Anda di halaman 1dari 11

Agama Perspektif Behavioristik

Makalah ini diajukan untuk tugas mata kuliah Psikologi Agama

Dosen Pengampu
(Dr. H. Arifin Sahaka, M.Ag )

DISUSUN OLEH :
BASRI

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) AS'ADIYAH
2022/2023

i
ii

Kata Pengantar

Puja dan pujian dengan tulus senantiasa dipanjatkan kehadirat yang Maha
terpuji Allah SWT, berkat limpahan taufiq dan hidayah, sehingga dapat melakukan
kegiatan perkuliahan demi untuk memperoleh pencerahan dan secercah ilmu
pemahaman.
Selawat dan salam semogah senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan
diringi upayah meneladani akhlaknya yang mulia.
Makalah ini disusun dalam rangka untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Psikologi Agama.
Penulis menyadari betul bahwa penulisan makalah ini, tentunya masih jauh
dari sempurna, baik dari segi isi, metodologi penulisan, maupun analisisnya. Selain
karena keterbatasan penulis juga karena masih kurangnnya referensi penulis miliki
yang membahas secara khusus terkait dengan judul makalah ini.
Besar harapan semoga dengan persembahan kecil ini menjadi sumber
informasi dan inspirasi sehingga dapat bernilai ibadah yang di sisi Allah SWT, dan
dapat memenuhi tugas kuliah yang telah diberikan kepada kami.

Sengkang, 18 Januari 2022

Kelompok 9
iii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
Latar Belakang .............................................................................................................. 1
Rumusan Masalah ........................................................................................................ 3
Tujuan Penulisan .......................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
Teori Behaviorisme ...................................................................................................... 4
Konsep Dasar Teori Behavioristik Dalam Islam ............................................................ 6
Teori Pengkondisian ..................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 21
Kesimpulan ................................................................................................................. 21
Saran-saran ................................................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Aliran yang paling keras menantang psikoanalisa atas prilaku manusia dan
menekankan pada metode yang lebih objektif adalah madzhab yang biasa disebut
Behaviorisme (perilaku). Mereka yang bekerja dibawah label Behavioris tidak
memiliki metode yang sama, namun mereka memiliki pandangan yang sama
tentang hakikat manusia dan tujuan psikologi. Semua yang tergabung dalam
aliran Behaviorisme sependirian dengan kecurigaan mereka terhadap kesadaran
(consciousness) sebagai pegangan pengertian yang berguna dan melepaskan
acuan budi, psike, atau jiwa. Manusia didorong untuk berbuat oleh kekuatan-
kekuatan yang ada didalam lingkungannya, dan menggapainya sebagai makhluk
fisiologi.
Dibawah naungan Behaviorisme terdapat banyak ahli Psikologi yang
menekankan bahwa Psikologi sebagai ilmu sosial perlu memurnikan metodenya
dengan belajar langsung dari ilmu-ilmu sejenisnya dan juga pengamatan,
peramalan, serta pengendalian perilaku manusia, sehingga dengan demikian
menjadi lebih empiris dan eksperimental dalam analisisnya terhadap perilaku
manusia. Para ahli psikologi ini diantaranya yaitu: J.B. Watson, B.F. Skinner,
Pavlov, William Sargant.

B. Rumusan Masalah
1. Teori Behaviorisme
2. Konsep dasar behavioristic dalam konsep islam
3. Teori Pengkondisian

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami pengertian Teori Behaviorisme
2. Untuk memahami teori dasar behavioristic dalam konsep islam
3. Untuk memahami tentang teori pengkondisian

21
22

BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Behaviorisme

John B. Watson adalah seorang ahli psikologi Amerika yang pada awal abad
ke-20 mulai memperkenalkan gerakan Behaviourisme, sejak itu Behaviuorisme
telah dikenal dengan analisis perilakunya dengan mengembangkan teknik-teknik
guna mengamati perilaku dalam lingkungan yang dikendalikan untuk mengukur
tanggapan, dan untuk meramal pola perilaku selanjutnya. Dengan menggunakan
prosedur, misalnya seperti percobaan atau eksperimen yang dikendalikan, analisis
faktor, studi korelasi, analisis isi, dan pengukuran tepat mengenai tanggapan
neurologis dengan menggunakan satu atau lebih teknik-teknik yang dipakai untuk
pengamatan, cara itu adalah produk madzhab ini. Behaviorisme amat mendalam
dan berakar dalam psikologi Amerika, sehingga madzhab ini paling berpengaruh
luas.
Tidak mengherankan jika Behaviorisme tidak memberi perhatian banyak
kepada agama, hal ini dikarenakan pengandaian mereka bahwa perilaku
keagamaan adalah sama halnya dengan segala perilaku lain, yang merupakan
akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia. Meskipun demikian madzhab
Behaviorisme penting bagi pengembangan psikologi agama yang komprehensif,
alasan pertama karena, perilaku keagamaan kadang-kadang ditafsirkan dari sudut
pandangnya.
kedua, karena Behaviorisme memiliki pengandaian tentnag manusia yang
berat bernada teologis. Melalui cipta (reason) orang dapat menilai
membandingkan dan memutuskan suatu tindakan terhadap stimulus tertentu.
Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat,
terlebih dalam agama modern, peranan dan fungsi reason ini sangat menentukan.
Kaum Behavioris terdahulu seperti Watson, percaya bahwa perilaku manusia
ditentukan oleh pengaruh lingkungan. Teori Behavioral bersifat deterministik,
reduksionistik, atomistik, matrealistik, dan mekanistik; dalam artian bahwa
perilaku manusia dapat dijelaskan atau direduksi menjadi hubungan stimulus-
respons dan bahwa yang dianggap nyata hanyalah perilaku yang dapat diamati.

B. Analisis Konsep Dasar Behavioristik dalam Perspektif Islam


1.Pandangan Hakikat Manusia
Hakikat manusia dalam Islam, telah menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia
terlahir dalam keadaan Fitrah (suci) dan dibekali dengan beberapa potensi yang dapat
dikembengkan oleh manusia itu sendiri, beserta alatnya yang bisa di kembangkan
23

melalui belajar, alat-alat potensi manusia tersebut berupa alat peraba dan penciuman
(QS. Al-An’am: 7 dan QS.Yusuf : 74), alat pendengaran dan penglihatan, (QS. Al-
Isra:36 dan QS.An-Nahl:78), alat untuk berfikir berupa akal, (QS. Ali-Imran: 191),
dan hati yang digunakan sebagai alat makrifah untuk mencapai ilmu, (QS. Al-Hajj:
46 dan QS. Muhammad: 24). Dengan alat-alat potensi manusia tersebut maka
manusia mempunyai potensi dasar berupa fitrah.1 Disamping adanya unsur pengaruh
lingkungan yang dapat membentuk perilaku individu tersebut, individu juga bisa
membawa berbagai konsekuensi positif dan konsekuensi negatif.
Oleh karena itu hakikat manusia berdasarkan perspektif Islam ini beriring sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh teori behavioristik sebelumnya tentang hakikat
manusia, hal ini dapat dilihat melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Alhadits yang
menjelaskan tentang hakikat manusia ini. Hanya saja menurut teori behavioristik
manusia terlahir dalam kondisi tanpa ada dibekali potensi apapun, perkembangannya
hanya bergantung dari adanya pengaruh lingkungan.
Hal ini persis seperti apa yang dijelaskan oleh tokoh behavioristik Albert bandura
dan tokoh-tokoh behavioristik lain yang menganut faham empirisme, menurutnya
bahwa manusia itu adalah produsir dan produk dari lingkungannya, dan agen yang
positif yang tergantung pada pengaruh lingkungan. Boleh dikatakan bahwa manusia
pada dasarnya bersifat netral, tidak baik dan tidak pula buruk.2 Selain itu banyak
tokoh-tokoh behavioris yang menganut faham empirisme, menurut mereka manusia
bagaikan kertas kosong, atau dalam bahasa latin disebut dengan (tabularasa) tanpa
memiliki bakat atau bawaan untuk memiliki perilaku tertentu, setelah sekian lama
lingkungan akan menulis pada kertas kosong ini, secara perlahan-lahan dan masing-
masing individu akan memiliki karakteristik yang unik dan berbeda satu dengan yang
lain tergantung lingkungan dimana ia tinggal.
“Selain itu MD Dahlan juga mengemukakan tentang aliran behaviorisme dalam
memandang manusia, menurutnya aliran ini memandang manusia tidak lebih sebagai
“hewan sirkus” yang bisa dilatih sesuai kehendak pelatihnya”. 4 Adapun ayat-ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang hakikat manusia ini. Firman Allah Swt.
24

(QS.Asy-Syams :7-10).5 (tentang pilihan terhadap perilaku baik dan buruk),


HR.Imam Malik. (tentang pengaruh lingkunag keluaraga),Firman Allah Swt. (QS. At-
Tahrim : 6).6 (tentang perintah mendidik anak).
2. Pandangan Hakikat Konseling
Dalam teori behavioristik sebelumnya, telah dikemukakan tentang hakikat
konseling adalah proses belajar mengajar kembali antara klien dan konselor, dalam
rangka membentuk perilaku yang baru, yaitu perilaku yang sesuai dan tepat. Hal ini
dapat dilihat dari sasaran konseling dalam teori behavioristik, bahwa yang menempati
nilai penting atau sentral dalam terapi ini, sasaran umumnya adalah untuk bisa
menciptakan kondisi belajar yang baru. Asumsinya adalah bahwa belajar bisa
memperbaiki perilaku bermasalah. Ada dua pelaku penting dalam konseling ini yaitu
klien dan konselor, bagi klien konseling adalah belajar kembali atas segala
kesalahannya dalam belajar sebelumnya, sedangkan bagi konselor konselling adalah
mengajar kembali terhadap klien yang bermasalah. Jadi konseling behavioristik pada
hakikatnya adalah proses belajar mengajar kembali.
Sedangkan dalam Islam, melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah sebelumnya telah
dijelaskan tentang hakikat konseling behavioristik yang memandang bahwa hakikat
konseling yakni untuk menciptakan kondisi belajar yang baru. Adapun dalam
perspektif Islam hakikat konseling mengandung aspek pembelajaran kembali antara
seorang Mursyid (konselor) dan klien. Dimana aspek ini merupakan aplikasi dalam
menciptakan sebuah kondisi belajar yang baru, seperti yang dijelaskan dalam hakikat
konseling teori behavioristik sebelumnya. Oleh karena itu maka pandangan hakikat
konseling ini dapat dikatakan sejalan dengan pandangan hakikat konseling perspektif
Islam, hal ini dapat dilihat melalui beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hal
tersebut.
a. Firman Allah Swt (QS.Ar-Ra’du : 11).8
b. Firman Allah Swt (QS.Al-Kahfi : 17).9
c. Firman Allah Swt (QS.Al-Qasas : 56).10
d. Firman Allah Swt (QS.Al-Fatir : 32).11
25

e. Firman Allah Swt (QS.An-Nahl : 43).12

C. Teori Pengkondisian

1. Pengkondisian Klasik dan Pertobatan


William Sargant, seorang praktisi inggris menunjukkan bahwa penggunaan
teori pengkondisian di bidang agama ada peluangnya. Dalam buku “The battle for the
maid”, Sargant menyajikan teori yang menarik, meskipun sempit, tentang pertobatan
(conversion) berdasarkan teori Pavlov. Sargant menggunakan dua konsep Pavlov
yaitu: rangsangan transmarginal dan penghambatan transmarginal dari exsperimennya
itu ditarik kesimpulan bahwa, Pavlov menemukan lontaran rangsangan yang berlebih
dapat membahayakan sistem neorologis binatang, dengan menciptakan pola
tanggapan yang aneh.
Rangsangan yang klewat batas juga menghasilkan penghambatan yang
melebihi batas (transmarginal stimulation). Pavlov mau menyebut keterangsangan
yang melebihi ambang kemampuan binatang untuk membari tanggapan yang
dikondisikan. Rangsangan yang diperpanjang melebihi kebutuhan itu memperlemah
atau merusak pola tanggapan yang sudah biasa terjadi, gejala ini oleh Pavlov disebut
penghambatan transmarginal(Transmarginal Inhibition).
Sargant mengandaikan bahwa manusia memberi reasksi atau tanggapan menurut pola
yang disebut pavlov di atas. Dan berdasarkan pendapat itu Sargant menafsirkan
pertobatan keagamaan. Rangsangan transmarginal yang dibuat melebihi batas dan
prilaku yang diakibatkan, pada akhirnya dapat berakibat dalam “Kegiatan otak yang
dapat menambah secara berarti kemampuan orang untuk menerima saran sehingga
orang itu menjadi mudah dipengaruhi oleh lingkungannya”.

Sargant melihat bahwa rasa takut yang ditimbulkan seperti, karena


membayangkan api neraka, yang diciptakan lewat khotbah-khotbah yanng berapi-api
merupakan keadaan kebangkitan emosi yang hebat yang diciptakan secara artifisial,
buatan. Orang-orang yang bertobat adalah dibebaskan dari masa kedosaan di masa
lampau dan terbuka untuk peyakinan tentang hidup baru yang harus mereka jalani,
keadaan mereka yang mudah menerima saran membuat mereka juga mudah
menerima tanpa kritis tatanan ajaran dan praktik keagamaan baru.
Sesungguhnya emosi memegang peranan penting dalam setiap tindakan agama, tidak
ada satu sikap atau tindakan agama seseorang dapat dipahami, tanpa mengindahkan
emosinya. Oleh karena itu dalam memahami perkembangan jiwa agama pada
seseorang, perlu diperhatikan seluruh fungsi-fungsi jiwanya keseluruhan.
2. Pengkodisian Operan (Operant Conditioning)
B.F. Skinner membuat perubahan besar atas teori Pavlov tentang
Pengkondisian Klasik. Pengkondisian Operan, sama halnya dengan pengkondisian
klasik yang dibangun atas pendapat bahwa ganjaran (reward)menjadi penyebab agar
perbuatan diulang atau diperkuat. berbeda dengan Pengkondisian Klasik bahwa
26

lingkungan yang menanggapi makhluk, dalam Pengkondisian Operan makhluk


menanggapi lingkungan. Tanggapan itu merupakan cara untuk mengubah lingkungan,
guna mendapatkan kepuasan.
Skinner berpendapat bahwa manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya
untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan
atau untuk menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak.
Contohnya orang yang haus akan berusaha mendapatkan minuman, orang yang
terkena jarum disepatunya akan berusaha mengeluarkannya dari sepatunya agar tidak
tertusuk kakinya.

Mutu pemuas tindakan untuk memenuhi kebutuhan menambah kemungkinan


bahwa pada kesempatan lain tindakan yang sama diulang, dan sebaliknya, tindakan
yang mendatangkan akibat yang tidak enak, pada kesempatan lain cenderung
dihindari. Menurut skinner segala perbuatan dan tindakan manusia dapat dimengerti
dalam kerangka pemikiran itu, begitu pula manusia dalam beragama.Ia juga
berpendapat bahwa agama masih diperlukan oleh orang-orang awam, terutama
sebagai cara untuk mendorong mereka menangguhkan pemuasan kebutuhan masa
kini.
3. Tindakan Memperkuat
Pendekatan Skinner terhadap agama harus dibahas dengan hati-hati, seperti
Sargant, Skinner tidak menyajikan dalam tulisan-tulisannya uraian sistematis tentang
Agama. Meskipun demikian pendirian Skinner yang Behavioristis itu merupakan
kerangka dari berbagai pendapat yang tidak di kembangkan, tetapi jelas berkaitan
dengan hakikat prilaku keagamaan. Yang paling menonjol adalah pengamatannya
tentang pemikiran, pengetahuan, dan pembicaraan keagamaan yang dia sempitkan
dalam istilah-istilah Behavioristis. Semua itu merupakan cara bagaimana cara
manusia, seperti makhluk-makhluk lain dengan Pengkondisian Operan belajar hidup
di Dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran (reward) dan hukuman.
Perasaan dan keadaan jiwa tidak lain hanyalah cara yang dianggap sesuai
untuk mengatakan prilaku yang diakibatkan oleh hukum Pengkondisian Operan.
Dalam pandangan Skinner kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor
penguat sebagai prilaku yang meredakan ketegangan. Kelembagaan agama itu
merupakan ”isme” sosial yang lahir dari faktor penguat, lembaga sosial atau
kemasyarakatan menjaga dan mempertahankan prilaku dan kebiasaan masyarakat,
anak dilahirkan kedalam masyarakat itu seperti dia dilahirkan kedalam lingkungan
fisiknya.

Lembaga Keagamaan merupakan bentuk khusus dari tatanan sosial dimana


“baik” dan “buruk” menjadi “suci” dan “berdosa”. Jadi lembaga keagamaan bertahan
hidup karena fungsinya sebagai faktor penguat. Dalam pandangan Behavioristis
manusia sekarang dapat mengendalikan nasibnya sendiri karena manusia tahu apa
yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya.
27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perspektif modern, manusia dilihat sebagai objek kehidupan. Sebab
menurut Behaviorisme bahwa manusia adalah makhluk yang “terbentuk” oleh
lingkungan. Karena itu dialog merupakan cara yang efektif dan efisien dalam
menentukan proses “adaptasi” terhadap kehidupan ini. Proses dialog berarti belajar
melibatkan stimulasi dan respons, dari pandangan Behaviorisme kita memperoleh
teori tentang yang disebut Pengkondisian Klasik, yang berisi (transmarginal
stimulation) dan (Transmarginal Inhibition).
Dan Pertobatan, yaitu perubahan perilaku yang kurang lebih dari jahat menjadi
baik, dari kenistaan menjadi kebenaran, dari kegiatan acuh menjadi kegiatan rohani.
Pengkondisian Operan makhluk menanggapi lingkungan, tanggapan itu merupakan
cara untuk mengubah lingkungan, guna mendapatkan kepuasan. Tindakan Penguat,
yaitu kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai prilaku
yang meredakan ketegangan.
28

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Cet.
2;Bandung;PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Hasan al-Syarqawi, Mu‟jam Alfaz al-Sufiyyah, Cet.1 Kairo: Muassasah Mukhtar,
1987
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), cet. xv.
Hardjana, A.M., Dialog Psikologi dan Agama, (Jogjakartaa: Kanisius, 199), cet. I.
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005).
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama, (Bandung: Mizan, 2005), cet v

Anda mungkin juga menyukai