Para ahli fikih mengartikan taklid sebagai mengambil perkataan seseorang tanpa
mengetahui asalnya (dalilnya) (Syarifuddin, 2011). Menurut ulama terdapat tiga jenis taklid
Taklid yang Haram, termasuk didalamnya mengikuti kebiasaan terdahulu yang tidak
sesuai dengan alquran dan sunnah, taklid akan pendapat seseorang yang sudah jelas salah,
dan taklid kepada sesuatu atau seseorang yang kita tidak punya pengetahuan akan
orang tersebut tidak mengetahui hukum islam dari suatu masalah (awam), namun yang
bersangkutan harus selalu berusaha mencari tahu hukum asal atau kebenaran dari
masalahnya. Ulama masa kini membagi taklid ini dalam dua kelompok, yaitu:
a. Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib ber-taqlid kepada pendapat
kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian, antara lain: Al-Adhud, Ibnu Hajib,
Ibnu Subki, dan Al-Mahalli. (Jumantoro & Amin, 2005, hal 327)
Taklid yang diwajibkan, taklid ini wajib bagi seluruh umat muslim tanpa terkecuali,
yaitu taklidnya seorang muslim hanya kepada Rasulullah Saw yang segala perkataan dan
diminta untuk taklid pada imam besar mazhab. Seperti yang dikatakan oleh Imam Abu
“Tiada halal bagi seseorang berkata dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui
dari mana kami ambil perkataan kami itu.” (Jumantoro & Amin, 2005, hal 324)
Hal tersebut juga diperkuat dengan Imam Malik yang tidak mengijinkan karyanya
kitab Hadist al-Muwattha untuk dijadikan panduan oleh negara di masa Khalifah Abbasiyah
Abu Ja’far Al-Manshur dan Harun ar-Rasyid. Imam Malik yang tidak pernah keluar dari
Madinah kecuali untuk berhaji menyadari bahwa pemahaman dan fatwanya hanya seputar
Madinah saja, dan diluar Madinah banyak imam besar yang tersebar dengan ijtihadnya
masing-masing. Sehingga Imam Malik menyadari kekurangan pada dirinya dan berkata:
"Sesunggguhnya aku hanyalah manusia, kadang salah, kadang benar, maka telitilah
pendapatku, lalu ambil yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, dan tinggalkan yang
Begitupula halnya dengan Imam Syafii, yang menekankan untuk mengikuti apa yang
“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika
engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Tuasikal,
2010)
Imam Ahmad juga tak jauh berbeda dengan imam lainnya, Imam Ahmad menekankan
untuk tidak taklid kepada imam mazhab manapun dan ambillah hukun dari sumbernya.
“Jangan kamu bertaklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, iangan kepada Syafii
dan Ats Tsaury, ambillah hukum-hukum itu dari tempat mereka mengambilnya.”
Dalam hal praktik, keempat mazhab tadi juga tidak pernah meminta muridnya untuk
bertaklid kepada mereka saja, seperti contohnya Imam Syafii merupakan murid dari Imam
Malik dan Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan murid dari Abu Hanifah, namun Imam
Syafii justru membuat mazhab baru yaitu Mazhab Syafii. Begitu juga Imam Ahmad yang
menjadi murid Imam Abu Yusuf yang merupakan murid Abu Hanifah dan menjadi murid
Imam Syafii namun ia juga membuat mazhab baru yaitu Mazhab Hambali. Hal ini
membuktikan bahwa imam besar mazhab tidak pernah meminta muridnya sendiri untuk
taklid pada gurunya. Karena pada era imam besar masih mengedepankan keterbukaan dan
tidak seperti era selanjutnya yang cenderung tidak terbuka sehingga timbul kefanatikan
(Philips, 2006).
Contoh kefanatikan yang muncul dari generasi pengikut imam besar salah satunya
adalah kisah Asyhab yang merupakan pengikut Imam Malik yang sangat alim serta pakar
dalam hal fikih, bahkan imam Syafii memuji kealimannya namun juga menyayangkan sifat
gegabah yang dimilikinya. Asyhab saat itu mengajak Imam Syafii berdebat, dan perdebatan
tersebut dimenangkan oleh Imam Syafii, namun Asyhab tidak terima akan kekalahannya dan
memukul kening imam Syafii dengan gembok hingga membuat imam syafii sakit dan selang
beberapa hari Imam Syafii wafat karena hal itu. Sebelum wafatnya Imam Syafii, Asyhab
Kisah ini menandakan bahwa taklid pada imam mazhab bukanlah perintah dari imam
besar mazhab, namun direpresentasikan dari perilaku para pengikut generasi setelah wafatnya
imam besar.