Anda di halaman 1dari 11

PERBANDINGAN PEMIKIRAN KALAM

TENTANG SIFAT-SIFAT ALLAH


MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ilmu Tauhid dan Pemikiran Kalam

Dosen Pengampu: Dr. Tamami, M.Ag.

Disusun oleh :

Kelompok 9

Ihsan Maula Mahdi 1231030173


Astri Alvita Dewi 1231030191
Rahim Al Fikri Eka Putra 1231030201
Anggun Velina 1231030214
Naila Nur Saffana 1231030222

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2023
I. PENDAHULUAN

Adanya perbedaan pendapat dalam aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan akal,
fungsi wahyu, dan kebebasan atau kehendak dan perbuatanmanusia telah memunculkan pula
perbedaan pendapat tentang sifat sifat Allah. Tiap – tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat
menyucikan dan memelihara keesaan Allah. Faham keadilan Tuhan, dalam pemikiran kalam,
bergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan
berbuat? Ataukah manusia itu hanya terpaksa saja?

Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan perbedaan
penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu
pada tempatnya. Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung
memahami keadilan Tuhan dari sudut kepentingan, sedangkan aliran kalam tradisional yang
memberi tekanan pada ketidak bebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, cenderung memahami keadilan tuhan dari sudut Tuhan sebagai alam semesta.! di
samping faktor-faktor di atas, perbedaan aliran-aliran kalam dalam persoalan kehendak mutlak
dan keadilan Tuhan ini didasari pula oleh perbedaan pehaman terhadap kekuatan akal dan fungsi
wahyu. "Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempuyai daya yang besar. Kekuasaan Tuhan
pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun aliran yang berpendapat
sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.

Perdebatan antar aliran kalam tentang sifat-sifat Tuhan tidak terbatas pada persoalan
apakah Tuhan memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat
Allah, seperti antropomorphisme, melihat Tuhan dan esensi Al-Qur’an.

Pemikiran Kalam tentang sifat-sifat Allah merupakan aspek penting dalam tradisi
pemikiran Islam. Secara umum, para ahli Kalam berusaha memahami dan menjelaskan sifat-sifat
Allah melalui argumentasi rasional dan teologis. Perbandingan antara berbagai aliran Kalam,
seperti Mu'tazilah dan Asy'ari, mengungkap perbedaan penafsiran terkait sifat-sifat ilahi, seperti
keberadaan, pengetahuan, kekuasaan, dan kehendak Allah. Dalam konteks ini, penting untuk
memahami bagaimana masing-masing aliran Kalam memberikan penekanan dan penafsiran yang
berbeda terhadap ajaran tersebut.

i
II. PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SIFAT ALLAH

Secara umum Abduh membagi sifat kepada dua bagian yaitu ‫الوجودية الصفة‬ (sifat
wujud) dan ‫السمعية الصفة‬ )sifat sam‟i). Pembagian ini disebabkan sifat wujud dapat
diidentifikasi melalui argumen logis dan sifat sam‟i diperoleh melalui informasi wahyu. Sifat
dan Zat Allah.1

Sifat-sifat yang termasuk kepada sifat wujud adalah al-wujud, al-qidam, al-baqa, al-„ilm,
alhayat, al-iradah, al-qudrah, al-ikhtiyar dan al-wihdah. Sedangkan yang masuk kategori sifat
sam‟i adalah al-kalam, al-sam‟u, dan albashar. Keberadaan sifat-sifat Allah ini diungkapkan
Abduh secara jelas sebagai berikut: Bahwa sesungguhnya sifat-sifat Allah yang wajib diyakini
(oleh orang beriman) adalah bersumber dari petunjuk akal dan informasi yang diberikan oleh
syariat Islam. Keyakinan ini juga merupakan keimanan seluruh nabi-nabi yang diutus oleh Allah
kepada umat yang berbeda-beda. Sebagian dari sifat-sifat itu ada yang disebut secara jelas oleh
syariat dan dapat diterima oleh akal dengan penggambaran yang layak untuk Allah. Karena
analisis rasional saja tidak cukup untuk memahami semua itu, maka diperlukan perangkat iman
yaitu ketundukan dan kepercayaan bahwa Allah memiliki sifatsifat itu sesuai dengan informasi
wahyu yang disampaikan oleh para Rasul Allah.2

Pendapat Ahlussunnah yang juga diyakini oleh Abduh tentang posisi sifat-sifat Allah ini
ditolak oleh Mu‟tazilah. Argumen Mu‟tazilah bahwa apabila Allah memiliki sifat maka sifat itu
haruslah qadim dan jika sifat-sifat itu qadim maka jumlah qadim akan banyak sekali di samping
zat Allah yang qadim. Meyakini adanya sifat-sifat yang qadim selain Zat Allah (ta‟addud
alqudama‟) menurut Mu‟tazilah akan menciderai pemahaman tauhid. Mu‟tazilah menambahkan,
sebaliknya, apabila sifat Allah itu tidak qadim tetapi hadits (baru) maka hal itu juga mustahil
karena zat Allah yang qadim bersatu dengan sifatNya yang hadits.

1 Muhammad Abduh 193 Abduh, Risalah al-Tauhid,: 33-35, 44


2 Muhammad Abduh, Risalah Tauhud : 48

1
Pendapat aliran – aliran kalam mengenai sifat- sifat Tuhan

a) Mu’tazilah
Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana
pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazillah
tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan.
Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid
Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari,
bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak
mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui,
tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya,
tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya.
Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.3
Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
1) An –Nazhzham menfikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim
dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan
keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An –Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang
tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya
adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya).
2) Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian
pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang
lain. Ia berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa pada-
Nya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.

3 Abdul Rozak dan Roaihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung : CV Pustaka Setia, 2006 ) Hal 168

2
Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui,
Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan
mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui
melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.4
b) Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah berlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa daya,
pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat –
sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud
dalam esensi itu sendiri.
Uraian –uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya
kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari
Tuhan. Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan
sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan
pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam
ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru
(hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah. Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan
manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan
pula lain dari zat-nya.
Jika diamati lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-
Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat
itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini
terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian,
golongan Asy’ariyah tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran
terhadap perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari
zat-Nya.5
4 Ibid hal 170
5 M. Akmal, Tauhid Ilmu Kalam ( Bandung, CV Pustaka Setia, 2000 ) hal 146

3
c) Maturidiyah
Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham
Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah
menolak adanya sifat tuhan.
Aliran ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas
pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara
sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan,
menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan maturidiyah tidak boleh
diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak
yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui
kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya
kekal.
Sedangkan kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak
sepaham dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi
pula tidak lain dari Tuhan.6
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas
pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara
sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan,
menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan Maturidiyah tidak boleh
diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini
membelok ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan
“tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari
padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-
sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu?
Menanggapi pertanyaan ini golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan,
tidak lebih dari itu”.

6 Ibid hal 149

4
Melihat jawaban yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan
kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan
Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia
dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga bisa membelok ke aliran salaf
dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan
menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah.
Kendati demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat
untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan
mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak
perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih
berbahaya dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran
fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus menggunakan cara
tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali
menggunakan kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti
mempersamakn (tasybih). Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk
meniadakan setiap persamaan antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu
ditanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih memaksakan
adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.
d) Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu,
mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari mereka
berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan,
ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa
Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka beranggapan
bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka mengatakan bahwa Allah
terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki
melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada diri-Nya, perubahan itu

5
bukan arti nasak tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal
terjadi pada waktu yang kedua.7

e) Musyabihah (Karramiyah)
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari
kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Kalau sekiranya kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan
dengan makhluknya, tentulah tidak timbul persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin
yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah
atau Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip golongan agama-agama lain yang
mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
Aliran kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan
bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan
pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya
hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya mempercayai bahwa Allah
memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada pembahasan di atas. Tetapi aliran
musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut merupakan golongan kecil dalam
Islam. Hal ini karena memang pada awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang
antropomorfis.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan
dengan makhluk yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayat yang
mengatakan bahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di langit, di Arsy,
bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :

‫َء َأِم نُتم َّم ن ِفى ٱلَّسَم ٓاِء َأن َيْخ ِس َف ِبُك ُم ٱَأْلْر َض َفِإَذ ا ِهَى َتُم وُر‬

7 Abdul Rozak dan Rasihan Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung : CV Pustaka Setia, 2006 ) hal 179

6
Artinya “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang (Q.S
Al-Mulk:16)
‫َو ُهَو ُهّٰللا ِفى الَّسٰم ٰو ِت َوِفى اَاْلْر ِۗض َيْع َلُم ِس َّر ُك ْم َو َج ْهَر ُك ْم َو َيْع َلُم َم ا َتْك ِس ُبْو َن‬

Artinya “Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia
mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa
yang kamu usahakan.”( Q.S Al-An’am:3)

‫َو ُع ِرُض ۡو ا َع ٰل ى َرِّبَك َص ًّفاؕ َلَقۡد ِج ۡئ ُتُم ۡو َنا َك َم ا َخ َلۡق ٰن ُك ۡم َاَّوَل َم َّر ٍةۢ َبۡل َزَعۡم ُتۡم َا َّلۡن َّنۡج َعَل َلـُك ۡم َّم ۡو ِع ًدا‬

Artinya “Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu
datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan
kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi)
perjanjian.”(Q.S Al-Kahfi:48)
Demikian pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai
berikut :“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam
terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaku akan saya kabulkan. Siapa yang minta ampun,
saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama
surat-surat tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu Islam, sesudah
menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
Bagaimanapun juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat
merupakan segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada
permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian
besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka tetap
memegangi prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluk.8

8 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Bandung : PT Pustaka Setia, 2002 ) hal 253

7
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya pendapat aliran-aliran kalam
mengenai sifat-sifat tuhan setiap aliran mempunyai pendapat masing-masing diantaranya:
Mu’tazilah mereka menganggap bahwa Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat
sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapat golongan, bagi
Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Kaum Ay’ariyah berlawanan dengan mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai
pengetahuan, kemauan, dan daya. paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung
mendekati paham mu’tzilah, perbedannya al-maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat Tuhan.
Rafidhah menyifati Tuhannya dengan bada (perubahan) mereka beranggapan bahwa
Tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka mengatakan bahwa Allah terkadang
memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum
Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka
mengatakan bahwa Tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

http://www.referensimakalah.com/2012/12/perbedaan-aliran-mengenai-sifat-tuhan.htm
Akmal, M. 2000. Tauhid ilmu kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Abbas, Siradjuddin. 2002. I’tiqad Ahlusunnah Wal jama’ah. bandung: PT Pustaka Setia
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abul. 2006. Ilmu Kalam Banbung : CV Pustaka Setia
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid

Anda mungkin juga menyukai