Anda di halaman 1dari 4

Cah gemblung

Karya: Farrel Amroe Azhari


SMA Pradita Dirgantara

Masa-masa sekolah merupakan masa-masa yang paling dirindukan oleh setiap orang.
Ya, setiap orang punya pengalamannya masing-masing. Teman lamaku kudengar sudah
menjadi pemuda sukses yang siap memimpin negeri ini. Ada kabar Heru sudah menjadi
dokter mata terkemuka di AS, Ependi menjadi penulis novel yang saat ini digemari oleh
pencinta novel di seluruh dunia. Tri menjadi ilmuwan biologi. Juli menjadi dosen fisika di
Harvard University. Sedangkan aku menjadi perwira TNI AU dengan pangkat marsekal
muda. Aku ingin berkumpul lagi dengan teman-teman sama seperti saat SMP dulu dan
menceritakan apa saja yang sudah mereka alami sejak kita berpisah. Aku mencoba untuk
menghubungi mereka satu per satu. Memang sulit untuk menghubungi karena mereka
sekarang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Aku dulu waktu muda sering bermain dengan dia ketika smp. Kami sekelas selama 3
tahun hingga lulus. Dia yang tergila-gila dengan nazi sampai sampai lagu perjuangan nazi
hafal diluar kepala. Kami mereka anak-anak yang usil dan nakal. Dulu dia selalu naik sepeda
hingga aku, heru, juli, dan ependi, teman sekelas nya meminjam sepedanya hingga hampir
tertabrak bis
“woy cah gemblung, ati-ati nek numpak pit!”
“n n nggih pak”.
Sejak itulah kami memanggilnya dengan sebutan “Pendi gemblung”. Hari pertama sekolah,
jam pelajaran matematika kosong karena guru kami sedang menjalankan ibadah haji. Kami
berlima pergi ke kantin hingga jam pelajaran matematika berakhir, Arkaan tidak pernah
memakai sepatu saat bersekolah, karena baginya, cekeran lebih menyehatkan kaki. Entah dari
mana dia mendapat ilmu nyasar itu. Tapi yang jelas dia lebih nyaman tidak menggunakan
sepatu saat sekolah. Saat kelas 7, kami hobi bermain api didalam kelas. Semua yang ada di
kelas kami bakar dengan korek api gas 2000 an. Dari kertas, lem, bahkan tinner pun kami
bakar hanya untuk menghilangkan rasa bosan. Bahkan kami hampir membuat satu kelas
terbakar akibat kelakuan kami yang bar-bar. Kami dilaporkan ke guru BK.
“Kalian mau sekolah kalian terbakar habis?! Apa yang akan kalian lakukan jika sekolah ini
terbakar?! Putus sekolah terus menjadi tentara Nazi?!

Mental kami yang sudah hancur lebur akibat teriakan singa Bu Ndut, guru BK kami.
Kami akhirnya pulang ke rumah. Tapi kami tidak pulang ke rumah masing-masing. Kami
masih bermain dengan hal-hal yang aneh-aneh hingga senja. Kami pulang sambil menemani
Tri dan Ependi menuntun sepedanya. Di tengah jalan kami melihat bapak tua yang sudah
sepuh sedang membersihkan sampah. Si Pendi gemblung tiba-tiba menyiram bapak itu
dengan air sisa minumannya.
“Oalah bocah setan, rene! Tak antem we!”
kami berlima lari terbirit-birit hingga tak kami rasa sudah tiba di rumah sederhana milik
ependi. Kami beristirahat sebentar dirumahnya, cerita tentang pengalaman sekolah kmai
semasa SD.

“eh blung, lu dulu SD udah dipanggil guru berapa kali si? kayaknya kena masalah dulu. Lu
juga tri”. Tanyaku.
“kami setiap minggu minimal sekali kena marah sama guru, gara gara kelakuan kita yang
nyeleneh memang. Tapi seru kok, kami meraih penghargaan murid ternakal sepanjang
sejarah sekolah kami.” Jawab gemblung dengan santai.
“yaelah blung prestasi ngga jelas gitu saja dibanggain. Liat ini gue juara olimpiade ipa
nasional”. Balas juli
“gue malah belum dapet apa-apa hehehe”

sedikit kecewa bila membandingkan prestasi mereka dengan prestasiku. Tapi dengan itu kami
memulai menjalin persahabatan. Baru hari pertama sudah melelahkan. Tapi kejadian itu
membuat aku akrab dengan mereka berempat. Terutama pendi gemblung dan tri.

Hari kedua sekolah, dari kita berlima, hanya aku saja yang duduk pasling depan.
Mereka berempat yang duduk di barisan paling belakang.

“ah culun kali lu rel, laki-laki itu duduk di belakang.”


“iya deh iya. Aku pindah ke belakang.”

Setelah mereka mengejekku, aku langsung pindah untuk mencari kursi di barisan
belakang. Namun sayang barisan belakang sudah diisi oleh anak-anak yang lain. Akhirnya
aku hanya bisa terdiam duduk di barisan terdepan dikelilingi perempuan-perempuan polos.
Aku hanya bisa tertawa mendengar ejekan dari teman-teman di belakang.

“Hiya hiya duduk di depan sama para wanita.”


“Gapapa, masih mulus cuy ea.”
“Yeeee dasar nafsu, liat saja habis ini ada berita tentang bocah smp hamil diluar nikah.”
“diem lu kampret.”

Pada saat istirahat, kami jalan bersama menuju ke kantin, membeli apa yang kami
suka. Kantin di sekolah kami dikenal dengan lengkapnya makanan yang ada disana. Tri dan
ependi dengan santainya menyetobot antrian kakak kelas yang dikenal paling garang
disekolah ini.

“heh kamu orang baru, jangan sembarangan nyrobot antrian the king dong.”
“the king the king apanya. Beking ma iya hahahahaha.”
“sini lu woy!”

kami berempat yang menunggu Ependi balik khawatir karena Ependi tak kunjung
muncul di meja kami. Setelah aku dan Heru menelusuri kantin, ternyata dia sedang
bertengkar hebat dengan kakak kelas. Namun Ependi tetap kalah karena badannya yang kecil
tak sanggup menahan beban kakak kelas yang dua kali lebih kuat darinya. Tapi untungnya,
kakak kelas itu tahu bahwa Ependi tak akan sanggup melawannya, sehingga kakak kelas itu
hanya menahan serangan dari Ependi. Aku pun datang dan segera melerainya.

“maaf kak, dia anaknya memang begini, suka cari masalah. Biar aku yang ngurus dia.”
“sudah bawa si culun ini pergi, jangan berani lagi sama kakak kelas.”
“i...iya kak.”

Kami pun cepat-cepat menghabiskan makanan yang belum sempat kami makan akibat
Ependi yang mencari masalah. Kami pun segera lari menuju ruang kelas. Namun Bu Ndut
sudah masuk kelas terlebih dahulu.
“Kalian dari mana saja?” tanya Bu Ndut dengan muka garang.
“Kami dari UKS, Bu. Ependi sakit perut.”
“tidak perlu bohong kalian ya. Ibu barusan mendapat laporan bahwa kalian telah bertengkar
dengan anak kelas sembilan. Ya kan!?”
“I...Iya bu” jawab kami dengan penuh ketakutan.”
“sekarang push up 100 kali. Ibu mau mengajar teman-temanmu ini.”

Hari kedua sudah membuat masalah lagi. Kami berlima pulang dengan raut wajah
yang murung. Kali ini kami pulang ke rumah masing-masing.

Saat naik kelas delapan. Hal-hal yang kami lakukan semakin tidak masuk akal. Dan
akibat dari munculnya adek kelas, jiwa senioritas kami pun muncul secara perlahan. Heru dan
juli sering menggoda adek kelas perempuan yang sedang berjalan ketika melewati kelas
kami. Pada saat ulangan, aku dan Juli sering bertemu di kamar mandi untuk saling bertukar
jawaban. Yaa karena Juli juara Olimpiade IPA pada saat SD. Jadi hanya dia yang bisa kami
percaya untuk membantu kami mengerjakan soal. Tapi masalah dengan guru tak kunjung
hilang. Walaupun Bu Ndut sudah pensiun, kami tetap punya masalah dengan guru kami di
sekolah. Aku dan heru pernah ketahuan bermain bola di luar jam olahraga.

“Itu yang main bola di dalam kelas, bolanya serahkan ke ruang BK sekarang juga!”
dengan rasa takut, kami berdua menuju ruang BK secepat mungkin.
“Kalian ngapain main bola di dalam kelas? Kalian mau ngrusak fasilitas sekolah? Itu
kaca kalo pecah semua kalian mau ganti rugi?”
“T....Tidak Pak.” Jawab kami dengan terbata-bata.
Di kelas, lagi lagi aku ditertawakan mereka bertiga, Pendi gemblung menjadi juara tertawa
paling keras sekelas. Tapi itulah candaan anak SMP yang masih polos dan mungkin dibilang
garing oleh orang dewasa. Tapi itu sudah membuat kami bahagia semasa SMP. Dibalik
kenakalan kami, kami sering menjuarai lomba Olimpiade, aku dibidang matematika, Juli di
bidang IPA, heru dibidang IPS, tri juara KIR dan Ependi juara karya tulis. Kami sudah ahli
dibidang masing-masing. Tapi prestasi kami tertutup oleh kenakalan kami, sehingga kami
sering dicap murid tidak berguna yang hanya bisa mencari masalah.

Saat kelas sembilan, saatnya untuk bertaubat karena akan menghadapi ujian nasional.
Kami dulu yang nakal dan usil sekarang menjadi lebih rajin belajar dan bersikap sewajarnya.
Di mata guru kami menjadi anak yang lebih baik daripada masa kelas tujuh dan delapan.
Kami sempat mengikuti Olimpiade sesuai dengan bidang kami masing-masing. Hari demi
hari ujian nasional semakin dekat. Rasanya kami akan berpisah sebentar lagi karena aku akan
bersekolah di luar kota sehingga kami akan jarang berkumpul lagi. Waktu terus berjalan
hingga kami mendapatkan hasil ujian nasional kami. Semuanya mendapat nilai yang bagus.
Dan kami akhirnya berpisah ke SMA kami masing-masing.

Di SMA, mereka semua semakin sulit untuk dihubungi, apalagi aku saat itu boarding
school sehingga aku tinggal di asrama pada saat itu. Yang aku tahu mereka sempat depresi
karena ulangan fisika yang sulitnya menggebu-gebu. Namun, setidaknya kami masih sempat
untuk berkomunikasi lewat sosial media. Namun itu juga sulit karena sekolahku tidak
mengizinkan siswanya untuk menggunakan gawai saat bersekolah, sehingga kami
berkomunikasi pada saat akhir minggu saja.
Kabar mereka semakin tidak jelas setelah beranjak menjadi mahasiswa. Kami tidak
pernah bertemu bahkan berkomunikasi juga tidak pernah. Aku pikir mereka tewas tenggelam
dalam skripsi. Aku mencoba menghubungi mereka, namun mereka belum pernah membalas
pesan itu hingga aku lulus kuliah.

Belasan tahun telah berlalu. Aku masih menunggu balasan dari mereka. Detik demi
detik aku cek pesan yang masuk di gawaiku, namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada pesan
masuk kecuali pesan dari operator kartu seluler yang aku pasang di gawaiku. Setelah
puluhan tahun, mereka akhirnya menanggapi pesanku, kami akan berkumpul di wedangan
tempat kami berkumpul saat SMP. Dan di tempat itu kami bertemu. Gaya berpakaian mereka
masih saja sederhana meskipun mereka sudah sukses. Tapi Ependi tak sengaja membakar
celana sendiri setelah dia menyulut rokok. Dan kami akhirnya panik dan kami ditertawakan
seluruh pelanggan wedangan.

Anda mungkin juga menyukai