka tayammum dibolehkan untuk dijadikan
sebagai pengganti atau badal (‫بدل‬.( Namun para ulama berbeda pendapat tentang jenis
penggantian tayammum terhadap wudhu' atau mandi, apakah pengganti yang bersifat
darurat dan
Namun para ulama berbeda pendapat tentang jenis penggantian tayammum terhadap
wudhu' atau mandi, apakah pengganti yang bersifat darurat dan
1. Tidak Mengangkat Hadats

Jumhur ulama di antaranya Mazhab Al-Malikiyah, mazhab Asy-Syafi'iyah dan


mazhab Al-Hanabilah sepakat bahwa tayammum pada dasarnya tidak mengangkat
hadats, namun sekedar membolehkan shalat yang sifatnya sementara. Hadits tentang
keharusan tayammum ulang setiap ganti waktu shalat ini memang dhaif. Bahkan
hadits ini tertuang dalam Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani. Disitu
disebutkan haditsnya dhaif memang. Lalu apakah tidak perlu tayammum lagi tiap
ganti waktu shalat? Ternyata masih wajib tayammum lagi. Sebab dalam mazhab
Syafi'i, tayammum itu ternyata tidak mengangkat hadats besar ataupun hadats kecil.
Tayammum hanya membolehkan satu kali shalat fardhu saja. Maka tayammum tidak
mengangkat hadats ( ‫ رفع الحدث‬.(Tapi hanya membolehkan shalat (‫الصالة الستباحة‬.
( Padahal haditsnya dhaif, lalu bagaimana kok mazhab Syafii malah pakai hadits dhaif
yang jiddan itu? Anak-anak baru hijrah pasti gak paham urusan beginian. Langsung
saja dia vonis bahwa mazhab Syafi'i itu ternyata penganut hadits dhaif ya. Dan dar der
dor seru lah pokoknya. Yang udah pada tua tapi Halaman 15 dari 56 muka | daftar isi
kurang ilmu rupanya juga ikut-ikutan latah menghabisi mazhab Syafi'i juga. 1.
Padahal yang berpendapat harus tayammum ulang bukan hanya mazhab As-syafi'i

7
semata, tetapi jumhur ulama yaitu mazhab Al-Malikiyah dan AlHanabilah. Sedangkan
yang bilang tidak perlu tayammum ulang cuma mazhab Hanafi sendirian. Karena
dalam pandangan mereka, tayammum itu thaharah mutlaqah yang equal dan sederajat
dengan wudhu dan mandi janabah. Jadi kalau menuduh mazhab Syafi'i sebagai
pengikut hadits dhaif, otomatis menuduh jumhur ulama adalah pengikut hadits dhaif.
Tidak masuk akal bukan? 2. Padahal mazhab Syafi'i dan juga jumhur ulama yang lain
punya dalil yang amat sangat shahih, bahkan mutawatir 100%. Mereka tidak pakai
hadits dhaif jiddan, tapi pakai AL-QURAN. Ayo siapa berani lawan kalamullah al-
munazzal minas-sama' li Muhammadin SAW? ِ ‫َص الةََ ل الَّ ِ إْ مُ تْ ُ مَ ذا قِ وا إُ نَ آمَ ين ِذ َّ ا‬
‫الَ هُّ َأيَ َ ي‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat . . . (QS. Al-
Maidah : 6)
Ayat ini adalah ayat yang mewajibkan tayammum ketika tidak ada air. Di awal ayat
tegas sekali disebutkan syaratnya, yaitu 'kalau mau shalat', Dan dimaknai sebagai
kalau sudah masuk waktu shalat. Halaman 16 dari 56 muka | daftar isi Kalau belum
masuk waktu shalat, belum disyariatkan. Lho kan ayat ini juga terkait dengan wudhu?
Kalau begitu wudhu' pun baru boleh dikerjakan saat sudah masuk waktu shalat dong?
Oh tidak. Sebab wudhu' itu sejak awal memang sudah mengangkat hadis, sehingga
dalam posisi orang tidak berhadats, bisa langsung shalat. 3. Padahal Mazhab Asy-
Syafi'i pakai hadits yang amat sangat shahih yaitu hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim. Dalam hadits khusus tentang tayammum, ada disebutkan tayammum itu
ketika seseorang bertemu dengan waktu shalat : Fa ayyuma rajulin adrakathus-shalatu
‫َُّأ‬
ِ َ‫ل صُ َْ لي فُ َص الة لَّ َ اُ ْ هَ كتَ ْ رٍ ل َأدُ َ ج ا رَ ُّ ي َ ف‬
Maka siapapun menemui waktu shalat hendaklah ia segera shalat." (HR. Bukhari dan
Muslim) Jadi bertayammum itu kalau sudah memasuki waktu shalat saja. Sedangkan
bila waktu shalat belum masuk, maka belum disyariatkan tayammum. Penjelasan
lebih dalamnya saya persilahkan baca kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya Dr.
Wahbah Az-zuhaili. Kalau punya cuma versi maktabah Syamilah yang gratisan, buka
saja jilid 1 halaman 565- 566. Tapi jangan salah paham, bukannya saya menyalahkan
pendapat mazhab Hanafi dan Halaman 17 dari 56 muka | daftar isi membela-bela
mazhab Syafi'i secara fanatik buta. Sebab yang berpendapat wajib mengulang
tayammum itu bukan hanya mazhab Syafi'i, tetapi jumhur ulama, baik Mazhab Maliki
dan Hambali. Dan mereka memang tidak pakai hadits dhaif jiddan. Mereka pakai
Quran dan Hadits Shahih Bukhari Muslim. Sementara mazhab Hanafi kita akui
keberadaannya dan kita hormati hasil ijtihadnya yang menganggap bahwa tayammum
itu setara dengan wudhu atau mandi janabah dan dianggap sebagai thaharah mutlaqah.
Akan tetapi kalau kita pakai pendapat Mazhab Syafi'i dan juga dalam hal ini mazhab
Maliki dan Hambali sekalian, juga tidak keliru. Konsekuensi dari sifat tayammum
adalah cara bersuci yang hanya bersifat darurat ini ada dua : a. Bila Ditemukan Air
Maka Tayammum Tidak Berlaku Bila seseorang tidak menemukan air sehingga dia
bersuci dengan cara tayammum untuk shalat, lalu tiba-tiba turun hujan, maka
tayammum yang telah dikerjakannya menjadi gugur dengan sendirinya. Dia tidak
boleh mengerjakan shalat kecuali setelah berwudhu dengan air yang saat itu sudah
tersedia. Lain halnya bila shalat sudah ditunaikan dengan bertayammum, setelah itu
baru lah air ditemukan, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendap

8
BAB III

Kesimpulan

•tayamum : menyucikan diri tanpa menggunakan air dalam


Islam, yaitu dengan menggunakan pasir atau debu.

•wudhu : membasuh, mengalirkan dan memberikan dengan


menggunakan air pada setiap bagian dari anggota-anggota
wudhu untuk menghilangkan hadats kecil

Saran
Wudu dan tayamum adalah cara menyucikan diri yang sah untuk dilakukan. Pengertian
wudu secara umum adalah untuk menghilangkan hadas kecil. Sedangkan tayamum,
dilakukan ketika hendak berwudu, tetapi tidak menemukan air.

Anda mungkin juga menyukai