Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih dan Ushul Fiqih
Dosen Pengampu: Dr. Afdawaiza, S. Ag., M. Ag.
Disusun Oleh:
2023
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................... 21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau biasa
disingkat dengan sebutan LGBT, masih terus menjadi perdebatan di kalangan
masyarakat dunia. LGBT di indonesia masih menjadi isu yang belum terselesaikan.
Isu tersebut masih tergolong hal tabu dan masyarakat ndonesia belum memahami
sepenuhnya akan isu tersebut. Oleh karena itu, perilaku LGBT dianggap sebagai
perbuatan yang memberikan gangguan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian
dalam masyarakat, serta menimbulkan kegaduhan dan ketakutan.
Homoseksual atau yang sering disebut dengan LGBT merupakan salah satu
fenomena yang marak di era keterbukaan globalisasi seperti ini. Homoseksual
merupakan perilaku di mana seseorang memiliki ketertarikan kepada sesama
jenisnya, baik itu laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan.
Orientasi seksual kepada sesama jenis ini disebut dengan homoseksual.1
Dalam islam istilah ini biasa disebutkan dengan istilah liwath. Diistilahkan
dengan liwath yang mana berasal dari kata Luth. Penyandaran kata ini karena
perbuatan tersebut dalam sejarah islam pernah terjadi di masa Nabi Luth.
Penyandaran ini tentu bukan tanpa alasan. Dalam pandangan islam, kaum Nabi
1
Ada tiga persoalan yang pokok dalam pembahasan dalam kelompok LGBT, yaitu orientasi
seksual, perilaku seksual dan identitas gender. Ketiganya merupakan hal yang berbeda, namun tidak
dapat dipisahkan. Laki-laki yang homoseksual disebut dengan ‘gay’, jika perempuan disebut dengan
‘Lesbi’ dan ada pula yang disebut biseksual (bisa kepada sesama jenis atau lawan jenis sekaligus).
Ada pula ‘waria’ atau disebut dengan Transgender yang memiliki masalah dengan identitas
gendernya (Seperti laki-laki yang merasa dirinya adalah perempuan atau sebaliknya). Dalam
perspektif mainstream psikologi, baik yang homo, lesbi, maupun biseksual dinilai sebagai orientasi
dan perilaku penyimpangan seks. Lihat Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas
Seksual (Bandung: PT Mandar Maju, 1989), hlm. 247.
3
Luth bisa dibilang adalah kaum pertama yang mempraktekkan aktivitas seksual
yang bersifat homoseksual tersebut.2
Dewasa ini, polemik terkait kemunculan LGBT ini tidak hanya ada pada
kemunculannya namun, para kaum LGBT ini juga menginginkan adanya
pengakuan sebagai masyarakat pada umumnya untuk mendapatkan hak-hak yang
sama. Dengan dalih hak asasi manusia mereka meminta hak-hak seperti hak untuk
hidup, hak untuk menikah itu dilegalkan oleh negara. Ini menjadi persoalan yang
pelik dengan Indonesia dimana indonesia merupakan negara mengusung sistem
demokratis yang mana pasti selalu berkaitan dengan prinsip-prinsip kebebasan. Di
sisi lain indonesia juga negara yang prinsipnya selalu sejalan dengan nilai-nilai
ketuhanan sedangkan LGBT ini merupakan perilaku yang dilarang oleh berbagai
agama, baik islam maupun kristen.
Islam secara jelas melarang perbuatan seksual yang bersifat homoseksual, ini
terkandung dalam al-Qur’an beriringan dengan adanya kisah kaum Nabi Luth di
dalam al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an menyebut perbuatan itu dengan sebutan
fahisyah yang berarti “keji”. Secara kodrati perilaku LGBT memang dianggap
menyimpang, di mana yang seharusnya aktivitas seksual itu cenderung kepada
lawan jenis, tetapi tidak dengan LGBT ini. Sebagai seorang yang beragama tentu
kita harus menolak perilaku menyimpang ini masuk ke dalam kehidupan kita.
Apalagi dengan adanya dalil diharamkan dan dilaknatnya perilaku tersebut. Tentu
kita harus sebisa mungkin untuk menjauhi dan mencegahnya masuk ke dalam
kehidupan kita.
2
Perilaku homoseks pria kepada sesama pria (sodomi) yang di dalam hukum islam disebut
dengan istilah liwath. Kata liwath ini memiliki akar kata yang sama dengan ‘Luth’. Akar kata yang
sama ini dirujukkan dengan perilaku seks menyimpang yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth pada
saat itu. Disebutkan dalam al-Qur’an (Surat Al-A’raf 7:80) bahwa kaum Nabi Luth lah yang pertama
kali melakukan perbuatan menyimpang tersebut. Lihat Abdul Mustaqim, HOMOSEKSUAL DALAM
PERSPEKTIF AL-QUR’AN Pendekatan Tafsir Kontekstual al-Maqāṣidī, Jurnal Ṣuḥuf, Vol. 9, No.
1, (Juni, 2016), hlm. 52.
4
bersifat heteroseksual (lawan jenis) bukan yang bersifat homoseksual (sesama
jenis), yaitu: Seksualitas merupakan zīnah (perhiasan) dan matāʻ (kesenangan),
seksualitas juga merupakan libās (pakaian) kehidupan,3 juga seksualitas sebagai
proteksi eksistensi dari manusia itu sendiri (dalam hal bereproduksi), yang terakhir
seksualitas yang hadir sebagai sesuatu yang membawa sakīnah (ketenangan).4
Tidak hanya itu, al-Qur’an-melalui konteks historis (sabab nuzul mikro) tidak
pernah menyebutkan adanya suatu hubungan sejenis yang direstui. Narasi-narasi
yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak pernah secara jelas menyebutkan hubungan
sejenis, melainkan yang disebutkan di dalam al-Qur’an secara terus menerus adalah
hubungan seks yang bersifat heteroseksual. Misal dalam kasus turunnya ayat
tentang Khawlah binti Ṡa’labah yang dijatuhi sumpah ẓihar oleh suaminya, Aus bin
Ṣamit (Surah al-Mujādilah/58: 1-4), kasus Umar bin Khattab di mana beliau hendak
“mendatangi” istrinya pada malam bulan Ramadan, hingga turun ayat mengenai
kebolehan hubungan seks pada malam bulan Ramadan (Surah al-Baqarah/2: 187),
dan kasus dilarangnya hubungan seks di saat istri sedang mengalami menstruasi
(Surah al-Baqarah/2: 222), kasus pelarangan ini terkait dengan kebiasaan orang-
orang Yahudi yang memperlakukan istrinya pada saat menstruasi dengan sangat
ekstrim, sehingga tidak mau makan, minum, dan tidur satu ranjang. Demikian juga
3
Berfungsi sebagai proteksi (perlindungan) dari segala hal yang bersifat menganggu (cont.
maksiat, madharat) dan dekorasi (keindahan) bagi sepasang suami-istri tersebut.
4
Abdul Mustaqim, HOMOSEKSUAL DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Pendekatan
Tafsir Kontekstual al-Maqāṣidī, hlm. 40-45.
5
sama orang-orang nasrani yang mengajak istri mereka berhubungan di saat sedang
mengalami menstruasi. Semuanya tersebut menyebutkan kasus hubungan seks
secara heteroseksual. Dalam kasus hubungan seks yang bersifat homoseksual, al-
Qur’an tidak pernah menyebutnya hingga mendapat legalisasi, sebaliknya dalam
penyebutannya al-Qur’an malah secara tegas melarangnya dan menganggapnya itu
sebuah perbuatan yang keji (fahisyah).5
Maka dari itu perlu bagi kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana
bentuk-bentuk dari LGBT atau homoseksualitas itu sebagai upaya untuk
menghindari perbuatan tersebut. Mengapa al-Qur’an melarangnya secara tegas
bahkan di setiap ayat yang menyebutkan perbuatan itu, perilaku tersebut disebut
dengan fahisyah? Mengapa al-Qur’an berkata sedemikian buruknya hingga terus
diulang-ulang? Apa sebenarnya dampak dari perbuatan tersebut? Apakah sekedar
membawa penyakit terhadap kelamin? Atau lebih dari itu? Tulisan ini akan sedikit
mengulas tentang bentuk-bentuk penyimpangan seksual dan bagaimana islam-
terutama dalam hal ini fiqh menanggapi terkait hal tersebut. Bagaimana para ulama’
islam ahli fiqh berpendapat tentang hal-hal tersebut.
5
Abdul Mustaqim. HOMOSEKSUAL DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Pendekatan
Tafsir Kontekstual al-Maqāṣidī, hlm. 46.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertiaan LGBT
1. LGBT dalam Berbagai Istilah
a. Lesbian
6
Shankle, Michael D. The Handbook of Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Public
Health: A Practitioner's Guide to Service. Haworth Press, 2006.
7
Wigke Capri Arti Sp, Politik Subaltern Pergulatan Identitas Gay, Yogyakarta: JPP UGM,
2010, h. 121.
7
digunakan bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada
sesama perempuan atau disebut juga perempuan yang mencintai perempuan
baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Adapun gejala
atau ciri-ciri dari individu yang tergolong lesbian, yaitu:
8
2) Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki
kesamaan gender dengan dirinya.
3) Ia mengindetifikasikan dirinya sebagai gay.
c. Biseksualitas
8
Robin, L., & Hammer, K. Bisexuality: identities and community. In V.A. Wall & N.J.
Evans (Eds.), Toward acceptance: sexual orientation issues on campus. Lanham, MD: University
Press of America, 2000.
9
d. Transgender
Transgender merupakan ketidaksamaan identitas gender seseorang
terhadap jenis kelamin yang ditunjuk kepada dirinya9. Transgender bukan
merupakan orientasi seksual. Seseorang yang transgender dapat
mengidentifikasi dirinya sebagai seorang heteroseksual, homoseksual,
biseksual, maupun aseksual. Beberapa orang menilai penamaan orientasi
seksual yang umum tidak cukup atau tidak dapat diterapkan terhadap
kondisi transgender.
اللواط َع َمل قَ ْوٍم لُوط يُقال ألط وألوط لَِّواطًا إِّذَا فَ َع َل ذلك
"Liwath adalah perbuatan kaum Luth. Bisa dikatakan laatho () اَلط,
laawatho ) )الَوطliwaathon ( ) لواطاyakni-ketika melakukan hal itu".
9
Gay and Lesbian Alliance Against Defamation, GLAAD Media Reference Guide-
Transgender glossary of terms", "GLAAD", Mei 2010. Diakses 20 November 2023.
10
USI LGBT Campaign, Transgender Campaign, Diakses 20 November 2023.
10
Menurut An-Nawawi, dinamakan liwath karena yang pertama
kali melakukannya adalah kaum Nabi Luth. Dalam kitab Tabriru Al-
Fadzhi At-Tanbib (1988: 324) dinyatakan:
11
dalam bahasa indonesia untuk menerjemahkan mukhonnats adalah
banci, atau wadam atau waria.
Perilaku LGBT pada dasarnya telah dikenal oleh masyarakat dari generasi
ke generasi. Kajian normatif Islam mengenai perilaku tersebut tercermin dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan gambaran mengenai praktik-praktik
homoseksualitas kaum Nabi Luth as. Yang disifati sebagai perbuatan fahisyah
(amat keji), berlebih-lebihan, dan melampaui batas, sebagaimana terdapat
dalam QS. Al-A’raf: 80-84.
) إِّنَّ ُك ْم لَتَأْتُو َن٨٠( ني ِّ ِّ ٍٍۢ ال لَِّقوِّم ِّهٓۦ أ َََتْتُو َن ٱلْ َفٰ ِّح َشةَ ما سب َق ُكم ِِّبا ِّمن أ ِّ
َ َحد م َن ٱلْ َعٰلَم َ ْ َ ََ َ ْ َ ََولُوطًا إ ْذ ق
۟ ِّ ِّ ِّ ِّ
اب قَ ْوِّم ِّهٓۦ إَِّّالٓ أَن قَالُٓوا
َ ) َوَما َكا َن َج َو٨١( ال َش ْه َو ًۭةً من ُدون ٱلن َسآء ۚ بَ ْل أَنتُ ْم قَ ْ ًۭوم م ْس ِّرفُو َن ِّ
َ ٱلر َج
12
ينِّ ِّ ِّ ْ َ) فَأَجنَْي نَٰهُ وأ َْهلَٓهُۥ إَِّّال ْٱمرأَتَهُۥ َكان٨٢( وهم ِّمن قَ ْريَتِّ ُك ْم ۖ إِّ ََّّنُْم أ ََُن ًۭس يَتَطَ َّهرو َن
ُ َخ ِّر ُج
َ ت م َن ٱلْغَِٰب َ َ ُ ْأ
ِّ ِّ
َ ) َوأ َْمطَْرََن َعلَْي ِّهم َّمطَ ًًۭرا ۖ فَٱنظُْر َكْي٨٣(
َ ف َكا َن َعٰقبَةُ ٱلْ ُم ْج ِّرم
)٨٤( ني
“(Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) ketika dia
berkata kepada kaumnya, “Apakah kamu mengerjakan perbuatan keji yang
belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini?
Sesungguhnya kamu benar-benar mendatangi laki-laki untuk
melampiaskan syahwat, bukan kepada perempuan, bahkan kamu adalah
kaum yang melampaui batas.” Tidak ada jawaban kaumnya selain berkata,
“Usirlah mereka (Luth dan pengikutnya) dari negerimu ini. Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang menganggap dirinya suci.” Maka, Kami
selamatkan dia dan pengikutnya, kecuali istrinya. Dia (istrinya) termasuk
(orang-orang kafir) yang tertinggal. Kami hujani mereka dengan hujan
(batu). Perhatikanlah, bagaimana kesudahan para pendurhaka.”11
Imam al-Syirazi mengemukakan bahwa kata fahisyah dalam ayat ke-80 dari
surat al-A’raf di atas menunjukkan arti dari liwath, hal ini menjadi dalil atas
haram perilaku liwath sehingga siapa pun yang melakukan perilaku tersebut
maka ia termasuk orang yang dikenai hadd zina, maka wajiblah baginya dikenai
hadd zina tersebut.12 Di dalam Al-Qur’an tidak pernah tercantum kata
homoseksual (liwath) secara gamblang. Al-Qur’an merespon kata tersebut
dengan menggantinya dengan kata lain seperti al-fahsya’ (perbuatan yang keji)
dalam QS. Al-A’raf: 80, kata as-sayyi’at dalam QS. Hud: 78, kata al-khaba’its
dalam QS. Al-Anbiya’: 74, dan kata al-munkar dalam QS. Al-Ankabut: 21. Al-
Qur’an juga tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut kata yang
berkaitan dengan homo, lesbi, gay, maupun biseksual. Al-Qur’an menyamakan
sebutan bagi istilah-istilah tersebut dengan kata-kata (perbuatan) yang telah
disebutkan di atas.13
11
Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 2019.
12
Al-Syirazi, al-Muhadhdhab, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah), t.th., Jilid 3, hlm. 339.
13
Masthuriyah Sa'dan, LGBT DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HAM, NIZHAM Vol.
05, No. 01, (Juni, 2016), hlm. 21
13
menyebabkan Allah menurunkan adzab kepada kaum Nabi Luth yang mana
dapat dikatakan sebagai kiamat pertama dari dahsyatnya adzab Allah.
Penggambaran mengenai siksa kaum Nabi Luth tersebut diabadikan di dalam
al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam QS. Hud: 82-83.
ٍٍۢ فَلَ َّما جآء أَمرََن جعلْنَا عٰلِّي ها سافِّلَها وأَمطَرََن علَي ها ِّحجارًۭةً ِّمن ِّس ِّج ٍٍۢيل َّمنض
ً) م َس َّوَمة٨٢( ود ُ َ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َ ُْ َ َ
)٨٣( ني بِّبَعِّيد ِّ ِّ ِّ ِّ َ ِّع
َ ِّند َرب
َ ك ۖ َوَما ه َى م َن ٱلظَّٰلم
Kemudian juga terdapat hadits yang bersumber dari ‘Abdur Rahman ibn
Abu Sa’id al-Khudri dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh lelaki melihat aurat lelaki, dan tidak boleh wanita melihat
aurat wanita, tidak boleh lelaki bersentuhan kulit dengan lelaki dalam satu
busana, dan tidak boleh wanita bersentuhan kulit dengan wanita dalam satu
busana”. (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berpendapat bahwa pernyataan Nabi mengenai mengenai
pergumulan lelaki dan wanita di dalam satu busana merupakan larangan yang
mengandung hukum haram, jika bersentuhan langsung tanpa pelapis antara
aurat keduanya.15 Dengan mendasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits
14
Kementerian Agama RI, 2019.
15
Imam al-Nawawi, al-Minhaj Syarḥ Ṣhahi (Syafe’i, 1999)ḥ Muslim, Jilid 4 (Beirut: Dar
Ibn Hazm, 1972), hlm. 31.
14
sebagaimana yang telah tersebut di atas, maka ijma’ ulama sepakat bahwa
liwath dan segala aktivitas seksual sesama jenis adalah haram.
Sebagaimana yang telah disebutkan, salah satu tujuan dari syariat adalah
untuk melindungi kelestarian manusia (hifz al-nasl), dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa gerakan LGBT sudah jelas sangat bertentangan
dengan tujuan syariat yang menghendaki tegaknya kemashlahatan, karena
16
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Cilacap: CV Pustaka
Setia, 1999), hlm. 147.
17
Wahbah Az-Zuḥaili, Uṣul al-Fiqh al-Islāmī, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm. 756.
15
perilaku LGBT amat bertentangan dengan fitrah kemanusiaan bahkan dapat
menghancurkan peradaban manusia itu sendiri. Teori maslahah ini sejalan
dengan kaidah ushul fikih yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang dapat
menimbulkan kerusakan (kemudharatan) maka harus dicegah dan dihindari
(adh-dhararu yuzalu). Kaidah ini kemudian juga didukung oleh kaidah lain
seperti dar al-mafasid muqaddam ‘ala jalbi al-mashalih (menolak kerusakan
harus didahulukan daripada menegakkan kemaslahatan). Kaidah-kaidah ini
kemudian memberikan konsekuensi untuk menghindari berbagai bahaya yang
dapat ditimbulkan oleh praktik LGBT dengan cara melarang segala bentuk
aktivitas yang menjurus pada penyimpangan seksual sejalan dengan kaidah
ushuliyyah saddudz dzari’ah (menutup jalan yang menuju kepada perbuatan
terlarang).18
3. Perspektif Fuqaha
Dalam hal ini, para fuqaha berbeda pendapat mengenai sanksi (hukuman)
bagi pelaku homoseksual tersebut. Wahbah Az-Zuhaili20 mengategorikan
sanksi bagi para pelaku homoseksual tersebut menjadi:
a. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan
bahwa tindakan liwath mewajibkan seseorang mendapatkan hukuman
hadd. Karena Allah Swt. Memperberat hukuman bagi pelakunya dalam
18
Rustam Dahar Karnadi Apollo Harahap, LGBT DI INDONESIA: Perspektif Hukum
Islam, HAM, Psikologi dan Pendekatan Masalahah, AL-AHKAM Vol. 26, No. 2, (Oktober 2016),
hlm. 241-243.
19
H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana), 2007, hlm. 122.
20
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI (Mesir: Dar al-Fikr), 2022,
hlm. 66-67
16
kitab-Nya. Sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd zina
karena adanya makna perzinaan di dalamnya.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat, orang yang melakukan liwath hanya di
hukum ta’zir saja. Karena tindakan liwath tidak sampai menyebabkan
percampuran nasab, dan biasanya tidak sampai menyebabkan
perseteruan yang sampai berujung pada pembunuhan pelaku, dan liwath
sendiri bukanlah termasuk zina.
c. Ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah mengemukakan bahwa
pelakunya dihukum rajam, baik pelakunya berstatus muhshan (telah
menikah) maupun ghairu muhshan (belum menikah).
d. Ulama Syafi’iyah berpandangan hukuman hadd bagi pelaku liwath
adalah sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelaku berstatus muhshan,
maka wajib di rajam. Sedangkan, jika pelakunya berstatus ghairu
muhshan, maka wajib dicambuk dan diasingkan. Alasan lainnya dari
kalangan ini adalah karena hukuman hadd liwath adalah hukuman hadd
yang disebabkan oleh tindakan persetubuhan, maka harus dibedakan
antara pelaku yang berstatus muhshan dan ghairu muhshan, karena
diqiyaskan dengan hukuman hadd zina dengan persamaan keduanya
sama-sama tindakan memasukkan alat kelamin yang diharamkan ke
dalam kemaluan orang lain yang diharamkan.
C. LGBT dalam Perspektif HAM
Hak Asasi Manusia atau yang sering dikenal dengan istilah HAM, tidak
hanya mengurusi mengenai masalah-masalah penindasan atau keterbatasan
haknya. Jauh dari itu, HAM juga mengurus mengenai masalah LGBT ini.
Menurut Rustam Harahap, HAM berperspektif bahwa bagi kelompok yang pro
kepada LGBT adalah hak asasi mereka untuk memilih LGBT. Sebagai hak
asasi, mereka menuntut untuk dilindungi hak-hak asasi mereka. Dalam
Mukaddimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dinyatakan
“Hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang
17
tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna
menentang kelaliman dan penjajahan.”21
Melihat dari pihak HAM, salah satu pegiat HAM yaitu Natalius Pigai yang
mempunyai jabatan sebagai Komnas HAM, pernah memberikan statement
ketika sedang berdiskusi mengenai LGBT di ILC. Ia berpendapat bahwa negara
mempunyai kewajiban melindungi rakyat warga negara Indonesia apapun
jenisnya, suku, agama, ras, etnik, atau kaum minoritas dan kelompok rentan
(kekerasan). Negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hak
asasi semua warga negara Indonesia tanpa membedakan suku, agama, termasuk
kaum minoritas dan kelompok rentan termasuk LGBT.22 Maka dilihat dari
pernyataan Pigai, LGBT perlu diberikan respon dan pelayanan yang sama
seperti masyarakat biasanya, akan tetapi harus berdasarkan konsep yang
berkeadilan. HAM berkewajiban memberikan fasilitas rehabilitasi karena HAM
berpendapat bahwa LGBT merupakan sebuah penyakit yang dapat
disembuhkan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 25 DUHAM. Maka
bisa disimpulkan bahwa hak-hak asasi kaum LGBT dalam perspektif ini adalah
mendapatkan pengobatan yang layak, sejatinya hak asasi yang didapatkan juga
sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi orang lain.
ِّ ِّ ِّ
ني َ ين إِّ َّن ِِّف ٰذَل
َ ك ََليَةً ۖ َوَما َكا َن أَ ْكثَ ُرُه ْم ُم ْؤمن ِّ ِّ
َ َوأ َْمطَْرََن َعلَْيه ْم َمطًَرا ۖ فَ َساءَ َمطَُر الْ ُمْن َذر
"Dan Kami hujani mereka (dengan hujan batu), maka betapa buruk hujan
yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sungguh,
pada yang demikian itu terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi
kebanyakan mereka tidak beriman." (QS Asy Syuara ayat 173-174)
21
Rustam Harahap. “LGBT DI Indonesia: Perspektif Hukum Islam, HAM, Psikologi dan
Pendekatan Maslahah”. Al-Ahkam, Vol. 26, No. 2, (Oktober 2016) hlm. 225
22
Natalius Pigai, “LGBT Marak, Apa Sikap Kita?” dalam diskusi Indonesia Lawyer’s Club
(ILC) di TV ONE, (Selasa, 16 Februari 2016)
18
Begitu juga yang Allah sampaikan dalam Hud ayat 22-23. Perilaku ini sangat
dilarang keras karena ayat tersebut hadir satu paket dengan ancamannya. Ini
menyatakan bahwa perilaku tersebut bukanlah bawaan ketika lahir artinya bisa
dirubah sewaktu-waktu.
Hukuman bunuh bagi pelaku sodomi menurut pendapat Ibnu Qayyim, sudah
sesuai dengan hukum Allah. Karena semakin besar perbuatan yang diharamkan
maka semakin berat pula hukumannya, dalam hal ini persetubuhan yang tidak
dibolehkan sama sekali lebih besar dosanya dari persetubuhan yang diperbolehkan
dalam kondisi tertentu, oleh karena itu hukumannya harus diperberat.
Dalam fatwa MUI Nomor 57 Tahun 2014 tentang lesbian, gay, sodomi, dan
pencabulan, dengan tegas MUI menfatwakan bahwa pelaku sodomi (liwath), baik
lesbian atau pun gay hukumnya adalah haram dan merupakan bentuk kejahatan,
dikenakan hukuman ta’zir yang tingkat hukumannya bisa maksimal sampai pada
hukuman mati. Demikian juga dalam hal korban dari kejahatan (jarimah)
homoseksual, sodomi, dan pencabulan anak-anak, pelakunya juga dikenakan
hukuman hingga hukuman mati.
Selain menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, perilaku LGBT juga akan
berdampak bagi kehidupan sosial, psikologis, hingga keagamaan, misalnya
menghilangkan keberkahan dan rasa aman di masyarakat, mendatangkan azab dan
musibah bagi para pelakunya, munculnya wabah penyakit dari perilaku seks
menyimpang, merusak moral dan akhlak masyarakat, mengubah tatanan kehidupan
19
sosial dengan mengarahkan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan para
pelaku LGBT dengan dalih hak asasi, menjadikan para pelaku merugi secara
finansial demi menuruti keinginan nafsunya, serta menghilangkan kehormatan dan
kesucian para pelakunya.23
PANDANGAN HUKUM ISLAM”, Misykat, Vol. 03, No. 02, (Desember, 2018), hlm. 19-24.
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perilaku LGBT ini nyatanya sudah lahir dan terus berkembang dari semenjak
munculnya pada zaman Nabi Luth. Sejarah dalam Al-Qur’an juga sudah
membuktikan kehancuran dari kaum ini. Respon dari para fuqoha juga dengan tegas
melarang segala hal-hal yang berbentuk penyimpangan gender baik itu liwath,
sihaq, tarajjul, maupun takhannuts. Kenapa diharamkan? Karena jelas hal ini
sangat bertentangan dengan prinsip dari maqashid syari’ah yaitu salah satunya
adalah hifzh nasl (menjaga keturunan).
Begitu juga respon yang dari pihak lembaga yang menjamin hak asasi
kemanusiaan, hal ini bisa disembuhkan. Tugas terpenting dari pemerintah adalah
bekerja sama dengan HAM untuk memberikan ruang rehabilitasi kepada mereka
penderita LGBT, dan sebisa mungkin pemerintah mempersempit peluang
terbentuknya gerakan-gerakan terlarang yang mengatas namakan LGBT seperti
organisasi, grup-grup facebook, dan juga peluang-peluang terpasangnya kampanye
LGBT di segala ruang. Pemerintah juga bisa memfasilitasi sekaligus membuat
regulasi terhadap kaum LGBT karena nyatanya hal-hal tersebut akan mengganggu
kebebasan orang lain. Pelaku LGBT sebaiknya mengakui dan juga melapor agar
mendapat penindakan secara khusus. Tugas manusia lainnya adalah memberikan
tata prilaku yang sama seperti biasanya. Manusia juga harus bisa menerima mereka
karena sama-sama ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa serta sebisa mungkin
menciptakan inklusivitas di lingkungan umat manusia.
21
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi, Imam. “al-Minhaj Syarḥ Ṣhahi”, Muslim, Jilid 4 (Beirut: Dar Ibn Hazm,
1972).
Al-Syirazi. “al-Muhadhdhab”. (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah), t.th., Jilid 3.
Arti, Wigke Capri. “Politik Subaltern Pergulatan Identitas Gay”. (Yogyakarta: JPP UGM,
2010)
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqih Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI (Mesir: Dar al-Fikr, 2022)
Bahar, Nori. “Problematika LGBT Dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM”. Jurnal
ilmiah. (Kementerian Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 2019).
Dzajuli, H.A. “Kaidah-Kaidah Fikih”. (Jakarta: Kencana, 2007).
Harahap, Rustam Dahar Karnadi Apollo. “LGBT DI INDONESIA: Perspektif Hukum Islam,
HAM, Psikologi dan Pendekatan Masalahah”, AL-AHKAM Vol. 26, No. 2,
(Oktober 2016).
Kartono, Kartini. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. (Bandung: PT Mandar
Maju, 1989).
Mustaqim, Abdul. “HOMOSEKSUAL DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Pendekatan
Tafsir Kontekstual al-Maqāṣidī”, Jurnal Ṣuḥuf, Vol. 9, No. 1, (Juni, 2016).
Natalius Pigai, “LGBT Marak, Apa Sikap Kita?” dalam diskusi Indonesia Lawyer’s Club
(ILC) di TV ONE, (Selasa, 16 Februari 2016)
Primanita, Rida Yanna dkk. “Identitas Gender dan Orientasi Seksual Ditinjau dari Parent
Attachment Remaja LGBT di Sumatra Barat”, dalam Jurnal Pendidikan Tambusai,
Vol. 5, No. 3, (Tahun 2021).
Robin, L., & Hammer, K. “Bisexuality: identities and community. In V.A. Wall & N.J. Evans
(Eds.), Toward acceptance: sexual orientation issues on campus”. (Lanham, MD:
University Press of America, 2000).
Rozikin, MR. “LGBT Dalam Tinjauan Fiqih”. (UB Press: Malang, 2017).
Sa'dan, Masthuriyah. “LGBT DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HAM”, NIZHAM Vol.
05, No. 01, (Juni, 2016).
Shankle, Michael D. “The Handbook of Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender Public
Health: A Practitioner's Guide to Service”. (Haworth Press, 2006).
Syafe’i, Rachmat. “Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS”, (Cilacap: CV Pustaka
Setia, 1999).
Yanggo, Huzaemah Tahido. “PENYIMPANGAN SEKSUAL (LGBT) DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM”, Misykat, Vol. 03, No. 02, (Desember, 2018).
xxiv