KETENTUAN HIBAH
1. Pengertian Hibah
Hibah berasal dari bahasa Arab: ٌ ة َّ ِهـ ـبـ ـ, yang artinya pemberian. Sedangkan menurut
istilah hibah ialah pemberian sesuatu yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup kepada
seseorang secara cuma-cuma, tanpa mengharapkan apa-apa kecuali ridha Allah Swt. semata.
Seseorang boleh memberikan hibah kepada orang lain, meskipun tidak ada hubungan keluarga.
Penerima hibah tidak berkewajiban memberikan balasan apapun kepada pemberi hibah. Hibah
dinyatakan sah apabila sudah ada ijab qabul (serah terima). Apabila keinginan hibah itu baru
diucapkan dan belum ada serah terima barang yang dihibahkan, maka hal demikian belum bisa
disebut hibah.
Artinya:“Khalid bin Adi r.a berkata :”Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda :”Barang siapa yang diberi
oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak dia minta hendaklah diterima
(jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yang diberikan Allah kepadanya”.
(HR. Ahmad).
Hibah dimakruhkan apabila tujuannya adalah riya‟ (agar dilihat orang) atau sum`ah
(didengar orang lain) dan berbangga diri.
a. Orang yang memberi hibah (waahib) Waahib harus memiliki beberapa syarat antara lain:
1) Berhak dan cakap dalam membelanjakan harta, yakni baligh dan berakal.
2) Dilakukan atas dasar kemauan sendiri, bukan karena paksaan dari pihak lain.
Penerima hibah (mauhuub lahu) disyaratkan sudah ada ketika akad hibah dilakukan. Jika ketika
akad berlangsung tidak ada, atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih
dalam kandungan ibunya, maka tidak sah dilakukan hibah kepadanya. Atau orang yang diberi
hibah itu ada di waktu pemberian hibah, namun dia dalam keadaan terganggu akalnya, maka
hibah tersebut diambil oleh walinya, pemeliharanya atau orang mendidiknya sekalipun dia
tidak ada hubungan keluarga.
c. Barang yang dihibahkan (mauhuub) Syarat barang yang dihibahkan (mauhub) antara lain:
6) Barang bisa dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah (waahib)
kepada penerima hibah (mauhuub lahu)
ب َ ه َ ي َّ ِ ال ا ب َ ه ْ ِح َ ِ د ال َ ى
َ ع َ ع ْ و َ ؤ َ ِحع ْ ر َ ح َ ِ ت َ ِهب ْ ىْعٌُْنٍَِْؤل
ُّ ظ ُ ٍف م ُ ح َ ِ س ل
ُ ِ َّ ِدف َ ً َ ال ت َ
)زواه ابى داود.ْ( ال ا َ م ْ ِ ِعى ُ ْ ع ُ ٌ َ د َ ل َ و ُ ه
Artinya: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali
seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).
Artinya: “Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu
dimakannya kembali muntahnya itu” (Muttafaq „Alaih).
a. Hibahnya orang tua terhadap anaknya, karena orang tua melihat bahwa mencabut itu demi
menjaga kemaslahatan anaknya. Contoh seorang ayah menghibahkan sebuah motor kepada
anaknya. Namun ternyata motor tersebut tidak digunakan semestinya dan sering bolos
sekolah. Maka orang tua boleh menarik kembali hibahnya.
b. Bila dirasakan ada unsur ketidakadilan diantara anak-anaknya.
c. Bila dengan adanya hibah itu ada hal yang dapat menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak
lain.
5. Macam-Macam Hibah
Hibah ada dua macam yaitu:
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi
dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada imbalan apapun.
Misalnya menghibahkan rumah, sawah, mobil, sepeda motor, baju dan lain-lain.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta atau benda kepada pihak lain untuk dimanfaatkan,
namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain,
dalam hibah manfaat itu penerima hibah hanya memiliki hak menggunakan saja. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya perselisihan di kelak kemudian hari,
sebaiknya akad hibah dicatat di hadapan Notaris/PPAT dengan dibuatnya Akta hibah.