10002416
FQH 101
Seseorang tidaklah sah menjadi muslim kecuali dengan membaca 2 kalimat syahadat. Dia
mengakui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad ﷺ
adalah utusan Allah. Dengan diucapkannya 2 kalimat tersebut, maka haruslah dirinya untuk
mengikuti Nabi Muhammad ﷺdalam berbagai aspek kehidupannya. Dia beragama dengan
apa yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dan meninggalkan metode-metode
beragama yang tidak diajarkan oleh Sang Nabi. Allah Ta’ala berfirman :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imron
: 31)
Maka, seorang muslim tidaklah beragama kecuali dengan menjadikan Nabi Muhammad ﷺ
tanpa landasan jelas yang berasal dari Nabi. Yang mana hal ini populer dengan istilah ‘taklid
buta’. Jawas (2013) menjelaskan “menurut istilah, taklid buta ialah mengambil pendapat orang
Dalam dunia Islam sekarang ini, telah dikenal 4 imam mazhab fikih yang memiliki banyak
pengikut. Setiap daerah di penjuru bumi, biasa mengambil salah satu mazhab dari keempat imam
tersebut untuk dijadikan sebagai landasan dasar beragama. Berikut ini biografi ringkas keempat
imam tersebut :
A. Imam Abu Hanifah
Dari asy-Syafi’i, dia mengatakan, pernah ditanyakan kepada Malik, “Apakah engkau
pernah melihat Abu Hanifah?” Dia menjawab, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang
sebagai emas, niscaya dia tegak dengan hujjahnya.” Dalam metode berfikih, diriwayatkan
dari Abu Hanifah dari banyak jalur yang ringkasnya bahwa dia pertama-tama berpegang
pada al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maka berpegang pada Sunnah. Jika tidak
menemukan, maka berpegang pada pendapat sahabat. Jika mereka berselisih, maka
berpegang pada pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an atau Sunnah, dan tidak
keluar dari pendapat mereka. Jika dia tidak menemukan pendapat dari salah seorang dari
mereka, dia tidak berpegang pada pendapat tabi’in, tetapi dia berijtihad sebagaimana
Selama hidupnya, banyak yang mengambil ilmu darinya, dan murid-murid Abu Hanifah yang
paling terkenal adalah Zubair bin Hudhail, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
B. Imam Malik
Asy-Syafi’i menyebut tentangnya, “Jika para ulama disebut, maka Maliklah bintangnya.” (Farid,
2016, h.297)
Imam Malik dalam merumuskan hukum Islam dari sumber-sumber berikut ini, dan diurutkan
sesuai dengan tingkat pentingnya : Al-Qur’an, Sunnah, praktik masyarakat Madinah, ijmak
sahabat, pendapat individu sahabat, qiyas, tradisi masyarakat Madinah, istislah (kemaslahatan),
‘urf. Imam Malik memiliki banyak murid, diantaranya : Abu Abdurrahman bin Qasim, Abu
Abdullah bin Wahab, Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.
C. Imam asy-Syafi’i
Imam Syafi’I mengombinasikan fikih Hijaz (Mazhab Maliki) dengan fikih Iraq (Mazhab
Hanafi) dan menciptakan mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-muridnya dalam
bentuk buku yang dinamakan al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini berlangsung di Iraq pada
pada orang lain. Buku dan periode keulamaannya ini lazim disebut sebagai Mazhab
berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir. Di Mesir ia menyerap fikih dari Imam
al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab Jadid kepada murid-muridnya dalam bukunya
yang lain, al-Umm. Karena penjelajahannya yang benar-benar baru atas serangkaian
hadis dan dalil-dalil hukum, dalam Mazhab Jadid, Imam Syafi’i banyak merevisi
prinsip-prinsip dasar fikih yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah. Murid-
murid utama dari Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam
Muzani, Imam Rabi’, dan Imam Yusuf bin Yahya. (h. 110, 112)
D. Imam Ahmad bin Hanbal
Abu Nu’aim mengatakan, “Imam Ahmad bin Hanbal, kedudukannya dalam imamah
laksana pilar, karena dia mengikuti atsar, dan bermulazamah dengan orang-orang pilihan.
Dia tidak berpaling dari atsar, dan tidak pula memandang akal memiliki tempat.
Berkenaan dengan hadits, dia ibarat gunung yang besar, sedangkan berkenaan dengan ilal
dan ta’lil, dia ibarat lautan yang luas.” Imam Ahmad mengalami masa empat khalifah, di
antara mereka ada yang memberikan ancaman, ada yang memukul dan menahan, ada
yang mengasingkan dan ekstradisi, ada pula yang menawarkan jabatan. Hal itu tidak
menambah kepada Sang Imam kecuali kepercayaan, keimanan, dan keyakinan. Inilah
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki murid-murid, dan yang utama adalah dua orang putranya,
yaitu Salih dan Abdullah. Imam Bukhari dan Muslim, pengumpul hadis yang termasyhur, adalah
termasuk di antara para ulama besar hadis yang pernah belajar di bawah bimbingan Imam
Dengan reputasi 4 imam besar yang sedemikian telah makruf. Mereka pun tidak menganggap
sosok-sosok mereka terlepas dari kesalahan. Dan tidak menginginkan seorang pun mengikuti
mereka dengan cara fanatik, taklid buta. Walau di samping itu, tentu mereka telah melalui usaha
maksimal dalam berijtihad, dalam menghasilkan hukum-hukum fikih. Juga kaum muslimin
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seseorang mengambil
perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Beliau juga
Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya aku hanya seorang
manusia biasa, terkadang aku benar dan terkadang salah; maka lihatlah pendapatku,
setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka ambillah. Dan
setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya
salah satu Sunnah Rasulullah ﷺ, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka
apa yang disabdakan Rasulullah ﷺitulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi
pendapatku.” Beliau juga mengatakan, “Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadis dari
Nabi ﷺyang sahih menyelisihi pendapatku, maka hadis Nabi ﷺitulah yang lebih
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Kalian tidak boleh taklid
kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan ats-Tsauri,
Menjadi kebutuhan bagi kaum muslimin untuk belajar, bersungguh-sungguh dalam memahami
agama mereka, sehingga bisa terlepas dari jerat taklid buta. Karena kebanyakan yang sebabkan
seseorang jatuh pada taklid buta adalah kebodohan, dan tidak pernahnya mereka menapaki jalan
menuntut ilmu syar’i. Tentu di zaman ini, semaksimalnya seorang muslim dalam tholabil ‘ilm
tidak akan mampu menyamai level para imam-imam terdahulu. Akan tetapi, setidaknya dengan
menjadi penuntut ilmu, dirinya akan terbiasa mengetahui dalil-dalil, landasan-landasan dalam
mempraktekkan agamanya. Sehingga besar diharapkan mampu terhindar dari jurang taklid buta
yang membinasakan.
Referensi