Anda di halaman 1dari 9

21 Pelajaran dari Kisah Nabi Ayyub Sang Penyabar

Nabi Ayyub berasal dari Rum (Romawi), beliau adalah Ayyub bin Mush bin Razah bin
Al-‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam
kitab Tarik Ath-Thabari. Ada juga ulama yang menyebutkan bahwa nama beliau adalah
Ayyub bin Mush bin Raghwil bin Al-‘Ish bin Ishaq bin Ya’qub. Ibnu ‘Asakir menyebutkan
bahwa ibu dari Nabi Ayyub adalah puteri Nabi Luth ‘alaihis salam. Istri beliau sendiri
adalah Layaa binti Ya’qub. Sedangkan yang paling masyhur, nama istri beliau adalah
Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin Ya’qub. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 506)
Nabi Ayyub ‘alaihis salam disebutkan bersama nabi lainnya pada ayat,
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah
memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah
memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya,
Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. An-
Nisaa’: 163)
Dulunya Nabi Ayyub terkenal sangat kaya dengan harta yang berlimpah ruah,
contohnya saja sapi, unta, kambing, kuda dan keledai dalam hal jumlah tak ada yang bisa
menyainginya. Beliau juga memiliki tanah yang luas di negeri Batsniyyah yang termasuk
daerah Huran. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 507 dan Tafsir Al-Baghawi, 17: 176)
Allah juga memberikan kepada beliau karunia berupa keluarga dan anak laki-laki dan
perempuan. Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik, bertakwa, dan menyayangi
orang miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang miskin, menyantuni janda, anak
yatim, kaum dhuafa dan ibnu sabil (orang yang terputus perjalanan). Beliau adalah orang
yang rajin bersyukur atas nikmat Allah dengan menunaikan hak Allah. (Lihat Tafsir Al-
Baghawi, 17: 176)
Setelah itu Nabi Ayyub diuji penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami
musibah yang menimpa harta dan anaknya, semua pada sirna. Ia pun terkena penyakit
kulit, yaitu judzam (kusta atau lepra). Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan
yang beliau gunakan untuk banyak berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga.
Semua orang ketika itu menjauh dari Nabi Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu
tempat. Hanya istrinya sajalah yang mau menemani Ayyub atas perintahnya. Sampai
istrinya pun merasa lelah hingga mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya.
(Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349)
As-Sudi menceritakan pula bahwa Nabi Ayyub menderita sakit hingga terlihat sangat-
sangat kurus tanpa daging, hingga urat syaraf dan tulangnya terlihat. (Lihat Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349)
Ketika setan menggodanya saat beliau tertimpa musibah, Nabi Ayyub ‘alaihis
salam menyatakan, “Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak
mengambil.” Lalu Nabi Ayyub juga menyebutkan bahwa dia tidak memiliki harta dan jiwa
sama sekali. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 177)

Berapa lama Nabi Ayyub menjalani musibah?


Ibnu Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat
musibah selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab
mengatakan bahwa Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Al-Hasan
Al-Bashri menyatakan pula selama 7 tahun dan beberapa bulan. (Lihat Tafsir Al-Baghawi,
17: 181, juga lihat riwayat-riwayat dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 351).
Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan bahwa
penyebutan jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit
sebenarnya berasal dari berita israiliyyat. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4: 852)
Saat mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya
kepada Nabi Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau
mau berdoa pada Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub
menjawab, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit
yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.”
Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya karena tak sanggup lagi, istrinya mempekerjakan
orang lain untuk mengurus suaminya sampai memberi makan padanya. (Lihat Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349-350)
Tentang kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam disebutkan dalam ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman,
‫) َفاْس َت َج ْب َن ا َلُه َفَكَش ْف َن ا َم ا ِب ِه ِمْن ُض ٍّر َو َآَت ْي َن اُه َأْه َل ُه َو ِم ْث َلُهْم َمَع ُهْم‬83( ‫َو َأُّيوَب ِإْذ َن اَد ى َر َّبُه َأِّن ي َمَّسِنَي الُّضُّر َو َأْن َت َأْر َح ُم الَّر اِحِميَن‬
)84( ‫َر ْح َم ًة ِمْن ِع ْن ِد َن ا َو ِذ ْك َر ى ِلْلَع اِبِديَن‬
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya
aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua
penyayang.” Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit
yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi
semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84)
Setelah Nabi Ayyub ‘alaihis salam sabar menghadapi cobaan dan doa beliau terkabul,
akhirnya beliau diberi kembali istri dan anak seperti yang dulu ada.
Disebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapatkan ganti istri yang lebih muda dan
memiliki 26 anak laki-laki. Wahb mengatakan bahwa beliau memiliki sembilan puteri dan
tiga putera. Ibnu Yasar menyatakan bahwa anak beliau adalah tujuh putera dan tujuh
puteri. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 185)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengungkapkan bahwa keluarga dan hartanya
kemudian kembali. Allah karuniakan lagi pada Nabi Ayyub keluarga dan harta yang banyak.
Itu semua disebabkan kesabaran dan keridhaan beliau ketika menghadapi musibah. Inilah
balasan yang disegerakan di dunia sebelum balasan di akhirat kelak. (Tafsir As-Sa’di, hlm.
556)
Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah mengatakan, “Allah Ta’ala menghidupkan mereka
kembali untuknya dan menambahkan orang-orang yang semisal mereka.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 6: 430. Riwayatnya dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabari dengan sanad
yang shahih)
Kesembuhan Nabi Ayyub sendiri disebutkan dalam ayat berikut,
‫) َو َو َه ْب َن ا‬42( ‫) اْر ُك ْض ِبِر ْج ِلَك َه َذ ا ُم ْغ َت َس ٌل َب اِر ٌد َو َش َر اٌب‬41( ‫َو اْذ ُك ْر َع ْبَد َن ا َأُّيوَب ِإْذ َن اَد ى َر َّبُه َأِّن ي َمَّسِنَي الَّش ْي َط اُن ِبُنْص ٍب َو َع َذ اٍب‬
‫) َو ُخ ْذ ِبَيِدَك ِض ْغ ًث ا َفاْض ِر ْب ِبِه َو اَل َت ْح َن ْث ِإَّن ا َو َج ْد َن اُه َص اِبًر ا ِنْع َم اْلَع ْبُد ِإَّن ُه َّو اٌب‬43 ( ‫َلُه َأْه َلُه َو ِم ْث َلُهْم َمَع ُهْم َر ْح َم ًة ِم َّن ا َو ِذ ْك َر ى ُأِلوِلي اَأْلْلَباِب‬
‫َأ‬
)44(
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya: “Sesungguhnya
aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman): “Hantamkanlah
kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” Dan Kami anugerahi dia
(dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka
sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai fikiran. Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia
(Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat
(kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 41-44)
Allah begitu penyayang, memerintah Ayyub untuk beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba
air memancar serta memerintahkannya untuk mandi, hingga hilanglah seluruh penyakit
yang diderita tubuhnya. Kemudian Allah memerintahkannya lagi untuk menghentakkan
tanah yang lain dengan kakinya, maka muncul pula mata air lain, lalu Allah
memerintahkannya untuk minum air tersebut hingga seluruh penyakit dalam batinnya,
sehingga sempurnalah kesehatan lahir dan batinnya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ َأَلْم َأُك ْن َأْغ َن ْي ُتَك َع َّما َت َر ى‬، ‫ َفَن اَد اُه َر ُّبُه َي ا َأُّيوُب‬، ‫ َفَج َع َل َأُّيوُب َي ْح َت ِثى ِفى َث ْو ِبِه‬، ‫َب ْي َن ا َأُّيوُب َي ْغ َت ِس ُل ُعْر َي اًن ا َفَخ َّر َع َلْيِه َج َر اٌد ِمْن َذ َه ٍب‬
‫َق اَل َب َلى َو ِع َّز ِتَك َو َلِكْن َال ِغ َن ى ِبى َع ْن َبَر َك ِتَك‬
“Di saat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah seekor belalang
dari emas. Lalu Ayyub ‘alaihis salam mengantonginya di bajunya, maka Allah berfirman,
“Bukankah aku telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?” Ayyub ‘alaihis
salam menjawab, “Betul, wahai Rabbku. Akan tetapi aku tidak akan merasa cukup dari
berkah-Mu.” (HR. Bukhari, no. 279)
Adapun ayat,
‫َو ُخ ْذ ِبَيِدَك ِض ْغ ًث ا َف اْض ِر ْب ِبِه َو اَل َت ْح َن ْث‬
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan
janganlah kamu melanggar sumpah.” Dahulu Nabi Ayyub ‘alaihis salam pernah marah
kepada istrinya atas satu perkara yang dilakukan sang istri.
Satu pendapat mengatakan bahwa istrinya telah menjual tali pengekangnya dengan
sepotong roti untuk memberikan makan kepadanya, lalu dia mencela istrinya dan
bersumpah bahwa jika Allah Ta’ala menyembuhkan dirinya, niscaya dia akan memukul
istrinya sebanyak seratus kali.
Pendapat lain menyatakan bahwa ketika Allah menyembuhkan Nabi Ayyub ‘alaihis
salam, beliau tidak melakukan sumpahnya karena bakti dan kasih sayang istrinya yang
begitu tinggi pada Nabi Ayyub. Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan kepada Ayyub untuk
mengambil seikat rumput yang berjumlah seratus helai, lalu dipukulkan kepada istrinya
satu kali, sehingga selesailah ia dalam menunaikan nazarnya. Ketika itu penunaian nazar
diberikan keringanan karena kafarah (tebusan) nazar di syariat Nabi Ayyub belum ada.
(Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 430-431)

Beberapa pelajaran dari kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam:

Pelajaran #01
Jadi kaya yang bersyukur dan rajin berderma, jadi miskin yang bersabar.
Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َعَج ًبا َألْم ِر اْلُمْؤ ِم ِن ِإَّن َأْم َر ُه ُكَّلُه َخ ْيٌر َو َلْي َس َذ اَك َألَح ٍد ِإَّال ِلْلُمْؤ ِم ِن ِإْن َأَص اَب ْت ُه َس َّر اُء َشَك َر َفَك اَن َخ ْيًر ا َلُه َو ِإْن َأَص اَب ْت ُه َض َّر اُء َص َبَر‬
‫َفَك اَن َخ ْيًر ا َلُه‬
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini
tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia
bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik
baginya.” (HR. Muslim, no. 2999)

Pelajaran #02
Lihatlah Nabi Ayyub ‘alaihis salam tidak jadi sombong dengan kekayaan yang ia
miliki. Karena kekayaan itu sebenarnya ujian.
Dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah
menuliskan surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya:
“Merasa cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan
padamu. Karena Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian
hamba dari lainnya dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki sebenarnya sedang
diuji pula sebagaimana yang kurang dalam hal rezeki. Yang diberi kelapangan rezeki diuji
bagaimanakah ia bisa bersyukur dan bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari
rezeki yang telah diberikan padanya.” (HR. Ibnu Abi Hatim. Dinukil dari Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 4: 696)

Pelajaran #03
Ingatlah kekayaan itu titipan ilahi. Kalau dipahami demikian, maka sewaktu-waktu
ketika kenikmatan dunia tersebut diambil, tentu kita tidak akan terlalu sedih.
Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Ummu Sulaim (ibu dari Anas bin Malik,
yang bernama asli Rumaysho atau Rumaisa) ketika berkata pada suaminya, Abu Thalhah.
Saat itu puteranya meninggal dunia, Rumaysho malah menghibur suaminya di malam hari
dengan memberi makan malam dan berhubungan intim. Setelah suaminya benar-benar
puas, ia mengatakan,
‫َي ا َأَب ا َطْلَح َة َأَر َأْيَت َلْو َأَّن َق ْو ًما َأَع اُروا َع اِر َي َت ُهْم َأْه َل َب ْيٍت َف َط َلُبوا َع اِر َي َت ُهْم َأَلُهْم َأْن َي ْم َن ُعوُه ْم َقاَل َال َق اَلْت َف اْح َت ِس ِب اْب َن َك‬
“Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah
satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk
diambil?” Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh saja ia ambil, -pen).” Ummu
Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” (HR. Muslim,
no. 2144)

Pelajaran #04
Sakit dan ujian akan menghapus dosa. Sehingga kita butuh menahan diri untuk sabar
karena mengetahui keutamaan ini.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫َم ا ِمْن ُمْس ِلٍم ُيِص ْيُبُه َأًذ ى ِمْن َمَر ٍض َفَم ا ِس َو اُه ِإَّال َح َّط ُهللا ِبِه َس ِّي َئ اِتِه َك َم ا َت ُح ُّط الَّش َج َر ُة َو َر َقَه ا‬
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan
hapuskan kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari,
no. 5660 dan Muslim, no. 2571)
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
‫َم ا ُيِص يُب اْلُمْؤ ِمَن ِمْن َو َص ٍب ؛ َو اَل َن َص ٍب ؛ َو اَل َه ٍّم ؛ َو اَل َح َز ٍن ؛ َو اَل َغ ٍّم ؛ َو اَل َأًذ ى – َح َّت ى الَّش ْو َك ُة َي َش اُك َه ا – إاَّل َكَّفَر ُهَّللا ِبَه ا ِمْن‬
‫َخ َط اَي اُه‬
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek,
kekhawatiran (pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan hati (berduka cita)
atau sesuatu yang menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan
menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573. Lihat Syarh
Shahih Muslim, 16: 118 dan Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 1: 491)
Sabar bagaimana yang dilakukan?
Kata Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani hafizahullah, sabar yang berpahala dilakukan
dengan (1) ikhlas karena Allah, (2) mengadu pada Allah, bukan mengadu pada manusia,
(3) sabar di awal musibah. (Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih, hlm. 201)

Pelajaran #05
Penyakit tak menghalangi dari dzikir dan menjaga hati. Lihatlah Nabi Ayyub terus
menggunakan lisannya untuk berdzikir walau sedang dalam keadaan sakit.
Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,
‫ َفَقاَل َأَح ُدُه َم ا َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َأُّى الَّن اِس َخ ْيٌر َق اَل « َم ْن َط اَل ُعُمُرُه َو َح ُس َن َعَم ُل ُه‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َج اَء َأْع َر اِبَّياِن ِإَلى َر ُسوِل ِهَّللا‬
‫ َفَقاَل « َال َي َز اُل ِلَس اُنَك َر ْط بًا ِمْن ِذ ْك ِر ِهَّللا َع َو َج َّل‬.‫ َو َق اَل اآلَخ ُر َي ا َر ُسوَل ِهَّللا ِإَّن َش َر اِئَع اِإلْس َالِم َقْد َك ُثَر ْت َع َلَّى َفُمْر ِنى ِبَأْم ٍر َأَتَش َّب ُث ِبِه‬.»
‫َّز‬
»
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang
baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi
bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah
padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah
untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Pelajaran #06
Setiap orang diuji sesuai tingkatan iman. Lihat hadits berikut yang disebutkan dalam
Musnad Imam Ahmad,
‫َع ْن ُمْص َع ِب ْب ِن َس ْع ٍد َع ْن َأِبيِه َق اَل ُقْلُت َي ا َر ُسوَل ِهَّللا َأُّى الَّن اِس َأَشُّد َب َالًء َق اَل « اَألْن ِبَي اُء ُثَّم الَّصاِلُحوَن ُثَّم اَألْم َث ُل َف اَألْم َث ُل ِمَن الَّن اِس‬
‫ُيْب َت َلى الَّر ُجُل َع َلى َح َس ِب ِديِنِه َف ِإْن َك اَن ِفى ِديِنِه َص َالَب ٌة ِز يَد ِفى َب َالِئِه َو ِإَن َك اَن ِفى ِديِنه ِر َّقٌة ُخِّفَف َع ْن ُه َو َم ا َي َز اُل اْلَب َالُء ِباْلَع ْب ِد َح َّت ى َي ْم ِش َى‬
‫» َع َلى َظ ْه ِر اَألْر ِض َلْي َس َع َلْيِه َخ ِط يَئ ٌة‬
Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia pernah berkata pada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Manusia manakah yang paling berat cobaannya?” Jawab
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Para Nabi lalu orang shalih dan orang yang semisal itu
dan semisal itu berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Jika
imannya semakin kuat, maka cobaannya akan semakin bertambah. Jika imannya lemah,
maka cobaannya tidaklah berat. Kalau seorang hamba terus mendapatkan musibah,
nantinya ia akan berjalan di muka bumi dalam keadaan tanpa dosa.” (HR. Ahmad, 1: 172.
Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Pelajaran #07
Kalau ingin kuatkan sabar, ingatlah cobaan yang lebih berat yang menimpa para Nabi.
Dari ‘Abdurrahman bin Saabith Al-Qurosyi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ َف ِإَّنَه ا َأْع َظ ُم اْلَمَصاِئِب ِع ْن َدُه‬،‫ َف ْلَي ْذ ُك ْر ُمِص يَب َت ُه ِبي‬،‫ِإَذ ا ُأِص يَب َأَح ُد ُك ْم ِبُمِص يَب ٍة‬
“Jika salah seorang di antara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang
menimpa diriku. Musibah padaku tetap lebih berat dari musibah yang menimpa dirinya.”
(HR. ‘Abdurrozaq dalam mushannafnya, 3: 564; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 7:
167. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1106. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa
hadits ini shahih karena berbagai syawahid atau penguat)

Pelajaran #08
Musibah yang menimpa kita masih sangat sedikit dari nikmat yang telah Allah beri.
Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam pada
istrinya, “Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit
yang Allah timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.”

Pelajaran #09
Setan bisa saja mencelakai badan, harta dan keluarga seperti yang disebutkan dalam
kisah Nabi Ayyub dalam surat Shad,
‫َو اْذ ُك ْر َع ْبَد َن ا َأُّيوَب ِإْذ َن اَدى َر َّبُه َأِّن ي َمَّسِنَي الَّش ْي َط اُن ِبُنْص ٍب َو َع َذ اٍب‬
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya: “Sesungguhnya
aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41) (Lihat pembahasan
Syaikh Asy-Syinqithi dalam Adhwa’ Al-Bayan, 4: 851)

Pelajaran #10
Lepasnya musibah dengan doa. Itulah yang terjadi pada Nabi Ayyub, ia memohon
pada Allah untuk diangkat musibah yang menimpa dirinya,
‫َأِّن ي َمَّسِنَي الُّضُّر َو َأْن َت َأْر َح ُم الَّر اِحِميَن‬
“(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb
Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83)
Dalam surat Shaad disebutkan,
‫َأِّن ي َمَّسِنَي الَّش ْي َط اُن ِبُنْص ٍب َو َع َذ اٍب‬
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41)

Pelajaran #11
Kalau ingin mengadukan hajat dan kesusahan, adukanlah pada Allah, bukan mengadu
pada makhluk. Itulah yang dimaksud dengan ayat,
‫َف اْص ِبْر َص ْبًر ا َج ِمياًل‬
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS. Al-Ma’arij: 5). Imam Al-
Qurthubi mengatakan bahwa sabar yang baik (indah) di sini yang dimaksud adalah sabar
tanpa merasa putus harapan dan tanpa mengeluhkan pada selain Allah. (Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, 9: 180)

Pelajaran #12
Menyanjung Allah dalam doa dan bertawassul dengan asmaul husna. Lihatlah yang
disebutkan dalam isi doanya, menunjukkan bahwa ia meminta pada Allah karena sangat-
sangat butuh.
Juga dalam doanya diajarkan untuk berdoa dengan asmaul husna sebagaimana yang
diajarkan pula dalam ayat,
‫َو ِهَّلِل اَأْلْس َم اُء اْلُحْس َن ى َفاْد ُعوُه ِبَه ا‬
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari
kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan
terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)
Syaikh As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya (hlm. 319), doa yang dimaksud
mencakup doa ibadah dan doa mas’alah. Hendaklah ketika berdoa bisa menyesuaikan
asmaul husna dengan isi permintaan. Mislanya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku dan
rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Ya Allah
yang Maha Menerima Taubat, terimalah taubatku”, dan semisal itu.

Pelajaran #13
Meskipun Nabi Ayyub terus sakit, istri Nabi Ayyub tetap mengabdi pada suaminya.
Maka sampai ada nazar yang mesti ditunaikan pada istrinya dengan 100 kali pukulan, Nabi
Ayyub tidak tega melakukannya karena saking sayang pada istrinya yang benar-benar telah
berbakti pada suami.
Sebagian istri kadang tidak tahan dalam hal ini, bahkan sifatnya pembangkang ketika
suaminya sehat ataukah sakit padahal taat dan mengabdi pada suami adalah jalan menuju
surga.
Lihatlah hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ِإَذ ا َص َّلِت اْلَم ْر َأُة َخ ْم َس َه ا َو َص اَم ْت َش ْه َر َه ا َو َح ِفَظ ْت َف ْر َج َه ا َو َأَط اَع ْت َز ْو َج َه ا ِقيَل َلَه ا اْد ُخ ِلى اْلَج َّنَة ِمْن َأِّى َأْب َو اِب اْلَج َّن ِة ِش ْئ ِت‬
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan
benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia
ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1: 191
dan Ibnu Hibban, 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lihat juga hadits dari Al-Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah
datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya
dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,
‫ َف إَّن َم ا ُه َو َج َّنُت ِك‬،‫ َف اْن ُظ ِر ْي أيَن َأْن ِت ِم ْن ُه‬: ‫ َق اَل‬.‫ َم ا آُلْو ُه ِإَّال َم ا َعَج ْز ُت َع ْن ُه‬: ‫ َك ْي َف َأْن ِت َلُه؟ َق اَلْت‬: ‫ َق اَل‬. ‫ َن َعْم‬: ‫َأَذ اُت َز ْو ٍج َأْن ِت؟ َق اَلْت‬
‫َو َن اُرِك‬
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana
(sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia
menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak
mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana
keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan
nerakamu.” (HR. Ahmad, 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh
Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 1933)

Pelajaran #14
Boleh mandi telanjang. Hadits Nabi Ayyub yang mandi telanjang telah dibawakan
oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dengan membawakan judul bab,
‫ َو َم ْن َت َس َّت َر َف الَّت َس ُّت ُر َأْف َض ُل‬، ‫َم ِن اْغ َت َس َل ُعْر َي اًن ا َو ْح َدُه ِفى اْلَخ ْل َو ِة‬
“Siapa yang mandi dalam keadaan telanjang seorang diri di kesepian, namun siapa
yang menutupi diri ketika itu, maka lebih afdhal.”

Pelajaran #15
Nazar itu wajib dipenuhi sebagaimana sumpah. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
menunaikan nazarnya,
‫)ُيوُفوَن ِبالَّن ْذ ِر َو َي َخ اُفوَن َي ْو ًم ا‬٦( ‫)َع ْي ًن ا َي ْش َر ُب ِبَه ا ِع َب اُد ِهَّللا ُيَفِّج ُر وَن َه ا َت ْف ِج يًر ا‬٥( ‫ِإَّن األْب َر اَر َي ْش َر ُبوَن ِمْن َك ْأٍس َك اَن ِم َز اُج َه ا َك اُفوًر ا‬
)٧( ‫َك اَن َش ُّر ُه ُمْس َت ِط يًر ا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi
minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang
daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan
sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata
di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda,
‫ َو َم ْن َن َذ َر َأْن َي ْع ِص َي ُه َفَال َي ْع ِص ِه‬، ‫َم ْن َن َذ َر َأْن ُيِط يَع َهَّللا َفْلُيِط ْع ُه‬
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.
Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.
” (HR. Bukhari no. 6696)

Pelajaran #16
Selalu ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa. Kala Nabi Ayyub berat menjalankan
nazar, Allah Ta’ala memberikan jalan keluar dengan diberikan keringanan karena saat itu
belum ada syariat penunaian kafarah (tebusan untuk nazar)[1]. Dalam ayat disebutkan,
‫ َو َي ْر ُزْق ُه ِمْن َح ْي ُث اَل َي ْح َت ِس ُب َو َم ْن َي َت َو َّك ْل َع َلى ِهَّللا َفُهَو َح ْس ُبُه ِإَّن َهَّللا َب اِلُغ َأْم ِر ِه َق ْد َج َع َل ُهَّللا ِلُك ِّل‬, ‫َو َم ْن َي َّت ِق َهَّللا َي ْج َع ْل َلُه َم ْخ َر ًج ا‬
‫َش ْي ٍء َقْد ًر ا‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah
telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Pelajaran #17
Siapa yang tidak kuat menjalani hukuman hadd karena dalam keadaan lemah, maka
hukuman tersebut tetap ditunaikan. Karena tujuannya agar pelanggaran tersebut tidak
dilakukan lagi. Hukuman tersebut tujuannya bukan untuk menghancurkan atau
membinasakan. (Lihat Qishash Al-Anbiya’ karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 229)

Pelajaran #18
Ingatlah dengan kesabaran ketika kehilangan harta, keluarga dan anak, akan
mendapatkan ganti yang lebih baik. Yang diucapkan ketika mendapatkan musibah adalah:
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA
AKHLIF LII KHOIRON MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-
Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti
dengan yang lebih baik].
Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata bahwa
beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َم ا ِمْن َع ْبٍد ُتِص يُبُه ُمِص يَب ٌة َف َي ُقوُل ِإَّنا ِهَّلِل َو ِإَّن ا ِإَلْيِه َر اِج ُعوَن الَّلُهَّم ْأُجْر ِنى ِفى ُمِص يَب ِتى َو َأْخ ِلْف ِلى َخ ْيًر ا ِم ْن َه ا ِإَّال َأَج َر ُه ُهَّللا ِفى ُمِص يَبِتِه‬
- ‫ َف َأْخ َلَف ُهَّللا ِلى َخ ْيًر ا ِم ْن ُه َر ُس وَل ِهَّللا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ َق اَلْت َف َلَّما ُتُو ِّفَى َأُبو َس َلَم َة ُقْلُت َك َم ا َأَمَر ِنى َر ُسوُل ِهَّللا‬.» ‫َو َأْخ َلَف َلُه َخ ْيًر ا ِم ْن َه ا‬
‫صلى هللا عليه وسلم‬-.
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “INNA
LILLAHI WA INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII
KHOIRON MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya
Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang
lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya
dengan yang lebih baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a
sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun
memberiku suami yang lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim, no. 918)

Pelajaran #19
Bukti sabar, masih mengucapkan alhamdulillah ketika mendapat musibah. Yang
dicontohkan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam ketika mendapatkan musibah, beliau
mengucapkan, “Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak
mengambil.”
Tingkatan orang menghadapi musibah ada empat yaitu: (1) lemah, yaitu banyak
mengeluh pada makhluk, (2) sabar, hukumnya wajib, (3) ridha, tingkatannya lebih
daripada sabar, 4) bersyukur, ketika menganggap musibah itu suatu nikmat. (‘Iddah Ash-
Shabirin, hlm. 81)

Pelajaran #20
Kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam adalah sebagai pelajaran dan beliau bisa dijadikan
teladan. Allah memberikan kita ujian dan musibah, bukan berarti Allah ingin menghinakan
kita. Nabi Ayyub bisa dicontoh dalam hal sabar menghadapi takdir Allah yang menyakitkan.
Allah menguji siapa saja yang Allah kehendaki dan semua itu ada hikmah-Nya. (Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Azhim, 5: 352)

Pelajaran #21
Nabi Ayyub adalah orang penyabar, ia bersabar ikhlas karena Allah. Beliau juga
adalah hamba yang baik dalam hal ‘ubudiyah (peribadahan). Ini terlihat dari keadaan
beliau ketika lapang dan ketika berada dalam keadaan susah. Beliau juga adalah orang yang
benar-benar kembali pada Allah, beliau pasrahkan urusan dunia dan akhiratnya, beliau
juga adalah orang yang rajin berdzikir dan berdoa, serta punya rasa cinta yang besar pada
Allah. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 757)
Karenanya Allah memuji Nabi Ayyub ‘alaihis salam,
‫ِإَّن ا َو َج ْد َن اُه َص اِبًر ا ِنْع َم اْلَع ْبُد ِإَّنُه َأَّو اٌب‬
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 44)
Semoga jadi pelajaran berharga bagi kita semua. Nantikan lagi kisah para nabi lainnya
di Rumaysho.Com.

Referensi:
Adhwa’ Al-Bayan fii Iidhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an. Cetakan ketiga, tahun 1433 H.
Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi. Penerbit Dar ‘Alam
Al-Fawaid.
Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan tahun 1436 H. Al-Hafizh Ibnu Katsir. Penerbit Dar
‘Alam Al-Kutub.
Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Muhammad bin Ahmad
Al-Anshari Al-Qurthubi. Penerbit Darul Fikr.
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-
Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
Aysar At-Tafaasir li Kalam Al-‘Aliyy Al-Kabir. Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. Penerbit
Darus Salam.
‘Iddah Ash-Shabirin. Cetakan kedua, tahun 1429 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit
Maktabah Ar-Rusyd.
Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, tahun 1430 H. Rais: Prof. Dr. Hamad bin
Nashir bin ‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya.
Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih. Cetakan pertama, tahun 1415 H. Syaikh Sa’id
bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani.
Qishash Al-Anbiya’. Cetakan pertama, tahun 1422 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
Qishash Al-Anbiya’, Al-Qashash Al-Haqq. Cetakan kedua, tahun 1422 H. Syaikh ‘Abdul
Qadir bin Syaibah Al-Hamd. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan pertama, 1422 H. Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.
Tafsir Al-Baghawi (Ma’alim At-Tanzil). Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Husain bin
Mas’ud Al-Baghawi. Penerbit Dar Thiybah.
Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Al-Hafizh Ibnu Katsir.
Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Sumber https://rumaysho.com/15439-21-pelajaran-dari-kisah-nabi-ayyub-sang-
penyabar.html

Anda mungkin juga menyukai