Anda di halaman 1dari 2

Terlupakan

Waktu istirahat tiba dan suara bell sekolah berbunyi

Disanalah kita duduk dengan tenang, menikmati waktu istirahat. Akan tetapi, rasa
gelisah, amarah, kesal membara di dalam diri kita. Sesuatu yang buram di mata kita,
akhirnya terlihat jelas. Menyadari bahwa salah satu sahabat kita telah diambil jauh dari
persahabatan ini. Menemani dan menempel kepada seseorang diluar “circle” kita. “Maaf
ya, aku duduk sama dia dulu ya, kasian dia ga ada yang nemenin”. Baiklah, perihal itu
kita mengerti, tetapi di waktu-waktu pelajaran, saat ada beberapa dari antara kami yang
sekelas, engkau hanya asik ngobrol, ketawa-ketiwi, berbisik-bisik dengannya. Seperti
kita tidak ada di situ!

Memang, kita mengerti bahwa engkau hanya merasa kasihan dan tidak enak karena
dia bergantung harap kepada mu untuk menemani dia. Tetapi sudah keterlaluan!
“Kasian nemenin dia” di setiap jam istirahat. Ini mah namanya “nyolong temen”. Apakah
engkau mengira kita tidak sadar? Sadar akan mengapa dia menempel kepada mu di
setiap detik, mengambil mu di kesempatan yang ada dengan alasan yang sekarang
basi bagi kita? Memang setelah berteman selama ini engkau tidak peka terhadap
perasaan sahabat mu sendiri??

Memang, kita mungkin kedengaran egois, sombong. Tetapi ini adalah soal loyalitas dan
persahabatan yang nyata. Lupakah engkau akan sahabat-sahabatmu yang sekarang
sudah serasa jadi keluarga? Lupakah engkau akan sahabat-sahabatmu yang sudah
bersamamu dari tahun-tahun yang lalu, melewati berbagai rintangan dan masalah?

Akan tetapi aku tidak bisa sepenuhnya menyalahi mu, karena dialah akar dari masalah
ini. Sengaja berbisik-bisik denganmu depan kita, mengajakmu pergi di depan kita. Aku
merasa asing jika aku cuman sendiri saat ada kalian berdua.

*Kringgg* *Kringgg* Kaget! Sadar waktu istirahat berakhir, kembali dari benak pikiran

Sound efek jalan balik ke kelas

Ah, lupakan sajalah. Mungkin dia akan sadar diri. Sementara, aku harus tenangkan diri,
*tarik nafas* *buang nafas*. Oke tenang Talisa, tenang. Anak Tuhan ga boleh marah-
marah.

Kelas sedang berjalan, duduk diam di bangku, memperhatikan guru didepan


Perhatian diganggu oleh suara tertawa seseorang (atau di dalam situasi ini, dua orang.
Kalian bisa tebak siapa).

Astaga, ya Tuhan, berikan hambaMu ini kesabaran yang lebih lagi *mengelus-elus
dada*. Aku sekelas dengan sahabatku, mempunyai kesempatan untuk menghabiskan
waktu dengan bersamanya. Namun… mengapa aku merasa kesepian. Tidak diajak
ngobrol, bercanda, berdiskusi bersama sahabatku sendiri dan parasit itu yang
menempel di sisi kirinya. Tuhan, mengapa perasaan ini sakit sekali. Tidak dianggap
keberadaan aku dengan temanku sendiri. Serasa aku tidak berbayang! Benarkah dia
sahabatku, ya Bapa?

Aku merasa lelah, capek, mencoba untuk tetap teguh dan tidak merasa sakit hati.
Tetapi hati ku tau apa yang dirasakannya, diinginkan nya. Rasa nya aku ingin teriak,
marah tapi tidak bisa! Tuhan jika memang ia sahabatku, tunjukan suatu jalan keluar dari
pergumulan ini. Kalau memang tidak, aku rela, aku ikhlas, melepaskan dia kepada
orang lain yang mungkin bisa membuat dia merasa lebih bahagia dan menjadi
sepasang sahabat hidup.

Jika memang ia ditakdirkan untuk teman dia yang satu itu, aku dengan rela berdoa
memberikan mereka persahabatan yang sehat dan bahagia. Aku rela berdoa agar dia
akan selalu di sisi sahabatku ini, selalu menemani dia di situasi mana pun, tingkat
kehidupan manapun. Aku rela berdoa supaya jika mereka melewati suatu rintangan,
mereka akan menemukan jalan balik ke persahabatan mereka.

Tetapi satu kali ini aja Tuhan, aku berdoa, ia memang ditakdirkan di persahabatan kita.
Karena suatu hari, saat masa-masa sekolah ini akan berubah menjadi suatu kenangan.
Aku akan bertanya kepada diriku sendiri. Apa yang ingin aku ingat selamanya?

Aku ingin ingat persahabatan ini, orang-orang ini yang membuat hidupku berwarna.

Aku ingin mengingat mu, sahabatku.

Anda mungkin juga menyukai