Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR

Disampaikan dalam Seminar Kelas pada Matakuliah


“Sejarah Dunia Islam Modern” Semester I Program Doktor (S3)

OLEH:
PUTRIYANI S
NIM. 80100321017
PENDIDIKAN DAN KEGURUAN

PRODI DIRASAH ISLAMIYAH


PROGRAM PASCASARJANA (PPs)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji senantiasa disampaikan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat
dan rahmat-Nya sehingga penyusunan makalah yang berjudul “Perkembangan Islam di Mesir”
berjalan lancar dan selesai tepat pada waktunya. Shalawat dan Salam senantiasa tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menerangi umatnya dengan cahaya keilmuan.
Makalah ini disusun dengan kerja keras penulis dan bantuan dari berbagai pihak yang
turut berperan di dalamnya. Oleh itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Syamzan
Syukur, M.Ag dan Dr. Wahyuddin G, M.Ag selaku Dosen pengampu Matakuliah Sejarah
Dunia Islam Modern, yang menginspirasi penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis
juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan penulisan pada isi makalah
ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas ketaksempurnaan yang pembaca temukan di
dalam makalah ini. Selain itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa yang akan
datang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan
bagi penulis secara khusus.

Enrekang, 10 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3
A. KEDATANGAN ISLAM DI MESIR ........................................................................... 3
B. PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR PADA ABAD KE-19 ................................ 5
1. Paruh Pertama Abad ke-19: Peran Muhammad Ali Pasya ..................................... 5
2. Paruh Kedua Abad ke-19: Perkembangan Intelektual di Mesir ............................. 6
C. PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR PADA ABAD KE-20 .............................. 8
1. Paruh Pertama Abad ke-20 .................................................................................... 8
2. Paruh Kedua Abad ke-20: Pengaruh Nasserisme, Fundamentalisme Islam,
Dan Kiri Islam ........................................................................................................ 11
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA
........................................................................................................ 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mesir merupakan sebuah negara yang terkenal dengan sejarah peradabannya, yang telah
ada semenjak 4000 tahun SM. Ia merupakan negara para Nabi karena itu ia dikenal dengan
sebutan Ardh al-Anbiya’1. Nama Mesir tercantum sebanyak lima kali di dalam Al-Qur’an2.
Karena keistimewaan tersebut, nama Mesir dipakai hingga saat ini. Sebagian sejarawan
mengatakan bahwa nama Mesir merupakan nama yang diberikan oleh bangsa Arab pada saat
melintasi daerah itu, dalam perjalanan dagang ke Asia dan Afrika 3. Nama lain dari Mesir adalah
Egypt, yang berarti Qibti, nama Egypt ini merupakan nama yang dipakai orang Barat ketika
menyebut Mesir. Mesir atau Republik Arab Mesir adalah negara sosial demokrasi berbentuk
republik, dengan kepala negara seorang presiden. Secara geografis, Mesir merupakan salah
satu negara yang berada di wilayah Afrika Utara. Mesir terletak di sudut timur laut Benua
Afrika. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, Laut Tengah di
sebelah utara, dan Laut Merah di sebelah timur 4. Mesir terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian
atas terdiri dari lembah Sungai Nil dan bagian bawah terdiri dari delta Sungai Nil. Sebagian
besar Mesir berupa gurun yang jarang dihuni. Mayoritas penduduk Mesir terpusat di
Iskandariyah, Kairo, sepanjang delta Sungai Nil, dan dekat Terusan Suez. Hampir 90% dari
populasi penduduknya beragama Islam dan selebihnya beragama Kristen Koptik 5.
Mesir merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Afrika Utara. Afrika Utara
merupakan wilayah strategis yang menjadi jalur menuju benua Eropa dari benua Asia. Oleh
karena itu, Islam yang telah berkembang pesat di semenanjung Arabiah dan sekaligus sebagai
sebuah kekuatan politik, menganggap penting penguasaan wilayah Afrika Utara sebagai
jembatan menuju Eropa 6. Sebagai kekuatan politik yang sangat kuat Islam memasuki daratan
Afrika Utara di mulai sejak khalifah Umar bin Khattab (634- 644M), yang mengutus Amru bin

1
Nur Lailatul Musyafa’ah, “Penerapan Syari’at Islam Di Mesir,” al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan
Islam 2, no. 2 (2012): 214.
2
QS. Yunus (10) ayat 87, QS. Yusuf (12) ayat 21 dan 99, QS. Al-Zukhruf (43) ayat 51, dan QS. Al-Baqarah
(02) ayat 61.
3
Abd Halim al-Jundi, Huquq Ghair al-Muslimin fi al-Daulah al-Islamiyyah Wa fi Misr, (Kairo: al-Ahram,
1997), 17
4
Azyumardi Azra dkk. Ensiklopedia Islam Jilid 5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 21.
5
Nilna Indriana, “Transisi Bahasa Arab Dan Polemik Kristen Koptik,” An-Nas: Jurnal Humaniora 2, no. 1
(2018): 14.
6
Akmal Hawi, “Pengembangan Islam Di Afrika Utara Dan Peradabannya,” Medina-Te 14, no. 1 (2017): 61–68.

1
Ash untuk menguasai Mesir yang kemudian secara sistemik dilanjutkan pengembangannya
oleh dinasti-dinasti yang berkuasa kemudian.7
Perkembangan Islam di Mesir memiliki dinamika yang cepat pada memasuki periode
modern diwarnai oleh kebangkitan nasionalisme dan dicengkeram oleh kuku penjajahan Barat
yang berakhir sampai perang dunia kedua8. Periode ini ditandai dengan peristiwa Revolusi
Mesir 23 Juli 1952 yang dimimpin oleh Gamal Abdul Nasser berusaha untuk menumbangkan
kekuasaan Raja Farouk dan penguasaan Inggris di Mesir. Dominasi kekuatan yang
menggerakkan Revolusi Mesir 23 Juli 1952 berasal dari gerakan Free Officers (Perwira Bebas)
dan gerakan Ikhwanul Muslimin. Revolusi ini sekaligus menandai berakhirnya pemerintahan
monarki Mesir, beralih menjadi negara republik yang sarat akan modernisme 9.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dipaparkan permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana kedatangan Islam di Mesir?
2. Bagaimana perkembangan Islam di Mesir pada abad ke-19?
3. Bagaimana perkembangan Islam di Mesir pada abad ke-20?

7
Ibid. Ibid.
8
Suliki, “Dinamika Pendidikan Dan Dakwah Pada Masa Mesir Modern,” Jurnal Studi Islam dan
Kemuhammadiyahan ( JASIKA ) 1, no. 1 (2021): 41.
9
Gershoni Israel; James P Jankowski, Egypt, Islam, and The Arabs: The Search for Egyptian Nationhood, 1900-
1930, Oxfor: Oxford University Press, 1986.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEDATANGAN ISLAM DI MESIR


Sebagai wilayah penghubung antara Timur dan Barat, maka Afrika Utara (Libia, Tunisia,
Aljazair dan Maroko) memainkan peran penting bagi perkembangan peradaban bangsa-bangsa
di dunia, terutama peradaban Islam. Dalam buku Sejarah Islam dijelaskan bahwa
perkembangan Islam di Afrika Utara ini telah dimulai sejak khalifah Umar bin Khattab (634-
644M), yang mengutus Amru bin Ash untuk menguasai Mesir dengan jumlah pasukan 4000
orang, dan sepanjang perjalanan menuju Mesir pasukan Amru bin Ash bertambah menjadi 20.
000 orang. Setelah menguasai Mesir dan mendapatkan izin khalifah Umar bin Khattab, Amru
bin Ash beserta pasukannya meneruskan ekspedisi ke wilayah Afrika Utara, setelah wilayah
Maghribi dibawah kendali Islam10. Maka lengkaplah kawasan Islam terbentang dari
Maghribidi Barat sampai India di sebelah Timur11.
Sebagai salah satu kawasan yang berada di wilayah Afrika Utara, Mesir menjadi salah
satu daerah yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ia menjadi
pintu gerbang masuknya Islam ke wilayah yang selama berabad-abad berada di bawah
kekuasaan Kristen sekaligus “benteng pertahanan” Islam untuk wilayah tersebut.
Mesir baru menjadi kota Islam sejak Umar menjabat sebagai khalifah yang menggantikan
Abu Bakar yang berkuasa sebelumnya. Islam memasuki negeri ini pada tahun 639 M di bawah
pimpinan ‘Amru bin ‘Ash. Pemerintahan yang berkuasa di Mesir pada saat itu adalah Dinasti
Byzantium yang bermarkas di Alexandria, dan agama bangsa Mesir pada saat itu adalah
Kristen Koptik12.
Dengan dikuasainya Iskandariah suatu tanda bahwa seluruh Mesir sudah berada di tangan
kaum Muslimin. Dalam penaklukan tersebut, kaum Muslimin tidak memiliki pilihan lain
kecuali menaklukkan Mesir setelah penaklukan Suriah dan Palestina 13. Hal ini dilakukan
karena dikhawatirkan stabilitas wilayah kaum Muslimin akan terganggu oleh Romawi yang
pada saat itu menguasai Mesir. Selain itu, jauh sebelumnya kaum Muslimin telah mendengar
adanya penindasan agama di Mesir yang dilakukan oleh Heraklius, penguasa Romawi.

10
Hawi, “Pengembangan Islam Di Afrika Utara Dan Peradabannya.”
11
Ibid.
12
„Afaf Lutfi Sayyid al-Marsot, a Short History of Modern Egypt, (Cambridge: Cambridge University Press,
1990), 1.
13
Ahmad al-Usairy, Al-Tarikhu al-Islami, terj Samson Rahman, Sejarah Islam: Sejak Nabi Adam hingga Abad
XX (Jakarta; Akbar Media, 2012), h. 157.

3
Iskandariah sebagai ibu kota Mesri jatuh ke pangkuan Islam pada tahun 641 M. Ketika Mesir
jatuh ke tangan kaum Muslimin, Amr Ibn al-Ash menawarkan kepada penduduknya tiga
pilihan, memeluk Islam, membayar jizyah atau berperang. Dengan tiga pilihan tersebut, mereka
memilih berperang yang pada akhirnya mereka kalah dan harus membayar jizyah. Setelah itu,
Islam makin berjaya di Mesir setelah menakhlukkan kota-kota lain di Mesir14.
Perkembangan Islam di Mesir tentu tidak terlepas dari peranan para penguasa Islam di
Mesir. mesir pernah dikuasai oleh dinasti Fatimiyah, dinasti Ayyubiyah dan dinastik Mamalik.
Ketiga dinasti ini masing-masing memiliki kecenderungan sendiri dalam menjalankan roda
pemerintahannya, baik dari segi administrasi, politik, maupun teologi atau faham
keagamaannya15. Kekuasaan dinasti Abbasiyah di Bagdad menjelang akhir abad ke-10 M
dicatat mulai melemah, daerah kekuasaannya yang luaspun tak mampu dikoordinasikan lagi.
Akibatnya, terbukalah peluang bagi sejumlah kelompok yang selama ini merasa tertindas,
seperti Syaih, khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik 16. Kelompok
Syi’ah Ismailiyah misalnya, memanfaatkan peluang ini untuk mengkonsolidasikan
gerakannya, dan pada tahun 909 M, Abdullah bin Maymun memproklamirkan berdirinya
khilafah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Gerakan Maymun ini mula-mula
tidak menampakkan yang jelas hingga muncullah Abu Abdullah al-Husayn yang secara aktif
dan terang-terangan melancarkan dakwah Fatimiyah. Sehingga Abu Abdullah al-Husayn
sebagai pendiri Dinasti Fathimiyah17. Dinasti ini disebut dinasti Fatimiyah, karena ia
mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah bin
Muhammad SAW. Menurut mereka, Abu Abdullah al-Husayn al-Mahdi, pendiri dinasti
inimerupakan cucu Ismail bin Ja’far al-Shadiq. Sememnatar Isma’il dikenal sebagai Imam
Syiah yang ketujuh. Namun musuh-musuh dinasti fatimiyah, seperti kelompok pendukung
Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke dinasti Umayyah di Andalusia, kelompok Khawarij
dan Bar-bar menolak bahwa asal-usul mereka dari Ali bin Abi Thalib18.
Dinasti ini berkuasa di Afrika utara dan Mesir selama 262 tahun, yaitu sejak tahun 297-567
H/909- 1171 M. dari keempat belas khalifah yang pernah memimpin dinasti Fatimiyah ini
berdasarkan fungsi dan peran yang dimainkan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase:

14
Abu Haif, “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam,” Jurnal Rihlah II, no. 1 (2015): 70.
15
K. Hitti, Philip, History of The Arabs; From The Earliest Times to The Present, terj. R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi Slamet Riyadi,History of The Arabs (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 787.
16
Kafrawi Ridwan, dkk., (ed.) “Dinasti Fatimiyah”, dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1993), h. 4-6.
17
Kafrawi Ridwan, dkk., (ed.) “Dinasti Fatimiyah”, dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1993), h. 4-6.
18
Kafrawi Ridwan, dkk., (ed.) “Dinasti Fatimiyah”, dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 2, (Jakarta: PT. Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1993), h. 4-6.

4
pertama, fase koordinasi dan ekspansi (297-341 H/909-953 M), kedua, fase kejayaan (341-411
H/953- 1021 M), dan ketiga fase kemunduran (411-567 H/1021-1171 M).

B. PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR PADA ABAD KE-19


1. Paruh Pertama Abad ke-19: Peran Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali Pasya membentuk sejarah Mesir pada paruh pertama abad ke-19. Ia lahir
di Kavala, Yunani pada tahun 1769 dan meninggal di Mesir pada tahun 184919. Dia dikenal
sebagai orang yang cerdas yang ditunjukkan dari keterampilan dan kemampuan yang luar biasa
selama dinas militernya, yang memungkinkannya untuk cepat dipromosikan menjadi
perwira20. Dalam pertempuran dengan tentara Napoleon, ia menunjukkan keterampilan yang
luar biasa dan dipromosikan menjadi kolonel21.
Muhammad Ali Pasya setelah Napoleon meninggal dalam ekspedisi ke Mesir,
Namun,penguasaan wilayah tersebut mendapat tantangan dari Mamluk yang sebelumnya
melarikan diri, dari Napoleon kembali ke Kairo untuk memerintah kembali. Pada saat yang
sama, Pasha menemani tentara Utsmani yang dikirim oleh Sultan Mahmoud II dari Istanbul
untuk merebut kekuasaan. Dalam segitiga kekuasaan ini, Muhammad Ali memenangkan
penguasaan wilayah dan mengangkat dirinya sebagai Pasha yang baru yang diakui secara
terpaksa oleh Sultan Utsmani pada tahun 180522.
Sejarah pemerintahan Muhammad Ali di Mesir dapat dibagi menjadi tiga periode.
Periode pertama, dari tahun 1805 hingga 1816. Selama periode ini, Muhammad Ali memiliki
masalah dengan Inggris, Turki Utsmani, Mamluk, dan akhirnya bentrok dengan Albania yang
menjadi tulang punggungnya ketika akan merebut kekuasaan. Pada tahun 1816 ia tidak lagi
menghadapi tantangan besar. Selama periode ini, ia menetapkan bahwa pajak harus dibayarkan
langsung ke negara. Selain itu, secara bertahap dan terus-menerus, dia juga menghapuskan hak-
hak khusus pemilik tanah dan akhirnya semua hak atas tanah kembali menjadi milik negara
dan dikenakan pajak. Perubahan tersebut diberlakukan antara 1808 dan 181423.
Periode kedua adalah dari tahun 1816 hingga 1840. Selama periode ini, ia bekerja keras
untuk membebaskan Mesir dari kekuasaan Turki Utsmani, dan bahkan berusaha mendirikan

19
E.J.Brill’s, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, Volume I (Leiden: t.p., 1987), h. 661.
20
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), h. 34.
21
E.J. Brill’s, First Encyclopedia of Islam 1913-1936, Volume I., h. 682.
22
Albert Hourani,Arabic Thought in Liberal Age 1789-1939 (London: Oxford University Press, t.th.),
h. 51.
23
Halah Mustafa, al-Islam al-Siyasi fi Misr: Min Harakat al-Islah ila Jama’at al-‘Anf (Kairo:
Mu’assasat al-Ahram, 1992), h 25.

5
negara Mesir yang kuat dan makmur. Oleh karena itu, ia memberlakukan sistem ekonomi di
mana negara memonopoli perdagangan dan produksi utama. Harga dikendalikan oleh
pemerintah. Selama periode ini, ia juga melakukan upaya untuk meningkatkan produksi
pertanian untuk memakmurkan Mesir. Metode pertanian yang baru diperkenalkan,
membangun sistem irigasi dan perluasan area pertanian. Selama periode ini, ia juga mendirikan
sekolah-sekolah yang mengadopsi sitem Barat dan mengorganisir angkatan bersenjatanya.
Selain itu, Kairo dipercantik dengan bangunan-bangunan indah bergaya khas Turki Utsmani24.
Periode ketiga, dari tahun 1840 hingga 1848. Dalam periode ini, kekuasaan dipegang oleh
Inggris meskipun ia masih berstatus penguasa.

2. Paruh Kedua Abad Ke-19: Perkembangan Intelektual di Mesir


Meskipun orang Barat memasuki Mesir lebih awal namun nilai-nilai, dan cita-cita budaya
sendiri tetap dipertahankan. Masyarakat Mesir tetap mempertahankan ideologinya sendiri
meskipun Muhammad Ali Pasha membuka pintu bagi budaya Barat. Masyarakat Mesir hanya
mengadopsi keahlian orang Barat dalam hal teknologi dan manajemen. Setelah Perang Dunia
Pertama, ketika negara-negara Islam berada di kaki kolonialisme Barat, nilai-nilai budaya
mulai berubah secara bertahap dan perlahan-lahan menurun seiring dengan meningkatnya
pengaruh budaya Barat.
Selain itu, ketertarikan Ali pada budaya Barat juga mendorong penerjemahan buku-buku
Barat, khususnya buku-buku akademik. Upaya ini berjalan lancar setelah Sekolah
Penerjemahan didirikan pada tahun 1836 yang dipimpin oleh imam al-Azhar Rifa'ah al-ahtawi,
yang belajar di Paris dan kemudian berpengaruh pada penyebaran pemikiran Barat di Mesir25.
Dua tokoh yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan Islam di Mesir pada
paruh kedua abad ke-19 adalah Jamal a-Din al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh. Keduanya
sepakat untuk menekankan perlunya reformasi politik sebagai upaya menyikapi
keterbelakangan umat Islam. Akan tetapi ada keduanya memiliki perbedaan pandangan
mengenai hal ini. Al-Afghani menghendaki reformasi politik melalui melalui perjuangan fisik,
sedangkan `Abduh mengusulkan reformasi politik dalam bentuk perbaikan bidang pendidikan,
termasuk pendidikan politik.
Jamal a-Din al-Afghani lahir pada tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istanbul
pada tahun 1897. Iia tidak menetap pada satu negara. Ia bertempat tinggal dan beraktivitas dari

24
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 36.
25
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 39.

6
satu negara Islam ke negara Islam lainnya, namun pengaruh terbesarnya adalah ketika berada
di Mesir. Al-Afghani kemudian ke Paris dan mendirikan Asosiasi Al'Urwah Al-Wusqa, yang
anggotanya terdiri dari Muslim dari India, Mesir, Suriah, Afrika Utara, dan negara-negara
Islam yang lain. Perkumpuan ini bertujuan untuk memperkuat persaudaraan, membela Islam
dan memajukan umat Islam26.
Muhammad `Abduh pergi ke Beirut pada tahun 1885, dan kembali ke Mesir pada tahun
1888. Ia dipuji sebagai pejuang kemerdekaan. Muhammad Abduh memulai karirnya sebagai
hakim Pengadilan Nasional dan dipromosikan menjadi Mufti Mesir. Selama hayatnya, selain
kegiatan mengajar di Al-Azhar, ia terus mengupayakan perubahan mendasar terhadap
hukum27. Muhammad ‘Abduh juga berupaya untuk mengembalikan ajaran Islam seperti yang
diajarkan oleh Nabi demi untuk memurnikan Islam dari bid’ah28.
Abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Mesir menjadi awal dimulainya zaman liberal karena
negara ini menganut paham liberalisme yang melahirkan gagasan untuk memisahkan agama,
budaya, dan politik. Di sisi lain sebelum sekularisasi, Islam (tradisional) tidak memetakan
fungsi agama dan politik dengan kata lain tidak saling terpisah. Namun, sekularisme
melemahkan peran agama dan ulama secara bertahap. Laju sekularisasi itu sendiri tampaknya
sangat bergantung pada tren lanjutan perluasan fungsi negara dan pemusatan kekuasaan,
perubahan sosial ekonomi, dan meningkatnya pengaruh kebijakan Barat pada elit politik baru.
Dalam konteks ini, para ulama melihat modernisasi sebagai penyebaran sistem
kepercayaan asing non-Muslim, dan melemahkan peran mereka. Selain itu, modernisasi
dipahami sebagai westernisasi dan sekularisasi, jawaban ulama kontradiktif, karena
modernisasi dianggap sebagai bid'ah yang tidak hanya mengancam status ulama tetapi juga
institusi lainnya29. Selain itu, sebagai akibat dari pandangan ini, Ulama melihat bahwa kuttab
dan madrasah menjadi tertinggal dan system pengajarannya masih tradisional. Misalnya, Al-
Azhar tidak mengajarkan mata pelajaran umum, tetapi hanya berfokus pada disiplin ilmu
Islam30.

26
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 51, 53.
27
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 62.
28
Halah Mustafa, al-Islam al-Siyasi fi Misr: Min Harakat al-Islah ila Jama’at al-‘Anf , h. 51.
29
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 67.
30
Nursamad Kamba, “Belajar di Universitas al-Azhar” dalam Ismatu Ropi Kusmana, Belajar Islam di
Timur Tengah ( Jakarta: Departemen Agama RI., t.th.), h. 70.

7
C. PERKEMBANGAN ISLAM DI MESIR PADA ABAD KE-20
1. Paruh Pertama Abad Ke-20
Perkembangan Islam di Mesir pada pertengahan abad ke-20 sangat dipengaruhi oleh para
murid dan pengikut Muhammad ‘Abduh. Di antara murid-muridnya al-Syekh Muhammad al-
Bakhit, al-Syekh Mu’af al-Maraghi, dan al-Syekh ‘Ali Surr al-Zankalni. Ada juga penulis yang
tertarik pada agama, seperti Muhammad Farid Wajdi; penulis yang peduli pada masyarakat,
seperti Qasim Amin. Ada pemimpin politik seperti Sa`ad Zaghll dan Ahmad Lutfi al Sayyid.
Ada juga penulis sastrawan Arab seperti Ahmad Taimr, Al-Sayyid Mustafa Lutfi Al-Manfaluti,
dan Muhammad Hafiz Ibrahim. Adapun pengikut Muhammad Abduh antara lain Muhammad
husain Haikal, Mustafa ‘Abd al-Raziq, Taha Husain, dan ‘Ali ‘Abd al-Raziq31,
Berikut adalah beberapa pemikiran para murid dan pengikut Muhammad Abduh
(Muhammad Abduh) untuk memahami perkembangan Islam di Mesir pada paruh pertama abad
ke-20.
Al-Syekh Mustafa al-Maraghi dianggap sebagai murid terbesar Muhammad ‘Abduh di
antara orang-orang Al-Azhar. Ketika dia memimpin Al-Azhar dari tahun 1928 hingga 1930,
dia mengorganisir reformasi di universitas. Pada tahun 1930, peraturan yang mendukung
reformasi disahkan. Namun, karena tantangan dari lingkaran anti-pembaruan, ia akhirnya
terpaksa mengundurkan diri32.
Muhammad Farid Wajdi adalah murid Muhammad ‘Abduh, yang sering membela Islam
dari serangan luar. Dalam pandangannya, praktik umat Islam di Mesir pada saat itu tidak
mencerminkan keadaan Islam yang sebenarnya, karena praktik ini memiliki banyak bid’ah
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ia percaya bahwa Islam dan peradaban modern tidak
bertentangan. Menurutnya, landasan dan teori ilmiah yang membawa kemajuan manusia
modern tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Dalam pandangannya, Islam
sejati sesuai dengan peradaban33.
Pada awalnya Mesir memimpin reformasi hukum keluarga untuk meningkatkan status
perempuan, tetapi baru-baru ini status perempuan Mesir tertinggal dari Tunisia, Suriah,
Yordania, dan Irak. Sampai tanggal 18 Juni 1979, perempuan Mesir tidak mendapatkan
perlindungan apapun untuk mencegah suaminya menikahi perempuan lain tanpa
persetujuannya, atau jika suaminya tiba-tiba menceraikannya dan hanya membayar sejumlah
kecil uang dalam waktu satu tahun, dan laki-laki menggunakan hak untuk merawat anak yang

31
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 77.
32
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 78.
33
Albert Hourani,Arabic Thought in Liberal Age 1789-1939, h. 162.

8
berusia lebih dari sembilan tahun.sementara perempuan sendiri tidak diperbolehkan untuk
berinteraksi dengan mereka34.
Qasim Amin adalah seorang ahli hukum di Mesir berpendapat bahwa Muslim Mesir
mengalami kemunduran karena perempuan. Dia menentang pilihan sepihak, yaitu pilihan pria
dalam pernikahan. Dalam pandangannya, perempuan harus memiliki hak yang sama dengan
laki-laki dalam pernikahan. Dia juga menuntut agar istri diberikan hak untuk bercerai. Ide-ide
Qasim Amin menimbulkan banyak reaksi khususnya pada pendapatnya bahwa bahwa menutup
wajah seorang wanita bukanlah ajaran Islam, karena tidak ditemukan dalam Al-Qur'an dan
Hadits Nabi, yang mengatakan bahwa wajah wanita adalah aurat. Menutupi wajah adalah
kebiasaan, yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam35.
Sa`ad Zaghlul adalah murid Muhammad `Abduh yang aktif di bidang politik. Tujuan
politiknya adalah untuk membatasi kekuasaan otokratis Sultan Mesir dan membebaskan Mesir
dari kekuasaan Inggris. Setelah Perang Dunia Pertama, pada Konferensi Perdamaian Paris,
menjadi kesempatan baginya untuk membahas kemerdekaan Mesir di forum internasional.
Sa'ad Zaghlul mengirim delegasi ke pertemuan di bawah kepemimpinannya langsung. Akan
tetapi, Inggris tidak menyetujui keberangkatan delegasi tersebut dan Sa'ad Zaghlul ditangkap.
Namun gejolak dan kekacauan bertambah, dan dia akhirnya dibebaskan dan diizinkan pergi ke
Paris untuk menghadiri konferensi.
Pada saat yang sama, Inggris juga mengirimkan delegasi untuk menyelidiki situasi di
Mesir. Namun, itu ditentang karena upaya dan pengaruh pendukung Sa’ad Zaghlul. Akhirnya
delegasi tersebut harus kembali ke Inggris dan bernegosiasi dengan Sa’ad Zaghlul, yang saat
itu masih berada di Eropa. Negosiasi tidak berhasil, dan oposisi Mesir terhadap Inggris
meningkat. Pada akhirnya, Inggris menuruti persyaratan Mesir untuk memperoleh
kemerdekaan pada tahun 1922. Sa`ad Zaghlul mendirikan sebuah partai politik bernama Partai
Wafd. Partai tersebut memiliki pengaruh yang kuat pada rakyat Mesir, dan Saad Zaghlul
diangkat sebagai perdana menteri36.
Dalam sejarah Mesir modern, Sa'ad Zaghlul dianggap sebagai pemimpin negara yang
berhasil memperjuangkan kemerdekaan Mesir. Pemahamannya tentang nasionalisme sejalan
dengan pandangan Takhtawi dan Muhammad ‘Abduh yang berdasar pada ibu pertiwi. Dia

34
John L. Esposito, Identitas Islam; Pada Perubahan Sosial – Politik, diterjemahkan oleh A. Rahman
Zainuddin dengan judul, Islam And Development, Religion and Sociopolitical Change (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), h. 117.
35
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 79-80.
36
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 82.

9
berjuang untuk nasionalisme Mesir, bukan untuk nasionalisme Arab. Pemahaman agama
sebagai dasar kesatuan politik mulai ditinggalkan. Loyalitas pada agama bersaing dengan
kecintaan pada tanah air37.
Sejak awal, Al-Afghani dan ‘Abduh percaya bahwa keberhasilan melawan Barat
membutuhkan peniruan substantif. Di Mesir, pengikut Muhammad Abduh bereaksi paling
keras untuk meniru Barat dengan model yang membawa mereka ke dalam nasionalisme
sekuler. Misalnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), pendukung Muhammad`Abduh
yang paling menonjol, menanggapi tekanan Westernisasi dengan cara yang sama sekali
berbeda. Ridha mendekati mazhab fiqih konservatif Hanbal, dan percaya pada gerakan
reformasi Arab di bawah kepemimpinan ‘Abd Al-Wahab38.
Pada tahun 1928, reformasi Islam yang dipimpin oleh Rasyid Ridha membawa hasil yang
mengesankan dan bertahan lama hingga seorang muridnya yaitu guru sekolah bernama Hasan
Al-Banna) mendirikan Ikhwanul Muslimin. Albanna mengandalkan strategi komunikasi dan
kelembagaan modern untuk membentuk organisasi yang layak mempromosikan modernisasi
Islam. Namun, tidak seperti Ridha, proyek Al-Banna mengklaim pembentukan elit Islam tidak
hanya bagi Mesir tetapi juga dunia luar39.
Tidak ada keraguan bahwa Al-Banna membantu melegitimasi klaim Ikhwanul Muslimin
dan menjadikannya alternatif yang masuk akal untuk Islam, tetapi ini bukan hanya tentang
kepribadian individu. Dia mengerti bahwa trauma serius penjajahan adalah trauma keluarga.
Dia memperingatkan bahwa musuh-musuh Islam berusaha untuk menyerang masyarakat,
menghancurkan umat Islam dari dalam, dan merusak semangat dan jiwa umat Islam. Orang
Mesir yang kebarat-baratan, yang merupakan kelas politik kolonial, menjadi sasaran utama 40.
Selain itu, Taha Husain yang kehilangan penglihatannya sejak kecil bertemu dengan cita-
cita dan murid-murid Muhammad ‘Abduh saat belajar di Al-Azhar. Taha Husain berpendapat
bahwa sebagian besar sastra Arab yang terdapat dalam kitab-kitab dan buku-buku sebenarnya
bukanlah sastra Arab jahiliah, melainkan prosa yang ditulis setelah Islam. Hanya sebagian kecil
adalah sastra Arab jahiliah yang benar-benar asli. Tulisan-tulisan yang tidak asli ini dibuat,
yang konon berasal dari karya-karya penyair ternama selama zaman jahiliah untuk kepentingan

37
Albert Hourani, Arabic Thought in Liberal Age 1789-1939, h. 193-200.
38
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern. Jilid 4 (Bandung: Mizan, 2002), h. 53.
39
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Jilid 4., h. 54.
40
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern Jilid 4, h. 54.

10
politik, dan memperkuat argumen para ahli tata bahasa Arab, teolog, ulama hadis, dan ulama
tafsir41.
Pandangan Taha Husein banyak dikritik dan dipertanyakan karena pandangannya akan
menggerogoti landasan keyakinan akan otentisitas syair jahiliyah, dan bila diterapkan pada hal-
hal yang berkaitan langsung dengan agama, akan merusak keyakinan masyarakat terhadap
Islam. Tak heran, Rasyid Ridha menilai gagasan tersebut mengeluarkan Taha Husain dari Islam
dan akan berdampak negatif bagi mahasiswa Mesir. Berbagai kalangan di Universitas Kairo
telah menyerukan untuk mengeluarkan Taha Husain. Menanggapi kerusuhan, buku yang
memuat pendapatnya disita dan penulisnya dibawa ke pengadilan, meskipun akhirnya
ditunda42.

2. Paruh Kedua Abad Ke-20: Fenomena Nasserisme, Fundamentalisme Islam, dan


Islam Kiri.
a. Nasserisme
Sebagai gerakan politik yang melintasi perbatasan Mesir, Nasserisme mulai
berkembang setelah Gamal Abdel Nasser memperoleh kekuasaan penuh di Mesir pada
tahun 1954. Menurut The Philosophy of Revolution (1959), Nasserisme berpihak pada
pembebasan bangsa Arab dan negara Asia-Afrika yang dijajah oleh kekuatan Barat, dan
Mesir adalah kunci dari lingkaran Arab, Afrika, dan negara-negara Islam43.
Menurut Nasser, setiap negara akan mengalami dua revolusi, yaitu: revolusi sosial
dan revolusi politik dengan tujuan untuk memerdekakan negara dari kediktatoran
pemerintah. Sedangkan politik bertujuan untuk melaksanakan keadilan sosial 44. Kedua
revolusi ini berkaitan erat satu sama lain.
Pada dasarnya, Nasserisme adalah gerakan pan-Arab sekuler. Pada awalnya
lawan terbesar Nasser adalah Ikhwanul Muslimin, yang ingin memimpin dan
mengendalikan revolusi anti-monarki Mesir. Namun, Doktrin Nasser tidak mengambil
posisi sepenuhnya dalam memisahkan agama dari negara atau mendirikan republik
sekuler. Nasser bermaksud untuk memobilisasi semua sentimen Muslim kecuali yang
paling ekstrem untuk revolusinya. Dia mendirikan kontrol negara atas otoritas

41
Syahrin Harahap Al-Qur’an dan sekularisasi, Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha
Husain (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 130.
42
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 86.
43
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Jilid 4., h. 161.
44
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik
Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 254.

11
keagamaan dan masjid untuk mengintegrasikan mereka ke dalam sistem politik alih-
alih mengisolasi mereka. Ketika Nasserisme mendominasi di Mesir, perbedaan agama
dan sekuler ditekan, dan ketegangan antara Muslim dan Kristen mereda di tahun-tahun
berikutnya45.
Pada Januari 1953, pemerintah baru membubarkan semua partai politik kecuali
Ikhwanul Muslimin. Pada tanggal 23 Januari 1953, Organisasi Pembebasan didirikan
di bawah kepemimpinan Nasser untuk menggantikan partai yang dibubarkan untuk
mendapatkan dukungan rakyat. Pada tanggal 18 Juni 1953, Dewan Komando Revolusi
(Revolution Command Council [RCC]) dibubarkan oleh monarki, dan Mesir
mengumumkan pembentukan negara republik. Pada tahun 1954, RRC mengadopsi
beberapa ketentuan atas nama "melindungi revolusi," yang sayangnya menyebabkan
pembubaran Ikhwanul Muslimin. Para pemimpin politik yang menjabat sebagai
menteri sebelum revolusi dilarang berpartisipasi dalam kegiatan politik dan
mengendalikan tekanan itu.
Hassan Hanafi berpendapat bahwa Nasser mengemukakan empat konsep
sosialisme, yaitu: keadilan sosial, hak kekayaan, kesempatan yang sama dan
penghapusan perbedaan kelas. Inti dari konsep ini adalah keadilan sosial, dan yang
lainnya adalah pengembangan inti tersebut 46.
Konsep keadilan sosial bertujuan untuk melaksanakan keadilan sosial yang
tertuang dalam Empat Pokok Revolusi. Hal ini terkait dengan distribusi pendapatan dan
kecukupan. Menurut Nasser, keadilan sosial juga berarti kesempatan yang sama dalam
hal ekonomi dan politik. Selain itu, Nasser menekankan kesetaraan kesempatan tidak
hanya dalam hal pembagian kekayaan dan distribusi pekerjaan, tetapi juga dalam hal
pendidikan. Pendidikan harus diberikan secara gratis kepada semua warga negara,
terlepas dari kekayaan mereka47.
Nasser menjelaskan sosialisme sebagai kecukupan dan peningkatan produksi
melalui kontrol negara atas milik pribadi dan publik48. Sosialisme Nasser telah
menerima tanggapan yang berbeda dari berbagai kelompok. Setidaknya ada lima
kelompok: kelompok konservatif, Arab sosialis, sosialis Islam, pro-Marxis, dan kaum

45
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Jilid 4., h. 162.
46
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, Vol. I (Kairo: The Anglo Egyptian Bookshop, 1995), h.
61.
47
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, Vol. I, h. 76.
48
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World, Vol. I, h. 81.

12
liberal. Masing-masing kelompok ini menjelaskan sosialisme Nasser dengan cara yang
berbeda49. Kekalahan Mesir dalam Perang Enam Hari melawan Israel pada Juni 1967
menggulingkan ideologi sosialis Nasser. Setelah kematiannya pada 28 September 1970,
penggantinya yaitu Anwar Sadat mengevaluasi Kembali ide-ide sosialis Nasser50.
Setelah evaluasi itu, Sadat mengambil jalan yang berbeda. Setelah diangkat
sebagai presiden baru Mesir, ia mulai pindah ke negara-negara kaya dan konservatif
seperti Arab Saudi dan Suriah yang dituduh oleh Nasser sebagai negara-negara
reaksioner. Selain itu, Sadat juga membentuk aliansi dengan Suriah untuk menyerang
Israel. Aliansi ini meraih kemenangan besar dalam perang Oktober 1973 melawan
Israel. Setelah kemenangan besar itu, Sadat secara bertahap mengadopsi kebijakan yang
disebut "de-Nasserization". Kebijakan yang paling penting dapat dicantumkan sebagai
berikut: ekonomi politik terbuka (al-Infitah), “demokrasi paternalistik”, aliansi dengan
Barat, dan rekonsiliasi dengan Israel51.
Salah satu strategi dramatis Sadat adalah secara aktif berdamai dengan Israel.
Inisiatifnya dimulai dengan kunjungan ke Yerusalem pada November 1977 dan
pidatonya di parlemen Israel, Knesset. Kunjungan ini menghasilkan kesepakatan damai
dengan Israel. Perjanjian Camp David ditandatangani oleh Sadat dan Perdana Menteri
Israel Menachem dengan kesaksian Presiden AS Jimmy Carter pada tahun 1978.
Perdamaian dengan Israel mengundang perlawanan sengit dari negara-negara
Arab dan Mesir sendiri. Negara-negara Arab, terutama Yordania, Suriah, Irak, dan
Lebanon, tidak menerima apa yang mereka sebut "perdamaian terpisah" dengan Israel.
Pada Konferensi Baghdad pada tanggal 25 November 1978, perlawanan Arab mencapai
puncaknya menentang perdamaian tersebut52.

b. Fundamentalisme Islam
Fundamentalisme Islam adalah suatu pandangan yang ditegakkan atas kerangka
keyakinan Islam secara total melalui berbagai dimensi apa pun. Fundamencalisme
Islam berarti sebuah idiologi keagamaan yang menegaskan bahwa Islam adalah totalitas

49
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik
Islam, h. 265-266.
50
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik
Islam, h. 266.
51
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik
Islam, h. 266
52
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik
Islam, h. 269-270.

13
kehidupan. Islam harus diformulasi sebagai suatu institusi keagamaan yang mampu
menjawab beragam problema dan tantangan kemanusiaan secara global, baik dalam
dimensi sosial-budaya maupun sosial politik. Uncuk membuktikan kebenaran
pandangan di atas serta arah gerakan idiologinya bisa kita lihat misalnya pada
munculnya beberapa gerakan Islam, seperti Jamaah Islami di Pakistan, Front
Penyelamat Islam di Aljazair, al lkhwan al Muslimin di Mesir. Bentuk konkrit
pergerakannya melalui spektrum perpolitikan yang berusaha untuk memasukkan nilai-
nilai Islam dalam undang-undang. Dengan kata lain perilaku dan karakteristik gerakan
seperti ini telah menunjukkan adanya suatu keinginan untuk menerapkan shari'ah ke
dalam sistem kehidupan kenegaraan. Pandangan ini di mata Imam Hasan al Banna
sangatlah tepat dan jelas.
Hasan al Banna juga menjelaskan bahwa seorang muslim tidak sempurna
keislamannya kecuali jika ia menjadi seorang politikus, berpandangan jauh tentang
persoalan bangsanya. Dari pandangan pendiri gerakan Islam di atas telah menunjukkan
adanya hubungan; yang dekat bahkan tidak bisa dipisahkan·antara agama dan kegiatan
politiknya. Mengingat Islam- menurut kaufii Islam fundamentalis sulit dipisahkan dari
kegiatan politiknya, mengingat garis idiologi yang mereka bangun pada hakikatnya
adalah pandangan yang ingin menghadirkan sebuah negara dan penegakan syari'ah
Islam. lnilah sebabnya di kalangan Islam fundamentalis memiliki keyakinan bahwa
islam harus menjadi suatu kerangka teoretis yang bisa dijadikan sebagai solusi bagi
setiap problem umat.
Selain gerakan modernis yang cenderung liberal dan sekuler, sejarah Mesir sering
dikaitkan dengan gerakan fundamentalis Islam. Sejak berdirinya, gerakan
fundamentalis Islam telah membentuk situasi sosial politik dalam bentuk organisasi
seperti Ikhwan al-Muslim. Oleh karena itu, tidak mungkin mengkaji perkembangan
Islam di Mesir tanpa mempertimbangkan gerakan fundamentalis Islam.
Setelah keberhasilan revolusi tahun 1952, pemerintahan militer yang baru
berusaha mendapatkan dukungan dari rakyat Mesir, termasuk kaum fundamentalis.
Hubungan antara Ikhwanul Muslimin dan pemerintahan baru terjalin harmonis.
Namun, hubungan harmonis ini rusak ketika pemerintah menandatangani Perjanjian
Anglo-Egyptian pada tanggal 19 Oktober 1954 untuk menarik pasukan Inggris dari
kawasan Terusan Suez.
Untuk memenangkan dukungan rakyat Mesir dan negara-negara Arab melawan
Nasser, Ikhwanul Muslimin akan menyebut perjanjian ini "pengkhianatan."
14
Ketidakharmonisan ini memuncak dalam persidangan Nasser pada 26 Oktober 1954.
Ikhwanul Muslimin dituduh mendukung upaya ini53.
Kompromi antara Ikhwanul Muslimin dan rezim Sadat berhasil selama beberapa
waktu. Dengan sebuah kesepakatan, Ikhwanul Muslimin bergabung dengan gerakan de
Nasser melawan sosialisme dan otoritarianisme. Namun, ketika cakupan penuh reposisi
Sadat menjadi jelas pada pertengahan 1970-an, terutama dalam bentuk perdamaian
terpisah dengan Israel pada 1979, aliansi diam-diam dibubarkan. Seperti yang telah
dilihat oleh persaudaraan arus utama, hubungan Sadat dengan orang-orang Arab dan
Muslim mengorbankan Yerusalem dan Palestina untuk mendukung kepentingan Mesir
yang dipahami secara sempit. Amerika Serikat gagal mengizinkan Israel untuk
mematuhi perjanjian Camp David untuk melakukan sesuatu bagi Palestina, dan
ketidaksetaraan sosial di Mesir telah diperburuk oleh kebijakan liberalisasi. Janji
perdamaian dan kemakmuran rezim Sadat yang tidak terpenuhi membuat presiden
terisolasi dan tidak berdaya. Pada tahun 1981, radikal Islam membunuh Sadat sebuah
parade militer54.

c. Kiri Islam
“Kiri” Islam dikenal luas sejak kemunculan jurnal al-Yasar al-Islami (“Kiri”
Islam: Beberapa Essai tentang Kebangkitan islam) pada tahun 198155. Esai pertama
dalam jurnal itu, Maza Ya’ni al-Yasar al-Islami, yang dimaksudkan Hanafi sebagai
“tajuk rencana” jurnal dan gerakan pemikirannya. Menurut penjelasan Shimogaki,
istilah itu bukanlah ciptaan Hanafi. Ahmad Gabbas Shalih dalam al-Yamin wa al-Yasar
fi al-Islami mengatakan bahwa dalam Islam, “kiri” memperjuangkan pemusnahan,
penindasan bagi orang-orang miskin dan tertindas. Ia juga memperjuangkan persamaan
hak dan kewajiban di antara seluruh masyarakat. Dengan kata lain, “kiri” adalah
kecenderungan sosialistik dalam Islam56.
Mengadaptasi istilah “kiri” dari Shalih, Hanafi kemudian mengembangkan di
dalam jurnalnya, menjelaskan, kiri mengangkat posisi kaum yang dikuasai, kaum yang
tertindas, kaum miskin, dan menderita57. Kiri adalah nama ilmiah, sebuah ilmu politik

53
Din Wahid, “Hasan Hanafi dan Wacana Sosial Politik di Mesir”, dalam Nanan Tahqiq (ed), Politik Islam, h.
272.
54
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Jilid 4., h. 55.
55
Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought:
A Critical Reading, Terj. LKiS. (Yogyakarta: LKiS, 1994).
56
Ibid.
57
Hassan Hanafi, Al-Yasr Al-Islami: Kitabah Al-Nahdah Al-Islamiyyah (Kairo Mesir, 1981).

15
yang berarti resistensi, kritisisme, dan menjelaskan antara realitas dan idealitas. Karena
itu Hanafi juga memberikan nama lain bagi “Kiri” Islam dengan “Islam Kritis”.
Hanafi mengakui bahwa kiri dan kanan sebenarnya tidak ada dalam akidah Islam,
melainkan hanya ada dalam tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Sehingga Kiri
Islam berbicara pada konteks tataran kaum muslimin di dalam realitas historis tertentu
dan dalam sistem sosial tertentu. Bagi Hanafi, penting untuk mengenalkan terminology
“Kiri” dan “orang-orang kiri” sebagai upaya menghapus seluruh sisa-sisa
imperialism58.
Secara umum, istilah “kiri” sering disalahpahami sebagai kafir, ateis, atau
pembangkang, penghasut, dan tidak senang kepada kebaikan. Tetapi menurut Hassan
Hanafi, penilaian itu merupakan sisa-sisa imperialism kultur di negeri-negeri Islam
ketika mereka mengacaukan istilah-istilah Bahasa dan pola pemikiran secara sengaja
sehngga rakyat tidak lagi akrab dengan kosakata demokrasi, kebebasan, kerakyatan,
perjuangan, dan seterusnya termasuk kosakata “kiri”59. Penggunaan kata kiri oleh
Hanafi lebih ditekankan pada istilah akademis dengan konotasi untuk perlawanan dan
kritisisme tanpa pretensi politik dalam arti revolusi partai atau mobilisasi.
Selain berangkat pada perbedaan-perbedaan umat Islam, kiri Islam juga berawal
dari perbedaan dikotomis Barat dan Timur. Karena Barat bagi Hanafi adalah sebuah
entitas negara-negara atau entitas politik terkait dengan imperialisme. Menurut
pandangan “Kiri” Islam, Barat diidentikkan dengan penjajahan. Sehingga salah satu
tugas “Kiri” Islam adalah mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas
alamiahnya60.
Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan peradaban Barat,
menghadapi ancaman imperialism ekonomi berupa korporasi multinasional ancaman
imperialism kebudayaan. Ia ingin memperkuat umat Islam dari dalam, dari tradisinya
sendiri dan berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan
kebudayaan nasional dan memperkokoh dominasi kebudayaan Barat61.

58
Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A
Critical Reading.
59
Hanafi, Al-Yasr Al-Islami: Kitabah Al-Nahdah Al-Islamiyyah.
60
Ibid.
61
Ibid.

16
d. Penerapan Syariat Islam di Mesir
Setelah penjajah Perancis keluar dari Mesir pada 1801, Mesir menerapkan undang-
undang mereka sendiri, meskipun terdapat beberapa bagian yang mengadopsi dari
undang-undang Perancis. Pembaruan hukum di Mesir berkembang secara paralel.
Setelah piagam Ustmaniyah 1841, yang memberi Muhammad Ali dan keturunannya
hak untuk menjadi gubernur mesir dan memberi Mesir otonomi dalam masalah
perundang-undangan, diambillah langkah cepat ke arah pembaruan hukum, khususnya
setelah dibentuknya pengadilan campuran pada tahun 1876 untuk melindungi
kepentingan asing. Lama sebelum itu, Muhammad Ali, begitu berkuasa pada tahun
1805, segera membuang sistem administrasi Utsmaniyah dan menggantikannya dengan
susunannya sendiri. Hukum dan peraturan diperbanyak dan disatukan dalam undang-
undang baru yang disebut al-Muntakhabat (seleksi), yang dipublikasikan pada 1829-
1830. Pada periode yang sama, hukum yang bernama qanun al-fallah (hukum tani)
dikeluarkan guna melindungi kepentingan petani dan negara; hukuman dispesifikasikan
untuk setiap perkara seperti merampas lahan, mengubah batas, mencuri produk, dan
orang yang mengabaikan wajib militer, merusakkan saluran air. Undang-undang pidana
Utsmaniyah 1851 juga diterapkan, setelah Sa’id Pasya naik tahta pada 1854, dalam
versi yang diadaptasikan dengan lingkungan Mesir. Akan tetapi, tindak pidana dan
hukumannya masih belum dirumuskan dengan baik 62. Mesir telah menerapkan kitab
hukum pidana dan perdata pada abad kesembilan belas. Sebuah kitab hukum perdata
baru berdasarkan model kitab hukum perdata Perancis telah diperlakukan pada tahun
1873. Sebuah sistem peradilan ganda (campuran) dibentuk pada tahun 1875 untuk
mempersempit kompetensi (kewenangan hukum) peradilan syari’ah dan untuk
63
memperkokoh sistem hukum alternatif .Pembaruan pidana yang sesungguhnya
dimulai dengan pengadilan campuran. Akan tetapi, karena pengadilan ini mempunyai
yurisdiksi pidana yang terbatas, pembaruan substansial baru memperoleh
momentumnya ketika berdiri pengadilan nasional dan diadopsinya undang-undang
pidana nasional dan undang-undang penyidikan pidana pada 1883. Kitab-kitab ini
diadopsi dari undang-undang Perancis secara langsung atau melalui undang-undang
64
campuran . Tanggal 18 Desember 1914, Inggris secara resmi menjadikan Mesir

62
John L. Esposito-John, “Hasan Hanafi”, Dalam Makers of Contemporary Islam, Vol I. (Oxford: Oxford
University Press, 2001).
63
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jilid II (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
64
Esposito-John, “Hasan Hanafi”, Dalam Makers of Contemporary Islam.

17
sebagai wilayah jajahannya untuk mengamankan kedudukannya dalam Perang Dunia
Pertama. Saat itu, Mesir adalah bagian dari kekuasaan Ottoman yang bersekutu dengan
Jerman dan Austria yang merupakan musuh Inggris. Namun pada tahun 1922, seiring
dengan meningkatnya gerakan nasionalisme rakyat Mesir, Inggris secara sepihak
mengumumkan kemerdekaan Mesir. Meskipun demikian, pengaruh Inggris masih terus
mendominasi kehidupan politik Mesir dan Inggris membantu reformasi keuangan,
administrasi, dan pemerintahan di Mesir 65. Baru pada masa pemerintahan Jamal Abd
al-Nasr yang menggulingkan raja Faruk pada 23 Juli 1955, Mesir menganggap dirinya
66
benar-benar merdeka . Semenjak merdeka, Mesir terus mengembangkan undang-
undang negara dan memperbaruinya berdasarkan kemaslahatan syariat Islam yang
dilandaskan pada pasal 2 konstitusi Mesir tahun 1971 yang berbunyi‚ prinsip-prinsip
syariat Islam adalah satu sumber utama legislasi‛. Pada tahun 1980 melalui amandemen
konstitusional tanggal 11 Mei 1980 diubah menjadi Prinsip syariat adalah sumber
utama legislasi 67. Namun, dalam prakteknya, hukum Islam yang berlaku secara utuh
hanya di bidang pembagian warisan, perkawinan, dan wakaf. Sedangkan bidang-bidang
perdata lain dan pidana, hukum Islam bukan sebagai rujukan utama satu-satunya, ia
68
hanya sebagai salah satu sumber hukum Republik Arab Mesir . Undang-Undang
Hukum Pidana keluar pada tahun 1937 no.58 tahun 1937, memuat 395 pasal dilengkapi
pula dengan undang-undang no.68, 136, 290-308 tahun 1956 dan UndangUndang No.
112 tahun 195869. Undang-undang tersebut dalam pasal 17 disebutkan bahwa ‚tidak ada
kecenderungan dari Undang-undang sekarang ini untuk membatasi hak-hak pribadi
yang ditetapkan secara syariat70. Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Mesir ditetapkan tahun 1950 dengan undang-undang no. 150 tahun 1950, terdiri dari
560 pasal terbagi kepada empat kitab. Undang-undang ini diperkuat dengan undang-
undang no. 121 tahun 1956. Undang undang no. 37,113 tahun 1957, nomor 45 tahun
195871. Undang-Undang Perdata Mesir mengalami sejarah yang panjang mulai tahun
1936, kemudian diganti dengan undangundang tahun 1938, tahun 1942, tahun 1945,
tahun 1948, dan tahun 1949. Undang-undang perdata Mesir memuat 1149 pasal, yang

65
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999).
66
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).
67
Al-Aysmawi, Syari‟ah: Kodifikasi Hukum Islam” Dalam Charlez Kurzman (et .Al) Islam Liberal, Terj.
Bahrul Ulum (et. Al.) (Jakarta: Paramadina, 2001).
68
Pulungan, Fiqh Siyasah.
69
Husni Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam (Jakarta: Bumi Aksara, n.d.).
70
Al-Asymawi, Al-Riba Wa Al-Faidah Fi Al-Islam (Kairo: Madbuli, 1996).
71
Rahiem, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam.

18
mengambil tiga sumber: Perbandingan undang-undang, Ijtihad hakim Mesir, dan dari
Syariat Islam. Dalam pasal pertamanya dinyatakan bahwa hakim harus berpegang
kepada prinsip-prinsip Syari’ah Islamiyah di kala tidak ada nash atau ‘Urf 72. Penerapan
syariat Islam di Mesir juga tercantum dalam undang-undang kewarisan, undang-undang
wakaf, dan undang-undang wasiat. Undang-Undang Mawaris yang dikeluarkan tahun
1934, ketentuannya diambil dari berbagai madzhab, dengan berpegang pokok pada
kitab Qudry Pasya Kitab Mursyid al-Hairan Ila Ma’rifati Ahwal al-Insan. Undang-
Undang tentang wakaf, tahun 1946, diperbaharuhi dengan undang-undang tentang
wakaf no 180 tahun 1952, yang menghapuskan wakaf ahli (selain wakaf khairi)
dijadikan Lembaga Hibah, dan diperbaharui pula dengan undang-undang no. 29 tahun
1960. Dan Undang-Undang tentang wasiat, tahun 1946. Undang-undang ini mengambil
bermacam-macam madzhab seperti seperti dari Hanafi dan mengambil juga dari
madzhab Ja’fari yang membolehkan wasiat kepada waris (pasal. 27). Dan
mengharuskan wasiat dengan tertulis secara resmi (pasal. 2) dan lain-lain73. Pada zaman
modern ini, semakin banyak terjadi kedzaliman dan ketidakadilan dalam pembagian
harta waris. Sebagai misal, terdapat seorang ayah yang mempunyai dua putra kemudian
kedua putranya tersebut dikaruniai anak-anak, namun salah seorang putranya
meninggal ketika ia hidup, maka ketika ia meninggal anak lelaki satu-satunya tersebut
mendapat semua harta waris secara ta’shib dan cucunya dari putra yang meninggal
tidak berhak mendapat waris sehingga menjadi miskin, hal tersebut karena ayah mereka
telah meninggal maka mereka tidak berhak mendapat warisan dari kakeknya karena
masih terdapat anak lelaki yang lain (paman) 74. Permasalahan seperti ini tidak terjadi
ketika Nabi hidup sehingga tidak ada hukum syari’at yang menerangkannya, begitu
juga pada masa sahabat sehingga tidak ada ijtihad tentang hukum dari masalah tersebut.
Sedangkan Islam tidak menginginkan adanya kecurangan dan kedzaliman. Dan ketika
pembuat undang-undang Mesir melihat adanya pengaruh yang buruk terhadap hal
tersebut di atas, maka mereka membuat undang-undang tentang wasiat wajibah yang
tercantum pada pasal 76 undang-undang no. 71 tahun 1946, yang menyatakan bahwa
seorang kakek wajib mewasiatkan sepertiga hartanya untuk para cucunya yang telah
ditinggal bapaknya ketika ia masih hidup75. Pada keputusan yang tertanggal pada 22

72
Ibid.
73
Ibid.
74
Muhammad Sa‟id al-Asymawi, Us}ul Al-Syari’ah (Kairo: Madbuli, 1983).
75
Ibid.

19
Desember 1955 peradilan syariat muslim dihapuskan, dengan menggabungkan
peradilan syari’ah dan peradilan sipil yang menangani hukum keluarga (ahwal
syakhsiyah)76. Seorang hakim dalam memutuskan perkara, ia bersandar pada beberapa
hal, yaitu pertama, undang- undang negara, kedua, adat kebiasaan, ketiga, syariat Islam,
keempat, undang-undang biasa, dan terakhir, pada asas keadilan. Dari sini diketahui
bahwa syariat Islam juga dijadikan pijakan hukum tapi pada urutan yang ketiga77.
Hukum ahwal syahsiyah yang sudah direformasi dikukuhkan oleh dekrit presiden
Anwar Sadat pada 1979. Di antara hal lainnya, hukum itu menghilangkan hak suami
untuk memaksa isterinya yang tidak patuh untuk kembali ke orang tuanya, menuntut
agar suami mendaftarkan talak dan memberi tahu kepada isterinya bahwa ia dicerai,
memperbolehkan isteri pertama untuk meminta perceraian dengan alasan pengambilan
isteri kedua oleh sang suami, dan menjunjung tinggi hak isteri dalam masalah
pemeliharaan, pengasuhan anak, dan pembagian harta pasca cerai. Bahkan, reformasi-
reformasi kecil seperti itu menyulut reaksi balik kaum konservatif. Pada 1985,
pengadilan konstitusional tinggi Mesir menyatakan bahwa cara cara pemakluman
undangundang itu tidak konstitusional. Hal ini menimbulkan kekecewaan besar
terhadap gerakan feminis yang sedang tumbuh. Setelah penghapusan undang-undang
1979, dalam upaya mendamaikan kedua belah pihak, diberlakukan undang-undang
kompromi yang mencairkan reformasi 1979 oleh Majelis Rakyat78. Pada kasus
keputusan pengesahan Undang-Undang Perkawinan Nomor 14 tahun 1979, tim
perumus undang-undang tersebut (terdiri dari Syeikh al-Azhar, Menteri Wakaf, dan
Mufti Negara) telah merujuk pada madzhab fiqh yang ada dan beberapa gagasan
manusiawi lainnya79. Di antara contoh undang-undang perkawinan yang mengadopsi
dari fikih adalah undang-undang Mesir no. 52 tahun 1979 dalam bab III bahwa talaq
yang disertai beberapa bilangan baik secara lisan maupun isyarat terjadi hanya satu kali
talak, sebagaimana ijtihad Umar ibn al-Khattab80.
Ashmawi menegaskan bahwa undang-undang perkawinan, warisan, dan wasiat,
diadopsi langsung dari prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Alqur’an dan
Sunnah serta produk hukum yang paling baik dari berbagai madzhab yang ada. Sistem

76
Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jilid II.
77
Jamal al-Din ’At}iyyah, Al-Syari’ah Al-Islamiyyah Wa Al-Qanun (Kairo: al-Ma‟had al-’Alam li alFikr al-
Islami, 1988).
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Muhammad Sa‟id al-Asymawi, Us}ul Al-Syari’ah.

20
adopsi atas prinsip dan opini madzhab fiqh yang ada itu, dilakukan oleh para pembuat
undang-undang atas pertimbangan ‚yang paling mendekati semangat kekinian dan
paling sesuai untuk kondisi sosial rakyat Mesir 81.

81
Ibid.

21
BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat di ambil beberapa kesimpulan antara lain:


1. Sejarah perkembangan Islam di Mesir pada pertengahan abad ke-19 tidak terlepas dari
peran yang dimainkan oleh upaya reformasi Muhammad Ali Pasha yang diperkenalkan dari
Barat.
2. Perkembangan Islam di Mesir pada pertengahan paruh kedua abad ke-19 ditandai dengan
munculnya para pembaharu pemikiran liberal, seperti Jamal al-Din Afghani dan
Muhammad ‘Abduh.
3. Di bawah pengaruh murid-murid dan pengikut Muhammad Abduh, reformasi Islam liberal
dan cenderung sekuler berlanjut pada paruh pertama abad ke-20. Pada pertengahan abad
kedua puluh, setidaknya ada tiga fenomena yang terkait dengan perkembangan Islam di
Mesir, yaitu: Nasserisme sosialis, fundamentalisme Islam radikal dan Islam sayap kiri,
yang diidentifikasi oleh Hasan Hanafi sebagai kombinasi antara Islam dan Nasserisme.
4. Peneraan syariat Islam di Mesir memiliki sejarah yang panjang, yang berlangsung
semenjak Islam masuk ke Mesir. Hukum syariat Islam yang berlaku di Mesir dipengaruhi
oleh kekuasaan atau dinasti yang berkuasa. Pada masa modern, banyak pelajar Mesir yang
dikirim ke luar negeri untuk belajar. Sekembalinya pelajar tersebut ke Mesir, sangat
mempengaruhi perkembangan pemikiran keagamaann di Mesir, di antaranya pemikiran
tentang Islam dan negara, yang terbagi menjadi tiga aliran: yaitu Islam adalah agama dan
negara, Islam hanya agama dan tidak mencakup negara, dan Islam adalah agama yang juga
mengajarkan etika bernegara. Ketiga aliran tersebut sangat berpengaruh pada penerapan
syariat Islam di Mesir.

22
DAFTAR PUSTAKA

’At}iyyah, Jamal al-Din. Al-Syari’ah Al-Islamiyyah Wa Al-Qanun. Kairo: al-Ma‟had al-’Alam


li alFikr al-Islami, 1988.
Al-Asymawi. Al-Riba Wa Al-Faidah Fi Al-Islam. Kairo: Madbuli, 1996.
Al-Aysmawi. Syari‟ah: Kodifikasi Hukum Islam” Dalam Charlez Kurzman (et .Al) Islam
Liberal, Terj. Bahrul Ulum (et. Al.). Jakarta: Paramadina, 2001.
Esposito-John, John L. “Hasan Hanafi”, Dalam Makers of Contemporary Islam. Vol I.
Oxford: Oxford University Press, 2001.
Haif, Abu. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” Jurnal Rihlah II, no. 1 (2015): 70.
Hanafi, Hassan. Al-Yasr Al-Islami: Kitabah Al-Nahdah Al-Islamiyyah. Kairo Mesir, 1981.
Hawi, Akmal. “Pengembangan Islam Di Afrika Utara Dan Peradabannya.” Medina-Te 14, no.
1 (2017): 61–68.
Indriana, Nilna. “Transisi Bahasa Arab Dan Polemik Kristen Koptik.” An-Nas: Jurnal
Humaniora 2, no. 1 (2018): 14.
Jankowski, Gershoni Israel; James P. Egypt, Islam, and The Arabs: The Search for Egyptian
Nationhood, 1900-1930. Oxfor: Oxford University Press, 1986.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, Jilid II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Muhammad Sa‟id al-Asymawi. Us}ul Al-Syari’ah. Kairo: Madbuli, 1983.
Musyafa’ah, Nur Lailatul. “Penerapan Syari’at Islam Di Mesir.” al-Daulah: Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam 2, no. 2 (2012): 214.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
Rahiem, Husni. Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam. Jakarta: Bumi Aksara, n.d.
Shimogaki, Kazuo. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan
Hanafi’s Thought: A Critical Reading. Terj. LKiS. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Suliki. “Dinamika Pendidikan Dan Dakwah Pada Masa Mesir Modern.” Jurnal Studi Islam dan
Kemuhammadiyahan ( JASIKA ) 1, no. 1 (2021): 41.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

23

Anda mungkin juga menyukai