Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AKHLAK DALAM BERPOLITIK

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Akidah

Disusun Oleh :

Dwi Muhammad Arief 60202220058


Dindi Burhanudin 60202220094

Dosen Pengampu : Drs. Hardyat, M.Pd.

SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

GLOBAL MULIA CIKARANG

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Akhlak Dalam Berpolitik ” Tak lupa sholawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kepada
keluarganya, sahabatnya, dan semoga selalu sampai kepada kita selaku akhir zaman.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Hardyat, M.Pd., selaku dosen
pengampu mata kuliah Akidah yang membimbing kami dalam penulisan makalah ini. Semoga
beliau, selalu ada dalam lindungan Allah SWT.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih ada kekurangan, untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun agar
penyusunan makalah berikutnya jauh lebih baik. Kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan bagi saya sendiri. Terima kasih.

Bekasi. 08 Juni 2023

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... I


DAFTAR ISI............................................................................................................................. II
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................... 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
A. Akhlak dan Politik........................................................................................................................ 2
B. Akhlak/Etika dalam Aktivitas Politik ........................................................................................ 4
C. Urgensi Akhlak dalam Berpolitik .............................................................................................. 8
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak dalam Islam dipandang sebagai bagian dari ibadah sehingga harus
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Ada dua alasan pentingnya Akhlak
dalam Islam. Pertama, politik dipandang sebagai bagian dari ibadah, sehingga harus
dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Misalnya, dalam politik, niat Lillahi
Ta'ala harus diniatkan. Kedua, Akhlak politik sangat perlu diperhatikan dalam Islam
karena politik berkaitan dengan prinsip-prinsip Islam dalam mengatur masyarakat.
Politik seringkali melibatkan hubungan antar manusia, misalnya saling menghormati,
menghargai hak masing-masing, saling menerima, dan tidak memaksakan pendapat
sendiri. Itulah prinsip-prinsip hubungan antarmanusia yang harus diterapkan dalam
dunia politik.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Akhlak dan Politik?


2. Bagaimana etika atau akhlak dalam aktivitas politik?
3. Bagaimana urgensi akhlak dalam berpolitik?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keterkaitan definisi akhlak dan politik.


2. Untuk memahami perspektif akhlak dalam aktivitas politik.
3. Untuk memahami pentingnya akhlak dalam mengatur aktivitas politik.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Akhlak dan Politik

Menurut istilah etimologi (bahasa) kata moral berasal Bahasa Arabnya


yaitu, ‫ ق الخأ‬yang berarti “etika, perilaku, temperamen dan karakter.” Sedangkan
secara terminologi (terms), pengertian Akhlak adalah sifat yang melekat pada jiwa
dan menjadi kepribadian, yang menimbulkan tingkah laku yang spontan, ringan,
tanpa perlu pertimbangan (Adjat, 2008: 88).
Ada beberapa pendapat para ahli yang mengemukakan pengertian akhlak
sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa
melalui pertimbangan pemikiran dan perencanaan.
2. Menurut Rosihan Anwar, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang
yang mendorong manusia untuk bertindak tanpa melalui
pertimbangan dan pilihan terlebih dahulu (Rosihan, 2010: 14).
3. Menurut Al-Ghozali, Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menyebabkan perbuatan mudah dilakukan tanpa perlu pemikiran dan
pertimbangan.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahak adalah
kondisi jiwa yang telah terlatih, sehingga dalam jiwa tersebut sebenarnya terdapat
sifat bawaan yang melahirkan perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa berpikir
dan berharap lebih.
Sumber ajaran akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk atau
mulia dan tercela. Seperti semua ajaran Islam, sumber dasar Akhlak adalah Al-
Qur'an dan Sunnah (Yunhar, 2007: 10). Berdasarkan berbagai definisi Akhlak,
Akhlak tidak ada batasnya, ia meliputi dan mencakup semua kegiatan, usaha dan
upaya manusia, yaitu nilai-nilai perbuatan. Dalam perspektif Islam, akhlak bersifat
menyeluruh dan holistik, dimanapun dan kapanpun harus bermoral. karena itu
adalah perilaku manusia dan tidak akan pernah lepas dari aktivitas manusia. Jadi,
ruang lingkup Akhlak Islam seluas kehidupan manusia itu sendiri harus diterapkan
fi kulli al-makan wa fi kulli al-zaman. Akhlak Islam meliputi:

2
1. Hubungan manusia dengan Tuhan sebagai pencipta. Bersyukur
kepada Allah. Titik awal akhlak bagi Allah adalah pengakuan dan
kesadaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Adapun akhlak
terhadap Allah meliputi selalu menjaga kebersihan jiwa dan raga,
menjauhi perbuatan keji dan munkar, serta menyadari bahwa semua
manusia adalah sama (Daud, 2011: 356).
2. Akhlak terhadap sesama manusia. Banyak sekali rincian tentang
perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal itu tidak
hanya berbentuk larangan melakukan hal-hal yang negatif seperti
membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan
yang benar, melainkan juga menyakiti hati dengan jalan
menceritakan aib. sesama. Akan tetapi akhlak kepada sesama
manusia meliputi menjaga kenormalan pikiran orang lain, menjaga
kehormatannya, bertenggangrasa dengan keyakinan yang dianutnya,
saling tolong menolong dan lain-lain.
3. Akhlak terhadap lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan
makhluk hidup lainnya, termasuk udara, udara, tanah, tumbuh-
tumbuhan,dan hewan (Deden, 2012: 152-153).
Politik yang berasal dari kata “politic” (bahasa Inggris) menunjukkan ciri
atau tindakan pribadi. Secara leksikal, kata aslinya diartikan sebagai: “bertindak
atau menilai dengan bijaksana, menilai dengan baik, dengan bijaksana” (AS.
Hornby, 1974: 645). Kata ini telah lama dikenal dalam bahasa latin atau kata dengan
“politicus” dan bahasa Yunani (Yunani) “politicos yang artinya: berhubungan
dengan warga negara”. Kedua kata ini berasal dari kata “polis” yang artinya kota,
yaitu kota.
Istilah politik berkembang sedemikian rupa sehingga diserap ke dalam
bahasa kita (Indonesia) dengan memiliki 3 (tiga) pengertian yaitu: semua hal dan
tindakan/kebijakan, siasat, dsb.) mengenai pemerintahan suatu negara terhadap
negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga digunakan sebagai nama untuk
suatu disiplin ilmu, yaitu ilmu politik.
Dengan demikian, konsep ini mengandung berbagai unsur, seperti lembaga
yang menjalankan kegiatan pemerintahan, kelompok masyarakat sebagai pihak
yang berkepentingan, kebijakan dan hukum yang menjadi alat pengatur masyarakat
serta tujuan yang ingin dicapai. Meskipun para pemikir dan ilmuwan politik tidak
memiliki kesepakatan tentang definisi atau definisi “politik”, namun unsur-unsur
yang disebutkan di atas dapat ditemukan secara parsial atau implisit dalam definisi-
definisi yang mereka kemukakan.
3
Dari berbagai defenisi yang ada, ditemukan 2 (dua) kecenderungan tentang
definisi politik, antaranya:
1. Pandangan yang mengaitkan politik dengan keberadaan suatu
negara, yaitu urusan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Pandangan yang berkaitan dengan masalah kekuasaan, kewenangan
dan/atau konflik.
Berbagai definisi politik tersebut tentunya mengandung konotasi kebijakan,
kekuasaan, negara, konflik, distribusi, dan keadilan. Definisi tersebut dilihat dari
aspek ciri esensialnya: metode pembahasan, aspek kemungkinan-kemungkinan
yang ada dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, Dr. Kartini Kartono (1989: 5) melihat pengertian politik dari dua
segi, yaitu: dari segi struktur dan kelembagaan, politik dapat diartikan sebagai
berikut: (1) segala sesuatu yang berkaitan dengan pemerintahan ( peraturan,
tindakan pemerintah, undang-undang) undang-undang, undang-undang, kebijakan
(policy), beleid dan lain-lain; (2) pengaturan dan kontrol oleh negara; (3) bagaimana
mengatur totoririum tertentu; (4) susunan, pengaturan, dan tindakan negara atau
pemerintahan untuk menguasai negara secara konstitusional dan yuridis resmi.
Kemudian aspek kedua pengertian yang lebih dinamis dan fungsional
operasional mengenai politik adalah sebagai berikut:
1. Semua keputusan dan penetapan mengenai susunan masyarakat bagi
masa mendatang.
2. Aktivitas dan proses dinamis dari tingkah laku manusia dengan
menekankan aspek-aspek politik dari masalah sosial.
3. Semua usaha dan perjuangan individu serta kelompok dengan
menggunakan macam-macam alat, cara dan alternatif tingkah laku
untuk mencapai satu tujuan terbatas sesuai dengan ide individu atau
ide kelompok dalam satu sistem kewibawaan yang integral.
B. Akhlak/Etika dalam Aktivitas Politik

Etika Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, menjelaskan dan


mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan
sesamanya dan dengan alam lingkungannya. Etika politik mengandung tiga
tuntutan, yaitu pertama upaya untuk hidup sejahtera dengan dan untuk orang lain,
kedua upaya memperluas ruang lingkup kebebasan, ketiga membangun institusi-

4
institusi yang adil. Hidup baik dengan dan untuk orang lain tidak mungkin, kecuali
saat menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup
baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan. Kesempurnaan eksistensi atau pemasaran
keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan
dengan menghindarkan warga negara atau kelompok-kelompok dari saling
merugikan. Sebaliknya, kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan bersikap
kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Etika politik tidak hanya
melibatkan perilaku individu saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif (etika
sosial).
Pada tataran ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan dari sikap dan
perilaku politisi atau warga negara. Politisi yang baik adalah jujur, santun,
berintegritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, peduli terhadap
kesejahteraan umum dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politisi yang
mempraktikkan etika politik adalah negarawan yang memiliki kebajikan moral
Islam memiliki dua sumber yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menjadi pedoman
dalam menentukan segala urusan di dunia dan akhirat. Kedua sumber ini sekaligus
merupakan sumber akhakislamiyah. Prinsip dan aturan moral Islam semuanya
didasarkan pada wahyu mutlak. Dengan kata lain, moralitas adalah suatu sistem
yang menilai tindakan jasmani dan rohani manusia, baik secara individu maupun
sosial dalam interaksi.
Islam telah mengatur banyak etika dan moral kepemimpinan, baik dalam
Alquran maupun hadis Nabi Muhammad SAW dan ijma para ulama. Semua ajaran
dan akhlak dalam kehidupan masyarakat adalah etika dan akhlak kepemimpinan,
namun inti dari semua itu adalah amanah dan keadilan sebagaimana firman Allah
swt dalam QS. An-Nahl/16:90:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

۞ ِ ‫ع ِن ْالفه ْحش ۤهاءِ هو ْال ُم ْنك ِهر هو ْالبه ْغي‬ ِ ‫ان هواِ ْيت ۤها‬
‫ئ ذِى ْالقُ ْر ٰبى هويه ْنهٰ ى ه‬ ِ ‫س‬ ِ ْ ‫ّللا يهأ ْ ُم ُر بِ ْالعهدْ ِل هو‬
‫اال ْح ه‬ ‫اِن ٰ ه‬
ُ ‫يه ِع‬
‫ظ ُك ْم له هعل ُك ْم تهذهك ُر ْونه‬
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat kebajikan, dan
memberikan bantuan kepada kerabat. Dia (juga) melarang perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu
selalu ingat. An-Naḥl [16]:90

5
Keadilan dalam hal ini adalah dalam memutuskan suatu persoalan tidak
berat sebelah, keadilan harus dinikmati oleh semua orang, baik muslim maupun non
muslim, pejabat atau non pejabat, keluarga atau bukan, keputusan yang diberikan
kepada mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum dan tidak didasarkan pada
perkelahian.
Masalah kepemimpinan saat ini merupakan kunci utama dalam menuju
bangsa dan masyarakat yang bermoral. Struktur kejahatan merupakan hasil dari
politik kekuasaan. Keseimbangan kekuatan politik mengabaikan upaya serius untuk
mengatasi korupsi dan ketidakadilan. Praktik kekuasaan dilakukan bukan atas dasar
etika politik, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan. Begitu banyak konsesi
dibuat dengan mengorbankan tujuan politik utama (kemakmuran bersama)
(Haryatmoko, 2003: 33).
Etika dan moral kepemimpinan Islam maupun kepemimpinan di luar Islam
sangat ditentukan oleh penguasa. Konsep masyarakat madani dapat dikatakan
seirama dengan etika politik Islam dan demokrasi masyarakat madani
menghendaki:
1. Legislatif benar-benar berfungsi sebagai pemikir dan merumuskan
kepentingan rakyat serta berupaya semaksimal mungkin untuk
menciptakan keamanan, ketertiban, ketentraman, dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Peradilan yang jujur, adil, andal dan mampu membuat atau
menjatuhkan sanksi yang adil kepada siapa pun tanpa memandang
jabatan yang dipegangnya.
3. Eksekutif yang fungsional, bersih, jujur dalam melaksanakan
mandat rakyat.
4. Masyarakat harus jujur dan berani berkata benar dalam
menyampaikan tuntutan dan kewajiban taat pada berbagai aturan
yang memberikan kemungkinan untuk mensejahterakan
masyarakat.
Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara antara lain kekuasaan sebagai amanah, musyawarah,
keadilan sosial, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks
kenegaraan, amanat dapat berupa kekuasaan atau kepemimpinan. Kekuasaan adalah
amanah, maka Islam dengan tegas melarang para pemegang kekuasaan untuk
6
menyalahgunakan atau menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan
kepadanya. Oleh karena itu pemegang kekuasaan atau pemimpin harus bertindak
adil dalam arti yang sebenarnya.
Al-Qur'an adalah pedoman bagi umat manusia, maka tidak berlebihan jika
Al-Qur'an dijadikan sebagai konsep etika politik, dimana etika ingin menjawab
“bagaimana menjalani kehidupan yang baik”. Demikianlah Al-Qur'an menjelaskan
tentang etika dan moral sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Imran/3:159
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

‫ع ْن ُه ْم هوا ْست ه ْغف ِْر‬ ُ ‫ب هال ْنفهض ُّْوا مِ ْن هح ْولِكه ۖ فهاع‬


‫ْف ه‬ ِ ‫ظ ْالقه ْل‬
‫غ ِل ْي ه‬ ًّ ‫ّللا ِل ْنته له ُه ْم ۚ هوله ْو ُك ْنته فه‬
‫ظا ه‬ ِ ٰ ‫فهبِ هما هر ْح همة ِمنه‬
‫ّللا يُحِ بُّ ْال ُمت ههو ِك ِليْنه‬ ِ ٰ ‫علهى‬
‫ّللا ۗ اِن ٰ ه‬ ‫عزه مْته فهت ههوك ْل ه‬ ‫له ُه ْم هوشها ِو ْرهُ ْم فِى ْ ه‬
‫اال ْم ۚ ِر فه ِاذها ه‬

Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertawakal. Āli ‘Imrān [3]:159
Isi ayat di atas menjelaskan etika dan moral kepemimpinan yang diperlukan
untuk memperoleh dukungan dan partisipasi, antara lain memiliki sifat lemah
lembut dan tidak menyakiti orang lain dengan perkataan atau perbuatan, serta
memberikan kemudahan dan ketenteraman bagi masyarakat. Ciri-ciri tersebut
merupakan faktor subyektif yang dimiliki seorang pemimpin yang dapat
merangsang dan mendorong orang lain untuk berpartisipasi dalam musyawarah.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin tidak memiliki sifat-sifat tersebut di atas,
tentunya orang tersebut akan menjauh dan tidak memberikan dukungan.
Al-Qur'an sebagai sumber gagasan etika politik mencoba menanamkan
perilaku yang baik pada para pemimpin untuk menciptakan pemerintahan yang
berwibawa. Oleh karena itu perilaku masyarakat sangat bergantung pada kebijakan
pemimpin, moral masyarakat merupakan cerminan dari seorang pemimpin.
Pemimpin yang bertanggung jawab adalah pemimpin yang beretika dan bermoral
yang bersumber dari nilai-nilai luhur agama. Dengan demikian segala perbuatan
yang baik, adil, amanah dari pemimpin akan mendapatkan syafaat, selama
7
pemimpin tersebut tidak keluar dari koridor yang telah digariskan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur'an sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan. di dunia dan akhirat.

C. Urgensi Akhlak dalam Berpolitik

Beberapa prinsip ajaran Islam yang dapat dijadikan etika dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara antara lain kekuasaan sebagai amanah, musyawarah,
keadilan sosial, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks
kenegaraan, amanat dapat berupa kekuasaan atau kepemimpinan. Kekuasaan adalah
amanah, maka Islam dengan tegas melarang para pemegang kekuasaan untuk
menyalahgunakan atau menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan
kepadanya. Oleh karena itu pemegang kekuasaan atau pemimpin harus bertindak
adil dalam arti yang sebenarnya.
Apabila beberapa prinsip ajaran Islam tersebut di atas tidak diamalkan
dengan baik dan benar, maka akan muncul keterpurukan etika dan pemimpin moral
sebagai berikut:
Pertama, keterpurukan etika dan moral pemimpin disebabakan masih ada
hubungannya dengan korupsi yaitu pemimpin yang sangat ambisius untuk
mendapatkan harta yang banyak, tidak mempertimbangkan halal dan haram yang
penting tujuan tercapai. Sehubungan dengan itu, Baharuddin Lopa mengatakan
bahwa Krisis moral sudah menjangkit semua tingkat dan sektor termasuk
pemerintah, sehingga keadilan sebagai sumber ketentraman dan
perwujudankesejahteraan di Indonesia belum terlaksana dengan baik (Baharuddin,
2001: 67).
Kedua, keterpurukan etika dan moral seorang pemimpin adalah pemahaman
terhadap ajaran agama sebagai pengendali dalam melakukan tindakan, karena
lemahnya agama dapat menyebabkan para pemimpin tidak memperhatikan nilai-
nilai etika dan moral. Oleh karenanya wajib bagi seorang pemimpin untuk
memperbaiki pemahaman terhadap ajaranya
Ketiga, kemerosotan etika dan moral pemimpin adalah pemimpin yang
sombong. Sama seperti Raja Namruz. Dia adalah orang pertama di bumi yang
mempraktikkan kesombongan yang mengaku sebagai Tuhan. Ketika terjadi krisis
ekonomi pada masa kerajaannya, rakyat sangat menginginkan makanan, namun

8
Raja Namruz tidak mau memberikan makanan yang dimilikinya meskipun dibeli,
jika rakyat tidak mau sujud kepadanya dan berkata Engkau adalah Tuhanku. Itulah
sikap angkuh yang ditunjukkan oleh seorang pemimpin yang tidak peduli dengan
nilai-nilai. etika dan moral dalam kepemimpinan.
Keempat, kurangnya rasa tanggung jawab. Kekuasaan bukanlah sebuah
kenikmatan yang harus dihirup, melainkan suatu tanggung jawab, maka berat
harusdipikul dan mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah swt yang secara
demokrasi adalah dihadapan rakyat secara terbuka dan jujur. Berkuasa adalah bukan
memegang kendali politik sambil menikmati sumber daya dengan cara menindas,
melainkan terkandung pertanggungjawaban politik yang berat di dalamnya.
Kelima, tidak jujur. Tanpa kejujuran, maka keutamaan moral lainnya
kehilangan nilai. Bersikap baik kepada orang lain, tetapi tanpa kejujuran adalah
kemunafikan dan sering beracum. Hal yang sama berlaku pada sikap tenggang rasa
dan mawas diri, tanpa kejujuran, dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati-hati
tanpa tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika politik Islam selalu mengacu pada ketentuan dalam Alquran dan hadis.
Dalam Al-Qur'an menyeru umatnya untuk berlaku adil dan berbuat baik serta
amanah. Prinsip dasar dalam etika politik Islam adalah menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sehingga tercipta
perdamaian yang berkelanjutan berdasarkan norma-norma agama. Dan ketika
segala aktivitas politik yang dilakukan selalu dituntut oleh nilai-nilai yang
bersumber dari Alquran, maka aktivitas yang dilakukan mendapat berkah yang
berlipat ganda, sehingga terhindar dari malapetaka akibat melakukan perbuatan
buruk atau kejahatan.
B. Saran

1. Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kritik yang membangun akan membantu
melengkapi kekurangan makalah ini.
2. Referensi dalam makalah ini dapat berubah seiring temuan baru pada penelitian,
pemeriksaan lebih lanjut akan memperluas khazanah dan wawasan tentang
Perspektif akhlak dalam aktivitas politik.

10
DAFTAR PUSTAKA

Adjat Sudrajat dkk, (2008). Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum, Yogyakarta: UNY Perss.

Rosihan Anwar, (2010). Asas Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka Setia.

Yunhar Ilyas (2007). Kuliah Akhlak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mohammad Daud Ali (2011). Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Deden Makbuloh, (2012). Pendidikan Agama Islam: Arah Baru Perkembangan Ilmu
dan Kepribadian di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO Persada,
2012.

AS, Hornby. (1974). Oxford Advanced Learner‘s Dictionary of Current


English. London : Oxford University Press.

Kartono, Kartini. (1989). Pendidikan Politik Sebagai Bagian dari Pendidikan Orang
Dewasa. Bandung : Penerbit Mandar Maju.

Haryatmoko, (2003). Etika Politik dan Kekuasaan . Cet. I; Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.

Baharuddin Lopa,(2001). Masalah-Masalah Politik Hukum Sosial Budaya dan Agama,


Sebuah Pemikiran Cet. I; Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.

11

Anda mungkin juga menyukai