Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH SEJARAH PENDIDIDIKAN ISLAM

“HALAQAH”

Disusun oleh :
Muhammad Ari Rianto
Roihan
Syaffa Anindhita

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) AL – KHAIRIYAH
2020
Daftar Isi

Kata Pengantar ……………………………………………………….. 1


Daftar Isi ………………………………………………………………. 3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 4
A. Latar Belakang ……………………………………………….. 4
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………. 5
A. Sejarah Masjid, Kuttab dan fungsinya………………………… 5
1. Sejarah Masjid ………………………………………... 5
2. Fungsi Masjid ………………………………………… 8
3. Kuttab dan fungsinya ………………………………… 15
BAB III PENUTUP …………………………………………………. 20
A. KESIMPULAN ……………………………………………… 20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 21
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan abad mutakhir menghendaki adanya suatu sistem pendidikan yang
komprehensif. Oleh Karena itu madrasah dan pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan
Islam dituntut untuk mampu ikut berkompetisi dalam upaya menciptakan suatu inovasi kreatif
terhadap sistem ataupun metode pembelajaran yang telah ada. Tentu saja hal itu sangat terkait
dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia bangsa ini.
Sejalan dengan perubahan dan perkembangan zaman, pondok pesantren yang awalnya
lebih dikenal dengan lembaga pendidikan Islam yang digunakan hanya untuk penyebaran dan
mempelajari agama Islam, ikut mengalami perkembangan dan pergeseran. Hal itu terlihat dengan
adanya perpaduan antara sistem pesantren dengan sistem madrasah yang merupakan sistem yang
bermanfaat dan relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini.
Pesantren dengan perpaduan sistem tersebut tentu saja selain mendidik para peserta didik
(santri/santriwati) untuk menjadi orang yang kuat Islamnya, juga mendidik agar mereka memiliki
pengetahuan keduniawian sebagai bekal untuk ikut terjun dalam kehidupan globalisasi modern
dan siap pakai.
Ini sejalan dengan hakikat pendidikan yang diungkapkan oleh Fatiyah Hasan Sulaiman
dalam bukunya Bahts Filsafat Madzahibil Tarbawy ‘Inda al Gazaly, bahwa hakikat pendidikan
adalah upaya untuk memberikan bimbingan dan fasilitas dalam rangka mengembangkan potensi
fitrah peserta didik/santri agar menjadi sumber daya insani yang berkualitas dan mempunyai
kompetensi untuk kesempurnaan manusia yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah serta
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Namun ada suatu hal yang selalu menjadi bagian penting saat istilah pesantren disebut
yaitu halaqah. Suatu hal yang tidak bisa terpisah bak dua sisi mata uang. Halaqah merupakan
sistem pengajaran yang mengusung berbagai metode pengajaran selain sistem klasik yang
notabene digunakan dalam pembelajaran pesantren dan madrasah.
Sejak masuknya Islam dan dikenalnya lembaga pendidikan Islam di Nusantara, sistem
pengajaran dikenal dengan sistem halaqah atau sistem tradisional. Sebagai konsekuensi dari
pendidikan tradisional tersebut, maka metode pengajaran yang digunakan juga terbatas pada
metode metode mengajar tradisional pula. Sistem pengajaran halaqah tetap diterapkan di
pesantren meskipun terbatas pada kurikulum kepesantrenan nonformal.
Islam mengenal lembaga pendidikan semenjak awal turunnya wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW di sebuah gua melalui Malaikat Jibril AS. Karena pada hakekatnya proses
turunnya atau pemberian wahyu adalah merupakan institusi pendidikan Islam pertama dengan
guru besar Nabi Muhammad SAW. Beliau mengumpulkan sekumpulan kecil pengikutnya yang
percaya kepadanya untuk belajar Islam secara diam-diam. Di rumah inilah Beliau mengajarkan
ayat- ayat Al Qur’an dan membentuk idiologinya sesuai dengan ajaran Islam yang mulia itu.[1]
Institusi-institusi Pendidikan Islam dalam perkembangannya selalu fleksibel, dinamis
sesuai dengan waktu dan tempat. Setelah orang Islam hijrah dari Mekah ke Madinah, rumah-
rumah Al Qur’an dan rumah-rumah lain sudah tidak lagi memuat kaum muslimin dalam bilangan
yang besar. Semenjak itulah masjid-masjid menjadi pusat kehidupan / kegiatan masyarakat.
Makalah ini mengemukakan sekilas pembahasan tentang system pendidikan halaqah dan
fungsinya dalam pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Halaqah
Istilah halaqah (lingkaran) biasanya digunakan untuk menggambarkan sekelompok kecil
muslim yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut
berkisar antara 3-12 orang, dimana ada satu orang yang bertindak sebagai narasumber yang
sering diistilahkan dengan murabbi atau pembina. Di dalamnya mereka kemudian mengkaji
Dinul Islam dengan minhaj atau kurikulum tertentu dengan sasaran dan tujuan tertentu pula.

Di beberapa kalangan, istilah halaqah disebut juga dengan istilah mentoring, usrah, pengajian
kelompok, tarbiyah dan sebutan lainnya. Sedangkan istilah tarbiyah sendiri adalah sebuah proses
pendidikan atau pembelajaran.

Halaqah adalah sekumpulan orang yang ingin mempelajari dan mengamalkan Islam secara
serius. Biasanya mereka terbentuk karena kesadaran mereka sendiri untuk mempelajari dan
mengamalkan Islam secara bersama-sama (amal jama’i). Kesadaran itu muncul setelah mereka
bersentuhan dan menerima dakwah dari orang-orang yang telah mengikuti halaqah terlebih
dahulu, baik melalui forum-forum umum, seperti tabligh, seminar, pelatihan atau dauroh,
maupun karena dakwah interpersonal (dakwah fardiyah).

Biasanya peserta halaqah dipimpin dan dibimbing oleh seorang murobbi (pembina). Murobbi
disebut juga dengan mentor, pembina, ustadz (guru), mas’ul (penanggung jawab). Murobbi
bekerjasama dengan peserta halaqah untuk mencapai tujuan halaqah, yaitu terbentuknya muslim
yang Islami dan berkarakter da’i (takwinul syakhsiyah islamiyah wa da’iyah). Dalam mencapai
tujuan tersebut, murobbi berusaha agar peserta hadir secara rutin dalam pertemuan halaqah tanpa
merasa jemu dan bosan. Kehadiran peserta secara rutin penting artinya dalam menjaga
kekompakkan halaqah agar tetap produktif untuk mencapai tujuannya.
Halaqah sekarang ini – dan insya Allah di masa datang – menjadi alternatif sistern
pendidikan Islam yang cukup efektif untuk membentuk muslim berkepribadian Islami
(syakhsiyah Islamiyah). Hal ini dapat terlihat dari hasil pembinaannya yang berhasil membentuk
sekian banyak muslim yang serius mengamalkan Islam. Jumlah mereka makin lama makin
banyak seiring semakin bertambahnya jumlah halaqah yang terbentuk di berbagai kalangan.

Halaqah sekarang ini – dan insya Allah di masa datang – menjadi alternatif sistern
pendidikan Islam yang cukup efektif untuk membentuk muslim berkepribadian Islami
(syakhsiyah Islamiyah). Hal ini dapat terlihat dari hasil pembinaannya yang berhasil membentuk
sekian banyak muslim yang serius mengamalkan Islam. Jumlah mereka makin lama makin
banyak seiring semakin bertambahnya jumlah halaqah yang terbentuk di berbagai kalangan.

Kini, fenomena halaqah menjadi umum dijumpai di lingkungan kaum muslimin di mana pun
mereka berada. Walau mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran halaqah yang
pesat tak bisa dilepaskan dari keberhasilannya dalam mendidik pesertanya menjadi mukmin yang
bertaqwa kepada Allah SWT, saat ini halaqah menjadi sebuah alternatif pendidikan keislaman
yang masif dan merakyat. Tanpa melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial atau budaya
pesertanya. Bahkan tanpa melihat apakah seseorang yang ingin mengikuti halaqah tersebut
memiliki latar belakang pendidikan agama Islam atau tidak. Halaqah telah menjadi sebuah
wadah pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) yang semakin inklusif saat ini.

Keberadaan halaqah sangat penting untuk keberadaan umat Islam itu sendiri. Dengan
terbentuknya kader-kader Islami melalui sistem pendidikan halaqah, maka di dalam tubuh umat
akan lahir orang-orang yang senantiasa berdakwah kepada kebenaran. Jika jumlah mereka
semakin banyak seiring dengan merebaknya sistern halaqah, maka umat Islam akan menjadi
‘sebenar-benarnya umat’. Bukan lagi sekedar bernama ‘umat Islam’ tapi esensinya jauh dari
nilai-nilai Islam seperti yang kita saksikan saat ini.

Dengan merebaknya sistem pendidikan halaqah proses pembentukan umat yang Islami
(takwinul ummah) akan mengalami akselarasi, hingga – Insya Allah – umat yang benar-benar
Islami akan menjadi kenyataan dalam waktu yang lebih cepat. Hal ini akan berdampak pada
kehidupan manusia secara menye1uruh yang lebih berpihak pada nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
Merebaknya halaqah juga bermanfaat bagi pengembangan pribadi (self development) para
pesertanya. Halaqah yang berlangsung secara rutin dengan peserta yang tetap biasanya
berlangsung dengan semangat kebersamaan (ukhuwwah Islamiyah). Dengan nuansa semacam
itu, peserta belajar bukan hanya tentang nilai-nilai Islam, tapi juga belajar untuk bekerjasama,
saling memimpin dan dipimpin, belajar disiplin terhadap aturan yang mereka buat bersama,
belajar berdiskusi, menyampaikan ide, belajar mengambil keputusan dan juga belajar
berkomunikasi. Semua itu sangat penting bagi kematangan pribadi seseorang untuk mencapai
tujuan hidupnya, yakni sukses di dunia dan akhirat.

Umat Islam akan mengalami kerugian yang besar jika sistern halaqah tidak berkembang dan
punah. Hal ini karena halaqah merupakan sarana efektif untuk melahirkan kader-kader Islam
yang tangguh dan siap berkorban memperjuangkan Islam. Bahkan, mungkin dapat disebut, jika
sistern halaqah tumpul dan mandul, maka umat akan mengalami situasi lost generation
(kehilangan generasi pelanjut) yang berkarakter Islami.
Pentingnya mempertahankan sistern halaqah dalam mencetak kader-kader Islam yang
tangguh sudah teruji dalam perjalanan panjang kehadiran halaqah di berbagai negara. Apalagi
sampai saat ini para mufakir (pemikir) da’wah juga belum dapat menemukan sistem alternatif
lain yang sama efektifnya dalam mencetak kader Islam yang tangguh seperti yang telah
dihasilkan oleh halaqah. Bahkan yang terjadi sebaliknya, kini semakin banyak para da’i dan
ulama yang mendukung tarbiyah mela!ui sistem halaqah. Sebagian dari mereka bahkan menulis
buku yang menganalisa kehandalan sistern halaqah/usroh dalam mencetak kader-kader Islam.
Termasuk menganalisanya dari sisi syar’i, sejarah dan sunnah Rasul, Salah seorang pemikir
da’wah, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukan pendapatnya tentang sistern halaqah yang
tak tergantikan: “Tarbiyah melalui sistern halaqoh merupakan tarbiyah yang sesungguhnya dan
tak tergantikan, karena dalam sistem halaqoh inilah didapatkan kearifan, kejelian dan langsung di
bawah asuhan seorang murobbi yang ia adalah pemimpin halaqoh itu sendiri. Sedang program-
programnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang diatur dengan jadwal yang
sudah dikaji sebelumnya".
B. Fenomena Halaqah
Dahulu, halaqah lebih banyak berjalan secara diam-diam, bahkan rahasia. Namun saat
ini, seiring dengan datangnyaera reformasi, utamaya pada aspek keberagamaan kita, halaqah
kemudian menjadi sesuatu yang inklusif dan terbuka.
Semua orang Islam bisa mempelajari dan mengikutinya, tanpa ada amniyah (rahasia informasi)
yang banyak seperti dulu lagi. Walau begitu, ciri khas halaqah tetap dipertahankan, yaitu peserta
yang dikelompokkan menurut tingkat pemahamannya terhadap Islam, jumlah peserta yang
dibatasi, tetap, dan tidak berganti-ganti. Dipimpin oleh seorang murobbi, berlangsung rutin, dan
dengan materi terpadu.

Seperti diketahui, kini fenomena halaqah menjadi umum dijumpai di lingkungan kaum
muslimin di mana pun mereka berada. Walau mungkin dengan nama yang berbeda-beda. Baik
itu di kampus, sekolah, kantor, pabrik, masjid, maupundi rumah-rumah penduduk. Ini bukan
hanya fenomena yang terjadi Indonesia, tapi juga di negara-negara Islam lainnya.Contoh yang
paling mudah bisa kita dapati di dua masjid Al-Haram, yakni Mekkah dan Madinah. Setiap hari
kedua masjid ini selalu dipenuhi dengan halaqah yang diisi oleh para masyaikh yang merupakan
pakar di bidangnya. Bahan yang dikaji dalam halaqah mereka berkaitan dengan beberapa bidang
agama seperti aqidah, fiqh, hadits, sirah,muamalah dan lainnya .
Fenomena maraknya halaqah merupakan fenomena yang wajar. Seiring dengan semakin
banyaknya orang yang ingin kembali kepada Islam. Halaqah diyakini oleh mereka sebagai
sarana yang efektif untuk mempelajari Islam secara rutin dan mendalam serta mengamalkannya
secara konsisten.

C. Urgensi Halaqah Tarbiyah dan Akselerasi Dakwah


Halaqah Tarbiyah saat ini dan insya Allah di masa yang akan datang, menjadi alternatif
sistem pendidikan Islam yang cukup efektif untuk membentuk muslim berkepribadian Islami
(syakhsiyah Islamiyah). Apalagi sampai saat ini para pemikir da'wah belum dapat menemukan
sistem alternatif lain yang sama efektifnya dalam mencetak kader Islam yang tangguh seperti
yang telah dihasilkan oleh halaqah. Sehingga semakin banyak da'i dan ulama yang mendukung
pendidikan atau tarbiyah melalui sistem halaqah. Sebagian dari mereka bahkan menulis buku
yang menganalisa kehandalan sistem halaqah/usroh dalam mencetak kader-kader Islam.
Termasuk menganalisanya dari sisi syar'i, sejarah dan sunnah Rasul. Misalnya, salah seorang
pemikir da'wah, DR. Ali Abdul Halim Mahmud, mengemukan pendapatnya tentang sistem
halaqah : “ tarbiyah melalui sistem halaqah merupakan tarbiyah yang sesungguhnya dan tak
tergantikan, karena dalam sistem halaqoh inilah didapatkan kearifan, kejelian dan langsung di
bawah asuhan seorang murobbi yang ia adalah pemimpin halaqoh itu sendiri. Sedang program-
programnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya yang diatur dengan jadwal yang
sudah dikaji sebelumnya".

Selain itu, saat ini halaqah menjadi sebuah alternatif pendidikan keislaman yang masif
dan merakyat. Tanpa melihat latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial atau budaya pesertanya.
Bahkan tanpa melihat apakah seseorang yang ingin mengikuti halaqah tersebut memiliki latar
belakang pendidikan agama Islam atau tidak. Sehingga Halaqah telah menjadi sebuah wadah
pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah) yang semakin inklusif.
Yang terpenting adalah halaqah dirasakan sangat bermanfaat bagi pengembangan pribadi
(self development) para pesertanya. Halaqah yang berlangsung secara rutin dengan peserta yang
tetap berlangsung dengan semangat
kebersamaan (ukhuwah Islamiyah). Dengan nuansa semacam itu, peserta belajar bukan hanya
tentang nilai-nilai Islam tapi juga belajar untuk bekerjasama, saling memimpin dan dipimpin,
belajar disiplin terhadap aturan yang mereka buat bersama, belajar berdiskusi, menyampaikan
ide, belajar mengambil keputusan dan juga belajar berkomunikasi. Semua itu akan membentuk
kematangan pribadi para pesertanya. Sehingga saat-saat liqo tarbawi merupakan yang paling
dirindukan. Selanjutnya sang mutarabbi menjelma sebagai murabbi dan da’i bagi umat. Ilmu dan
pemahaman yang didapatkan dalam liqo tarbawi , telah menjadi tema da'wah untuk disampaikan
kepada yang lainnya. Mereka akan menjadi sosok-sosok Rabbaniyyun bagi umat. Allah
subhanahu Wa Ta'ala berfirman,artinya :

‫ا َك اَن ِل َش ٍر َأن ْؤ ِت الَّل اْلِكَتا ا ْك الُّن َّوَة َّمُث ُقوَل ِللَّناِس ُك وُنوا ِع ا ا يِّل ِم ن وِن‬
‫ُد‬ ‫َب ًد‬ ‫ُي َيُه ُه َب َو ُحْل َم َو ُب َي‬ ‫َب‬ ‫َم‬
٧٩﴿ ‫﴾الَّلِه َو َلٰـِكن ُك وُنوا َر َّباِنِّيَني َمِبا ُك نُتْم ُتَعِّلُم وَن اْلِكَتاَب َو َمِبا ُك نُتْم َتْد ُرُس وَن‬
"Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani. Karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (Qs. Ali Imran: 79). [2]

Mereka juga tidak ragu untuk menyampaikan ilmu Islam kepada mad’u (obyek da’wah).
Meski usia mereka muda, bukan lulusan pesantren dan bahkan sebagian besar belum menguasai
bahasa Arab, namun ada "izzah" sehingga mereka merasa mulia dan bangga akan fikrah Islam
yang mereka miliki. Ada "hamasah"(semangat menggelora) untuk mengamalkan Islam dan
menyerukannya kepada orang lain. Dan ada "ghirah"(kecemburuan dan semangat pembelaan)
terhadap Islam yang diabaikan oleh ummat-nya sendiri. Ketiga hal ini tidak lahir kecuali dari
mata air keimanan yang jernih, lautan pemahaman yang luas dan gelombang keikhlasan yang
tidak pernah surut. Semua ini menjadikan himpunan mereka sebagai bangunan yang kokoh dan
saling menopang (al-bunyan al-marshush). Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala, artinya:

٤﴿ ‫﴾ِإَّن الَّلَه ِحُي ُّب اَّلِذ يَن ُيَق اِتُلوَن يِف َس ِبيِلِه َص ًّف ا َك َأَّنُه م ُبْنَياٌن َّم ْر ُصوٌص‬
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur rapi, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". (Qs. As-
Shaf: 4). [3]
Dengan merebaknya sistem pendidikan halaqah dan dengan terbentuknya kader-kader
Islami yang senantiasa berdakwah kepada kebenaran melalui sistem self development di atas,
maka proses pembentukan umat yang Islami(takwinul ummah) yang “sebenar-benarnya umat”
akan mengalami akselarasi, bukan lagi hanya sekedar label “muslim” sebagaimana yang tertulis
dalam identitas mereka (KTP), dimana esensinya jauh dari nilai-nilai Islam seperti yang kita
saksikan saat ini. Hal ini akan berdampak pada kehidupan manusia secara menyeluruh yang lebih
berpihak pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Tentunya, Umat Islam akan mengalami kerugian yang besar jika sistem halaqah tidak
berkembang dan punah. Bahkan, mungkin dapat disebut, jika sistem halaqah tumpul dan mandul,
maka umat akan mengalami kondisi lost generation (kehilangan generasi pelanjut) yang
berkarakter Islami.
Pesantren
Sebelum membahas lebih jauh tentang sistem halaqah, pesantren sebagai tempat atau
lembaga yang menerapkan sistem halaqah perlu dijelaskan terlebih dahulu.Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata “pesantren” berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran
“an” yang berarti tempat untuk tinggal dan belajar para santri.[4] Sedang santri adalah orang
yang mendalami agama Islam.
Menurut Syukri Zarkasy, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dengan sistem
asrama dan di dalamnya ada yang bertindak sebagai pendidik dan sentral figurnya yaitu kiai,
ajegan atau tuan guru, dan ada santri, asrama, ruang belajar, dan masjid sebagai sentralnya.[5]
Juga pesantren dapat dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang lima elemen
yaitu: a) kiai (abuya, encik, ajengan atau tuan guru /among guru) sebagai sentral figur yang
biasanya juga sebagai pemilik pesantren, b) asrama (pondok) sebagai tempat tinggal para santri,
c) mesjid sebagai pusat kegiatan pendidikan d) pengajaran kitab-kitab klasik, dan e) santri
sebagai peserta didik. Sedangkan ciri khususnya adalah adanya kepemimpinan kharismatik dan
suasana keagamaan yang mendalam.

D. Sistem halaqah
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sistem halaqah sudah menjadi salah satu bagian
atau ciri bagi sebuah pesantren. Sistem halaqah di pesantren tentu saja dituntut penerapannya
mengingat bahwa di pondok pesantren terdapat kurikulum nonformal kepesantrenan seperti
kajian kitab-kitab klasik dan pengajaran bahasa Arab.
Adapun istilah halaqah yang dikemukakan oleh Muljono Damopolii adalah suatu kegiatan
belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang ustadz atau kiai dengan cara duduk di hadapan
santrinya sambil membacakan materi kitab. Para santri yang mengikuti pembelajaran ini duduk
dalam bentuk setengah lingkaran dan bersaf-saf. Sang ustadz senantiasa berusaha membacakan
isi kitab, kata per kata atau kalimat per kalimat lalu menerangkannya dengan bahasa Arab,
Indonesia atau bahasa bahasa tertentu lainnya.
Halaqah sebagai suatu sistem terlihat dengan adanya hubungan fungsional yang teratur antara
beberapa unit atau komponen yang membentuk suatu kesatuan dengan tujuan yang jelas.
Komponen komponen yang dimaksud disini adalah kiai sebagai pendidik, santri sebagai peserta
didik, beberapa metode yang digunakan yang melakukan interaksi demi pencapaian tujuan
pendidikan.
Sistem Halaqah biasa disebut juga sistem weton, yaitu dimana para santri mengikuti
pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai di dalam ruangan (masjid/kelas) dan kiai menjelaskan
materi dengan secara kuliah. Para santri menyimak kitab masing masing dan membuat catatan
pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu itu telah diberikan oleh kiai.
Sistem halaqah atau weton adalah sistem tertua di pesantren dan tentunya merupakan inti
pengajaran di suatu pesantren. Semuanya tidak lepas dari konteks historis lahirnya lembaga
pendidikan Islam klasik yang pada awalnya bermula pada pengajian di masjid, surau dan langgar
dengan mengkaji al-Qur’an, kitab-kitab tasawuf, aqidah, fiqh dan bahasa Arab.
Pesantren juga tidak bisa dipisahkan dari masjid, karena telah menjadi bagian pokok yang
menghidupkan pesantren yang memberikan nuansa religius/ruh bagi kelangsungan pesantren
tersebut.

a) Sistem klasikal
Selain sistem halaqah, terdapat juga sistem klasikal yang selanjutnya saling dipadukan
dalam pembelajaran di pesantren. Santri/santriwati tidak hanya disuguhi kurikulum
kepesantrenan, seperti kajian kitab kitab, tetapi sudah lebih maju dengan diajarkannya kurikulum
Depag dan Kurikulum Diknas.
Jadi sistem klasikal sesungguhnya merujuk pada dua ranah sekaligus, kesekolahan dan
kepesanterenan. Dalam ranah kesekolahan, istilah yang populer digunakan untuk para peserta
didik adalah siswa, Sedangkan dalam ranah kepesantrenan, istilah yang digunakan untuk para
peserta didik adalah santri.
Sistem Klasik ini menggunakan sekolah dengan perjenjangan kelas di dalamnya.
Kelompok kelas belajar ialah sekelompok pelajar atau santri/santriwati mengikuti pendidikan
yang proses belajar mengajarnya berlangsung dalam satu ruangan, dan waktu yang sama,
megikuti mata pelajaran yang sama.

b) Metode metode yang digunakan dalam sistem halaqah


Sebagai suatu sistem, halaqah memiliki beberapa komponen dan salah satu dari
komponen komponen tersebut adalah metode yang diterapkan dalam pembelajaran sistem
halaqah. Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan pendidik dalam mengadakan
hubungan dengan peserta didik pada saat berlangsungnya pengajaran. Oleh karena itu, peranan
metode mengajar adalah sebagai alat untuk menciptakan proses pembelajaran.
Bahaking Rama mengemukakan bahwa metode metode yang diusung oleh sistem halaqah
sebagai sistem pembelajaran tradisional adalah metode tuntunan metode ceramah, metode
sorogan metode resitasi, hafalan, dan metode suri teladan.[6]

c) Metode Tuntunan.
Dinamakan metode tuntunan karena santri menyimak kitab yang dibaca atau diajarkan
oleh kiai dan kiai menuntun para santri dan membetulkan tanda baca atau harakat pada kitab
yang diajarkan tersebut dengan membacakan kata per kata, kalimat demi kalimat dari isi kitab,
Kiai menerangkannya dengan menggunakan bahasa Arab, Indonesia ataupun bahasa Daerah
tertentu, Metode tuntunan diawali dengan terlebih dahulu meminta kepada santri/santriwati
untuk membacakan materi kitab yang akan dipelajari, lalu kiai membacakan dengan
membenarkan.

d) Metode Sorogan
Adapun istilah sorogan berasal dari kata sorog (jawa) yang berarti menyodorkan. Sebab
setiap hari santri secara bergilir menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau badal
(pembantunya).
Guru atau kiyai biasanya duduk di atas sepotong sajadah atau sepotong kulit kambing
atau biri-biri dengan sebuah atau 2 bantal dan beberapa jilid kitab yang diperlukan di
sampingnya, sedang murid-murid mengelilinginya, ada yang bersimpul, ada yang bertopang
dagu, bahkan sampai ada yang bertelungkup setengah berbaring, sesuka-sukanya mendengar
sambil melihat lembaran kitab yang dibacakan gurunya. Dengan sepotong pensil, murid-
muridnya itu menuliskan catatan-catatan dalam kitabnya mengenai arti dan keterangan-
keterangan lainnya. Sesudah ustadz atau kiai membaca kitab kitab Arab yang gundul,
menterjemahkan, dan memberikan keterangan yang perlu, maka dipersilahkan salah seorang
santri/santriwati membaca kembali matan, lafadz yang sudah diterangkan itu. Demikian ini
dilakukan bergilir.
Menurut Saifullah,[7] Direktur IMMIM periode 1998/2003, dalam Muljono Damopolii
bahwa metode sorogan yang dimaksudkan di sini adalah apa yang diajarkan oleh ustadz, kiai
dicek kembali. Jika santri/santriwati yang menyorong itu sudah dianggap bagus, maka mereka
bisa dipromosikan menjadi naib bagi ustadz. Metode sorogan ini dapat juga dikatakan dengan
metode evaluasi. Dengan metode sorogan ini, ustadz atau kiai akan dapat mengetahui
santri/santriwati yang sungguh sungguh dan telaten.
e) Metode Ceramah
Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan oleh guru dengan
penuturan dan penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Cara mengajar dengan ceramah
dapat dikatakan juga sebagai tekhnik kuliah .
Metode ini disebut dengan metode tradisional karena sejak lama metode ini telah
digunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didiknya dalam proses belajar
mengajar. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru dari anak didik, tetapi metode
ini tidak dapat ditinggalkana begitu saja pada kegiatan proses pembelajaran, terutama di
lingkungan pesantren sejak dulu sampai sekarang, apalagi dalam pendidikan dan pengajaran
tradisional seperti pendidikan pesantren masa lalu, yang serba sederhana.
Demikian pula dalam sistem pendidikan modern, metode ceramah masih digunakan.
Metode ceramah dalam sistem halaqah di pesantren tidak hanya diterapkan pada saat pengkajian
kitab-kitab bahasa Arab, tetapi juga dalam hal pemberian wejangan dan motivasi oleh kiai
terhadap para santri/santriwatinya. Hal ini biasa dilakukan rutin per bulan atau per semester.

f) Metode Resitasi
Metode Resitasi atau penugasan adalah metode penyajian bahan pelajaran yang
digunakan oleh guru dengan memberikan tugas tertentu kepada siswanya agar siswa melakukan
kegiatan belajar. Tugas yang diberikan kepada siswa, bisa dilaksanakan di kelas, atau di luar
kelas. Metode pemberian tugas bertujuan agar siswa mendapatkan hasil belajar yang lebih
mantap, karena melaksanakan latihan selama melakukan tugas.
Resitasi berasal dari bahasa Inggris to cite yang artinya mengutip dan re yang artinya
kembali, yaitu siswa yang mengutip atau mengambil sendiri bagian-bagian pelajaran itu dari
buku-buku tertentu,lalu belajar sendiri dan berlatih hingga sampai siap sebagaimana mestinya.
Metode ini populer dengan bentuk PR (Pekerjaan Rumah). Sebetulnya bukan hanya itu/bukan
hanya di rumah.
Dengan kata lain metode resitasi berarti guru menyajikan bahan pelajaran dengan cara
memberikan tugas kepada siswa untuk dikerjakan dengan penuh rasa tanggung jawab dan
kesadaran. Dalam pelaksanaannya metode resitasi bukan saja hanya dilakukan oleh siswa di
rumah, tetapi pemberian tugas (resitasi) dapat dikerjakan/dilaksanakan di sekolah/halaman
sekolah, perpustakaan, laboratorium, mesjid, langgar/mushalla dan lain-lain. Setiap jenis tugas
yang diberikan kepada tugas-tugas murid harus diberi nilai/dikoreksi dan dicatat perkembangan
prestasi murid-murid tersebut.
Metode resitasi dapat juga berupa pemberian tugas secara perorangan kepada santri
senior untuk menerangkan kembali pelajaran yang baru saja diterimanya dari kiai kepada
temannya di kelas. Artinya, pada saat suatu pelajaran sudah selesai diberikan kepada santri, kiai
menunjuk salah seorang santri untuk tampil menerangkan kembali apa yang telah diajarkan.
Setelah santri tersebut menerangkan, santri lainnya diberi tugas untuk mengajukan pertanyaan
kepada santri yang menerangkan tadi. Santri yang dinilai pintar dan cakap menerangkan,
biasanya diberi tugas untuk mengajar pada santri di kelas yang lebih rendah. Latihan yang
dilakukan dalam metode pemberian tugas ini, sangat besar manfaatnya, karena dapat melahirkan
kader atau guru agama yang cakap dan terampil.
Mereka diberi izin untuk membuka pendidikan atau pengajian di daerah lain. Selain itu,
sebagian di antara santri senior, Setelah menanamkan pendidikan, diminta oleh kiai supaya
tinggal di pesantren untuk mengajar.

g) Metode Hafalan
Metode hafalan seringkali digunakan khusus pada pengajaran bahasa Arab dan al-Qur’an
hadis di pesantren, guru/ustadz terlebih dahulu memberikan sejumlah mufradat, ayat, hadits
kepada santri/santriwati secara halaqah. Kemudian santri/santriwati diminta untuk menyodorkan
hafalannya pada beberapa tutor pada waktu tertentu.
Menurut Azyumardi Azra sebagaimana dikutip oleh Bahaking Rama bahwa dalam tradisi
keilmuan, tradisi hafalan sering dipandang lebih otorotatif dibandingkan dengan transmisi secara
tertulis. Hal ini karena tradisi hafalan melibatkan transmisi secara langsung melalui sima’an
untuk selanjutnya direkam dan siap direproduksikan. Dengan begitu ilmu yang diterima betul
betul dalam keadaan penuh kesadaran.
Metode hafalan ini akan membantu santri/santriwati dalam menjaga materi yang sudah
dipelajari. Santri/santriwati diminta oleh ustadz atau kiai untuk menghafal setelah sebelumnya
mereka menjelaskan materi kitabnya.

h) Metode Suri Teladan


Suri teladan dari seorang guru besar pengaruhnya kepada muridnya, termasuk dalam hal
ini santri di pesantren baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Muhammad Qutb, mendidik melalui teladan adalah salah satu teknik yang efektif dan
sukses.
Menurut Azyumardi, Islam adalah agama disiplin. Hampir seluruh ibadah-ibadah Islam
mengandung unsur-unsur pengajaran dan latihan disiplin. Kewajiban untuk menunaikan salat
dengan sarat-sarat, rukun-rukun, atau tatacara tertentu jelas mengandung pelajaran dan latihan
disiplin. Begitu juga ibadah puasa yang harus dikerjakan secara berdisiplin.
Dalam dunia pendidikan perlu seorang pendidik memberi contoh dan teladan kepada
peserta didik, terlebih lagi pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dan tempat
pembentukan akhlak mulia. Sehingga betul pentingnya metode suri teladan untuk diterapkan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh nabi. Seorang ulama dan pendidik dituntut memberi suri
teladan kepada masyarakat sebagiamana yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Sebagaimana
firman Allah dalam surah Al-ahzab (33): 21[8]

‫َو َم ن َيْق ُنْت ِم نُك َّن ِلَّلِه َو َرُس وِلِه َو َتْع َمْل َص اًحِلا ُّنْؤ َهِتا َأْج َر َه ا َم َّر َتِنْي َو َأْعَتْدَنا َهَلا ِر ْز ًقا‬

٣١﴿ ‫﴾َك ِر ًميا‬


Artinya
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.Metode
pendidikan dengan suri teladan dari pemuka agama telah dimulai sejak awal masuknya Islam di
Nusantara. Ajaran Islam senantiasa menjadi acuan dalam kehidupan sehari-hari, baik cara
bergaul, bertingkah laku,dan berkomunkasi, maupun cara mencari nafkah.”

Di pihak lain, metode metode pengajaran yang diusung oleh sistem klasikal sangat
berbeda dengan apa yang terdapat dalam sistem halaqah. Adapun metode metode tersebut adalah
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi, klasikal resitasi, dan kerja kelompok. Metode
metode yang diterapkan dalam sistem klasikal terlihat lebih dialogis dan tidak monologis.

E. Keistimewaan dan kelemahan sistem halaqah


Sistem halaqah sebagai sistem pembelajaran klasik mengalami berbagai tantangan seiring
dengan berkembangnya zaman yang membawa pada terjadinya pergeseran dalam masyarakat.
Pergeseran terjadi di segala aspek kehidupan masyarakat, sehingga dunia pendidikan harus
mampu tampil dengan kemasan yang menarik dan tentunya dengan kualitas yang tak kalah
tinggi.
Sistem halaqah yang mengusung metode mengajar ceramah, sorogan, tuntunan, resitasi,
hafalan dan suri teladan memiliki beberapa keistimewaan di samping beberapa kelemahan.
Salah satu keistimewaan dari sistem halaqah ialah santri/santriwati diminta terlebih dahulu
mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya, sehingga santri/santriwati
dapat menselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya tentang maksud dari teks yang
ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik santri/santriwati belajar secara mandiri. Dengan
demikian hasil pelajaran lebih tahan lama dan membekas dalam ingatan santri/santriwati.
Dengan pemahaman yang mendalam, mereka akan dapat dengan mudah memperaktekkan dan
mengamalkan pengetahuan yang mereka dapatkan di pesantren.
Di samping itu bahan dapat disampaikan sebanyak mungkin dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama. Organisasi kelas lebih sederhana dan mudah dilaksanakan karena tidak terlalu
banyak memakan biaya dan tenaga.
Penggunaan sistem halaqah, khususnya dengan metode sorogan dapat mendorong terciptanya
hubungan emosional yang intens antara sang ustadz atau kiai dengan santri/santriwati. Hubungan
emosional yang kuat biasanya mendorong terjalinnya kepercayaan timbal balik antara ustadz
atau kiai dengan santri/santriwati tertentu yang ingin menekuni aktifitas yang ada dalam sistem
halaqah.
Menurut Azhar Arsyad dalam Muljono Damopolii, bahwa penerapan sistem halaqah dengan
sejumlah metode yang diusungnya dapat dikatakan tidak efektif, atau paling tidak belum seperti
yang diharapkan. Penyebabnya antara lain kurangnya perhatian para santri terhadap sistem
tersebut dibandingkan dengan sistem klasikal.
Sedangkan menurut Muljono Damopolii tentang kelemahan sistem Halaqah, bahwa para
santri yang mengikuti kegiatan sistem halaqah ini ada yang kelihatannya kurang serius.
Penyebabnya adalah pembelajaran sistem halaqah ini dapat dikatakan lebih bersifat pilihan.
Padahal instrumen kontrol untuk itu, seperti absensi kehadiran, telah disiapkan secara baik.
Penyebab yang lain karena uztadz yang mengajar tidak menegur atau memaksa santri untuk
serius mengikuti pembelajaran yang dimaksud. Ini artinya, santri yang secara psikologis
memiliki minat besar untuk itu, sebab santri yang kurang memiliki minat akan tampak kurang
serius.
Menurut Bahaking Rama, bahwa dalam sistem halaqah ditemukan bahwa santri perempuan
tampak lebih serius dan bersungguh-sungguh menyimak pelajaran yang diberikan oleh kiai. Di
kelompok putra tampak sebagian santri tidak sungguh-sungguh dan terkesan acuh menghadapi
pelajaran. Hal ini disebabkan karena santri merasa tidak terikat dari sistem pengajian halaqah ini,
karena, a) tidak ada absen atau daftar hadir yang mengikat sehingga mereka merasa bebas, b)
tidak ada teguran dari kiai meskipun santrinya tampak tidak sungguh-sungguh menerima
pelajaran, c) tidak diciptakan instrumen yang dapat mengikat santri-santri untuk
mempertanggung jawabkan kemampuan mereka mengekspresikan Ilmu-ilmu yang sudah
diterima, d) sebagian santri-santri merasa sudah memahami pelajaran yang sedang diajarkan oleh
kiai.
Pada metode ceramah proses komunikasi banyak terpusat kepada guru/ustadz. Ini masih
menganut paradigma lama yaitu teacher centre dalam proses pembelajaran Dan siswa banyak
berperan sebagai pendengar setia. Sehingga proses pengajaran sering dikritik sebagai sekolah
dengar, murid terlalu pasif. Proses pengajaran lebih bersifat monolog.
Penggunaan sistem halaqah sulit mengukur sejauh mana penguasaan bahan pelajaran yang
telah diberikan itu oleh anak didik. Apabila ceramah tidak mempertimbangkan segi psikologis
dan didaktis, maka ceramah dapat bersifat melantur tanpa arah dan tujuan yang jelas.
Kelemahan lain sistem halaqah adalah santri/santriwati dapat melakukan kecurangan
terhadap tugas yang diberikan hanya dikerjakan oleh orang lain, atau menjiplak karya orang lain.
Bila tugas diberikan terlalu banyak diberikan, santri/santriwati dapat mengalami
kejenuhan/kesukaran, dan hal ini dapat berakibat ketenangan batin siswa merasa terganggu.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sistem halaqah adalah sistem pembelajaran tradisional yang sudah mulai diterapkan sejak
masuknya islam di Nusantara. Pada awalnya diterapkan di masjid masjid, surau dan langgar
langgar yang merupakan cikal bakal lahirnya pesantren. Seiring perkembangan zaman, pesantren
juga ikut mengalami perkembangan yang tentunya saja berupa lahirnya berbagai inovasi baru
dalam dunia pendidikan pesantren. Tapi ada hal yang merupakan ciri khas yang tidak bisa lepas
yaitu penerapan sistem halaqah dalam pembelajaran di pesantren meskipun sudah ada kemudiaan
lahir sistem pembelajaran klasik atau madrasah.
Adapun metode metode yang diusung oleh sistem halaqah adalah metode ceramah, tuntunan,
sorogan, resitasi, hafalan dan suri teladan. Berbeda dengan sistem klasik yang sudah
menggunakan metode diskusi dan kerja kelompok. Sebagai suatu sistem pembelajaran, halaqah
tentu saja memiliki keistimewaan dan kelemahan. Adalah tugas dari pelaku pendidikan,
terkhusus pendidik di pesantren yang menerapkan sistem ini untuk bisa mengemas kembali
sistem halaqah dengan wajah baru sesuai tuntutan zaman sehingga akan lebih menarik minat dan
motivasi peserta didik dalam belajar kitab kitab yang pada umumnya diajarkan dengan metode
metode yang diusung oleh system halaqah.
DAFTAR PUSTAKA

Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta, 1997

Chirzin Habib,Agama dan Ilmu Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1983

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar

Dhofier Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai Jakarta: LP3ES,
1986

Djamarah Syaiful Bahri dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar. Cet. II: Jakarta, Rineka
Cipta, 2002

Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren sebagai Usaha Peningkatan Prestasi
Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Cemara indah, 1987

Muljono Damopolii, “Pembaruan Pendidikan Islam Di Makassar (Studi Kasus Pesantren Modern
Pendidikan Al Qur’an IMMIM Tamalanrea Makassar)”, Disertasi, Jakarta: Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, 2006

Musnawar Tohari, Bimbingan dan Wawanwuruk sebagai suatu Sistem Yogyakarta: Cendekinga
Sarana Informatika, 1985
Nana Sujana, Dasar Dasar Proses Belajar Mengajar, Cet. VII: Bandung; Sinar Baru Algesindo,
2004

Qutb Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, Terj. Salman Harun, Cet.III :Bandung PT.Al-
Ma’arif, 1993

Rama Bahaking, Jejak Pembaharuan Pendidikan Pesantren, Jakarta: Prodatama Wira gemilang,
2003

Zarkasy Zukri Abdulah Pondok Pesantren Sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan Untuk
Program Pengembangan Studi Islam Asia Tenggara Universitas Muhammadiyah, Surakarta,
1990

Anda mungkin juga menyukai