Anda di halaman 1dari 4

2.

1 PENGERTIAN TAKLID DAN PEMBAGIANNYA

Para ahli fikih mengartikan taklid sebagai mengambil perkataan seseorang tanpa

mengetahui asalnya (dalilnya) (Syarifuddin, 2011). Menurut ulama terdapat tiga jenis taklid

berdasarkan hukumnya (Jumantoro & Amin, 2005) yaitu:

Taklid yang Haram, termasuk didalamnya mengikuti kebiasaan terdahulu yang tidak

sesuai dengan alquran dan sunnah, taklid akan pendapat seseorang yang sudah jelas salah,

dan taklid kepada sesuatu atau seseorang yang kita tidak punya pengetahuan akan

kemampuan atau keahliannya seperti penyembahan terhadap berhala.

Taklid yang dibolehkan, yaitu taklidnya seseorang kepada mujtahid dikarenakan

orang tersebut tidak mengetahui hukum islam dari suatu masalah (awam), namun yang

bersangkutan harus selalu berusaha mencari tahu hukum asal atau kebenaran dari

masalahnya. Ulama masa kini membagi taklid ini dalam dua kelompok, yaitu:

a. Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib ber-taqlid kepada pendapat

salah satu dari keempat mazhab.

b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat ijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaklid

kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian, antara lain: Al-Adhud, Ibnu Hajib,

Ibnu Subki, dan Al-Mahalli. (Jumantoro & Amin, 2005, hal 327)

Taklid yang diwajibkan, taklid ini wajib bagi seluruh umat muslim tanpa terkecuali,

yaitu taklidnya seorang muslim hanya kepada Rasulullah Saw yang segala perkataan dan

perbuataannya menjadi dasar hujjah.

2.2 PEMBAHASAN SIKAP EMPAT IMAM MAZHAB TERHADAP TAKLID


Dalam kamus fikih karya Jumantoro & Amin tahun 2005, umat islam tidak pernah

diminta untuk taklid pada imam besar mazhab. Seperti yang dikatakan oleh Imam Abu

Hanifah berikut ini:

“Tiada halal bagi seseorang berkata dengan perkataan kami sehingga ia mengetahui

dari mana kami ambil perkataan kami itu.” (Jumantoro & Amin, 2005, hal 324)

Hal tersebut juga diperkuat dengan Imam Malik yang tidak mengijinkan karyanya

kitab Hadist al-Muwattha untuk dijadikan panduan oleh negara di masa Khalifah Abbasiyah

Abu Ja’far Al-Manshur dan Harun ar-Rasyid. Imam Malik yang tidak pernah keluar dari

Madinah kecuali untuk berhaji menyadari bahwa pemahaman dan fatwanya hanya seputar

Madinah saja, dan diluar Madinah banyak imam besar yang tersebar dengan ijtihadnya

masing-masing. Sehingga Imam Malik menyadari kekurangan pada dirinya dan berkata:

"Sesunggguhnya aku hanyalah manusia, kadang salah, kadang benar, maka telitilah

pendapatku, lalu ambil yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, dan tinggalkan yang

tidak sesuai dengan keduanya." (Philips, 2006, hal 126)

Begitupula halnya dengan Imam Syafii, yang menekankan untuk mengikuti apa yang

dikatakan oleh Nabi Saw, Imam Syafii berkata:

“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika

engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.” (Tuasikal,

2010)

Imam Ahmad juga tak jauh berbeda dengan imam lainnya, Imam Ahmad menekankan

untuk tidak taklid kepada imam mazhab manapun dan ambillah hukun dari sumbernya.
“Jangan kamu bertaklid kepadaku, jangan pula kepada Malik, iangan kepada Syafii

dan Ats Tsaury, ambillah hukum-hukum itu dari tempat mereka mengambilnya.”

(Jumantoro & Amin, 2005, hal 325)

2.3 PRAKTIK 4 IMAM MAZHAB TERHADAP TAKLID

Dalam hal praktik, keempat mazhab tadi juga tidak pernah meminta muridnya untuk

bertaklid kepada mereka saja, seperti contohnya Imam Syafii merupakan murid dari Imam

Malik dan Muhammad bin Al-Hasan yang merupakan murid dari Abu Hanifah, namun Imam

Syafii justru membuat mazhab baru yaitu Mazhab Syafii. Begitu juga Imam Ahmad yang

menjadi murid Imam Abu Yusuf yang merupakan murid Abu Hanifah dan menjadi murid

Imam Syafii namun ia juga membuat mazhab baru yaitu Mazhab Hambali. Hal ini

membuktikan bahwa imam besar mazhab tidak pernah meminta muridnya sendiri untuk

taklid pada gurunya. Karena pada era imam besar masih mengedepankan keterbukaan dan

tidak seperti era selanjutnya yang cenderung tidak terbuka sehingga timbul kefanatikan

(Philips, 2006).

Contoh kefanatikan yang muncul dari generasi pengikut imam besar salah satunya

adalah kisah Asyhab yang merupakan pengikut Imam Malik yang sangat alim serta pakar

dalam hal fikih, bahkan imam Syafii memuji kealimannya namun juga menyayangkan sifat

gegabah yang dimilikinya. Asyhab saat itu mengajak Imam Syafii berdebat, dan perdebatan

tersebut dimenangkan oleh Imam Syafii, namun Asyhab tidak terima akan kekalahannya dan

memukul kening imam Syafii dengan gembok hingga membuat imam syafii sakit dan selang

beberapa hari Imam Syafii wafat karena hal itu. Sebelum wafatnya Imam Syafii, Asyhab

selalu berdoa agar imam Syafii diwafatkan dengan cepat:


“Ya Allah, wafatkan al-Syafii. Jika tidak, aku khawatir ilmu Imam Malik akan

binasa,” begitu do’a yang dibaca Asyhab. (Humam, 2019)

Kisah ini menandakan bahwa taklid pada imam mazhab bukanlah perintah dari imam

besar mazhab, namun direpresentasikan dari perilaku para pengikut generasi setelah wafatnya

imam besar.

Anda mungkin juga menyukai