Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Promosi Kesehatan


2.1.1 Health Belief Model (HBM)

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model


sosio psikologis, munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa
problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau
masyarakat untuk menerima usaha pencegahan dan penyembuhan
penyakit yang diselenggarakan oleh provider, kegagalan ini akhirnya
memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit
(preventif health behavior), yang oleh Becker (1974) dikembangkan dari
teori lapangan (Fieldtheory, 1954) menjadi model kepercayaan kesehatan
(health belief model) (Notoatmodjo, 2003).

Health Belief Model (HBM) didasarkan atas 3 faktor esensial,


kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari
suatu penyakit atau memperkecil resiko kesehatan. Adanya dorongan
dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku itu sendiri.
Ketiga faktor di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan kepribadian dan lingkungan individu, serta pengalaman
berhubungan dengan sarana dan petugas kesehatan. Kesiapan individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti persepsi tentang kerentanan
terhadap penyakit, potensi ancaman, motivasi untuk memperkecil
kerentanan terhadap penyakit, dan adanya kepercayaan perubahan
perilaku akan memberikan keuntungan. Faktor yang mempengaruhi
perubahan perilaku adalah perilaku itu sendiri yang dipengaruhi oleh
karakteristik individu, penilaian individu terhadap perubahan yang
ditawarkan, interaksi dengan petugas kesehatan yang
merekomendasikan perubahan perilaku dan pengalaman mencoba
merubah perilaku yang serupa.
HBM seringkali dipertimbangkan sebagai kerangka utama dalam
perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, dimulai dari pertimbangan
orang mengenai kesehatan. HBM ini digunakan untuk meramalkan
perilaku peningkatan kesehatan. HBM merupakan model kognitif yang
berarti bahwa khususnya proses kognitif dipengaruhi oleh informasi dari
lingkungan. Menurut HBM kemungkinan individu akan melakukan
tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua
keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari
sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian (Machfoedz,
2006).

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap


resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang
berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi
dirinya. Asumsinya adalah bahwa, bila ancaman yang dirasakan tersebut,
maka perilaku pencegahan juga akan meningkat. Penilaian tentang
ancaman yang dirasakan ini berdasarkan pada, yaitu :

1. Ketidak kekebalan yang dirasakan (perceived vulnerability) yang


merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan
masalah kesehatan menurut kondisi mereka.
2. Keseriusan yang dirasakan (perceived severity) merupakan orang-
orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyair tersebut
apabila mereka mengembangkan masalah kesehatan atau
membiarkan penyakitnya tidak ditangani.

Penilaian kedua yang dibuat adalah perbandingan antara


keuntungan dan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan
tindakan pencegahan atau tidak yang berkaitan dengan dunia medis, dan
mencakup berbagai ancaman perilaku, seperti check-up untuk mencegah
atau pemeriksaan awal dan imunisasi (Machfoedz, 2006).

Menurut Kosa dan Robertson yang dikutip oleh Notoatmodjo


(1993), menyatakan bahwa perilaku kesehatan individu cendrung
dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi
kesehatan yang diinginkan dan kurang mendasarkan pada pengetahuan
biologi. Memang kenyataannya demikian, setiap individu mempunyai cara
yang berbeda didalam mengmbil tindakan penyembuhan atau
pencegahan, meskipun gangguan kesehatannya sama.

Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan penilaian


individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan
tersebut. Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang
dirasakan oleh individu menstimulasi dimulainya suatu proses sosial
psikologis.

Apabila individu bertindak untuk mengobati penyakitnya, ada


empat variabel yang terlihat dalamtindakan tersebut, yakni kerentanan
yang dirasakan (perceivet susceptibility) agar seseorang bertindak untuk
mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia
rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut dan keseriusan yang
dirasakan (perceived seriousness), tindakan individu untuk mencari
pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh
keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat, manfaat
dan rintangan yang dirasakan, apabila individu merasa dirinya rentan
untuk penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu
tindakan tertentu, tergantuk pada manfaat yang dirasakan dari rintangan
yang ditemukan, isyarat atau tanda-tanda (cues) untuk mendapatkan
tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan, dan
keuntungan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor
eksternal, misalnya pesan-pesan pada media masa, nasehat atau anjuran
teman atau anggota keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003).

2.1.2 TRANSTHEORICAL MODEL

The Transtheoretical Model (TTM), yang juga dikenal sebagai the


Stages of Change Model, dikembangkan oleh Prochaska & DiClemente
(1982; Green, Rossi, Reed, Willey, & Prochaska, 1994). TTM memiliki
nilai dalam memfasilitasi dan mengakselerasi perubahan perilaku yang
berkaitan dengan kesehatan, baik untuk perilaku adiktif maupun perilaku
non-adiktif (Prochaska, et.al.,1994). Inti dari model ini adalah bahwa
individu terlibat dalam berbagai perilaku yang baru, mereka berpindah
melalui suatu rangkaian perubahan yang terdiri dari lima tahap, yaitu:

a. Pra-kontemplasi (ketiadaan tujuan mengubah perilaku tertentu di masa


yang akan datang yang tidak dapat diprediksikan),
b. Kontemplasi (ditandai oleh sebuah kesadaran mengenai sebuah
masalah perilaku dan serangkaian pertimbangan untuk mengubah
perilaku itu, tetapi tidak pada jangka masa yang dekat)
c. Persiapan (individu terlibat dalam mempersiapkan perilaku dan
berbagai rencana untuk mengubah perilaku pada bulan yang akan
datang)
d. Tindakan (berbagai upaya nyata saat ini yang dibuat untuk mengubah
perilaku),
e. Pengelolaan (upaya yang berkelanjutan untuk menstabilkan perubahan
perilaku setidaknya untuk enam bulan; Bull, Eyer, King, & Brownson,
2001; Courneya,1995; Greene, et.al.,1994). Diketahui bahwa pekerjaan
polisi sering kali dihubungkan dengan perilaku penyesuaian yang salah
(misalnya minum minuman keras secara berlebihan, merokok, dan
masalah perjudian), aplikasi dari TTM terhadap para petugas penegak
hukum dapat secara produktif mendukung kesiapan motivasional untuk
perubahan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Gershon,
Lin & Li, 2002; Violanti, et.al.,1985)

2.1.3 INTERACTIVE DOMAIN MODE (IDM)

Interactive Domain Model (IDM) menurut Kahan dan Goodstad


(2001) adalah suatu model atau konsep yang dapat dipergunakan untuk
melihat, menganalisa, dan sekaligus mendasari rencana intervensi untuk
mencegah penyakit dan masalah kesehatan yang terdiri dari tiga domain
yaitu:

a. Domain dasar (fondasi) yang meliputi unsur tujuan, nilai, teori


b. Domain pemahaman lingkungan
c. Domain praktek.

Setiap domain tersebut saling berinteraksi dan berhubungan


dengan lingkungan eksternal dan internal. Lingkungan internal adalah
lingkungan yang ada pada masyarakat tersebut antara lain: sosial
budaya, ekonomi, sedangkan lingkungan eksternal adalah lingkungan
yang tidak berada dalam masyarakat tersebut, tetapi berpengaruh
terhadap masyarakat tersebut. Misalnya kebijakan puskesmas dan lain-
lain.

2.1.4 PRECEDE- PROCEED

Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Green, yang dirintis sejak


tahun 1980. Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia
dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes)
dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkumkan dalam akronim
PRECEDE (Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Causes in
Educational Diagnosis and Evalution). Precede ini merupakan arahan
dalam penganalisis atau diagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi
pendidikan (promosi) kesehatan. Precede adalah fase diagnosis masalah.

Sedangkan PROCEED (Policy, Regulatory, Organizational


Construct in Educational and Environmantal Development) adalah
merupakan arahan dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi
pendidikan (promosi) kesehatan. Apabila precede merupakan fase
diagnosis masalah, maka Proceed adalah merupakan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi Promosi Kesehatan.
Lebih lanjut precede model ini dapat diuraikan bahwa perilaku itu
sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yakni :

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam


pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, jamban,
dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yang
terwujud dalam sikap dan pendorong atau penguat (reinforcing factors)
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain, yang merupakan kelompok refrensi dari perilaku
masyarakat (Notoadmojo, 2010).

Bekerja menggunakan precede dan proceed, mengajak orang


berpikir deduktif, untuk memulai dengan akibat akhir dan bekerja ke
belakang ke arah sebab-sebab yang asli.

Adapun penjelasan dari tiap fase dalam kerangka Precede


Proceed Theory adalah sebagai berikut:

Fase 1 (diagnosa sosial)


adalah proses penentuan persepsi seseorang terhadap kebutuhan
dan kualitas hidupnya dan aspirasi untuk lebih baik lagi, dengan
penerapan berbagai informasi yang didesain sebelumnya.
Partisipasi masyarakat adalah sebuah konsep pondasi dalam
diagnosis sosial dan telah lama menjadi prinsip dasar bagi kesehatan dan
pengembangan komunitas. Hubungan sehat dengan kualitas hidup
merupakan hubungan sebab akibat. Input pendidikan kesehatan,
kebijakan, regulasi dan organisasi menyebabkan perubahan out come,
yaitu kualitas hidup. Fase ini membantu masyarakat (community) menilai
kualitas hidupnya tidak hanya pada kesehatan. Adapun untuk melakukan
diagnosa sosial dilaksanakan dengan mengidentifikasi masalah
kesehatan melalui review literature (hasil-hasil penelitian), data (misalnya
BPS, Media massa), group method.
Hubungan sebab akibat dapat terjadi secara langsung melalui
kebijakan sosial, intervensi pelayanan sosial, kebijakan kesehatan dan
program kesehatan.
a. Bagian atas yaitu kebijakan sosial atau keadaan sosial,
mengindikasikan masalah kesehatan mempengaruhi kualitas hidup,
sehingga kualitas hidup dapat memotivasi dan mampu mengatasi
berbagai masalah kesehatan.
Kualitas hidup sulit diukur dan sulit didefinisikan; ukuran obyektif
(indikator sosial), yaitu angka pengangguran, kepadatan hunian,
kualitas air. Ukuran subyektif (informasi dari anggota masyarakat
tentang kepuasan hidup, kejadian hidup yang membuat stress, individu
dan sumber daya sosial.
b. Bagian bawah yaitu intervensi kesehatan, mengindikasikan kondisi
sosial dan kualitas hidup dipengaruhi oleh masalah kesehatan.

Fase 2 (diagnosa epidemiologi)


Masalah kesehatan merupakan hal yang sangat berpengaruh
terhadap kualitas hidup seseorang, baik langsung maupun tidak
langsung. Yaitu penelusuran masalah-masalah kesehatan yang dapat
menjadi penyebab dari diagnosa sosial yang telah diprioritaskan. Ini perlu
dilihat data kesehatan yang ada dimasyarakat berdasarkan indikator
kesehatan yang bersifat negatif yaitu morbiditas dan mortalitas, serta
yang bersifat positif yaitu angka harapan hidup, cakupan air bersih,
cakupan rumah sehat.
Untuk menentukan prioritas masalah kesehatan, dilakukan dengan
beberapa tahapan, diantaranya:
a. Masalah yang mempunyai dampak terbesar pada kematian, kesakitan,
lama hari kehilangan kerja, biaya rehabilitasi, dan lain-lain.
b. Apakah kelompok ibu dan anak-anak yang mempunyai resiko.
c. Masalah kesehatan yang paling rentan untuk intervensi.
d. Masalah yang merupakan daya ungkit tinggi dalam meningkatkan
status kesehatan,economic savings.
e. Masalah yang belum pernah disentuh atau di intervensi.
f. Apakah merupakan prioritas daerah/ nasional.

Fase 3 (diagnosa perilaku dan lingkungan)


Pada fase ini terdiri dari 5 tahapan, antara lain:
a. Memisahkan penyebab perilaku dan non perilaku dari masalah
kesehatan.
b. Mengembangkan penyebab perilaku
1) Preventive behaviour (primary, secondary, tertiary)
2) Treatment behaviour
c. Melihat important perilaku
1) Frekuensi terjadinya perilaku
2) Terlihat hubungan yang nyata dengan masalah kesehatan
d. Melihat changebility perilaku
e. Memilih target perilaku
Untuk mengidentifikasi masalah perilaku yang mempengaruhi
status kesehatan, digunakan indikator perilaku seperti: pemanfaatan
pelayanan kesehatan (utilisasi), upaya pencegahan (prevention action),
pola konsumsi makanan (consumtion pattern), kepatuhan (compliance),
upaya pemeliharaan sendiri (self care).
Untuk mendiagnosa lingkungan diperlukan lima tahap, yaitu:
membedakan penyebab perilaku dan non perilaku; menghilangkan
penyebab non perilaku yang tidak bisa diubah; melihat important faktor
lingkungan, melihat changeability faktor lingkungan, memilih target
lingkungan.

Fase 4 (diagnosa pendidikan dan organisasi )


Mengidentifikasi kondisi-kondisi perilaku dan lingkungan yang
status kesehatan atau kualitas hidup dengan memperhatikan faktor-faktor
penyebabnya. Mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diubah untuk
kelangsungan perubahan perilaku dan lingkungan. Merupakan target
antara atau tujuan dari program.
Ada 3 kelompok masalah yang berpengaruh terhadap perilaku, yaitu:
a. Faktor predisposisi (predisposing factor): pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai, dan lain-lain.
b. Faktor penguat (reinforcing factor): perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain, dan lain-lain.
c. Faktor pemungkin (enabling factor): lingkungan fisik tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dan lain-
lain.

Tahap proses menyeleksi faktor dan mengatur program:


a. Identifikasi dan menetapkan faktor-faktor menjadi 3 kategori
Mengidentifikasi penyebab-penyebab perilaku dan dipilah-pilah
sesuai dengan 3 kategori yang ada: predisposing, enabling, reinforcing
factors.
Metode:
1) Formal
a) Literatur
b) Checklist dan kuesioner
2) Informal
a) Brainstorming
b) Normal group process (NGP)
b. Menetapkan prioritas antara kategori
Menetapkan faktor mana yang menjadi obyek intervensi, dan
seberapa penting dari ke-3 faktor yang ada.
c. Menetapkan prioritas dalam kategori
Berdasarkan pertimbangan:
1) Important: prevalensi, penting dan segera di atasi menurut logis,
pengalaman, data dan teori
2) Immediacy: seberapa penting
3) Necessity: mungkin prevalensi rendah, tapi masih harus dimunculkan
perubahan lingkungan dan perilaku yang terjadi
4) Changeability: mudah untuk diubah

Fase 5 (diagnosa administrasi dan kebijakan)


Pada fase ini dilakukan analisis kebijakan, sumber daya dan
kejadian-kejadian dalam organisasi yang mendukung atau menghambat
perkembangan promosi kesehatan.
1) Memperkirakan atau menilai resorces/ sumber daya yang
dibutuhkan program
2) Menilai resorces yang ada didalam organisasi atau masyarakat
3) Mengidentifikasi faktor penghambat dalam mengimplementasi
program
Tahap diagnosa administrasi, antara lain:
1) Menilai kebutuhan sumber daya
a) Time
b) Personnel
c) Budget
2) Menilai ketersediaan sumber daya
a) Personnel
b) Budgetary contraints (keterbatasan budget)
3) Menilai penghambat implementasi
a) Staff commitment and attitude
b) Goal conflict
c) Rate of change
d) Familiarity
e) Complexity
f) Space
g) Community barriers

Policy diagnosis
1) Menilai dukungan politik
2) Dukungan regulasi atau peraturan
3) Dukungan sistem didalam organisasi
4) Hambatan yang ada dalam pelaksanaan program
5) Dukungan yang memudahkan pelaksanaan program
Tahapan diagnosa kebijakan, antara lain:
1) Menilai kebijakan, regulasi dan organisasi
a) Issue of loyality
b) Consistency
c) Flexibility
d) Administrative of professional direction
2) Menilai kekuatan politik
a) Level of analysis
b) The zero-sum game
c) System approach
d) Exchange theory
e) Power equalization approach
f) Power educative approach
g) Conflict approach
h) Advocacy and education and community development

Implementasi:
Kunci keberhasilan implementasi:
1. Pengalaman
2. Sensitif terhadap kebutuhan
3. Fleksibel dalm situasi kondisi
4. Fokus pada tujuan
5. Sense of humor

Evaluasi dan accountability:


Evaluasi: membandingkan tujuan dengan standar object of interest:
1. Mengukur quality of life
2. Indikator status kesehatan
3. Faktor perilaku dan lingkungan
4. Faktor predisposing, enabling, reinforcing
5. Aktivitas intervensi
6. Metode
7. Perubahan kebijakan, regulasi atau organisasi
8. Tingkat keahlian staf
9. Kualitas penampilan dan pendidikan

Object of interest:
1. Input
2. Intermediate effects
3. Outcome

Tingkatan Objective:
1. Ultimate objectives : sosial dan kesehatan
2. Intermediate objectives: perilaku dan lingkungan
3. Immediate objective: educational, regulatory, policy

Tingkat Evaluasi:
1. Evaluasi proses
Evaluasi dari program promosi kesehatan yang dilaksanakan
2. Evaluasi impact
Menilai efek langsung dari program pada target perilaku (predisposing,
enabling, reinforcing factors) dan lingkungan
3. Evaluasi outcome
Evaluasi terhadap masalah pokok yang pada proses awal perencanaan
akan diperbaiki: satus kesehatan dan quality of life.

2.1.5 THE POLICY RAINBOW

Strategi promosi kesehatan yang berwawasan kebijakan. Strategi


kesehatan yang mana ditujukan kepada para penentu kebijakan agara
mengeluarkan kebijakan dan ketetentuan yang menguntungkan bahkan
dapat merugikan kesehatan, sehingga dalam menentukan keputusan
diperhatikan dampaknya bagi kesehatan masyarakat.

Realisasi dari orientasi pelayanan kesehatan ini adalah para


penyelenggara kesehatan baik pemerintah maupun swasta harus
dilibatkan dalam memberdayakan masyarakat agar dapat berperan bukan
hanya sebagai penerima pelayan kesehatan namun dapat menjadi
penyelenggara pelayanan kesehatan.

WHO berdasarkan piagam Ottawa (1986) dalam Heri.D.J. Maulana


2009 halaman 19, mendefinisikan promosi kesehatan adalah suatu
proses yang memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap
kesehatan dan meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas
mengenai diri sendiri.

Promosi kesehatan merupakan proses pemberdayaan seseorang


untuk meningkatkan kontrol dan kesehatannya. WHO menekankan
bahwa promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan
memungkinkan individu meningkatkan kontol terhadap kesehatan dan
meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai
pemberdayaan diri sendiri.

2.1.6 THE THEORY OF PLANNED BEHAVIOR

Theory of planned behavior (teori perilaku terencana) merupakan


pengembangan dari teori sebelumnya yaitu theory of reasoned action
(teori tindakan beralasan) yang dikemukakan oleh Icek Ajzen dan Martin
Fishbein. Dalam theory of reasoned action (teori tindakan beralasan),
dimana teori ini merupakan teori yang digunakan untuk memperkirakan
tingkah laku seseorang. Dalam theory of reasoned action (teori tindakan
beralasan) memiliki dua prediksi utama dalam menilai niat seseorang
untuk berperilaku, yaitu attitude toward the behavior dan subjective norm
(Ajzen, 1991). Theory of reasoned action (teori tindakan beralasan)
kemudian diperluas dan dimodifikasi kembali oleh Icek Ajzen menjadi
Theory of planned behavior (teori perilaku terencana). Menurut analisis
Ajzen, theory of reasoned action (TRA) hanya dapat digunakan untuk
perilaku yang sepenuhnya berada di bawah kontrol individu tersebut, dan
tidak sesuai jika digunakan untuk menjelaskan perilaku yang tidak
sepenuhnya di bawah kontrol individu karena adanya faktor lain yang
kemungkinan dapat menghambat atau mendukung tercapainya niat
individu untuk berperilaku, sehingga Ajzen dalam Theory of planned
behavior (TPB) menambahkan satu faktor antesenden yaitu perceived
behavioral control. Dalam Theory of planned behavior (teori perilaku
terencana) menerangkan bahwa perilaku seseorang akan muncul karena
adanya niat untuk berperilaku. Theory of planned behavior dikhususkan
pada perilaku spesifik seseorang dan untuk semua perilaku secara umum
Niat seseorang untuk berperilaku dapat di prediksi oleh tiga hal yaitu
sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), norma subyektif
(subjective norm), dan persepsi pengendalian diri (perceived behavioral
control). Attitude toward the behavior merupakan keseluruhan evaluasi
seseorang mengenai positif atau negatifnya untuk menampilkan suatu
perilaku tertentu. Subjective norm merupakan kepercayaan seseorang
mengenai tuntutan dari orang lain yang dianggap penting baginya untuk
bersedia menampilkan atau tidak menampilkan suatu perilaku tertentu
sesuai dengan tuntutan. Perceived behavioral control adalah persepsi
seseorang tentang kemampuannya untuk menampilkan suatu perilaku
tertentu (Ajzen, 1991).

Dalam Theory of Planned Behaviour (TPB) menjelaskan bahwa


sikap terhadap perilaku, norma subyektif dan persepsi pengendalian diri
akan memunculkan sebuah niat untuk melakukan perilaku. Actual
Behavioral Control (Kontrol perilaku nyata) akan terjadi apabila seseorang
ingin melakukan niat yang dimiliki. Sikap terhadap perilaku (Attitude
toward the Behavior) Sikap terhadap perilaku merupakan suatu fungsi
yang didasarkan oleh behavioral beliefs, yaitu belief seseorang terhadap
konsekuensi positif dan atau negatif yang akan diperoleh seseorang
apabila melakukan suatu perilaku (salient outcome beliefs).
Sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior) didefinisikan
sebagai tingkatan penilaian positif atau negatif individu terhadap suatu
perilaku. Attitude toward the behavior ditentukan oleh kombinasi
antarabeliefindividutentangkonsekuensi positif dan atau negatif dari
perilaku yang dimunculkan (behavioral beliefs) dengan nilai subyektif
seseorang terhadap konsekuensi berperilaku tersebut (outcome
evaluation) (Ajzen,2006).

Norma Subjektif (Subjective Norm)

Norma subyektif (subjective norm) diartikan sebagai persepsi


seseorang mengenai tekanan dari lingkungan sekitar untuk melakukan
atau tidak melakukanperilaku.Subjective normditentukan oleh kombinasi
antara belief seseorang tentang setuju dan atau tidak setuju seseorang
ataukelompok yang dianggap penting bagi individu terhadap suatu
perilaku (normative beliefs), dan motivasi individu untuk mematuhi anjuran
tersebut (motivation to comply).

Persepsi Pengendalian Diri (Perceived Behavioral Control)

Persepsi pengendalian diri diartikan sebagai fungsi yang


didasarkanpadacontrol beliefs, yaitubeliefseseorang tentangada atau
tidak adanya faktor pendukung atau penghambat untuk dapat
memunculkan perilaku. Belief dapat diperoleh dari pengalaman terdahulu
individu tentang suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu tentang
suatu perilaku yang diperoleh dengan melakukan observasi pada
pengetahuan yang dimiliki diri maupun orang lain yang dikenal individu,
dan juga oleh berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun
menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam
melakukan suatu perilaku.

Semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit


faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih
besar kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut dan begitu juga
sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan faktor pendukung dan
banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka
individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan
perilaku tersebut (Ajzen, 2006). Terdapat dua faktor untuk menentukan
persepsi pengendalian diri (perceived behavioral control) yaitu control
belief dan perceived power.

Niat (Intention)

Niat (Intention) merupakan kompetensi dari diri individu yang


didasarkan pada keinginan individu untuk melakukan perilaku tertentu.
Niat untuk melakukan perilaku dapat diukur menggunakan tiga prediktor
utama yaitu attitude toward the behavior, subjective norm, dan perceived
behavioral control . Jika individu berniat untuk melakukan perilaku maka
individu tersebut akan cenderung melakukan perilaku tersebut, namun
sebaliknya jika tidakberniatuntuk melakukan perilaku maka individu
tersebut cenderung tidak akan melakukan perilaku itu.

Niat individu untuk berperilaku memiliki keterbatasan waktu dalam


mewujudkan perilaku nyata, sehingga dalam melakukan pengukuran niat
untuk berperilaku perlu diperhatikan empat elemen utama dari niat yaitu
target dari perilaku yang dituju.

2.1.7 COMMUNICATION THEORY

Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang


(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata-kata)
dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang lain (khalayak).
(Hovland, Janis dan Kelley : 1953)
Komunikasi adalah proses penyampaian informasi, gagasan,
emosi, keahlian dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti
kata-kata, gambar-gambar, angka-angka dan lain-lain. (Barelson dan
Steiner, 1964).
Komunikasi merupakan hal terpenting dalam kehidupan.
Komunikasi dibuat untuk menyebarluaskan pesan kepada publik,
mempengaruhi khalayak dan menggambarkan kebudayaan pada
masyarakat. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu
institusi yang kuat di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan
berinteraksi yang bersifat antarpribadi, dipenuhi melalui kegiatan
komunikasi interpersonal atau antarpribadi. Sedangkan kebutuhan untuk
berkomunikasi secara publik dengan orang banyak, dipenuhi melalui
aktivitas komunikasi massa.
Dengan demikian komunikasi menjadi unsur penting dalam
berlangsungnya kehidupan suatu masyarakat. Selain merupakan
kebutuhan, aktivitas komunikasi sekaligus merupakan unsur pembentuk
suatu masyarakat. Sebab tidak mungkin manusia hidup di suatu
lingkungan tanpa berkomunikasi satu sama lain.

Kesehatan
Kata dasarnya adalah sehat, yang berarti baik itu sehat jasmani
maupun rohani. Jadi, Kesehatan adalah salah satu konsep yang sering
digunakan namun sukar untuk dijelaskan artinya. Faktor yang berbeda
menyebabkan sukarnya mendefinisikan kesehatan, kesakitan dan
penyakit (Gochman,1988; De Clercq,1993). Setidaknya definisi kesehatan
harus mengandung paling tidak komponen : biomedis,personal dan
sosiokultural. keadaan (status) sehat utuh secara fisik, mental (rohani),
dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit,
cacat dan kelemahan. Definisi tersebut tidak hanya meliputi tindakan yang
dapat secara langsung diamati dan jelas tetapi juga kejadian mental dan
keadaan perasaan yang diteliti dan diukur secara tidak langsung.

Komunikasi Kesehatan
Proses penyampaian pesan kesehatan oleh komunikator melalui
saluran/media tertentu kepada komunikan dengan tujuan untuk
mendorong perilaku manusia tercapainya kesejahteraan sebagai
kekuatan yang mengarah kepada keadaan (status) sehat utuh secara
fisik, mental (rohani), dan sosial. Kesehatan komunikasi dapat
didefinisikan sebagai"Seni dan teknik pemberitahuan, mempengaruhi, dan
memotivasi penonton individu,kelembagaan, dan publik tentang isu-isu
kesehatan penting. Ruang lingkup komunikasi kesehatan meliputi
pencegahan penyakit, promosi kesehatan, kebijakan kesehatan, dan
bisnis perawatan kesehatan serta peningkatan kualitas hidup dan
kesehatan individu dalam masyarakat "- People Sehat 2010, "Sebuah
bidang teori, riset dan praktek yang berkaitan dengan pemahaman dan
saling ketergantungan mempengaruhi komunikasi simbolik dalam bentuk
pesan dan makna) dan kepercayaan kesehatan terkait, perilaku dan hasil
audiens yang berbeda dan berbagi informasikesehatan terkait dengan
tujuan mempengaruhi, menarik dan mendukung individu, masyarakat,
profesional kesehatan, kelompok khusus, pem." Cline, R. 2003.
"Komunikasi Kesehatan adalah pendekatan yang beragam dan
multidisiplin untuk mencapai buat kebijakan dan masyarakatuntuk juara,
memperkenalkan, mengadopsi, atau mendukung perilaku, praktek atau
kebijakanyang pada akhirnya akan meningkatkan hasil kesehatan.
"Schiavo, R. 2007, p. ataumekanisme dimana pesan-pesan kesehatan
dikomunikasikan dari para pakar di bidangkesehatan medis dan
masyarakat untuk orang-orang yang dapat dibantu dengan pesan-pesan
ini. Jadi, komunikasi Kesehatan adalah proses penyampaian informasi
tentang kesehatan.

Kharakteristik Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses artinya komunikasi merupakan
serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan- serta
berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Sebagai proses
komunikasi tidak ‘statis’ tapi ‘dinamis’ dalam arti akan mengalami
perubahan secara terus menerus.
 Komunikasi adalah upaya yang disengaja serta mempunyai tujuan.
 Komunikasi menuntut adanya partisipasi dan kerja sama dari para pelaku
yang terlibat.
 Komunikasi bersifat simbolis.
 komunikasi bersifat transaksional.
 Komunikasi menembus faktor waktu dan ruang.

Komponen Komunikasi Kesehatan


Komunikator adalah orang atau lembaga yang menyampaikan
pesan, misalnya berisikan himbauan untuk melakukan 3M dalam
mencegah dan memberantas penyebaran dan perkembangan nyamuk
aedes agyphti yang menyebabkan penyakit DBD.
Pesan adalah pernyataan yang didukung oleh lambang yang
mempunyai arti, contohnya bias berupa slogan tentang hidup sehat dan
lain-lain.
Komunikan adalah orang yang menerima pesan. Komunikan bias
berupa manyarakat maupun lembaga tertentu yang bertanggung jawab
atas peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Media adalah sarana atau saluran yang mendukung proses
penyampaian pesan. Media dimaksud bias berupa media cetak maupun
elektronik yang dahulu biasa dilakukan dengan kegiatan penyuluhan.
Efek adalah dampak atau akibat yang ditimbulkan oleh pesan .
efek atau dampak ialah nilai ketercapaian kita dalam penyanpaian pesan.
Nilai baik maupun sebaliknya tergantung cara kita dalam menyampaikan
pesan tersebut.

Mengapa Komunikasi Kesehatan Diperlukan di Bidang Kesehatan


Komunikasi Kesehatan menjadi semakin populer dalam upaya
promosi kesehatan selama 20 tahun terakhir. Contoh, komunikasi
kesehatan memegang peranan utama atau pengontribusi dalam
pemenuhan 219 dari 300 tujuan khusus dalam Healthy People 2010.
Apabila digunakan secara tepat, komunikasi kesehatan dapat
mempengaruhi sikap, persepsi, kesadaran, pengetahuan dan norma
sosial yang kesemuanya berperan sebagai precursor dapa perubahan
prilaku. Komunikasi kesehatan sangat efektif dalam mempengaruhi
prilaku karena didasarkan pada psikologi sosial, pendidikan kesehatan,
komunikasi massa, dan pemasaran untuk mengembangkan dan
menyampaikan promosi kesehatan dan pesan pencegahan –
pencegahan.
Karya awal yang mempengaruhi perkembangan komunikasi
kesehatan di susun oleh National Cancer Institute (NCI) dan diberi judul
Making Health Communication Programs Work: A Planner’s Guide.
Panduann ini menyatakan bahwa bidang ilmu seperti pendidikan
kesehatan, pemasaran sosial, dan komunikasi massa secara bersama
mendefinisikan komunikai kesehatan. Bukan hal luar biasa apabila
mendengar peryataan bahwa komunikasi kesehatan bahkan merupakan
nama yang lebih baik untuk profesi daripada promosi kesehatan atau
pendidikan kesehatan bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam
promosi kesehatan melibatkan komunikasi untuk kesehatan.
Kenyataannya, komunikasi kesehatan telah didefinisikan secara luas oleh
Everett Rogers, seorang pelopor dalam bidang komunikasi, sebagai
segala jenis komunikasi manusia yang berhubungan dengan kesehatan.
Ada dua perspektif utama yang diambil ketika mempertimbangkan
komunikasi kesehatan dalam praktik promosi kesehatan saat ini.
Beberapa praktisi memandang komunikasi massa sebagai proses
menyeluruh yang membingkai penerapan intervensi promosi kesehatan.
Praktisi ini memandang komunikasi kesehatan sebagai strategi atau
aktifitas sempit seperti publikasi informasi atau sejenis komunikasi. Antar
personal yang mungkin berlangsung antara pendidik kesehatan dan
kliennya. Kedua pemikiran itu menyebabkan komunikasi kesehatan
rentan terhadap penafsiran yang luas dan kesalahpahaman.
Jadi,komunikasi kesehatan diperlukan di bidang kesehatan karena
komunikasi dalam kesehatan merupakan kunci pencapaian peningkatan
tarap atau tingkat kesehatan masyarakat.Sejauh ini komunikasi
senantiasa berkembang seiring berkembangnya dunia teknologi
komunikasi. komunikasi yang dulunya biasa dilakukan dengan
penyuluhan yang secaralangsung berhadapan dengan masyarakat dan
dilakukan dengan media audio/radio sekaranglebih popular dengan
penyampaian pesan atau informasi kesehatan melalui media
internetmaupun media cetak dan elektronik.

Landasan Komunikasi Kesehatan


Dalam Undang-undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 pasal 63
dijelaskan perlunya pengembangan Sistem Informasi Kesehatan yang
mantap agar dapat menunjang sepenuhnya pelaksanaan manajemen dan
upaya kesehatan dengan menggunakan teknologi dari yang sederhana
hingga yang mutakhir disemua tingkat administrasi kesehatan. Sistem
Informasi Kesehatan dikembangkan terutama untuk mendukung
manajemen kesehatan. Pendekatan sentralistis di waktu lampau
menyebabkan tidak berkembangnya manajemen kesehatan di unit-unit
kesehatan dan di Daerah. Manajemen memang akan berkembang
dengan baik pada saat suatu unit atau Daerah diberi kewenangan untuk
mengurus dirinya sendiri (otonom).
Dengan kurang jelasnya manajemen kesehatan diwaktu lampau,
maka kebutuhan informasi dan datanya pun menjadi tidak jelas pula.
Oleh karena itu, tahun 2001 yang merupakan awal pelaksanaan
Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai momentum yang tepat untuk
mulai mengembangkan kembali Sistem Informasi Kesehatan. Mendukung
hal tersebut maka pada tahun tersebut di terbitkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 551/Menkes/SK/V/2002 tentang Kebijakan dan
Strategi Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Nasional (SIKNAS).
Seiring dengan pesatnya perkembangan di bidang Teknologi Informasi
dan Komunikasi (ICT) maka pada tahun 2003 dikeluarkan Instruksi
Presiden RI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengem-bangan egovernment. Kemudian dijabarkan lagi
melalui Surat Keputusan Menteri Informasi & Komunikasi nomor
56/KEP/M.KOMINFO/12/2003 tentang Panduan Manajemen Sist
Dokumen Elektronik (versi 1.0) dan Surat Keputusan Kepala Badan
Administrasi Negara Nomor 239/IX/6/8/ 2003 tentang Pedoman
Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Lingkungan/Konteks Komunikasi
Lingkungan (konteks) komunikasi setidaknya memiliki tiga dimensi :
fisik, sosio-psikologis dan temporal

1. Dimensi Fisik

Ruang atau bangsal atau taman di mana komunikasi berlangsung


disebut konteks atau lingkungan fisik - artinya , lingkungan nyata atau
berwujud (tangible). Lingkungan fisik ini, apa pun bentuknya, mempunyai
pengaruh tertentu atas kandungan pesan kita (apa yang kita sampaikan)
selain juga bentuk pesan (bagaimana kita menyampaikan).

2. Dimensi sosial-psikologis

Meliputi misalnya tata hubungan status diantara mereka yang


terlibat, peran dan permainan yang dijalankan orang, serrta aturan
budaya mesayarakat di mana mereka berkomunikasi. Lingkungan atau
konteks ini juga mencakup rasa persahabatan atau permusuhan,
formalitas atau informalitas, situasi serius atau senda gurau. Komunikasi
yang diperbolehlan pada suatu pesta wisuda mungkin tidak diperbolehkan
di rumah sakit.

3. Dimensi temporal (waktu)

Mencakup waktu dalam sehari maupun wakti dalam hitungan


sejarah dimana komunikasi itu berlangsung. Bagi banyak orang, siang
hari bukanlah waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan orang lain,
tapi bagi banyak orang, pagi hari justru paling ideal berkomunikasi. Waktu
dalam sejarah tidak kurang pentingnya. karena kelayakan dan dampak
dari suatu pesan bergantung, sebagian pada waktu atau moment pesan
dikomunikasikan. Bayangkan misalnya, bagaimana pesan-pesan
mengenai sikap dan nilai rasial, seksual, atau keagamaan disampaikan
dan ditanggapi dalam waktu sepanjang sejarah.
2.1.8 COMMUNITY MOBILIZATION

Upaya-upaya penggerakan masyarakat untuk mendukung


program-program kesehatan bersama dengan institusi pemerintah dalam
rangka membantu masyarakat agar melakukan tindakan pencegahan
penyakit oleh masyarakat itu sendiri, dan agar masyarakat mau
menggunakan fasilitas umum yang sudah disediakan oleh pemerintah
maupun lembaga lain, atau untuk meningkatkan penggunaan fasilitas
kesehatan maupun fasilitas umum lain. Namun demikian, teori-teori
penggerakan masyarakat maupun pengalaman itu dapat juga diterapkan
pada setiap kegiatan pelayanan kemasyarakatan yang membutuhkan
partisipasi masyarakat, baik yang dilakukan oleh program pemerintah,
non-pemerintah, perusahaan swasta, bahkan partai politik.

Penggerakan masyarakat untuk kebutuhan pragmatis oleh pihak


pihak tertentu sering mengerahkan massa untuk jangka pendek.
Masyarakat dikerahkan hanya dalam waktu tertentu saja, atau dalam
waktu yang pendek. Biasanya dilakukan untuk promosi produk barang
atau demonstrasi kelompok untuk kebutuhan politik praktis. Pengalaman
sehari-hari terutama di kota-kota besar, penggerakan masyarakat banyak
juga dilakukan oleh para penggerak massa dari kelompok kepentingan
untuk mengajak orang menjadi demonstran atau berunjuk rasa.

Sebenarnya penggerakan yang dilakukan oleh para kelompok


kepentingan politik ini praktis hanya mencari dukungan untuk kepentingan
perjuangan politisi itu sendiri, tapi sesungguhnya tak ada keuntungan
langsung kepada masyarakat yang ikut berdemonstrasi. Mereka
dibutuhkan hanya untuk memperlihatkan diri pada wilayah sasaran
tertentu untuk waktu tertentu saja. Penggerakan masyarakat seperti ini
sesungguhnya berada di luar tujuan luhur dari penggerakan masyarakat
itu sendiri. Beberapa kelemahan dari penggerakan masyarakat seperti ini
adalah:

- Tidak memberi perubahan pada perilaku positif masyarakat.


- Ada ketergantungan kelompok pada pengerah tenaga demo
sumber dana.

- Dapat terjadi konflik horizontal yang merugikan masyarakat


secara langsung.

Ukuran besar kecilnya suatu program penggerakan masyarakat


maupun jumlah anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam suatu
kegiatan program penggerakan masyarakat tergantung dari luas area dan
besarnya populasi yang menjadi sasaran program, yaitu dari segi wilayah
dapat diukur dari jumlah desa, kecamatan, kabupaten, dan jumlah
penduduk yang bermukim di lokasi tersebut. Pada tahap awal dari suatu
kegiatan penggerakan dapat dilakukan dalam ukuran skala kecil saja
(sebagai percontohan), kemudian dapat dikembangkan ke beberapa
lokasi. Program penggerakan masyarakat berskala kecil lebih mudah
diamati (monitor) dan mudah dikendalikan, sehingga dij amin dapat
berjalan lancar dan akan memberi hasil yang baik sesuai dengan tujuan
objektif dari penggerakan.
Berbagai pengalaman yang diperoleh dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengendalikan program, termasuk hambatan dan
kelemahan, dapat dij adikan sebagai pelajaran dan pengalaman. Program
penggerakan yang berhasil akan menarik minat anggota masyarakat lain
yang berdekatan, sehingga kegiatan biasanya akan ditiru oleh individu di
sekitarnya maupun kelompok-kelompok lain sesama desa bahkan dari
desa lain. jika kita memulai program dalam ukuran skala kecil saja dulu
daripada langsung membuat program dengan skala luas. Memulai
program dengan skala kecil sangat mudah dimonitor dan mudah
dilakukan perbaikan, dan pengalaman yang diperoleh dapat menjadi
bahan masukan, dan setelah itu barulah dikembangkan ke skala
menengah dan seterusnya. Berbagai program yang diluncurkan untuk
mem- bantu masyarakat dalam berbagai bidang, semuanya menginginkan
partisipasi aktif masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok.
2.1.9 SOCIAL NETWORK AND SOSIAL SUPPORT THEORY

Media sosial melalui internet memiliki potensi besar untuk


melakukan promosi kesehatan dan intervensi kesehatan lainnya dan lebih
mudah untuk menyentuh sasaran pada setiap levelnya.

A. Promosi Kesehatan dan Urgensinya Menggunakan Media Sosial

Menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses mengupayakan


individu -individu dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan
mereka mengandalkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan
sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatannya. Bertolak dari
pengertian yang dirumuskan WHO, Indonesia merumuskan pengertian
promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama
masyarakat agar mereka dapat menolong diri nya sendiri (mandiri) serta
mengembangkan kegiatan bersumber daya masyarakat sesuai sosial
budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasana
kesehatan.

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan di Ottawa, Canada


menyatakan bahwa promosi kesehatan adalah suatu proses untuk
memampukan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatan mereka. Dengan kata lain, promosi kesehatan adalah upaya
yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri.
Menggunakan media sosial dapat meningkatkan akses masyarakat
terhadap informasi kesehatan, serta mempromosikan perubahan perilaku
yang positif, dengan demikian media sosial dapat berkolaborasi dan
melengkapi promosi kesehatan yang selama ini masih konvensional.

Media sosial dapat menjadi alat yang unggul dengan jangkauan


dan interaktivitas luas. Beberapa bukti empiris menemukan hal menarik
menggunakan media sosial untuk intervensi pencegahan penyakit seperti
penghentian perilaku merokok melalui Tweet dan situs kesehatan video
youtube tentang kanker, peningkatan pengetahuan remaja tentang
kesehatan reproduksi, pengetahuan pasien mengenai diabetes dan
pemahaman mengenai kebugaran dan aktifitas fisik melalui facebook.

Promosi kesehatan melalui online juga bisa dapat di aplikasikan


ditempat kerja, dimana informasi umumnya adalah tentang kesehatan
karyawan. Teknologi berupa media sosial memfasilitasi pengetahuan
masyarakat yang lebih baik tentang penyakit dan pencegahannya,
penggunaan layanan kesehatan yang lebih baik, lebih patuh terhadap
pengobatan dan partisipasi dalam keputusan kesehatan, peningkatan
dukungan sosial serta berbagi dukungan kepada orang lain sehingga
masyarakat mampu secara mandiri menyebarluaskan pengalaman positif
mereka tentang perubahan perilaku yang lebih sehat, perubahan tubuh,
efek samping penyakit serta dampak positif dari menerapkan gaya hidup
sehat. Secara keseluruhan,berdasarkan studi literatur menunjukkan
media sosial berkontribusi positif terhadap pencapaian tujuan dari promosi
kesehatan, sehingga para profesional bidang kesehatan diharapkan
mampu berkolaborasi dan mengintegrasikan media sosial dengan strategi
promosi kesehatan.

B. Karakteristik Media Sosial dalam Promosi Kesehatan

Era digital yang dikenal dengan Web 2.0 atau Health 2.0 atau
Medicine 2.0 menjadikan masyarakat sehat dan pasien lebih
mengandalkan Internet daripada dokter sebagai sumber informasi
perawatan kesehatan. Situs web media sosial yang populer terbukti efektif
dan ampuh untuk menyebarluaskan informasi kesehatan, mendukung
upaya promosi kesehatan dan dapat ditelusuri secara online seperti
YouTube, Facebook, MySpace, Twitter, dan Second Life. serta image
sharing, mobile technology dan blog.

C. Peran profesional dalam bidang kesehatan melakukan promosi


kesehatan berbasis media sosial

Perubahan perilaku kesehatan yang tidak menurun secara


signifikan merupakan pandangan pesismis untuk mengadopsi potensi
media sosial untuk promosi kesehatan. Pandangan tersebut perlu
dimimalisir dengan meningkatkan peran profesional bidang kesehatan
dalam meningkatkan kualiatas promosi kesehatan berbasis media.

Peran profesional tersebut antara lain :

1. Adopsi konsep media sosial yang telah berhasil di bidang bisnis.


Saran memanfaatkan media sosial tersebut adalah 1) identifikasi media
dengan hati-hati, 2) pilih aplikasi atau buat sendiri, 3) pastikan
keselarasan aktifitas di media sosial, 4) integrasi rencana media dan 5)
akses untuk semua. Kesuksesan penerapan aplikasi tersebut dengan
meluangkan waktu untuk meninjau interaksi/percakapan dan
mendedikasikan waktu untuk menanggapi tanggapan audien.

2. Menggabungkan media sosial dengan strategi pemasaran sosial


dengan 4 langkah : 1) jelaskan audien, 2) tuliskan tujuan untuk terlibat
dengan audien, 3) buat garis besar strategi khusus untuk melibatkan dan
4) pilih teknologi.

3. Mengembangkan rencana komunikasi strategis dengan


menggabungkan media sosial dengan praktek dilapangan untuk
memperluas jangkauan dan mendorong interaktivitas dan keterlibatan

4. Profesional kesehatan perlu mempertimbangkan dampak terbaik


dan terburuk dari konten yang mereka sampaikan di media sosial [76]
serta mempertimbangkan sinergi antara media sosial dan promosi
kesehatan.

5. Organisasi dan praktisi promosi kesehatan harus dapat


mencocokkan kebutuhan program dengan hasil yang diberikan oleh
media sosial dengan melakukan evaluasi secara komprehensif, dengan
kerangka kerja evaluasi proses dan evaluasi dampak.

6. Mengembangkan intervensi dengan membentuk tim


multidisiplin, menjamin ketersediaan sumber daya untuk mempertahankan
kehadiran online serta interaksi dua arah merupakan fitur baru promosi
kesehatan dengan media sosial

7. Mengidentifikasi dan memilih konten dengan isu-isu terkini


dengan mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan.

8. Profesional kesehatan dapat mengadopsi 3 cara penggunaan


internet untuk meningkatkan kesehatan masyarakat: 1) menggunakan
format wiki untuk pengetahuan dasar seperti “wikihealth” untuk komunitas
yang membutuhkan informasi/pengetahuan, 2) membentuk organisator
komunitas seperti model MySpace, 3) menggunakan blog untuk bertukar
informasi.

9. Memaksimalkan paparan informasi dengan basis bukti yang


kuat, dengan mempertimbangkan konten relevan untuk audien yang
tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariani. Analisis Hubungan Pengetahuan, Sikap dengan Tindakan


Berdasarkan Indikator Surveylands Perilaku HIV AIDS pada Wanita
Pekerja Seksual. Surabaya.Departemen Epidemiologi FKM Unair;
2011.

2. Green. Health Promotion Planning An Aducational and Environmental


Approach Second Edition. London.Mayfield publishing company; 1991.

3. Notoatmodjo. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta.


Rineka Cipta; 2012.

4. Anonim. “Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief Model)”.


http://www.psychologymania.com/2012/06/model-kepercayaan-
kesehatan health.html; 2012 (diakses 26 Sep 2019).

5. Mulyanti, Sri. 2012. “Model Kepercayaan Kesehatan (Health Belief


Model)”.
http://bidansrimulyanti.blogspot.com/2011/04/model-kepercayaan
kesehatan -health.html. (Diakses pada tanggal 26 Sep 2019).

6. Ajzen, I., 1991. Theory of Planned Behavior. Organizational


Behavior and Human Decision Processes, Volume 50, pp. 179-211.
7. Barakhsanova, E.A et. al (2016) Internet Access and Youth of
Yakutia Awareness on the Health- Promotion Factor. International Journal
Of Environmental & Science Education Vol.11, No.18, 11477-11484
8. Wangberg, Silje C. et.al (2007) Relations between Internet use,
socio-economic status (SES), social support and subjective health. Health
Promotion International, Vol. 23 No. 1 doi:10.1093/heapro/dam039
Advance Access published 13 December 2007
9. Levac & Sullivan (2018) Interactive social media interventions for
health behaviour change, health outcomes, and health equity in the adult
population Cochrane Database of Systematic Reviews 2018, Issue 2. Art.
No.: CD012932: doi:10.1002 /14651858 .CD012932.
www.cochranelibrary.com

Anda mungkin juga menyukai