Anda di halaman 1dari 17

TEORI SOSIAL KOGNITIF

HAPA (HEALTH ACTION PROCESS APPROACH)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Kesehatan

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

1. Cintia Maulina 101811123005


2. Finda Amalia Hadi 101811123034

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB 1
CURRENT ISSUE
Sumber:
https://m.liputan6.com/regional/read/3925911/kisah-pilu-si-budi-kecil-peminum-teh-manis
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 The Role of Appraisal

2.1.1 Teori Stress Lazarus


Lazarus (1976) berpendapat Stress terjadi jika seseorang mengalami tuntutan yang
melampaui sumber daya yang dimilikinya untuk melakukan penyesuaian diri, hal ini
berarti bahwa kodisi Stress terjadi jika terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan
antara tuntutan dan kemampuan. Tuntutan adalah sesuatu yang jika tidak dipenuhi akan
menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan bagi individu. Jadi Stress tidak
hanya bergantung pada kondisi eksternal melainkan juga tergantung mekanisme
pengolahan kognitif terhadap kondisi yang dihadapi indiidu bersangkutan. Tuntutan-
tuntutan tersebut dapat dibedakan dalam 2 bentuk, yakni :
1) Tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan biologis. Berupa kebutuhan-kebutuhan,
nilai-nilai, dan kepuasan yang ada pada diri individu
2) Tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan sosial. Tuntutan eksternal dapat
merefleksikan aspek-aspek yang berbeda dari pekerjaan seseorang, seperti tugas-tugas
yang diberikan dan bagaimana cara menyelesaikan tugas tersebut, lingkungan fisik,
lingkungan psikososial dan kegiatan-kegiatan di luar lingkungan kerja.
2.1.2 Stress
Individu dan lingkungan Menurut Lazarus & Folkman (1976), Stress adalah
hubungan spesifik antara individu dan lingkungan yang dinilai individu sebagai tuntutan
atau melebihi sumber dayanya dan membahayakan keberadaannya.
2.1.3 Penilaian Kognitif (cognitive appraisal)
Penilaian kognitif (cognitive appraisal) berlangsung secara terus-menerus di
sepanjang kehidupan. Penilaian kognitif merupakan suatu proses evaluatif yang
menentukan mengapa atau dalam keadaan seperti apa suatu interaksi antara manusia dan
lingkungannya dapat menimbulkan stress (Lazarus & Folkman, 1984).
2.1.4 Derajat Stress
Tinggi rendahnya stress yang dialami oleh setiap individu bebeda-beda. Menurut
Lazarus (1976), tinggi rendahnya stress yang dihadapi setiap orang tergantung pada
proses penilaian kognitif, seseorang yang mengevaluasi stressor yang dihadapi sebagai
sesuatu yang irrelevant akan beranggapan bahwa stressor tersebut merupakan suatu hal
yang tidak penting dan cenderung memiliki derajat stress yang rendah.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penilaian
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses penilaian seorang individu terdiri
dari person factor (commitment, beliefs) dan situation factor (novelty, predictability,
temporal factors). Commitment menggambarkan apa yang dianggap penting dan
bermakna oleh seseorang. Commitment dapat pula berarti pilihan yang dibuat seseorang
atau dipersiapkan untuk menjaga nilai ideal mereka atau untuk mencapai tujuan yang
mereka inginkan. Beliefs menetapkan apa yang menjadi fakta, bagaimana suatu kejadian
di lingkungan, dan mereka membentuk keyakinan dari kejadian tersebut.
2.1.6 Coping Stress
Coping stress menurut Lazarus (1984) merupakan perubahan kognitif dan tingkah
laku yang terus menerus sebagai suatu usaha individu untuk mengatasi tuntutan eksternal
dan internal yang dianggap sebagai beban atau melampaui sumber daya yang dimilikinya
dan membahayakan keberadaan atau kesejahteraannya.

2.2 HAPA (Health Action Process Approach)


Health Action Proccess Approach merupakan suatu konsep pendekatan terhadap
pasien yang meyakini bahwa untuk mengubah perilaku seseorang dapat dilakukan dengan
cara meningkatkan intense (niat) melalui menjadi action. HAPA memiliki kelebihan
dibandingkan dengan teori lain , karena HAPA bukan saja menjelaskan bagaimana proses
peningkatan motivasi untuk membentuk niat, tetapi juga menjelaskan bagaimana cara
mempertahankan perilaku kesehatan yang sudah terbentuk. Fase motivasi ditutup dengan
membentuk tujuan eksplisit atau niat perilaku. Niat terdiri dari motivasi seseorang terhadap
perilaku tujuan atau target dalam hal arah dan intensitas.

2.3 Compliance
2.3.1 Kepatuhan
Haynes et al. (1979) mendefinisikan kepatuhan sebagai 'sejauh mana perilaku
pasien (dalam hal mengonsumsi obat, mengikuti diet atau perubahan gaya hidup
lainnya) bertepatan dengan saran medis atau kesehatan'. Kepatuhan telah
menggairahkan sejumlah besar kepentingan klinis dan akademis selama beberapa
dekade terakhir dan telah dihitung bahwa 3200 artikel tentang kepatuhan dalam
bahasa Inggris terdaftar antara 1979 dan 1985 (Trostle 1988). Kepatuhan dianggap
penting terutama karena mengikuti rekomendasi profesional kesehatan dianggap
penting untuk pemulihan pasien. Namun, penelitian memperkirakan bahwa sekitar
setengah dari pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes dan hipertensi, tidak
patuh dengan rejimen obat mereka dan bahwa bahkan kepatuhan untuk perilaku yang
tampaknya sederhana seperti menggunakan inhaler untuk asma adalah buruk
(misalnya Dekker et al. 1992). Selanjutnya, kepatuhan juga memiliki implikasi
keuangan karena uang terbuang ketika obat diresepkan, resep diuangkan, tetapi obat-
obatan tidak diambil.
Ley (1981, 1989) mengembangkan model hipotesis kognitif kepatuhan. Ini
menyatakan bahwa kepatuhan dapat diprediksi oleh kombinasi kepuasan pasien
dengan proses konsultasi, pemahaman informasi yang diberikan dan penarikan
kembali informasi ini. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memeriksa setiap
elemen dari model hipotesis kognitif. Model ini diilustrasikan pada Gambar 4.1.
1. Kepuasan Pasien
Ley (1988) meneliti sejauh mana kepuasan pasien dengan konsultasi. Dia meninjau
21 penelitian pasien rumah sakit dan menemukan bahwa 41 persen pasien tidak puas
dengan pengobatan mereka dan bahwa 28 persen pasien praktik umum tidak puas.
Studi oleh Haynes et al. (1979) dan Ley (1988) menemukan bahwa tingkat kepuasan
pasien berasal dari berbagai komponen konsultasi, khususnya aspek afektif (misalnya
dukungan emosional dan pemahaman), aspek perilaku (misalnya peresepan,
penjelasan yang memadai) dan kompetensi profesional kesehatan (misalnya
kelayakan rujukan, diagnosis). Ley (1989) juga melaporkan bahwa kepuasan
ditentukan oleh isi konsultasi dan pasien ingin mengetahui informasi sebanyak
mungkin, bahkan jika ini adalah berita buruk.
2. Pemahaman pasien
Beberapa penelitian juga meneliti sejauh mana pasien memahami isi konsultasi.
Boyle (1970) memeriksa definisi pasien dari penyakit yang berbeda dan melaporkan
bahwa, ketika diberikan daftar periksa, hanya 85 persen artritis yang didefinisikan
dengan tepat, 77 persen benar didefinisikan ikterus, 52 persen benar didefinisikan
palpitasi dan 80 persen benar didefinisikan bronkitis. Boyle lebih jauh meneliti
persepsi pasien tentang lokasi organ dan menemukan bahwa hanya 42 persen yang
dengan tepat menemukan jantung, 20 persen terletak di perut dan 49 persen terletak di
hati. Ini menunjukkan bahwa pemahaman tentang isi konsultasi mungkin rendah.
Penelitian lebih lanjut telah meneliti pemahaman penyakit dalam hal kausalitas dan
keseriusan.
Jika dokter memberikan saran kepada pasien atau menyarankan agar mereka
mengikuti program pengobatan tertentu dan pasien tidak memahami penyebab
penyakit mereka, lokasi yang benar dari organ yang relevan atau proses yang terlibat
dalam perawatan, maka kurangnya pemahaman ini adalah cenderung mempengaruhi
kepatuhan mereka dengan saran ini.
3. Ingatan pasien
Ley (1981, 1989) menemukan bahwa ingatan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sebagai contoh, Ley berpendapat bahwa kecemasan, pengetahuan medis, tingkat
intelektual, pentingnya pernyataan, efek keutamaan dan jumlah pernyataan
meningkatkan daya ingat. Namun, ia menyimpulkan bahwa daya ingat tidak
dipengaruhi oleh usia pasien, yang bertentangan dengan beberapa prediksi efek
penuaan pada ingatan dan beberapa mitos dan mitos-mitos dari proses penuaan.
Mengingat informasi setelah konsultasi mungkin terkait dengan kepatuhan.

2.4 Strategi Promkes menurut Ottawa Charter


Lima butir kesepakatan dalam Piagam Ottawa, yang menjadi Bidang Prioritas
Tindakan dalam merencanakan Program Promosi Kesehatan meliputi :
1. Membangun Kebijakan Berwawasan Kesehatan ( Build Healthy public policy )
Membangun Kebijakan Berwawasan Kesehatan adalah menempatkan sektor
kesehatan dalam agenda para pembuat kebijakan (policy makers) atau pembuat
keputusan (decision makers). Para pembuat kebijakan atau pengambil keputusan
harus menyadari konsukuensi kesehatan dari keputusan mereka, dan harus
bertanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan di masyarakatnya. Dalam
proses pembangunan adakalanya aspek kesehatan sering diabaikan, oleh karena itu
adanya kebijakan yang berwawasan kesehatan, diharapkan bisa mengedepankan
proses pembangunan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kesehatan. Sebagai
contoh ; dalam perencanaan pembangunan menara listrik tegangan tinggi di
wilayahnya, para pengambil kebijakan dan pembuat keputusan harus benar-benar
bisa memperhitungkan penempatan lokasinya, keuntungan dan kerugiannya bagi
masyarakatnya. Juga dari segi kesehatan harus diperhatikan kemungkinan dampak
radiasi yang akan ditimbulkan bagi masyarakat disekitar lokasi penempatan menara
listrik tegangan tinggi tersebut.
2. Menciptakan Lingkungan yang mendukung ( Supportive environment ).
Promosi kesehatan harus bisa menciptakan kondisi lingkungan, baik tempat
kerja maupun tempat tinggal yang aman dan nyaman. Untuk melakukannya perlu
dilakukan penilaian yang sistematis dari perubahan dampak lingkungan.
Lingkungan disini diartikan dalam pengertian luas. Baik lingkungan fisik (biotik,
non biotik), dan lingkungan non fisik. Diharapkan tercipta lingkungan yang
kondusif yang dapat mendukung terwujudnya masyarakat yang sehat. Sebagai
contoh dalam menciptakan lingkungan yang mendukung adalah perencanaan jalur
hijau didaerah perkotaan, agar menjadi filter dampak polusi yang terjadi.
Menggiatkan perlindungan diri pada kelompok terpapar pencemaran udara, seperti
penggunaan masker pada penjaga loket jalan tol, petugas polantas, dan sebagainya.
3. Memperkuat Gerakan masyarakat ( Community action ).
Adanya gerakan ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa kesehatan tidak
hanya milik pemerintah, tetapi juga milik masyarakat. Untuk dapat menciptakan
gerakan kearah hidup sehata, masyarakat perlu dibekali dengan pengetahuan dan
ketrampilan. selain itu masyarakat perlu diberdayakan agar mampu berperilaku
hidup sehat. Kewajiban dalam upaya meningkatkan kesehatan sebagai usaha untuk
mewujudkan derajat setinggi-tingginya, teranyata bukanlah semata-mata menjadi
tanggung jawab tenaga kesehatan. Masyarakat justru yang berkewajiban dan
berperan dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Upaya-upaya yang
telah dilakukan untuk memperkuat gerakan masyarakat adalah dengan adanya
gerakan 3 M dalam program pemberantasan DBD, gerakan jumat bersih, gerakan
seribu kondom dalam upaya pencegahan HIV-AIDS dan lain-lain.
4. Mengembangkan Ketrampilan individu ( Personal Skill )
Promosi kesehatan mendukung pengembangan individu dan sosial melalui
pemberian informasi, pelatihan, dan pendidikan kesehatan. Strategi ini membekali
masyarakat dengan keterampilan dan kepercayaan dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat secara keseluruhan. Dengan harapan semakin banyak individu yang
terampil akan pelihara diri dalam bidang kesehatan, maka akan memberikan
cerminan bahwa dalam kelompok dan masyarakat tersebut semuanya dalam
keadaan yang sehat. ketrampilan individu sangatlah diharapkan dalam mewujudkan
keadaan masyarakat yang sehat. Sebagai dasar untuk terapil tentunya individu dan
masyarakat perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan mengenai kesehatan,
selain itu masyarakata juga perlu dilatih mengenai cara-cara dan pola-pola hidup
sehat sehingga mereka mampu memegang kendali penuh untuk membuat pilihan
yang kondusif pada dirinya dan lingkungannya terkait masalah kesehatan. Strategi
ini dapat diterapkan dengan baik dilingkungan sekolah, rumah-rumah, lokasi kerja
dan kelompok masyarakat tertentu. Kegiatan yang bisa dilaksanakan adalah seperti
penyuluhan secara individu atau kelompok seperti di Posyandu, PKK, pelatihan
kader kesehatan, pelatihan dokter kecil, pelatihan guru UKS dan lain-lain.
5. Reorientasi Pelayanan Kesehatan ( Reorient health service ).
Tanggung jawab pelayanan kesehatan tidak hanya bagi pemberi
pelayanan (health provider), tetapi merupakan tanggung jawab bersama antara
pemberi pelayanan kesehatan ( health provider ) dan pihak yang mendapatkan
pelayanan. Bagi pihak pemberi pelayanan diharapkan tidak hanya sekedar
memberikan pelayanan kesehatan saja, tetapi juga bisa membangkitkan peran serta
aktif masyarakat untuk berperan dalam pembangunan kesehatan. Pemberi
pelayanan kesehatan dalam proses pelayanan dan pembangunan kesehatan harus
menyadari bahwa perannya sangatlah penting, tidak hanya sebagai subyek, tetapi
sebagai obyek. Sehingga peranserta masyarakat dalam pembangunan kesehatan
sangatlah diharapkan. Contoh yang bisa dilihat dilapangan adalah semakin
banyaknya upaya-upaya kesehatan yang bersumberdaya masyarakat, seperti
posyandu, UKGMD, Saka bhakti Husada, poskestren dan lain-lain.
BAB 3
PEMBAHASAN
Balita asal Kendari, Sulawesi Tenggara dengan inisial B mengalami gizi buruk. Hal ini
berawal dari kurang mampunya ekonomi orang tua balita sehingga timbul inisiatif ibu untuk
mengkombinasikan pemberian susu formula dengan teh manis
Kebutuhan gizi seimbang balita B tidak terpenuhi karena pemberian teh manis lebih
dominan dibanding susu formula. Sehingga kondisinya seperti anemia yang menyebabkan
cepat letih bahkan bisa mengalami sakit. Ibu dari balita B hanya bisa pasrah dan menunggu
bantuan dari sang dermawan karena ibu diberikan uang saat suaminya pergi melaut
berminggu-minggu hanya berkisar Rp. 200.000 hingga Rp. 1.000.000 untuk membelikan
kebutuhan rumah tangga. Hal ini kemudian didengar oleh Direktur Rumah Sakit Kota
Kendari yang kemudian balita B dijemput untuk diberikan perawatan intensif di rumah sakit.
Tahap – Tahap dalam Proses Pembentukan Stress disesuaikan dengan current issue:
1. Potential Stressor
Keadaan ekonomi yang kurang dan kewajiban ibu memenuhi kebutuhan susu formula
2. Primary Appraisal
Keadaan ekonomi yang kurang membuat Ibu marsiah stress. Hasil penilaian Ibu
Marsiah terhadap potential stressor yang ada:
 Tidak relevan : Ibu Marsiah menganggap bahwa pemberian susu formula tidak
begitu penting bagi anaknya
 Jinak dan positif : Ibu Marsiah tidak melakukan apapun untuk mamanuhi
kebutuhan susu formula untuk balita B
3. Secondary Appraisal
Ibu Marsiah tidak selalu memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan susu formula
balita B
4. Coping
Ibu Marsiah tidak mempunyai cara untuk memenuhi kebutuhan susu formula anaknya
5. Stress
Akhirnya potential stressor yang ada berhasil membuat Ibu Marsiah mempunyai
anggapan bahwa memberikan susu formula pada balita B adalah hal yang membuat
stress
Tahap-tahap Pembentukan Perilaku Menggunakan Teori HAPA (Health Action Process
Approach)
1. Severity
Ibu Marsiah merasa anaknya adalah anak yang tidak mudah sakit apalagi jika hanya
diberikan kombinasi susu formula dan teh manis
2. Vulnerability
Ibu Marsiah merasa mengkombinasi susu formula dengan teh manis tidak akan
berbahaya bagi balita B
3. Threat
Karena Ibu Marsiah merasa mengkombinasi susu formula dengan teh manis tidak akan
berbahaya bagi balita B dan keadaan fisik balita B juga tidak mudah sakit maka Ibu
Marsiah merasa mengkombinaikan susu formula dengan teh manis bukan merupakan
suatu ancaman yang berbahaya bagi anaknya.
4. Outcome Expectancies
Ibu Marsiah melihat pengalaman anak tetangga dan adiknya yang tidak sakit hanya
karna diberikan kombinasi susu formula dan teh manis (teh manis lebih dominan
diberikan)
5. Self Efficacy Expectancies
Keyakinan ibu dan keluarga terhadap kemampuan dirinya yang hanya bisa
memberikan teh manis lebih dominan daripada susu formula dan menurut ibu teh
manis cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anaknya dan menggantikan susu
formula
6. Intention
Dengan efikasi diri yang buruk, harapan balita B akan baik-baik saja, dan perasaan
bahwa memberikan kombinasi susu formula dan teh bukan merupakan suatu ancaman
yang serius, maka timbul niat untuk memberikan balita B teh manis sebagai pengganti
susu formula.
7. Action Plans
Ibu Marsiah merencanakan pemberian kombinasi susu formula dengan teh manis
8. Action Control
Ibu Marsiah memberikan susu formula kepada balita B, namun yang lebih sering
adalah diberi teh manis.
9. Situative, Barriers, Resources
Kebutuhan rumah tangga yang harus dipenuhi dan ekonomi yang kurang membuat Ibu
Marsiah semakin yakin atas rencana pemberian kombinasi susu formula dan teh manis
kepada balita B
10. Action
Ibu Marsiah mengkombinasikan susu formula dengan teh manis dengan pemberian teh
manis yang lebih sering.
Tahap-tahap Pembentukan Perilaku Kepatuhan (Compliance)
1. Understanding
Ibu kurang memahami yang telah dijelaskan oleh petugas rumah sakit bahwa
anaknya harus dirawat secara intensif, diberikan vitamin, diberikan susu dan
makanan dengan gizi seimbang.
2. Memory
Ibu tidak mengingat apa yang sudah dijelaskan oleh petugas rumah sakit tentang cara
pemberian vitamin, dan makanan murah dengan gizi seimbang.
3. Satisfaction
Karena kurangnya pemahaman ibu dan tidak ingatnya ibu apa yang telah dijelaskan
oleh petugas rumah sakit, maka kepuasan ibu terhadap pelayanan yang diberikan
rendah. Sehingga Ibu Marsiah tidak mematuhi apa yang sudah dijelaskan oleh
petugas rumah sakit.

Peran Sarjana Kesehatan Masyarakat


Merujuk pada Ottawa Charter
1. Healthy Public Policy (Kebijakan Berwawasan Kesehatan)
 Membuat kebijakan daerah tentang pentingnya pemberian susu formula pada
balita
 Membuat kebijakan daerah tentang pengelolaan sumber daya yang ada untuk
memenuhi gizi seimbang
2. Supportive Environtment (Lingkungan yang Mendukung)
 Memastikan poster tentang pemberian susu formula pada balita dan pemenuhan
gizi seimbang.
 Pemerintah daerah bekerja sama dengan pabrik susu murah untuk mencakup
jangkauan pemberian susu bagi warga yang kurang mampu.
 Memastikan susu formula ada di toko-toko terdekat yang mudah dijangkau.
3. Reorient Health Services(Reorientasi Pelayanan Kesehatan)
 Mereorientasi petugas puskesmas untuk melakukan penyuluhan yang lebih
memperhatikan gizi seimbang balita
 Mereorientasi petugas promosi kesehatan di puskesmas untuk melakukan
penyuluhan tentang pentingnya pemberian susu formula pada balita.
4. Community Action (Gerakan masyarakat)
 Pembentukan kelompok arisan susu formula bagi ibu yang memiliki balita
 Pembentukan komunitas peduli balita dalam memenuhi gizi seimbang
5. Personal Skill (Keterampilan individu)
 Melakukan pemberdayaan pada ibu dalam mengolah sumber daya yang ada
untuk memenuhi gizi seimbang
 Melakukan pelatihan pengetahuan dan skill pada kader kesehatan tentang
manfaat pemberian susu formula pada balita. Sehingga kader dapat berperan
aktif untuk menyampaikan pentingnya pemberian susu formula pada balita.

Sumber

John W. Satrock. 2007.Psikologi Pendidikan, edisi kedua.Jakarta : PT. Kencana Media


Group
https://m.liputan6.com/regional/read/3925911/kisah-pilu-si-budi-kecil-peminum-teh-
manis
http://fdwiyanto.com/2011/10/penggunaan-ottawa-charter-sebagai.html
https://repository.maranatha.edu/14522/4/0730049_Chapter2.pdf

Anda mungkin juga menyukai