Menyirih merupakan proses meramu campuran dari beberapa bahan seperti
pinang, sirih, kapur dan gambir yang dikunyah secara bersamaan. Dalam adat Papua menyirih dilakukan sebagai pengantar saat pertemuan adat pernikahan. Perilaku menyirih dilakukan hampir di semua tempat dan setiap golongan masyarakat Papua. Suku asli Papua melakukan perilaku menyirih dikarenakan adanya keyakinan yang telah diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur. Frekuensi menyirih yang dilakukan oleh suku asli Papua yaitu lebih dari 2 kali dalam sehari. Masyarakat suku asli Papua mendapatkan dampak positif dari perilaku menyirih yaitu tubuh terasa segar, bau mulut menjadi hilang serta gigi menjadi kuat. Akan tetapi frekuensi perilaku menyirih harus diperhatikan. Frekuensi perilaku menyirih yang lebih dari 10 kali dalam sehari dapat menyebabkan masalah kesehatan dalam rongga mulut. Hal tersebut dapat terjadi, karena biji buah pinang yang digunakan untuk menyirih mengandung senyawa golongan fenolik. Kandungan fenolik ini relatif tinggi. Saat proses mengunyah biji buah pinang di dalam mulut, oksigen reaktif atau yang biasa dikenal dengan radikal bebas akan membentuk senyawa fenolik. Campuran biji buah pinang dan kapur sirih akan menghasilkan kondisi PH alkali. Hal ini akan lebih cepat merangsang pembentukan oksigen rekatif. Oksigen inilah yang dapat menyebabkan kerusakan DNA atau genetik sel epitel dalam rongga mulut. Selain itu pada ibu hamil jika menyirih saat hamil berisiko menyebabkan perubahan genetik pada DNA janin. Perubahan genetik akibat menyirih ini membahayakan kandungan, sama halnya seperti ibu hamil yang merokok bisa menyebabkan kecacatan pada bayinya. Ibu hamil yang menyirih juga berisiko melahirkan bayi dengan berat badan di bawah normal.