Anda di halaman 1dari 8

\

DESMON IRWAN SASONO

10002416

FQH 101

Membuat Esai dari Topik (1)

Jumlah Percobaan (1)


I. Pendahuluan

Seseorang tidaklah sah menjadi muslim kecuali dengan membaca 2 kalimat syahadat. Dia

mengakui bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad ‫ﷺ‬

adalah utusan Allah. Dengan diucapkannya 2 kalimat tersebut, maka haruslah dirinya untuk

mengikuti Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬dalam berbagai aspek kehidupannya. Dia beragama dengan

apa yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad ‫ﷺ‬. Dan meninggalkan metode-metode

beragama yang tidak diajarkan oleh Sang Nabi. Allah Ta’ala berfirman :

               

Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi

dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imron

: 31)

Maka, seorang muslim tidaklah beragama kecuali dengan menjadikan Nabi Muhammad ‫ﷺ‬

sebagai panutannya. Tidak berdasar ikut-ikutan semata, mengikuti tokoh-tokoh, figur-figur,

tanpa landasan jelas yang berasal dari Nabi. Yang mana hal ini populer dengan istilah ‘taklid

buta’. Jawas (2013) menjelaskan “menurut istilah, taklid buta ialah mengambil pendapat orang

lain tanpa mengetahui dalilnya. (h. 302).

Dalam dunia Islam sekarang ini, telah dikenal 4 imam mazhab fikih yang memiliki banyak

pengikut. Setiap daerah di penjuru bumi, biasa mengambil salah satu mazhab dari keempat imam

tersebut untuk dijadikan sebagai landasan dasar beragama. Berikut ini biografi ringkas keempat

imam tersebut :
A. Imam Abu Hanifah

Farid (2016) menyebutkan :

Dari asy-Syafi’i, dia mengatakan, pernah ditanyakan kepada Malik, “Apakah engkau

pernah melihat Abu Hanifah?” Dia menjawab, “Ya, aku melihat seorang laki-laki yang

seandainya berbicara kepadamu mengenail tiang ini untuk (maksud) menjadikannya

sebagai emas, niscaya dia tegak dengan hujjahnya.” Dalam metode berfikih, diriwayatkan

dari Abu Hanifah dari banyak jalur yang ringkasnya bahwa dia pertama-tama berpegang

pada al-Qur’an. Jika tidak menemukan, maka berpegang pada Sunnah. Jika tidak

menemukan, maka berpegang pada pendapat sahabat. Jika mereka berselisih, maka

berpegang pada pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an atau Sunnah, dan tidak

keluar dari pendapat mereka. Jika dia tidak menemukan pendapat dari salah seorang dari

mereka, dia tidak berpegang pada pendapat tabi’in, tetapi dia berijtihad sebagaimana

mereka berijtihad.” (h. 197, 203)

Selama hidupnya, banyak yang mengambil ilmu darinya, dan murid-murid Abu Hanifah yang

paling terkenal adalah Zubair bin Hudhail, Abu Yusuf, dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

(Philips, 2015, h.91)

B. Imam Malik

Asy-Syafi’i menyebut tentangnya, “Jika para ulama disebut, maka Maliklah bintangnya.” (Farid,

2016, h.297)

Imam Malik dalam merumuskan hukum Islam dari sumber-sumber berikut ini, dan diurutkan

sesuai dengan tingkat pentingnya : Al-Qur’an, Sunnah, praktik masyarakat Madinah, ijmak
sahabat, pendapat individu sahabat, qiyas, tradisi masyarakat Madinah, istislah (kemaslahatan),

‘urf. Imam Malik memiliki banyak murid, diantaranya : Abu Abdurrahman bin Qasim, Abu

Abdullah bin Wahab, Muhammad bin Idris asy-Syafi’I, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani.

(Philips, 2015, h.96-100)

C. Imam asy-Syafi’i

Philips (2015) menyebutkan :

Imam Syafi’I mengombinasikan fikih Hijaz (Mazhab Maliki) dengan fikih Iraq (Mazhab

Hanafi) dan menciptakan mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-muridnya dalam

bentuk buku yang dinamakan al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini berlangsung di Iraq pada

tahun 810 M dan sejumlah murid-muridnya. Menghafalkannya dan menyampaikannya

pada orang lain. Buku dan periode keulamaannya ini lazim disebut sebagai Mazhab

Qadim untuk membedakannya dengan periode keulamaannya yang kedua yang

berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir. Di Mesir ia menyerap fikih dari Imam

al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab Jadid kepada murid-muridnya dalam bukunya

yang lain, al-Umm. Karena penjelajahannya yang benar-benar baru atas serangkaian

hadis dan dalil-dalil hukum, dalam Mazhab Jadid, Imam Syafi’i banyak merevisi

pendapat-pendapat hukumnya yang ia tetapkan saat berada di Iraq. Imam Syafi’i

memiliki perbedaan dengan periode keulamaannya yang pertama dalam menyistemkan

prinsip-prinsip dasar fikih yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah. Murid-

murid utama dari Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam

Muzani, Imam Rabi’, dan Imam Yusuf bin Yahya. (h. 110, 112)
D. Imam Ahmad bin Hanbal

Farid (2016) menyebutkan :

Abu Nu’aim mengatakan, “Imam Ahmad bin Hanbal, kedudukannya dalam imamah

laksana pilar, karena dia mengikuti atsar, dan bermulazamah dengan orang-orang pilihan.

Dia tidak berpaling dari atsar, dan tidak pula memandang akal memiliki tempat.

Berkenaan dengan hadits, dia ibarat gunung yang besar, sedangkan berkenaan dengan ilal

dan ta’lil, dia ibarat lautan yang luas.” Imam Ahmad mengalami masa empat khalifah, di

antara mereka ada yang memberikan ancaman, ada yang memukul dan menahan, ada

yang mengasingkan dan ekstradisi, ada pula yang menawarkan jabatan. Hal itu tidak

menambah kepada Sang Imam kecuali kepercayaan, keimanan, dan keyakinan. Inilah

perihal iman yang benar. (h. 505, 508)

Imam Ahmad bin Hanbal memiliki murid-murid, dan yang utama adalah dua orang putranya,

yaitu Salih dan Abdullah. Imam Bukhari dan Muslim, pengumpul hadis yang termasyhur, adalah

termasuk di antara para ulama besar hadis yang pernah belajar di bawah bimbingan Imam

Ahmad. (Philips, 2015, h.117)


II. Perkataan Empat Imam Mazhab Mengenai Taklid Buta

Dengan reputasi 4 imam besar yang sedemikian telah makruf. Mereka pun tidak menganggap

sosok-sosok mereka terlepas dari kesalahan. Dan tidak menginginkan seorang pun mengikuti

mereka dengan cara fanatik, taklid buta. Walau di samping itu, tentu mereka telah melalui usaha

maksimal dalam berijtihad, dalam menghasilkan hukum-hukum fikih. Juga kaum muslimin

sangat mendapat manfaat besar dari kesungguhan mereka selama hidup.

Jawas (2013) menyebutkan :

Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seseorang mengambil

perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya.” Beliau juga

mengatakan, “Apabila suatu hadis sahih, maka itulah madzhabku.”

Imam Malik bin Anas rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya aku hanya seorang

manusia biasa, terkadang aku benar dan terkadang salah; maka lihatlah pendapatku,

setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka ambillah. Dan

setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.”

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya

salah satu Sunnah Rasulullah ‫ﷺ‬, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka

apa yang disabdakan Rasulullah ‫ ﷺ‬itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi

pendapatku.” Beliau juga mengatakan, “Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadis dari

Nabi ‫ ﷺ‬yang sahih menyelisihi pendapatku, maka hadis Nabi ‫ ﷺ‬itulah yang lebih

patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku.”

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Kalian tidak boleh taklid

kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan ats-Tsauri,

tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.” (h. 304-305)


III. Kesimpulan

Menjadi kebutuhan bagi kaum muslimin untuk belajar, bersungguh-sungguh dalam memahami

agama mereka, sehingga bisa terlepas dari jerat taklid buta. Karena kebanyakan yang sebabkan

seseorang jatuh pada taklid buta adalah kebodohan, dan tidak pernahnya mereka menapaki jalan

menuntut ilmu syar’i. Tentu di zaman ini, semaksimalnya seorang muslim dalam tholabil ‘ilm

tidak akan mampu menyamai level para imam-imam terdahulu. Akan tetapi, setidaknya dengan

menjadi penuntut ilmu, dirinya akan terbiasa mengetahui dalil-dalil, landasan-landasan dalam

mempraktekkan agamanya. Sehingga besar diharapkan mampu terhindar dari jurang taklid buta

yang membinasakan.
Referensi

Jawas, Y. (2013). Mulia Dengan Manhaj Salaf . Bogor: Pustaka At-Taqwa.

Farid, A. (2016). Biografi 60 Ulama Ahlus Sunnah . Jakarta: Darul Haq.

Philips, B. (2015). Sejarah dan Evolusi Fiqih . Bandung: Nuansa Cendekia-Nusamedia.

Anda mungkin juga menyukai