TUGAS MAKALAH
Mata Kuliah
Strategi Pembelajaran Kejuruan
Dosen Pengampu
Yudha Ari Purnama, M.Pd.
Kelompok :1
Nama : Achmad Kurniawan Legowo
Npm : 21112001400025
Nama : Aji sahputra
Npm : 21112001400026
Nama : Antono
Npm : 21112001400027
Nama : Ardi Rohman Syahwal
Npm : 211120014000
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan semua
rahmatnya, penulis akhirnya bisa menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Tak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Bpk Yudha Ari Purnama, M.Pd,
selaku dosen mata kuliah strategi Pembelajaran Kejuruan yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Tentu penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Meskipun begitu, saya
berharap bahwa makalah ini bisa bermanfaat untuk orang lain.
Apabila ada kritik dan saran yang ingin disampaikan, saya sangat terbuka dan dengan
senang hati menerimanya. Terima kasih
Kelompok1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Era 4.0 sudah di depan mata. Banyak tantangan dan peluang yang bisa
diambil dari era
4.0. Dunia dalam menghadapi tantangan era 4.0 dengan cara meningkatkan
keterampilan Abad 21 salah satunya melalui pendidikan. Adanya pembelajaran
Abad 21 di era 4.0, diharapkan siswa mempunyai empat keterampilan sehingga
mampu berinovasi agar berdaya saing baik di lingkungan sekolah maupun di
lingkungan kerja nantinya. Empat keterampilan itu antara lain; berpikir kritis
(critical thinking), komunikasi (communication), kolaborasi (collaboration), dan
kreativitas (creativity). Empat keterampilan Abad 21 itu biasa disebut 4C
keterampilan belajar dan inovasi (4C as Learning and Innovation Skills).
Indonesia mengalami kendala dalam meningkatkan 4C. Hal ini bisa dilihat
dari data HDI 2017, Indonesia menempati peringkat 116 dari 189 peringkat.
Posisi daya saing Indonesia masih kalah jauh dengan Negara tetangga seperti
Filiphina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Kualitas pendidikan di
Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan hasil riset PISA (Programme for
International Student Assessment) 2015-2016, Indonesia menempati peringkat 63
dari 72 negara. Data riset TIMSS (Trends in International Mathematics and
Science Study) tahun 2015 juga menempatkan Indonesia pada posisi rendah
dengan menempati urutan ke 69 dari 76 negara.
Berdasarkan kualitas pendidikan Indonesia, maka perlu dilakukan
reformasi pendidikan. Permendikbud No 22 Tahun 2016 tentang standar proses
pendidikan dasar dan menengah telah menyatakan tentang pentingnya proses
pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik/ilmiah dalam menghasilkan
karya. Septiani (2016) menyatakan hal yang sama bahwa pembelajaran dalam
dunia pendidikan harus mampu meningkatkan keterampilan proses belajar dan
keterampilan sosial siswa. Berdasarkan hasil SEAMEO QITEP 2018, dalam
membentuk konsep materi pembelajaran ekonomi dengan pendekatan saintifik
yang bersifat student centered learning (SCL) terintegrasi GLS, HOTS, PPK dan
4C kini ditambah dengan STEM (Scientific, Technology, Engineering, and
Mathematics). Pembelajaran yang diajarkan sepanjang pengajaran eksperimental
menempatkan STEM untuk memecahkan masalah (Dym et al, 2013) sehingga
dalam menerapkan STEM pada pembelajaran perlu adanya kolaborasi antara
siswa, sumber belajar, dan teknologi.
Pembelajaran STEM telah diterapkan di berbagai negara seperti di
Amerika, Finlandia dan Taiwan. STEM dapat membantu mempromosikan
kreativitas pelajar yang membuat siswa berperan sebagai pusat kegiatan belajar
(Craft et al, 2014; Eguchi, 2016; Land, 2013; Madden et al, 2013, Lou, Shih,
Diez, dan Tseng: 2011). Pembelajaran yang terintegrasi dengan STEM dapat
berupaya memunculkan keterampilan dalam diri siswa, misalnya kemampuan
berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi dan kreativitas dalam menyelesaikan
persoalan. Empat keterampilan belajar dan berinovasi ini penting untuk
membantu meningkatkan sumber daya manusia.
STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathtematics) merupakan
isu penting dalam pendidikan saat ini (Becker & Park, 2011; Gonzales & Kuenzi,
2012). Pembelajaran STEM sebagai upaya membantu kesuksesan keterampilan
abad ke-21 agar kemampuan dan bakat siswa dalam menghadapi masalah pada
Abad 21 ini terbentuk (Beers; 2011). Pembelajaran STEM siswa tidak hanya
sekedar menghafal konsep saja, tetapi lebih kepada bagaimana siswa mengerti dan
memahami konsep-konsep sains dan kaitanya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran STEM saat ini diterapkan untuk sekolah zonasi jenjang SMA.
Keberhasilan penerapan pembelajaran STEM pelu didukung beberapa faktor agar
tujuan dan manfaat dapat tercapai baik bagi siswa maupun pendidik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kerangka Pembelajaran STEM?
2. Faktor apa yang memengaruhi Pembelajaran STEM?
3. Bagaimana tolak ukur Learning and Innovation Skills sebagai ketercapaian
Pembelajaran STEM dalam meningkatkan keterampilan Abad 21?
4. pengintegrasian STEM dalam pembelajaran dalam meningkatkan
keterampilan belajar dan inovasi bagi siswa
C. Tujuan Penelitian
D. Metode Penelitian
Terdapat kesamaan antara pola pendekatan tertanam dengan pola pendekatan silo,
yakni terdapat satu materi yang lebih diutamakan dibandingkan yang lainnya
sehingga integritas dari subjek yang diutamakan tetap terjaga. Perbedaannya yakni
pada pembelajaran dengan pola pendekatan tertanam menunjukan hubungan yang
jelas antara materi yang diutamakan dan materi pendampingnya. Hubungan ini
disampaikan secara kontekstual dalam penjelasan bahwa materi-materi pendamping
adalah penguat konsep pada materi utama, namun bidang materi-materi
pendamping tersebut tidak dimasukkan ke dalam evaluasi penilaian. Salah satu
kelemahan dalam pola pendekatan tertanam adalah jika siswa tidak mampu
mencari keterkaitan dan hubungan antara materi utama dan materi pendamping,
maka dikhawatirkan siswa hanya akan mendapatkan materi secara terpotong-
potong dan hanya belajar sebagian dari pembelajaran yang harusnya menyeluruh.
Pelaksanaan pola terinkoporasi adalah pendekatan yang cukup sesuai dengan
kebutuhan STEM karena membutuhkan kecakapan multidisipliner dari materi dan
konten yang siswa dapatkan dari berbagai mata pelajaran atau pengalaman
sebelumnya
S
T E M
Pola ketiga adalah pola pendekatan terintegrasi. Pola ini adalah pola yang
paling ideal karena semua bagian dari S, T, E, M diajarkan pada satu
subjek utuh pada mata pelajaran. Pendekatan ini mungkin dilakukan hanya
dengan kurikulum yang sesuai dan mampu meningkatkan ketertarikan
siswa pada bidang STEM.
Pola pendekatan terintegrasi membutuhkan kolaborasi antar guru mata pelajaran untuk
menjamin bahwa siswa memahami adanya keterkaitan antar konsep dari materi yang
diajarkan (Wang et al., 2011). Model ini menekankan pada kemampuan berfikir kritis dan
pemecahan masalah siswa yang didasarkan pada pengetahuan yang telah dimiliki. Secara
teori, pola pendekatan integrase adalah pendekatan yang paling sulit dilakukan namun
paling sesuai untuk pembelajaran STEM.
Stohlmann, Moore & Roehrig (2012) menyatakan bahwa terdapat empat faktor
yang perlu dipertimbangkan bagi pendidik sehingga pembelajaran STEM dapat
berlangsung dengan sukses. Keempat faktor tersebut antara lain:
1. Aspek support atau dukungan berkaitan dengan kegiatan yang dapat mendukung
pendidik dalam menerapkan pembelajaran STEM seperti keikutsertaan dalam
pelatihan yang relevan, kolaborasi dengan sekolah atau institusi lain seperti
universitas atau industri, serta adanya kesempatan untuk berkolaborasi denga guru-
guru lain dalam sekolah yang sama.
2. Aspek teaching atau pembelajaran menitikberatkan pada persiapan pembelajaran dan
implementasi pembelajaran di kelas.
4. Aspek materials terkait dengan kesiapan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran.
Keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah dalam penelitian ini diukur
dengan menggunakan tes uraian dan pemberian skor dilakukan dengan menggunakan
rubrik yang mengacu pada indikator di atas.
2. Kolaborasi (Collaborative)
Kolaborasi dianggap sebagai salah satu kompetensi inti abad ke-21 (Griffin, McGaw, &
Care, 2012). Kolaborasi melibatkan proses yang kompleks di mana dua atau lebih agen
berusaha memecahkan masalah dengan berbagi pemahaman dan upaya yang diperlukan
untuk mencapai solusi dan menggabungkan pengetahuan, keterampilan dan upaya untuk
mencapai solusi itu (OECD, 2013). Kolaborasi terlibat baik dalam proses sosial dan kognitif,
yang berarti bahwa siswa tidak hanya harus berkomunikasi, bernegosiasi dan bertukar
perspektif untuk memahami masalah, tetapi juga mengatur tindakan mereka untuk
menyelesaikannya (Hesse, Care, Buder, Sassenberg, & Griffin, 2015). Murid dapat belajar
tanggung jawab sosial dan pribadi, keterampilan tentang kolaborasi, keterampilan tentang
bekerja di tim atau dalam kelompok kecil, interpersonal (Dede, 2010; Forslund Frykedal &
Hammar Chiriac, 2018), keterampilan tentang saling
ketergantungan positif, akuntabilitas individu, interaksi tatap muka yang
dipromosikan dan pemrosesan kelompok (Forslund Frykedal & Hammar Chiriac,
2018). Selain itu, siswa dalam berkolaborasi dapat belajar berhubungan dengan
orang lain, dan mengelola dalam menyelesaikan konflik (Dede, 2010).
3. Komunikasi (Communication)
4. Kreativitas (Creativity)
Keingintahuan, imajinasi, dan berpikir kreatif dianggap sebagai proses inti dari
kreativitas (Craft et al., 2007). Kreativitas dalam keterampilan abad ke-21 yakni
dalam menyelesaikan masalah sering kali membutuhkan ide-ide kreatif,
berkomunikasi dan bekerja secara kreatif memainkan peran penting dalam
kehidupan sosial yang sukses; dan penggunaan informasi dan teknologi digital
yang kreatif juga penting dalam menavigasi kehidupan sehari-hari di abad ke-21
(Piirto, 2011).
Terdapat beberapa model yang dapat digunakan sebagai EDP, salah satunya
adalah yang dapat dilihat pada Gambar 4, namun secara umum EDP memiliki
langkah-langkah sebagai berikut:
Identifikasi Masalah
Pada tahap ini peserta didik baik secara individu maupun kelompok
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan atau tantangan yang diberikan.
Peserta didik juga diharapkan dapat mengidentifikasi constraint atau batasan dan
kriteria dari solusi yang dipersyaratkan oleh permasalahan atau tantangan yang
diberikan tersebut sebagai contoh alat dan bahan tersedia, biaya yang boleh
dikeluarkan, dan berbagai kriteria yang dibutuhkan.
Merancang
Setelah ditentukannya satu solusi terbaik, maka selanjutnya memodelkan solusi
tersebut dalam rancangan atau sketsa gambaran konkrit dari solusi yang
ditawarkan. Dalam rancangan tersebut, peserta didik harus mampu menjelaskan
bagian-bagian dari rancangannya, fungsi yang terkait dari bagian-bagian tersebut,
material yang digunakan, serta bagaimana rancangan solusi mereka akan mampu
menjawab permasalahan.
Membangun (build/construct)
Selanjutnya, dengan menggunakan material yang ditentukan, dalam kelompoknya
peserta didik menyusun produk persis sesuai dengan hasil rancangan/sketsa yang
mereka susun.
Ujicoba
Pada tahap ujicoba ini peserta didik akan mengetahui apakah solusi yang mereka
rancang dapat menjawab permasalahan atau tantangan yang diberikan di awal.
Revisi
Jika solusi yang dikembangkan belum berhasil menjawab permasalahan, maka
dalam kelompoknya peserta didik mengidentifikasi dan menganalisa penyebab
dari adanya kegagalan tersebut dan menentukan perbaikan yang harus dilakukan
pada solusi awal.
Berbagi solusi/Komunikasi
Pada akhirnya masing-masing kelompok akan mengkomunikasikan berbagai
pengalaman mereka dalam menjawab permasalahan atau tantangan baik dalam
bentuk presentasi maupun laporan.
Refleksi (Reflection)
Pada tahap ini guru membawa siswa ke dalam konteks masalah dan memberikan
inspirasi kepada siswa agar dapat segera mulai menyelidiki/investigasi.
Penelitian (Research)
Pada tahap ini siswa melakukan penelitian dengan mengumpulkan banyak
informasi yang relevan dari berbagai sumber dibantu bimbingan guru dalam
membentuk konsep.
Penemuan (Discovery)
Pada tahap ini siswa mulai menemukan proses pembelajaran untuk pelaksanaan
sebuah proyek dalam rancangan dan desain. Selain itu siswa menentukan apa
yang masih belum diketahui.
Penerapan (Application)
Pada tahap ini siswa memodelkan suatu pemecahan masalah, siswa menguji
model yang dirancang. Model yang telah dirancang untuk menjawab masalah
dengan menghubungkan antardisiplin ilmu. Berdasarkan hasil pengujian siswa
dapat mengulang ke langkah sebelumnya
Mengkomunikasikan (Communication)
Pada tahap ini siswa memaparkan dan mempresentasikan hasil yang mereka
peroleh secara kelompok dan menerima umpan balik yang berguna untuk
perbaikan sebuah proyek yang lebih baik. Mempresentasikan hasil dapat
mengembangkan keterampilan komunikasi dan kolaborasi serta kemampuan
untuk menerima dan menerapkan umpan balik yang membangun.
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Almeida, L. S., & Franco, A. (2011). Critical thinking: Its relevance for education
in a shifting society. Revista de Psicología, 29(1), 175-195.
Beers, S. 2011. 21st Century Skills: Preparing Students For Their Future. Diakses
dari http://www.yinghuaacademy.org/wp-content/uploads/2014/10/
21st_century_skills.pdf
Butler, H. A., Dwyer, C. P., Hogan, M. J., Franco, A., Rivas, S. F., Saiz, C., &
Almeida, L. S. (2012). Halpern Critical Thinking Assessment and real-world
outcomes: Cross-national applications. Thinking Skills and Creativity, 7(2),
112-121. doi: 10.1016/j.tsc.2012.04.001
Bybee, Rodger. (2013). The Case for STEM Education Chalengess and
Opportunities. Arlington: National Science Teachers Assosiation.
Craft, A., Cremin, T., Burnard, P., & Chappell, K. (2007). Teacher stance in
creative learning: A study of progression. Thinking Skills and Creativity, 2(2),
136–147.
Dede, C. (2010). Comparing frameworks for 21st century skills. In J. Bellanca, &
R. Brandt (Eds.), 21st century skills (pp. 51e76). Bloomington, IN: Solution Tree
Press.
Dym, C. L., Agogino, A. M., Eris, O., Frey, D. D., & Leifer, L. J., (2013).
Engineering design thinking, teaching, and learning. Journal of
Engineering Education,
94(1), 103-119
Griffin, P., McGaw, B., & Care, E. (2012). Assessment and teaching of 21st
century skills: Methods and Approach. New York, NY: Springer.
Hesse, F., Care, E., Buder, J., Sassenberg, K., & Griffin, P. (2015). A framework
for teachable collaborative problem solving skills. In P. Griffin, B.
McGaw, & E. Care (Eds.), Assessment and teaching of 21st century skills:
Methods and Approach (pp. 37e56). New York, NY: Springer.
Land, M. H. (2013). Full STEAM Ahead: The Benefits of Integrating the Arts
Into STEM.
Madden, M. E., Baxter, M., Beauchamp, H., Bouchard, K., Habermas, D., Huff,
M., et al. (2013). Rethinking STEM Education: An Interdisciplinary STEAM
Curriculum. Procedia Computer Science, 20, 541-546. doi:
10.1016/j.procs.2013.09.316
Miele, D., & Wigfield, A. (2014). Quantitative and qualitative relations between
motivation and critical analytic thinking. Educational Psychology Review
26(4):519-541 doi: 10.1007/s10648-014-9282-2
Moore, T. J., & Smith, K. A. (2014). Advancing the state of the art of STEM
integration.
OECD, PISA 2015 Results in Focus: What 15-year-olds know and what they can
do with what they know, 2016. [Online],
(http://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-2016- resultsoverview.pdf), diakses
pada 2 Oktober 2019