Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM AKUAKULTUR

WATER QUALITY ASSESMENT: PENGUKURAN PARAMETER FISIKA


(SUHU, OKSIGEN TERLARUT, pH) DAN KIMIA (AMONIA, NITRIT,
NITRAT, ORTOFOSFAT) AIR

Disusun Oleh: Rena Pitri Amelia


NIM: 200105012
Dosen Pengampu: Qori Atur Rodiah Suhada, S.Si., M.Si.

PROGRAM STUDI BIOTEKNOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
BANDUNG
2022/2023
I. TUJUAN
A. Mengetahui parameter penting pada pengukuran kualitas air pada sistem
akuakultur semi open system meliputi suhu air, kandungan oksigen terlarut (DO)
air, dan pH air.
B. Memahami cara menggunakan alat ukur TETRA Test O2 dan pH-meter.
C. Mengetahui metode pengukuran amonia (NH3 NH4 ) air menggunakan reagen.
D. Mengetahui metode pengukuran nitrit (NO2 ) air menggunakan reagen.
E. Mengetahui metode pengukuran nitrat (NO3 ) air menggunakan reagen.
F. Mengetahui metode pengukuran ortofosfat (PO4 ) air menggunakan reagen.
G. Mampu melakukan analisis kualitas air harian.

II. PRINSIP
Kualitas air dipengaruhi oleh parameter fisika dan kimia. Parameter fisika untuk
mengetahui kualitas air terdiri dari suhu air, kandungan oksigen terlarut (DO) air, dan
pH air. Parameter kimia untuk mengetahui kualitas air terdiri dari kandungan amonia
nitrit, nitrat, dan ortofosfat di air (Tahir, 2016).

III. REAKSI
A. Nitrifikasi: nitrisasi
NH3 + 1,5O2 ➝ NO2 + H + H2 O
B. Nitrifikasi: nitratsi
NO2 + 1/2O2 ➝ NO3

IV. ALAT DAN BAHAN


Alat Bahan
Kolam ikan lele Air kolam lele
pH-meter Akuades
Tetra O2 Reagen Tetra O2 (reagen 1, 2, dan 3)
Reagen Sera Ammonium-Test
Sera Ammonium-Test (NH3 NH4 )
(NH3 NH4 ) (reagen 1, 2, dan 3)
Reagen Sera Nitrite-Test (NO2 ) (reagen
Sera Nitrite-Test (NO2 )
1 dan 2)
Reagen Sera Nitrate-Test (NO3 )
Sera Nitrate-Test (NO3 )
(reagen 1, 2, dan 3)
Reagen Sera Phosphat-Test (PO4 )
Sera Phosphat-Test (PO4 )
(reagen 1, 2, dan 3)
Botol ukur Akuades
Tisu

V. PROSEDUR
Jenis kolam sistem akuakultur ikan lele, Clarias sp. Berbasis pakan BSFL dengan
jenis perlakuan;
1. Kontrol = pakan pelet 100%
2. P1 = 50% pelet : 50% BSFL
3. P2 = 60% pelet : 40% BSFL
4. P3 = 70% pelet : 30% BSFL

Masing-masing perlakuan 4x pengulangan, sehingga total kolam berjumlah 16


buah.

A. Pengukuran Dissolved Oxygen (DO)


Botol reagen dikocok sebelum digunakan. Botol ukur dibilas beberapa kali dengan
air kolam yang akan digunakan sebagai sampel. Botol ukur diisi dengan air sampel
hingga 15 mL (air tawar). Botol bagian luar dikeringkan. Sebanyak 5 tetes reagen
1 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak 5 tetes
reagen 2 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak
5 tetes reagen 3 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen
selama 30 detik. Didiamkan selama 5 menit. Warna yang dihasilkan dibandingkan
dengan palette yang tersedia dari warna cerah hingga gelap. Diamat di bawah sinar
matahari langsung. Botol ukur dibersihkan dengan air bersih secara menyeluruh.

B. Pengukuran Suhu dan pH


Alat pH-meter dan kit pembersih probe PH-meter (tisu dan akuades) untuk
mengkalibrasi PH-meter disiapkan. Pengukuran langsung ke dalam kolam
dilakukan dengan air di dalamnya sebagai sampel. Alat PH-meter dinyalakan
dengan menekan tombol “ON” dalam waktu 1-3 detik. Probe (batang sensor) alat
PH-meter dimasukkan ke dalam air kolam pada kedalaman ± 15-30 cm. Nilai pH
dan suhu dicatat ketika angka stabil. Hasil pengukuran pH air kolam dari pagi
hingga sore dikompilasi.

C. Uji Amonia (NH3 NH4)


Botol reagen dikocok sebelum digunakan. Botol ukur dibilas beberapa kali dengan
air kolam yang akan digunakan sebagai sampel. Botol ukur diisi dengan air sampel
hingga 10 mL (air tawar). Botol bagian luar dikeringkan. Sebanyak 6 tetes reagen
1 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak 6 tetes
reagen 2 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak
6 tetes reagen 3 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen.
Didiamkan selama 5 menit. Warna yang dihasilkan dibandingkan dengan palette
yang tersedia dari warna cerah hingga gelap. Diamat di bawah sinar matahari
langsung. Botol ukur dibersihkan dengan air bersih secara menyeluruh.

D. Uji Nitrit (NO2 )


Botol reagen dikocok sebelum digunakan. Botol ukur dibilas beberapa kali dengan
air kolam yang akan digunakan sebagai sampel. Botol ukur diisi dengan air sampel
hingga 5 mL (air tawar). Botol bagian luar dikeringkan. Sebanyak 5 tetes reagen
1 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak 5 tetes
reagen 2 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok selama 15 detik hingga
homogen. Didiamkan selama 5 menit. Warna yang dihasilkan dibandingkan
dengan palette yang tersedia dari warna cerah hingga gelap. Diamati di bawah
sinar matahari langsung. Botol ukur dibersihkan dengan ait bersih secara
menyeluruh.

E. Uji Nitrat (NO3 )


Botol reagen dikocok sebelum digunakan. Botol ukur dibilas beberapa kali dengan
air kolam yang akan digunakan sebagai sampel. Botol ukur diisi dengan air sampel
hingga 10 mL (air tawar). Botol bagian luar dikeringkan. Sebanyak 6 tetes reagen
1 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak 6 tetes
reagen 2 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak
1 sendok (merah) reagen 3 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok selama 15
detik hingga homogen. Didiamkan selama 5 menit. Warna yang dihasilkan
dibandingkan dengan palette yang tersedia dari warna cerah hingga gelap. Diamati
di bawah sinar matahari langsung. Botol ukur dibersihkan dengan air bersih secara
menyeluruh.

F. Uji Ortofosfat (PO4)


Botol reagen dikocok sebelum digunakan. Botol ukur dibilas beberapa kali dengan
air kolam yang akan digunakan sebagai sampel. Botol ukur diisi dengan air sampel
hingga 10 mL (air tawar). Botol bagian luar dikeringkan. Sebanyak 6 tetes reagen
1 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok hingga homogen. Sebanyak 6 tetes
reagen 2 ditambahkan ke dalam botol ukur, dikocok selama 15 detik hingga
homogen. Sebanyak 1 sendok (putih) reagen 3 ditambahkan ke dalam botol ukur,
dikocok selama 15 detik hingga homogen. Didiamkan selama 5 menit. Warna yang
dihasilkan dibandingkan dengan palette yang tersedia dari warna cerah hingga
gelap. Diamati di bawah sinar matahari langsung. Botol ukur dibersihkan dengan
air bersih secara menyeluruh.

VI. TINJAUAN PUSTAKA


A. Budidaya Ikan Lele
Ikan lele merupakan ikan jenis air tawar yang memiliki tubuh licin dan kumis yang
panjang. Ikan lele kulitnya berlendir dan tidak bersisik. Di bagian tubuhnya
dilengkapi dengan sirip tunggal dan sirip berpasangan, sirip tunggal terdiri dari
sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur, sementara sirip berpasangan terdiri dari
sirip dada dan sirip perut. Ikan lele menjadi ikan kegemaran masyarakat Indonesia
karena dagingnya empuk, durinya teratur, dan dapat disajikan dalam berbagai
masakan (Mahyuddin, 2008; Cholilulloh et al., 2017). Oleh karena itu ikan lele
banyak dibudidayakan.

B. Kualitas Air
Air dalam budidaya ikan berperan sebagai media tempat ikan hidup. Air harus
memenuhi berbagai persyaratan dari segi fisika, kimia, dan biologi. Air sebagai
media tempat hidup ikan yang dibudidayakan harus memenuhi berbagai
persyaratan dari segi fisika, kimia, maupun biologi. Dari segi fisika, air merupakan
media yang menyediakan ruang gerak bagi udang yang 3 dipelihara. Sedangkan
dari segi kimia, air sebagai pembawa unsur-unsur hara, mineral, vitamin, gas-gas
terlarut dan sebagainya. Dari segi biologi, air merupakan media untuk kegiatan
biologis dalam pembentukan dan penguraian bahan-bahan organik (Buwono,
1993). Menurut Rukmini (2012), Kualitas air merupakan salah satu faktor penting
yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi pemeliharaan ikan. Beberapa
parameter fisika dan kimia perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan ikan
adalah suhu, oksigen terlarut, pH, amonia, nitrat, nitrit, dan ortofosfat.

C. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme karena
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangan organisme-organisme di
perairan (Rukminasari dan Awaluddin, 2014). Kenaikan suhu sebesar sebesar
10ᵒC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan mengakibatkan
laju metabolismee dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Hal ini dapat
meningkatkan laju metabolisme dan meningkatakan konsumsi oksigen, namun
kenaikan suhu air juga dapat menghambat proses respirasi. Temperatur di suatu
ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan karena mengikuti pola
temperature udara di lingkungan sekitarnya (Tahir, 2016).

D. Dissolved Oxygen (DO)


Dissolved Oxygen (DO) atau oksigen terlarut berfungsi untuk mengoksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik oleh mikroorganisme dan makroorganisme di
dalam air. Kebutuhan oksigen tergantung pada jenis dan jumlah bahan organik di
perairan, Masuknya bahan organik dapat menurunkan kadar oksigen di dalam air.
Kadar DO yang rendah dapat disebabkan oleh kenaikan suhu air, zat padat
tersuspensi, dan proses respirasi fitoplankton di malam hari (Rochyatun, 2002).
Organisme membutuhkan DO utuk proses respirasi atau metabolismee yang
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. Dalam proses
aerobik, oksigen dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik.
Oksigen dalam perairan diperoleh dari proses difusi udara bebas (atmosfir) dan
hasil fotosintesis organisme di dalam perairan (Salmin, 2005).

Penyebaran kandungan DO di perairan dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya


adalah suhu. Kenaikan suhu air akan diiringi oleh penurunan kadar DO. Pada
lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi karena terdapat proses difusi
antara atmosfir dan air, dan adanya proses fotosintesis. Semakin dalam perairan,
semakin turun kadar DO karena proses fotosintesis di perairan berkurang dan
banyak oksigen digunakan unuk respirasi dan oksidasi (Tahir, 2016). Kebutuhan
DO atau oksigen untuk organisme beragam tergantung pada jenis aktivitasnya.
Pada keadaan diam, keburuhan oksigen untuk ikan akan lebih sedikit daripada saat
ikan bergerak. Terdapat jenis ikan tertentu yang memiliki daya tahan lebih
terhadap perairan yang kekurangan DO (Wardoyo, 1978).

E. Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman atau pH merupakan jumlah ion hidrogen atau aktivitas ion
hidrogen dalam perairan. Nilai pH menggambarkan seberapa dalam asam atau
basa suatu perairan. Nilai pH: 7 dikatakan netral, lebih besar dari 7 adalah basa,
lebih kecil dari 7 adalah asam. Semakin jauh jaraknya dari angka 7, semakin asam
atau semakin basa. Nilai pH yang normal bagi suatu perairan payau adalah antara
7-9, sementara pH air laut antara 8,0-8,5 (Widigdo, 2013).

F. Amonia (NH3 NH4)


Amonia di perairan berasal dari hasil samping metabolismee hewan (yang
dikeluarkan ekskresi) dan hasil proses dekomposisi bahan organik dan bakteri.
Amonia merupakan bentuk awal yang bebas dalam proses nitrifikasi sebelum
diionisasi menjadi bentuk lain. Kandungan amonia bebas yang toksik sangat
bergantung pada pH, suhu, dan salinitas perairan. Semakin tinggi pH dan suhu,
semakin tinggi persentase amonia bebas yang terkandung dalam amonia total yang
ada (Widigdo, 2013).

G. Nitrit (NO2 )
Nitrit merupakan hasil proses nitrifikasi yang menggambarkan jumlah
bioavailablenitrogen, yakni nutrien N (nitrogen) terlarut yang ada yang dapat
langsung digunakan oleh organisme (fitoplankton, tumbuhan) untuk tumbuh dan
berkembang (Rusmadi, 2014).

H. Nitrat (NO3 )
Nitrat merupakan sumber nitrogen penting bagi fitoplankton di perairan laut dan
tawar. Nitrat digunakan dalam proses fotosintesis, sintesis protein, dan penyusun
gen, serta pertumbuhan organisme (Erlina, 2006). Nitrogen kemungkinan
merupakan faktor pembatas bagi perumbuhan fitoplankton. Lapisan-lapisan air
teratas pada umumnya mengandung lebih sedikit nitrogen dari pada lapisan-
lapisan air yang terletak jauh dari permukaan laut. Hal tersebut sama dengan
pengaruh intensitas cahaya dan adsorpsi cahaya bagi produksi fitoplankton
(Rusmadi, 2014).

I. Ortofosfat (PO4)
Fosfat merupakan salah satu unsur hara yang berpotensi dalam pembentukan
protein dan metabolisme sel. Fosfat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan
fitoplankton. Ortofosfat sebagai salah satu nutrisi yang dibutuhkan di perairan
berfungsi sebagai keberadaan nutrien fosfor (P) terlarut dan merupakan
bioavailablephosphorus (Rusmadi, 2014).

VII. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Pengukuran Suhu
Salah satu faktor abiotik yang berperan penting bagi organisme perairan adalah
suhu air. Suhu air dipengaruhi oleh sinar matahari yang masuk ke permukaan air
dan sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi diserap dalam
bentuk energi panas. Karakteristik perairan dapat diketahui dengan mengukur
suhu, Suhu air yang meningkat dan berada lebih dari 28°C akan menurunkan
biomassa (Boyd, 1990).

Berdasarkan Tabel 1 dan Tabel 2., suhu pada perlakuan kolam yang berbeda
berada di kisaran 24-27 °C, suhu dalam kondisi normal. Kisaran suhu yang optimal
bagi kehidupan ikan yaitu 25-30°C (Amri, 2002). Ikan akan mengalami kematian
ketika suhu air di bawah 14°C. Terjadi juga penurunan daya cerna ikan terhadap
pakannya jika suhu air turun di bawah 25°C. Dan ikan dapat stress jika suhu air
naik hingga 30°C karena kebutuhan oksigen yang semakin tinggi (Khairuman dan
Subenda, 2002).

Suhu air dapat menentukan massa jenis air dan densitas air melalui penentuan
tekanan. Densitas air dapat menentukan kejenuhan air. Faktor yang mempengaruhi
suhu air adalah lingkungan tempat air berada. Suhu air berperan untuk
metabolisme organisme di dalamnya. Suhu berperan untu mengontrol reaksi kimia
enzimatik dalam proses fotosintesis. Laju maksimum fotosintesis dapat tercapat
dengan menyesuaikan ke suhu optimalnya. Suhu juga berpengaruh untuk
mengonversi struktur hidrologi perairan sehingga distribusi fitoplankton
terpengaruh (Ghufran dan Tancung, 2005).

Berdasarkan Cholik (2005), suhu air di perairan Indonesia sangat mendukung


untuk pengembanfan budidaya perikanan. Umumnya, suhu air beberapa derajat
lebih rendah dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Stratifikasi suhu di
suatu perairan ditentukan oleh keadaan cuaca dan sifat setiap perairan seperti
pengadukan dan pergantian pemanasan, pemasukan atau pengeluaran air, bentuk
dan ukuran suatu perairan. Suhu perairan yang naik dapat menurunkan DO dalam
air, hal ini dapat menaikkan daya racun suatu polutan terhadap organisme perairan
oleh aktivitas air (Mayunar et al., 1995).

B. Hasil Pengukuran Dissolved Oxygen (DO)


Dissolved Oxygen (DO) merupakan faktor yang penting pada ekosistem perairan,
terutama pada proses respirasi bagi organisme yang ada di kolam. DO dipengaruhi
oleh beberapa faktor terutama suhu. Nilai maksimum DO di dalam air dengan suhu
tertentu adalah 14,16 mg/L (Barus, 2004). Tetra O2 digunakan untuk mengukur
kadar DO pada kolam dengan kandungan di dalamnya yang terdiri dari asam
tartarat, manganese-II-chloride-tetrahydrate, EDTA, dan lithium hydroxide
monohydrate (Tetra, 2021).

Tabel 1. Hasil pengukuran kadar DO kolam.

Warna DO
Perlakuan Suhu (°C)
Kolam Warna Kadar
Kontrol 4 Hijau Pink tua 14 mg/L 24.2
Perlakuan 2.d Hijau Pink tua 14 mg/L 24.8
Perlakuan 3.c Hijau daun Pink tua 14 mg/L 26.4

Berdasarkan Tabel 1. hasil pengukuran kadar oksigen terlarut di dalam tiga air
kolam yang berbeda menunjukkan kadar yang sama, yaitu 14 mg/L dengan suhu
di kisaran 24-26 °C. Jumlah DO yang diperoleh dan dipengaruhi oleh suhu tidak
berada dalam kisaran optimal. Optimalnya pada suhu tersebut, jumlah DO yang
diperoleh adalah 5,0-8,3 mg/L (Tetra, 2021).

Pengamatan dilakukan di permukaan kolam sehingga kadar DO yang dihasilkan


tinggi karena terjadi proses pelarutan oksigen yang berasal dari atmosfir. Terjadi
difusi antara udara bebas dan air di permukaan air, dan juga proses fotosintesis
dengan besarnya jumlah klorofil (Salmin, 2005). Kadar DO dalam air diefektifkan
oleh tumbuhan air melalui proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis,
karbondioksida diserap dan O2 dilepaskan di dalam air. Kadar DO akan terus
berkurang dengan bertambahnya kedalaman air. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya proses fotosintesis dan pemakaian oksigen untuk respirasi dan
oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik. Kadar oksigen yang tinggi
dipengaruhi juga oleh dangkalnya perairan kolam, yaitu 30 cm. Faktor lain yang
mempengaruhi DO selain suhu adalah tekanan atmosfir (Patty, 2018).

Kadar DO fluktuatif pada keadaan yang berbeda, penurunan DO dapat terjadi


karena beberapa faktor. Semakin rendah kadar DO disebaban oleh semakin tinggi
kekeruhan air karena peningkatan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan
zat organik yang menggunakan DO. Penurunan kadar DO dapat disebabkan oleh
proses pembusukkan bahan organik, respirasi, dan reaerasi terhambat (Andriani,
1999).

C. Hasil Pengukuran Derajat Keasamaan (Nilai pH)


Nilai pH asam berkisar 1-7 dan basa 7-14. Berdasarkan Mudjiman dan Suyanto
(2003), pH perairan normal adalah 6-9. Nilai pH di bawah 6 hingga 2 dapat
diperoleh pada perairan yang asam. Nilai pH mempengaruhi jenis organisme
perairan yang dipengaruhi faktor suhu, DO, alkalinitas, kandungan kation dan
anion maupun jenis dan tempat hidup organisme. Nilai pH dipengaruhi oleh
konsentrasi karbondioksidan dan ion yang bersifat asam atau basa.
Karbondioksida dapat diambil oleh tanaman air dan fitoplankton selama
fotosintesis, mengakibatkan pH meningkat pada siang hari dan menurun pada
malam hari (Koniyo, 2020).

Tabel 2. Hasil pengukuran nilai pH dan suhu.

Nilai pH Waktu Ke- Rata-Rata Suhu


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 Nilai pH (°C)
Kontrol 1 6.98 6.95 6.96 6.92 6.87 6.95 6.938333 27.7
Kontrol 2 6.56 6.85 6.86 6.86 6.85 6.85 6.805 26.4
Kontrol 3 6.84 6.86 6.85 6.87 6.89 6.87 6.863333 26.4
Kontrol 4 6.8 6.85 6.85 6.85 6.85 6.85 6.841667 24.2
Perlakuan 1.a 7.17 7 6.86 6.95 6.89 6.89 6.96 24.6
Perlakuan 1.b 6.54 6.97 6.96 6.98 6.93 6.92 6.883333 26.9
Perlakuan 1.c 6.87 6.85 6.9 6.85 6.87 6.86 6.866667 26.4
Perlakuan 1.d 6.36 6.85 6.85 6.86 6.85 6.85 6.77 26.6
Perlakuan 2.a 6.9 6.94 6.89 6.92 6.89 6.9 6.906667 25
Perlakuan 2.b 6.8 6.85 6.88 6.87 6.86 6.91 6.861667 27.1
Perlakuan 2.c 7.05 6.9 6.86 6.89 6.86 6.88 6.906667 24.8
Perlakuan 2.d 6.95 6.89 6.88 6.9 6.88 6.86 6.893333 24.8
Perlakuan 3.a 7.04 6.89 6.88 6.89 6.91 6.89 6.916667 25.5
Perlakuan 3.b 6.84 6.86 6.85 6.89 6.87 6.86 6.861667 26.3
Perlakuan 3.c 7.15 7.2 6.97 6.96 6.88 6.92 7.013333 26.4
Perlakuan 3.d 6.89 6.85 6.87 6.86 6.86 6.86 6.865 26.2

Berdasarkan Tabel 2., nilai pH yang diperoleh pada kolam dengan perlakuan
berbeda berkisar pada 6,7-7,0. Nilai pH yang diperoleh berada pada kondisi
normal. Nilai pH diatas 10 dapat membunuh ikan, sementara nilai pH dibawah 5
mengakibatkan pertumbuhan ikan terhambat. Nilai pH dengan kisaran 7-8,5
disukai sebagian besar biota akuatik. Nilai pH mempengaruhi proses biokimiawi
perairan, seperti nitrifikasi. Jika pH air rendah, maka proses nitrifikasi akan
berakhir. Nilai pH yang rendah juga dapat meningkatkan toksisitas logam-logam
(Effendi, 2004).

D. Hasil Pengukuran Amonia (NH3 NH4)

Amonia (NH3 NH4 ) adalah limbah nitrogen yang dikeluarkan oleh ikan (Buttner et
al., 1993). Berdasarkan Tabel 2., kadar amonia yang didapat dari tiga kolam
dengan perlakuan berbeda berkisar 1-10 mg/L. Kadar amonia yang diperoleh
melebihi SNI 7550: 2009 yang di bawah 0,02 mg/L. Amonia di perairan
merupakan pemecahan nitrogen organik (protein daun urea) dan nitrogen
anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi
bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan
jamur (Effendi, 2003). Pada perairan alami, kadar amonia umumnya kurang dari
0,1 mg/L. Amonia dapat bersifat toksik pada ikan jika kadarnya lebih dari 0,2
mg/L. Amonia bersifat racun bagi ikan, jika tidak mematikan, amonia dapat
merusak jaringan insang karena membengkak sehingga fungsi sebagai alat
pernafasan pada ikan akan terganggu. Ikan akan dalam kronis dan tidak dapat
hidup normal (Kordi dan Tancung, 2007).

E. Hasil Pengukuran Nitrit (NO2 )

Kadar nitrit pada Tabel 2. diperoleh dari tiga kolam dengan perlakuan yang
berbeda, yaitu berkisar 0-5 mg/L. Menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun
2001, nilai yang ideal untuk nitrit berada di perairan adalah 0,06 mg/L. Hal ini
menunjukkan bahwa kadar nitrit di tiga kolam tidak ideal. Konsentrasi nitrit yang
tinggi dapat menyebabkan kematian ikan secara masal. Nitrit bersifat tidak toksik,
namun jika konsentrasinya tinggi dan jumlahnya berlebihan dapat menyebabkan
keracuran karena bakteri rumen nitrat akan direduksi menjadi nitrat. Nitrat 10 kali
lebih toksik dari nitrat. Oleh karena itu, nitrit jumlahnya sedikit dalam perairan,
nitrit berperan dalam siklus nitrogen atau nitrifikasi sebagai peralihan amonia
menuju nitrat dan dalam proses denitrifikasi amonia menuju nitrogen (Effendi,
2003).

F. Hasil Pengukuran Nitrat (NO3 )

Nitrat (NO3 ) adalah bentuk nitrogen yang utama pada perairan alami sebagai salah
satu nutrien untuk pertumbuhan alga dan tumbuhan air. Berdasarkan Tabel 2.,
nitrat yang diperoleh dari tiga kolam dengan perlakuan yang berbeda, yaitu
berkisar 0-5 mL. Kandungan nitrat yang optimal di dalam perairan untuk
pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0,9-3,5 mg/L. Sedangkan batas
kandungan nitrat di perairan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
adalah 10 mg/L, sehingga kadar nitrat tiga kolam masih berada dalam kondisi
normal. Pertumbuhan fitoplankton dan tanaman air dipengaruhi oleh kadar nitrat.
Kadar nitrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan blooming phytoplankton.
Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi mikroba dan sifatnya sangat reaktif dan
mudah larut dalam air, serta nitrat dapat langsung digunakan dalam proses biologis
(Djokosetiyanto dan Sunarma, 2006). Konsentrasi nitrat yang optimal dapat
menstimulasi pertumbuhan untuk organisme air, seperti alga (fitoplankton) yang
disertai terpenuhi nutrisi lainnya (Alaerst dan Sartika, 1987).

G. Hasil Pengukuran Ortofosfat (PO4)

Kadar ortofosfat yang didapat berdasarkan Tabel 2. Pada tiga kolam dengan
perlakuan yang berbeda adalah 2 mg/L. Menurut KepMen LH
No.51/MENLH/2004, kandungan fosfat di dalam perairan optimalnya berada pada
0,015 mg/L. Hal ini menujukkan bahwa kadar ortofosfat dalam tiga kolam tidak
optimal. Tingginya kadar fosfat dapat menyebabkan stimulasi banyaknya
pertumbuhan alga di perairan. Hal ini juga disertai dengan adanya senyawa
nitrogen. Melimpahnya alga dapat membentuk lapisan di permukaan air yang
dapat menghambat masuknya sinar matahari dan oksigen dan menjadikan
ekosistem perairan tidak optimal (Boney, 1989).

VIII. KESIMPULAN
A. Parameter penting pada pengukuran kualitas air pada sistem akuakultur semi
open system adalah suhu air, kandungan oksigen terlarut (DO) air, dan pH air.
B. Kadar suhu, DO, dan pH air dapat diketahui dengan menggunakan alat ukur
TETRA Test O2 dan pH-meter.
C. Amonia (NH3 NH4 ) air dapat diukur dengan menggunakan metode reagen.
D. Nitrit (NO2 ) air dapat diukur dengan menggunakan metode reagen.
E. Nitrat (NO3 ) air dapat diukur dengan menggunakan metode reagen.
F. Ortofosfat (PO4 ) air dapat diukur dengan menggunakan metode reagen.
G. Kualitas air dapat dianalisis per hari.

IX. DAFTAR PUSTAKA


Alaerts G., Santika, S.S. (1987). Metode Penelitian Air. Usaha nasional: Surabaya.
Amri, K. & Khairuman. (2013). Budi Daya Ikan. Agromedia: Jakarta.
Andriani, E. D. (1999). Kondisi Fisika-Kimiawi Air Perairan Pantai Sekitar Tambak
Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor:
Bogor.
Barus, T. A. (2004). Pengantar Limnologi: Studi tentang Ekosistem Air Daratan.
USU Press.
Boney, A. D. (1989). Phytoplankton. Second Edition. Edward Arnold: London.
Boyd. C. E. (1990). Water Quality Management for Pond Fis Culture. Department Of
Fisheries and Allied Aquaculture. Aurburn University Alabama. Agricultural
Experiment Station, 318.
Buttner, J. K., Soderberg, R.W., Terlizzi, D. E. (1993). An introduction to water
chemistry in freshwater aquaculture.
Buwono. (1993). Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif.
Yogyakarta. Kanisius: Yogyakarta.
Cholik. (2005). Akuakultur. Masyarakat Perikanan Nusantara. Taman Akuarium Air
Tawar. Jakarta.
Cholilulloh, M., Syauqy, D., & Tibyani. (2017). Implementasi Metode Fuzzy Pada
Kualitas Air Kolam Bibit Lele Berdasarkan Suhu dan Kekeruhan. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi dan Ilmu Komputer. 2(5): 18131822.
Djokosetiyanto, A. & Sunarma, W. (2006). Perubahan Amonia (NH3-N), Nitrit
(NO2-N) Dan Nitrat (NO3-N) Pada Media Pemeliharaan Ikan Nila Merah
(Oreochromis Sp.) Di Dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal Akuakultur
Indonesia, 5(1): 13-20.
Effendie. (2003). Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara: Yogyakarta.
Effendie, M. I. (2004). Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya: Jakarta.
Ghufran, K. H. M. & Tancung, B. A. (2005). Pengelolaan Kualitas Air dalam
Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta
Khairuman. & Subenda. (2002). Budidaya Ikan Air Tawar: Ikan Bandeng, Ikan Nila,
Ikan Lele. Fifth Edition. Kanisius: Yogyakarta.
Kordi, M. G. H. & Andi, B. T. (2009). Pengelolaan kualitas air dalam budidaya
perairan. PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Mahyudin. (2008). Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penerbar Swadaya: Jakarta.
Mayunar, R., Purba, P. T., Imanto. (1995). Pemilihan lokasi budidaya ikan laut.
Prosiding temu usaha pemasyarakatan teknologi keramba jaring apung bagi
budidaya laut, Puslitbang Perikanan. Badan Litbang Pertanian, 179-189.
Patty, S. I. (2018). OKSIGEN TERLARUT DAN APPARENT OXYGEN
UTILIZATION DI PERAIRAN SELAT LEMBEH, SULAWESI UTARA.
Jurnal Ilmiah Platax, 6(1).
Rochyatun, E. (2002). Variasi Musiman Kandungan Oksigen Terlarut Di Perairan
Gugus Pulau Pari. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, 23–31.
Rukminasari, N., & Awaluddin, K. (2014). The Effect of Acidic Level of Media on
Calcium Concentration and Growth. Jurnal Ilmu Kelautan Dan
Perikianan,24(1), 28–34.
Rukmini. (2012). Teknologi Budidaya Biota Air. Karya Putra Darwati: Bandung.
Salmin. (2005). Oksigen Terlarut (DO) Dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan KualitasPerairan. XXX(3),
21–26.
Tahir, R. B. (2016). ANALISIS SEBARAN KADAR OKSIGEN (OKSIGEN
TERLARUT (2 DISSOLVED OXYGEN) DAN KADAR DENGAN
MENGGUNAKAN DATA IN SITU DAN CITRA SATELIT LANDSAT 8
(STUDI KASUS: WILAYAH GILI IYANG KABUPATEN SUMENEP).
Tesis. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh
Nopember: Surabaya.
Tetra. (2021). Tetra Test O2. Diakses tanggal 27 Januari 2023. URL:
https://www.tetra.net/en-eu/products/tetra-test-o2.
Wardoyo, S. T. H. (1978). Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air, 293-300.
Widigdo, B. (2013). Bertambak Udang Dengan Teknologi Biocrete. Kompas Media
Nusantara: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai