Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif.
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian
tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media
buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup
yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi
menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan
tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril.

Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman,


khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang
dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai
sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga
tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah
besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan
tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan
diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan
hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat
pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun
jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang
sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan
juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah
umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya
1| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO
tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya
sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.
Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
1. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau seedling.
2. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan
organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah
muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
3. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan
(sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
4. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair
dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel
atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa
kalus atau jaringan meristem.
5. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian
dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat
dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur
protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2
protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
6. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni:
kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen),
ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid

2| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

KULTUR HAPLOID
2.1 Pengertian Kultur Haploid
Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni:
kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen),
ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.
Pada pemuliaan konvensional, 2 galur tetua disilangkan untuk memperoleh
tanaman hibrida F1. Dua set kromosom pada tanaman F1 bersegregasi acak pada generasi
– generasi selanjutnya, untuk berbagai sifat agronomis. Pemulia tanaman harus
menyeleksi gallur yang diinginkan dan menanamnya untuk sedikitnya 8 – 10 generasi,
dengan seleksi yang kontinyu, sampai 2 set kromosom pada galur yang disilangkan
menjadi identik (homozygous).
Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama
dengan gametofitik dalam sporofitik (Bajaj, 1983). Frekuensi terjadinya haploid spontan
di alam masih sangat rendah , yakni sekitar 0,001-0,01%.Produksi haploid yang spontan
biasanya terjadi melalui proses partenokarpi dari telur yang tidak dibuahi atau apomiksis.
Dalam percobaan-percobaan terdahulu (sebelum tahun), haploid diperoleh melalui:
1. Hibridisasi jenis tanaman yang berada (distant hybridization).
2. Polinasi tertunda (delayed pollination).
3. Penggunaan polen yang sudah di-radiasi.
4. Perlakuan hormon.
5. Shock dengan temperatur tinggi.
Revolusi dalam produksi tanaman haploid terjadi pada tahun 1064-1966,
semenjak dihasilkannya tanaman haploid dari Datura innoxia oleh Guha dan Maheswari.
Tanaman dihasilkan melalui kultur anther dengan proses androgenesis. Haploid pada
tanaman dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Monoploid : jumlah khromosom setengah dari kromosom spesies yang diploid
2. Polihaploid: jumlah kromosom setengah dari kromosom spesies yang poliploid.

3| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


2.2 Kegunaan haploid dalam pemuliaan tanaman
1. Tanaman haploid dapat digunakan untuk mandeteksi mutasi dan rekombian yang unik.
Mutasi yang resesif tidak muncul dalam keadaan diploid. Contohnya pollen dari
hibrida antara MC-160 dan Coker-139 yang ditumbuhkan dihasilkan lini-lini tanaman
baru yang menunjukkan resistensi terhadap penyakit layu bakteri dan Black Shank
yang lebih tinggi. Lini baru ini tidak kehilangan sifat unggul MC-1610 (Gunawan,
1988).
2. Penggandaan jumlah kromosom akan diperoleh tanaman homozigot.
Tanaman homozigot sangat penting untuk menghasilkan hibrida terkendali,
seperti tanaman Asparagus. Tanaman Asparagus officinale merupakan tanaman
dioeceous yang menghasilkan bungan betinan dan bunga jantan pada tanaman yang
berlainan. Tnaman jantan lebih disukai konsumen karena produksi eebungnya lebih
tinggi dan kualitasnya lebih baik. Usaha penyilangan ditujukan untuk menghasilkan
biji yang menjadi tanaman jantan (XY). Hibrida XY diperoleh dengan menyilangkan
tanaman jantan XY dengan betina XX dengan hasil XY: 50%. Melalui kultur anther,
diperoleh tanaman XY, yang disebut super male. Penyilangan super male YY dengan
betina XX, akan menghasilkan progeni yang 100%.

2.3 Produksi Atau Aplikasi Kultur Haploid Pada In Vitro


Teknik mendapatkan tanaman haploid secara in vitro
2.3.1 Kutur Anther
Keberhasilan kultur anther telah diujudkan pada tanaman seperti Datura innoxia,
nicotiana tabacum, karet, poplar, anggur, tanaman Gramineae serta pada tanaman angrek.
Teknik kultur anther relatif sederhana dan efisien yang paling penting adalah kritis dalam
penentuan tingkat perkembangan pollen (androgenesis) yang tepat pada anther yang akan
dijadikan eksplan.
Secara praktis tingkat perkembangan pollen dapat ditentukan berdasarkan
pengambilan contoh beberapa tingkat perkembangan kuncup bunga. Tingkat
perkembangan androgenesis pollen uninucleat paling sesuai bila digunakan sebagai
eksplan.

4| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


Media dasar yang digunakan untuk tanaman dikotil, umumnya adalah media MS,
media White dan media Nitsch &Nitsch, dengan berbagai modifikasi dengan
penambahan sukrosa sekitar 20-40 gram/liter. Zat Pengatur Tumbuh diberikan dalam
konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari terbentuknya kalus dari jaringan-
jaringan diploid yang tidak diinginkan. Untuk mendapatkan double haploid dipergunakan
larutan colchicine: 0,5% dengan waktu perendaman 24-28 jam.
Tanaman monokotil terutama tanaman Gramineae seperti padi, media MS juga
dapat digunakan. Tetapi selain MS, dikembangkan juga beberapa media lain misalnya
media N6. Media N6 mempunyai ciri perbandingan NH4+ dan NO3_ yang jauh
perbedaannya. Ammonium yang diberikan dalam bentuk (NH4)2SO4 hanya sebanyak
363 mg/l, sedangkan KNO3 : 2830 mg/l. Khusus untuk padi, ada beberapa media lain
yang dikembangkan di Cina, sesuai dengan kultivar padinya, misalnya media SK3, He5
dan LB.
2.3.2 Kultur Polen
Pollen (mikrospora) merupakan sel tunggal dan haploid dari sel kelamin jantan.
Pollen ini baik bila digunakan untuk diinduksi mutasi dan manipulasi genetik lain.Kultur
pollen pertama kali yang berhasi pada tanaman Datura innoxia dan Nicotiana tabacum.
Disausul kemudian pada tanaman Solanaceae. Pada tahun 1974, Nitsch mengembangkan
kutur terapung (Floating culture) menggunakan media cair. Setelah itu pollen diletakkan
di permukaan media cair selama 2-3 hari. Setelah itu pollen ditekan keluar dan media
disaring dengan filter berukuran 25-100 mm tergantung dari jenis. Suspensi kemudian
dicentrifuge dan dicuci dengan larutan media. Setelah dicuci disuspensikan kembali ke
dalam media baru. Suspensi dipipet dan dipindahkan ke media padat dalam petri-dish.
Dalam metode ini kuncup bungan yang sudah diberi praperlakuan suhu rendah,
diisolasi anthernya . Anther kemudian diapungkan dimedia cair. Beberapa hari kemudian,
anther terbuka (dehiscent) dan melepaskan pollen ke dalam media.Pada kultur anther padi
setelah 10 hari setelah inokulasi pada media cair, massa sel mendesak keluar dari dinding
pollen. Setelah beberapa hari kalus putih mulai terlihat. Regenerasi kalus pada mulanya
lebih rendah dari yang di media padat, tetapi setelah medianya diperbaiki dengan
penambahan asam amino dan 20% ekstrak kentang, kemampuan regenerasi meningkat

5| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


2.3.2.1 Komposisi kultur polen
1. Media
Media dasar yang digunakan untuk kultur pollen Solanaceae adalah media
Nitsch dengan penambahan Sukrosa 20 gram, 5 gram Myo-inosital , Glutamin 500
gram dan serin 30 mg, pH 5,8.
2. Bahan Tanam
Pollen diambil dari kuncup bunga yang masih muda, diperiksa tingkat
perkembangan androgenesi. Tingkat perkembangan pollen dari kuncup bunga
diperiksa terlebih dahulu. Kuncup bunga disterilisasi seperti pada kultur anther.
Bunga yang telah disterilisasi diberi praperlakuan suhu antara 5-10oC selama 10-
hari. Bunga dicuci dengan aquadest steril sebelum digunakan. Kelopak bunga dan
mahkota bunga, dibuka dengan hati-hati diisdolasi.
3. Penanaman
Anther dimasukkan ke dalam media cair dan dibiarkan terapung selama 4
hari pada temperatur 27 oC. Setelah 4 hari, anther ditekan ke dinding botol kultur
menggunakan batang gelas steril. Saring media dan polen dengan filter 20 mm
untuk tomat dan 40 mm untuk tembakau.
Centrifuge dengan 500-800 rpm selama 5 menit, pelet yang diperoleh,
dicuci menggunakan media baru. Ulangi pekerjaan tersebut sekali lagi, pelet
disuspensikan ke dalam media baru dengan ukuran volume tertentu. Suspensi
kultur pollen diambil setetes diperiksa kepekatan selnya dengan menggunakan
haemacytometer.
 Jumlah pollen yang berada di dalam 64 bidang dari haehacytometer dihitung
jumlah pollen rata-rata / 0,25x0,25 mm bidang.
 Konversikan ke jumlah pollen/ml. Tiap bidang 0,25x0,25 mm. Volume
6.25x10-6 ml.
 Suspensi diencerkan hingga kerapatan pollen 103-104 /ml.
 Suspensi pollen diambil menggunakan pipet sebanyak 5-10 ml dipindahkan
pada petri-dish diameter 9 cm yang telah berisi media isolasi pollen.
 Kultur pollen diletakkan pada rak inkubator yang diberi cahaya lemah 500 lux
dengan temperatur 25oC.

6| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


Teknik di atas dimodifikasi oleh Nitsch menjadi:
 Anther dikultur terus di dalam media cair sampai dehiscent.
 Polen yang ditaburkan di atas media akan tumbuh, tergantung pada media dan
jenis pertumbuhannya, melalui kalus atau embrio.
 Pada kultur serealia, kalus terbentuk seteleh dipindah ke media diferensiasi.
 Media yang digunakan untuk menanam pollen padi adalah 1500 mg/l KNO3,
100 mg/l Ca(NO3)2.4H2O, ekstrak kentang 20 % dan untuk media diferensiasi
adalah media MS + 2 mg/l kinetin + 1 mg/l IAA + 3 % Sukrosa dan 0,57%
agar.
2.3.2.2 Keuntungan dan kelebihan
Keuntungan
 Kepastian haploid yang lebih tinggi.
 Perkembangan androgenesis dapat diikuti.
 Studi tranformasi dan mutagenesis, baik kimia maupun fisik, mudah dilakukan
karena polen terdiri dari sel tunggal.
Kerugian
 Keberhasilan masih rendah.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi haploid melaui kultur in


vitro
1. Tingkat Perkembangan
Pollen pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang tertinggi
diperoleh pada kultur anther dengan pollen yang nukleusnya terletak di pinggir sel
(mid-uninucleate microspore stage).
Pembentukan terbentuknya kalus pada berbagai stage adalah sebagai
berikut: 5.6% kultur membentuk kalus pada early-uninucleate stage, yaitu sesudah
tetrad terbentuk 35,7% kultur membentuk kalus pada mid-uninucleate stage. 10.5%
pada saat late-uninucleate stage. 6.7% pada saat mitosis pertama dari pollen. 0% pada
saat polen mencapai bi-nucleat stage.
2. Perlakuan fisik sebelum inokulasi

7| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


Perlakuan temperatur rendah sebelum inokulasi, meningkatkan keberhasilan
kultur anther dalam: Nicotiana tabacum, Datura innoxia, Hyosciamus niger, Hordeum
vulgare dan Oryza sativa. Pada umumnya, temperatur antara 3-10oC. Bila
dipergunakan temperatur rendah 3-5oC, maka waktu perlakuan dapat dipersingkat,
sedangkan pada terperatur rendah 10-15 oC, waktu perlakuan lebih panjang. Percobaan
Wang dan grupnya (Chen, 1986) dalam kultur padi hsien menunjukkan:
Bila temperatur 3-5 oC, dibutuhkan 10 hari. Bila temperatur 6-8 oC, dibutuhkan 15
hari.Bila temperatur 9-10 oC, dibutuhkan 20 hari.
3. Perlakuan kimia sebelum inokulasi
Anther yang dikultur dalam media cair yang ditambah dengan 50-250 mg/l
colchisine selama 4 hari, meningkatkan frekuensi pembentukkan kalus dan diferensiasi.
Colchicine dapat meningkatkan tanaman double haploid hingga 79%, sedangkan anher
tanpa perlakuan pendahuluan, hanya menghasilkan 53,8% tanaman. Jika konsentrasi
colchicine ditingkatkan hingga 500 mg/l akan mengakibatkan frekuesi tanaman anakan
yang abnormal seperti albino akan meningkat. Selain senyawa tersebut senyawa ethrel
juga sering digunakan untuk praperlakuan pada media cair + 5 g/l ethrel (Gunawan,
1988).
4. Media tumbuh
Komposisi media dasar tidak begitu kritis, namun dalam kultur anther, NH4+
yang tinggi (35mM) akan menghambat pembentukan kalus. Sukrosa yang diberikan,
berkisar 2-12%. Pada serealia digunakan 6-9%, sedangkan pada tanaman diploid 2-
4%.Zat Pengatur Tumbuh pada kultur anther Solanaceae tidak diperlukan cukup media
dasar N6. ZPT yang biasa digunakan untuk memacu pertumbuhan embriogenesis pada
kultur anther adalah senyawa TIBA (Tri iodobenzoic acid). Disamping itu penambahan
2 mg/l 2,4D pada media dasar digunakan untuk kultur anther padi, dan kombinasi ZPT:
4 mg/l NAA + 1 mg/l 2,4D dan 1-3 mg/l kinetin sering ditambahkan pada media dasar
untuk kultur anther. Penambahan bahan-bahan organik seperti: ekstrak pisang, air
kelapa, ensdosperm serealia, ekstrak ragi, alanin, folic acid dan Co-enzym A, dapat
memacu pertumbuhan pada kultur anther. Penambahan 2% arangaktif dapat
memperbaiki androgenesis.
5. Genotipe tanaman donor

8| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


Tidak semua kultuvar dari setiap tanaman organ anthernya dapat menghasilkan
tanaman haploid, seperti kultivar dari Lycopersicon esculentum dari 43 kultivar hanya
3 kultivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan. Triticum aestivum hanya 10
kukltivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan menjadi tanaman haploid dari 21
kultivar yang ada.

6. Kondisi Tanaman Donor


Umur fisiologi tananam donor ternyata dapat mempengaruhi pertumbuhan
tanaman enther. Bunga dari tanaman muda pada saat permulaan pembungaan, ternyata
lebih baik dari pada bunga yang keluar kemudian. Kondisi nutrisi tanaman donor:
tembakau yang diberikan perlakuan larutan Hoagland selama 2 minggu, mempunyai
bunga dengan vigor yang lebih baik. Temperatur waktu menumbuhkan tanaman donor.
Contohnya pada tanaman Datura, tanaman donor yang ditumbuhkan pada suhu 24oC
frekuensi terjadinya androgenesis sebesar 45% dan bila tanaman donor ditumbuhkan
pada temperatur 17 oC, frekuensi tumbuhnya turun menjadi 8%.
Cahaya selama pertumbuhan tanaman donor. Triticum aestivum yang ditumbuhkan di
lapangan dengan cahaya yang penuh, menghasilkan kultur anther yang lebih baik dari
tanaman yang ditumbuhkan di rumah kaca pada musim dingin dengan penyinaran yang
kurang.
Tanaman yang dihasilkan melalui kultur antera dapat berupa tanaman haploid,
haploid ganda spontan, poliploid, mixopoid, dan aneuploid. Perbedaan morfologi
tanaman haploid, haploid ganda (spontaneous doubled haploid), poliploid, mixopoid
dan aneuploid menurut Zhang (1992) adalah sebagai berikut:
1) Tanaman haploid. Dibandingkan dengan tanaman diploid, pada umumnya
tanaman haploid lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta
tidakmempunyai ligula dan aurikel. Panjang dan lebar daun, demikian juga
malai dan glumennya lebih kecil. Tanaman berbunga, tetapi tidak berbiji
(steril).
2) Tanaman haploid ganda (dihaploid atau diploid). Tanaman ini mempunyai
morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Populasi regeneran
selanjutnya akan tetap homozigous dan homogen, tidak bersegregasi.

9| KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


3) Tanaman mixopoid adalah suatu tanaman yang mempunyai bagian haploid dan
diploid sekaligus. Bagian tanaman yang diploid dapat juga terjadi diantara
anakan, cabang malai dan bahkan pada spikelet secara individual dari tanaman
yang haploid.
4) Tanaman yang poliploid ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang terlalu
tergar (vigorous), daun yang lebih tebal, stomata yang lebih besar, dan biji yang
lebih besar serta berbulu (pubescent) dengan duri (awn) yang pendek. Laju
pembentukan biji rendah dan regeneran mempunyai sifat- sifat yang serupa
dengan generasi tanaman pertamanya.
5) Tanamn yang aneuploid serupa denagn tanaman diploid. Pertumbuhannya tegar
dengan daun yang tegak serta anakan yang lebih banyak. Ukuran glumennya
sama dengan tanamn diploid atau bahkan sedikit lebih besar. Tanaman ini semi
atau steril penuh. Biji cenderung mudah rontok. Laju pembentukan biji lebih
rendah dari progeninya.

2.5 Keuntungan Dan Kekurangan Kultur Haploid


1. Keuntungan
Teknik isolasinya lebih mudah, dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah
kromosom yang bervariasi (n, 2n dan 3n).
2. Kerugian
Tanaman yang diperoleh bermacam-macam karena kemungkinan tanaman
tersebut berasal dari jaringan lain seperti jaringan tapetum (3n), atau jaringan
penyambung (conective tissue), sehingga masih perlu tahapan seleksi.

10 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


KONSERVASI IN-VITRO
2.6 Pengertian Konservasi

Konservasi merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara
apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini
dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama
yang mengemukakan tentang konsep konservasi.

Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi


kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari
segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang,
sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk
sekarang dan masa yang akan datang

Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah


para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda
implikasinya. Menurut Adishakti (2007) istilah konservasi yang biasa digunakan para
arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site
(ICOMOS) tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural
Significance, Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter. Dalam
Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan
kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep
proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang
terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas
lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan
konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal

11 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan
kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya
pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan
bukan secara fisik saja.

Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya


dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi
pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan
tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan
keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam
menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan
yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta
berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka budaya
masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan
bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya.

2.7 Pengertian Kultur In-Vitro


Menurut Nugroho dan Sugito (2002) kultur in vitro merupakan suatu metode untuk
menumbuhkan atau mengi solasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel,
jaringan dan organ tanaman pada lingkungan aseptic sehingga dapat tumbuh dan
berkembang sempurna. Metode kultur in vitro diilhami oleh konsep totipotensi dimana
setiap sel dalam tanaman mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu
yang mampu membentuk tanaman lengkap jika ditempatkan pada lingkungan yang sesuai
(Wetherel, 1982). Teknik kultur in vitro tanaman telah banyak digunakan secara luas
dalam perbanyakan dan konservasi tanaman. Aplikasi kultur in vitro dengan tujuan
ekonomis terutama dilakukan untuk produksi tanaman hias, bunga dan tanaman penghasil
minyak (George dan Sherrington, 1984). Sebelum suatu tanaman dikonservasi secara in
vitro, perlu dilakukan perbanyakan terlebih dahulu untuk memperoleh eksplan yang cukup
untuk dikonservasi. Menurut George dan Sherrington (1984) tahapan-tahapan dalam
perbanyakan secara in vitroadalah :
a. Tahap 0 : Seleksi tanaman induk, pada tahap ini tanaman induk dan bagian tanaman
yang akan dijadikan eksplan yang terkontaminasi dieliminasi.

12 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


b. Tahap 1 : Pembuatan dan pemantapan kultur aseptik.
c. Tahap 2 : Produksi propagul (mother stock) dalam kultur in vitro untuk menghasilkan
tanaman baru.
d. Tahap 3 : Persiapan plantlet sebelum diaklimatisasi yaitu multiplikasi dan
pemanjangan tunas serta pengakaran planlet
e. Tahap 4 : Aklimatisasi planlet, Plantletyang sudah berakar dipindahkan dari
lingkungan in vitro yang steril ke lingkungan semi steril dan diberi perlakuan cahaya
secara berangsur-angsur sebelum dipindahkan ke rumah kaca atau ditanam di kebun.

2.8 Cara Konservasi In-Vitro


a. Kelompok yang diperbanyak dengan biji (berbiji rekalsitran) seperti kelapa, kakao,
rambutan, manga, dan alpukat
b. Kelompok yang diperbanyak secara vegetative meliputi yang tidak berbiji(steril),
hanya berbiji pada saat tertentu, niji heterozigot, dan tanaman umbi-umbian seperti ubi
kayu talas, pisang, kentang, dan awi.

2.9 Teknik Konservasi In-Vitro


1. Teknik Kriopreservasi
2.9.1 Pengertian Kriopreservasi
Secara teoritis, kriopreservasi berasal dari kata krio yang berarti beku, dan
preservasi yang berarti penyimpanan pada temperatur rendah. Jadi kriopreservasi adalah
teknik penyimpanan materi genetik dalam keadaan beku pada temperatur rendah atau
suatu teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan dan materi genetika lainnya (termasuk
semen dan oosit) dalam keadaan beku melalui reduksi aktivitas metabolisme tanpa
mempengaruhi organel-organel di dalam sel, fungsi fisiologi, biologi, dan morfologi
(Suprianata dan Pasaribu, 1992).
Metode kriopreservasi sel spermatozoa dibedakan atas pembekuan lambat (slow
freezing), pembekuan cepat (rapid freezing), dan pembekuan sangat cepat (ultra rapid
freezing). Prinsip yang terpenting dari kriopreservasi sel spermatozoa ialah pengeluaran
air dari dalam sel (dehidrasi) sebelum membeku intraseluler. Bila tidak terjadi dehidrasi
akan terbentuk kristal es besar dalam sel yang dapat merusak sel dan bila terjadi dehidrasi

13 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


yang sangat hebat maka sel akan mengalami kekeringan sehingga sel mati (Supriatna dan
Pasaribu 1992). Prinsip perpindahan air keluar masuk membran, baik dehidrasi sebelum
deep freezing maupun rehidrasi pada saat pencairan kembali (thawing) menjadi perhatian
khusus.
Pada dasarnya tujuan utama kriopreservasi sel spermatozoa ialah melestarikan
plasma nutfah yang mendekati kepunahan dan mendukung program teknologi inseminasi
buatan (IB) pada ternak. Keuntungan kriopreservasi sel spermatozoa ialah sel
spermatozoa dapat disimpan dalam waktu yang tidak terbatas dan dapat digunakan kapan
saja bila diperlukan (Toelihere 1985).
2.9.2 Prinsip Kriopreservasi
Kriopreservasi merupakan teknik penyimpanan materi biologi tanpa mengalami
kerusakan dalam waktu yang sangat lama, hingga ribuan tahun (MAZUR, 1985).
Perkembangan terakhir yang dikenal dengan metode slow cooling, dimana materi biologi
dibekukan dengan tingkatan pembekuan yang cukup cepat agar tidak terjadi kerusakan
pembekuan lambat (slow cooling damage), tetapi juga cukup lambat agar tidak terjadi
dehidrasi dari sel dan pembentukan krital esintraselular (intracellular ice formation)
(MAZUR et al. 1972)
2.9.3 Macam-macam Teknik Kriopreservasi
2.9.3.1 Teknik Lama (Klasik)
Teknik ini didasarkan pada freeze-induced dehydration, yaitu dehidrasi yang
diinduksi dengan pembekuan pada suhu di bawah titik beku air hingga -40°C. Teknik
lama juga disebut teknik pembekuan lambat atau teknik pembekuan dua tahap. Teknik
pembekuan dua tahap meliputi inkubasi sel pada krioprotektan dengan total konsentrasi
1-2 M yang menyebabkan dehidrasi moderat dan diikuti oleh pembekuan lambat,
misalnya dengan kecepatan 1°C per menit hingga suhu -35°C, lalu pembekuan dalam
nitrogen cair dan selanjutnya thawing (pelelehan) (Ika dan Ika, 2003).
2.9.3.2 Teknik Baru
Teknik ini didasarkan pada vitrification, yaitu dehidrasi yang diinduksi pada
suhu di atas titik beku air.Vitrification (vitrifikasi) adalah fase transisi air dari bentuk
cair menjadi bentuk nonkristalin atau amorf, tembus pandang (glassy) karena elevasi
ekstrim dari larutan yang viskos selama pendinginan. Teknik vitrifikasi didasarkan pada

14 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


dehidrasi sel pada suhu non-freezing (tidak beku), yaitu dengan merendam bahan dalam
larutan krioprotektan dengan total konsentrasi 5-8 M pada suhu 0-25°C dan diikuti oleh
pembekuan dan selanjutnya pelelehan. Macam-macam teknik baru antara lain (1)
vitrifikasi, (2) enkapsulasidehidrasi, (3) enkapsulasi-vitrifikasi, (4) desikasi, (5)
pratumbuh, (6) pratumbuh-desikasi, dan (7) dropplet-freezing (Ika dan Ika, 2003).\
Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Pada teknik vitrifikasi, bahan diperlakukan dengan senyawa krioprotektif dan
dehidrasi dengan larutan vitrifikasi, lalu diikuti dengan pembekuan cepat, pelelehan,
dan pembuangan krioprotektan serta pemulihan kultur.
b. Teknik enkapsulasidehidrasi didasarkan pada teknologi yang telah dikembangkan
pada produksi benih sintetik. Pada teknik tersebut, bahan dienkapsulasi pada kapsul
alginat, lalu ditumbuhkan pada medium yang diperkaya dengan sukrosa dan
dikeringkan secara parsial dalam laminar air flow cabinet atau gel silika hingga
kandungan air sekitar 20% dan diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003).
c. Teknik enkapsulasi-vitrifikasi merupakan kombinasi antara teknik vitrifikasi dan
enkapsulasidehidrasi, yaitu bahan dienkapsulasi dengan kapsul alginat, lalu
dibekukan dengan teknik vitrifikasi.
d. Teknik desikasi merupakan teknik yang paling sederhana, yaitu mengeringkan
bahan dalam laminar air flow cabinet, gel silika atau flash drying hingga kandungan
air 10-20%, kemudian diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003).
e. Teknik pratumbuh meliputi penanaman bahan ke dalam media yang mengandung
krioprotektan, lalu diikuti oleh pembekuan cepat.
f. Teknik pratumbuh-desikasi dilakukan dengan menanam bahan ke dalam media yang
mengandung krioprotektan, lalu mengeringkannya dalam laminar air flow
cabinet atau gel silika dan diikuti oleh pembekuan cepat.
g. Droplet-freezing diawali dengan pra-perlakuan bahan ke dalam media cair yang
mengandung krioprotektan, lalu meletakkan pada Al-foil yang disertai dengan
droplet krioprotektan dan diikuti oleh pembekuan cepat (Ika dan Ika, 2003)
Teknik lama memerlukan peralatan terprogram yang cukup mahal harganya,
sedangkan teknik baru tidak memerlukan peralatan canggih dan prosedurnya relatif
lebih mudah. Teknik lama memerlukan peralatan pembekuan, digunakan pada kultur

15 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


sel, dan lebih sulit diaplikasikan pada unit sel yang lebih besar seperti tunas apikal atau
embrio.

16 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


2.10 Faktor yang Mempengaruhi Kriopreservasi
Sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan kriopreservasi dengan teknik
pembekuan lambat adalah (1) kecepatan pembekuan, (2) jenis dan konsentrasi
krioprotektan, (3) suhu akhir pembekuan, dan (4) tipe dan keadaan fisiologis bahan yang
akan disimpan. Jika pembekuan terlalu lambat maka sel terlalu terdehidrasi sehingga
konsentrasi zat elektrolit dalam sel menjadi tinggi. Jika pembekuan terlalu cepat maka sel
kurang mengalami dehidrasi sehingga terjadi formasi es intraseluler yang bersifat letal.
Penambahan krioprotektan dapat memelihara keutuhan membran dan
meningkatkan potensial osmotik media sehingga cairan di dalam sel mengalir keluar dan
terjadi dehidrasi. Krioprotekan yang umum digunakan adalah DMSO, gliserol, PEG,
sorbitol, dan manitol. Senyawa dalam krioprotektan dapat dipisah menjadi dua, yaitu
senyawa yang dapat masuk ke dalam sel (permeating agent) seperti DMSO, gliserol (pada
suhu tertentu) dan yang tidak dapat masuk ke dalam sel (non permeating agent) seperti
sukrosa dan gula alkohol (manitol, sorbitol) (Ika dan Ika, 2003).
Selama pembekuan dan pelelehan, sel dapat mengalami kerusakan sebagai akibat
dari (1) eksposur bahan pada suhu rendah, (2) formasi kristal es, (3) sel terdehidrasi, dan
(4) formasi radikal bebas. Eksposur pada suhu rendah dapat menyebabkan inaktivasi
protein yang sensitif terhadap suhu dingin. Sebagian besar formasi es intraseluler bersifat
letal dan pada dasarnya sel dapat mentolelir formasi es ekstraseluler. Namun demikian,
formasi es ekstraseluler juga dapat merusak sel karena daya mekanis dari kristal es yang
tumbuh, gaya adesi kristal es terhadap membran, interaksi elektris yang disebabkan oleh
perbedaan solubilitas ion pada fase es dan cair, formasi gelembung udara intraseluler, luka
khemis yang berhubungan dengan peroksidase lipid dan perubahan pH pada lokasi tertentu
(Ika dan Ika, 2003).
Sel yang terdehidrasi terlalu kuat dapat mengalami plasmolisis yang kuat pula
sehingga berakibat terhadap perubahan pH, interaksi mikromolekuler, dan peningkatan
konsentrasi zat elektrolit. Pada saat pelelehan, kontraksi osmotik dapat menyebabkan
endositotik vesikulasi irreversibel yang mengakibatkan sel lisis karena bahan membran
yang baru tidak mampu memfasilitasi deplasmolisis (Ika dan Ika, 2003).

17 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


2.11 Kelebihan dan Kekurangan
Setiap teknik penyimpanan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pada
penyimpanan in vitro jangka pendek dan jangka menengah diperlukan tindakan subkultur
yang berulang-ulang sehingga kurang efisien dalam hal waktu, tenaga, ruangan, dan biaya.
Tindakan tersebut juga dapat menyebabkan kultur mengalami kontaminasi dan kehilangan
vigoritas dan berpeluang terjadinya perubahan genetik akibat penggunaan zat penghambat
tumbuh dalam jangka waktu yang relatif lama (Ika dan Ika, 2003).
Dengan teknik kriopreservasi, kekurangan dari metode penyimpanan in vitro
tersebut dapat ditekan seminimal mungkin karena bahan disimpan dalam ruangan bersuhu
sangat rendah. Pada suhu yang sangat rendah, sel-sel tidak mempunyai aktivitas metabolik
dengan viabilitas yang tetap terpelihara sehingga bahan dapat disimpan dalam jangka
waktu yang sangat lama tanpa memerlukan tindakan subkultur yang berulang-ulang.
Keuntungan lain dari kriopreservasi sel spermatozoa ialah sel spermatozoa dapat disimpan
dalam waktu yang tidak terbatas dan dapat digunakan kapan saja bila diperlukan (Ika dan
Ika, 2003)

2.12 Contoh aplikasi


Semen dikemas dalam straw (0,25 dan 0,5 ml) untuk pembekuan dan penyimpanan,
atau dibekukan sebagai pelet pada depresi dangkal es kering. Straw dibekukan dalam fase
uap diatas nitrogen cair atau pada mesin pembeku dengan laju terkontrol. Spermatozoa
dikemas dalam bentuk straw 0,2 ml atau sekitar 10 – 15 juta sel spermatozoa yang
diinseminasikan langsung dari straw sesudah pencairan. Sedangkan semen babi dapat
dibekukan pada kuantitas yang lebih besar dengan volume 200 µl pada tabung 10 – 15 ml
spermatozoa untuk satu kali inseminasi.
Hewan ternak seperti biri-biri, rusa dan hewan ruminansia eksotik lainnya dapat
menggunakan pipet khusus inseminasi laparoskopis yang telah dikembangkan dengan
ukuran straw 0,25 ml dan jumlah sperma lebih rendah dari metode inseminasi secara trans
servikal. Inseminasi dapat dilakukan setelah proses pencairan dalam waktu beberapa detik
dengan menggunakan pipet trans servikal. Cara yang lebih mudah untuk mencairkan
sampel semen dengan mengurangi konsentrasi simultan krioprotektan yang dapat
memberikan keunggulan secara cepat dan jelas setelah proses pencairan basah dengan
menuangkan pelet ke dalam larutan khusus. Pencairan straw biasanya dilakukan dengan

18 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


pencelupan dalam bak air hangat dengan suhu optimum dan kombinasi waktu dapat
digunakan dalam penelitan ini dengan pencairan pada suhu maksimum (60-70°C). Teknik
pencairan dengan laju penghangatan yang lebih cepat dan dapat menghasilkan kualitas
sperma yang baik (Pursel dan Park. 1985). Penyimpanan volume sel lebih besar dapat
menyebabkan membran pecah (Bailey et al., 1994). Parkinson dan whitfield (1987)
menyatakan bahwa periode pendinginan dan pembekuan dapat mempengaruhi
kelangsungan hidup sperma dan meningkatkan fertilitas spermatozoa. Volume pembekuan
yang lebih besar seperti maxi-straw atau kantung plastik dapat mempengaruhi kebutuhan
dan pengembangan sistem control suhu yang lebih selektif.

2. TEKNIK ENKAPSULASI
2.13 Pengertian Teknik Enkapsulasi

Teknik enkapsulasi dikembangkan oleh Redenbaugh et.al (1985) yang


mengadopsi teknik benih buatan/sintetik, yaitu membungkus eksplan dengan lapisan
yang berfungsi sebagai fisik. Tujuannya memberikan tekanan secara fisik pada eksplan
yang disimpan sehingga berpengaruh dalam meminimalkan pertumbuhan akibat reduksi
proses respirasi. Pembungkus fisik yang biasa digunakan adalah natrium alginat.

Teknik ini merupakan salah satu teknik dalam usaha konservasi plasma nutfah
secara ex situ (kultur in vitro) yang disebut preservasi. Preservasi adalah kegiatan
mereduksi atau mengurangi laju metabolisme tumbuhan hingga sekecil mungkin dengan
tetap mempertahankan viabilitasnya dan memelihara sebaik mungkin biakan, sehingga
diperoleh angka perolehan (recovery) dan kehidupan (survival) yang tinggi dengan

19 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


perubahan ciri-ciri yang minimum. Enkapsulasi termasuk dalam metode preservasi
dengan cara menghambat pertumbuhan (slow growth).

Hal ini dilakukan dengan cara membiakkan pada media yang mengandung
sumber karbohidrat konsentrasi tinggi dan zat pengatur tumbuh sehingga menghambat
pertumbuhan namun penampakannya tetap segar. Teknik enkapsulasi memiliki beberapa
keuntungan, yaitu teknik ini lebih efektif untuk penyimpanan jangka panjang karena
dapat dicegah adanya perubahan genetik, teknik ini juga sangat efisien karena dalam satu
wadah seperti berupa botol dapat menyimpan puluhan eksplan bahkan ratusan, mudah
dikendalikan, skala produksi besar dengan biaya rendah, dan regenerasi sangat mudah.

2.14 Tujuan Teknik Enkapsulasi


Teknik enkapsulasi dilakukan untuk memproduksi biji sintetik atau biji buatan
yang menjadi aset penting dalam mikropropagasi. Enkapsulasi in vitro didapatkan dari
eksplan vegetatif tanaman untuk dikembangkan menjadi biji sintetik yang digunakan
sebagai pengganti alternatif biji sesungguhnya (Faisal, et.al.,2006).

Metode penyimpanan melalui teknik pertumbuhan minimal dengan enkapsulasi


untuk memperpanjang masa simpan kultur tanpa tindakan subkultur secara berulang-ulang.

20 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


2.15 Cara Pembuatan
Prosedur kerja dalam pembuatan enkapsulasi dimulai dengan sterilisasi eksplan
kemudian pembuatan media enkapsulasi, yaitu dengan ½ MS ditambah sodium alginat
sebagai kontrol dan nutrijell sebagai perlakuan dan disterilisasi. Eksplan yang digunakan
tadi yaitu berupa tunas kecambah sawi dimasukan ke dalam media enkaspsulasi dan
diambil menggunakan pipet dan dimasukan kembali ke dalam larutan CaCl 2.2H2O.
Kemudian sawi dari larutan CaCl2.2H2O dimasukkan ke dalam petri dish dan diamati.

21 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni:
kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen),
ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid
b. Keuntungan dan kelebihan
Keuntungan
 Kepastian haploid yang lebih tinggi.
 Perkembangan androgenesis dapat diikuti.
 Studi tranformasi dan mutagenesis, baik kimia maupun fisik, mudah dilakukan
karena polen terdiri dari sel tunggal.
Kerugian
 Keberhasilan masih rendah.
c. Konservasi merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana
(wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan
orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
d. Menurut Nugroho dan Sugito (2002) kultur in vitro merupakan suatu metode untuk
menumbuhkan atau mengi solasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok
sel, jaringan dan organ tanaman pada lingkungan aseptic sehingga dapat tumbuh dan
berkembang sempurna

22 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


DAFTAR PUSTAKA

http://limbah.org/situs/view.php?judul=panji%20soekma&url=http://
panjisoekma.blogspot.com/

http://www.fp.unud.ac.id/biotek/genetika-dan-pemuliaan-tanaman/metode-pemuliaan-
dengan-kultur-jaringan/

http://www.fp.unud.ac.id/biotek/kultur-jaringan-tanaman/tipe-tipe-kultur-lain-iii/

http://razzelara.blogspot.co.id/2011/12/teknik-enkapsulasi.html

Bailey JL, Buhr MM. 1994. Cryopreservation alters the Ca2+ flux of bovine
spermatozoa. Can J Anim Sci 74.

BOEDIONO, A. 2003. Vitrifikasi vs pembekuan lambat pada pembekuan embrio.


Symposium Perkumpulan Teknologi Reproduksi Indonesia (PATRI). Denpasar.
hlm. 24 – 32.

FULTON, J.E. 2006. Avian genetic stock preservation: Anindustry perspective. Poult.
Sci. 85: 227 – 231.

23 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO


Ika Roostika Tambunan dan Ika Mariska. 2003. Pemanfaatan Teknik Kriopreservasi
dalam Penyimpanan Plasma Nutfah Tanaman. Balai Penelitian
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor

Toelihere MR. 1985. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung: Angkasa.

Jones RC, Martin ICA. 1973. The effects of dilution egg yolk and cooling to 50

S Sancho, I Casas et all. Effects of cryopreservation on semen quality and the expression
of sperm membrane hexose transporters in the spermatozoa of Iberian
pigs. Reproduction (2007) 134 111–121

Suprianata, I. dan F.H. Pasaribu. 1992. In Vitro Fertization, Transfer Embrio dan
Pembekuan Embrio. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Watson, P.F. 2000. The Causes of reduced fertility with cryopreserved semen. Anim.
Reprod.

Weitze, K.F. and R. Petzoldt. 1992. Preservation of semen. Anim. Repord

24 | KULTUR HAPLOID DAN KONSERVASI IN-VITRO

Anda mungkin juga menyukai