Anda di halaman 1dari 16

PEMANFAATAN BARANG GADAI

Pengertian Gadai
• Secara bahasa, ar-rahnu (gadai) berarti ats-
tsubuut, tetap.
• Secara istilah syari, ar-rahnu (gadai) berarti:
ِ‫ا‬ َ ِِ ‫عي ٍْن َما ِليَّ ٍة َو ِث ْيقَةً ِب َدي ٍْن يُ َْْ َ ْوََ ِم ْْ ََا ِع ْْ َد ََعَُّذر‬
ِ ََ‫للو‬ َ ‫َج ْع ُل‬
Menjadikan suatu harta (‘ain maaliyah) sebagai
jaminan (kepercayaan, watsiiqah) terhadap
utang (dayn) di mana sebagian utang bisa
terbayarkan dari harta tersebut ketika ada uzur
untuk melunasi.
Dalil Tentang Gadai
• firman Allah Ta’ala:
َ ‫ْفَ ٍِ َولَ ْم َ َ ِجدُول َكاَِبًا ََ ِِهَان َم ْقبُو‬
‫َة‬ َ ٰ َ ‫عل‬
َ ‫َو ِإ ْن ُك َْْ ُ ْم‬
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283)
• Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
ُ‫ َو َِ َهَْه‬، ‫ى ِإلَ أ َ َج ٍل‬
ٍّ ٍ ‫طعَا ًما ِم ْن يَ َُو ِد‬ َ ‫أ َ َّن للَّْ ِب َّ – صل هللا عليه وْلم – ل ْشَ َ َِى‬
‫عا ِم ْن َح ِدي ٍد‬
ً ِْ ‫ِد‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan
dari orang Yahudi secara tidak tunai (berutang), lalu beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa
baju besi.” (HR. Bukhari, no. 2068 dan Muslim, no. 1603).
Hukum Rahn (Menggadaikan Barang)

:‫للِ ْه ِن‬ َّ ‫أ َ ْح َكا ُم‬


َّ ‫َو ُك رل َما َجازَ بَ ْيعُهُ َجازَ َِ ْهُْهُ َِي لل رديُ ْو ِن ِإ َُّذل ل ََْْقَ َِّ ثُبُ ْوَ ُ ََا َِي لل ُِّذٍّ َّم ِة َو ِل‬
‫لِل ِه ِن‬
ِ ٍّ ‫ض لل َح‬
‫ق‬ َ ‫ض بَ ْع‬ َ َ‫َ َم ْْهُ لل ُم َِْ َ َِ ُن ِإالَّ ِبالََّعَ ِ ٍّدي َو ِإ َُّذل قَب‬ ْ َ‫َهُ َوالَ ي‬ ْ ‫ع َِ ْي ِه َما لَ ْم يُ ْق ِب‬
ُ ‫للِ ُج ْو‬
‫ر‬
.ُ‫ي َج ِم ْيعَه‬َ َ ِ ‫للِ ْه ِن َحَ َّ يَ ْق‬ َّ َ‫ش ْيِ ِمن‬ َ ‫لَ ْم يَ ْخ ُِ ْج‬
Semua barang yang boleh dijual, boleh pula digadaikan
sebagai jaminan utang, apabila utang itu tetap (tidak berubah)
selama masa perjanjian (penjaminan). Si penggadai (raahin)
boleh membatalkan gadaiannya selama barang tersebut
belum diserahkan. Si penerima gadaian (murtahin) tidak
menanggung barang gadaian kecuali karena adanya
pelanggaran (ta’addi). Apabila si penerima gadaian baru
menerima sebagian cicilan utang dari si penggadai, maka
masa penggadaian belum dianggap rampung hingga si
penggadai telah melunasi seluruh utangnya.
Rukun Akad Rahn (Gadai)
• Marhuun (yang digadaikan)
• Marhuun bihi (dayn, yaitu utang)
• Raahin (al-madiin, yang berutang, yang
menyerahkan gadai)
• Murtahin (ad-daain, yang memberikan utang,
penerima gadai)
• Shighah (ada ijab dan qabul)
Syarat-syarat gadai
• Menurut Sayid Sabiq, syarat sahnya perjanjian
atau akad gadai itu ada 4 yaitu:
– Berakal
– Baligh
– Barang yang dijadikan (jaminan) ada pada saat
akad
– Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang
menerima barang gadaian atau wakilnya.
Pemanfaatan barang gadai
• Jika gadai ini diberikan untuk jaminan kepercayaan
transaksi utang-piutang, pemberi utang sama sekali tidak
boleh memanfaatkan barang gadai, meskipun telah
diizinkan rahin. Karena ini termasuk riba, karena “setiap
utang yang memberikan keuntungan, maka itu adalah riba.”
bahkan kata Imam Ahmad, itu riba murni. Ibnu Qudamah
mengatakan.
‫ أكِه قِض للدوِ وهو للِبا للمحض يعْي إُّذل كاْت للدلِ ِهْا َي‬: ‫قال أحمد‬
‫قِض يَْفع بَا للمََِن‬
Imam Ahmad mengatakan, “Saya membenci menggadaikan
rumah, dan itu riba murni.” Maksud beliau, jika rumah
dijadikan barang gadai untuk utang, dan dimanfaatkan oleh
murtahin (pemberi utang).
• Jika gadai untuk selain utang, seperti jaminan
untuk transaksi jual beli yang belum tuntas
atau jaminan dalam akad sewa-menyewa,
maka pemberi utang boleh memanfaatkan
barang gadai jika pemilik barang mengizinkan.
Ini merupakan pendapat yang diriwayatkan
dari Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin
– keduanya ulama tabi’in –. (al-Mughni,
4/467).
Jika Gadai Membutuhkan Perawatan
• Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang
gadai menjadi tanggung jawab rahin (yang
berutang). At-Thahawi mengatakan,
‫وأجمع أهل للعلم أن ْفقة للِهن عل للِلهن ال عل للمََِن‬
“Ulama sepakat bahwa biaya perawatan barang
gadai menjadi tanggung jawab rahin dan bukan
murtahin.” (Syarh Ma’ani al-Atsar, 4/99)
jika rahin tidak menanggung biaya perawatan,
bolehkah murtahin memanfaatkan barang gadai
sebagai ganti dari biaya perawatan?
Menurut madzhab hambali, jika gadai yang ada
di tangan murtahin membutuhkan biaya
perawatan, seperti binatang, maka murtahin
berhak untuk mengambil manfaat dari binatang
itu, dengan diperah susunya atau dijadikan
tunggangan, sebagai kompensasi atas biaya yang
dia keluarkan.
Dalam Fiqh Sunah dinyatakan
Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau
binatang ternak, maka murtahin boleh
memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia
keluarkan untuk itu. Orang yang menanggung biaya,
dia berhak untuk memanfaatkan barang itu. Dia
boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti
kuda, onta, atau bighal. Dan boleh dipakai untuk
ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil
susunya jika hewannya bisa diperah, seperti
kambing atau sapi. (Fiqh Sunah, 3/157)
Beberapa Pembahasan Terkait
Gadai
• Orang yang menyerahkan gadai (raahin) boleh meminta barang gadaian
(marhuun) selama penerima gadai (murtahin) belum qabdh (memegang,
serah terima). Jika murtahin telah qabdh (memegang barang gadai), maka
tidaklah boleh barang gadai itu dikembalikan hingga utang lunas atau
barang gadai (marhuun) dijual untuk melunasi utang.
• Penerima gadai (murtahin) ketika memegang barang gadai (marhuun)
adalah barang amanah. Murtahin barulah mengganti jika ada kerusakan
pada barang gadai hanya ketika terjadi ta’addi atau melampaui batas.
Jika pemberi gadai (yang berutang) melunasi sebagian dari utangnya, ia
tetap belum boleh meminta barang gadaiannya atau sebagiannya. Barang
gadai barulah diserahkan ketika utang lunas.
• Barang gadai itu masih jadi milik orang yang berutang (pemberi
gadai) dan dialah yang punya kewajiban untuk mengeluarkan biaya
untuk perawatan barang gadainya. Misalnya, barang gadai berupa
sapi, maka susunya masih dimiliki raahin (pemberi gadai), ia tetap
yang memberi makan, memeras susunya, dan membersihkan
kandangnya.
• Barang gadai tidak boleh disewakan, dihibahkan, dipinjamkan, atau
dimanfaatkan yang sifatnya bisa menghabiskan.
• Jika penerima gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadai seperti
hewan tunggangan yang jadi gadai ditunggangi, maka dianggap
sebagai ta’addi (melampaui batas), maka harus ada ganti rugi ketika
ada kerusakan atau musnah.
• Jika barang gadai berupa sapi betina melahirkan dan memiliki anak
atau barang gadai berupa pohon itu berbuah, maka hasil tadi
adalah milik raahin (pemberi gadai) yang keluar dari barang
gadainya. Raahin (pemberi gadai) punya kewajiban untuk
merawatnya (menanggung biayanya).
• Jika murtahin (penerima gadai) meminta barang gadai dijual atau
meminta untuk dilunasi utangnya jika memang sudah jatuh tempo,
jika raahin (pemberi gadai) mengalami kendala, maka qadhi (hakim)
boleh memaksanya untuk menjual barang gadai.
• Murtahin (penerima gadai) boleh menjual marhuun (barang
gadaian) dengan izin raahin (pemberi gadai) sebelum penulasan
utang jatuh tempo dan gadai jadi bebas.
Gadai dianggap selesai dengan:
• Melunasi utang.
• Raahin (pemberi gadai) dianggap utangnya selesai,
artinya murtahin (penerima gadai) memaafkan atau
memutihkan utang.
• Barang gadai lenyap atau rusak.
• Barang gadai tidak layak lagi diperjualbelikan, seperti
hasil ekstraksi sesuatu yang berubah menjadi khamar.
Namun, khamar jika berubah lagi sendirinya menjadi
cuka, maka gadai dianggap balik kembali.

Anda mungkin juga menyukai