Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL ORGANISASI SOSIAL DAN KEKERABATAN (SOA241)

Uang Panai Sebagai Penanda Karakteristik Perkawinan dan Kehidupan Sosial Suku Bugis

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Rustinsyah, Dra., M.Si.

Disusun Oleh:
Muhammad David 072111733085

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SEMESTER GENAP 2022/2023


Uang Panai Sebagai Penanda Karakteristik Perkawinan dan Kehidupan Sosial Suku Bugis
Muhammad David
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Airlangga
muhammad.david-2021@fisip.unair.ac.id

Abstrak

Tradisi budaya uang panai merupakan tradisi yang sudah mengakar kuat di dalam suku Bugis
dimana tradisi itu dilakukan dengan memberikan sejumlah uang yang merupakan hasil
kesepakatan bersama antara pihak utusan keluarga laki-laki dan perempuan dengan
mempertimbangkan status sosial keluarga perempuan dan juga kondisi perempuan itu sendiri,
mulai dari jenis pekerjaan, kondisi fisik, pendidikan, status sosial, maupun sistem
kebangsawanan. Keberadaan uang panai bertujuan sebagai bentuk penghormatan dan
penghargaan kepada calon mempelai perempuan yang ingin dinikahi dengan menyiapkan pesta
perkawinan yang mewah, megah, dan meriah. Uang panai menjadi kewajiban mutlak bagi
masyarakat suku Bugis karena uang panai sendiri merupakan cerminan dari budaya suku Bugis,
yaitu siri’ na pacce yang memiliki pedoman dalam menyelesaikan masalah hidup, serta menjadi
pemikiran mendalam dan falsafah hidup masyarakat suku Bugis. Artikel ini bertjuan untuk
memahami secara lebih mendalam bagaimana eksistensi uang panai selain di satu sisi maknanya
telah bergeser yang awalnya hanya bertujuan sebagai bentuk penghormatan, sekarang lebih
merujuk kepada perlombaan ajang gengsi sosial dimana keluarga calon mempelai perempuan
semakin menaikkan besaran uang panai yang seringkali memberatkan keluarga calon mempelai
laki-laki, tetapi juga uang panai telah mempengaruhi kehidupan sosial terutama dalam semangat
hidup untuk mencapai orientasi keinginan yang menjadi tujuan hidup calon mempelai laki-laki.
Metode penelitian yang dilakukan menggunakan pengumpulan bahan bacaan sekunder, seperti
buku dan jurnal yang topiknya relevan dengan judul yang dibawakan pada artikel dengan durasi
beberapa tahun terakhir. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dan dipilah
menggunakan metode deskriptif dengan pola pikir induktif terkait yang paling relevan sebagai
bahan pendukung utama penyusunan tulisan dalam artikel.

Keywords : uang panai, suku bugis, kehidupan sosial, perkawinan, budaya


PENDAHULUAN

Budaya merupakan elemen penting sebagai pondasi utama dalam membangun suatu unsur
masyarakat di suatu wilayah. Di dalam suatau wilayah, budaya sering dikaitkan dengan para
leluhur atau orang terdahulu karena sistem budaya yang dibawakan dari lintas generasi ke
generasi menjadikan suatu budaya tersebut dapat terus hadir di dalam kehidupan masyarakat
dengan proses belajar dan mengamalkan tradisi budayanya. Kebudayaan yang sejatinya
tersimpan di dalam tiap suku bangsa yang juga didalamnya terkandung unsur-unsur dan aspek-
aspek sosial yang menjadi pembeda dengan suku bangsa lainnya (Yansa et al., 2016). Unsur-
unsurnya meliputi sistem ekonomi, mata pencaharian, pengetahuan, teknologi, kesenian,
organisasi sosial, bahasa, dan sistem kepercayaan. Bentuk budaya yang unik dan kompleks
karena sesuai dengan warisan khas leluhur daerah masing-masing, serta dapat meliputi aktivitas
manusia, tradisi, dan benda-benda. Salah satu produk kebudayaan manusia yang sudah mengakar
kuat adalah perkawinan.

Perkawinan merupakan produk budaya yang melibatkan berbagai unsur lapisan masyarakat,
mulai dari pihak keluarga kedua belah pihak pengantin, saudara, kerabat, hingga teman.
Perkawinan juga merupakan tahap transisi menuju ke kehidupan selanjutnya yang memasuki
tahap baru dimana adanya pergeseran posisi seseorang terkait hak dan kewajibannya dalam
mengatur kehidupan. Perkawinan juga merupakan media dalam meneruskan keturunan melalui
sarana biologis yang membawa gen, sifat, maupun karakteristik dari orang tau kepada anaknya,
yang akan membentuk sistem keluarga sebagai proses meneruskan keberlangsungan kehidupan.
Dalam suku Bugis, perkawinan memiliki kaitan erat dengan sistem kekerabatan dimana sistem
kekerabatan berdasarkan wija na bati (keturunan) terikat oleh norma dan nilai-nilai sosial budaya
yang dijadikan acuan dalam perkawinan (Meiyani, 2010).

Perkawinan sebagai pranata sosial yang sangat penting dalam masyarakat dan merupakan kunci
penting dalam pembentukan sistem sosial, serta penghubung dalam pembentukan kekerabatan.
Kondisi tersebut membuat didalamnya terkandung aturan dan norma dan penetapan-penetapan
status kekerabatan dalam menentukan derajat darah keturunan sebagai status sosial (Meiyani,
2010). Perkawinan sebagai wadah pembentukan dan perluasan sistem kekerabatan yang
dibuktikan dengan dilakukannya perkawinan antar lapisan sosial yang berbeda satu sama lain
sehingga membuat beraneka ragamnya kekerabatan dalam satu keluarga tidak seperti zaman
dahulu yang masih memperhatikan berdasarkan stratifikasi sosial menurut pola “abbatireng”
dan “ampijangen. Perkawinan juga diartikan sebagai simbol pertalian keluarga antara satu
keluarga dengan keluarga lainnya yang membangun dasar pandangan penanda antara anggota
kerabat dan bukan kerabat.

Perkawinan adat dalam suku Bugis disebut dengan pa’bungtingan yang merupakan serangkaian
ritual sakral karena dijalankan oleh semua lapisan masyarakat (Ikbal, 2016). Selain itu, di
dalamnya terdapat proses nilai budaya yang telah dijalankan secara turun-temurun, seperti
pemberian uang panai yang merupakan penanda dari proses penerimaan calon mempelai laki-
laki kepada pihak keluarga perempuan. Uang panai juga melengkapi identitas dan watak
masyarakat suku Bugis, yaitu siri’ na pacce. Siri sendiri memiliki arti rasa malu atau harga diri
yang biasanya dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap ancaman di dirinya.
Sedangkan, Pacce memiliki arti kecerdasan emosional yang memiliki rasa kepedulian atau
kesusahan individu lain di dalam golongannya.

Uang panai tidak hanya sekedar pelengkap dari proses perkawinan, tetapi jauh lebih dari itu
karena pada sejarahnya uang panai bermula dari seorang putri bangsawan Bugis yang menjadi
idaman sehingga pria asal Belanda jatuh hati kepada putri raja tersebut dan ingin menikahinya,
tetapi karena raja tidak ingin putrinya disentuh oleh laki-laki manapun maka raja tersebut
memberikan syarat yang sekarang disebut uang panai (Yansa et al., 2016). Dari kondisi tersebut
yang awalnya sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan kepada perempuan. Kemudian
mengalami perubahan menjadi uang belanja, persiapan pernikahan yang disepakati sebagai
bentuk pemenuhan kebutuhan perlengkapan pernikahan. Hal ini yang menjadikan pembeda
utama antara ritual upacara perkawinan suku Bugis dengan suku lainnya dan masih dilestarikan
oleh masyarakat setempat hingga sekarang karena mengandung sarat budaya dan tradisi ciri khas
dari zaman nenek moyang sampai sekarang. Uang panai sering dianggap sebagai penghalang
serta rintangan bagi seorang perempuan untuk menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Maka,
jika ketentuan nominal uang panai yang telah disepakati tidak sesuai atau tidak dipenuhi
terutama bagi calon mempelai laki-laki, maka tidak heran di dalam masyarakat Bugis sering
dijumpai perawan tua dan bahkan lebih parahnya kawin lari karena tidak ada yang sanggup
untuk memenuhi persyaratan uang panai yang telah disepakati.
KAJIAN PUSTAKA

Uang panai memiliki konsep tersendiri sebagai produk budaya khas suku Bugis yang sudah ada
sejak zaman nenek moyang yang terus dilestarikan karena di dalamnya terdapat unsur-unsur
watak dan identitas masyarakatnya. Pengertian uang panai atau dui’ menre’ sendiri merupakan
pemberian sejumlah uang dari calon mempelai laki-laki terhadap keluarga calon mempelai
perempuan yang dalam masyarakat suku Bugis itu tidak bisa diabaikan karena merupakan
kewajiban pokok dan jika tidak ada, pelaksanaan perkawinan tidak dapat dijalankan. Uang panai
menjadi simbol tersendiri bagi suku Bugis karena dalam penerapannya sangat berkaitan dengan
status sosial perempuan suku Bugis dimana penetapan besaran uang panai bervariasi dan telah
melalui kesepakatan antara kedua belah pihak pada saat berlangsungnya pelamaran. Bagi
pandangan masyarakat suku Bugis sendiri, perkawinan merupakan rangkaian kegiatan upacara
dalam mempersatukan dan mendekatkan dua keluarga yang telah menjalin hubungan
sebelumnya menjadi semakin erat atau dalam istilah orang Bugis menyebutnya mappasideppe’
mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh (Alimuddin, 2020).

Adapun dalam proses penyusunan tulisan, terdapat beberapa sumber bacaan baik dari artikel,
jurnal, buku, dan web yang bertujuan utama sebagai bahan pendukung dan penguat meliputi
beberapa hal sebagai berikut :

1. Penelitian ini dilakukan oleh Hajra Yansa, Yayuk Basuki, dkk yang berjudul “UANG
PANAI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA
SIRI PADA PERKAWINAN SUKU BUGIS MAKASSAR SULAWESI SELATAN.’
Penelitian ini membahas mengenai kondisi keberadaan uang panai sebagai budaya
masyarakat suku Bugis yang telah diwariskan secara turun-temurun dari zaman nenek
moyang dan masih dilestarikan hingga saat ini dan juga sebagai penanda pembedaan
dengan suku bangsa lain. Pada artikel ini menjelaskan bahwa adanya fenomena uang
panai telah mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat mulai dari sisi sosial,
pengetahuan, religi, dan kepribadian. Tidak hanya itu, uang panai juga memiliki
keterkaitan yang sangat erta dengan watak dan identitas masyarakat suku Bugis, yaitu
siri’ na pacce yang memiliki arti pandangan hidup terkait rasa malu atau harga diri dan
watak seseorang yang memiliki sikap keras, kokoh, dan teguh pendirian, serta memiliki
kecerdasan emosional yang melibatkan rasa empati terhadap kesusahan yang dialami oleh
individu lain di dalam komunitas yang memunculkan adanya rasa solidaritas. Uang panai
menjadi bahasan pokok utama antara kedua belah pihak keluarga calon pengantin dalam
mempersiapkan proses berlangsungnya perkawinan karena uang panai sendiri memiliki
nilai yang cukup kompleks dimana harus terdapat kesepakatan besaran nominal yang
ditentukan oleh kedua belah pihak. Dalam penentuan besaran nominal tersebut pun,
terdapat beberapa faktor pengaruh, seperti dari status sosial baik pada pihak laki-laki
maupun perempuan, tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, hingga faktor
popularitas. Dalam artikel ini, juga ditekankan bahwa masyarakat pada zaman sekarang
telah melupakan atau mengabaikan makna sebenarnya dari uang panai, yaitu sebagai
bentuk penghormatan dan kerja keras pihak laki-laki terhadap pihak perempuan yang ia
cintai, maka ia pun rela melakukan segalanya untuk bisa memiliki perempuan itu sebagai
pasangannya seumur hidup. Kondisi pengabaian makna sebenarnya tersebut dikarenakan
adanya perkembangan zaman yang diikuti era globalisasi sehingga mengalami perubahan
terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam uang panai.
2. Penelitian ini dilakukan oleh Moh Ikbal yang berjudul “UANG PANAIK DALAM
PERKAWINAN ADAT SUKU BUGIS MAKASAR.” Penelitian ini secara keseluruhan
membahas mengenai keteraitan antara budaya uang panai sebagai rukun dalam
perkawinan adat suku Bugis terhadap kacamata hukum perkawinan Islam. Pada dasarnya,
dalam Islam tidak mewajibkan adanya uang panai sebagai syarat sah perkawinan,
melainkan hanya mengenal mahar yang merupakan pemberian wajib dari calon mempelai
laki-laki sebagai simbol penghormatan kepada calon mempelai perempuan. Penelitian ini
menjelaskan bahwa terdapat banyak perbedaan antara uang panai dengan mahar. Uang
panai lebih bertujuan untuk keperluan uang belanja kebutuhan pesta pernikahan yang
sebagian besar penggunaannya dialihkan untuk membelanjakan keperlan pernikahan,
seperti penyewaan gedung, grup musik, membeli kebutuhan konsumsi dan segala hal
yang berkaitan dengan resepsi perkawinan, sedangkan mahar diberikan semampunya
berdasarkan kemampuan calon mempelai laki-laki sebagai kewajiban yang harus
dipenuhi sebagai syarat sah perkawinan. Kemudian, uang panai yang diserahkan oleh
calon suami sepenuhnya diberikan kepada orang tua calon istri yang dalam arti hak
mutlak serta kekuasaan penuh pemegang uang panai adalah orang tua si calon istri. Jika
nantinya terdapat sisa, maka akan diberikan kepada anak. Berbeda dengan hal itu, mahar
sepenuhnya hak mutlak bagi perempuan, bukan ayah ataupun ibu, saudara laki-laki
perempuan tersebut. Uang panai dalam perspektif Islam memiliki pandangan tersendiri
dimana uang panai lebih menitikberatkan kepada duniawi yang mengutamakan ajang
gengsi sosial bagi keluarga perempuan yang berhasil membuat standarisasi uang panai
dengan harga yang tinggi dan dibuktikan dengan pesta yang megah dan mewah.
Walaupun sebenarnya, baik uang panai maupun mahar sama-sama merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki.
3. Penelitian ini dilakukan oleh Rinaldi, Achmad Hufad, dkk yang berjudul “Uang Panai
Sebagai Harga Diri Perempuan Suku Bugis Bone (Antara Tradisi dan Gengsi). Penelitian
ini menekankan nilai budaya uang panai dari zaman nenek moyang yang memiliki makna
bentuk penghargaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan, tetapi pada zaman sekarang
yang sudah banyak terkena pengaruh oleh globalisasi membuat budaya uang panai
dijadikan sebagai ajang gengsi sosial dimana pihak keluarga perempuan berlomba-lomba
menetapkan besaran uang panai setinggi-tingginya demi citra diri keluarga dan status
sosialnya sehingga bisa menyebabkan terjadinya penghilangan makna dan nilai uang
panai itu sendiri. Uang panai banyak memiliki modifikasi bentuk pada zaman sekarang
dimana keberadaan uang panai dijadikan ajang perlombaan status sosial dengan
meningkatkan tarif besaran uang panai dari tahun ke tahun yang menyebabkan dampak
terhadap gagalnya perkawinan yang bisa menyebabkan kondisi kawin lari, hamil di luar
nikah, kondisi perempuan yang menjadi perawan tua karena pihak laki-laki tidak sanggup
memenuhi uang panai yang diminta, bahkan lebih parahnya bunuh diri. Kondisi
permintaan uang panai yang tinggi juga bisa menjadi bentuk penolakan secara halus
kepada pihak laki-laki. Kondisi perlombaan memperoleh status sosial dan gengsi yang
tinggi disebabkan oleh ingin memperoleh kebanggaan dan kehormatan tersendiri bagi
keluarganya dengan menetapkan uang panai yang setinggi-tingginya belum ditambah
dengan pemberian harta benda, seperti mobil, sawah, rumah, dan emas. Hal tersebut
bertujuan agar citra keluarganya makin terpandang dengan dibuktikan pergelaran proses
resepsi perkawinan yang megah dan mewah walaupun harus memberatkan pihak laki-laki
dan terkadang menjadi formalitas dalam artian uang panai yang diminta keluarga
perempuan tidak sepenuhnya ditanggung oleh pihak laki-laki, melainkan dari keluarga
perempuan juga demi menjalankan adat pernikahan suku Bugis.
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam proses penyusunan artikel ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Pendekatan kualitatif sendiri merupakan pendekatan dalam membangun pernyataan
pengetahuan berlandaskan perspektif konstruktif, seperti makna-makna yang berasal dari
pengalaman individu, nilai-nilai sosial, dan sejarah dengan tujuan membangun pemahaman dan
pola pengetahuan. Bentuk pendekatan kualitatif berupa literature review dan deskripsi kualitatif.
Penulis menggunakan studi literatur dengan sumber bahan bacaan sekunder terdahulu, seperti
buku, jurnal, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sebagai bahan pendukung dan penguat
dalam proses penyusunan tulisan ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fenomena Budaya Uang Panai Terhadap Kehidupan Sosial Suku Bugis

Adanya pemberlakuan penetapan uang panai yang sudah membudaya secara turun-temurun
dalam masyarakat suku Bugis menjadikan hal tersebut harus diperhatikan dan dipenuhi oleh
siapa pun yang hendak melangsungkan perkawinan karena sudah terikat oleh tradisi dan adat
istiadat setempat. Dalam pelaksanaannya pun, fenomena budaya uang panai melibatkan banyak
pihak terutama dari utusan pihak kelarga laki-laki dan perempuan yang melakukan prosesi
kesepakatan besaran uang panai yang melewati proses tawar menawar dan negosiasi yang
berkepanjangan. Uang panai bukan hanya sekedar syarat perkawinan adat suku Bugis, melainkan
uang panai juga melibatkan keseluruhan kehidupan masyarakat suku Bugis terlebih karena
melibatkan keluarga dan suku di dalamnya.

Sebagian besar uang panai biasanya digunakan sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan
dari mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan. Uang panai dijadikan sebagai
uang belanja yang secara keseluruhan digunakan untuk keperluan resepsi perkawinan. Namun,
fenomena budaya uang panai jika ditelusuri lebih jauh melibatkan kehidupan sosial masyarakat
suku Bugis karena berhubungan dengan stratifikasi atau status sosial suatu citra keluarga di
dalam pandangan masyarakat. Hal yang menjadi sorotan adalah nominal besaran uang panai
dimana jika semakin besar uang panai yang disanggupi dan diberikan oleh calon mempelai laki-
laki, maka suatu citra keluarga perempuan akan memiliki kehormatan dan prestise tersendiri. Hal
itu dibuktikan dengan pesta perkawinan yang megah, meriah, dan banyaknya tamu undangan
dalam perkwainan tersebut. Penetapan uang panai itu sendiri merupakan cerminan budaya “siri
na pacce” yang memiliki arti rasa malu atau harga diri dimana jika dari sisi calon mempelai laki-
laki tidak sanggup untuk memenuhi besaran uang panai yang telah ditentukan maka akan merasa
malu, begitu pula pada segi keluarga calon mempelai perempuan akan merasakan malu karena
anak perempuannya dibawakan uang panai lebih rendah dari anak perempuan tetangga-
tetangganya, serta anaknya gagal melangsungkan perkawinan. Budaya malu yang dimiliki suku
Bugis sangat tinggi. Bagi mereka, malu diidbaratkan seperti malu melakukan perbuatan keji,
malu direndahkan, dan malu diremehkan yang memiliki arti bahwa makna malu yang sebenarnya
mengacu pada malu kepada hal-hal yang negatif (Mustafa & Syahriani, 2020).

Kondisi di atas semakin membuktikan bahwa implementasi nilai sosial dan filosofis yang
terdapat dalam uang panai tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya karena adanya
pengaruh perkembangan zaman dan datangnya mayoritas budaya barat. Uang panai memang
sangat dijunjung oleh masyarakat suku Bugis karena memang uang panai sendiri memiliki nilai
filosofis yang mengandung arti bahwa tradisi budaya uang panai bermanfaat sebagai
pembelajaran hidup, seperti nilai kepribadian, nilai pengetahuan, nilai sosial, dan nilai religius.
Uang panai semestinya tidak hanya berpatokan dari segi jumlah besaran nominalnya, melainkan
kepada arti di dalam pengajaran hidup masyarakat suku Bugis dimana dilihat dari upaya
menghormati keluarga calon mempelai perempuan, menjaga dan meneruskan warisan budaya,
serta menjadi simbol persatuan dan persaudaraan antara keluarga calon mempelai laki-laki dan
perempuan (Mustafa & Syahriani, 2020).

Tidak hanya nilai filosofis, uang panai juga memiliki nilai sosial yang telah bergeser sedemikian
rupa sehingga memunculkan perbedaan besar dari pandangan masyarakat mengenai awal
munculnya uang panai sampai kondisi saat ini dimana pada awalnya uang panai hanya berlaku
pada perempuan dari kalangan bangsawan dan jika perempuan tersebut tidak berasal dari sana,
maka laki-laki yang ingin menikahinya tidak memiliki kewajiban untuk memberikan uang panai,
berbeda dengan sekarang baik perempuan tersebut berasal dari kalangan bangsawan atau tidak,
laki-laki tetap diwajibkan untuk memberikan sejumlah uang panai karena keperluan prosesi
resepsi pesta perkawinan (Mustafa & Syahriani, 2020).

Disadari atau tidak, penetapan besaran uang panai ditentukan dari pihak keluarga perempuan
karena menjadi simbol kehormatan bagi pihak keluarga perempuan yang secara materialistik
telah berjuang keras membesarkan anaknya hingga dewasa, bukan hanya dari segi uang, tetapi
perhatian dan segala bentuk perasaan orang tua kepada anaknya (Alimuddin, 2020). Penentuan
besar kecil jumlah uang panai ditentukan berdasarkan status sosial calon mempelai perempuan,
seperti keturunan bangsawan yang mayoritas memiliki uang panai tinggi, status ekonomi,
jenjang pendidikan karena semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka uang panainya
semakin tinggi pula. Dalam jenjang pendidikan, terdapat patokan harga mulai dari lulusan SD,
yaitu Rp20 juta, lulusan SMP Rp20-25 juta, lulusan SMA Rp30 juta, lulusan S1 Rp50 juta ke
atas, dan lulusan S2 Rp100 juta ke atas (Alimuddin, 2020), kondisi fisik calon istri, dan
pekerjaan karena calon mempelai laki-laki rela menyanggupi uang panai yang tinggi jika
perempuan memiliki pekerjaan nantinya bisa mengurangi beban perekonomian rumah tangga.

Penentuan besaran uang panai dari beberapa faktor di atas membuat dampak ke dalam kehidupan
sosial terutama bagi calon mempelai laki-laki, yaitu munculnya rasa semangat kerja yang tinggi
karena ada tujuan yang ingin dicapai, yaitu menikahi gadis yang dicintainya sehingga wanita
yang benar-benar dicintainya akan menjadi motivasi yang sangat besar baginya untuk memenuhi
jumlah uang panai yang disyaratkan (Alimuddin, 2020). Motivasi tersebut menjadi faktor
pendorong utama tidak hanya pada bidang pekerjaan, tetapi merujuk kepada cara bertindak
seseorang mulai dari cara mengatur biaya pengeluaran, lebih teliti, dan membangun relasi yang
baik terhadap keluarga calon mempelai perempuan. Calon mempelai laki-laki rela berkorban
melakukan apa saja untuk memenuhi persyaratan uang panai dikarenakan selain sebagai bentuk
komitmen dan tanggung jawab dari calon mempelai laki-laki, juga terkait dengan harga diri.
Salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri seorang calon mempelai laki-laki dari adanya
keberhasilan yang didapatkan. Keberhasilan dan kegagalan yang dirasakan seseorang akan
berkaitan dengan harga diri. Harga diri calon mempelai laki-laki merasa dipermalukan dan
direndahkan oleh keluarga calon mempelai perempuan karena tidak mampu memenuhi jumlah
uang panai yang telah ditentukan yang akibatnya perkawinan bisa diundur atau bahkan
dibatalkan. Hal ini juga berpengaruh kepada keberlangsunagan kehidupan rumah tangga antara
kedua pasangan tersebut dimana indikator keseriusan dan kelanggengan hubungan calon
mempelai laki-laki dan perempuan nantinya. Keluarga, terkhusus orang tua dari calon mempelai
perempuan melihat salah satu faktor terbesar perceraian datang dari faktor ekonomi, maka dalam
mencegah hal tersebut, diwujudkan dengan penentuan tingginya uang panai karena jika calon
mempelai laki-laki mampu memenuhi uang panai otomatis dalam kehidupan rumah tangga
sehari-hari, secara finansial dapat terpenuhi walaupun sebenarnya sebagian besar hubungan yang
langgeng datang dari mampunya mengekspresikan dan memelihara rasa kasih sayang dan
kekaguman, serta rasa peduli satu sama lain, menerima kekurangan pasangan, dan
menyelesaikan konflik bersama-sama (Chaesty & Muttaqin, 2022).

Tahapan Pemberian Uang Panai dalam Proses Perkawinan Suku Bugis

Uang panai merupakan bagian penting dari rangkain prosesi upacara perkawinan adat suku
Bugis. Dalam proses pelaksanaannya sendiri, terdapat beberapa tahapan dalam pemberian uang
panai. Pertama, tahapan pemberian uang panai pada tahap ini dikenal dengan tahapan penjajakan
(mappese’-pese’) yang merupakan tahapan yang dilakukan secara tertutup atau rahasia dalam
mengetahui jati diri calon mempelai perempuan yang akan dinikahi sudah menikah atau belum.
Jika belum menikah, maka akan segera dilangsungkan prosesi lamaran. Tahapan kedua, yaitu
tahapan lamaran (madduta) merupakan tahapan yang dilakukan dengan mengirimkan utusan
calon mempelai laki-laki dalam menyampaikan lamaran kepada calon mempelai perempuan.
Pada tahapan ini, orang tua dan calon mempelai laki-laki tidak ikut hadir. Utusan dalam proses
pernikahan ini disebut dengan to madduta dan keluarga calon mempelai perempuan dikenal
dengan sebutan to ridutai. Tahap kedua ini kurang lebih berisi pembicaraan maksud dan tujuan
kedatangan utusan calon mempelai laki-laki dan pembicaraan mengenai negosiasi terkait besaran
uang panai yang ingin disepakati bersama (Chaesty & Muttaqin, 2022).

Selanjutnya, tahap ketiga merupakan tahapan lamaran. Pada tahap ini, dilakukan oleh calon
mempelai laki-laki (mappetu ada), yaitu kedua belah pihak bersama-sama bersepakat mengikat
janji atas kesepakatan pembicaraan yang telah dilakukan sebelumnya. Calon mempelai laki-laki
dan keluarga calon mempelai perempuan membicarakan dan merembukkan terkait upacara
perkawinan yang meliputi penentuan hari (tanra esso), uang belanja (doi menre), mas kawin
(sompa), dan lain sebagainya (Chaesty & Muttaqin, 2022). Tahap keempat merupakan tahap
penyerahan uang panai yang telah disepakati oleh keluarga calon mempelai laki-laki kepada
keluarga perempuan sebagai biaya dari proses perkawinan, pemasangan cincin pattenre kepada
calon mempelai perempuan, dan pembacaan doa (Chaesty & Muttaqin, 2022). Tahap kelima
merupakan tahap mengantarkan calon mempelai laki-laki (mappaenre botting) ke rumah calon
mempelai perempuan untuk melaksanakan kegiatan, seperti maddupa botting, akad nikah, dan
mappasikarawa. Tahap keenam atau tahap terakhir merupakan tahap puncak pesta (tudung
botting) merupakan tahapan penghujung yang dilakukan setelah melangsungkan akad nikah yang
kemudian diadakan acara resepsi (walimah).

Sistem Perkawinan dan Uang Panai Terhadap Kaitannya Dengan Sistem Kekerabatan

Perkawinan suku Bugis berawal dari leluhur dalam golongan bangsawan yang selanjutnya diikuti
secara umum oleh masyarakat suku Bugis. Ketika laki-laki ingin menikah dengan perempuan hal
pertama yang dilakukan, yaitu ma,balocci (melakukan pendekatan kepada perempuan),
kemudian mammanu-manu (mengutus pihak dari laki-laki untuk menemui keluarga perempuan)
biasanya pada tahap ini membicarakan tentang uang panai, selanjutnya acara madduta
(memanggil keluarga laki-laki dan menyerahkan uang panai yang telah disepakati) dan terakhir
proses resepsi pernikahan digelar kedua belah pihak mempelai (Rinaldi et al., 2023).

Pemberian uang panai yang merupakan bagian dari prosesi sistem perkawinan suku Bugis
menjadi karakteristik utama suku Bugis yang membedakan dari suku lain yang ada di Indonesia.
Perkawinan adat suku Bugis memiliki syarat adat yang harus dipenuhi, yaitu uang panai untuk
menjaga harkat dan martabat perempuan suku Bugis (Rinaldi et al., 2023). Uang panai menjadi
bahan pembicaraan utama mulai dari prosesi lamaran hingga resepsi perkawinan kedua
mempelai. Sistem perkawinan masyarakat suku Bugis sangat kental dengan budaya siri, yaitu
rasa malu dan harga diri karena pernikahan merupakan hal yang sakral dalam menunjukan harkat
dan martabat sebuah keluarga (Rinaldi et al., 2023). Sistem perkawinan suku Bugis sangat
menghargai dan menjunjung tinggi kedudukan uang panai sebagai suatu kewajiban penuh bagi
pihak laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan sebagai bentuk tanggung jawab dan
komitmen, serta didukung dengan budaya siri yang dipegang teguh. Adanya budaya Siri dalam
adat perkawinan suku Bugis memiliki kedekatan yang hampir sama dengan konsep materialisme
karena semakin tinggi uang panai maka dapat memunculkan kondisi perasaan bangga untuk
orang tua dan keluarga calon mempelai perempuan (Chaesty & Muttaqin, 2022).

Kondisi tersebut yang membuat masyarakat selalu mengutamakan uang panai dalam prosesi
sistem perkawinan karena di dalamnya terkandung nilai budaya siri yang menjadi watak dan
identitas lokal masyarakat suku Bugis. Sisitem perkawinan merupakan sebuah media untuk
membentuk sistem sosial dan penghubung dalam pembentukan kekerabatan dikarenakan tidak
hanya menghubungkan dua individu yang menikah, melainkan menghubungkan dua keluarga
sebagai media memperluas jaringan kekerabatan. Suku Bugis sendiri menerapkan sistem
kekerabatan assiajingeng yang tergolong parental, yaitu sistem kekerabatan yang mengikuti garis
keturunan ayah dan ibu. Sistem kekerabatan pada masyarakat suku Bugis berkembang dari suatu
kelompok keluarga batih yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang hidup dalam rumah
tangga.

Kondisi perkawinan yang mendukung sistem kekerabatan dibuktikan dengan adanya pertukaran
ikatan keluarga calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan terjalin yang
menciptakan hubungan yang lebih dekat dan memperkuat jaringan kekerabatan, pemeliharaan
garis keturunan yang terwujud dalam keluarga batih dimana garis keturunan dan pewarisan
ditentukan melalui jalur ayah dan ibu, dan pertukaran sosial ekonomi yang dalam proses
perkawinan tentunya dari pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai latar belakang
sosial dan ekonomi yang berbeda sehingga terjadi pertukaran sumber daya dan harta antar
keluarga.

Analisis Ketimpangan Gender dalam Budaya Uang Panai

Dalam tradisi uang panai, terdapat budaya siri yang memegang peranan sentral dalam
berlangsungnya sistem perkawinan. Budaya siri dalam kehidupan suku Bugis sangat penting
karena tujuan kehidupan mereka menjaga siri dan hidup tanpa siri merupakan kehidupan yang
tidak berarti, maka mereka rela membela siri sampai mati daripada harus hidup, tetapi tanpa siri.
Konsep siri digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan hampir seluruh masalah dalam
berbagai tahapan dan lapisan kehidupan masyarakat Bugis (Fitriani & Siscawati, 2021). Budaya
siri juga telah mempengaruhi posisi dan status sosial perempuan dalam masyarakat Bugis, seperti
dalam relasi gender dan seksualitas (Fitriani & Siscawati, 2021).

Posisi perempuan bugis dalam budaya siri mengalami pembatasan ruang gerak, perilaku, dan
ekspresi perempuan Bugis untuk menjadi dirinya sendiri. Perempuan dan seksualitas dianggap
sebagai integrasi moral keluarga dan masyarakat. Begitu pula dengan gender yang dalam
penerapan budaya siri yang diimplementasikan pada budaya uang panai, terdapat ketidaksetaraan
atau ketimpangan gender sebagai hierarki ordinal antara laki-laki dan perempuan dalam sumber
daya, kekuasaan, dan status material (Zayyana, 2021). Perempuan suku Bugis diharuskan
menjaga kesucian dalam bentuk keperawanannya. Hubungan seksual sebelum nikah dianggap
tabu dan dapat mengakibatkan perceraian.

Perempuan suku Bugis sering mengalami ketimpangan gender dimana ukuran kebahagiaan dan
keadilan muncul dari preferensi diri masing-masing orang termasuk bagi diri perempuan suku
Bugis yang tidak bisa dinilai dan dihargai dari besaran uang panai yang hanya memperhatikan
aspek kuantitas, bukan kualitas. Ketimpangan gender pada masyarakat Bugis sudah melembaga
di dalam adat istiadat. Hal ini dijumpai melalui simbol pertemuan dan dialog tawar-menawar
uang panai antar utusan keluarga dari pihak calon mempelai laki-laki dan calon mempelai
perempuan yang nilainya disepakati bersama. Kondisi tersebut merupakan bentuk ketimpangan
gender karena sangat memberatkan calon mempelai laki-laki jika tidak menyanggupi jumlah
besaran uang panai sebagai syarat untuk bisa menikahi calon mempelai perempuan (Zayyana,
2021).
KESIMPULAN

Dari serangkaian analisis yang telah dilakukan oleh penulis terhadap beberapa sumber sekunder,
seperti jurnal dan buku dapat diketahui bahwa uang panai merupakan syarat adat dalam sistem
perkawinan suku Bugis yang harus dipenuhi oleh calon mempelai laki-laki yang ingin
melangsungkan perkawinan karena hal itu merupakan bentuk penghormatan, penghargaan,
komitmen, keseriusan, serta tanggung jawab terhadap calon mempelai perempuan karena di
dalam tradisi uang panai pun terdapat budaya siri sebagai pedoman hidup masyarakat suku Bugis
yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dilakukan. Uang panai sudah melembaga secara kuat
di dalam adat istiadat karena sudah menjadi tradisi turun-temurun dari zaman nenek moyang
yang memiliki ajaran bahwa perempuan merupakan simbol penting dan memiliki harga diri yang
tinggi sehingga layak dihormati dan dihargai salah satunya dengan tradisi budaya uang panai.
Walaupun dalam pelaksanaannya, tidak semua calon mempelai laki-laki menyanggupi beban
tersebut, tetapi hal itu berpengaruh terhadap kehidupan sosial dimana calon mempelai memiliki
motivasi dan keinginan yang kuat demi bisa memenuhi uang panai dengan cara bekerja keras dan
sungguh-sungguh untuk membuktikan rasa tanggung jawab dan keseriusannya sekaligus untuk
menjaga budaya siri terhadap citra keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA

Alimuddin, A. (2020). MAKNA SIMBOLIK UANG PANAI ’ PADA PERKAWINAN ADAT


SUKU BUGIS MAKASSAR. Al Qisthi Jurnal Sosial Dan Politik, 10(2), 117–132.

Chaesty, A. D., & Muttaqin, D. (2022). Studi literatur: Uang Panai dalam Adat pernikahan suku
Bugis Makassar. Jurnal Sinestesia, 12(2), 701–707.

Fitriani, A. B., & Siscawati, M. (2021). POSISI PEREMPUAN BUGIS DALAM TRADISI,
RITUAL, DAN NORMA BUDAYA SIRI. JURNAL ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN,
21(2), 1–14. https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/issue/view/23%0APage

Ikbal, M. (2016). “UANG PANAIK” DALAM PERKAWINAN ADAT SUKU BUGIS


MAKASAR. AL HUKAMA : The Indonesian Journal of Islamic Family Law, 06(1), 192.

Meiyani, E. (2010). SISTEM KEKERABATAN ORANG BUGIS DI SULAWESI SELATAN


(SUATU ANALISIS ANTROPOLOGI - SOSIAL). Jurnal “Al-Qalam,” 16(26), 181–190.

Mustafa, M., & Syahriani, I. (2020). PERGESERAN MAKNA PADA NILAI SOSIAL UANG
PANAI ’ DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SIRI ’. Jurnal YAQZHAN, 6(2), 217–231.

Rinaldi, Azis, F., & Arifin, J. (2023). Problematika Uang Panai Dalam Pernikahan Masyarakat
Suku Bugis Bone Corresponding Author : Padaringan : Jurnal Pendidikan Sosiologi
Antropologi, 05(1), 1–11.

Rinaldi, Hufad, A., Komariah, S., & Masdar, M. (2022). Uang Panai Sebagai Harga Diri
Perempuan Suku Bugis Bone (Antara Tradisi dan Gengsi). Equilibrium : Jurnal
Pendidikan, 10(3), 361–373.

Yansa, H., Basuki, Y., Yusuf K, M., & Perkasa, W. A. (2016). UANG PANAI’ DAN STATUS
SOSIAL PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF BUDAYA SIRI’ PADA PERKAWINAN
SUKU BUGIS MAKASSAR SULAWESI SELATAN. PENA, 3(2), 524–535.

Zayyana, S. H. (2021). ANALISIS SEMIOTIKA KETIMPANGAN GENDER DALAM FILM


“UANG PANAI MAHA ( R ) L.” JURNAL KOMUNIKASI DAN KAJIAN MEDIA, 5(2),
173–186.

Anda mungkin juga menyukai