Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga


pleura. Awalnya, cairan pleura adalah encer dengan jumlah leukosit
rendah, tetapi sering kali menjadi stadium fibropurulen dan
akhirnya sampai pada keadaan di mana paru-paru tertutup oleh membran
eksudat yang kental. Hal ini dapat terjadi jika abses paru meluas sampai
rongga pleura.

Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang


menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru
terinfeksi. Empiema masih merupakan masalah dalam bidang penyakit
paru karena secara s ignifikan masih menyebabkan kecacatan dan kematian
walaupun sudah ditunjang dengan kemajuan terapi antibiotik dan drainase
rongga pleura maupun dengan tindakan operasi dekortikasi.
Empiema paling banyak ditemukan pada anak usia 2–9 tahun.

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan


dan berat. Empiema dapat diobati dan ditangani dari dini agar tidak terjadi
komplikasi yang lebih lanjut. Untuk lebih jelasnya akan kami bahas pada
makalah ini mengenai penyakit empiema paru.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah


ini antara lain sebagai berikut:

1. Apakah definisi penyakit empiema?

2. Apakah etiologi penyakit empiema ?

3. Apakah manifestasi klinis penyakit empiema ?

1
4. Bagaimana patofisologi penyakit empiema ?

5. Bagaimana penatalaksanaan penyakit empiema ?

6. Bagaimana asuhan keperawatan penyakit empiema ?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan makalah ini


adalah untuk mengetahui dan memahami tentang:

1. Definisi penyakit empiema.

2. Etiologi penyakit empiema.

3. Manifestasi klinis penyakit empiema.

4. Patofisologi penyakit empiema.

5. Penatalaksanaan penyakit empiema.

6. Asuhan keperawatan penyakit empiema.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. D
efinisi

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga


pleura. Pada awalnya cairan pleura sedikit dengan jumlah leukosit rendah,
tetapi sering kali cairan ini berkembang ke tahap fibropurulen dan akhirnya
ke tahap dimana cairan tersebut membungkus paru dalam membran eksudatif
yang kental. (Brunner & Suddarth,2001)

Empiema adalah keadaan dimana saat efusi pleura mengandung nanah.


Empiema disebabkan oleh perluasan infeksi dari struktur yang berdekatan
dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia, abses paru, atau perforasi
karsinoma ke dalam rongga pleura. (Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine,
2005)

Empiema adalah terkumpulnya cairan purulen (pus) di dalam rongga


pleura. Awalnya, cairan pleura adalah encer dengan jumlah leukosit rendah,
tetapi sering kali menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai pada
keadaan dimana paru-paru tertutup oleh membran eksudat yang kental.
(Somantri, Irman, 2007)

Empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan


oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan
pleura menjadi keruh dan kental. Pada empiema terdapat cairan pleura yang
3
mana pada kultur dijumpai bakteri atau sel darah putih > 15.000 / mm dan
protein
> 3 gr/ dL.

3
B. Etiologi

a) Berasal dari paru

• Pneumonia

• Abses paru

• Adanya fistel pada paru

• Bronkhiektasis

• Tuberkulosis

• Infeksi fungidal paru

b) Infeksi di luar paru

• Trauma dari tumor

• Pembedahan otak

• Thorakosentesis

• Subfrenic abses

• Abses hati karena amoeba

c) Bakteriologi (terjadi pada semua umur, sering dialami oleh anak-anak)

4
• Streptococcus pyogenes

• Bakteri gram negatif

• Bakteri anaerob

C. Manifestasi Klinis

Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu sebagai berikut:

a) Empiema Akut

Terjadi sebagai akibat infeksi sekunder dari tempat lain, bukan primer
dari pleura. Pada permulaan gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia,
yaitu panas tinggi dan nyeri dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila
pada stadium ini dibiarkan beberapa minggu, maka akan timbul
toksemia, anemia, dan clubbing finger. Jika nanah (pus) tidak segera
dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleural. Adanya fistel ditandai
dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif
dan kadang bisa menyebabkan sufokasi (mati lemas).

Empiema karena pneumotorak pneumonia, timbul setelah cairan


pneumonia membaik. Sebaliknya pada streptococcus pneumonia, empiema

timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena basil gram


negatif, misalnya E.Coli dan bakterioids sering kali menimbulkan
empiema.

b) Empiema Kronis

Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan.
Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan.
Pada saat itu, penderita akan mengeluh badannya tersa lemas, kesehatan
makin mundur, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan ditemukan adanya
tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi fibrotorak, maka trakea dan jantung

akan tertarik ke sisi yang sakit.

5
Tanda-tanda utama empiema adalah sebagai berikut:

• Demam, keringat malam

• Nyeri pleura

• Dispnea

• Anoreksia dan penurunan berat badan

• Perkusi dada, suara flattness

• Palpasi, ditemukan penurunan fremitus

Jika klien dapat menerima terapi antimikroba, manifestasi klinis akan


dapat dikurangi. Diagnostik dapat ditegakkan berdasarkan hasil dari foto

rontgen torak (chest x-ray) dan torasintesis.

D . P a t of i s io l
og i

A k i b at i n v a s i b a s i l p i o g e n e ik k e p l e u r a , m a k a a k a n
timbulperadangan akut yang diikuti dengan pembe
ntukan eksudatserosa. Dengan banyaknya sel polim
o r p h o n u c l e u s ( P M N ) b a i k y an g h id up m au pu n y an g m
at i d an m en in gk at ny a k ad ar p r o t e i n , maka cairan m
enjadi keruh dan kental. A d a n y a e n d a pa n – e n d a pa
n f i b r i n a k a n m e m b e nt u k k a n t o n g – k a n t o n g
y a ng m e l ok a li s a si n a na h t e r se b ut . A p ab i la n a na h m e ne
m bu s
bronkus, maka akan timbul fistel bronkopleuralyang
m e n e m b u s d i n d in g t o r a k s d a n k e l u a r m e l a l u i k u l i t y a n
g d i s e b u t e m p i e m a n e ss e ns i a ti s . S t ad i um i n i m a s ih d i s
eb u t e m pi e m a a k ut y a ng l a m a k e l a m a a n a k a n m e n j a d i k
ronis.

S e k r e s i c a i r a n m e n u ju c e l a h p l e u r a n o r m al n y a m e
m b e n t u k k e s e i m ba n g a n d e n g a n d r a i na s e o l e h l i m f a t ik s
u b p le u r a . S i s t e m l im fa t ik p le ur a d ap at m en dr a in as e h am pi
r 5 00 m l/ ha ri . B il a

6
v ol um e c ai ra n p le ur a m el eb ih i k em am pu an l im fa ti k u nt
uk m e n g a l i r k a n n y a m a k a , e f u s i a k a n t e r b e n t u k .

E fu s i p ar a pn em on ia m er up ak an s e ba b u mu m e mp ie
ma . P n e u m o n i a m e n c e t u s k a n r e s p o n i n f l a m a s i . I n f l a m a s
i yang terjadi

d ek at d en ga n p le ur a d ap at m en in gk at ka n p er me ab il it a s s
e l m e s o t e li a l , y a n g m e r u p a k a n l a p i s a n s e l t e r l u a r d a r i
pleura. Sel
m e s ot e l ia l y a ng t e rk e na m e ni n gk a t p e r me a b il i t as n ya ter
ha d a p a l b u m in d a n p r o t e in l a i n n y a . H a l i n i m e n g a p a s u a t
u e f u s i p l e u r a k a r en a i n fe k s i k a y a a k an p r ot e i n. M e di a to
r k i mi a d a ri p r os e s i n f l a ma s i m e n s t im u l a s i m e s o t e l i a l u
n t u k m e l e p a s k e m o k i n , y a n g m e r ek r ut s e l i n fl a ma s i l a i n.
S e l m e s ot e li a l m e me g a ng p e r an a n p e n t i n g u n t u k m e n a r i k
neutrofil ke celah pleura. Pada kondisinormal, neutr
ofil tidak ditemukan pada cairan pleura. Neutrofil

d i t e m uk a n p a d a c a i r a n p l e u r a h a n y a j i k a d i r e k r ut s e b a g
a i b a g i a n d a r i s u a u p r o s e s i n f l a m a s i. N e t r o f il , f a g o s i t,
m o n on u k l ea r , d a n
limfosit meningkatkan respon inflamasi
danmengeluarkan mediator untuk menarik sel-sel infl
amator lainyake dalam pleura.

Pembentukan empiema terjadi dalam 3 tahap


, yaitu :

1. Fas e ek su da ti f: Terjadi pada hari-hari pertama saat efusi.


Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi
penimbunan

cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung


elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas neutrofil. Stadium ini terjadi
selama 24 – 72 jam dan kemudian berkembang menjadi
stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan
dikarakterisasi dengan jumlah sel darah putih yang rendah dan enzim
laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang
normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat
perbaikan.
2 . F as e fib ro p u ru l en : D ik arak terisasi dengan inflamasi pleura
y ang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan
dapat

7
berisi banyak leukosit polimorfonuklear (PMN) , bakteri dan debris
seluler. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membrane
fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat
stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi
rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7 – 10
hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti
torakostomi dan pemasangan tube.

3. Fa se or ga ni sa si : Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada


membrane pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi
pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi
jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental
terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi
fibroblast. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan
fibrotoraks. Stadium

ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal.

G a m b ar a n b a k t e ri o l o gi s e f u s i p a r a p ne u m o ni d e n g an
k u l t ur p o s i t i f berubah seiring berjalannya waktu.
Sebelum eraantibiotik, bakteri yang umumnya
didapatkan a d a l a h S t r e p t oc o c c us p n e u mo n i a e d a n s t re
p t o c oc c i h e m o li t i k . S a a t i n i , o r g a n i s m e a e r o b l e b i h s e
r i n g d i i s o l a s i d i b a n d i n g k a n o r g a n i s m e a n a e r o b. S t a p hy
l o c oc c u s a u r e u s d a n S p n e u mo n i a e t u m b u h p a d a
70 % kultur bakteri gram positif aerob. Bakteriologi su
atu efusiparapneumoni berhubungan erat dengan bakte
riologi pada prosespneumoni. Organisme aerob gram
p o s i t i f d u a k a l i l e b i h s e r i n g d i i s o la s i d i b a n di n g k a n o r
g a n i s m e a e r o b g r a m n e g a t i f . K l e b s i el a , P s e ud o mo n as , d a
n H a em o ph i lu s m e r up a ka n 3 j e ni s o r ga n is m e a e r o b g r a m
negatif yang paling sering diisolasi.

B a c t e r oi d e s d a n P e p t os t r e p t oc o c c u s m e r u p ak a n o r
g a ni s m e a n a e r o b y a n g p a l i n g s e r i n g d i i s o l a s i . C a m p u r a
n b a k t e r i a e r o b d a n a n a e r o b l e b i h s e r i n g m e n g h a s i l ka n
s u a t u e m p i e m a d i b a nd i n g ka n i n f e k s i s a t u j e n i s o r g a n i s
me. Bakteri anaerob telah dikultur 36
sampai 76 % dari empiema. Sekitar 70 % empiema meru
pakan

8
s ua tu k o mp li ka si d ar i p ne um on i. P as ie n d ap at m e ng el
uh m e n g g i g i l , d e m a m t i n g g i , b e r k e r i n g a t , p e n u r u n a n n a
f s u m a k a n , m al a is e , d an b at uk . S e sa k n ap as j ug a d ap at d
ik el uh ka n o le h p a s i e n .

9
. t i

I i i
ti l il i
r l r t
EE PPaa hhwwaayy EEmmpp eemmaa ii ti
nnvvaasst kkuummaann
t
pp ooggeenn
ddaann ee oo oogg
aa nnnnyyaa

l- l
ti r r

rPPee aaddaannggaann
r i i t
ti pp eeuu aa aakkuu
i r i
yyaanngg dd kkuu
ddeennggaann
l i
ppeemmbbeenn i
uukkaann
Terjadi eekkssuuddaa
proses r ti

Nyeri
Hiperter PPeennuummppuukkaan
tr i t ti tr it
r i i l
mi n ssee ssee PPNNMM
yyaanngg mmaa
bbee ccaammppuu
Efek Penurunan
r , Adanya sesak
hiperventelasi suplai ke
i t, PP oosseess ssuuppuu napas dari
, aass mmeenn tindakan
r i r t nnggkkaa ddaakk
i t, Produksi HCl Metabolisme
mmaammppuu dd
PPaa uu meningkat, anaerob
aabbssoo bbss Koping
akumulasi gas
l meningkat individu
inefektif,
ti f tif, AAkkuummuu aassProduksi asam
ppaaOO22 ppuuss dd kkaavvuumm laktat
i f tif
mmeennuu ti i, l,
r i j l Cemas, kurang
uunn t
ppCCOO22 tri i (-) I t l r i pengetahuan
PPeennggeemmbbaannggaann ppaa uu
mmeenn
ddaakk
nnggkkaa
sseessaakk
nnaappaass
pp
oodduukkss GGaass oo nn eess EEkkss eemm aass
sseekk ee PPss kkoossooss aa
mmeenn
nnggkkaa
F. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan empiema adalah sebagai berikut:

a) Pengosongan nanah

Prinsip penatalaksanaan ini seperti umumnya yang


dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksiknya.

1. Closed drainage-tube toracostorry water sealed drainage dengan


indikasi:

• Nanah sangat kental dan sukar di aspirasi

• Nanah terus terbentuk setelah dua minggu

• Terjadinya piopneumotorak

WSD dapat juga dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 10-20


cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan
harus ditempuh cara lain seperti pada empiema kronis.

2. Drainage terbuka (open drainage)

Dilakukan dengan menggunakan kateter karet yang besar, oleh


karenanya disertai juga dengan reseksi tulang iga. Open drainage
ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat
pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat, misalnya aspirasi
yang terlambat/tidak adekuat, drainase tidak adekuat atau harus
sering mengganti/ membersihkan drain.

b) Antibiotik

Mengingat kematian utama karena sepsis, maka antibiotik


memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu
diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus adekuat. Pemilihan antibiotik
didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan

11
selanjutnya bergantung pada hasil kultur dan
sensitivitasnya. Antibiotika dapat diberikan secara sistematik atau
topikal. Biasanya diberikan penicillin.

c) Penutupan rongga empiema

Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak


menutup karena penebalan dan kekakuan rongga pleura. Pada keadaan
demikian dilakukan pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti.

1. Dekortikas
i

Tindakan ini termasuk operasi besar, dilakukan dengan indikasi


sebagai berikut:

• Drain tidak berjalan baik karena terdapat banyak kantong

• Letak empiema sukar dicapai oleh drain

• Empiema totalis yang mengalami organisasi pada

pleura viseralis

2.
Torakoplasti

Alternatif untuk torakoplasti diambil jika empiema tidak


kunjung sembuh karena adanya fistel bronkopleural atau tidak
mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini segmen
dari tulang iga dipotong subpriosteal. Dengan demikian dinding
toraks jatuh ke dalam rongga pleura karena tekanan atmosfir.

d) Pengobatan kausal

12
Misalnya pada subfrenik abses dengan drainase
subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoebiasis dan sebagainya.

e) Pengobatan tambahan

Perbaiki keadaan umum, fisioterapi untuk membebaskan jalan


napas.

G. Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi

Foto thoraks PA dan lateral didapatkan gambaran opacity yang


menunjukkan adanya cairan dengan atau tanpa kelainan paru. Bila terjadi
fibrotoraks, trakhea di mediastinum tertarik ke sisi yang sakit dan juga
tampak adanya penebalan.

b) Pemeriksaan Pus

Aspirasi pleura akan menunjukkan adanya pus di dalam rongga


dada (pleura). Pus dipakai sebagai bahan pemeriksaan
sitologi, bakteriologi, jamur, dan amoeba. Untuk selanjutnya dilakukan
kultur (pembiakan) terhadap kepekaan antibiotik.

Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri, fungi, mikoplasma,


dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen.
Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan
menyingkirkan infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil
kultur yang diambil dari torakosentesis adalah lemah, namun tinggi pada
anak dengan infeksi yang jelas dan mendapatkan antibiotika lebih dalam
waktu 24 jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya cairan pleura memiliki

berat jenis yang rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar laktat

13
dehidrogenase yang rendah (3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi
(>250 IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa yang rendah (<40 mg/dL),
dan hitung s elula r yang tinggi dengan banyaknya
leukosit polimorfonuklear. Diagnosis empiema ditegakkan bila
ditemukan cairan pleura yang purulen, terdeteksi bakteri gram atau
adanya hitung sel darah putih lebih dari 5 x 109 sel/l5.

H. Asuhan Keperawatan Klien Empiema

1. Pe ngkajian

a. Identitas
klien

Nama : Agama :

Umur : Suku :

Jenis Kelamin : Status pe ndidikan :

Alamat : Pekerjaan :

b. Riwayat penyakit saat ini

Klien sering merasa sesak napas mendadak dan semakin lama


semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi dada yang sakit, rasa
berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri saat bernapas.

c. Riwayat penyakit dahulu

Apakah klien pernah merokok atau terpapar polusi udara yang


berat. Pernah mengalami trauma pada rongga dada hingga pleura.

d. Riwayat penyakit keluarga

Apakah ada riwayat alergi pada keluarga.

14
2. Pemeriksaan

Fisik a. B1

(breathing)

• Inspeksi

Pada klien dengan empiema, jika akumulasi pus lebih dari


300 ml, perlu diusahakan peningkatan upaya dan frekuensi
pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas. Geakan pernapasan
ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada tertinggal pada sisi
yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris ( cembung pada sisi
yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan
sputum purulen.

• Palpasi

Taktil fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping itu,


pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit. Pada sisi yang sakit, ruang antar
iga dapat kembali normal atau melebar. Trakea dan
jantung terdorong ke sisi yang sehat.

• Perkusi

Terdengar suara ketok pada sisi yang sakit, redup sampai


pekak sesuai banyaknya pus di rongga pleura. Batas jantung
terdorong ke arah toraks yang sehat. Hal ini terjadi apabila tekanan
intrapleura tinggi.

• Auskultasi

Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi


yang
sakit.

15
b. B2 (Blood)

Perawat perlu memonitor dampak pneumothoraks pada status


kardiovaskuler, termasuk didalamnya keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah, dan CRT.

c. B3 (Brain)

Saat melakukan inspeksi, tingkat kesadaran perlu dikaji. Di


samping itu, juga diperlukan pemeriksaan GCS.

d. B4 (Bladde r)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan


intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya
oliguria itu adalah salah satu tanda awal dari syok.

e. B5 (Bowel)

Akibat sesak napas klien biasanya mengalami mual dan muntah,


anoreksia, dan penurunan berat badan.

f. B6 (Bone)

Pada trauma tusuk di dada sering didapatkan adanya kerusakan


otot dan jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi.
Klien dengan trauma ini sering dijumpai mengalami gangguandalam

memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari akibat adnya sesak napas,


kelemahan dan keletihan fisik.

3. Diagnosa
Keperawatan

a. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan


peningkatan produksi sputum

16
b. Inefektif pola napas berhubungan dengan dispnea, menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap akumulasi pus dan
peningkatan takanan ppositif di dalam rongga pleura

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

kapiler-alveolar, ketidakseimbangan perfusi-ventilasi

d. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi pada paru

e. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi bakteri pada rongga pleura

f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan
anoreksia, mual muntah

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik umum,


keletihan sekunder, dispnea

h. Ansietas berhubungan dengan ketidaktahuan akan penyakit dan


pengobatan

4. Intervensi Keperawatan

a. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan


peningkatan produksi sputum

Tujuan : Bersihan jalan napas efektif

Kriteria hasil : Bunyi napas bersih

Batuk efektif

Mengi (-), ronchi (-), cracles (-)

Intervensi :

• Auskultasi bunyi napas, catat adanya bunyi napas tambahan, kaji

dan pantau suara pernapasan.

17
R/: untuk mengetahui adanya obstruksi jalan napas,
takipnea merupakan derajat yang ditemukan adanya proses infeksi
akut.

• Catat adanya atau derajat dispnea, gelisah, ansietas, dan distress

pernapasan

R/: disfungsi pernapasan merupakan tahap proses kronis yang dapat


menimbulkan infeksi atau reaksi alergi

• Pertahankan lingkungan yang bebas dari polusi

R/: Lingkungan polusi menjadi pencetus tipe reaksi alergi yamg


dapat meningkatkan episode akut

• Tingkatkan intake cairan sampai 3000 ml/hari sesuai

tolerans jantung

R/: hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret


dan mempermudah pengeluarannya.

• Kolaborasi dalam pemberian obat sesuai indikasi

R/: mer ileks kan otot halus dan menurunkan konges

ti lokal,menurunkan spasme jalan napas,mengi, dan produksi sekret.

b. Inefektif pola napas berhubungan dengan dispnea, menurunnya


ekspansi paru sekunder terhadap akumulasi pus dan peningkatan
tekanan positif di dalam rongga pleura

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan 2x24 jam


pola napas klien kembali normal

Kriteria Hasil : - Tidak ada tanda hipoksia

- Tidak ada gejala sian osis

18
- TT V dalam batas no rm al

Intervensi :

• Identifikasi faktor penyebab

R/: dengan mengidentifikasikan penyebab kita dapat menentukan


jenis empiema sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.

• Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap

perubahan yang terjadi.


R/: dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan
kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.

• Berikan posisi yang nyaman dalam posisi duduk atau

dengan tempat tidur ditinggikan (posisi semifowler)

R/: penurunan diafragma memperluas daerah dada


sehingga ekspansi paru bisa maksimal

• Observasi tanda-tanda vital

R/: peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi adanya


penurunan fungsi paru

• Bantu dan ajarkan klien untuk melakukan teknik napas dalam dan

batuk efektif

R/: membantu mengeluarkan sekret yang mengalami penumpukan

• Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2,


obat- obatan ( Mukolitik, ekspektoran, bronkodilator), serta foto
thorax

R/: Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan


mencegah terjadinya sianosis akibat hipoxia dengan foto thorax
d apat dimon itor k emajuan d ari berku rangn ya cairan
dan kembalinya daya pengembangan paru.

19
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran kapiler-alveolar, ketidakseimbangan perfusi-ventilasi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24jam


pertukaran gas menjadi optimal

Kriteria hasil : - Perbaikan sirkulasi dan oksigenasi

- GDA dalam batas normal

- Tidak ada tanda distress pernafasan

Intervensi :

• Kaji frekuensi dan kedalaman pernafasan. Catat penggunaan


otot aksesori, napas bibir, dan ketidakmampuan berbicara.

R/: berguna dalam evaluasi derajat distress pernapasan dan atau


kronisnya penyakit

• Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung

R/: takikardia, disritmia, dan perubahan TD dapat menunjukkan


efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

• Atur atau baringkan pasien dalam posisi fowler

R/:pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi semi fowler

• Pertahankan istirahat tidur. Dorong menggunakan teknik relaksasi

dan aktivitas senggang.

R/: Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan oksigen


untuk memudahkan perbaikan infeksi.

d. Nyeri berhubungan dengan proses infeksi pada paru

20
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 X 24 jam
nyeri berkurang dan klien dapat beradaptasi dengan
nyeri yang ada
Kriteria hasil : - Mengungkapkan rasa nyeri di dada kiri berkurang
- Dapat bernafas tanpa rasa nyeri
- Tanda vital dalam batas normal
- Hasil laboratorium : Leukosit dalam batas normal
Intervensi:
• Pantau nadi dan tekanan darah tiap 3 – 4 jam

R/: Identifikasi kemajuan/penyimpangan dari hasil yang diharapkan


• Kaji tingkat nyeri dan kemampuan adaptasi

R/: Memantau tingkat nyeri dan respon klien terhadap nyeri yang
timbul

Lakukan tindakan manajemen nyeri berupa relaksasi, distraksi, dan


pengaturan posisi
R/: untuk memberikan rasa nyaman/ mengurangi nyeri.
• Kolaborasi : pemberian analgetik

R/: Mengontrol nyeri dan memblok jalan rangsang nyeri


e. Hipertermi berhubungan dengan inflamasi bakteri pada rongga pleura

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama


2x24 jam suhu tubuh kembali dalam batas normal

Kriteria hasil : - Anak tidak menangis


o
- Suhu tubuh normal : 36,5-37,5 C

Intervensi :

• Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital

R/: untuk mengetahui peningkatan suhu tubuh klien

• Berikan kompres hangat di sekitar lipatan misalnya axila, dan

lipatan paha

21
R/: Di ketiak dan lipatan paha terdapat banyak pembuluh darah
besar. Hipertermi mengalami vasokontriksi sehingga harus diberi
kompres hangat agar terjadi vasodilatasi

• Anjurkan dan berikan klien untuk banyak minum air putih lebih

dari 1000 cc/hari


R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh
meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang
banyak.

• Ciptakan suasana yang nyaman (atur ventilasi)

R/: Suhu ruangan harus diubah untuk mempertahankan s


uhu mendekati normal

• Anjurkan keluarga untuk tidak memakaikan selimut dan pakaian

yang tebal

R/: Pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh


• Kolaborasi : pemberian obat anti mikroba, antipiretik pemberian

cairan parenteral
R/: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya
pada hipotalamus.
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual muntah

Tujuan : S etelah d iberikan t indakan k eperawatan s elama 2


x24 jam klien tidak mengalami mual muntah
dan anoreksia

Kriteria Hasil : - adanya peningkatan nafsu makan

- Berat badan klien dalam batas normal

Intervensi :

• Kaji kebiasaan diet. Catat derajat kesulitan makan

R/: pasien distres pernapasan akut sering anoreksia akibat dispnea

dan produksi sputum

22
• Observasi intake dan output/8 jam. Jumlah makanan

yang dikonsumsi setiap hari dan timbang BB setiap hari.

R/: mengidentifikasi adanya kemajuan/penyimpangan dari tujuan


yang diharapkan.

• Ciptakan suasana yang menyenangkan. Lingkungan yang

bebas dari bau selama waktu makan

R /: bau-bauan d an pemandangan yang tidak sedap


dapat menyebabkan anoreksia

• Auskultasi bunyi usus

R/: penurunan atau hipoaktif bisisng usus menunjukkan motilitas


gaster dan konstipasi yang berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan.

• Hindari makanan yang mengandung gas dan minuman berkarbonat

R/: dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas


abdomen dan gerakan

• Hindari makanan yang sangat panas ataupun dingin

R/: suhu ekstrim dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk


Dorong klien untuk makan diet TKTP

R/: peningkatan pemenuhan kebutuhan dan pertahanan tubuh

• Kolaborasi dengan ahli gizi/nutrisi

Metode makan dan kebutuhan dengan upaya kalori


didasarkan pada kebutuhan individu untuk memberikan nutrisi
maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan energi

g. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


umum, keletihan sekunder, dispnea

23
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 2×24 jam
intoleransi aktivitas dapat teratasi.

Kriteria hasil : adanya peningkatan kemampuan beraktivitas


yang dapat di ukur dengan tidakadanya dispnea,
kelemahan berlebihan, dan TTV dalam batas normal

Intervensi :

• Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea,

peningkatan kelemahan, dan perubahan tanda-tanda vital.

R/: mengidentifikasi tingkat ketidakmampuan pasian dalam


beraktivitas

• Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk aktivitas

dan istirahat.

R/: menurunkan stress dan rangsangan berlebih, meningkatkan


istirahat.

• Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan

dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.

R/: Tirah baring dipertahankan selama fase akut


untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi
untuk penyembuhan. Pembatasan aktivitas ditentukan dengan
respon individual terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
pernafasan.

• B antu aktiv itas perawatan d iri y ang diperluk an .

Berikan peningkatan kemajuan aktivitas selama fase penyembuhan.

R/: meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai


dan kebutuhan oksigen.

24
h. Ansietas berhubungan dengan ketidaktahuan akan penyakit
dan pengobatan

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan 1x24 jam


klien tidak mengalami kecemasan berlebihan

Kriteria Hasil : - Klien mengungkapkan perasaan ansietas

• Klien dan keluarga memahmi kondisi penyakitnya

Intervensi :

• Jelaskan tujuan terapi pada klien

R/: Mengorientasikan program terapi, membantu


menyadarkan klien untuk memperoleh kontrol

• Ajarkan tindakan untuk membantu mengontrol dispnea

R/: Pengontrolan dipsnea melalui diet seimbang, istirahat


cukup dan aktifitas yang dapat ditoleransi

• Ajarkan klien melakukan latihan napas

R/: Latihan napas dengan spirometri insentif , latihan efek


paru atau latihan posterior paru atau latihan area iga lateral bawah

• Ajarkan dan evaluasi teknik drainase postural

R/: Memfasilitasi pengeluaran sekret

Jelaskan bahayanya infeksi dan cara menurunkan resiko


R/: Mencegah infeksi, baik sekunder maupun primer yang mungkin
diakibatkan oleh gangguan napas

• Anjurkan klien untuk melaporkan gejala penting dengan segera.

R/: Mencegah komplikasi yang tidak terpantau atau gejala yang


dianggap normal oleh klien

• Ajarkan atau observasi penggunaan nebulizer atau inhaler dosis

terukur
R/: Mencegah penggunaan inhaler melebihi dosis

25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Empiema merupakan terkumpulnya cairan purulen (pus) didalam


rongga pleura. Awalnya, cairan pleura adalah encer dengan jumlah leukosit
rendah, tetapi seringkali menjadi stadium fibropurulen dan akhirnya sampai
pada keadaan di mana paru paru tertutup oleh membrane eksudat yang kental.
Klasifikasi empiema ada Akut dan Kronis yang dtandai dengan
demam,
dispnea, nyeri plerural, anoreksia hingga penurunan berat badan.

B. Saran

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,


jadi
diharapkan untuk para pembaca untuk lebih mengembangkannya
lagi. Jadikan makalah ini sebagai pertimbangan pengembangan dari penyakit
yang telah kami dibahas diatas.
26
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Volume 1. Jakarta. EGC

Price & Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit.
Jakarta. EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta. Salemba Medika

Somantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Pernapasan. Jakarta. Salemba medika

Doenges, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta:


EGC
27

Anda mungkin juga menyukai