Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

SEJARAH TIMUR TEGAH


KELAHIRAN NEGARA-NEGARA BARU DI TIMUR TENGAH

Disusun Oleh Kelompok 5


Elsa Maulana (23046131)
Juanda Rizki (23046138)
Ahmad Razfadli Sabri (23046041)
Dosen Pengampu:

Ridho Bayu Yefterson,S.Pd,M.Pd

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
nikmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga pemakalah dapat menyelesaikan makalah
Sejarah Timur Tengah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.

Makalah yang berjudul “Kehadiran Negara-Negara Baru di Timur Tengah” ini


diharapkan agar pembaca dapat mengerti dan memahami bagaimana latar belakang dan
sejarah kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah. Tak hanya itu, kami juga berharap
makalah ini bisa bermanfaat untuk kami pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas terstruktur dari sekian kewajiban mata kuliah Sejarah Timur Tengah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ridho Bayu Yefterson,
M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Sejarah Timur Tengah yang telah
memberikan tugas ini kepada kami dan telah memberikan bimbingan serta dukungan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyampaikan terima kasih juga
kepada pihak-pihak yang turut membantu dan mendukung pembuatan makalah ini.

Kami sadar jika dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan tidak luput dari kesalahan. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini bisa
memberikan informasi dan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 21 November 2023

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................... 3
BAB II ............................................................................................ 4
PENDAHULUAN .......................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 4
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................ 4
BAB II ............................................................................................ 6
PEMBAHASAN............................................................................. 6
2.1 Latar Belakang Kehadiran Negara-Negara Baru di Timur
Tengah ...................................................................................... 6
2.2 Perkembangan Kehadiran Negara-Negara Baru di Timur
Tengah ...................................................................................... 9
BAB III ......................................................................................... 31
PENUTUP .................................................................................... 31
3.1 Kesimpulan ....................................................................... 31
3.2 Saran ................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 32

3
BAB II
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Timur Tengah merupakan kawasan yang geopolitiknya dipengaruhi oleh konstelasi


politik di daerah sekitarnya. Geopolitik di kawasan ini banyak dipengaruhi oleh Islam
sebagai agama yang melekat dalam konstelasi politik nasional. Islam menjadi faktor yang
penting dalam membingkai konstelasi politik di Timur Tengah. Sejarah kawasan ini tidak
bisa dielakkan dari berkembangnya Islam dalam pentas politik internasional. Akan tetapi,
pada abad ke-18 pentas politik internasional di Kawasan Timur Tengah mendapat
pengaruh dari bangsa Barat. Berawal dari kedatangan Napoleon Bonaparte pada 1798 ke
Mesir yang dipandang sebagai permulaan ekspansi Barat ke Timur Tengah dan tercatat
sebagai salah satu jejak hitam sepanjang sejarah kawasan ini.

Kondisi tersebut disebabkan pecahnya negara-negara kawasan ini akibat campur


tangan Barat. Padahal awalnya merupakan satu kesatuan dari otoritas Kesultanan
Utsmani. Seuntaian peristiwa global sepanjang awal abad ke-20 telah mengubah peta
kawasan ini. Bersamaan dengan melemahnya eksistensi Kesultanan Utsmani dan
menguatkan presensi Barat terutama Inggris dan Prancis di beberapa wilayah ini seperti
diLebanon, Palestina, dan Suriah semakin silau sejak pertengahan abad ke-19. Sehingga,
kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari campur tangan
bangsa Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diajukan oleh
pemakalah, yaitu sebagai berikut:
1) Bagaimana latar belakang kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah?
2) Bagiamana perkembangan kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah?

1.3 Tujuan Penulisan

4
Adapun tujuan penulisan rumusan masalah di atas, yaitu sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui latar belakang kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah?
2) Untuk mengetahui perkembangan kehadiran negara-negara baru di Timur
Tengah?

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Kehadiran Negara-Negara Baru di Timur Tengah

Kawasan Timur Tengah (Middle East) 12 selalu menarik untuk dijadikan bahasan.
Hal itu karena Timur Tengah memiliki posisi strategis dalam pertimbangan geopolitik,
baik pada sebelum masa kolonialisme maupun setelahnya. 3 Sejak pertengahan abad ke-
20, Timur Tengah telah menjadi kawasan yang kaya sejarah, pusat terjadinya peristiwa-
peristiwa dunia, dan menjadi wilayah yang sangat sensitif, baik dari segi kestrategisan
lokasi, politik, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan.

Timur Tengah memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi yang melimpah.
Memiliki limpahan kesuburan pada tepian-tepian Sungai Eufrat dan Tigris, Sungai Nil
yang subur, denganTeluk yang strategis; mulai dari Teluk Persia-Teluk El-Arab, Teluk
Yaman dan lainnya. Memiliki jalur Laut Tengah ke Eropa dan ke Laut Sakatrah Asia
Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara. Tidak heran, kalau sejak zaman kuno, kawasan
ini memiliki peranan penting dalam kancah ekonomi-perdagangan internasional.

Limpahan minyak bumi dan kekayaan budaya mampu meraup keuntungan besar,
menyebabkan kawasan ini diwarnai beragam konflik kepentingan. Peperangan demi
peperangan menyelingi keluhuran peradaban Timur Tengah, yang tak bias mengelak dari
kepentingan negara-negara Barat. Sepak terjang Barat menorehkan tinta hitam hitam
sepanjang sejarah kawasan ini.
Dilansir dari Ensiklopedi Tematis Dunia Islam oleh Taufik Abdullah yang
menguraikan, pendudukan Mesir oleh Napoleon Bonaparte pada 1798 dapat dianggap
sebagai permulaan ekspansi Barat ke Timur Tengah pada zaman modern. Meskipun,
Napoleon Bonaparte sendiri hanya tiga bulan berada di Kairo.

Kedatangan Barat ke berbagai belahan dunia Islam ini dimungkinkan oleh


lemahnya kesatuan di antara para penguasa lokal Muslim. Kesultanan Utsmani mulai
kehilangan kendali atas wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, perkembangan Eropa di
bidang militer, teknologi, dan ilmu pengetahuan memasuki era keemasan.

6
Kehadiran negara-negara baru di Timur Tengah tidak lepas dari campur tangan
Barat. Padahal satu abad sebelumnya, wilayah ini masih tergabung dalam satu kesatuan
di bawah Kesultanan Utsmani. Seuntaian peristiwa dunia sepanjang awal abad ke-20 telah
mengubah peta kawasan ini. Hal itu bersamaan dengan melemahnya Kesultanan Utsmani
dan menguatnya para pemberontak lokal, aktivitas Barat di beberapa tempat seperti
Lebanon, Palestina, dan Suriah semakin gemilang sejak pertengahan abad ke-19.

Berawal dari Perang Dunia I (1914-1918) memberi peluang bagi pembentukan


negara-negara baru di Timur Tengah. Kemudian adanya campur tangan Inggris dan
Prancis di kawasan ini mendorong Kesultanan Utsmani untuk bergabung dengan Jerman
dalam Perang Dunia I. Di sisi lain, Inggris dan Prancis menjadi lebih intensif mengambil
atensi dan simpati para penguasa lokal. Kedua negara Eropa tersebut sepakat untuk
berbagi pengaruh di wilayah ini.

Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam Perjanjian Sykes-Picot atau The 1916


Asia-Minor Agreement pada 16 Mei 1916. Perjanjian Sykes-Picot yang ditandatangani
pada tahun 1916 adalah perjanjian rahasia antar pemerintah Britania Raya dengan
pemerintahan Prancis yang diikuti dan disetujui oleh Kerajaan Rusia, di mana dalam
perjanjian ini ketiga negara mendiskusikan pengaruh dan kendali di Asia Barat setelah
jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah pada Perang Dunia I yang telah diprediksi sebelumnya.
Perjanjian ini secara efektif membelah daerah-daerah Arab dibawah Kesultanan
Utsmaniyah di luar Jazirah Arab sehingga di masa depan dapat ditentukan di mana kendali
atau pengaruh Inggris atau Prancis akan berlaku. Perjanjian ini ditandatangani pada
tanggal 16 Mei 1916 dan diberi nama sesuai dengan diplomat Prancis François Georges-
Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Kendati begitu, tidak satu pun penguasa Arab
yang dilibatkan.

Perjanjian Sykes-Picot menetapkan pembagian wilayah Bulan Sabit menjadi dua


negeri jajahan atau protektorat. Perjanjian rahasia ini sebenarnya menyisakan beberapa
efek samping. Pasalnya, pada 1915, Inggris telah menjanjikan sebuah negara Arab
merdeka. Inggris mendukung upaya Syarif Husain dari Makkah untuk melepaskan diri
dari Turki Utsmani. Perjanjian itu dibuat lewat korespondensi komisioner tinggi Inggris
yang berkedudukan di Mesir, Sir Henry McMahon, dengan Syarif Husain.

Pada Juni 1916, janji itu memang diwujudkan. Syarif Husain dinobatkan menjadi
raja di Hijaz atas dukungan Inggris. Setelah tentara Utsmani kalah pada Oktober 1918,
anaknya, Faisal, dilantik menjadi raja di Damaskus. Namun, hanya empat bulan menjabat,
pada Juli 1920, Raja Faisal dipaksa mengundurkan diri atas desakan tentara Prancis yang
mengambil alih kekuasaan di Suriah.

Tindakan Prancis ini sebenarnya telah direncanakan bersama Inggris dan Sekutu
dalam Konferensi San Remo pada April 1920. Konferensi tersebut memutuskan, Inggris
menjadi pemegang mandat di Palestina dan Mesopotamia (Irak), sedangkan Prancis di

7
Suriah dan Lebanon. Inggris juga menjanjikan kaum Yahudi untuk mendapatkan sebuah
negeri melalui Deklarasi Balfour, November 1917. Syarif Husain sepenuhnya sadar,
Inggris tidak benar- benar berniat untuk memenuhi janjinya.

Harapan para penguasa Arab untuk melepaskan diri dari Kesltanan Utsmaniyah
justru berujung pada campur tangan Barat di kawasan Timur Tengah. Ketika Kesultanan
Utsmani yang berkoalisi dengan Jerman dan Austria-Hungaria kalah, banyak wilayah
kekuasaan Turki Utsmani jatuh ke tangan tentara sekutu. Jalan Inggris-Prancis untuk
menguasai Timur Tengah semakin mulus. Muncullah negara-negara baru yang
direncanakan oleh Prancis dan Inggris.

Sekutu menduduki wilayah Bulan Sabit, sebuah istilah yang dicetuskan arkeolog
Chicago, James Henry Breasted. Inggris yang menguasai Palestina dan Mesopotamia
kemudian membentuk Yordania dan Irak, masing-masing sebagai monarki. Yordania
diberikan kepa da salah seorang anak Syarif Husain, Abdullah, pada awal 1922. Raja
Faisal yang terusir dari Damaskus dinobatkan menjadi raja di Baghdad pada Agustus
1921.

Di Teluk Persia dan Yaman, pengaruh Barat telah cukup lama bercokol. Sejak
1961, secara perlahan Inggris mulai memberikan kemerdekaan kepada negara-negara
Teluk. Kuwait yang pertama, kemudian Bahrain, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab
menyusul pada tahun 1971. Pada akhir Perang Dunia I, Prancis dan Inggris telah
menguasai tempat-tempat strategis di kawasan Bulan Sabit. Kedudukan ini sangat
menguntungkan, baik dari segi militer, politik, maupun ekonomi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kehadiran negara-negara


baru di Kawasan Timur Tengah tidak dapat dielakkan dari ambisi kekuatan Eropa yang
membantu mempercepat kehancuran Kesultanan Utsmaniyah. Kondisi tersebut terlihat
dari Rusia dan Austria bersatu dalam mendukung kaum nasionalis pemberontak di Balkan
untuk mengembangkan pengaruh mereka. Sementara itu, Inggris dan Prancis sangat ingin
mendapat wilayah yang dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah di Timur Tengah dan
Afrika Utara. Selain dari peranan Inggris dan Prancis yang sangat kuat, ternyata pecahnya
negara- negara Timur Tengah juga tidak semata-mata disebabkan campur tangan Barat.
Melainkan, keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah serta menguatnya paham nasionalisme
menjadi katalisator yang mendorong perjuangan negara-negara Muslim untuk
menyatakan kemerdekaan.

8
2.2 Perkembangan Kehadiran Negara-Negara Baru di Timur Tengah

1) Kelahiran Republik Turki

Turki atau secara resmi disebut sebagai Republik Turkiye merupakan sebuah
negara kesatuan dengan sistem presidensial di kawasan Timur Tengah. Wilayahnya
terbentang dari Semenanjung Anatolia di Asia Barat Laut hingga daerah Balkan di Eropa
Tenggara. Sebelumnya, Turki menganut sistem kekaisaran yang bernama
Kesultanan Utsmani (Ottoman). Bergantinya Kesultanan Ottoman menjadi Republik
Turki merupakan efek dari semakin merosotnya kekuatan Ottoman selama berabad- abad.
Berbagai rentetan peristiwa mendorong kelompok nasionalis sekuler di Ottoman untuk
mengangkat senjata & memerangi pasukan dari negara-negara yang menduduki wilayah
Ottoman. Hasilnya, mereka berhasil menang sekaligus mengubah Turki dari yang
awalnya berbentuk kesultanan menjadi republik.

Saat Perang Dunia I, pemerintahan Turki di bawah Sultan Ottoman ke-36,


Mehmed IV, tidak melakukan perlawanan terhadap Sekutu. Meskipun begitu, kantong-
kantong perlawanan tetap terjadi di Anatolia Timur yang menjadi cikal bakal lahirnya
Turki Modern. Kantong-kantong perlawanan ini terdiri dari kelompok-kelompok laskar
dan desertir, sejumlah unit Ottoman yang masih utuh, dan berbagai elemen masyarakat.
Saat itu, Mustafa Kemal, salah satu perwira paling sukses di kesultanan, berangkat untuk
misi resmi ke Anatolia timur. Dikota ini, Ia berencana pembentukan tentara nasional pasca
mendarat di Samsun 19 Juni 1919. Komite eksekutif menunjuknya sebagai ketua untuk
mengorganisir perlawanan. Pemerintah resmi menyerah pada tekanan kelompok
pendukung Mustafa Kemal. Wazir Agung yang tidak populer, Damad Ferid Pasha,
mengundurkan diri dan digantikan oleh Ali Riza Pasha yang lebih simpatik. Peristiwa itu,
terjadi setelah empat hari pendudukan Yunani di Izmir. Kemudian mengundang delegasi
untuk kongres di Erzurum Juli 1919 yang dikenal dengan kongres Erzurum. Pada kongres
tersebut menghasilkan resolusi Pakta Nasional yang menekankan tekad rakyat Turki
untuk berjuang untuk kemerdekaan nasional.
Damad Ferid kembali menjadi wazir pada 5 April 1920. Dengan dukungan
kelompok agama, ia bertekad untuk menghancurkan kelompok pendukung Mustafa
Kemal. Mustafa Kemal dan pendukungnya dihadapkan pada tekanan dari berbagai arah.
Terjadi pemberontakan lokal, pasukan resmi Ottoman, dan konflik dengan Yunani.
Kebutuhan mendesak pertama adalah membangun fondasi resmi sebelum melakukan
tindakan apa pun. Pada 23 April 1920, Majelis Nasional Besar bertemu di Ankara dan
secara tegas menyatakan bahwa pemerintahan sultan harus menentang penjajahan asing.
Undang-Undang Dasar 20 Januari 1921 menyebutkan, majelis menyatakan bahwa
kedaulatan adalah milik bangsa. Majelis dianggap sebagai wakil bangsa yang sejati dan
satu-satunya.

Nama negara dinyatakan sebagai Turki (Türkiye), dan kekuasaan eksekutif


dipercayakan kepada dewan eksekutif yang dipimpin oleh Mustafa Kemal. Mustafa

9
Kemal akhirnya bisa berkonsentrasi penuh pada perang dan berhasil meredam
pemberontakan lokal serta mengalahkan pasukan Ottoman.

Pada 1920-1921, pasukan Yunani membuat kemajuan besar, dan hampir mencapai
Ankara. Kemudian, berhasil dikalahkan pada Pertempuran Sungai Sakarya, 24 Agustus
1921 serta membawa Turki menduduki Izmir pada 9 September 1922. Saat itu, Mustafa
Kemal dan pendukungnya sudah mulai mendapatkan pengakuan Eropa. Pada 16 Maret
1921, Perjanjian Soviet-Turki memberi Turki keuntungan dengan kembalinya Kota Kars
dan Ardahan ke Turki. Masalah domestik mendorong Italia untuk mulai menarik diri dari
wilayah Turki yang didudukinya. Berdasarkan Perjanjian Ankara, Perancis setuju untuk
meninggalkan wilayah selatan Kilikia. Akhirnya, Sekutu setuju untuk menyerahkan
kembali Istanbul dan Thrace Timur ke tangan Turki.

Konflik dengan Yunani berakhir lewat penyelesaian komprehensif yang akhirnya


dicapai melalui Perjanjian Lausanne (1923). Perbatasan Turki di Thrace didirikan di
Sungai Maritsa, dan Yunani mengembalikan Pulau Gökçeada (Imbros) dan Bozcaada
(Tenedos). Terjadi pertukaran populasi yang menyebabkan sekitar 1.300.000 orang
Yunani meninggalkan Turki dan 400.000 orang Turki dipulangkan. Status Kota Mosul
diserahkan kepada Liga Bangsa-Bangsa, yang pada tahun 1925 merekomendasikannya
untuk menjadi bagian dari negara baru Irak.

Perjanjian Lausanne juga mengatur pembagian utang publik Ottoman,


penghapusan kapitulasi secara bertahap, dan memberi wewenang otoritas internasional
untuk mengontrol selat yang merupakan akses ke Laut Hitam. Turki tidak mendapatkan
kembali kendali penuh atas selat itu hingga Konvensi Montreux tahun 1936.
Pembangunan sistem politik baru dimulai dengan penghapusan kesultanan dan deklarasi
republik. Kesetiaan rakyat kepada dinasti Ottoman sangat kuat bahkan di kalangan
pendukung Mustafa Kemal. Akan tetapi, kedekatan Sultan Mehmed VI dengan Sekutu
membuatnya kehilangan dukungan. Hal tersebut sedikit banyak terbantu oleh adanya
undangan Sekutu kepada Sultan untuk mencalonkan wakil ke Lausanne.

Dengan kombinasi ancaman dan persuasi yang cemerlang, Mustafa Kemal mampu
mendorong majelis untuk menghapuskan kesultanan (1 November 1922). Mehmed VI
meninggalkan Turki, dan sepupunya Abdülmecid II diangkat sebagai khalifah Ottoman
pertama dan terakhir yang tidak bergelar Sultan. Maka pada tanggal 23 Oktober 1923
berdirilah Republik Turki.

2) Kerajaan Arab Saudi

Arab Saudi merupakan negara paling luas di Jazirah Arab yang terkenal sebagai
salah satu negara eksportir minyak bumi terbesar di dunia. Selain itu, negara dengan
bentuk pemerintahan monarki ini juga sangat kondang seantero dunia karena terdapat dua
kota Makkah dan Madinah. Kedua kota ini sangat disucikan dalam agama Islam. Setiap

10
tahun terutama dalam musim haji, dua kota ini dipadati umat Islam dari seluruh penjuru
dunia. Kerajaan Arab Saudi yang dikenal saat ini baru terbentuk pada 23 September 1932.
Namun sebenarnya jika ditelusuri, awal abad ke-18 telah muncul negara Saudi pertama.
Berikut sejarah berdirinya kerajaan Arab Saudi.

a. Negara Saudi pertama

Seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan pemahaman


pemurnian agama. Karena banyak yang menentangnya, Abdul Wahhab mencari
perlindungan. Dia lantas menjalin aliansi dengan pemimpin lokal bernama Muhammad
bin Saud sejak 1726. Koalisi ini berkembang pesat terutama soal ekspansi militer. Satu
per satu musuh ditaklukkan. Saat Abdul Aziz menggantikan ayahnya Muhammad bin
Saud yang mangkat pada 1765, aliansi dengan Abdul Wahhab tetap terjaga. Bahkan Abdul
Wahhab berperan besar sebagai pengendali administrasi sipil negara tersebut.

Abdul Aziz sendiri didampingi putranya Saud, memilih melakukan ekspansi ke


kota-kota lainnya. Pada 1788, negara Saudi ini menguasai wilayah dataran tinggi Najd.
Abdul Wahhab wafat empat tahun kemudian. Namun kekuasaan aliansi ini sudah meluas
sampai ke sebagian besar Semenanjung Arab, termasuk Makkah dan Madinah.
Popularitas dan keberhasilan aliansi ini mengusik Kekaisaran Ottoman, kekuatan
dominan di Timur Tengah dan Afrika Utara pada saat itu yang berpusat di Konstantinopel
(Istanbul), Turki. Pada tahun 1818, Ottoman mengirim pasukan ekspedisi besar yang
dipersenjatai dengan artileri modern ke wilayah barat Arab.

Tentara Ottoman mengepung Diriyah dan menghancurkan kota tersebut.


Pemimpinnya Abdullah bin Saud ditangkap kemudian dibawa ke Konstantinopel untuk
dieksekusi mati. Keluarga Saud tercerai berai. Ada yang melarikan diri, sementara sisanya
dikirim ke penjara Mesir bersama keturunan Abdul Wahhab

b. Negara Saudi kedua

Dinasti Saud berhasil pulih kemudian mendirikan negara Saudi kedua ketika pada
1824 cucu Muhammad bin Saud bernama Turki berhasil merebut Riyadh dan mengusir
garnisun Mesir. Sejak itu, Riyadh menggantikan Diriyah sebagai ibu kota negara. Dinasti
Saud berhasil merebut kembali beberapa kota. Turki juga berhasil mengembangkan sektor
pertanian, perdagangan, dan sastra. Namun Turki hanya memerintah satu dekade saja. Dia
dibunuh oleh sepupunya yang ambisius. Anak Turki bernama Faisal balas dendam dengan
meracun pembunuh ayahnya itu. Ottoman kembali mengusik negara ini pada 1865 yang
dipimpin anak Faisal bernama Abdulrahman. Kali ini Ottoman menyokong keluarga Al
Rashid di Hila untuk menggulingkan negara Saudi.

11
Menghadapi lawan yang lebih kuat, Abdulrahman bin Faisal Al-Saud terpaksa
mundur pada 1891. Dia mencari perlindungan dengan suku-suku Badui di padang pasir
luas di Arabia timur. Dari sana, Abdulrahman dan keluarganya termasuk putranya
Abdulaziz melakukan perjalanan ke Kuwait. Mereka tinggal di sana sampai tahun 1902.

c. Kerajaan Arab Saudi modern

Abdulaziz muda, bertekad merebut kembali warisan keluarganya dari Al-Rashid


yang telah mengambil alih Riyadh. Dalam usia 22 tahun, pada 15 Januari 1902 dengan
ditemani 40 pengawal Abdulaziz bergerak menuju Riyadh. Dia berhasil merebut Benteng
Masmak dan mengumpulkan pendukung lama dinastinya. Peristiwa legendaris ini
menandai awal pembentukan negara Arab Saudi modern.

Saat Perang Dunia I (1914-1918), Abdulaziz memutuskan berkoalisi dengan


Inggris. Keduanya punya kepentingan yang sama menumbangkan Kekaisaran Ottoman.
Setelah Ottoman runtuh, Abdulaziz menguasai seluruh Najd dan Hijaz, termasuk Makkah
dan Madinah, pada tahun 1924 hingga 1925.

Dalam prosesnya, dia menyatukan suku-suku yang bertikai menjadi satu bangsa.
Pada 23 September 1932, negara tersebut dinamai Kerajaan Arab Saudi, negara Islam
dengan bahasa Arab sebagai bahasa nasionalnya dan Alquran sebagai konstitusinya.
Abdulaziz memerintah Kerajaan Arab Saudi sampai tahun 1953. Setelah Abdulaziz wafat,
Arab Saudi berturut-turut dipimpin Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, Raja
Abdullah, dan Raja Salman yang memerintah sejak 2015.

3) Kemerdekaan Yordania

a. Berdirinya Kerajaan Yordania

Bila melihat pada peta, kawasan yang subur mulai dari daerah aliran Sungai
Eufrat, Sungai Tigris, pesisir Mediterania, hingga muara Sungai Nil berbentuk
melengkung. Tak mengherankan bahwa sejak dahulu kala daerah tersebut dijuluki sebagai
Bulan Sabit Subur (the Fertile Crescent). Di sanalah tempat lahirnya beberapa peradaban
tertua dalam sejarah umat manusia, semisal Mesopotamia atau Mesir Kuno. Sejak
pertengahan abad ketujuh, region seluas 20 ribu kilometer persegi itu dikuasai
kekhalifahan Islam. Kini, Bulan Sabit Subur meliputi sejumlah negara modern. Salah
satunya adalah Yordania. Secara geografis, negeri itu berbatasan dengan Arab Saudi dan
Irak di selatan dan timur, Suriah dan Lebanon di utara, dan Palestina—termasuk yang
diduduki entitas Zionis Israel—di sisi baratnya. Ibu kotanya adalah Amman, yang juga
kota terbesar keenam di seluruh dunia Arab.

Negara tersebut memiliki nama resmi Kerajaan Hasyimiyah Yordania. Sejarah


pembentukannya memang tak lepas dari peran keturunan Hasyim bin Abdul Manaf, kakek

12
buyut Nabi Muhammad SAW. Nasab mereka sampai kepada Rasulullah SAW melalui
garis Hasan, yakni seorang putra pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az- Zahra.
Dinasti Hasyimiyah yang termasuk keturunan Hasan bin Ali bergelar syarif.
Pada mulanya, para syarif menetap di Madinah al-Munawwarah. Menurut catatan Ibnu
Khaldun, pada abad ke-10 seorang pemimpin mereka, Ja’far bin Muhammad al-Hasani,
datang dari Madinah untuk menguasai Makkah al-Mukarramah dengan membawa
bendera Kerajaan Fathimiyah. Rajanya saat itu, Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz Lidinillah,
baru saja menaklukkan Mesir.
Sejak itu, Fathimiyah menyandang titel kekhalifahan karena berhasil
mengendalikan pemerintahan atas dua kota suci. Bagi Hasyimiyah, inilah awal dari
sebuah riwayat panjang kekuasaan trah tersebut atas Makkah. Bahkan, kaum syarif tetap
memimpin kota kelahiran Nabi SAW itu pasca-tumbangnya Daulah Fathimiyah pada abad
ke-12.

Berturut-turut, yang menyandang gelar kekhalifahan sesudahnya adalah


Ayyubiyah (1171-1260), Mamluk Kairo (1250-1517), dan Turki Utsmaniyah (1517-
1924). Sementara itu, Madinah dikendalikan elite keturunan Husein bin Ali atau kaum
sayyid. Selama empat abad, Utsmaniyah menguasai Bulan Sabit Subur, termasuk wilayah
Yordania. Para sultan Turki membangun benteng-benteng pertahanan di sana, semisal
Benteng Qasr al-Dab’a, Qasr Qatranah, dan Qal’at Hasa.

Pada waktu itu, Yordania cenderung dianggap sebagai daerah penghubung semata
antara ibu kota Kesultanan Turki, Konstantinopel (Istanbul), dan Tanah Suci. Karena itu,
pendirian benteng-benteng tersebut dimaksudkan sebagai tempat persinggahan bagi
karafan-karafan pembawa calon jamaah haji. Di setiap benteng itu, mereka tidak hanya
mendapatkan perlindungan dari ancaman perampok di padang pasir, tetapi juga berbagai
kebutuhan dasar, seperti makanan dan minuman.
Namun, birokrasi Utsmaniyah di Yordania cenderung stagnan. Kebanyakan aparat
kesultanan tidak mengupayakan pembangunan infrastruktur publik yang menunjang
kehidupan warga setempat. Karena itu, cukup banyak kota atau desa yang menjadi sepi
lantaran ditinggalkan penduduknya. Kalaupun ada yang bertahan, mereka tidak akan
tinggal lama.
Sumber daya yang terbatas memaksanya untuk hidup berpindah-pindah dari satu
lokasi ke lokasi lain. Produksi dari sektor pertanian atau perkebunan pun merosot drastis.
Alhasil, nyaris seluruh Yordania secara de facto dikuasai suku-suku Badui yang hidup
nomaden. Kondisi demikian terus berlangsung hingga akhir abad ke-19. Barulah pada
awal abad ke-20, gelombang migrasi besar-besaran terjadi. Para imigran yang tiba di
Yordania umumnya berasal dari Suriah atau Palestina. Mereka hijrah dari tanah tempat
kelahirannya untuk menghindari pajak yang meninggi. Pada masa itu, Yordania juga
mulai kedatangan arus pengungsi Muslim dari sejumlah daerah Kaukasia Utara, semisal
Sirkasia dan Chechnya. Kedua daerah itu masuk kendali Kekaisaran Rusia.

13
b. Revolusi Arab

Pembangunan infrastruktur publik yang paling signifikan selama periode


kekuasaan Utsmaniyah di Yordania adalah Jalur Kereta Api Hijaz. Seperti tampak pada
namanya, rute kereta api itu sampai ke Hijaz, Jazirah Arab. Secara keseluruhan, prasarana
tersebut berawal di Damaskus dan berakhir di Madinah. Kota-kota besar yang dilaluinya
adalah Amman, Ma’an, Tabuk, dan Madain Shalih.
Sultan Abdul Hamid II membangun Jalur Kereta Api Hijaz untuk menunjang
transportasi para calon jamaah haji yang berasal dari arah utara Jazirah Arab. Prasarana
itu mulai dinikmati penggunanya sejak dibuka pada 1908. Pembangunan rel kereta api
tersebut dapat dikatakan terlambat bila dibandingkan dengan proyek-proyek serupa di
berbagai wilayah yang dikuasai kolonialisme Barat. Sebagai contoh, Hindia Belanda atau
Indonesia memiliki jalur kereta api pertama di Jawa pada 1867. Karena itu, banyak pihak
luar Turki menyepelekan atau menyuarakan pesimisme ketika mendengar Sultan hendak
membangun jalur kereta api untuk menghubungkan Hijaz. Apalagi, kerajaan Islam
tersebut harus mengeluarkan dana hingga empat juta lira demi mewujudkan proyek
ambisius itu, padahal situasi finansial dalam negeri sedang tertekan.
Akan tetapi, sang sultan tidak gentar. Kaum Muslimin di seluruh dunia malahan
diimbaunya untuk berdonasi demi mendukung pengerjaan proyek tersebut. Waktu itu,
Abdul Hamid II gencar menyuarakan semangat Pan-Islamisme, yakni persatuan dunia
Islam di bawah bendera Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Sayangnya, pembangunan rute
kereta api itu tidak disertai dengan pemulihan ekonomi negeri-negeri yang dilaluinya,
termasuk Yordania. Karena itu, penduduk setempat cenderung acuh tak acuh dalam
merespons kebijakan Konstantinopel terkait infrastruktur ini. Keadaan bertambah runyam
sejak Perang Dunia I pecah pada 1914. Dalam kancah pertempuran itu, Utsmaniyah
bergabung dengan kubu Poros. Musuhnya adalah pihak Sekutu yang terdiri atas negara-
negara besar, semisal Britania Raya, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat.
Perang Dunia I menguji hubungan Konstantinopel dengan negeri-negeri Arab.
Pada faktanya, banyak kebijakan pusat Utsmaniyah yang menimbulkan ketidakpuasan di
tengah bangsa Arab. Selama Juli 1915-Maret 1916, Britania Raya melalui Letnan Kolonel
Sir Henry McMahon berkorespondensi dengan syarif Makkah, Hussein bin Ali.
Disepakatilah bahwa Inggris akan mengakui kemerdekaan Arab setelah perang usai
sebagai kompensasi dari gerakan revolusi yang dilancarkan terhadap Utsmaniyah.
Revolusi Arab pun dimulai pada 10 Juni 1916 di Makkah. Hussein bin Ali
menuntut kemerdekaan bangsa Arab yang menghuni kawasan antara Aleppo (Halab) di
Suriah hingga Aden di Yaman. Bani Hasyimiyah bersatu di bawah kepemimpinannya
untuk melawan rezim Utsmaniyah. Dalam hal ini, sang syarif didukung secara finansial
dan persenjataan oleh Inggris yang mendirikan pangkalan militer di Mesir. Konflik pun
pecah antara orang-orang Arab pendukung Hasyimiyah dan pasukan Turki. Salah satu
sasaran blokade Arab ialah Jalur Kereta Api Hijaz. Sebab, prasarana itu juga dipakai
Konstantinopel untuk mengangkut tentara dan pasokan militer Utsmaniyah ke jantung

14
Arab. Beberapa tahun setelah Perang Dunia I usai, terbentuklah Kerajaan Suriah dan Irak
yang dipimpin Faisal, putra Hussein bin Ali.

Adapun motif orang-orang Arab memberontak terhadap Utsmaniyah bukan hanya


ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Sebab, terjadi pula pelbagai
pergolakan politik di Konstantinopel, utamanya kudeta Gerakan Turki Muda pada 1908.
Imbasnya, Utsmaniyah meninggalkan kebijakan pluralistik dan Pan-Islamisme. Yang
diutamakan justru nasionalisme sekuler Turki. Utsmaniyah yang dahulunya bersifat
kosmopolitan dan toleran, mulai secara terbuka menerapkan diskriminasi terhadap
penduduk non-Turki.
Perang Dunia I akhirnya usai. Namun, begitu suasana kembali kondusif, pihak
Sekutu sebagai pemenang perang mengingkari janji-janji kepada bangsa Arab. Mereka
tidak membiarkan tanah Arab merdeka setelah lepas dari kekuasaan Utsmaniyah. Justru,
negara-negara Barat itu membagi-bagi kawasan luas di Bulan Sabit Subur untuknya
masing-masing dengan sistem mandat atau protektorat. Pengingkaran paling nyata terjadi
pada 2 November 1917. Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengirimkan
sepucuk surat kepada Federasi Zionis melalui pemuka Yahudi di Inggris, Baron Walter
Rothschild. Surat tersebut berisi dukungan penuh Britania Raya terhadap pembentukan
tanah air nasional bagi Yahudi Zionis di Palestina.
Ketegangan hubungan antara Hasyimiyah dan Inggris terjeda pecahnya Perang
Dunia II pada 1939. Pada 1946, kakak Faisal, Abdullah, mengajukan negosiasi perjanjian
dengan Inggris sehingga berakhirlah mandat Britania Raya atas Yordania— waktu itu
disebut sebagai Transyordania. Pada 25 Mei, tahun yang sama, parlemen setempat
mengangkat Abdullah bin Hussein sebagai raja dengan gelar Abdullah I. Sejak itu pula,
negeri ini memiliki nama resmi Kerajaan Hasyimiyah Yordania.
4) Kemerdekaan Lebanon

Daerah Lebanon sudah dihuni manusia sejak Zaman Paleolitikum. Orang-orang


Punisia kemudian datang ke pantai Lebanon dan membangun kota di sana pada sekitar
3000 SM.

Lebanon dikuasai Persia Achaemenid pada 539 SM sampai jatuh ke tangan


Alexander Agung pada 332 SM. Selanjutnya, Lebanon ganti dikuasai Kekaisaran Roma
pada 64 M sampai 619 M dan menjadi sebuah pusat Kekristenan. Pada abad ketujuh,
orang-orang Arab berhasil menaklukkan Lebanon dan kemudian menjadikannya di bawah
pemerintahan Dinasti Umayyah. Lebanon sempat menjadi rebutan antara Muslim dan
Tentara Salib pada masa Perang Salib. Kekaisaran Utsmani di bawah Selim I ganti
menaklukkan Lebanon awal abad ke-16 dan menjadikannya sebagai wilayah
kepangeranan atau princedom.

Pada abad ke19, komunitas-komunitas Kristen (Maronite) mulai berkembang luas


di Lebanon. Penguasa Lebanon, Bashir II juga adalah seorang Maronite. Pasukan Mesir
di bawah Ibrahim Pasha menduduki Lebanon pada 1831. Pendudukan ini berakhir setelah

15
Inggris dan Utsmani turut campur dalam masalah Lebanon. Bashir kemudian diturunkan
pada 1840 dan penggantinya pun juga diturunkan pada 1842. Pada waktu itu terjadi
pertentangan antara para Maronite dan para bangsawan Druze. Prancis, Inggris, dan
Utsmani turut campur tangan dalam masalah ini.

Mandat Prancis

Selama Perang Dunia Pertama, Lebanon juga menjadi tempat pertempuran antara
Turki dan Inggris. Liga Bangsa-Bangsa kemudian menjadikan Lebanon di bawah mandat
Prancis pada 1920. Pada September 1920, Prancis mendirikan negara Lebanon Raya.
Konstitusinya sendiri dibentuk pada 1926. Di bawah administrasi Prancis, layanan publik
dan komunikasi meningkat, dan pendidikan diperluas. Namun, rakyat Libanon
menginginkan negaranya yang lebih merdeka. Perjanjian Prancis-Libanon tentang
kemerdekaan Lebanon dan persahabatan ditandatangani pada 1936, tetepi tidak
diratifikasi pemerintah Prancis.

Kemerdekaan Lebanon

Pada Perang Dunia Kedua, Lebanon berada dalam kendali Vichy setelah Prancis
jatuh ke Jerman pada 1940. Namun, pasukan Inggris dan Prancis Merdeka menduduki
Lebanon pada 1941. Perwakilan Prancis Merdeka menyatakan kemerdekaan Lebanon dan
Suriah. Karena posisi Prancis Merdeka sedang genting, mereka tidak bersedia
melonggarkan kendali atas Lebanon. Mereka menyelenggarakan pemilihan pada 1943
dan para nasionalis berhasil memenangkannya. Pemimpin mereka, yakni Bishara al-
Khuri terpilih sebagai presiden. Pemerintahan baru ini mulai mengubah konstitusi dan
menghapuskan jejak pengaruh Prancis. Prancis keberatan dengan hal ini. Pada 11
November 1943, presiden dan hampir seluruh pemerintahnya ditahan Prancis. Peristiwa
ini menyebabkan sebuah pemberotakan. Setelah Inggris ikut campur, Prancis bersedia
mengembalikan pemerintahan Lebanon. Kemerdekaan akhirnya diproklamasikan pada 22
November 1943.

5) Kemerdekaan Suriah
Suriah merupakan salah satu negara yang terletak di wilayah Timur Tengah. Pada
masa Turki Utsmani, wilayah Suriah, atau dikenal juga dengan nama Syam, mencakup
Suriah, Yordania, Palestina, dan Lebanon. Wilayah yang sangat luas ini membuat Suriah
memperoleh sebutan Suriah Raya. Namun, pasca-Perang Dunia I, Sekutu memecah
wilayah Suriah menjadi beberapa daerah administratif.

Pembagian tersebut menjadikan Suriah termasuk wilayah yang berada di bawah


mandat Prancis. Pada periode 1929-1930, Prancis kembali memecah wilayah itu menjadi
dua, sehingga tersisa lah wilayah Suriah yang dikenal saat ini. Sama halnya dengan
negara-negara Timur Tengah lainnya, Suriah juga tidak terlepas dari konflik dan

16
serangkaian kudeta. Konflik mengiringi perjalanan sejarah Suriah modern, bahkan hingga
saat ini pun gejolak konflik masih berlangsung di Suriah.

Pada awal abad ke-20 atau tepatnya sebelum tahun 1918, Suriah masih menjadi
salah satu wilayah Turki Utsmani yang saat itu sedang mengalami masa kemunduran. Di
tengah situasi Utsmani yang semakin terdesak oleh negara-negara Barat, posisi Suriah
menjadi semakin penting bagi Utsmani. Ketika itu diupayakan agar Suriah menjadi basis
ekonomi yang penting di bidang pertanian dan perindustrian.
Akan tetapi kondisi berubah pasca kekalahan Turki Utsmani di Perang Dunia I.
Banyak daerah Utsmani akhirnya menjadi daerah jajahan negara-negara Barat, termasuk
Suriah. Tapal-tapal batas yang terdapat di negara-negara Arab sekarang pada hakikatnya
adalah tal batas peninggalan para penjajah Barat. Seperti halnya negara Timur Tengah
lainnya, Suriah menyimpan cadangan minyak di gurun pasirnya. Selain itu Suriah juga
merupakan daerah penting bagi Terusan Suez. Untuk itu banyak negara-negara Barat
memperebutkan Suriah, menjelang keruntuhan Utsmani.

Pada 16 Mei 1916, atau menjelang kekalahan Turki Utsmani di Perang Dunia I
yang sudah diprediksi. Inggris, Prancis, dan Rusia mengesahkan perjanjian Sykes-Picot,
yang membagi wilayah-wilayah Utsmani untuk mereka. Inggris akan memperoleh
wilayah di antara Laut Mediterania dan Sungai Yordan, yang mencangkup Yordania, Irak
Selatan, dan tambahan beberapa daerah kecil termasuk pelabuhan Haifa dan Acre
Palestina. Prancis akan memperoleh Turki Tenggara, Irak Utara, Suriah, dan Lebanon.
Sementara Rusia akan memperoleh Istanbul, Selat Turki, dan Armenia.

Pada 5 Oktober 1918, Prancis menyerbu Suriah dan merebut Beirut. Turki yang di
tengah kehancuran, membalasnya dengan menyerang Mudros pada 30 Oktober 1918.
Setelah serangan Turki, Inggris dan Prancis pada 8 November 1918 menjanjikan
kemerdekaan kepada Suriah. Janji itu mengakibatkan berkorbarnya nasionalisme Arab di
Suriah. Faisal, putra Syarif Husain yang ingin berkuasa di Suriah menjadi pemimpin
gerakan itu. Ia bersama T. E Lawrence (Lawrence of Arab) pergi ke London untuk
memperjuangkan kemerdekaan Suriah di dalam sidang perdamaian Versailes tanggal 6
Februari 1919 M. Perjanjian Versailles memutuskan untuk mengirimkan panitia yang
akan menyelidiki kesiapan Suriah menjadi negara merdeka. Panitia ini terdiri dari dua
orang, yakni H. C King dan CH. R. Crane.

Setelah diadakan penyelidikan di Suriah, King dan Crane menyarankan agar


Suriah di tempatkan di bawah mandat Prancis, dengan Faisal sebagai rajanya. Usulan itu
ditolak oleh Prancis, akibat penolakan ini bangsa Arab di Suriah menjadi membenci
Prancis dan semakin berkobar lah semangat nasionalisme Arab. Di tengah situasi yang
memanas, Perkumpulan al-Fatat sebuah organisasi mahasiswa-mahasiswa Arab di
Prancis, menjelma menjadi partai kemerdekaan Arab dan memimpin gerakan
nasionalisme Suriah. Mereka juga menuntut penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi di samping bahasa Turki.

17
Pada tanggal 9 Juli 1919 di Damaskus, diadakan lah Kongres Nasional yang
menuntut kemerdekaan Suriah. Salah satu hasil kongres menyebutkan, apabila
kemerdekaan Suriah tidak mungkin diraih maka lebih baik Suriah berada di bawah
mandat Inggris atau Amerika. Sejak saat itu, gerakan nasionalisme Suriah secara
diamdiam memperoleh dukungan dari Inggris. Tuntutan kemerdekaan semakin bergelora
di Suriah, hal ini mengakibatkan pertempuran-pertempuran antara bangsa Arab melawan
pasukan Prancis tidak dapat dihindarkan.

Pada 11 Maret 1920, Faisal diangkat menjadi raja Suriah oleh Kongres Nasional
Suriah di Damaskus. Akan tetapi pada 25 Juli 1920, Liga Bangsa-Bangsa (LBB)
memutuskan Suriah berada di bawah mandat Prancis. Meskipun keputusan LBB telah
keluar, Faisal masih tetap ingin mempertahankan kekuasaannya, di sisi lain Prancis
semakin muak dengan gerakan nasionalisme yang dipimpin Faisal. Akibatnya, Prancis
menyerang Suriah dan merebut Damaskus. Faisal diturunkan takhta dan akhirnya ia
melarikan diri. Pasca peristiwa tersebut, Prancis mulai mengatur pemerintahan di Suriah.
Untuk menopang administrasi yang efektif dan untuk menghalangi perkembangan
gerakan kemerdekaan, pihak Prancis membagi wilayah menjadi beberapa wilayah etnis
dan agama.

Pada tahun 1920, wilayah Suriah dibagi menjadi 4 negara bagian yang tergabung
dalam satu federasi. Empat negara bagian itu adalah Damaskus, Aleppo, Alawi, dan
Lebanon Raya. Sementara wilayah Jabal al-Druze di bagian selatan Suriah, dan wilayah
Jazirah, dataran rendah di bagian utara Suriah dan wilayah Efrat, diberi hak otonomi
regional. Dengan demikian, Prancis telah membentuk framework sebuah negara Suriah
modern, bahkan telah memaksakan pembagian etnis dan agama negeri ini sehingga
menjadi hambatan laten bagi pembentukan sebuah masyarakat nasional yang
memungkinkan menjalankan sebuah rezim merdeka.

Meskipun demikian, bangsa Arab tetap menginginkan kemerdekaan Suriah, dan


nasionalisme Arab tidak dapat dipadamkan begitu saja. Usaha yang dilakukan Prancis
justru menyebabkan semakin banyaknya gerakan nasional yang bermunculan. Di lain
pihak, Prancis pun terus berusaha membendung gerakan nasionalisme dengan
menyelenggarakan pemerintahan dan kebijakan yang berubah-ubah.

Revolusi Druze dan Kemerdekaan Suriah

Istilah Druze berasal dari nama pemimpin mereka, Muhammad al-Darazi, salah
seorang murid Khalifah al-Hakim (985-1021)) dari Dinasti Fatimiyah di Mesir. Sebagian
orang Syiah tersebut kemudian membentuk sekte tersendiri bernama Druze.
Mereka mulai mendiami Jabal al-Druze sejak abad ke-18 M.

18
Pada tahun 1923, para pemimpin Jabal al-Druze, telah mencapai kesepakatan mengenai
otonomi dengan otoritas Prancis. Mereka berharap memperoleh tingkat otonomi yang
sama seperti saat berada di bawah pemerintahan Utsmani.

Masyarakat Druze diperintah oleh dewan tokoh, yang disebut majelis. Majelis
memilih satu di antara mereka untuk menduduki jabatan eksekutif terbatas. Secara
tradisional peran ini telah didominasi oleh keluarga al-Trash sejak tahun 1860 M. Akan
tetapi tidak lama setelah kesepakatan dengan Prancis dibuat, Selim al-Atrash
mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Kekosongan kekuasaan menimbulkan
perpecahan dalam keluarga al-Atrash, karena mereka saling berebut untuk menduduki
posisi yang ditinggalkan Selim al-Atrash. Konflik internal menyebabkan Majelis memilih
orang luar untuk menduduki jabatan itu untuk sementara, dengan menunjuk seorang
perwira Prancis bernama Kapten Carbillet. Meskipun awalnya ia hanya ditunjuk untuk
memimpin selama 3 bulan, tetapi pada perkembangannya jabatannya diperpanjang tanpa
batas waktu.

Kapten Carbillet memulai kepemimpinannya dengan melakukan modernisasi di


berbagai bidang. Akan tetapi dalam prosesnya ia menarik pajak secara penuh, melucuti
persenjataan penduduk, dan menggalakan kerja paksa terhadap tahanan dan petani. Tentu
saja kebijakan tersebut sangat memberatkan rakyat. Sementara itu, Sultan Pasha al-
Atrash, anggota paling ambisius dari keluarga al-Atrash, mengirimkan delegasi ke Beirut.
Delegasi ini diutus untuk menginformasikan kepada Komisaris Tinggi Prancis, Jenderal
Maurice Sarrail, bahwa kebijakan Kapten Carbillet bertentangan dengan sebagian besar
penduduk Druze. Laporan itu tidak membuat Jenderal bergeming sedikit pun, ia justru
memenjarakan delegasi tersebut. Setelah kabar ini tersebar, penduduk Druze kembali
mengalihkan dukungan mereka kepada keluarga al-Atrash, yang pada titik ini mendukung
Sultan al-Atrash dan memberontak melawan Prancis dan Majelis.

Pada 23 Agustus 1925, Sultan Pasha al-Atrash secara resmi mendeklarasikan


revolusi melawan Prancis. Ia memanggil berbagai etnis dan komunitas agama Suriah
untuk melawan dominasi orang asing di tanah mereka. Al-Atrash berhasil meminta
bantuan dari sebagian besar gerakan pemberontakan di Suriah, yang dipimpin oleh tokoh-
tokoh seperti Hassan al-Kharrat, Nasib al-Bakri, Abd al-Rahman Shahbandar, dan Fawzi
al-Qawuqji. Meskipun demikian, pertempuran sebenarnya telah dimulai sejak 22 Juli
1925, dengan ditandai meletusnya pertempuran al-Kafr. Kemudian pertempuran al-
Mazra’a pada 2-3 Agustus 1925, dan dilanjutkan pertempuran Salkhad, al-Musayfirah,
dan Suwayda.
Setelah serangkaian kemenangan pemberontak, Prancis mengirim ribuan tentara
ke Suriah dan Lebanon dari Maroko dan Senegal, yang dilengkapi dengan persenjataan
modern. Hal ini secara dramatis mengubah hasil dan memungkinkan Prancis untuk
merebut kembali banyak kota, meskipun perlawanan sengit berlangsung hingga musim
semi 1927. Prancis menjatuhkan hukuman mati terhadap Sultan al-Atrash dan para

19
pemimpin nasional lainnya. Akan tetapi al-Trash dan beberapa pemberontak melarikan
diri ke Trans-Yordan, yang akhirnya mereka diampuni.

Memasuki periode 1929-1930, Prancis kembali memecah wilayah Suriah. Pada


23 mei 1929 Lebanon berubah menjadi Republik Lebanon, dan pada 22 Mei 1930 Suriah
berubah menjadi Republik Suriah. Kebijakan ini membuat Suriah terpecah menjadi dua
republik: Lebanon dengan ibu kotanya di Beirut, dan Suriah ibu kotanya di Damaskus.
Dimulai pada tahun 1930-an, dan terus berlanjut hingga periode kemerdekaan, elite
konservatif Suriah menerima perlawanan dari perwira militer muda dari latar belakang
kelas menengah, berpendidikan akademi militer di Homs. Selain dari perwira militer,
mereka juga memperoleh perlawanan dari golongan intelektual dan politisi berpendidikan
Barat.

Ekspresi golongan muda yang paling berpengaruh adalah dari Harakat al-Ba’ath
al-Arabi (Partai Kebangkitan Arab). Partai ini didirikan pada tahun 1940 oleh Michel
Aflaq dan Salah al-Din Bitar, dua guru sekolah dasar Suriah yang pernah belajar di Paris
pada dekade 1930-an. Mereka mengembangkan doktrin kesatuan Arab, keadilan sosial,
demokrasi, anti-kolonialis dan kebebasan. Selain itu, mereka juga mengembangkan
perasaan religius Arabisme untuk menyegarkan semangat kebangsaan Arab. Pada tahun
1949, mereka bergabung dengan Akram al-Hawrani, seorang agitator sosialis dan
penggerak sejumlah pemberontakan di Homs. Selain itu, ia juga merupakan konspirator
yang memeliki jaringan di tubuh militer. Konflik antara generasi tua dan elite pejabat
militer baru dan kalangan inteligensia semakin memanas pada akhir 1940- an.
Serangkaian kekalahan Prancis pada Perang Dunia II, akhirnya mengantarkan pada
pembentukan sebuah rezim Suriah yang merdeka pada 24 Oktober 1945. Seiring dengan
kemerdekaan Suriah, pasukan Prancis juga meninggalkan wilayah itu. Pasukan terakhir
Prancis meninggalkan Suriah pada 17 April 1946.
6) Kehadiran Israel

a. Sejarah Awal Bangsa Israel

Istilah Israel sendiri berasal dari cucu Abraham dan Yacob yang dinamai Israel
oleh Tuhan Ibrani. Menurut Alkitab Ibrani asal-usul Israel dapat ditelusuri kembali ke
Abraham yang dianggap sebagai bapak Yudaisme. Yahudi sendiri atau Yehuda berasal dari
garis keturunan Ishak sementara Islam dari garis keturunan Ismael. Keturunan Abraham
(Bangsa Israel) dianggap diperbudak oleh orang Mesir selama ratusan tahun sebelum
menetap di Kanaan, yang kira-kira merupakan wilayah Israel modern.

20
b. Raja Daud dan Raja Sulaiman

Raja Daud memerintah wilayah itu sekitar 1000 SM. Putranya, yaitu Raja
Sulaiman membangun kuil suci pertama di Yerusalem kuno pada waktu itu. Sekitar 931
SM, wilayah itu dibagi menjadi dua kerajaan: Israel di utara dan Yehuda di selatan. Sekitar
722 SM, orang Asiria menyerbu dan menghancurkan kerajaan Israel di utara. Pada 568
SM, orang Babilonia menaklukkan Yerusalem dan menghancurkan kuil pertama, yang
digantikan oleh kuil kedua pada sekitar 516 SM. Selama beberapa abad berikutnya, tanah
Israel zaman modern ditaklukkan dan dikuasai oleh berbagai kelompok, termasuk Persia,
Yunani, Romawi, Arab, Fatimiyah, Turki Seljuk, Tentara Salib, Mesir, Mamelukes,
Islamis, dan lainnya.

c. Mengemis Pada Sultan Abdul Hamid

Seorang tokoh Yahudi, Theodor Herzl berupaya mencari dukungan kepada orang-
orang Yahudi kaya di Eropa untuk mewujudkan impiannya mendirikan negara Zionis,
namun usaha itu gagal. Ia pun kembali berusaha mendapatkan dukungan dari Kerajaan
Inggris yang kemudian menawarkan sebuah wilayah jajahannya yakni Uganda sebagai
tempat tinggal untuk Yahudi. Namun tawaran Kerajaan Inggris itu ditolak. Pada tahun
1896, Herzl dengan berani menemui Sultan Abdul Hamid II untuk meminta agar Yahudi
diberikan sepetak tanah di Palestina. Ia pun sempat menawarkan bantuan finansial pada
Kerajaan Ottoman yang juga terlilit hutang di sejumlah Bank di Eropa kala itu. Namun
dengan tegas Sultan menolak dan tak akan memberikan seinci pun tanah di Palestina.

d. Deklarasi Balfour

Dari tahun 1517 hingga 1917, Israel bersama dengan sebagian besar Timur
Tengah, diperintah oleh Kekaisaran Ottoman. Namun Perang Dunia I secara tidak
langsung mengubah lanskap geopolitik di Timur Tengah. Pada tahun 1917, di puncak
perang, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour mengajukan surat niat untuk
mendukung pembentukan tanah air Yahudi di Palestina. Pemerintah Inggris berharap
deklarasi resmi tersebut yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour akan
mendorong dukungan untuk Sekutu dalam Perang Dunia I. Ketika Perang Dunia I
berakhir pada tahun 1918 dengan kemenangan Sekutu, 400 tahun kekuasaan Kekaisaran
Ottoman pun berakhir, dan Inggris Raya mengambil kendali atas apa yang kemudian
dikenal sebagai Palestina (Israel modern, Palestina dan Yordania Deklarasi Balfour dan
mandat Inggris atas Palestina disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1922.
Mayoritas bangsa Arab dengan keras menentang Deklarasi Balfour, khawatir bahwa tanah
air Yahudi akan menjadi ancaman bagi orang Arab Palestina.

21
e. Konflik Antara Yahudi dan Arab

Sepanjang sejarah Israel, ketegangan antara orang Yahudi dan Muslim Arab telah
ada. Permusuhan yang kompleks antara kedua kelompok itu sudah terjadi sejak zaman
kuno ketika mereka berdua menghuni daerah itu dan menganggapnya suci. Baik orang
Yahudi dan Muslim menganggap kota Yerusalem suci. Ini berisi Temple Mount, yang
meliputi situs suci Masjid al-Aqsa, Tembok Barat, Kubah Batu dan banyak lagi. Sebagian
besar konflik dalam beberapa tahun terakhir berpusat pada siapa yang menempati
wilayah-wilayah sentral seperti Gaza, Dataran Tinggi Golan dan Tepi Barat.

f. Gerakan Zionisme

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sebuah gerakan politik dan agama
yang terorganisir yang dikenal sebagai Zionisme muncul di kalangan orang Yahudi.
Pencetus ideologi Zionisme tersebut adalah seorang wartawan Yahudi Jerman yang
bernama Theodor Herzl. Meski pada awalnya ideologi ini mendapat tantangan dari
beberapa orang Yahudi, karena menurut kepercayaan Yahudi hanya Messias saja yang
berhak menyatukan semua Bangsa Israel di seluruh dunia, tentu hal itu bertentangan
dengan ajaran Yahudi. Namun kemudian seiring berjalannya waktu mayoritas Yahudi
mendukung Zionisme.

Zionis ingin membangun kembali tanah air Yahudi di Palestina. Sejumlah besar
orang Yahudi berimigrasi ke tanah suci kuno itu dan membangun pemukiman. Antara
tahun 1882 dan 1903, sekitar 35.000 orang Yahudi pindah ke Palestina. 40.000 lainnya
menetap di daerah tersebut antara tahun 1904 dan 1914.

g. Nazi Berkuasa

Pada saat Hitler merebut kekuasaan pada tahun 1933, usulan untuk
menyelamatkan ras yang "berharga" dengan cara membersihkan ras "yang tidak layak"
semakin mengemuka. Penganiayaan dan eksodus dari 525.000 umat Yahudi Jerman
gimulai setelah Nazi berkuasa pada tanggal 30 Januari 1933. Banyak orang Yahudi yang
tinggal di Eropa dan di tempat lain, takut akan penganiayaan selama pemerintahan Nazi,
menemukan perlindungan di Palestina dan memeluk Zionisme. Setelah Holocaust dan
Perang Dunia II berakhir, anggota gerakan Zionis terutama berfokus pada pembentukan
negara Yahudi merdeka.

22
h. Kemerdekaan Israel

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui rencana untuk membagi Palestina


menjadi negara Yahudi dan Arab pada tahun 1947, tetapi orang-orang Arab menolaknya.
Meskipun terdapat penolakan dari bangsa Arab, pada Mei 1948, Israel secara resmi
dinyatakan sebagai negara merdeka dengan David Ben-Gurion, kepala Badan Yahudi,
sebagai perdana menteri. Meskipun peristiwa bersejarah ini tampaknya menjadi
kemenangan bagi orang Yahudi, itu juga menandai dimulainya lebih banyak kekerasan
dan penindasan terhadap orang Arab terutama di Palestina.

i. Perang Arab-Israel

Menyusul pengumuman Israel merdeka, lima negara Arab yakni Mesir, Yordania,
Irak, Suriah, dan Lebanon segera menyerbu wilayah itu dalam apa yang kemudian dikenal
sebagai Perang Arab-Israel 1948. Perang saudara kemudian pecah di seluruh Israel, tetapi
kesepakatan gencatan senjata dicapai pada tahun 1949. Sebagai bagian dari perjanjian
gencatan senjata sementara, Tepi Barat menjadi bagian dari Yordania, dan Jalur Gaza
menjadi wilayah Mesir.

j. Solusi Kedua Negara

Beberapa negara telah mendorong lebih banyak perjanjian perdamaian dalam


beberapa tahun terakhir. Banyak yang menyarankan solusi dua negara tetapi mengakui
bahwa Israel dan Palestina tidak mungkin menetap di perbatasan. Perdana Menteri Israel
Benjamin Netanyahu telah mendukung solusi dua negara tetapi merasakan tekanan untuk
mengubah pendiriannya. Netanyahu juga dituduh mendorong permukiman Yahudi di
wilayah Palestina. Hingga kini pertikaian antara Israel-Palestina masih terjadi. Tindak
kekerasan, penindasan dan anarkisme terus berlanjut menyudutkan Muslim Palestina.
Dukungan mayoritas negara anggota PBB tak kunjung membuahkan hasil yang terbaik
yaitu Palestina sebagai negara yang merdeka dari Zionis Israel.

7) Kemerdekaan Irak

Pada 3 Oktober 1932, Irak diterima di Liga Bangsa-Bangsa sebagai negara yang
merdeka. Karena konflik antara para pemimpin politik Irak pada dasarnya berpusat pada
bagaimana mengakhiri mandat dan bukan pada hak kemerdekaan, Raja Fayal mencari
kerja sama dengan para pemimpin oposisi setelah kemerdekaan. Sabtu 3 Oktober, Inggris
sebelumnya merebut Irak dari Turki Ottoman selama Perang Dunia I dan diberikan
mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa untuk memerintah Irak pada 1920. Sebuah monarki
Hashemite diorganisir di bawah perlindungan Inggris pada 1921 dan pada 3 Oktober
1932, kerajaan Irak didirikan dan diberikan kemerdekaan. Pemerintah Irak
mempertahankan hubungan ekonomi dan militer yang erat dengan Inggris, yang
menyebabkan beberapa pemberontakan anti-Inggris.

23
Pemberontakan pada 1941 menyebabkan intervensi militer Inggris dan pemerintah
Irak setuju untuk mendukung upaya perang Sekutu. Pada 1958, monarki digulingkan dan
selama dua dekade berikutnya Irak diperintah oleh serangkaian pemerintah militer dan
sipil.

8) Kemerdekaan Kuwait

Sejarah peradaban Kuwait bisa ditelusuri sejak zaman Mesopotamia kuno pada
Abad ke-3. Hal ini diperkuat dengan temuan bukti artefak dari pada masa itu. Kuwait
sendiri pada abad pertengahan bukan merupakan wilayah yang cukup diperhitungkan,
negara ini sempat jatuh ke tangan Kesulatanan Usmani pada Abad ke-19. Namun, konflik
internal di tubuh Kesultanan Usmani menyebabkan Inggris mulai memperkuat
pengaruhnya di Kuwait. Pada 1897 Kuwait resmi menjadi Protektorat Inggris. Penemuan
minyak bumi pada 1930 menyebabkan perubahan drastis pada Kuwait, tingkat
kesejahteraan rakyat pun bertambah akibat penemuan minyak tersebut. Inggris pun
akhirnya melepaskan wilayah Kuwait pada 19 Juni 1961. Namun, Inggris masih tetap
menempatkan militernya di Kuwait untuk membantu mengamankan negeri kecil tersebut.

9) Kemerdekaan Iran

Sejarah negara Iran dan juga negara-negara tetangganya yang mempunyai


persamaan dalam kebudayaan dan bahasa. Ketika itu, negara-negara ini diperintah oleh
kekaisaran-kekaisaran seperti Media dan Akhemenid. Sassania adalah kekaisaran Persia
terakhir sebelum kedatangan Islam. Kemudian Persia bergabung menjadi sebagian
khilafah Islam awal. Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras
Indo-European. Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan
India dimulai pada 2.500 Sebelum Masehi (SM). Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai
600 tahun SM di mana saat itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan
Medes di Timur Laut Iran. Pada tahun 550 SM, Cyrus the Great berhasil merebut 2
kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521
SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM,
Alexander the Great berhasil menaklukan Dinasti Achaemenid.

Di masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) berhasil menjalin hubungan


dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220
SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian. Setelah peperangan selama
4 abad, seiring memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh
Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam. Dari abad 7
hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turki dan Mongolia saling
berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad ke 16
khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan
dan pembuatan karpet.

24
Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim
Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara Suku Qajar
berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan
Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah. Pada tahun 1921, terjadi kudeta militer yang
dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan
mengangkat dirinya sebagai Raja Iran. Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza
Shah naik tahta hingga terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam
Khomeini pada 1979.

Berbagai peristiwa menonjol sejak itu adalah pendudukan Kedubes Amerika


Serikat, 1979-1981, Invasi Irak terhadap Iran pada 1980 yang menimbulkan perang
selama 8 tahun (1980-1988) dan sanksi ekonomi (energi) Amerika sejak 1996.

10) Kemerdekaan Bahrain

Bahrain telah ditempati oleh manusia sejak zaman pra-sejarah. Lokasinya yang
strategis di Teluk Persia telah berpengaruh bagi orang-orang Assyria, Babilonia, Yunani,
Persia, dan terakhir Arab (penduduknya kemudian menjadi Muslim). Bahrain pada zaman
silam dikenal sebagai Dilmun, Tylos (nama Yunaninya), Awal, menjadi Mishmahig
sewaktu di bawah pemerintahan Kekaisaran Persia.Pulau-pulau di Bahrain yang terletak
di tengah-tengah sebelah selatan Teluk Persia berhasil menarik penjajah sepanjang
sejarah. Bahrain dalam bahasa Arab berarti "Dua Laut". Hal ini merujuk pada fakta yang
pulau ini mempunyai dua sumber air berbeda, air tawar yang muncul dari dalam tanah
dan air asin yang mengelilinginya. Sebagai sebuah pulau yang strategis yang berada di
antara timur dan barat, tanah yang subur, dan air tawar berlimpah, dan tempat penyelam
mencari mutiara telah menjadikan Bahrain pusat permukiman. Selama 2300 tahun,
Bahrain menjadi pusat perdagangan dunia di antara Mesopotamia (sekarang Irak) dan
Lembah Indus (sekarang sebuah wilayah di India). Adalah peradaban Dilmun yang
mempunyai kaitan erat dengan Peradaban Sumeria pada abad ke-3 SM. Bahrain menjadi
bagian dari Babilonia lebih kurang pada tahun 600 SM. Catatan-catatan sejarah
menunjukkan Bahrain dikenal melalui berbagai julukan yang di antaranya "Mutiara Teluk
Persia".

Bahrain hingga tahun 1521 terdiri dari daerah Ahsa (yang lebih besar), Qatif
(keduanya kini menjadi provinsi timur Arab Saudi), serta Awal (kini pulau Bahrain).
Daerah Bahrain terbentang hingga (kini) Kuwait hingga Oman dan dinamakan Provinsi
Bahrain (atau Iqlim Al-Bahrain). Namun pada 1521, kedatangan Portugis telah
memisahkan Awal (kini Bahrain) dengan daerah lainnya dan hingga kini Bahrain dikenal
sebagai wilayah yang dikenal sekarang. Dari abad ke-16 Masehi hingga tahun 1743,
pemerintahan Bahrain sentiasa berubah-ubah di antara Portugis dan Persia. Akhirnya,
Sultan Persia, Nader Shah menguasai Bahrain dan atas alasan politik mendukung
mayoritas Syi'ah. Pada lewat abad ke-18 Masehi Keluarga Al-Khalifah mengambil alih
pulau ini. Untuk menjaga agar pulau ini tidak jatuh kembali ke tangan Persia, mereka

25
menjalin persahabatan dengan Britania Raya dan menjadi negeri di bawah naungan
Britania.

Minyak ditemukan pada tahun 1931 dan sejak itu Bahrain dibangun dan
mengalami modernisasi pesat. Hal ini juga menjadikan hubungan dengan Britania Raya
lebih baik dan dibuktikan dengan makin banyaknya pangkalan-pangkalan Inggris yang
pindah ke pulau tersebut. Pengaruh menguat seiring dengan makin berkembangnya negara
ini, puncaknya saat Charles Belgrave dilantik menjadi penasihat. Belgrave kemudian
mengukuhkan sistem pendidikan modern sebagai bagian pendidikan di Bahrain.

Setelah Perang Dunia II, sentimen anti-Inggris menguat di wilayah-wilayah


Arab dan mengakibatkan terjadinya kerusuhan di Bahrain. Pada tahun 1960-an, pihak
Inggris menyerahkan masa depan Bahrain pada arbitrase internasional dan meminta agar
PBB mengambil alih tanggung jawab. Pada tahun 1970, Iran terus menerus menuntut
haknya terhadap Bahrain dan pulau-pulau lain di Teluk Persia, namun salah satu
perjanjian dengan pihak Britania Raya, mereka kemudian setuju untuk tidak meneruskan
tuntutannya terhadap Bahrain jika tuntutan (Iran) lainnya dikabulkan.

Britania Raya mundur dari Bahrain pada bulan Agustus 1971, menjadikan Bahrain
sebagai sebuah negara 'merdeka'. Peningkatan harga minyak pada tahun 1980an sangat
menguntungkan Bahrain, namun harga minyak yang turun drastis malah tidak terlalu
mengguncang perekonomian walaupun terasa sulit. Hal ini mengakibatkan sektor
ekonomi dipaksa berkembang dan bervariasi.

11) Kemerdekaan Qatar

Daerah yang sekarang disebut Qatar sudah ditempati penduduk kira-kira 1.000
tahun yang lalu, tetapi pemerintahan yang kuat baru ada pada akhir tahun 1700-an, ketika
Wahabi, sebuah sekte Islam dari Arab Saudi, menguasai Qatar.Pada permulaan tahun
1800-an, para sheik dari keluarga zal-Thani memimpin suku-suku Qatar, tetapi kemudian
Ottoman Turki meluaskan kekuasaannya sampai ke Qatar. Selanjutnya, sejak tahun 1916,
Qatar menjadi daerah protektorat Inggris; kedaulatan Qatar diakui, tetapi urusan luar
negeri tetap dipegang oleh Inggris.Baru pada tahun 1971 Qatar menjadi negara merdeka
sepenuhnya di bawah Emir Ahmad bin Ali al-Thani, dan menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun berikutnya, Khalifa bin Hamad al-Thani
menggulingkan Ahmad dan menggantikan saudara sepupunya itu sebagai emir.

Sejarah Qatar terbentang dari durasi pertama pendudukan manusia hingga


pembentukannya sebagai negara modern. Pendudukan manusia di Qatar sudah ada sejak
50.000 tahun yang lalu dan perkemahan serta peralatan Zaman Batu telah ditemukan di
semenanjung. Mesopotamia adalah peradaban pertama yang hadir di daerah tersebut
selama periode Neolitik, dibuktikan dengan penemuan pecahan tembikar yang berasal
dari periode Ubaid di dekat perkemahan pantai. Semenanjung jatuh di bawah domain dari

26
beberapa kerajaan yang berbeda selama tahun-tahun awal pemukiman, termasuk
Seleukia, Parthia dan Sasania. Pada 628 M, penduduknya masuk Islam setelah
Muhammad mengirim utusan ke Munzir ibn Sawa yang merupakan gubernur Sasanid di
Arabia Timur. Ini menjadi pusat perdagangan mutiara pada abad ke-8. Era Abbasiyah
melihat munculnya beberapa pemukiman. Setelah Bani Utbah dan suku-suku Arab
lainnya menaklukkan Bahrain pada tahun 1783, Al Khalifa memberlakukan otoritas
mereka atas Bahrain dan daratan Qatar. Selama berabad-abad, Qatar adalah tempat
pertikaian antara Wahhabi Najd dan Al Khalifa. Ottoman memperluas kerajaan mereka ke
Arabia Timur pada tahun 1871, menarik diri dari daerah tersebut pada tahun 1915 setelah
dimulainya Perang Dunia I.
Pada tahun 1916, Qatar menjadi protektorat Inggris dan Abdullah Al Thani
menandatangani perjanjian yang menetapkan bahwa ia hanya bisa menyerahkan wilayah
kepada Inggris dengan imbalan perlindungan dari semua agresi melalui laut dan dukungan
jika terjadi serangan darat. Sebuah perjanjian tahun 1934 memberikan perlindungan yang
lebih luas. Pada tahun 1935, konsesi minyak selama 75 tahun diberikan kepada
QatarEnergy dan minyak berkualitas tinggi ditemukan pada tahun 1940 di Dukhan.
Selama tahun 1950-an dan 1960-an, peningkatan pendapatan minyak membawa
kemakmuran, imigrasi yang cepat, kemajuan sosial yang substansial, dan awal dari
sejarah modern negara itu. Setelah Inggris mengumumkan kebijakan untuk mengakhiri
hubungan perjanjian dengan sheikdom Teluk Persia pada tahun 1968, Qatar bergabung
dengan delapan negara lainnya yang saat itu berada di bawah perlindungan Inggris dalam
sebuah rencana untuk membentuk federasi emirat Arab. Pada pertengahan tahun 1971,
ketika tanggal pemutusan hubungan perjanjian Inggris semakin dekat, kesembilan orang
itu masih belum menyepakati syarat-syarat serikat pekerja. Dengan demikian, Qatar
mendeklarasikan kemerdekaannya pada tanggal 3 September 1971. Pada bulan Juni 1995,
wakil emir Hamad bin Khalifa menjadi emir baru setelah ayahnya Khalifa bin
Hamaddalam kudeta tak berdarah. Emir mengizinkan pers yang lebih liberal dan
pemilihan kota sebagai pendahuluan pemilihan parlemen. Sebuah konstitusi baru disetujui
melalui referendum publik pada April 2003 dan mulai berlaku pada Juni 2005.

12) Kemerdekaan Oman

Oman meraih kemerdekaannya dari Inggris. Oman ialah sebuah negara di pesisir
Semenanjung Arab yang memiliki sejarah kuno. Setelah meninggalnya Rasulullah, kaum
muslimin menaklukkan Oman dan rakyat kawasan ini pun memeluk Islam. Sekitar seabad
kemudian, kelompok Islam Khawarij yang bernama Abadhiah merebut kekuasaan di
Oman dan mendirikan pemerintahan. Sejak 1508, Oman jatuh ke tangan bangsa Eropa,
yaitu Portugis. Abad ke-17, pasukan Iran dan Inggris mengusir Portugis dari Oman dan
Dinasti Imami Yarubi pun berkuasa di sana dan berada di bawah pengaruh Inggris. Sejak
1901, kelompok Abadhiah melakukan pemberontakan melawan imperialisme Inggris,
tetapi dinasti yang berkuasa di Oman bersama Inggris menaklukkan pemberontakan itu
pada 1922. Pada 1952, Oman dan Inggris menandatangani perjanjian yang memberikan
kemerdekaan penuh kepada Oman.

27
13) Terbentuknya Uni Emirat Arab

Pada tanggal 2 Desember 1971, sebuah negara Teluk berdiri dengan nama Uni
Emirat Arab (UEA). Sejarah berdirinya UEA dimulai dari persatuan 7 emirat yang kaya
raya akan sumber daya minyak bumi. Mulanya, pada tahun 1971, sebanyak enam negara
bagian ini bergabung menjadi Uni Emirat Arab; Abu Dhabi, Ajman, Fujairah, Umm Al
Quwain, Sharjah dan Dubai. Lalu pada 10 Februari 1972, Ras Al Khaimah ikut bergabung
dan melengkapi kekuatan seluruh negara bagian di Uni Emirat Arab.

Negara Teluk ini memang memiliki sejarah dan budaya yang kaya seperti yang
ditunjukkan banyak penelitian berdasarkan dokumen dan artefak kuno yang ditemukan.
Sudah banyak ekspedisi eksplorasi nasional dan asing di UEA sejak tahun 1958 sampai
sekarang yang menjelaskan peradaban masyarakatnya sejak akhir tahun Millenium ke-4
SM. Oleh karena itu, konflik perebutan kendali atas India dan kawasan Teluk pecah di
antara kekuatan Eropa (Portugis, Perancis dan Inggris) sejak abad ke-16. Semua negara
Eropa itu bertujuan mengendalikan perdagangan maritim yang bentrok dengan
perlawanan kekuatan kawasan itu sendiri baik secara regional mau pun lokal demi
mempertahankan tanah air mereka dari kolonialisasi. Portugis adalah pihak pertama yang
membawa malapetaka atas Teluk Arab, dipimpin oleh komandan mereka seperti Vasco da
Gama dan Albuquerque serta banyak orang lainnya yang melakukan pembantaian keji
terhadap orang Arab dan Muslim serta menghancurkan Muscat juga Khor Fakkan.

Kekuatan mereka mulai melemah setelah orang-orang dikawasan itu melawan dan
Portugis bersaing ketat dengan Belanda, Inggris juga Perancis yang menguasai laut di
wilayah Timur. Ekspansi East India Company yang didirikan pada 1617 membuat Inggris
berhasil mengusir Portugis dari wilayah itu pada 1625 dan menyingkirkan mereka sama
sekali dari persaingan antar negara Eropa itu pada 1766. Ada 2 kekuatan Arab yang
muncul di kawasan Teluk pada awal abad ke-19. Pertama, kekuatan dari Suku Bani Yas
yang menguasai bagian bawah Teluk Arab (kota Abu Dhabi dan Dubai) dan kedua,
kekuatan Suku Al Qawasim dengan ibu kota mereka di Ras Al Khaimah. Meski begitu,
Inggris tetap mengendalikan wilayah Teluk dengan 3 landasan kebijakan yang tidak
realistis; perang melawan bajak laut, perang melawan perdagangan budak dan perang
melawan perdagangan. Rupanya hal itu hanyalah menjadi sebuah pembenaran dan
dijadikan kedok oleh Inggris untuk memperluas aktivitas kolonialnya. Berbagai cara
dilakukan Inggris dalam mengontrol wilayah Teluk sampai pada 1820 dan disepakati
perjanjian dengan para Syekh di Oman Coast yang memberikan eksistensi bagi dasar
hukum wilayah Teluk. Perjanjian itu akhirnya dicabut pada 1 Desember 1971 dan
esoknya, 2 Desember 1971, Uni Emirat terbentuk.

14) Kemerdekaan Yaman

28
Yaman adalah sebuah negara di ujung barat daya Semenanjung Arab dan sebagian
besar orang Yaman adalah Muslim Arab. Republik Yaman berada di utara Semenanjung
Arab, negara ini mendapat keuntungan dari posisi geografisnya yang istimewa di atas
sekitar 2.500 kilometer garis pantai, 61 serta berbatasan dengan Laut Arab di sebelah
selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab
Saudi di sebelah Utara.

Yaman berasal dari kata yamin, yang berarti “sisi sebelah kanan”, sebagaimana
selatan yang berada pada bagian kanan ketika matahari terbit. Definisi lainnya
mengatakan Yaman berasal dari kata yumn, yang berarti “kebahagiaan (felicity)”, sebagai
salah satu wilayah yang subur. Sejak tahun 1000 sebelum Masehi, penduduk Yaman
mengalami periode panjang kemajuan dan kemakmuran karena kegiatan perdagangan
sepanjang rute perdagangan purbakala. Orang Yunani dan Roma menyebut peradaban
kuno ini sebagai “Arabia Felix”. Selama berabad-abad, banyak peradaban Yaman yang
muncul, dimana kerajaan yang paling berpengaruh dan legendaris adalah kerajaan Saba,
Awsan dan Himhyar.

Pada abad ke-7 M, suku-suku Yaman memeluk Islam dan memainkan peran utama
dalam penaklukan muslim di Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Pada tahun 1538,
kekaisaran Turki Utsmani berhasil merebut Aden dan Yaman, dan antara 1547 dan 1548
Sana’a dan Tihama juga berhasil direbut kembali dari Portugis, sampai akhirnya dinasti
Ustmani berhasil dikalahkan pada tahun 1630 oleh Inggris.

Proses dimana Yaman dibagi menjadi dua negara dimulai dengan penyitaan
Inggris di Aden pada tahun 1839 dan pendudukan kembali dari Yaman Utara oleh
kekaisaran Turki pada tahun 1849. Ketika Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, Aden
menjadi pelabuhan pengisian bahan bakar utama. Kekaisaran Turki Utsmani kemudian
mencoba untuk merebut kembali Yaman dari tangan Inggris pada tahun 1849, namun
upaya mereka mengalami kegagalan. Dinasti Utsmani kembali berhasil menguasasi
Yaman pada tahun 1872 dan mengambil alih bagian utara negara itu.

Pada tahun 1918, Kekaisaran Turki Ustman mundur dan Yaman utara memperoleh
kemerdekaan penuh di bawah kepemimpinan Imam Yahya. Antara tahun 1918 dan tahun
1962, Yaman diperintah oleh keluarga Hamidaddin. Imam Yahya dibunuh dalam
pemberontakan yang terjadi tahun 1947-1948. Namun, putranya Imam Ahmad bin Yahya,
berhasil mengalahkan para penentang pemerintahan feodal dan menggantikan ayahnya.
Imam Ahmad meninggal pada tahun 1962. Ia digantikan oleh putranya, namun perwira
militer berusaha untuk merebut kekuasaan, memicu terjadinya perang saudara di Yaman
Utara.

Pada tanggal 30 November 1967, negara Yaman Selatan dibentuk, terdiri dari
wilayah Aden dan bekas Protektorat Arabia Selatan. Yaman Selatan merupakan negara
sosialis kemudian secara resmi dikenal sebagai Republik Demokrasi Rakyat Yaman.
Hubungan antara kedua negara Yaman relatif ramah, meskipun kadangkadang terjadi

29
ketegangan. Pada tahun 1972 , konflik perbatasan kecil berhasil diselesaikan dengan
gencatan senjata dan negosiasi yang ditengahi oleh Liga Arab, di mana dalam gencatan
senjata tersebut menyatakan bahwa penyatuan akhirnya akan terjadi.

Pada tahun 1990, kedua pemerintah mencapai kesepakatan penuh unifikasi kedua
Yaman, dan kedua negara tersebut bergabung pada tanggal 22 Mei 1990, Ali Abdullah
Saleh diangkat sebagai Presiden. Dan Presiden Yaman Selatan, Ali Salim al- Beidh,
menjadi Wakil Presiden. Sebuah parlemen terpadu dibentuk dan konstitusi persatuan
disepakati. Ali Abdullah Saleh terus menjabat presiden sampai ia digulingkan melalui
revolusi Yaman tahun 2011.

15) Otoritas Nasional Palestina

Palestina adalah sebuah negara di Timur Tengah antara Laut Tengah dan Sungai
Yordan. Status politiknya masih dalam perdebatan akibat berlangsungnya Konflik Israel-
Palestina yang tak kunjung usai terkait perebutan wilayah. Sebagian besar negara di dunia
termasuk negara-negara anggota OKI, Liga Arab, Gerakan Non-Blok, dan ASEAN telah
mengakui keberadaan Negara Palestina. Wilayah Palestina saat ini terbagi menjadi dua
entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan Israel dan Otoritas Nasional Palestina.
Deklarasi Kemerdekaan Palestina dinyatakan pada 15 November 1988 di Aljir, Aljazair
oleh Dewan Nasional (PNC) Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dalam Sidang Luar
Biasa. PLO didirikan pada 1964, setelah didahului oleh langkah awal Alm. Yasser Arafat
untuk menyatukan semua organisasi perlawanan Palestina di bawah satu wadah, Al Fatah,
pada 1950-an.

Pada tanggal 28 Oktober 1974, Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab


diselenggarakan di Rabat menunjuk PLO sebagai "satu-satunya wakil sah dari bangsa
Palestina dan menegaskan kembali hak mereka untuk mendirikan sebuah negara merdeka
yang mendesak." Dasar pembenaran secara hukum untuk deklarasi ini adalah berdasarkan
Resolusi 181 (II) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 29 November 1947,
yang menetapkan pengakhiran dan pembagian Mandat Britania menjadi dua negara. Pada
bulan Februari 1989, di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, perwakilan PLO
mengeklaim pengakuan oleh 94 negara. Sebagai bagian dari upaya untuk menyelesaikan
konflik Israel-Palestina sedang berlangsung, Kesepakatan Oslo ditandatangani antara
Israel dan PLO pada bulan September 1993 membentuk Otoritas Nasional Palestina
(PNA) sebagai sebuah pemerintahan sementara yang mandiri di wilayah Palestina.

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah kawasan ini tidak
bisa dielakkan pengaruh dari bangsa Barat. Berawal dari kedatangan Napoleon Bonaparte
pada 1798 ke Mesir yang dipandang sebagai permulaan ekspansi Barat ke Timur Tengah
dan tercatat sebagai salah satu jejak hitam sepanjang sejarah kawasan ini. Kondisi tersebut
disebabkan pecahnya negara-negara kawasan ini akibat campur tangan Barat. Padahal
awalnya merupakan satu kesatuan dari otoritas Kesultanan Utsmani. Seuntaian peristiwa
global sepanjang awal abad ke-20 telah mengubah peta kawasan ini. Bersamaan dengan
melemahnya eksistensi Kesultanan Utsmani dan menguatkan presensi Barat terutama
Inggris dan Prancis di beberapa wilayah ini seperti diLebanon, Palestina, dan Suriah
semakin silau sejak pertengahan abad ke-19. Sehingga, kehadiran negara-negara baru di
Timur Tengah tidak dapat dilepaskan dari campur tangan bangsa Barat. Sehingga, saat ini
Timur Tengah dikenal sebagai Kawasan geopolitik yang tidak lepas dari cara pandang
eurosentris. Istilah ini merujuk pada berdirinya negara-negara seperti Bahrain, Mesir,
Turki, Iran, Irak, Palestina, Yordania, Kuwait, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Suriah,
Uni Emirat Arab, Yaman, dan Palestina.

3.2 Saran

Pemakalah meyakini, penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
pemakalah mengharapkan kritik maupun saran guna kesempurnaan di masa datang.
Dengan demikian, pemakalah mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini ada
kekhilafan atau kekurangan. Atas perhatian, saran dan kritik tersebut sekali lagi diucapkan
terima kasih.

31
DAFTAR PUSTAKA

Wibowo, Prihandono. 2010. Fenomena Neorevivalisme Islam, dalam Jurnal Global &
Strategis Tahun 4, Nomor 2, Juli-Desember 2010, Surabaya: Airlangga
University Press. Diakses pada 01 November 2022.

Hanifan, Hasya. 2021. Blokade Qatar oleh Empat Negara Semenanjung Arab Diakses
pada 01 November 2022, dari
https://jurnal.uai.ac.id/index.php/JAISS/article/download/515/pdf

Lukman, Muhammad, Awaluddin Nasution, and Nurhasanah Bakhtiar. "Revolusi Islam


terhadap Kondisi Sosial Masyarakat Arab." JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban
Islam) 3.1 (2019): 25-32.

32

Anda mungkin juga menyukai