Anda di halaman 1dari 38

HISTORIOGRAFI KAWASAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kebudayaan dan Peradaban Timur Tengah dan Islam

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis. MA
Dr. Hendra Kurniawan, Lc., M.Si

Disusun oleh Kelompok II:


Cindi Riyanika Hidayah (1606968601)
Dahnila Dahlan (1606968614)
Elif Pardiansyah (1606968620)

PROGRAM STUDI KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL
UNIVERSITAS INDONESIA
2017

0
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ii
ABSTRAK ................................................................................................................ iii
1. Pendahuluan ......................................................................................................... 1
2. Kawasan Timur Tengah ....................................................................................... 2
3. Kebudayaan dan Peradaban ................................................................................ 3
4. Historiografi Timur Tengah ................................................................................. 6
5. Historiografi Pra Islam ....................................................................................... 15
6. Sumber-sumber Sejarah ..................................................................................... 20
7. Periodisasi Sejarah Peradaban Islam .................................................................. 25
8. Penutup............................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 32

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Negara-negara anggota Liga Arab (Arab League) ......................... 3
Gambar 1.2 Sampul Kitab Wafayat al-A‟yan wa Anba‟ Abna‟ al-Zaman ................ 9
Gambar. 1.3 Kitab Tarikh At-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk .................. 10
Gambar. 1.4 Sampul buku Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-A‟lam ........ 14
Gambar 1.5 Bendungan Sadd Ma‟rib ...................................................................... 21
Gambar 1.6 Prasasti Sadd Ma‟rib Kaum Saba ......................................................... 21
Gambar 1.7. Baitulllah di kota Makkah ................................................................... 23
Gambar 1.8 Manuskrip Imam Ghozali .................................................................... 24

ii
Abstrak
Historiografi adalah kajian mengenai metode sejarawan dalam pengembangan
sejarah sebagai disiplin akademis, secara luas merupakan setiap karya sejarah
mengenai topik tertentu. Historiografi tidak akan terlepas dari sebuah perjalanan
panjang suatu kawasan termasuk Kawasan Timur Tengah. Dalam kajian
historiografi akan mengkaji hal-hal yang meliputi definisi peradaban,
kebudayaan, sumber-sumber sejarah, manuskrip, dan periodisasi yang berkaitan
erat dengan Kawasan Timur Tengah. Tujuan dari penyusunan makalah ini
adalah untuk mengetahui historiografi Kawasan Timur Tengah dari aspek
peradaban, kebudayaan, sumber-sumber sejarah, manuskrip, dan periodisasi
yang berkaitan erat dengan Kawasan Timur Tengah termasuk pengelompokkan
metode serta mengetahui tujuan historiografi. Hasil pembahasan dari makalah
ini adalah mempelajari sejarah itu sangat penting. Sejarah yang berdasarkan
pada ketauhidan bermanfaat bagi kita untuk memahami petunjuk-petunjuk yang
terdapat pada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.Mempelajari sejarah dapat membantu
umat dan para pemimpinnya untuk mengetahui strategi yang paling efektif
untuk menggapai kemuliaan dan kekokohan dengan mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkan keterbelakangan dan kejatuhannya.

Kata Kunci: Historiografi, Timur Tengah, Peradaban.

iii
1. Pendahuluan
Sejarah merupakan pandangan terhadap kejadian masa lampau. Banyak hasil
karya sejarawan yang menguraikan sejarah dari sudut pandangnya. Penulisan sejarah
atau yang biasa dikenal dengan historiografi merupakan pencarian sumber-sumber
sejarah yang kemudian dituangkan ke dalam rangkaian tulisan yang merekonstruksi
kejadian masa lampau. Mempelajari sejarah tidak akan pernah ada habisnya dan
sejarah terus berlangsung. Masa lalu berganti dengan masa kini, masa kini akan
berganti dengan masa yang baru serta setiap masa terdapat perubahan dan
pertumbuhan yang memiliki ciri khas masing-masing di masanya. Salah satu kawasan
yang menarik untuk dikaji dari sisi historiografi adalah kawasan Timur Tengah.
Kawasan Timur Tengah merupakan peradaban kuno tertua di dunia dan telah
mapan. Di kawasan Timur Tengah ini pula lahir peradaban besar seperti peradaban
Mesopotamia yang terdiri atas kerajaan-kerajaan di antaranya kerajaan Sumeria,
kerajaan Akkadia, kerajaan Babylonia Lama, kerajaan Assyiria, dan kerajaan
Babylonia Baru. Peradaban Timur Tengah ini memiliki sejarah panjang sejak zaman
pra-Islam sampai Islam masuk ke wilayah tersebut. Peradaban pra-Islam turut
mewarnai dan menjadi kerangka peradaban Islam.
Hingga saat ini banyak ilmuan yang membuat tuliasn terkait perkembangan
sejarah kawasan Timur Tengah. Sebut saja Philip K. Hitti (1970) ilmuan yang
menulis History of the Arabs, Franz A. Rosenthal (1968) yang menulis A History of
Muslim Historiography, Ira M. Lapidus (2000) dengan karyanya A History of Islamic
Societies dan masih banyak lagi buku-buku yang menuliskan sejarah Timur Tengah.
Dari berbagai tulisan tersebut dan sumber-sumber lainnya disusunlan makalah ini
dalam rangka menguraikan dan mendalami historiografi Timur Tengah dan Islam
berdasarkan sudut pandang sumber-sumber sejarah yang diperoleh. Untuk
memberikan pemahaman yang sistematis, pembahasan akan dimulai dari
pendefinisian kawasan Timur Tengah, kebudayaan dan peradaban, historiografi
Timur Tengah, historiografi pra-Islam, sumber-sumber sejarah, periodisasi sejarah
peradaban Islam. Pada akhir makalah akan disimpulkan pentingnya penulisan sejarah
Islam bagi peradaban Islam.

1
2. Kawasan Timur Tengah
Istilah Timur Tengah menurut para ahli geografi dan sejarawan Eropa Barat
di bagi menjadi 3 kawasan, yaitu timur dekat (near east), timur tengah (middle east),
dan timur jauh (far east). Definisi Timur dekat (near east) meliputi wilayah yang
dekat dengan eropa, membentang dari laut Mediterania ke Teluk Persia; Timur jauh
(far east), yaitu daerah-daerah yang menghadap samudera pasifik; dan timur tengah
(middle east) terletak dari teluk persia ke asia tenggara melintangi rute perairan dari
selatan Ukraina ke Mediterania, melalui Laut Hitam, Bosporus, Laut Marmara,
Dardanella, dan Laut Aegea.1
Perubahan penggunaan istilah Timur Tengah mulai berkembang sebelum
Perang Dunia II dan bahkan berlangsung selama perang itu terjadi, istilah Timur
Tengah diberikan kepada komando militer Inggris di Mesir. Pada pertengahan abad
ke-20 definisi dari Timur Tengah mencakup beberapa negara dan wilayah, termasuk
di dalamnya: Turki, Siprus, Suriah, Lebanon, Irak, Iran, Israel, west bank, Jalur Gaza,
Yordania, Mesir, Sudan, Libya, dan berbagai negara dan wilayah Arab (Arab Saudi,
Kuwait, Yaman, Oman, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab). Setelah itu ditambah
tiga negara dari wilayah Afrika Utara, seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko yang
memiliki hubungan erat dengan kebijakan luar negeri di negara-negara Arab. Selain
itu, dikarenakan faktor geografis, ada menambahkan bahwa Afghanistan dan Pakistan
termasuk pada bagian dari Timur Tengah.2
Namun demikian, definisi dan batasan wilayah Timur Tengah pada makalah
ini didefinisikan sebagai 22 negara anggota Liga Arab (Arab League) beserta Turkey
dan Iran. Definisi dan batasan ini penting, karena Israel tidak termasuk di dalamnya.
Negara anggota liga arab ditambah Turkey dan Iran memiliki kesamaan bahasa,
agama mayoritas dan budaya yang di ilhami dari nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu,
kawasan Timur Tengah yang dimaksud dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1
Arthur Goldschmidt at al. History of Middle East. 9th Edition (Philadelphia: Westview Press, 2010).
hlm. 7-10.
2
https://www.britannica.com/place/Middle-East diakses pada tanggal 1 Oktober 2017 pukul 12.05
WIB.

2
Gambar 1.1 Peta Negara-negara anggota Liga Arab (Arab League)3

3. Kebudayaan dan Peradaban


Kata kebudayaan dan peradaban merupakan dua kata dengan pengertian yang
senantiasa menjadi pembicaraan para ahli. Semakin maju dan berkembangnya cara
pikir manusia, maka akan memandang arti kebudayaan dan peradaban dalam sudut
pandang berbeda. Secara umum budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa
sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang diartikan
sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia, kebudayaan dapat
diartikan sebagai hal- hal yang bersangkutan dengan budi dan akal, ada juga yang
berpendapat sebagai suatu perkembangan dari majemuk budi dan daya yang artinya
daya dari budi atau kekuatan dari akal.4
Suparlan melihat kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia yang
secara bersama dimiliki oleh warga dari sebuah masyarakat, atau dengan kata lain,
kebudayaan dipandang sebagai sebuah pedoman menyeluruh bagi kehidupan sebuah
masyarakat dan warganya.5 Definisi Suparlan dipengaruhi oleh Malinowski (1994)

3
Sumber peta dari https://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/169841-sumanto-al-qurtuby-euforia-
pro-arab-di-indonesia, diakses tanggal 2 Oktober 2017 pukul 13.15 WIB.
4
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1993). hlm. 9.
5
Parsudi Suparlan. Hubungan Antar-Sukubangsa. (Jakarta: YPKIK-KIK UI Press, 2004). hlm. 4.

3
yang melihat kebudayaan sebagai kebutuhan manusia dan pemenuhannya melalui
fungsi dan pola-pola kebudayaan; Kluckholn (1994) yang melihat kebudayaan
sebagai blueprint bagi kehidupan manusia, dan Greetz (1973) melihat kebudayaan
sebagai sistem-sistem makna.6 Dalam perspektif ini kebudayaan dipandang sebagai
suatu sistem yang terdiri atas konsep, teori, dan metode yang diyakini kebenarannya
oleh warga masyarakat yang menjadi pemiliknya.7
Selo Soemardjan dan Soeleman Soemardi menyatakan kebudayaan sebagai
semua hasil karsa, rasa dan cipta masyarakat, sehingga menghasilkan teknologi dan
kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan
untuk keperluan masyarakat.8
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
adalah sebagai seperangkat (system) pengetahuan (knowledge) yang diyakini (faith)
kebenarannya (truth) untuk melahirkan suatu tindakan (action). Hasil akhir dari
sebuah tindakan (action) yang dinamakan kebudayaan (culture), yang kemudian
membentuk sebuah peradaban (civilization) sebagai bentuk manifestasi-manifestasi
kemajuan dan teknologi, yang direfleksikan dalam bentuk politik, ekonomi, dan
teknologi dan bukti fisik lainnya. Oleh sebab itu, biasanya peradaban bersifat fisik
sedangkan kebudayaan bersifat kognitif.
Dari segi wujudnya, unsur kebudayaan dapat direfleksikan dalam tiga wujud,
yaitu:
1) Wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu ide-ide kompleks,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya;
2) Wujud kekuatan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas kompleks
kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat; dan

6
Bassam Tibi., dkk. Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
hlm. 5.
7
Parsudi Suparlan. Op, cit. hlm. 4.
8
Jacobus Ranjabar. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. (Bogor: Ghalia Indonesia,
2006). hlm. 21.

4
3) Wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Sedangkan istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-
unsur dari kebudayaan yang halus dan indah.9
Sedangkan dari segi jenisnya, kebudayaan dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu:
1) Kebudayaan material, adalah kebudayaan yang dapat diraba, dilihat secara
konkret/nyata atau yang bersifat kebendaan. Contohnya meja, buku, gedung,
pakaian dan sebagainya.
2) Kebudayaan imaterial/rohaniah/spiritual, adalah kebudayaan yang tidak dapat
dilihat dan diraba tetapi dapat dirasakan dan dinikmati contohnya religi,
kesenian, ideologi, filsafat dan sebagainya.
Mengenai peradaban, terjadi perdebatan para ahli dalam hal membedakan
antara kata kebudayaan (culture) dengan kata peradaban. Malinowsky berpendapat
bahwa kata civilization sebagai aspek khusus dari kebudayaan yang lebih maju dan
lebih menekankan pada aspek rasional dan moral pada arti kata kebudayaan dan
aspek sosial, politik dan institusional pada kata peradaban.10 Koentjaraningrat
berpendapat, peradaban sering juga dipergunakan untuk menyebut suatu kebudayaan
yang memiliki sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan
ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Dengan demikian, kebudayaan menurut
definisi pertama adalah wujud ideal, sedangkan menurut definisi terakhir, kebudayaan
mencakup juga peradaban, tetapi tidak sebaliknya.
Menurut Effat al-Sharqawi, peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab
al-Hadharah al-Islamiyyah. Terminologi dari bahasa Arab ini sering kali
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kebudayaan Islam. Masih banyak
orang yang menyamakan arti kedua kata kebudayaan dan peradaban, kata kebudayaan
dengan al-tsaqafah (bahasa Arab), culture (bahasa Inggris), dan kata peradaban
dengan al-hadharah (bahasa Arab), dan civilazation (bahasa Inggris).11 Dalam
perkembangan ilmu antropologi kedua istilah tersebut terdapat perbedaan arti yaitu,
9
Koentjaraningrat, Op, cit. hlm. 5.
10
Sutrisno, Mudji. Filsafat kebudayaan: ikhtiar sebuah teks. (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008). Hlm. 8.
11
Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2005). hlm. 1.

5
kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat
dan banyak direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, religi (agama) dan moral.
Sedangkan peradaban merupakan manifestasi-manifestasi kemajuan dan teknologi
yang direfleksikan dalam bentuk politik, ekonomi, dan teknologi.12
Kebudayaan dan peradaban Islam sebagaimana dijelaskan oleh Effat al-
Sharqawi, kebudayaan dalam bahasa Arab adalah al-tsaqafahal-Islamiyyah, yaitu
suatu sistem atau seperangkat pengetahuan yang diyakini kebenarannya sebagai
bentuk intrepretasi wahyu Allah SWT melalui Rasul Muhammad SAW untuk
melahirkan suatu tindakan dalam suatu masyarakat tertentu. Sedangkan peradaban
Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-Hadharah al-Islamiyyah adalah bentuk
manifestasi-manifestasi kemajuan kebudayaan Islam dalam berbagai bentuk, biasanya
berbentuk fisik. Peradaban dalam berbentuk fisik ini yang kemudian dijadikan salah
satu sumber-sumber sejarah Islam di timur tengah.

4. Historiografi Timur Tengah


Historiografi atau historiography (dalam bahasa Inggris) merupakan
gabungan dari dua kata yaitu history yang berarti sejarah dan graph yang berarti
deskripsi, gambaran atau penulisan.13 Selanjutnya, dari kedua akar kata tersebutlah
historiografi diartikan sebagai penulisan sejarah. Historiografi dapat pula diartikan
paparan penulisan sejarah yaitu cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa
lampau berdasarkan data yang telah diperoleh yang didahului dengan penelitian.14
Historiografi dalam ilmu sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan
penelitian sejarah karena di dalamnya menyangkut pencarian sumber-sumber sejarah
yang krusial. Dalam metodologi sejarah, historiografi merupakan bagian terakhir,
akan tetapi langkah terberat karena bidang ini untuk membuktikan legitimasi dirinya
sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah.15 Sumber-sumber sejarah tersebut yang nantinya

12
Ibid. hlm. 1.
13
Badri Yatim. Historiografi Islam. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997). hlm. 1.
14
Hugiono & Poerwantana, P. K. Pengantar Ilmu Sejarah. (Jakarta: Bina Aksara, 1992). hlm. 25.
15
W. Poespoprodjo. Subjektivitas Dalam Historiografi: Suatu Analisis Kritis Validitas Metode
Subjektivo-Objektif Dalam Ilmu Sejarah. (Bandung: Remadja Karya, 1987). hlm. 1.

6
akan ditulis. Menurut Franz Rosenthal dalam pengantar bukunya, A History of
Muslim Historiography bahwa historiografi adalah:
“Writing about the writing of history by any particular group or in any
particular period means only one thing: to show the development which the
concept of history underwent of in the thinking and in the scholarly approach
of the historians of that particular group or period, and to describe the origin,
growth, or the decline of the form of literary expression which were used for
the presentation of historical material.”16
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan, historiografi secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai writing about the writing of history (penelitian tentang
penulisan sejarah) atau penggamabaran suatu peristiwa sejarah secara objektif di
masa lampau.
Jika sejarah dalam definisi “modern” mengharuskan adanya dokumen tertulis
sebagai bukti rekaman atau peristiwa masa lalu, maka peradaban Islam adalah
peradaban tua yang cukup banyak meninggalkan bukti otentik yang didukung oleh
majunya sistem perekaman dan penulisan dibandingkan dengan peraban tua lainnya.
Dalam tradisi Muslim, kata yang kelak populer digunakan untuk menyebut
ilmu atau literatur tentang masa lalu adalah tarikh. Menurut as-Sakhawi kata tarikh
secara etimologis berarti al-i‟lam bi al-waqt (informasi tentang waktu).17 Perkiraan
Rosenthal kata tarikh yang secara perlahan-lahan baru mulai digunakan pada masa
sesudah Nabi Muhammad wafat, baru mencapai makna “sejarah” kira-kira pada abad
ketiga Hijriyah.18
Ketika mendefinisikan tarikh (sejarah), Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
sejarah adalah ilmu yang objeknya materiilnya (fii zahirihi) adalah tentang masa lalu,
tentang peradaban, kemajuan, dan dan kemunduan peradaban. Sedangkan menurut
formilnya (fii bathinihii) adalah ilmu yang mencoba menelaan secara mendalam
struktur dan pola-pola peristiwa sosial (ta‟liil wa tahqiq li al-ka‟inat… wa „ilm bi
kaifiyaat al-waqa‟i).19

16
Franz Rosenthal. A History of Muslim Historiography. (Leiden: E. J. Brill, 1968). hlm. 3.
17
Mahmud al-Khuwayri. Manhaj al-Baḥts fi at-Tarikh. (Kairo: al-Maktab al-Misri, 2001). hlm. 8.
18
Franz Rosenthal, Op, cit. hlm. 14.
19
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, Franz Rosenthal (penerjemah)
(Princeton: Princeton University Press, 1989), hlm. 2-3.

7
“…hakikat sejarah adalah informasi tentang masyarakat, tentang peradaban
manusia, dan faktor-faktor kebiadaban dan keberadaban; tentang hegemoni
golongan satu atas golongan lain; tentang kerajaan dan wilayah; tentang
pekerjaan manusia; dan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi mereka.”20

Oleh sebab itu, sejarah seharusnya berfungsi untuk memahami manusia.


Namun, segera setelah mendefinisikan sejarah dan fungsi luhurnya itu, Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa sejarah tidak akan selamanya dapat menjalankan fungsi tersebut
karena sejumlah faktor yang membuat sejarawan menyimpang dari kebenaran,
misalnya 1) sikap yang tidak kritis; 2) asumsi yang salah dan tidak berdasar; 3)
kepercayaan yang membabi buta terhadap tradisi; 4) bias partisanship terhadap
mazhab.21 Kesalahan atau kekurangan-kekurangan inilah yang kadang membuat
sejarah tidak berfungsi seperti yang dicita-citakan sehingga sejarah seakan hanya
untuk kepentingan si pengarang baik disengaja maupun tidak disengaja.
Dengan alasan-alasan itulah, maka tujuan penulisan sejarah dapat berbeda-
beda sesuai dengan kepentingan penulisnya. Bila merujuk kepada literatur
historiografi Islam, tujuan penulisan sejarah sesungguhnya dapat dilihat dari tema-
tema yang diangkat dalam literatur tarikh. Sebab, menurut peneliti, tema-tema itu
secara tidak langsung membawa pesan para sejarawan yang menuliskannya. Menurut
Fred Donner, ada empat tema utama dalam literatur tarikh Islam awal: prophecy
(kenabian atau nubuwwah), community (umat atau ummah), hegemony (dominasi dan
kekuasaan), dan leadership (kepemimpinan).22
Timur Tengah dan Islam sebagai salah satu peradaban yang memiliki sejarah
panjang juga memiliki ciri khas tersendiri dalam penulisan sejarahnya. Banyak buku
terkenal dari penulis dan ilmuwan Islam yang berusaha membedah sejarah dan
penulisan peradaban Islam. Salah satu contoh karya yang terkenal adalah karya Ibn
Khallikan berjudul Wafayat al-A‟yan. Buku ini berisi tentang manuskrip-manuskrip

20
Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, Terjemahan Franz Rosenthal.
(Princeton: Princeton University Press, 1989), hlm. 38.
21
Ibn Khaldun. Op. cit. hlm. vi.
22
Fred M. Donner. Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic Historical Writing.
(Princeton, NJ: The Darwin PressInc, 1998). Hlm. 147-202.

8
yang menjadi salah satu sumber penting bagi berbagai ilmuwan untuk menulis
sejarah peradaban Islam.23

Gambar 1.2 Sampul Kitab Wafayat al-A‟yan wa Anba‟ Abna‟ al-Zaman24


Selain Ibn Khallikan penulis sejarah Timur Tengah dan Islam baik dari
kalangan Muslim dan Orientalis juga banyak seperti Jurji Zaidan yang menulis
Tarikh Tamaddun al-Islami, Bernard Lewis dan P.M. Holt yang menulis “Historians
of The Middle East”, Nizar Ahmed Faruqi yang menulis “Early Muslim
Historiography”, dan Franz Rosenthal yang menulis “A History of Muslim
Historiography”. Banyaknya karya-karya tentang Historiografi Timur Tengah dan
Islam tersebut memberikan berbagai perbedaan-perbedaan dalam penulisannya.
Faruqi menjelaskan bahwa dalam menulis sejarah Timur Tengah dan Islam harus
memperhatikan 3 langkah, yaitu:
a) Peneliti harus teliti terhadap para perawi yang menceritakan sejarah-sejarah
saat itu.
b) Peneliti harus membedakan cerita sejarah yang didukung fakta dan tidak.
c) Peneliti harus memperhatikan latar belakan perawi baik dari agama, madzhab,
situasi politik, atau fanatisme terhadap bangsanya.25
Ketiga langkah tersebut yang menentukan isi karya Faruqi yang berisikan
sumber sejarah bangsa Arab, nasab, filologi, literatur, al Quran, Hadits, dan kitab
Sirah.26 Dengan demikian, menurut Faruqi, menulis sejarah Timur Tengah dan Islam

23
H.A. Muin Umar, Historiografi Islam, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), hlm. 1.
24
Gambar diunduh dari www.muslimheritage.com pada tanggal 03 Oktober 2017 pukul 13.25.
25
Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, (India: Idarah-I adabiyat-I Delhi, 2009), hlm.17.
26
Ibid. hlm. 17.

9
sama dengan penulisan Hadits. Hal ini diperkuat dengan keharusan memperhatikan
perawi sejarah dan penyeleksian sumber yang ketat.
Penulisan sejarah Islam pun memiliki perbedaan-perbedaan antara penulisnya.
Rosenthal dalam bukunya menguraikan bahwa ada 3 pola umum penulisan sejarah
Islam di abad ke-10. Ketiga pola umum tersebut ditarik dari karya-karya ilmuwan
Sejarah Islam saat itu yaitu al-Ya‟qubi dengan judul Tarikh al-Ya‟qubi, Muhammad
ibn Jarir al-Thabari dengan judul Tarikh al-Umam wa al-Muluk, dan al-Mas‟udi
dengan judul Muruj al-Zahab wa Ma‟adin al-Jauhar.27 Pendapat Rosenthal ini tidak
terlepas dari bahan pokok bacaannya yang terfokus ke 3 sejarawan Islam tersebut
walaupun dalam penyusunan bukunya menggunakan berbagai sumber.
Al-Ya‟qubi dalam karyanya membagi penulisan sejarah Islam dalam beberapa
periode yaitu sejarah purbakala semenjak Nabi Adam hingga masa Islam dan masa
Islam hingga kekhalifahan al-Mu‟tamid. Di periodesisasi kedua, al-Ya‟qubi lebih
cenderung menulis tentang kebudayaan Islam dan lebih fokus terhadap sejarah Islam
versi Syi‟ah. Hal ini dikarenakan al-Ya‟qubi adalah seorang penganut Syi‟ah.28

Gambar. 1.3 Kitab Tarikh At-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk29

Al-Thabari menulis sejarah Islam dalam bukunya Tarikh al-Umam wa al-


Muluk berfokus menguraikan sejarah dari masa ke masa dengan panjang lebar. Al-
Thabari pun mengikuti model kitab Sirah dalam penulisannya. Kronologis di dalam
bukunya disajikan secara teratur dalam bentuk khabar dengan menunjukkan sumber-

27
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography, (Leiden: E. J. Brill, 1968), hlm 8.
28
Ibid. hlm 11.
29
Gambar diunduh dari www.muslimheritage.com pada tanggal 03 Oktober 2017 pukul 13.45.

10
sumber perawi. Jika ada perbedaan dalam khabar, al-Thabari pun tetap
memasukkannya.30
Kitab terakhir adalah karya al-Mas‟udi yang berjudul Muruj al-Zahab wa
Ma‟adin al-Jauhar. Al-Mas‟udi dalam bukunya menulis lebih jauh dari penciptaan
dan keadaan bumi hingga kisah para Nabi. Penulisan sejarah Islam ditekankan pada
unsur-unsur kebudayaan dan digabung dengan sejarah bangsa-bangsa lain yang
diketahui oleh umat Islam saat itu.31
Dari ketiga bentuk umum penulisan sejarah Islam yang dijabarkan Rosenthal
tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiganya memiliki periodisasi masing-masing.
Secara umum, ketiga penulis menekankan pada penulisan kebudayaan-kebudayaan
Islam di masanya. Penulisan sejarah di abad ke-10 tersebut pun menjadi referensi
penulisan periodisasi-periodisasi sejarah Islam di zaman modern sekarang.

Bentuk-bentuk Dasar Historiografi Islam


Bentuk dasar historiografi dalam sejarah Islam dapat dikelompokkan menjadi
beberapa metode, yaitu: khabar, bentuk analitik, historiografi dinasti, thabaqat dan
nasab. Berikut penjelasan masing-masing metode tersebut.
1) Khabar
Bentuk penulisan sejarah Timur Tengah dan Islam yang paling tua adalah
khabar. Di dalam khabar umumnya tertulis mengenai peristiwa-peristiwa penting
seperti perang di zaman tersebut. Hal ini sesuai dengan arti khabar yaitu laporan,
kejadian, atau cerita. Karakteristik khabar sendiri adalah terdiri dari beberapa
halaman dan memiliki garis sanad.32
Ciri-ciri khabar dalam buku “Histografi Islam” karya Muin Umar terdiri dari
tiga hal, yaitu:
a. Di dalam khabar tidak ada peristiwa sebab akibat. Khabar pada umumnya
menceritakan hanya satu kejadian. Setiap khabar dianggap sudah sempurna
dalam peneritaannya tanpa dukungan referensi yang lain.
30
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography, hlm 12.
31
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography, hlm 13.
32
H.A. Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 9.

11
b. Khabar sudah ada sejak Islam belum muncul sehingga akar sebuah peristiwa
dinilai sudah kuat. Peristiwa di dalam khabar dihadirkan dalam cerita pendek
atau dialog sehingga para penulis sejarah tidak kesulitan untuk meringkas
sebuah peristiwa.
c. Bentuk khabar juga lebih banyak dalam bentuk gambar yang menceritakan
perperangan. Khabar pun juga hadir dalam bentuk puisi.33
2) Bentuk Analistik
Historigrafi Islam dalam bentuk analistik adalah bentuk penulisan sejarah
yang memperhatikan kronologis setiap peristiwa yang terjadi. Di dalam penulisan
tersebut dituliskan secara rinci setiap tahun kejadian. Penyajian dalam bentuk ini
berkembang ketika masa al-Thabari. Meskipun, menurut imuwan Muslim sudah
banyak kitab yang menuliskan sejarah Islam dalam bentuk kronologis tahun ke tahun.
Salah satu contohnya adalah kitab sejarah dari Ya‟qub ibn Sufyan yang ditulis
menurut urutan tahun yang ditambah dengan kutipan-kutipan lain.34
Bentuk analistik atau penulisan sejarah kronologis ini digemari para penulis
sejarah Islam. Hal ini dipicu oleh sistem tahun Hijriah yang memudahkan penguraian
penulisan sejarah. Karya-karya penulisan sejarah yang terkenal dengan bentuk
analistik adalah karya al-Thabari dengan judul Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Ibn
Hajar dengan judul al-Durar al-Kaminah fi A‟yan al-Miati al-Saminah, dan Ibn al-
Fuwathi dengan judul al-Ghushunu al-Yani‟ah fi Mahasini Syua‟arai al-Miati al-
Sabi‟ah.35
Tarikh al-Thabari ditulis berdasarkan mashadir (sumber pertama) yang
diperolehi melalui proses lisan dan dokumen. Al-Thabari mencatatkan dengan jelas
dalam “kata pengantar” bahwa beliau mencatatkan semua riwayat dilaporkan
kepadanya dan menyerahkan kepada pembaca untuk menilai kebenarannya.36
Terdapat dua komponen historiografi yang signifikan dalam Tarikh al-Tabari.

33
H.A. Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 29-30.
34
Franz Rosenthal. Op.cit. hlm 71.
35
Ibid. hlm 73
36
Azmul Fahimi Kamaruzaman. Al-Tabari, Thabit Ibn Sinan dan Teori Masadir dalam Historiografi
Miskawayh. (International Journal of West Asian Studies 8.1, 2017). hlm. 8.

12
Pertama adalah rangkaian isnad menjelaskan daripada mana beliau mendapatkan
mashadir tersebut. Kedua adalah mashadir yang terbentuk hasil laporan dibawa para
rawi. Lantaran itu terbentuklah hubungan antara rawi dengan mashadir dalam
struktur historiografi al-Thabari. Beliau menggunakan maklumat diambil melalui
teknik isnad dengan mencatatkan semua para rawi meriwayatkan sesuatu peristiwa.
3) Historiografi Dinasti
Dalam sejarah peradaban Timur Tengah dan Islam tidak terlepas dari
kehadiran dinasti atau kekuasaan. Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Mamluk hingga
Utsmani memberikan kontribusi tersendiri ke dalam sejarah Islam. Hal ini pun yang
menjadi bentuk dasar penulisan sejarah Islam dan juga dalam peradaban dunia lain.
Karakteristik bentuk penulisan sejarah ini adalah menceritakan kekuasaan
khalifah-khalifah saat itu. Ditambah dengan keadaan politik dan pertukaran penguasa
dari masa ke masa. Seringkali juga karakteristik fisik, daftar anak, istri hingga
pegawai ditulis dengan uraian yang mendalam.37
Karya-karya penulisan sejarah dengan bentuk ini seperti al-Qudla‟i yang
berjudul „Uyun al-Ma‟arif. Di dalam kitabnya al-Qudla-I menuliskan secara rinci
sistem administratif dan kondisi khalifaah saat itu. Selain itu, buku karya al-Baladzuri
dengan judul Ansab al-Asyraf juga berisi tentang cara-cara memenangkan kekuasaan
setiap khalifah. Karya yang lebih tua pun ditulis oleh Imam al-Suyuti yang berjudul
Tarikh al-Khulafa‟.38
4) Thabaqat
Thabaqah memiliki arti lapisan yang dalam bidang ilmu sejarah bisa diartikan
sebagai transisi masyarakat dari satu lapisan ke lapisan lain. Istilah lainnya adalah
pergantian generasi. Ahli-ahli leksikografi memiliki perbedaan penetapan ukuran
thabaqah ini. Beberapa ahli membagi menjadi 40 tahun dan yang lain mengatakan 10
tahun.39 Pembagian thabaqat ini murni berasal dari Islam. Pembagian ini terjadi atas
konsekuensi adanya orang-orang di sekitar nabi Muhammad yang disebut sahabat dan
thabi‟in yang dihubungan dengan kritik isnad di dalam ilmu Hadits. Hal yang
37
H.A. Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 44.
38
Ibid. hlm. 45.
39
Ibid. hlm. 49.

13
terpenting dalam thabaqat adalah untuk memperoleh sebuah gambaran dan informasi
dari sesuatu yang ingin dicari.
Penulisan sejarah dengan pembagian thabaqat contohnya adalah kitab karya
al-Dzahabi dengan judul Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-A‟lam. Selain itu
ada juga karya dari Ibn Juljul yang berjudul Thabaqt al-Atibba‟ yang berisikan
tentang biografi dokter dan sejarah ilmu pengetahuan. Abu Ishaq al-Syirazi juga
menulis tentang pembagian thabaqat dalam kitabnya yang berjudul Thabaqat al-
Fuqaha‟.40

Gambar. 1.4 Sampul buku Tarikh al-Islam wa Thabaqati Masyahir al-A‟lam41

5) Nasab
Di dalam peradaban Timur Tengah dan Islam garis keturunan atau nasab
adalah hal penting. Keadaan ini menjadi salah satu bentuk penulisan sejarah Timur
Tengah dan Islam. Al-Baladzuri dalam bukunya yang berjudul Kitab al-Ansab
menuliskan sejarah garis keturunan bangsa Timur Tengah berdasarkan khabar dan
historiografi dinasti. Dari kedua sumber tersebut dia menyusun sejarah kabilah-
kabilah dan keluarga di saat itu.
Orang-orang Arab sejak zaman dahulu adalah suku yang sudah terbiasa
menyusun daftar garis keturunan. Mereka bahkan mewajibkan anak-anaknya untuk
mengingat daftar tersebut. Hal ini menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan khusus

40
H.A. Muin Umar. Op. cit., hlm. 50-51.
41
Gambar diunduh dari www.muslimheritage.com pada tanggal 03 Oktober 2017 pukul 13.15 WIB.

14
dan umumnya dikaitkan dengan syair-syair. Faruqi pun mengatakan bahwa nasab
adalah salah satu sumber historiografi penting Islam.42
Kitab-kitab seperti Musyajjar karya al-Muhanna dan Kitab al-Far‟u wa al-
Syajar karya Hasan Muhammad ibn al-Qasim al-Tamimi pun menyajikan tabel dan
silsilah nasab bangsa-bangsa Arab saat itu. Tajuddin ibn Muhammad dalam kitab
Ghayat al-Ikhtishar fi Akhbari al-Buyutati al-„Alwawiyah memiliki dua macam
penyajian yaitu dalam bentuk pohon dan datar. Nasab atau garis keturunan memang
menjadi hal penting, karena keluarga menjadi kebanggan masyarakat Arab.43

5. Historiografi Pra Islam


Bangsa Arab sebelum Islam dikenal sebagai bangsa Arab Jahiliyah. Sebagian
orang mengartikan bahwa Jahiliyyah berarti bodoh dan tidak peduli. Jahiliyyah
bukanlah berarti bahwa bangsa Arab bodoh, tidak terpelajar, belum berperadaban,
dan tidak mengenal aksara, yang menyebabkan kita berkesimpulan bahwa tidak ada
seorang pun dari penduduk Jazirah Arab yang mampu membaca dan menulis, karena
beberapa sahabat Nabi diketahui sudah mampu membaca dan menulis sebelum
mereka masuk Islam. Baca tulis di jazirah Arab ketika itu masih belum menjadi
tradisi, tidak dinilai sebagai sesuatu yang penting, tidak pula menjadi ukuran
kepandaian dan kecendikiaan.44
Beberapa bukti lain bahwa tidak semua Jazirah Arab tidak mampu membaca
dan menulis adalah bangsa Arab bagian Utara yang telah dikenal sebagai orang-orang
yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengubah syair, dan syair-syair
diperlombakan dan yang unggul diantaranya ditulis untuk digantung di Ka‟bah.
Melalui tradisi ini, peristiwa-peristiwa besar dan penting secara faktual ikut memberi
pengaruh pada sejarah bangsa Arab, yang diabadikan dalam sebuah kisah, dongeng,
nasab, nyanyian, syair, dan sebagainya. Adapun Sayyid Quthb menjelaskan
pengertian Jahiliyyah sebagai suatu keadaan ketidakadaan petunjuk dari Tuhan.45
Philip K. Hitti menyangkalnya dan mengartikan bahwa Jahiliyyah adalah fase dimana
42
H.A. Muin Umar, Historiografi Islam, hlm. 54.
43
Ibid. hlm. 53-54.
44
Badri Yatim, Historiografi Islam. Op.cit. hlm. 27.
45
Sayyid Quthb, Milestones (Birmingham, Maktabah Booksellers And Publishers: 2006) hlm. 27.

15
bangsa Arab tanpa Nabi, tanpa Kitab suci yang dijadikan pegangan hidup bagi bangsa
Arab.46
Menurut Badri Yatim, orang Arab sebelum Islam belum menulis sejarah. Oleh
sebab itu, peristiwa-peristiwa sejarah yang penting mereka simpan dalam ingatan
mereka, karena kemampuan mengingat lebih terhormat, bukan karena buta aksara.
Semua peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulang-ulang. Tidak terkecuali
negeri-negeri yang lebih maju seperti Yaman, Kerajaan Hirrah, Kerajaan Ghassan,
juga tidak mewariskan tulisan-tulisan mereka.47
Sejarah Arab sebelum Islam yang paling dapat dipercaya adalah peninggalan-
peninggalan arkeologis yang masih dapat ditemukan di Yaman, Hadramaut, sebelah
Utara Hijaz dan sebelah Selatan Syria. Namun untuk mengetahui secara mendalam
sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab ada masa Jahiliyah,
perhatian diarahkan kepada tradisi lisan, yang telah mengenal tradisi menyerupai
bentuk sejarah lisan itu yang disebut dengan al- Ayyam yaitu hari-hari penting, dan
al-ansab yang artinya silsilah.
1) Ayyam al- „Arab
Ayyam al-„Arab berasal dari bahasa Arab yang berarti perang-perang antar
kabilah-kabilah Arab. Di kalangan masyarakat Arab pra Islam (Jahiliyah) sering
terjadi konflik antar kabilah karena perselisihan dalam mencapai kepemimpinan,
perebutan sumber-sumber air dan padang rumput untuk pengembalaan ternak.
Konflik itu seringkali menyebabkan peperangan yang menumpahkan darah. Hari-hari

46
Philip K. Hitti, History of the Arabs (London, Macmillan Education LTD: 1970) hlm. 97.
47
Kerajaan Yaman terletak di ibu kota Yaman (kota Shan‟a), pertama yang memegang adalah
Qahthan bin „Aabar dan dilanjut oleh keturunnannya sampai kepada raja yang ke-28. Kemudian
berpindah kepada raja Tubba‟ Al-Awwal bin Arqam sampai 20 turunan. Setelah jatunya kerajaan
Yaman oleh Aryath, pemuka tentara Najassyy di negeri Habsyy. Pada saat itulah kerajaan Yaman
dijadikan satu dengan kerajaan Habsyy. Kemudian diambil oleh kerajaan Persia hingga akhirnya
direbut kembali oleh Islam oleh kekhilafahan Abu Bakar Ash Shidiq, r.a.. Kerajaan Hirrah pertama
kali dipimpin oleh Malik bin Fahm bin Ghanam diteruskan oleh „Amr bin Fahm bin Ghanam kerajaan
diwariskan turun temurun sampai 26 turunan dan orang yang terakhir memegang kerajaan adalah
Mundzir bin Nu‟man, kerajaan ini berada di bawah kerajaan Persia, hingga pada akhirnya direbut oleh
Islam pada masa kehilafahan Abu Bakar Ash Shidiq r.a.. Kerajaan Ghassan pertama kali dipimpin
oleh Jafnah bin „Amr bin Tsa‟labah, keturunan Qahthan pula, yang dilanjutkan secara turun temurun
sampai 32 turunan sampaii masa raja Jabalah bin Al- Aiham. Kerajaan Ghassaniyah dari awal sampai
masa penghabisan dibawah kekuasaan Roma, sampai kerajaan Roma dikalahkan oleh pemerintahan
Islam pada masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab r.a..

16
peperangan itu dikenal dengan Ayyam al „Arab (secara etimologis berarti hari-hari
penting bangsa Arab). Disebut “hari-hari penting bangsa Arab” karena peperangan itu
berlangsung di siang hari, ketika malam tiba, peperangan dihentikan sampai fajar
menyingsing.48
Peristiwa-peristiwa penting antar kabilah-kabilah Arab kemudian diabadikan
dalam banyak gubahan syair atau kisah yang diselang-selingi dengan syair, yang
dimaksudkan untuk tujuan membangga-banggakan kabilah-kabilah lainnya, dan
mewariskan secara turun temurun secara lisan. Pada awal Islam syair-syair dan prosa
itu dhimpun secara tertulis pada abad ke-2 Hijrah (ke-8 M). Diriwayatkan bahwa Abu
„Ubaydah telah menghimpun 1200 peristiwa perang di dalam buku sastra (kumpulan
syair) yang kemudian menjadi rujukan bagi yang daang sesudahnya. Buku ini tidak
ditemukan lagi, tetapi ditemukan pada penjelasan-penjelasan para kritikus sastera
atau sejarawan terhadap syair-syair yang terdapat di dalam buku itu, seperti pada
buku al-Kamil fi al Tarikh (Sejarah Yang Lengkap) karya Ibn Al Atsir dan pada buku
al-„Iqd al-Farid (Kalung Yang Unik) karya Ibn „Abd Rabbih.49
Secara lebih lengkap, perang-perang yang terkenal dalam legenda dan syair-
syair Arab pra Islam adalah :
a) Perang Al Basus terjadi sebelum Islam tepatnya di akhir abad kelima, antara
kabilah Baqr dan kabilah Taghlib selama 40 tahun bermula dari persoalan
seekor unta milik wanita tua bernama Basus dari kabilah Bakr, dan didamaikan
oleh al- Haris ibn „Amr al- Kindi. Kisah legenda peperangan ini diabadikan
dalam bentuk syair dengan judul al-Zayr Salim.
b) Perang Dahis dan al Ghabra. Peperangan ini terjadi antara kabilah „Abas dan
kabilah Zabyan, keduanya putra Baghidh ibn Rabats ibn Ghatfan, disebabkan
oleh taruhan antara Qays ibn Zayban dan Hamal ibn Badar tentang kecepatan
kuda jantan milik Qays ibn Zayban dengan unta betina milik Hamal ibn Badar.
Peperangan ini berlangsung selama empat puluh tahun.

48
Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm. 30.
49
Ibid. hlm. 30.

17
c) Yawm (Peperangan Fujjar, yaitu peperangan yang terjadi pada bulan-bulan
Haram (Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah, dan Muharram) antara kabilajh-kabilah di
Hijaz, terjadi beberapa kali dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Peperangan yang lebih kecil yaitu Yawm al Khazaz yaitu perang antar kabilah
Rabi‟ah dan Yaman, Yawm Thakhfah yaitu perang antara kabilah al Munzir ibn Ma‟
al Sama‟ dan kabilah Yarbu, Yawm Uwarah I yaitu perang antara kabilah Uwarah
dan kabilah Bakr, dan Yawm Uwarah II yaitu peperangan antara kabilah Uwarah dan
kabilah Tamim, Yawm Zhuhr al Dahna, Yawm Kulab, Yawm Hawzah, Yawm al
Liwa, dan lain-lain yang jumlahnya sangat banyak.
Kisah-kisah al- ayyam ini terus berlangsung sampai awal kebangkitan Islam.
Pada prinsipnya kisah al- ayyam lebih merupakan karya sastera daripada sejarah.
Kisah-kisah itu diriwayatkan terutama adalah untuk menghibur dan menimbulkan
rasa gembira bagi para pendengar, disamping untuk tujuan pewarisan nilai-nilai
tertentu. Namun hal itu tidak perlu menyebabkan kita mengingkari bahwa kisah-kisah
ini mengandung unsur-unsur sejarah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
besar dan penting di atas.50
Secara umum, ciri-ciri khas al- ayyam sebagai karya sastera yang
mengandung informasi sejarah, di antaranya :
a) Perhatian khususnya terletak pada kehidupan masyarakat kabilah. Kisah
peperangan diturunkan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselang selingi
dengan syair. Syair itu mempunyai peran pokok karena memberikan dinamika
dan pengaruh mendalam. Dalam perkembangan selanjutnya, syair-syair itu
justru menjadi sumber sejarah (nasab) dan rujukan bahasa Arab sebelum
Islam.
b) Penggubah syair-syair yang terdapat dalam kisah-kisah al- ayyam itu tidak
dikenal lagi, sehingga riwayat tau kisah kabilah yang diturunkan secara lisan
itu sudah menjadi milik bersama kabilah bersangkutan.
c) Kronologi peristiwa-peristiwa peperangan sangat ruwet, karena itu tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah karya sejarah.

50
Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm. 35.

18
d) Objektivitasnya diragukan karena ia digubah untuk tujuan memuliakan satu
kabilah, merendahkan kabilah lain, dan menurunkan nilai-nilai sosial tertentu
kepada pendengar. Dengan kata lain kisah al- ayyam digubah justru untuk
kepentingan fanatisme kabilah. Meskipun demikian, di dalamnya terdapat
kebenaran faktual dan historis.51
Penting diketahui pula bahwa tradisi al- ayyam masih tetap berlangsung pada
awal kebangkitan Islam dan banyak mempengaruhi langgam penulisan sejarah Islam
pada masa berikutnya, terutama aliran Irak.
2) Al- Ansab
Sejak zaman Jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan
memelihara, dan menganggap penting pengetahuan tentang nasab. Bangsa Arab
menghapal semua anggota keluarganya agar tetap murni, dan silsilah itu dibanggakan
terhadap kabilah-kabilah lain.
Nasab itu juga dikaitan dengan syair. Topik-topik utama syair-syair orang
Arab bahkan berkenaan dengan masalah nasab ini, dan dengan syair-syair itu pula
mereka membangga-banggakan nasab mereka masing-masing, yang berhubungan
dengan masa kejayaan dan kehormatan. Al-ansab (Ilmu genealogi/silsilah) dalam
Islam mempunyai kedudukan tersendiri dalam ilmu sejarah sebagai sumber
pengetahuan sebagaimana dalam QS. 49 ayat 13:
‫َّللِ أَ ْْقَا ُك ْن‬ َ ‫ٌَا أٌَُّهَا الٌَّاشُ إًَِّا خَ لَ ْقٌَا ُك ْن ِه ْي َذ َك ٍر َوأُ ًْثَى َو َج َع ْلٌَا ُك ْن ُشعُىبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع‬
َّ ََ ٌْ ِِ ‫ارفُىا إِ َّى أَ ْك َر َه ُُ ْن‬
َّ ‫إِ َّى‬
‫َّللَ َِلٍِ ٌن َخبٍِ ٌر‬
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Meskipun nabi Muhammad berusaha mencegah umatnya berbangga-bangga
dengan kabilah.52

51
Badri Yatim, Historiografi Islam, hlm. 37.
52
Sabda Nabi : “Tidak ada keutamaan antara orang Arab dan bukan Arab kecuali ketaqwaannya
kepada Allah”.

19
6. Sumber-sumber Sejarah
Mempelajari sejarah dapat menggunakan berbagai sumber. Sumber sejarah
tersebut dapat berupa sumber tertulis, sumber benda, dan sumber lisan. Sumber
tertulis dapat berupa dokumen perjanjian, piagam maupun karya-karya tulis di
berbagai bidang. Sumber benda dapat berupa bangunan bersejarah, nisan, senjata,
perhiasan maupun peralatan hidup. Sedangkan sumber lisan adalah keterangan
langsung dari pelaku sejarah.
Beberapa hal yang dapat dijadikan sumber sejarah kawasan timur tengah di
antaranya:
1) Prasasti Sadd Ma‟rib
Prasasti Sadd Ma‟rib dibangun oleh kaum Saba di Jazirah Arab bagian
selatan. Prasasti ini merupakan bendungan yang dipakai untuk menyimpan air dan
dimanfaatkan untuk risigasi.53 Prasasti ini dinamai Ma‟rib karena terletak di kota
Ma‟rib. Dari arah barat daya, bendungan ini berada di antara dua pegunungan, yaitu
pegunungan Ablaq dan lembah Adhania. Air yang mengalir dari gunung dan tempat
lainnya dikumpulkan di lembah dan dalam danau. Kaum Saba membangun
bendungan di antara dua gunung ini sekitar 800 SM. Dinding bendungan yang masih
ada memiliki ketinggian 150 hasta dan lebar 50 hasta. Sebagian telah runtuh, tetapi
sepertiga bagian masih berdiri tegak.
Sebagian besar dinding-dinding bendungan terdapat nama-nama para pendiri
juga yaitu Yatha‟amar Bayyin (Distinguished), Samah‟ali Yanuf (exalted), Kariba‟il
Watar Yuhan‟im (Great Beneficent) dan Dhamar‟ali Dhirrih (Glorious).54
Berdasarkan hasil penelitian, prasasti-prasasti ini menunjukan bahwa kontruksi
bendungan ada sejak dulu dan mencakup beberapa kerajaan di Yaman. Orang yang
pertama membangun adalah Yatha‟amar yang berkuasa pada abad ke 8 SM.
Bendungan ini memiliki sejumlah dinding bendungan yang memiliki sejumlah
besar saluran atas dan bawah yang bisa dibuka atau ditutup ketika dibutuhkan. Kedua
sisi itu ada dua besar pintu untuk membagi air melalui di kedua arah atau pintu

53
Nisar Ahmed Faruqi, Op.cit. hlm. 19.
54
Ibid. hlm. 19.

20
tersebut. Dari Sadd Ma‟rib ini, air dapat mengalir dan membasahi dua bukit, dan dari
sana lalu dibuat beberapa sungai, sehingga air itu dapat mengalir ke beberapa tempat.
Menurut riwayat sampai ke tujuh puluh buah padang. Dengan demikian tentu saja
segenap penduduk yang bertempat tinggal di sekelilingnya sangat makmur dan
sejahtera.

Gambar 1.5 Bendungan Sadd Ma‟rib55

Gambar 1.6 Prasasti Sadd Ma‟rib Kaum Saba56


Berdasarkan jejak-jejak negeri yang ditemukan dan prasasti Sadd Ma‟rib dan
kokohnya Sadd Ma‟rib dibuat, dapat dijadikan bukti kemajuan budaya dan
peradaban pada masa lalu. Namun karena sebagian besar penduduk

55
http://kisahmuslim.com/3181-sejarah-kerajaan-saba.html diakses pada 3 Oktober 2017 pada pukul
14.00 WIB.
56
http://www.bangsamusnah.com/peoplesaba.html diakses pada 3 Oktober 2017 pukul 14.05 WIB.

21
mendurhakai Allah SWT, dan merasa bahwa kemajuan merupakan hasil usaha
sendiri bukan karena pertolongan Allah SWT, maka bendungan yang mereka
bangun runtuh diterjang banjir Iram. Peristiwa ini tertulis pula di Al-Quran
surat Saba ayat 15-17 sebagai berikut:

ٌ‫ق َربِّ ُُ ْن َوا ْش ُُرُوا لَهُ بَ ْل ََةٌ طٍَِّبَت‬ ِ ‫ال ُكلُىا ِه ْي ِر ْز‬ ٍ ‫ٍي َو ِش َو‬ ٍ ‫َاى ِ َْي ٌَ ِو‬ ِ ‫لَقَ َْ َكاىَ لِ َسبَإ ٍ فًِ َه ْس ٌَُِ ِه ْن آٌَتٌ َجٌَّت‬
‫َو َربٌّ َغفُى ٌر فَأ َ ِْ َرضُىا فَأَرْ َس ْلٌَا َِلَ ٍْ ِه ْن َسٍ َْل ْال َع ِر ِم َوبَ ََّ ْلٌَاهُ ْن بِ َجٌَّتَ ٍْ ِه ْن َجٌَّتَ ٍْ ِي َذ َواْ ًَْ أُ ُك ٍل خَ ْو ٍط َوأَ ْث ٍل‬
‫ازي إِال ْال َُفُى َر‬
ِ ‫ٍل َذلِكَ َجسَ ٌٌَْاهُ ْن بِ َوا َكفَرُوا َوهَلْ ًُ َج‬
ٍ ِ‫َو َش ًْ ٍء ِه ْي ِس َْ ٍر قَل‬
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun
yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit
dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena
kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu),
melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.

2) Baitullah
Ka‟bah merupakan bangunan pertama yang diletakan bagi manusia
sebagaimana dalam QS. Ali-„Imran: 95 -96 yang dipergunakan sebagai tempat
ibadah kepada Allah SWT. Tidak ada yang mengetahui berapa umur Ka‟bah atau
baitullah ini, Bangunan suci Ka‟bah dibangun kembali pada masa Nabi Ibrahim A.S.
di Mekah, sebagaimana tercatat dalam kitabullah. Sebagian Riwayat menerangkan
bahwa Ka‟bah itu dijadikan 2000 tahun sebelum Adam dan yang mendirikannya itu
adalah Malaikat, hingga sampai sekarang menjadi bukti peradaban Islam.
Ka‟bah berbentuk bangunan kubus yang berukuran 12 x 10 x 15 meter.
Ka‟bah disebut juga dengan nama Baitullah atau Baitul Atiq (rumah tua) yang
dibangun dan dipugar pada masa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail setelah Nabi Ismail
berada di Mekkah atas perintah Allah. Di dalam Al-Qur‟an surat Ibrahim ayat 37
yang artinya “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian

22
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”.
Dari ayat tersebut dapat diketahui bawah Ka‟bah telah ada sewaktu Nabi Ibrahim as
menempatkan istrinya Hajar dan bayi Ismail di lokasi tersebut. Jadi Ka‟bah telah ada
sebelum Nabi Ibrahim menginjakkan kakinya di Makkah. Baitullah merupakan
rumah ibadah pertama manusia sekaligus sebagai bukti peradaban pertama manusia.

Gambar 1.7. Baitulllah di kota Makkah57


3) Manuskrip
Peradaban Islam merupakan peradaban yang kaya dengan karya tulis yang
melimpah. Banyaknya naskah dibidang agama, ilmu pengetahuan dan sastra dapat
dimanfaatkan para sejarawan untuk merekonstruksi kejadian masa lampau.
Peninggalan berupa karya tulis ini biasa kita kenal dengan sebutan manuskrip. Kamus
Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan manuskrip sebagai naskah, baik tulisan
tangan (dengan pena, pensil) maupun ketikan (bukan cetakan). Manuskrip dalam
bahasa Arab disebut al-makhthuth bentuk pluralnya al-makhthuthat. Secara etimologi
berarti naskah yang ditulis menggunakan tangan, tidak dengan suatu alat. Abdussattar
al-Haluji dalam karyanya “al-makhthuth al-araby mengatakan, manuskrip Arab
adalah naskah berbahasa Arab baik dalam bentuk lipatan-lipatan, kumpulan
lembaran, dalam bentuk buku atau lembaran terpisah-pisah. Dengan demikian,
definisi manuskrip menurut bahasa Arab tidak termasuk prasasti-prasasti tulis.

57
Gambar diunduh dari www.muslimheritage.com pada tanggal 03 Oktober 2017 pukul 14.25 WIB.

23
Berdasarkan definisi di atas, secara umum manuskrip dapat diartikan sebagai
naskah karya ulama masa silam yang masih berbentuk tulisan tangan dari
pengarangnya atau para penyalin naskah yang disampaikan kepada generasi
berikutnya hingga saat ini. Pada umumnya naskah-naskah berbahasa Arab ini ditulis
di atas kertas kulit (ar-raqq), kertas papirus dan kertas Cina.
Manuskrip tentang agama berisikan penjelasan tentang shalat, doa-doa,
intisari Alquran, dan asmaul husna yang sangat dikenal oleh Muslim. Pada masa
kekuasaan Dinasti Fatimiyah di Mesir, teknik cetak manuskrip di atas kertas
berkembang. Mereka mencetak manuskrip secara massal. Kemudian, manuskrip-
manuskrip hasil cetakan itu dibagikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sejumlah cetakan manuskrip itu ditemukan para arkeolog saat dilakukan
penggalian di Fustat atau Kairo lama. Menurut Roper yang dikutip laman
Muslimheritage, cetakan manuskrip tersebut diyakini berasal dari abad ke-10.
Cetakan manuskrip sejenis ditemukan juga di sejumlah tempat lainnya di Mesir. Rope
mengungkapkan, iklim kering di Mesir telah membantu menyelamatkan manuskrip
itu sehingga tak membuatnya menjadi rusak. Berikut merupakan contoh manuskrip
Imam Al-Ghozali.

Gambar 1.8 Manuskrip Imam Ghozali58

58
Gambar diunduh dari www.muslimheritage.com pada tanggal 03 Oktober 2017 pukul 13.15 WIB.

24
7. Periodisasi Sejarah Peradaban Islam
Periodisasi sejarah merupakan rangkaian sejarah yang dibagi ke dalam
interval waktu tertentu berdasarkan kriteria dan sudut pandang ahli sejarah. Dalam
menetapkan periodisasi sejarah, para ahli memberikan identifikasi khusus yang
berbeda. Identifikasi tersebut dapat berupa tingkat kemajuan peradaban (civilization),
tingkat kemajuan budaya (culture), berdasarkan berkembangnya suatu agama
(religion), pemerintahan, dan perkembangan ekonomi dan sosial politik.
Ahmad Al-Usairy dalam At-Tariks Al-Islamy, membagi periodisasi sejarah
Islam ke dalam delapan kelompok, yaitu: periode klasik (masa nabi Adam hingga
sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW), periode Rasulullah SAW (570 M - 632
M), periode khulafaur rasyidin ( 632 M – 661 M), periode pemerintahan bani
umayyah (661 M – 749 M), periode pemerintahan bani abbasiyah (749 M – 1258 M),
periode pemerintahan Mamluk (1250 M – 1517 M), periode pemerintahan Turki
Utsmani (1517 M – 1923 M), dan periode dunia Islam kontemporer.59
Harun Nasution dalam buku Islam Ditinjau Dari Berbagai AspeknyaJilid I
membagi sejarah peradaban Islam ke dalam tiga periode antara lain periode klasik,
periode pertengahan, dan periode modern. Dalam periode klasik dibagi ke dalam dua
masa yaitu masa kemajuan Islam dan masa disintegrasi. Sementara dalam periode
pertengahan, dibagi pula ke dalam dua masa yaitu masa kemunduran dan masa tiga
kerajaan besar. Terakhir, dalam periode modern yang disebut sebagai zaman
kebangkitan Islam.60 Tiga periode tersebut juga disebutkan oleh Badri Yatim dalam
bukunya Sejarah Peradaban Islam.61 Hampir sama dengan Harun Nasutiaon, Ira M.
Lapidus dalam bukunya History of Islamic Societies juga membagi sejarah peradaban
Islam ke dalam tiga periode. Periode pertama dimulai sejak turunnya Islam di Jazirah
Arab hingga kemajuan kegiatan keilmuan yang menandai gemilangnya peradaban
dan penyebaran Islam. Periode kedua yaitu penyebaran agama Islam yang telah

59
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, terj. H. Samson Rhman,
MA, hlm. 4-8.
60
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, (Jakarta: UI Press, Cetakan 1985),
hlm. 50-86.
61
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 6

25
menguasai separuh dunia yaitu di Asia Tengah, Asia Tenggara, Tiongkok, India,
Afrika, dan sebagian Eropa. Periode ketiga menyinggung kemunduran peradaban
Islam yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kemerosotan ekonomi,
konflik internal, dan dominasi ide-ide dari Eropa.62
Dari segi substansi, Ahmad al-Usairy memulai penyampaian sejarah Islam
sejak masa Nabi Adam, sementara Harun Nasution, Badri Yatim dan Ira. M Lapidus
memiliki kesamaan dalam menyampaikan sejarah peradaban Islam dalam satu corak
yang sama. Ketiganya memulai sejarah peradaban Islam ketika Nabi Muhammad
menerima wahyu untuk menyebarkan agama Islam sebagai agama rahmatan
lil‟alamin, berlanjut kepada masa-masa penyebaran agama Islam ke berbagai belahan
dunia dan prestasi-prestasi yang gemilang, hingga munculnya era kolonialisme Barat
yang berimbas kepada terbentuknya tatanan sistem dunia yang baru yaitu nation-state
atau negara bangsa. Pada makalah ini, periodisasi sejarah yang kami analisis lebih
lanjut adalah periodisasi sejarah yang berdasarkan uraian Harun Nasution, Badri
Yatim dan Ira. M Lapidus dengan pembagian sejarah ke dalam tiga periodisasi seperti
yang dikemukakan sebelumnya
Periode pertama adalah periode klasik (650 - 1250 M). Pada bagian pertama
periode klasik terdapat masa kemajuan yang seringkali disebut sebagai zaman
keemasan. Zaman tersebut bermula sejak pergantian masa dari kepemimpinan Nabi
Muhammad ke Khulafaur Rasyidin pada 632 M hingga periode pertama Khilafah
Bani Abbas hingga 1000 M.63 Hal yang patut ditelaah adalah baik Harun Nasution
maupun Badri Yatim sepakat memulai periode klasik ini sejak 650 M. Jika ditinjau
lebih lanjut, tahun tersebut berada pada pertengahan masa Khalifah Utsman bin Affan
menjabat (644-655 M). Sementara sejarah mencatat bahwa keadaan politik di era
Khalifah Utsman bin Affan cenderung terdapat pergolakan. Oleh karena sejarah
peradaban Islam dimulai sejak era Nabi Muhammad SAW, periode klasik dapat pula
dimulai sejak peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah pada 622 M.

62
Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufron A. Mas‟adi,dengan judul
Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua. Cet. II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 228.
63
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 35-49.

26
Periode klasik disebut sebagai masa kemajuan Islam karena pada periode ini
penyebaran Islam sangat masif. Penyebaran Islam telah dimulai sejak era Nabi
Muhammad SAW dan semakin meluas di era Khulafaur Rasyidin. Di masa Khalifah
Abu Bakar, ekspedisi penyebaran Islam telah dilakukan dan diteruskan oleh Khalifah
Umar bin Khattab ke wilayah Jazirah Arab lainnya, Syam, sebagian wilayah di Mesir,
dan sebagian wilayah di Persia.64 Bergantinya era Khulafaur Rasyidin ke Dinasti
Umawiyyah yang memerintah sejak tahun 41-133 H (661-750 M) menyebabkan
gelombang ekspansi dunia Islam semakin meluas, tercatat wilayah teritorial Dinasti
Umawiyyah terbentang dari Barat (Andalusia/Spanyol dan Maroko) hingga ke Timur
(Persia, Asia Tengah, sebagian India dan Tiongkok).65 Di masa Dinasti Abbasiyah
yang memerintah sejak 750-1258 M, tidak terlalu fokus kepada perluasan wilayah
seperti yang terjadi pada Dinasti Umawiyyah. Tetapi peradaban dan pencapaiannya
sangat mengagumkan yang ditandai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan.66
Perkembangan keilmuan terjadi sejak era Khulafaur Rasyidin, diantaranya
adalah ilmu nahwu yang dirintis oleh Ali bin Abi Thalib, ilmu tafsir Al-Qur‟an oleh
beberapa sahabat, yaitu: Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Ma‟ud dan Ubay bin
Ka‟ab. Untuk penyebaran ilmu pengetahuan di luar Jazirah Arab, dikirim pula para
sahabat yang mumpuni dari segi ilmu agama ke wilayah - wilayah seperti Syam dan
mesir. Di era Dinasti Umawiyyah, perluasan wilayah juga menjadikan adanya
asimilasi baik dari segi budaya maupun ilmu pengetahuan dengan masyarakat
setempat. Para ilmuwan setempat yang kemudian masuk Islam tetap memelihara ilmu
pengetahuan peninggalan terdahulu maupun peninggalan Yunani. Di era ini
penerjemahan buku-buku kimia dan kedokteran Yunani ke bahasa Arab terjadi secara
67
masif. Sementara di era Dinasti Abbasiyah, kemajuan khasanah keilmuan terdapat
di segala bidang yaitu seni, agama, bidang akal dan teknologi. Keilmuan yang telah

64
Amany Lubis, Hermawati, dan Nurhasan, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2005), hlm. 54.
65
Ibid, hlm.69.
66
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 1: “Bani Abbasiyah”, (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 6.
67
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2011, Cetakan ke-4), hlm. 30-31

27
berkembang di era Dinasti Umawiyyah semakin berkembang dan mencetak prestasi
di era Dinasti Abbasiyah. Di masa pemerintahan Harun ar-Rasyid, popularitas Dinasti
Abbasiyah mencapai puncak kemakmurannya. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kesusasteraan mencapai
puncaknya.68 Lembaga pendidikan terbesar sekaligus perpustakaan, Baitul Hikmah
didirikan dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Al-Ma‟mun. Di masa
Dinasti Abbasiyah pula muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Masawaih, Al-Khawarizmi, Al-Biruni, Al-Gazali, Umar Khayyam, dan
sebagainya. Walaupun sempat terjadi pergolakan politik namun perkembangan
pengetahuan sangat pesat. Pada era ini terjadi peristiwa besar, yaitu kutub khummatan
terbelah menhjadi tiga bagian yakni: Abbasiyah (750-1258 M), Umayyah Andalusia
atau Umayyah II (929-1031 M) dan Fathimiyah (909-1171 M).69
Masa disintegrasi peradaban Islam di periode klasik tercatat sejak 1000-1250
M dan telah dimulai sejak akhir zaman Dinasti Umawiyyah tetapi memuncak di era
Dinasti Abbasiyah. Kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan di era Dinasti
Abbasiyah tidak berimbang dengan keadaan politiknya. Peran Khalifah dan
pemerintahan kerap dipegang oleh kelompok-kelompok yang mengintervensi dan
terbagi dalam lima periode:
1. Periode pertama (133-232 H/750-847 M), disebut dengan periode pengaruh Persia
pertama. Periode ini dimulai ketika masa kepemimpinan sejak Abu Abbas as-
Saffah (133 H/750 M) hingga selesainya masa pemerintahan Al-Wasiq (232
H/847 M). Disebut periode pengaruh Persia pertama karena ketika
memperebutkan kekuasaan dari Dinasti Umayyah, as-Saffah berkoalisi dengan
para penentang Umayyah dari Kufah, para pecinta Ahlul Bait, dan penduduk
Khurasan di Persia.
2. Periode kedua (232-334 H/847-945 M) sebagai masa pengaruh Turki pertama,
yaitu dimulai ketika masa pemerintahan al-Mu‟tasim yang memercayakan kaum

68
Benson Bobrick, Kejayaan Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid, Kemajuan Peradaban Dunia Pada
Zaman Keemasan Islam, penerjemah Indi Aunullah, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013), hlm. 121
69
Philip K. Hitti, History of the Arab, Terjemahan Cecep Lukman Hakim, (Jakarta: Serambi, 2008),
hlm 229.

28
Turki untuk memegang kursi militer. Ketika itu terjadi kesenjangan dan
persaingan antara golongan Arab dan Persia. Al-Mu‟tasim menilai kaum Turki
dapat lebih dipercaya dan setia, sehingga mendatangkan budak-budak Turki
dalam jumlah yang banyak dan ditempatkan di kota bernama Sarra Man Ra‟a
(Samara). Namun, jabatan, jumlah, dan keistimewaan yang diberikan membuat
orang-orang Turki dapat merebut pengaruh dalam kekuasaan. Sehingga khalifah
yang sebelumnya berkuasa dikalahkan oleh hegemoni kaum Turki.
3. Perode ketiga, (334-447 H/945-1055 M) periode masa kekuasaan Bani Buwaihi
dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh
Persia kedua, sebab Bani Buwaihi merupakan kalangan penganut mazhab Syiah.
4. Periode keempat, (447-590 H/1055-1194 M) periode ini adalah masa kekuasaan
Bani Saljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, biasanya disebut dengan
pengaruh Turki kedua.
5. Periode kelima, (590-656 H/1194-1258 M) periode ini masa khilafah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota
Baghdad.70
Selain itu terdapat dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari
kekuasaan Dinasti Abbasiyah seperti Dinasti Thahiriyah, Thuluniyah, Idrisiyah, dan
berbagai dinasti-dinasti lain termasuk kebangkitan kembali Dinasti Umawiyyah II
yang berpusat di Spanyol.71
Periode pertengahan yang terbagi dalam dua masa yaitu masa kemunduran
(1250 – 1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (1500-1800 M). Periode ini bermula
ketika masuknya ancaman bangsa Mongolia ke Dunia Islam yang berimbas kepada
keruntuhan Dinasti Abbasiyah pada 1258. Di masa ini desentralisasi dan disintegrasi
dalam Dunia Islam meningkat. Pada masa ini desentralisasi dan diintegrasi dalam
duni Islam semakin meningkat. Di zaman ini pula hancurnya khilafah secara formal.
Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh semua umat sebagai lambang
persatuan, hingga kerajaan Turki Utsmani mengangkat khalifah yang baru di Istambul

70
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 50.
71
Ibid, hlm. 65-66

29
pada abad 16. Fase kemunduran yang telah dijelaskan sebelumnya terobati dengan
munculnya tiga kerajaan besar yaitu Kerajaan Turki Utsmani di wilayah Turki,
Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Masing-masing kerajaan
tersebut memiliki kejayaan terutama di bidang arsitektur dan seni. Walaupun sempat
mengalami kemajuan namun peradaban Islam di masa tiga kerajaan besar tersebut
kembali mengalami kemunduran akibat adanya pemberontakan-pemberontakan di
internal kerajaan. Disamping itu bangsa Eropa mulai menguat sementara kekuatan
militer dan politik Dunia Islam menurun dan merosotnya ilmu pengetahuan akibat
tarikat yang penuh khurafat. Selain itu intervensi serta penetrasi bangsa Eropa
semakin marak. Era ini terjadi antara tahun 1700-1800 M.72
Periode terakhir yaitu periode modern sejak 1800 M hingga saat ini. Periode
ini ditandai dengan masa kolonialisme bangsa Eropa atas Dunia Islam yang berimbas
kepada munculnya kesadaran dari umat Islam akan kemunduran peradaban dan
kembali memperjuangkan kebangkitan Islam. Hal ini juga tidak lepas dari peristiwa-
peristiwa di Barat antara lain renaissance di abad 15, mulai berdirinya negara-negara
bangsa sejak Perjanjian Westphalia 1648, dan kolonialisasi yang didasari oleh gold,
gospel, glory. Yatim (2013: 185), menuliskan bahwa Kebangkitan bangsa-bangsa di
Barat juga turut menginspirasi umat Islam akan nasionalisme yang ditandai dengan
merebaknya paham Pan-Islamisme oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M).73
Selain itu paham nasionalisme juga merebak karena banyaknya umat Islam yang
belajar di Barat dan mengadopsi pemikiran-pemikiran Barat. Konsekuensi dari semua
itu, antara lain tatanan dunia yang telah berubah akibat dominasi Barat, muncul
pemikiran-pemikiran modernisme yang selaras dengan perjuangan umat Islam.
Wilayah-wilayah Dunia Islam kemudian memerdekakan diri dari kolonialisasi Barat
dan mendirikan negara yang berdaulat.
8. Penutup
Sejarah merupakan memori dan potret perjalanan panjang sebuah bangsa.
Pemahaman terhadap alur sejarah dan mencermati peristiwa-peristiwa masa lampau

72
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, hlm. 79-82.
73
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 185.

30
akan membantu suatu bangsa terhindar dari pengulangan kesalahan-kesalahan masa
lampau. Berdasarkan hasil uraian pada makalah ini dapat dipahami bahwa
mempelajari sejarah itu sangat penting. Sejarah yang berdasarkan pada ketauhidan
bermanfaat bagi kita untuk memahami petunjuk-petunjuk yang terdapat pada Al-
Qur‟an dan As-Sunnah. Di dalam Al-Qur‟an pun terdapat sejarah-sejarah dan kisah-
kisah yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan. Mempelajari sejarah dapat
membantu umat dan para pemimpinnya untuk mengetahui strategi yang paling efektif
untuk menggapai kemuliaan dan kekokohan dengan mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan keterbelakangan dan kejatuhannya.
Allah SWT dalam firmannya pada surat Yusuf ayat 111 mengatakan bahwa
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal”, hal ini menunjukkan bahwa mempelajari sejarah sangat
bermanfaat dan didalamnya terdapat sumber pengajaran. Dengan mempelajari sejarah
kita mampu menjaga hakekat dan kebenaran, karena kita juga turut mencari fakta-
fakta sejarah yang diungkapkan para pakar.
Upaya pengungkapan sejarah dan peradaban Timur Tengah mampu
menumbuhkembangkan kebanggaan dalam jiwa individu umat. Dari hasil penelaahan
sebelumnya dapat dilihat bahwa kebudayaan dan peradaban Timur Tengah dan Islam
sangat kaya. Peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa manuskrip dalam bidang
agama, ilmu pengetahuan, sastra, gaya arsitektur yang tinggi menunjukkan bahwa
peradaban Timur Tengah dan Islam sangat maju dan mapan. Kisah-kisah sejarah
yang diriwayatkan kiranya mampu dijadikan pelajaran kehidupan. Disamping itu, kita
perlu mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan kejadian dalam sejarah, mampu
memilah yang baik dan yang buruk serta menjadi bekal untuk menjaga dan
memajukan peradaban Islam.

31
DAFTAR PUSTAKA

Al-Harafi, Salamah. (2016). Buku Pintar Sejarah dan Peradaban Islam. Penerjemah
Irham dan Supar. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Al-Usairy, Ahmad. (2006). Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Terj. H. Samson Rahman, MA. Jakarta: Akbar Media.
Ansary,Tamim. (2010). Dari Puncak Baghdad: Sejarah Dunia Versi Islam. Jakarta:
Zaman
Bobrick, Benson. (2013). Kejayaan Sang Khalifah Harun Ar-Rasyid, Kemajuan
Peradaban Dunia Pada Zaman Keemasan Islam, penerjemah Indi Aunullah.
Jakarta: Pustaka Alvabet.
Chalil, Moenawar. (1977). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW. Jakarta:
Bulan Bintang.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. (1994). Ensiklopedi Islam Jilid 1: “Bani
Abbasiyah”. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Faruqi, N. A. (1979). Early Muslim Historiography: A Study of Early Transmitters of
Arab History from the Rise of Islam Up to the End of Umayyad Period, 612-
750 AD (No. 7). Delhi: Idarah-i Adabiyat-i Delli.
Ghani, Yusri. A. (2004). Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern. Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Hasjmy, A. (1973). Sejarah Kebuayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hitti, Philip K. (1970). History of the Arabs. London: Macmillan Education LTD.
Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples. USA: Faber and Faber Ltd.
Karim, M.Abdul. (2009). Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:
Pustaka Book Publisher.
Kamaruzaman, A. F. (2017). Al-Tabari, Thabit Ibn Sinan dan Teori Masadir dalam
Historiografi
Khaldūn, Ibnu. (1969). The Muqaddimah: an introduction to history; in three
volumes. 1 (No. 43). Princeton University Press.

32
Khuwayri, Maḥmud, al. (2001). Manhaj al-Baḥts fi at-Tarikh. Kairo: al-Maktab al-
Misri.
Koentjaraningrat. (1993). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowijaya. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Lapidus, Ira M. (1999). History of Islamic Societies, (Ghufron A. Mas‟adi, Sejarah
Sosial Ummat Islam, Penerjemah). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Lubis, Amany. Hermawati., dan Nurhasan. (2005). Sejarah Peradaban Islam.
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Maftuhin, Arif. (2016). Historiografi Hukum Islam: Studi atas Literatur Manaqib,
Tabaqat, dan Tarihk a;-Tasyri. Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Miskawayh. International Journal of West Asian Studies, 8(1).
Muhaimin. (2001). Islam dalam Bingkai Buduaya Lokal: Potret dari Cirebon.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Nasution, Harun. (1985). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: UI
Press. Cetakan. 5.
Nasution, Harun. (1985) Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I. Jakarta: UI
Press. Cetakan 5.
Poespoprodjo, W. (1987). Subjektivitas Dalam Historiografi: Suatu Analisis Kritis
Validitas Metode Subjektivo-Objektif Dalam Ilmu Sejarah. Bandung: Remadja
Karya.
Quthb, Sayyid. (2006). Milestones. Birmingham, Maktabah Booksellers And
Publishers.
Ranjabar, Jacobus. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor:
Ghalia Indonesia
Rosenthal, Franz. (1968). A History of Muslim Historiography. Leiden: E. J. Brill.
Ruslan, Heri. (2010). Khazanah, Menelisik Warisan Peradaban Islam Dari Apotek
Hingga Komputer Analog. Jakarta: Republika.

33
Schoeler, G., Vagelpohl, U., & Montgomery, J. E. (2006). The oral and the written in
early Islam. Routledge.
Sunanto, Musyrifah. (2011). Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam. Jakarta: Kencana, Cetakan ke-4.
Sutrisno, Mudji. (2008). Filsafat Kebudayaan- Ihtiar Sebuah Teks, Cetekan Pertama.
Jakarta: Hujan Kabisat.
Syalabi, A. (1971). Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid II, (Muchtar Jahja,
Penerjemah). Jakarta: Djayamurni.
Tasmuji, Dkk. (2011). Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar.
Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.
Umar, H.A. Muin. (1988). Historiografi Islam. Jakarta: CV. Rajawali.
Yatim, Badri. (1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos.
Yatim, Badri. (2005). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Yatim, Badri. (2013). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Press.

Sumber Internet:
https://www.britannica.com/place/Middle-East
https://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/169841-sumanto-al-qurtuby-euforia-
pro-arab-di-indonesia
www.muslimheritage.com
http://kisahmuslim.com/3181-sejarah-kerajaan-saba.html
http://www.bangsamusnah.com/peoplesaba.html

34

Anda mungkin juga menyukai