Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Empiema ialah proses supurasi yang terjadi di rongga tubuh, dimana rongga tersebut secara anatomis sudah ada. Empiema yang terjadi di rongga pleura yang dikenal dengan nama empiema thorak.(1) Hippocrates telah mengenalnya sejak 2.400 tahun yang lampau dan dialah yang pertama kali melakukan torakosintesis dan drainase pada pleural empiema, kemudian oleh Graham dan kawan-kawannya dari suatu komisi empiema waktu perang dunia I diberikan cara-cara perawatan dan pengobatan (pengelolaan) empiema yang dianut sampai sekarang, walaupun cara pengelolaan empiema di berbagai rumah sakit beraneka ragam, namun tindakan standar masih tetap dipertahankan. Penyakit tersebut dapat pula disebabkan oleh trauma pada dada (sekitar 1-5% kasus mendorong ke arah empiema) dan pecahnya abses dari paru ke dalam rongga pleura. Empiema mempunyai tingkat kematian yang cukup tinggi, biasanya akibat dari kegagalan bernapas dan sepsis. Dengan ditemukannya antibiotika yang ampuh, maka angka prevalensi dan mortalitas empiema mulamula menurun, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir oleh karena perubahan jenis kuman penyebab dan resistensi terhadap antibiotik, morbiditas dan mortalitas empiema tampak naik lagi. (2,3) Empiema thoraks masih merupakan masalah penting, meskipun ada perbaikan teknik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih efektif. Empiema dapat terjadi sekunder akibat infeksi di tempat lain, untuk itu perlu dilakukan pengobatan yang adekuat terhadap semua penyakit yang dapat menimbulkan penyulit pada empiema.(3)

B. Tujuan Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis pada empiema.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel-sel darah putih yang berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen(4) B. Etiologi Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif. Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan Yu Chen dkk pada pasien efusi pleura dengan empiema didapatkan Klebsiella Pneumoniae merupakan penyebab terbanyak(5). Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi menjadi: 1. Infeksi yang berasal dari dalam paru : Pneumonia 3

Abses paru Bronkiektasis TBC paru Aktinomikosis paru Fistel Bronko-Pleura 2. Infeksi yang berasal dari luar paru : Trauma Thoraks Pembedahan thorak Torasentesi pada pleura Sufrenik abses Amoebic liver abses (6) C. Klasifikasi Empiema dibagi menjadi 3 fase yaitu: 1. Stadium 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat perbaikan. 2. Stadium 2 disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri, dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin 4

disertai pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube. 3. Stadium 3 disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 4 minggu setelah gejala awal.(4)

D. Patofisiologi Akibat invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati akan meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan kental dan keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui kulit disebut emphiema nesessitasis. Emphiema dapat digolongkan menjadi akut dan kronis. Emphiema akut dapat berlanjut ke kronis. Organisasi dimuli kira-kira setelah seminggu dan proses ini berjalan terus sampai terbentuknya kantong tertutup.(4) E. Manifestasi Klinis Empiema dibagi menjadi dua stadium yaitu : 5

a. Empiema Akut Terjadi sekunder akibat infeksi tempat lain, bukan primer dari pleura. Pada permulaan, gejala-gejalanya mirip dengan pneumonia, yaitu panas tinggi dan nyeri pada dada pleuritik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda cairan dalam rongga pleura. Bila stadium ini dibiarkan sampai beberapa minggu maka akan timbul toksemia, anemia, dan clubbing finger. Jika nanah tidak segera dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura. Adanya fistel ditandai dengan batuk yang makin produktif, bercampur nanah dan darah masif, serta kadang-kadang bisa timbul sufokasi (mati lemas).(1) Pada kasus empiema karena pneumotoraks pneumonia, timbulnya cairan adalah setelah keadaan pneumonianya membaik. Sebaliknya pada Streptococcus pneumonia, empiema timbul sewaktu masih akut. Pneumonia karena baksil gram negatif seperti E. coli atau Bakterioids sering kali menimbulkan empiema.(4) b. Empiema Kronis Batas yang tegas antara empiema akut dan kronis sukar ditentukan. Disebut kronis jika empiema berlangsung selama lebih dari tiga bulan. Penderita mengeluh badannya terasa lemas, kesehatan makin menurun, pucat, clubbing fingers, dada datar, dan adanya tanda-tanda cairan pleura. Bila terjadi fibrotoraks, trakea , dan jantung akan tertarik ke sisi yang sakit.(5)

F. Diagnostik a. Anamnesis - Demam dan keluar keringat malam. 6

- Nyeri pleura. - Dispnea. - Anoreksia dan penurunan berat badan.(1) b. Pemeriksaan Fisik - Pada auskultasi dada ditemukan penurunan suara napas. - Pada perkusi dada ditemukan suara flatness. - Pada palpasi ditemukan penurunan fremitus. - Sisi yang sakit lebih cembung, tertinggal pada pernapasan - Mediastinum terdorong ke sisi yang sehat - Pada empiema yang kronis hemitoraks yang sakit mungkin sudah mengecil karena terbentuknya schwarte.(4) c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Radiologi: Foto toraks(5) Pada pasien empiema, aliran bebas cairan pleura terkumpul di bagian tertentu dari cavum pleura dan mengaburkan sudut kostofrenikus. Jumlah cairan pleura yang menyebabkan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto thorax lateral sekitar 75 ml. Pada foto thorax PA jumlah cairan yang menyebabkan penumpulan sudut kostofrenikus sekitar 200 ml. Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral mempunyai arti penting untuk diagnosis empiema. Pasien yang difoto dengan posisi berdiri, cairan pleura bebas akan terakumulasi di bagian terendah hemitoraks dan sudut kostofrenikus. Foto toraks dengan diafragma normal tetapi tampak gambaran berkantong yang terlokalisir sebaiknya juga diperiksa ultrasonografi (USG) toraks atau computed tomography scan (CT scan), terlebih bila terlihat gambaran efusi. Selanjutnya dilakukan torakosentesis, cairan yang didapat diperiksa warna, purulensi, 7

viskositas, bau dan analisis cairan pleura. Cairan pleura berupa transudat tidak dilakukan pemeriksaan lebih lanjut(7).

Foto thorax PA laki-laki usia 50 tahun yang selama 2 minggu telah mendapatkan pengobatan pneumonia. Pasien mengeluh demam persisten dan nyeri dada. Gambaran opasitas patchy bilateral pada parenkim paru menunjukkan adanya pneumonia. Sudut kostofrenikus kiri yang tumpul menunjukkan adanya efusi pleura kiri (7).

Foto thorax pasien empiema thorax tanpa abses paru(9)

Foto thorax pasien empiema dengan abses paru(9)

- Computed tomography.

CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura, mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokulasi, mengevaluasi permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. Tidak semua penderita efusi parapneumonia dengan komplikasi memerlukan pemeriksaan CT toraks, tetapi berguna pada penderita efusi komplikasi dengan lokulasi untuk pertimbangan terapi, yang akan menurunkan morbiditas, mortalitas maupun lamanya rawat tinggal(4). Tergantung pada manajemen klinis yang diharapkan, pasien dapat menjalani pencitraan dengan atau tanpa bahan kontras intravena. Jika penyadapan diindikasikan, efusi pleura klinis yang signifikan tidak secara klinis untuk media kontras intravena diperlukan

mengevaluasi keberadaan dan lokasi cairan pleura. Yang khas adalah empiema lenticular. CT scan dapat menunjukkan efusi pleura atipikal sepanjang mediastinum, pleura yang menebal, loculations dalam celah, septa, atau gelembung gas dalam rongga pleura.

10

CT Scan Thorax Pasien dengan Empiema(4)

Chest

x-

ray menunjukkan

adanya atelektasis pulmo, empiema masiv yang dikelilingi oleh kalsifisi dan masa pada bagian bawah dinding empiema, termasuk semua lapisan dinding dada anterolateral. Chest x-ray menunjukkan ada bayangan masif pada bagian bawah kanan thorax sampai dinding dada. Masa berdiameter 3 cm.

Kontras computed tomography aksial (CT) scan pada tingkat pembuluh darah paru inferior, pasien adalah seorang pria berusia 50-an yang memiliki riwayat 2 minggu pneumonia diobati secara parsial. Gambar menunjukkan cairan terlokalisasi dalam fisura utama kiri, pseudotumor a (panah). Gelembung gas hadir dalam koleksi tergantung dari cairan pleura (panah) (7).

- Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI jarang digunakan untuk melihat gambaran efusi pleura (tingkat kepercayaan dalam diagnosis empiema moderat). MRI mungkin berguna untuk mengevaluasi penebalan membran pleura ketika pemberian kontras merupakan kontraindikasi. 11

- Ultrasonography (USG). USG merupakan pemeriksaan tambahan yang penting dalam mendefinisikan karakteristik efusi pleura dan dapat pula untuk mendeteksi efusi kecil. USG juga menyediakan informasi tentang viskositas cairan, adanya septa, dan sifat efusi. Diagnosis empiema tidak hanya berdasarkan USG (7). Tes kultur dan kepekaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura. d. Diagnosis banding secara radiologis - Efusi Pleura

Pada foto thorax dalam posisi erek, cairan dalam rongga pleura tampak berupa perselubungan semiopak, homogen, menutupi paru bawah yang biasanya relatif radioopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas ke medial bawah (meniscus sign). Penumpukan cairan ini menyebabkan sinus kostofrenikus menumpul. Karena cairan mengisi hemithorax maka paru akan terdorong ke arah sentra/hilus, dan kadangkadang mendorong mediastinum ke arah kontra latreal(8) - Emfisema Paru

12

Tampak gambaran hiperlusen di kedua lapang paru. Peningkatan volume paru mendorong diafragma ke bawah, menyebabkan diafragma letak rendah dan mendatar. Corakan bronkovaskuler tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnya dan vaskuler paru yang relatif jarang(8). - Pneumothorax

Ruang pleura sangat translusen dengan tak tampaknya gambran pembuluh darah paru. Paru-paru sendiri mungkin berwarna abu-abu, bila masih berisi udara. Bila kolapsnya lengkap, pneumothorax ini akan menekan pulmo sampai sekecil-kecilnya sehingga merupakan gambaran suatu bulatan opaque kecil di daerah hilus. Jantung terdorong ke arah lain yang

13

berlawanan, spatium intercostal melebar, diaphragma mendatar dan tertekan ke bawah(8). - TB Paru

Pada TB primer, foto polos PA tampak gambaran bercak semiopak treletak di suprahiler (di atas hilus), perihiler (sepanjang limfangitis) dan parakardial (di samping kor) dengan batas tak tegas. Pada TB sekunder, tampak bercak semiopak berbentuk amorf seperti kapas berbatas tak tega di infraklavikula (infiltrat), tampak densitas inhomogen bentuk amorf di apeks, tampak garis fibrosis dan dapat terdapat gambaran kalsifikasi(8).

G. Komplikasi Fistel Bronko pleura Syok Sepsis Gagal jantung kongesti(4)

H. Penatalaksanaan

14

Prinsip pengobatan empiema adalah a. Pengosongan nanah Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek toksisnya. Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi: Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi. Nanah terus terbentuk setelah dua minggu. Terjadinya piopneumotoraks.

Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 1020 cmH2O. Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus diempuh cara lain seperti empiema kronis. b. Drainage terbuka (open drainage) Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak adekuat sehingga harus mengganti atau membersihkan drain.(4) c. Antibiotik Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotik memegang peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan sensitivitasnya. Antibiotik dapat diberikan secara sistematik atau topikal. Biasanya diberikan penicilin. 15

Pemilihan awal didasarkan pada CAP dan HAP ( laktam, penisilin, sefalosporin, kabapenem). Jika dicurigai bakteri anaerob: ditambah metronidazole atau clindamycin. Lama pemberian antibiotik : 2-4 minggu(6) d. Fibrinolitik Intraeura Diberikan pada empiema dengan pus yang kental dan atau empiema yang berkantong-kantong. diberikan: - Streptokinase 200.000 250.000 IU 1-2x/hari - Urokinase 50.000 100.000 IU 1 x 1 hari Saat pemberian WSD di klem 4 8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-turut(5) e. Penutupan Rongga Empiema Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan pembedahan (dekortikasi) atau torakoplasti. o Dekortikasi Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi: Drain tidak berjalan baik karena banyak kantng-kantung. Letak empiema sukar dicapai oleh drain. Empiema totalis yang mengalami organisasi padap pleura visceralis. Kontraindikasi : fistula bronkopleura, gangguan koagulan . Fibrinolitik intra pleura volume total 50-100ml. Jenis obat yang

o Torakoplasti

16

Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh kedalam rogga pleura karena tekanan atmosfer.(5) f. Pengobatan Kausal Misalnya subfrenik abses dengan drainase subdiafragmatika, terapi spesifik pada amoeniasis, dan sebagainya.(6) g. Pengobatan tambahan Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas. Infeksi dikontrol dengan pemberian obat Antimikrobial, berdasarkan hasil uji sensitivitas kultur organism dari sputum. Pasien mungkin akan diberikan obat antibiotic selama bertahun-tahun dengan tipe antibiotic yang berbeda sesuai dengan perubahan dalam interval. Beberapa dokter sering kali memeberikan penyakit ISPA timbul. Pasien dianjurkan untuk diberikan vaksin ulangan influenza dan pneumonia. Postural drainage merupakan dasar dari rencana penatalaksanaan medis untuk bronkhiektasis. Drainase yang memanfaatkan gaya gravitasi diharapkan akan mengurangi jumlah sekret dan tingkat infeksi (seringkali sputum mukopurulen harus diangkat dengan bronchospy). Pada area dada, lakukan perkusi untuk membantu menaikkan sekresi. Postural drainase dimulai pada jangka waktu pendek dan selanjutnya meningkat. Untuk meningkatkan pengenceran dan pengeluaran sputum, dapat diberikan aerosolized nebulizerdan dapat meningkatkan intake cairan. Facetent sangat ideal untuk memberikan kelembapan tambahan pada aerosol. Pasien harus dicegah untuk merokok, karena hal tersebut akan dapat merusak drainase bronchial akibat dari paralisis kerja siliari, meningkatkan sekresi 17

bronchial, dan menyebabkan peradangan pada membrane mukosa sehingga mengakibatkan hyperplasia dari kelenjar mukus. Intervensi surgical, meskipun sering digunakan, diindikasikan untuk pasien dengan pengenceran dan pengeluaran sputum yang berlanjut dalam jumlah besar, serta pasien dengan pneumonia dan hemoptisis berulang karena tidak berobat secara teratur.(4)

18

I.

Prognosis Prognosis dipengaruhi oleh umur serta penyakit yang melatarbelakanginya. Angka kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang berat, dan pengobatan yang terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema apabila: 1. Didapatkan nanah di rongga pleura 2. Pewarnaan Gram cairan pleura positif 3. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40mg/dL 4. Biakan cairan pleura positif 5. pH cairan pleura < 7,0 6. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum(4)

19

BAB III SIMPULAN 1. 2. Empiema adalah akumulasi pus pada cavum pleura yang dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pada pemeriksaan penunjang radiologi, foto polos thorak tetap merupakan studi pertama untuk mengevaluasi efusi atau empiema. Jika efusi hadir, pencitraan dekubitus bilateral diindikasikan untuk karakterisasi lebih lanjut. Pemeriksaan ini cukup informatif dan hemat biaya. Ultrasonografi dapat menunjukkan volume kecil cairan pleura dan dapat memberikan informasi tentang viskositas. Ultrasonografi juga dapat dengan cepat menunjukkan septa dalam koleksi cairan pleura. CT scan thorak memberikan informasi yang paling banyak. CT scan menggambarkan cairan, loculation, dan penebalan membran pleura.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Nadel, Murray: Text Book of Respiratory Medicine third edition volume one, Philadelphia. 2000 , 985-1041. 2. Palgunadimargono, Benjamin dkk : Pedoman Diagnosa dan Terapi BAG/ SMF Ilmu Penyakit Paru, Edisi 3, Surabaya, 2005. 3. Rosenbluth DB. 2002. Pleural effusion: Nonmalignant and malignant. In: Fishmans of pulmonary disease and disorders. Editors: Fishman AP, Elias JA, et al. 3rd. Ed. McGraw-Hill Companies, 487-506. 4. Rogayah, Rita. Empiema. 2010. Jakarta : Dept. Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. Diakses tanggal 27 Mei 2013 : http://staff.ui.ac.id/internal/140240448/material/empiema.pdf 5. Yu Chen, Kuan MD et al. Emphasis on Klebsiella Pneumoniae in Patients with Diabetes Mellitus. 2000. American College of Chest Physician. Diakses tanggal 27 Mei 2013 : http://chestjournal.chestpubs.org/content/117/6/1685.full.pdf+html 21

6. Fauci, Anthony et al. Harrisons Manual of Medicine 17 th Edition. 2009. New York : The McGraw-Hill Company 7. Marc Tobler, Barry HG, et al. Empyema Imaging. 2011. Medscape. diakses tanggal 27 Mei 2013. http://emedicine.medscape.com/article/355892-overview 8. Malueka, Rusdy Ghazali. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia Press 9. Huang-Che H, Heng-Chung C, et al. Lung abcess predicts the surgical outcome in patients with pleural empyema. 2010. Journal of Cardiothoracic Surgery. diakses tanggal 28 Mei 2013 http://www.cardiothoracicsurgery.org/content/5/1/88

22

Anda mungkin juga menyukai