Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri


Mata Kuliah SKI Masa Modern
:
Dosen Pengampu Anwar Nuris M.Hum
:

Oleh : Hilal Ramadhan

1808301068

SKI 4B

SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta karunia-Nya kepada kami sehingga
kami berhasil menyelesaikan tugas makalah SKI Masa Modern yang
berjudul “Pembaharuan Mesir” tepat pada waktunya. penulis menyadari
bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Serta kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
kalangan.

Penyusun,

Cirebon, 08 Maret 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................

1.3 Tujuan.....................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................

2.1 Pembaharuan Islam Di Mesir..................................................................................

2.2 Tokoh Pembaharuan Islam Di Mesir.......................................................................

BAB III PENUTUP................................................................................................................

3.1 Kesimpulan.............................................................................................................

3.2 Saran.......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 merupakan momentum penting dari
perkembangan Islam. Kedatangan “penakluk dari Prancis” ini tidak hanya membuka mata
kaum muslim akan apa yang dicapai oleh peradaban Barat di bidang sains dan teknologi,
tetapi juga menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam. Di antaranya
akibat kontak itu di lingkuangan elit muslim para penguasa dan kalangan cendikiawan
gerakan pembaharuan Islam kembali memperoleh gairah. Kaum muslim semakin intensif dan
bersemangat mengkaji kembali doktrin-doktrin dasar Islam khususnya dihadapkan pada
kemajuan Barat. Kritik-kritik terhadap kondisi umum masyarakat Islam bermunculan, seruan
berjihad semakin nyaring terdengar, pandangan lama yang menganggap pintu ijtihad telah
tertutup tidak hanya digugat, tetapi bahkan dianggap sebagai cermin dari keterbelakangan
intelektual. Tidak heran jika taqlid mendapat kritik pedas dari kalangan pembaharu.
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Pembaharuan di Mesir?


2. Siapa saja tokoh Pembaharaun di Mesir?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui tentang sejarah Pembaharuan di Mesir


2. Mengetahui tokoh pembaharuan di Mesir
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Latar Belakang Sejarah Pembaharuan di Mesir


Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada
kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibu kotanya merupakan awal
kebangkitan Mesir di abad permulaaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara
tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut
karena ia mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir.
Kerajaan Romawi Timur dengan ibu kota Bizantium merupakan rival berat
pengembangan Islam yang keberadaannya berlangsung sampai pada masa pemerintahan
Kholifah Umar Bin Khatab. Pada saat Umar menjadi Khalifah, Romawi Timur merupakan
target pengembangan misi keislaman dan akhirnya kekuatan militer Romawi tidak dapat
menghambat laju kemenangan Islam di Mesir, karena keberadaan Islam sebagai agama baru
memberikan keluasaan dan kebebasan untuk hidup, yang selama itu tidak diperoleh dari
pemerintahan Romawi Timur, termasuk didalamnya kondisi yang labil karena
berkembangnya konflik keagamaan.
Mesir menjadi wilayah Islam pada zaman khalifah Umar bin Khattab pada 640 M,
Mesir ditaklukkan oleh pasukan Amr Ibn al-Ash yang kemudian ia dijadikan gubernur di
sana. Kemudian diganti oleh Abdullah Ibn Abi Syarh pada masa Usman dan berbuntut
konflik yang menjadi salah satu sebab terbunuhnya Usman ra. Mesir menjadi salah satu
pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas,
seperti Fatimiah ( sampai tahun 567 H) yang mendirikan Al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-
648 H) yang terkenal dengan perang salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, dinasti
Mamluk (648-922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon dan Turki Usmani.
Segera setelah Mesir menjadi salah satu bagian Islam, Mesir tumbuh dengan
mengambil peranan yang sangat sentral sebagaimana peran-peran sejarah kemanusiaan yang
dilakoninya pada masa yang lalu, misalnya : Menjadi sentral pengembangan Islam di wilayah
Afrika, bahkan menjadi batu loncatan pengembangan Islam di Eropa lewat selat Gibraltar
(Aljajair dan Tunisia). Menjadi kekuatan Islam di Afrika, kakuatan militer dan ekonomi.
Pengembangan Islam di Mesir merupakan napak tilas terhadap sejarah Islam pada
masa Nabi Musa yang mempunyai peranan penting dalam sejarah kenabian. Menjadi wilayah
penentu dalam pergulatan perpolitikan umat Islam, termasuk di dalamnya adalah peralihan
kekuasaan dari Khulafaur Rasyidin kepada Daulat Bani Umaiyah dengan tergusurnya Ali Bin
Abi Thalib dalam peristiwa “Majlis Tahkim”.
Pada tanggal 2 Juni 1798 M, ekspedisi Napoleon mendarat di Alexandria (Mesir)
dan berhasil mengalahkan Mamluk dan berhasil menguasai Kairo. Setelah ditinggal
Napoleon digantikan oleh Jenderal Kleber dan kalah ketika bertempur melawan Inggris. Dan
pada saat bersamaan datanglah pasukan Sultan Salim III (Turki Usmani) pada tahun 1789-
1807 M dalam rangka mengusir Prancis dari Mesir. Salah satu tentara Turki Usmani adalah
Muhammad Ali yang kemudian menjadi gubernur Mesir di bawah Turki Usmani.
Walaupun Napoleon menguasai Mesir hanya dalam waktu sekitar tiga tahun, namun
pengaruh yang ditinggalkannya sangat besar dalam kehidupan bangsa Mesir. Napoleon
Bonaparte menguasai Mesir sejak tahun 1798 M. Ini merupakan momentum baru bagi sejarah
umat Islam, khususnya di Mesir yang menyebabkan bangkitnya kesadaran akan kelemahan
dan keterbelakangan mereka. Kehadiran Napoleon Bonaparte di samping membawa pasukan
yang kuat, juga membawa para ilmuwan dengan seperangkat peralatan ilmiah untuk
mengadakan penelitian.
Harun Nasution menggambarkan ketika Napoleon datang ke Mesir tidak hanya
membawa tentara, akan tetapi terdapat 500 orang sipil 500 orang wanita. Diantara jumlah
tersebut terdapat 167 orang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan membawa 2
unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani, tujuannya untuk kepentingan ilmiah
yang pada akhirnya dibentuk sebuah lembaga ilmiah dinamai Institut d’Egypte terdiri dari
ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, dan sastera seni. Lembaga ini boleh dikunjungi
terutama oleh para ulama dengan harapan akan menambah pengetahuan tentang Mesir dan
mulailah terjadi kontak langsung dengan peradaban Eropa yang baru lagi asing bagi mereka.
Alat percetakan yang dibawa Napoleon tersebut menjadi perusahaan percetakan
Balaq, perusahaan tersebut berkembang sampai sekarang. Sedangkan peralatan modern pada
Institut ini seperti mikroskop, teleskop, atau alat-alat percobaan lainnya serta kesungguhan
kerja orang Prancis merupakan hal yang asing dan menakjubkan bagi orang Mesir pada saat
itu.
Abdurrahman al-Jabarti, ulama al-Azhar dan penulis sejarah, pada tahun 1799
berkunjung ke Institut d’Egypte; sebuah lembaga riset yang didirikan oleh Napoleon di
Mesir. Ketika kembali dari kunjungan itu, al-Jabarti berkata, “saya lihat di sana benda-benda
dan percobaan-percobaan ganjil yang menghasilkan hal-hal besar untuk dapat ditangkap oleh
akal seperti yang ada pada kita”, ungkapan al-Jabarti itu merefleksikan kemunduran Islam
berhadapan dengan Barat, dan menunjukkan aktivitas ilmiah mengalami kemunduran umat
Islam ketika itu. Di samping kemajuan teknologi yang dibawa Napoleon, ia juga membawa
ide-ide baru yang dihasilkan Revolusi Prancis seperti: Sitem pemerintahan republik yang
didalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar
dan bisa dijatuhkan oleh Parlemen. Sementara yang belaku pada saat itu sistem pemerintahan
raja absolut yang menjadi raja selama ia hidup dan digantikan oleh anaknya, serta tidak
tunduk kepada konstitusi atau parlemen, karena keduanya tidak ada.
Ide persamaan ( egaliter) dalam arti sama kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam
soal pemerintahan, cara mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama
Al-Azhar dan pemuka-pemuka dagang dari Kairo dan daerah-daerah lain. Ide kebangsaan
dengan menyebutkan orang Prancis merupakan suatu bangsa (nastion) dan kaum Mamluk
merupakan orang asing yang datang ke Mesir walaupun beragama Islam. Pada saat itu yang
ada hanya umat Islam dan tidak sadar akan perbedaan bangsa dan suku bangsa.
Menurut Philip K. Hitti, Napoleon Bonaparte mendarat di Iskandariyah pada Juli
1798 dengan tujuan menghukum kaum Mamluk yang dituduh dalam pidato kedatangannya
dalam bahasa Arab sebagai muslim yang tidak baik, tidak seperti dirinya dan orang Prancis
untuk mengembalikan kekuasaan Porte. Tujuan utamanya melancarkan serangan hebat
kepada kerajaan Inggris dengan cara memutus jalur komunikasinya dengan wilayah Timur,
sehinga ia memiliki daya tawar untuk menguasai dunia. Akan tetapi penghancuran arnada
Prancis di Teuluk Aboukir ( 1 Agustus 1798 ), tertahannya ekspedisi di Akka ( 1799) serta
kekalahan pertempuran Iskandariyah ( 21 Maret 1801) mengagalkan ambisi Napoleon di
Timur.
Diantara keberhasilan yang telah dicapai oleh orang sipil Prancis di Mesir sebagai
berikut:
Membuat saluran air di lembah Sungai Nil, sehingga hasil pertaniannya berlibat
ganda.
Di bidang sejarah, ditemukan batu berukir yang terkenal dengan Rossetta Stone.
Di Bidang pemerintahan, merambahnya ide sistem pemerintahan yang kepala
negaranya dipilih dalam waktu tertentu dan tunduk pada perundang-undangan. Hal ini tentu
saja sulit diterima oleh para menguasa pada saat itu.
Pembaharuan Islam di Mesir menurut John L. Esposito dilatarbelakangi oleh
ortodoksi sunni yang mengalami proses kristalisasi setelah bergulat dengan aliran muktazilah,
aliran syiah dan kelompok khawarij yang kemudian disusul dengan sufisme yang pada
tahapan selanjutnya mengalami degenerasi. Degenerasi dan dekadensi aqidah dan politik
nepotisme dan absolutis yang bertentangan semangat egaliterianisme yang diajarkan Islam
setelah merajalelanya bid’ah, kurafat, fabrikasi dan supertisi di kalangan umat Islam dan
membuat buta terhadap ajaran-ajaran Islam yang orisinal. Maka tampilah pada abad peralihan
13 ke-14 seorang tokoh Ibnu Taimiyah yang melakukan kritik tajam sebagai reformis
( Tajdid) dengan seruannya agar umat Islam kembali kepada Al-Quran, Sunnah serta
memahami kembali ijtihad.
Al-Azhar yang selama ini berkembang menjadi simbol kajian keilmuan, juga
terjangkit penyakit kejumudan dengan hanya mengajarkan ilmu agama dan melarang segala
bentuk kajian keilmuan yang berangkat dari sisi rasionalitas, sistematik dan ilmiyah.
Keterbukaan dalam melakukan pemikiran keislaman dan pendidikan dengan orientasi pada
sikap rasionalitas merupakan barang baru, yang sama sekali tidak berkembang di kalangan
umat Islam Mesir, dan tawaran-tawaran semacam itu akan menimbulkan reaksi yang keras,
yang berkembang dari mereka yang tidak mau menggunakan rasionalitas dan pembahasan
sistematis terhadap ajaran Islam. Hal tersebut sangat wajar karena umat Islam telah jatuh
pada sikap kehangatan sufisme dan mistisisme.
Kehadiran Napoleon ini sangat berarti bagi timbulnya pola pendidikan dan
pengajaran Barat, yang sedikit demi sedikit akan mengubah persepsi dan pola pemikiran
umat Islam, dan ini sudah barang tentu akan melahirkan semangat pengkajian dan
pembaharuan dalam Islam.
Maka pada tahap perkembangannya pola pembaharuan Islam Kontemporer di Mesir
lebih mengarah kepada hal-hal berikut: Pertama, pembaharuan sistem berfikir artinya tata
cara berfikir umat Islam yang harus meninggalkan pola pikir tradisional yang
dogmatik.Kedua, upaya membangun semangat kolegial umat, agar memperoleh kesempatan
melakukan aktualiasai ajaran terutama partisipasi aktif dalam percaturan politik, ekonomi dan
hukum di dunia, sebab selama ini, umat Islam secara aktif tidak mampu memberikan
partisipasinya dalam percaturan dunia.
2.2 Tokoh-Tokoh Pembaharuan di Mesir dan pemikirannya
1. Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali, adalah seorang keturunan Turki yang lahir di Kawalla, Yunani, pada
tahun 1765, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Setelah dewasa, Muhammad Ali
Pasya bekerja sebagai pemungut pajak dan karena ia rajin bekerja jadilah ia disenangi
Gubernur dan akhirnya menjadi menantu Gubernur. Setelah kawin ia diterima menjadi
anggota militer, karena keberanian dan kecakapan menjalankan tugas, ia diangkat menjadi
Perwira. Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki mengirim bantuan
tentara ke Mesir, diantaranya adalah Muhammad Ali Pasya, bahkan dia ikut bertempur
melawan Napoleon pada tahun 1801.
Rakyat Mesir melihat kesuksesan Muhammad Ali dalam pembebasan mesir dari
tentara Napoleon, maka rakyat mesir mengangkat Muhammad Ali sebagai wali mesir dan
mengharapkan Sultan di Turki merestuinya. Pengakuan Sultan Turki atas usul rakyatnya
tersebut baru mendapat persetujuannya dua tahun kemudian, setelah Turki dapat mematahkan
intervensi Inggris di Mesir. Setelah Muhammad Ali mendapat kepercayaan rakyat dan
pemerintah pusat Turki, ia menumpas musuh-musuhnya terutama golongan Mamluk yang
masih berkuasa di daerah-daerah, akhirnya Mamluk dapat ditumpas habis. Dengan demikian
Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir,
Salah satu bidang yang menjadi sentral pembaruannya adalah bidang-bidang militer
dan bidang-bidang yang bersangkutan dengan bidang militer, termasuk pendidikan.
Kemajuan di bidang ini tidak mungkin dicapai tanpa dukungan ilmu pengetahuan modern.
[ Atas dasar inilah sehingga perhatian di bidang pendidikan mendapat prioritas utama.
2. Al-Tahtawi
Tahtawi dilahirkan di Tahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon
menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-
ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik
mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi
perjalanan intelektualnya.
Dia adalah seorang pembawa pemikiran pembaharuan yang besar pengaruhnya di
pertengahan pertama dari abad ke-19 di Mesir. Dalam gerakan pembaharuan Muhammad Ali
Pasya, al-Tahtawi turut memainkan peranan. Ketika Muhammad Ali mengambil alih seluruh
kekayaan di Mesir harta orang tua al-Tahtawi termasuk dalam kekayaan yang dikuasai itu. Ia
terpaksa belajar di masa kecilnya dengan bantuan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16
tahun, ia pergi ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Setelah lima tahun menuntut ilmu ia
selesai dari studinya di Al-Azhar pada tahun 1822. Ia adalah murid kesayangan dari gurunya
Syaikh Hasan al-‘Atthar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu
pengetahuan Prancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Syaikh Al-‘Attar melihat
bahwa Tahtawi adalah seorang pelajar yang sungguh-sungguh dan tajam pikirannya, dan oleh
karena itu ia selalu memberi dorongan kepadanya untuk senantiasa menambah ilmu
pengetahuan. Setelah selesai dari study di Al-Azhar, Al-Tahtawi mengajar disana selama dua
tahun, kemudian diangkat menjadi imam tentara di tahun 1824. Dua tahun kemudian dia
diangkat menjadi imam mahasiswa-mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Paris .
Disamping tugasnya sebagai imam ia turut pula belajar bahasa Prancis sewaktu ia masih
dalam perjalanan ke Paris.
Sebagai pemimpin dalam penerjemahan buku-buku asing, Al Tahtawi menerbitkan
surat kabar resmi yang diberi nama Al-Waqa-i ‘Ul-Mishriyah yang memuat berita-berita
tentang kemajuan Barat termasuk teori-teori politik yang didasarkan kepada keadilan dan
kerakyatan.
Al-Tahtawi juga mengarang buku-buku dalam penyebaran pengetahuan modern
kepada khalayak ramai. Diantara beberapa buku terpentingnya: Taukhlisul Ibriz fi talkhishi
Bariz (intisari dan kesimpulan tentang Paris), Manahijul albab al-Mishriyah fi manahijil adab
al-“ashriyah (Jalan bagi orang Mesir untuk mengetahui Literatur Modern), dan buku Al-
Mursyidul Amin lil Banati wa al-Banin (petunjuk bagi Pendidikan putra-dan puteri)///.
Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di Mesir karena
menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil mendirikan sekolah penerjemahan dan
menjadikan bahasa asing tertentu sebagai pelajaran wajib di sekolah. Di antara pendapat baru
yang dikemukakannya adalah ide pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya
terutama ditujukan kepada pemberian kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan
di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan
memberikan kesempatan belajar yang sama antara pria dan wanita, sebab wanita itu
memegang posisi yang menentukan dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi
isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diharapkan melahirkan putra-putri
yang cerdas.

3.Jamaluddin Al-Afgani

Jamaluddin al-Afgani lahir di Asadabad Afganistan pada tahun 1838 sebagai seorang
anak dengan kualitas Intelektual yang sangat luar biasa. Ia meninggal dunia pada tahun 1897
M. berdasarkan silsilah keturunannya al-Afgani adalah keturunan Nabi melalui Sayyidina Ali
ra. Ia bergelar sayyid menunjukan ia berasal dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Disamping itu ia juga dikenal dengan nama Asadabadi.[12] Pada umur 18 tahun ia telah
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum dan agama.
Karena keluasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka pada saat umur 18 tahun tersebut
ia telah mempesona dunia intelektual dan politik dengan gaya agitasinya yang sungguh
menakjubkan. Ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost
Muhammad Khan di Afganistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi Perdana
Menteri. Pengaruh agitasinya telah melahirkan suatu revolusi di Afganistan (Kabul) yang
memaksa dia harus mengungsi ke India untuk kali pertama pada tahun 1867, sebagai awal
dari pertualangan kemuliaan dan politiknya.
Jamaluddin Al-Afgani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang
tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu negara ke negara Islam lainnya. Pengaruh
terbesar ditinggalkan di Mesir. Ketika zaman Al-Tahtawi buku-buku diterjemahkan sudah
menyebar dan di dalamnya terdapat salah satu ide trias politika dan patriotisme, maka pada
tahun 1879 Al-Afgani membentuk partai al-Hizb al-Wathan (Partai Nasionalis) dengan
slogan Mesir untuk orang Mesir mulai kedengaran dengan memperjuangkan universal,
kemerdekaan pers dan pemasuka unsur-unsur Mesir ke dalam bidang militer. Di India, ia juga
merasa tidak bebas untuk bergerak karena negara ini telah jatuh ke bawah kekuasaan Inggris,
nampaknya India adalah sebuah persinggahan sementara, karena ternyata pengaruh
Jamaluddin telah menumbuhkan semangat kebangsaan untuk melawan Inggris, yang sudah
barang tentu sangat dibenci oleh mereka. Maka pada tahun 1871 ia pergi ke Mesir untuk lkali
ke dua dan menetap di sana selama 8 tahun (1879). Pada mulanya menjauhi persoalan-
persoalan politik Mesir dan memusatkan perhatian pada bidang ilmiah dan sastra Arab. Di
tempat ia tinggal kemudian menjadi tempat pertemuan murid-muridnya. Disanalah ia
memberikan kuliah dan mengadakan diskusi. Muridnya berasal dari berbagai golongan,
seperti orang pemerintahan, pengadilan, dosen dan mahasiswa Al-Azhar serta perguruan
tinggi lain. Tetapi ia tidak lama dapat meninggalkan lapangan politik[13].
Tahun 1876 turut campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir makin
meningkat. Ketika itu ide-ide Al-Tahtawi sudah mulai meluas di kalangan masyarakat Mesir,
di antaranya ide trias politica dan patriotisme, maka pada tahun 1879 atau usahanAl-Afgani
terbentuklah partai Al-Hizb al-Watani (partai nasional). Tujuan partai ini untuk
memperjuangkan pendidikan universal dan kemerdekaan pers. Atas sokongan partai ini Al-
Afgani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang berkuasa waktu itu, yakni Khedewi Ismail.
Masa 8 tahun menetap di Mesir itu mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam
disana menurut Madkur (dalam Martini 2010:88) Al-Afganilah yang membangkitkan gerakan
berpikir di Mesir sehingga negara ini dapat mencapai kemajuan “Mesir modern”, demikian
Madkur”, adlah hasil dari usaha-usaha Jamaluddin Al-Afgani. Selama 8 tahun menetap di
Mesir ia pergi ke Paris, disini ia mendirikan perkumpulan “Al-Urwatul Wusqa” yang
anggotanya terdiri dari orang-orang Islam dari India, Mesir, Suria, Afrika Utara dan lain-lain.
Diantara tujuan yang ingindicapai ialah memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam
dan membawa Islam kepada kemajuan. Kemudian di Paris inilah ia bertemu dengan
muridnya yang setia yaitu Muhammad Abduh dan kemudian ia kembali ke Istambul, sampai
akhir hayatnya. Selama di Mesir Al-Afgani mengajukan konsep-konsep pembaharuannya,
antara lain:
1) Musuh utama adalah penjajahan (Barat), hal ini tidak lain dari lanjutan perang
Salib.
2) Umat Islam harus menantang penjajahan dimana dan kapan saja.
3) Untuk mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).

Pan Islamisme bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka
harus mempunyai satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama
merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan
tersebut di atas menurut Al-Afgani:
1) Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
2) Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat atau derajat budi luhur.
3) Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup, dan kehidupan manusia bukan
sekedar ikutan belaka.
4) Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan
pendidikan pada manusia-manusia bodoh dan juga menerangi hawa nafsu jahat dan
menegakkan disiplin.

Melihat hal tersebut, maka orientasi pembaharuan Islam Mesir terutama yang dilakukan oleh
Jamaluddin Al-Afgani lebih mengarah kepada pembaharuan cara berpolitik di kalangan umat
Islam
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap tokoh-tokoh
pembaharuan di Mesir memiliki peranan masing-masing di zamannya. Begitu pula dengan
keahlian-keahlian khusus dalam bidang polik, ilmu pemgetahuan, kemiliteran dan sebagainya
sehingga mampu menopang sebuah peradaban menjadi lebih maju dan berpikir kritis. Secara
umum, penulis menyimpulkan bahwa perjuangan Muhammad Ali pasya (1765-1849 M)
bukanlah orang yang pandai dalam hal pengetahuan baca tulis. Akan tetapi Ia memiliki
kemampuan yang kuat dalam hal keberanian dan kecerdasan sehingga membuatnya
bergabung dalam pemeerintahan militer pada waaktu itu. Pengaruh Ali yang terbesar di mesir
yakni dengan menyatukan kembali kekuasaan mesir dari kaum Mamluk dan kaum Khursyid
pasya sehingga tercipta pemerintahan tunggal. Selain itu ia juga banyak mengirimkan para
mahasiaswa-mahasiswa ke Eropa untuk menuntut ilmu demi kemajuan Mesir.

Kemudian terdapat tokoh At-Tahtawi sebagai tokoh pembawa perubahan. Ia adalah


seorang yang rajin dan cerdas dalam menuntut ilmu, mulai dari belajar di Al-Azhar sampai ke
Paris, Perancis. Ia hidup di zaman pemerintahan ali Pasya dan keturunannya. Gebrakan yang
ia dapat dari belajar di perancis yakni sebagai ahli bahasa yang banyak menerjemahkan
karya-karya bahasa Perancis ke dalam bahasa Arab selain itu, ia juga berkeinginan untuk
meng-Eropakan mesir dengan kemajuan ilmu pengetahuannya.
Terakhir yakni Jamaluddin al-Afghani (1838-1897 M), ia adalah seorang ahli dalam
bidang pengetahuan, filsafat, politik, ekonomi, hukum, dan agama. Ia berperan sebagai
seorang yang mempunyai agitasi yang banyak memuat pergerakan-pergerakan demokratis
dan nasionalis yang diadobsi dari Montesque dari Eropa sebagai hasil penerjemahan karya
asing. Selain itu ia juga berperan dalam pembentukan Mesir modern dengan memerdekakan
pers dan pendidikan yang universal.

DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr.Harun Nasution.Pembaharuan Dalam Islam Sejarah PEmikiran dan Gerakan.
(Jakarta:Bulan Bintang.1982) cet ke 2 hlm.29
Drs.H.M.Yusran Asmuni.Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia
Islam.(Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.1998 cet.2 ) hlm67

Anda mungkin juga menyukai