OSTEOARTRITIS
Oleh:
Kelompok III
Deby Angraini (232114103)
Juan Petrus (232114074)
Nur widiana (232114114)
Rida Safira Siambaton (232114091)
Selvia Clarisa Br Hutagaol (232114024)
Wanda Elvia Putri (232114097)
PROGRAM SARJANA
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA (UMN) AL-WASHLIYAH
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah dilimpahkan
kepada baginda alam Rasulullah Nabi Muhammad SAW.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
tugas kelompok pada mata kuliah Farmakoterapi pada Program Studi Sarjana Farmasi Universitas
Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah, Tahun Ajaran 2023-2024, dengan judul makalah yang
ditulis yaitu “Osteoartritis”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan dan menghaturkan banyak terima kasih kepada
IbuApt. Sri Wahyuni, M.Farm. sebagai dosen pengampu pada mata kuliah Suplemen dan Makanan
Fungsional pada Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-
Washliyah yang telah banyak memberikan arahan baik pada perkuliahan maupun dalam penulisan
makalah ini, sehingga dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari segala kekurangan, dan masih jauh
dari sempurna. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya guna kesempurnaan
dan sebagai pertimbangan karya tulis yang akan datang. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr wb.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2. Permasalahan.................................................................................................................... 2
1.3. Tujuan............................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 4
2.1 Anatomi dan Fisiologi Osteoarthritis .................................................................................... 4
2.1.1 Anatomi Asteoarthritis .................................................................................................... 4
2. 1.2 Fisiologi Sendi Lutut ..................................................................................................... 4
2.2 Patofisiologi .......................................................................................................................... 5
2.3 Presentasi Klinis .................................................................................................................... 9
2.4 Diagnosis ..............................................................................................................................11
2.5 PERLAKUAN ..................................................................................................................... 12
2.5.1 TERAPI NONPHARMAKOLOGIS ............................................................................ 12
2.5.2 TERAPI FARMAKOLOGI .......................................................................................... 13
2.6 EVALUASI HASIL TERAPI ............................................................................................ 19
2.7 Farmakoterapi untuk OA..................................................................................................... 19
BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 26
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 26
3.2 Saran .................................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 28
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Osteoartritis (OA) adalah kelainan umum yang progresif lambat dan menyerang
terutama sendi diarthrodial yang menahan beban perifer dan aksial kerangka. Hal ini ditandai
dengan kemunduran dan hilangnya progresif tulang rawan artikular, mengakibatkan
pembentukan osteofit, nyeri, keterbatasan gerak, deformitas, dan disabilitas progresif.
Peradangan mungkin atau mungkin tidak terdapat pada sendi yang terkena (Wells dkk, 2009).
Nyeri sendi adalah gejala yang paling sering timbul. Rasa nyeri tersebut dapat
terlokalisir, diffuse, atau bahkan referred pain di tempat yang jauh, misalnya nyeri pada OA
sendi panggul juga dapat dirasakan hingga sendi lutut. Nyeri biasanya timbul perlahan-lahan
dan memberat dalam dalam hitungan bulan ataupun tahun. Rasa nyeri tersebut bertambah berat
dengan aktivitas fisik dan membaik dengan istirahat. Pada stadium lanjut, nyeri yang hebat
bahkan dapat dirasakan saat istirahat (Zaki Achmad, 2013).
Osteoartritis merupakan penyakit dengan progresivitas yang lambat serta etiologi
belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa faktor risiko OA seperti umur, jenis kelamin,
etnis, genetik, diet, obesitas, kelemahan otot, aktivitas fisik yang berlebihan, trauma
sebelumnya, penurunan fungsi proprioseptif, faktor keturunan menderita OA dan faktor
mekanik. Faktor risiko tersebut mempengaruhi progresivitas kerusakan tulang rawan sendi dan
pembentukan tulang yang abnormal. Karakteristik OA ditandai dengan keluhan nyeri sendi dan
gangguan pergerakan yang terkait dengan derajat kerusakan pada tulang rawan. Osteoartritis
saat ini tidak lagi hanya dianggap penyakit degeneratif, tetapi usia tetap merupakan salah satu
faktor risikonya. Sebanyak 50% pasien dengan usia diatas 65 tahun memberikan gambaran
radiologis sesuai OA sedangkan hanya 10% pria dan 13% wanita di antaranya yang
mempelihatkan gejala klinis OA, serta sekitar 10% mengalami kecacatan karena OA. Dapat
dipahami bahwa semakin bertambah usia, maka semakin tinggi kemungkinan untuk terkena
OA (Hellmi dkk, 2021).
OA diklasifikasikan sebagai OA primer (idiopatik) dan OA sekunder karena sebab lain.
OA primer (idiopatik) merupakan OA yang terjadi akibat proses degeneratif yang berlangsung
seiring bertambahnya usia. Proses perusakan tulang rawan sendi ini dapat dipercepat pada
1
orang-orang yang mempunyai faktor risiko genetik, ataupun pada orang-orang yang
aktivitasnya mempergunakan sendi-sendinya secara berlebihan. OA primer dapat terlokalisir
pada sendi-sendi tertentu, dan biasanya digolongkan sesuai sendi yang terkena dampaknya,
misalnya OA lutut, OA sendi panggul, OA sendi tangan dan kaki. OA dapat terjadi sekunder
akibat adanya penyakit, deformitas, ataupun mekanisme trauma yang mengubah
microenvironment pada sendi dan mempercepat kerusakan dari tulang rawan sendi (Zaki
Achmad, 2013).
Rasa sakit OA timbul dari aktivasi ujung saraf nosiseptif di dalamnya sendi oleh iritasi
mekanis dan kimia. Nyeri OA bisa disebabkan oleh distensi kapsul sinovial karena peningkatan
cairan sendi; fraktur mikro; iritasi periosteal; atau kerusakan pada ligamen, sinovium, atau
meniscus (Wells dkk, 2009).
1.2.Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penulisan ini
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi asteoarthritis?
2. Bagaimana faktor resiko terhadap asteoarthritis?
3. Bagaimana patofisiologi osteoarthritis?
4. Bagaimana terapi farmakologi dan non farmakologi osteoarthritis?
5. Bagaimana diagnosa terhadap osteoarthritis?
1.3.Tujuan
2
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil yaitu dapat menambah ilmu dan wawasan tentang
Osteoarthritis dan diagnosis Osteoarthritis dengan benar dan tepat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sendi adalah penghubung 2 tulang agar dapat digerakkan. Sendi terdiri atas beberapa struktur
diawali dengan:
1. Sendi synovial (diatrodial) terletak pada ujung dari dua tulang yang saling berhubungan.
2. Kartilago artikular yang sangat halus (friksi minimal) menutupi ujung tulang yang saling
meluncur satu sama lain. Dapat terjadi cedera yang menyebabkan rasa nyeri, degenerasi dan
disfungsi
3. Tulang Subkondral: tulang tebal penyokong dan terdapat langsung dibawah kartilago
artikular.
4. Synovium: membran dalam yang memanjangi kapsula sendi; penghasil cairan synovial
(filter plasma); plica (lipatan) synovial terbuat nomal namun dapat menjadi patologik.
5. Kapsula: bagian lapisan luar, mengelilingi dan menyokong ujung kedua tulang pada
orientasi yang tepat; penebalan pada kapsul (ligamentum kapsular) menjaga stabilitas sendi
7. Lain-lain : sendi kadang memiliki struktur tambahan, termasuk ligamentum (ACL, PCL),
tendon (bisep, popliteal), penyokong struktur (meniscus, TFCC, diskus artikularis) (Zaki
Achmad, 2013).
Kartilago
1. Hialin: terdapat di kartilago artikular pada sendi synovial, mengandung kolagen tipe II.
2. Serat Kartilago: terdapat di meniscus, TFCC, diskus vertebral, diskus artikulars (sendi
akromikroklavikular); mengandung kolagen tipe I (Zaki Achmad, 2013).
2. 1.2 Fisiologi Sendi Lutut
Sendi lutut merupakan sendi yang sangat kompleks, yang dapat bergerak dan
memungkinkan seseorang berjalan, dan juga dapat menahan beban tubuh dalam proporsi yang
besar. Sendi lutut dikatakan sebagai sendi engsel karena struktur dan lingkup gerak sendi yang
menyerupai engsel.
4
Fungsi dasar sendi lutut adalah:
3. Meneruskan/mentransmisi beban dari tubuh bagian atas dan paha ke tungkai bawah (Zaki
Achmad, 2013).
2.2 Patofisiologi
Osteoartritis (OA) adalah bentuk arthritis yang paling umum dan menyerang jutaan orang
orang. Penyakit ini dapat terjadi pada sendi mana pun, namun paling sering terjadi pada sendi
tertentu tangan, lutut, kaki dan pinggul. Jika parah, perubahan patologis berakibat radiologis
perubahan, seperti hilangnya ruang sendi, sklerosis tulang subkondral dan adanya osteofit (taji
tulang yang sebagian besar terletak di tepi sendi). Perubahan ini dapat terjadi pada gejala sendi
seperti nyeri, kaku dan kehilangan fungsi. Gejalanya bervariasi waktu dan antara situs bersama
dan individu. Oleh karena itu, insiden dan prevalensinya adalah sulit untuk ditentukan. Faktor
risiko utama OA adalah usia, obesitas, dan segala bentuk penyakit lainnya (Weiland dkk, 2005).
5
OA biasanya dimulai dengan kerusakan pada tulang rawan artikular karena cedera, beban
sendi yang berlebihan akibat obesitas atau alasan lain, atau ketidakstabilan atau cedera sendi.
Kerusakan pada tulang rawan meningkatkan aktivitas kondrosit dalam upaya memperbaiki
kerusakan, menyebabkan peningkatan sintesis konstituen matriks dengan pembengkakan tulang
rawan. Keseimbangan normal antara kerusakan tulang rawan dan resintesis hilang, seiring dengan
meningkatnya kerusakan dan hilangnya tulang rawan. Tulang subkondral yang berdekatan dengan
tulang rawan artikular mengalami perubahan patologis dan melepaskan peptida vasoaktif dan
matriks metalloproteinase (MMPs). Terjadi neovaskularisasi dan peningkatan permeabilitas tulang
rawan yang berdekatan, yang berkontribusi terhadap hilangnya tulang rawan dan apoptosis
kondrosit. Hilangnya tulang rawan menyebabkan penyempitan ruang sendi dan nyeri, sendi
berubah bentuk. Tulang rawan yang tersisa melunak dan menimbulkan fibrilasi, diikuti dengan
hilangnya tulang rawan lebih lanjut dan terbukanya tulang di bawahnya. Formasi tulang baru
(osteofit) pada tepi sendi yang jauh dari kerusakan tulang rawan dianggap membantu menstabilkan
sendi yang terkena. Perubahan inflamasi dapat terjadi pada kapsul sendi dan sinovium. Kristal atau
pecahan tulang rawan dalam cairan sinovial dapat menyebabkan peradangan. Interleukin-1,
prostaglandin E, tumor necrosis factor- a (TNF- a), dan oksida nitrat dalam cairan sinovial juga
mungkin berperan. Perubahan inflamasi menyebabkan efusi dan penebalan sinovial. Nyeri dapat
terjadi akibat distensi kapsul sinovial akibat peningkatan cairan sendi; fraktur mikro; iritasi
periosteal; atau kerusakan pada ligamen, sinovium, atau meniscus (Wells dkk, 2009).
Mekanisme Osteoartritis – faktor kausal (a) pada sendi normal gaya didistribusikan
secara merata. Gambar selanjutnya menunjukan 3 cara kartilago dapat rusak : (b) deformitas
meningkatkan stress pada area yang terlokalisasi dengan beban terkonsentrasi pada satu titik; (c)
kartilago yang sudah melemah akibat penyakit tidak dapat menahan tahanan walaupun beban
normal.; (d) jika tulang subartikular tidak normal, maka tidak dapat menopang kartilago secara
adekuat (Zaki Achmad, 2013).
6
Perbaikan:
Target pengembangan penyakit- (a) atau obat pengubah gejala (b) untuk osteoartritis.
A|Proses degeneratif pada tulang rawan, dan target potensial untuk modifikasi penyakit. Kondrosit
yang tertanam dalam jaringan serat kolagen dan aggrecan ditampilkan. IL-1β menginduksi
ekspresi protease matriks, yang mendegradasi komponen matriks (ditunjukkan di sebelah kanan
panelA). Matriks metaloproteinase merupakan target yang berpotensi untuk memodifikasi
penyakit. Enzim pengonversi interleukin (ICE) mengubah IL-1β menjadi bentuk aktifnya dan, oleh
karena itu, merupakan target lain untuk modifikasi penyakit.B|Nosisepsi dan kemungkinan cara
untuk mengganggunya. Menghambat produksi sitokin inflamasi IL-1β atau memblokir
reseptornya atau mengganggu sinyal intraseluler selanjutnya melalui faktor nuklir-κB (NF-κB) dan
blokade reseptor bradikinin adalah pendekatan yang lebih baru untuk mengembangkan obat
pengubah gejala dengan kemanjuran yang lebih besar dibandingkan obat antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) yang menghambat pembentukan mediator nyeri prostaglandiE. COX2, siklooksigenase
2 (Wieland H.A dkk, 2005).
7
2.3 Faktor Patogenik Ostheoartritis
Perbaikan :
Diagram tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
osteoarthritis lutut, yaitu:
Abnormalitas anatomis, seperti cacat lahir atau cedera, dapat meningkatkan risiko
terjadinya osteoarthritis lutut. Trauma, seperti cedera lutut yang parah, juga dapat menyebabkan
kerusakan tulang rawan sendi.
❖ Perubahan biofisiologi
8
❖ Penyakit genetik dan metabolik
Fraktur mikro adalah kerusakan kecil pada tulang rawan sendi. Fraktur mikro ini dapat
menyebabkan tulang rawan sendi menjadi lebih tipis dan rapuh. Tulang kemudian akan mencoba
memperbaiki kerusakan tersebut dengan membentuk tulang baru. Proses ini disebut tulang
remodelling.
Kerusakan tulang rawan sendi dapat menyebabkan kehilangan stabilitas sendi. Hal ini
dapat menyebabkan sendi lebih mudah mengalami cedera.
❖ Perubahan biokimia
Kerusakan tulang rawan sendi juga dapat menyebabkan perubahan biokimia. Perubahan
biokimia ini dapat menyebabkan penurunan inhibitor dan peningkatan enzim proteolitik. Inhibitor
adalah zat yang mencegah kerusakan tulang rawan sendi, sedangkan enzim proteolitik adalah zat
yang dapat memecah tulang rawan sendi.
❖ Pemecahan kartilago
Pada tahap akhir, tulang rawan sendi akan hancur sepenuhnya. Hal ini dapat
menyebabkan nyeri, bengkak, dan kaku di sendi. Gambar tersebut merupakan diagram yang
sederhana dan hanya menunjukkan proses terjadinya osteoarthritis lutut secara garis besar. Proses
terjadinya osteoarthritis lutut sebenarnya lebih kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor.
Gambaran klinis tergantung pada durasi dan tingkat keparahan penyakit serta jumlah
sendi yang terkena. Gejala utamanya adalah nyeri lokal yang dalam dan nyeri yang berhubungan
9
dengan sendi yang terkena. Pada awal OA, nyeri menyertai aktivitas sendi dan berkurang saat
istirahat. Dengan perkembangannya, nyeri terjadi dengan aktivitas minimal atau saat istirahat.
Sendi yang paling sering terkena adalah sendi DIP dan PIP pada tangan, sendi
karpometakarpal pertama, lutut, pinggul, tulang belakang leher dan pinggang, serta sendi
metatarsophalangeal pertama pada jari kaki. Selain nyeri, keterbatasan gerak, kekakuan, krepitasi,
dan kelainan bentuk dapat terjadi. Pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah mungkin
melaporkan rasa lemah atau ketidakstabilan. Saat timbul, kekakuan sendi biasanya berlangsung
kurang dari 30 menit dan hilang dengan gerakan. Pembesaran sendi berhubungan dengan
proliferasi tulang atau penebalan sinovium dan kapsul sendi. Kehadiran warna hangat, merah, dan
nyeri sendi mungkin menunjukkan adanya sinovitis inflamasi. Prevalensi dan keparahan OA
meningkat seiring bertambahnya usia. Faktor risiko potensial termasuk obesitas, penggunaan
berulang saat bekerja atau aktivitas santai, trauma sendi, dan faktor keturunan (Wells dkk, 2009).
10
predisposisi OA; namun gerakan sendi lutut dan otot di sekitar lutut yang tepat dapat
memperkuat dan menstabilkan sendi, sehingga mengurangi risiko OA.
4. Kekuatan Otot
Kelemahan dan atrofi otot dapat disebabkan karena berkurangnya aktivitas sendi akibat
rasa nyeri OA. Pada beberapa studi yang mempelajari tentang hubungan kekuatan otot dan
sendi lutut,3,9 kelemahan otot quadriceps meningkatkan risiko terjadinya OA lutut.3
Quadriceps merupakan kelompok otot terbesar yang melewati sendi lutut dan berpotensi
besar menyerap energi dan tekanan pada sendi lutut. Otot ini berperan penting dalam proses
berjalan, berdiri, dan menaiki tangga. Penderita OA lutut akan mengurangi gerakan pada
lutut untuk mengurangi rasa nyeri, menyebabkan otot-otot quadriceps mengalami
kelemahan dan atrofi.
5. Keselarasan Lutut
Lutut yang tidak selaras akan menyebabkan kelainan gait dan berisiko OA lutut di masa
mendatang. Bentuk varus pada lutut dapat menyebabkan kerusakan kartilago sendi dan
berujung pada penyempitan celah sendi jika tidak ditangani dengan tepat (Wijaya, 2018).
2.4 Diagnosis
11
5. LED mungkin sedikit meningkat jika ada peradangan. Faktor reumatoid negatif. Analisis
cairan sinovial menunjukkan viskositas tinggi dan leukositosis ringan (<2000 sel darah
putih/mm³ [<2 x 10°/L]) dengan sebagian besar sel mononuklear.
2.5 PERLAKUAN
• Tujuan Pengobatan:
• Mendidik pasien tentang proses dan luasnya penyakit, prognosis, dan pengobatan.
Mempromosikan konseling diet, olahraga, dan program penurunan berat badan untuk pasien
kelebihan berat badan.
• Terapi fisik dengan perawatan panas atau dingin dan program olahraga dapat membantu
mempertahankan rentang gerak dan mengurangi rasa sakit dan kebutuhan analgesik.
•Alat bantu dan ortotik (tongkat, alat bantu jalan, penyangga, penahan tumit, sol dalam)
dapat digunakan selama berolahraga atau aktivitas sehari- hari.
12
2.5.2 TERAPI FARMAKOLOGI
13
Pendekatan umum:
• Terapi obat ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit. Pendekatan konservatif diperlukan
karena OA sering terjadi pada orang lanjut usia dengan kondisi medis lain.
• Terapkan pendekatan individual (Gambar 2-1 dan 2-2). Lanjutkan terapi non- obat yang
sesuai saat memulai terapi obat.
• Parasetamol merupakan pengobatan lini pertama yang dipilih; ini mungkin kurang efektif
dibandingkan oral obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) tetapi memiliki risiko lebih kecil
terhadap penyakit gastrointestinal serius. testinal (GI) dan kejadian kardiovaskular.
14
nonselektif, namun keuntungan ini mungkin tidak sama bertahan lebih dari 6 bulan dan
berkurang secara signifikan pada pasien yang memakai aspirin.Inhibitor pompa proton (PPI)
dan misoprostol mengurangi efek samping Gl pada pasien yang memakai NSAID. Untuk
OA lutut, NSAID topikal direkomendasikan jika asetaminofen gagal lebih disukai daripada
NSAID oral pada pasien berusia lebih dari 75 tahun. NSAID topikal menyediakan pereda
nyeri serupa dengan efek samping GI yang lebih sedikit dibandingkan NSAID oral tetapi
mungkin berhubungan diatasi dengan kejadian buruk di situs aplikasi.
• Suntikan kortikosteroid intra- artikular (IA) direkomendasikan untuk pinggul danOA lutut
ketika analgesia dengan asetaminofen atau NSAID kurang optimal. Suntikandapat
diberikan dengan analgesik oral bersamaan untuk pengendalian nyeri tambahan.
Melakukantidak memberikan suntikan lebih sering dari sekali setiap 3 bulan untuk
meminimalkan dampak buruk yang sistemik.
• Tramadol direkomendasikan untuk OA pinggul dan lutut pada pasien yang gagal meminum
asetaminofen dosis penuh dan NSAID topikal yang dijadwalkan, yang bukan kandidat
yang tepat untuk NSAID oral, dan yang tidak dapat menerima kortikosteroid IA. Tramadol
dapat ditambahkan ke asetaminofen atau terapi NSAID oral yang efektif sebagian.
• Opioid harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak memberikan respons yang memadai
terhadap terapi nonfarmakologis dan farmakologis lini pertama. Pasien yang berisiko
tinggi menjalani pembedahan dan tidak dapat menjalani artroplasti sendi juga merupakan
kandidat untuk terapi opioid. Kejadian buruk membatasi penggunaan rutin opioid untuk
pengobatan nyeri OA.
• Duloxetine dapat digunakan sebagai pengobatan tambahan pada pasien dengan respons
parsial terhadap analgesik lini pertama (asetaminofen, NSAID oral). Ini mungkin
merupakan pengobatan lini kedua yang lebih disukai pada pasien dengan nyeri OA
neuropatik dan muskuloskeletal.
• Asam hialuronat IA tidak direkomendasikan secara rutin untuk nyeri OA lutut. Suntikan
bisa tidak memberikan perbaikan yang berarti secara klinis dan mungkin berhubungan
dengan efek samping yang serius (misalnya, peningkatan nyeri, pembengkakan sendi, dan
kekakuan).
15
• Glukosamin dan/atau kondroitin dan rubefasien topikal (misalnya, metil salisilat, trolamin
salisilat) tidak memiliki kemanjuran yang seragam untuk nyeri pinggul dan lutut dan bukan
merupakan pilihan pengobatan yang disukai.
• NSAID topikal merupakan pilihan lini pertama untuk OA tangan. Diklofenak memiliki
kemanjuran yang mirip dengan ibuprofen oral dan diklofenak oral dengan efek samping GI
yang lebih sedikit, meskipun dengan beberapa kejadian di lokasi aplikasi lokal.
• NSAID oral merupakan alternatif pengobatan lini pertama bagi pasien yang tidak dapat
mentoleransi reaksi kulit lokal atau yang tidak mendapatkan bantuan yang cukup dari
NSAID topikal. . Krim capsaicin merupakan alternatif pengobatan lini pertama dan
menunjukkan hasil yang sederhana peningkatan skor nyeri. Ini adalah pilihan yang masuk
akal bagi pasien yang tidak dapat menggunakan NSAID oral. Efek samping utamanya
adalah iritasi kulit dan rasa terbakar.
• Tramadol merupakan pengobatan alternatif lini pertama dan merupakan pilihan yang
masuk akal bagi pasien yang tidak memberikan respons terhadap terapi topikal dan bukan
kandidat untuk NSAID oral karena tingginya risiko GI, kardiovaskular, atau ginjal.
Tramadol juga dapat digunakan dalam kombinasi dengan asetaminofen yang efektif
sebagian, terapi topikal, atau NSAID oral.
16
antikoagulan secara bersamaan, penggunaan NSAID dosis tinggi, dan usia. lebih dari 70
tahun. Pilihan untuk mengurangi risiko GI akibat NSAID nonselektif mencakup
penggunaan
(3) PPI atau antagonis reseptor H2 dosis penuh setiap hari dengan NSAID nonselektif.
• NSAID Inhibitor selektif COX-2 (misalnya celecoxib) dapat mengurangi risiko kejadian
GI namun meningkatkan risiko kejadian kardiovaskular. NSAID juga dapat menyebabkan
penyakit ginjal, hepatitis, reaksi hipersensitivitas, ruam, dan keluhan SSP berupa kantuk,
pusing, sakit kepala, depresi, kebingungan, dan tinnitus. Semua
• NSAID nonselektif menghambat produksi tromboksan yang bergantung pada COX-1 di
trombosit, sehingga meningkatkan risiko perdarahan. Hindari NSAID pada akhir
kehamilan karena risiko penutupan dini duktus arteriosus. Interaksi obat yang paling
berpotensi serius mencakup penggunaan NSAID dengan litium, warfarin, obat
hipoglikemik oral, metotreksat, antihipertensi, penghambat enzim pengubah angiotensin,
penghambat ẞ, dan diuretik.
• NSAID topikal dikaitkan dengan lebih sedikit GI dan efek samping lainnya dibandingkan
NSAID oral kecuali reaksi pada tempat penggunaan lokal (misalnya, kulit kering, pruritus,
ruam). Pasien yang menggunakan produk topikal harus menghindari NSAID oral untuk
meminimalkan potensi efek samping tambahan
• Kortikosteroid IA dapat memberikan pereda nyeri yang sangat baik, terutama bila terjadi
efusi sendi hadir. Kortikosteroid IA dapat meredakan nyeri dengan sangat baik, terutama
bila terdapat efusi sendi. Setelah aspirasi aseptik dari efusi dan injeksi kortikosteroid,
pereda nyeri awal dapat terjadi dalam waktu 24 hingga 72 jam, dengan puncak pereda nyeri
terjadi setelah 7 hingga 10 hari dan berlangsung selama 4 hingga 8 minggu. Efek samping
lokal dapat berupa infeksi, osteonekrosis, ruptur tendon, dan atrofi kulit di tempat suntikan.
Terapi kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan pada OA, mengingat kurangnya bukti
manfaat dan efek samping yang diketahui dengan penggunaan jangka panjang.
• Capsaicin harus digunakan secara teratur agar efektif, dan mungkin memerlukan waktu
hingga 2 minggu untuk mulai diterapkan. Efek samping terutama bersifat lokal dengan
17
sepertiga pasien mengalami rasa terbakar, perih, dan/atau eritema yang biasanya mereda
dengan penggunaan berulang. Peringatkan pasien untuk tidak memasukkan krim ke mata
atau mulut mereka dan mencuci tangan setelah penggunaan. Pengaplikasian krim, gel, atau
losion dianjurkan empat kali sehari, namun pengaplikasian dua kali sehari dapat
meningkatkan kepatuhan jangka panjang dengan menghilangkan rasa sakit yang memadai.
• Tramadol dikaitkan dengan efek samping seperti opioid seperti mual, muntah, pusing,
konstipasi, sakit kepala, dan perasaan mengantuk. Namun, tramadol tidak berhubungan
dengan perdarahan GI yang mengancam jiwa, kejadian kardiovaskular, atau gagal ginjal.
Dampak buruk yang paling serius adalah kejang. Meskipun tidak diklasifikasikan sebagai
zat yang dikendalikan, perilaku mencari obat telah dilaporkan pada penggunaan tramadol.
Ada peningkatan risiko sindrom serotonin ketika tramadol digunakan dengan obat
serotonergik lainnya, termasuk duloxetine.
• Mulai analgesik opioid dalam dosis rendah, berikan durasi yang cukup antara peningkatan
dosis untuk menilai kemanjuran dan keamanan. Senyawa pelepasan berkelanjutan biasanya
menawarkan pengendalian rasa sakit yang lebih baik sepanjang hari. Efek samping yang
umum termasuk mual, mengantuk, sembelit, mulut kering, dan pusing. Ketergantungan
opioid, kecanduan, toleransi, hiperalgesia, dan masalah seputar pengalihan obat mungkin
berhubungan dengan pengobatan jangka panjang.
• Duloxetine dapat menyebabkan mual, mulut kering, sembelit, anoreksia, kelelahan,
mengantuk, dan pusing. Kejadian serius yang jarang terjadi termasuk sindrom Stevens-
Johnson dan gagal hati. Penggunaan bersamaan dengan obat lain yang meningkatkan
konsentrasi serotonin (termasuk tramadol) meningkatkan risiko sindrom serotonin.
• Suntikan asam hialuronat (natrium hialuronat) memiliki manfaat terbatas pada pasien OA
lutut dan belum terbukti bermanfaat bagi pasien OA pinggul. Suntikan dapat ditoleransi
dengan baik, namun pembengkakan sendi akut, efusi, dan kekakuan, serta reaksi kulit lokal
(misalnya ruam, ekimosis, atau pruritus) telah dilaporkan. Enam intra-artikular persiapan
dan rejimen tersedia untuk nyeri lutut OA:
• Sodium hyaluronate 20 mg/2 mL (Hyalgan) sekali seminggu untuk lima suntikan ✓
Sodium hyaluronate 20 mg/2 mL (Euflexxa) sekali seminggu untuk tiga suntikan
• Sodium hyaluronate 25 mg/2.5 mL (Supartz) sekali seminggu untuk lima suntikan
• Hylan polimer 16 mg/2 mL (Synvisc) sekali seminggu untuk tiga suntikan.
18
• Polimer Hylan 48 mg/6 mL (Synvisc-One) injeksi tunggal (dengan khasiat untuk
hingga 26 minggu)
• Hyaluronan 30 mg/2 mL (Orthovisc) sekali seminggu untuk tiga suntikan Efek samping
glukosamin ringan dan termasuk perut kembung, kembung, dan perut kembung. kram;
jangan gunakan pada pasien dengan alergi kerang. Kerugian yang paling umum efek
kondroitin adalah mual.
• Untuk memantau kemanjuran, kaji nyeri awal dengan skala analog visual, dan kaji rentang
gerak sendi yang terkena dengan fleksi, ekstensi, abduksi, atau adduksi./
• Tergantung pada sendi yang terkena, pengukuran kekuatan genggaman dan waktu berjalan
sejauh 50 kaki dapat membantu menilai OA tangan dan pinggul/lutut.
• Radiografi awal dapat mendokumentasikan sejauh mana keterlibatan sendi dan mengikuti
perkembangan penyakit dengan terapi.
• Pengukuran lainnya mencakup penilaian global dokter berdasarkan riwayat aktivitas dan
keterbatasan pasien yang disebabkan oleh OA, Indeks Arthrosis Universitas Ontario Barat
dan McMaster, Kuesioner Penilaian Kesehatan Stanford, dan dokumentasi penggunaan
analgesik atau NSAID.
• Tanyakan pasien tentang efek samping obat. Pantau tanda-tanda efek terkait obat, seperti
ruam kulit, sakit kepala, mengantuk, penambahan berat badan, atau hipertensi akibat
NSAID.
• Dapatkan kreatinin serum awal, profil hematologi, dan transaminase serum dengan kadar
berulang pada interval 6 hingga 12 bulan untuk mengidentifikasi toksisitas spesifik pada
ginjal, hati, saluran pencernaan, atau sumsum tulang.
Intervensi farmakologi untuk OA dibagi menjadi terapi simptomatik dan terapi pemodifikasi
penyakit tabel 1.
Terapi Simptomatik
• Terapi Topikal
19
Sediaan topikal antiinflamasi nonsteroid (AINS) dan capsaicin menjadi alternatif bagi pasien
yang dikontraindikasikan untuk menggunakan obat sistemik atau bisa juga sebagai terapi
tambahan. Walaupun terapi topikal jangka panjang dengan AINS masih kontroverial, namun
sebuah penelitian melaporkan bahwa diklofenak topikal jangka panjang efektif untuk
mengatasi nyeri pada OA lutut. Selain itu pemakaian topikal jangka panjang AINS pada pasien
geriatri juga menurunkan efek samping toksisitas saluran cerna (Biswal et al., 2006).
Terapi Sistemik Terapi sistemik untuk nyeri sedang hingga parah pada pasien OA meliputi
asetaminofen dan AINS. Asetaminofen menjadi lini pertama tata laksana OA. Banyak pasien
dapat diterapi hanya dengan asetaminofen oral.
AINS merupakan obat yang paling banyak diresepkan untuk terapi OA. AINS bekerja
melalui penghambatan tak selektif terhadap enzim siklooksigenase1 dan 2. Dosis inisiasi harus
rendah terlebih dulu, karena efek analgesik bisa tercapai pada dosis rendah. Efek samping
20
gastrointestinal dan resiko kardiovaskuler membatasi penggunaan jangka panjang AINS pada
pasien geriatri. Ko-administrasi dengan inhibitor pompa proton atau misoprostol dapat
dilakukan untuk mencegah toksisitas saluran cerna. Direkomendasikan perhatian khusus jika
AINS diberikan pada pasien dengan resiko kardiovaskuler, demikian juga. pemakaian inhibitor
selektif COX-2 (Altman dan Lozada, 1998).
Analgesik opioid direkomendasikan secara terbatas untuk pasien yang gagal atau tidak
mampu mentolerir terapi dengan asetaminofen, AINS, atau tramadol, dan masih mengalami
nyeri parah. Namun harus dicermati bahwa walaupun opioid efektif untuk meredakan nyeri,
namun juga memiliki efek samping penurunan kapasitas mental pada pasien dewasa. Sediaan
transdermal fentanil dilaporkan mampu mengatasi nyeri sedang hingga parah pada pasien OA
(Solomon et al., 2010).
Tramadol bisa dipertimbangkan sebagai terapi alternatif bagi pasien yang tidak bisa
menolerir AINS atau sebagai terapi pendamping AINS. Sediaan tramadol lepas lambat mampu
mengatasi nyeri pada OA lutut dan pinggul. Namun pemakaian tramadol sering dihentikan
karena efek sampingnya. Tidak adanya efek antiinflamasi juga membatasi efektivitas tramadol
(Kroenke et al., 2009; Rosenberg, 2009).
Terapi Intra-Articular
Penyakit Senyawa golongan ini meliputi obat-obat yang ditujukan untuk mencegah,
memperlambat, menstabilkan perkembangan OA atau bahkan menyembuhkan. Tetrasiklin
Selain memiliki efek antimikroba, tetrasiklin merupakan inhibitor metalloproteinase jaringan,
diduga berhubungan dengan sifatnya sebagai pengkhelat ion Ca dan Zn. Minosiklin, salah satu
antibiotik turunan tetrasiklin, telah digunakan untuk terapi OA. Doksisiklin secara klinis
21
menunjukkan penghambatan aktivitas articular cartilage. Sebuah studi terhadap wanita
obesitas penderita OA, secara radiologi nampak bahwa doksisiklin menunda progresi
penyempitan joint space. Namun penggunaan doksisiklin dibatasi oleh efek sampingnya
seperti mual, heartburn, dan fotosensitivitas. Obat-Obat Lain Glycosaminoglycan polysulfuric
acid (GAGPS), merupakan glikosaminoglikan yang sangat tersulfatasi, diperoleh dari tulang
rawan trakheal dari sapi. Sebuah studi melaporkan setelah 4 minggu pemberian GAGPS, telah
terjadi penurunan derajat keparahan OA pada hewan coba (Burkhardt dan Ghosh, 1987).
Diacerein dan metabolit aktifnya, rhein, merupakan golongan antrakuinon mirip senna, yang
dilaporkan mampu menghambat sintesis IL-1â pada synovium penderita OA, serta
menurunkan ekspresi reseptor IL-1 pada chondrocytes. Pada hewan uji nampak berkurangnya
produksi collagenase dan kerusakan articular (Martel-Pelletier et al., 1998).
Nutraseutikal/Suplemen
Berbagai nutraseutikal telah digunakan untuk terapi OA, antara lain: glukosamin,
chondroitin sulfate, ekstrak jahe, alpukat dan kedelai, herba cakar kucing, dan tulang rawan
hiu. Glukosamin dan chondroitin sulfate, merupakan nutraseutikal yang memberikan efek
paling bermakna dalam terapi OA.
Glukosamin
Glukosamin merupakan suatu amino monosakarida larut air yang merupakan prekursor
untuk sintesis protein terglikosilasi dan lemak (Sherman et al., 2012). Salah satu peran
fisiologis utama dari glukosamin adalah stimulasi sintesis senyawa-senyawa yang dibutuhkan
untuk fungsi persendian. Glukosamin mampu menstimulasi sintesis proteoglikan, menghambat
degradasi proteoglikan, serta menstimulasi regenerasi tulang rawan setelah terjadi kerusakan
(Kelly, 1998). Glucosamine sulphate, baik digunakan tunggal maupun kombinasi dengan
chondroitin sulphate menunjukkan perbaikan bermakna pada regenerasi tulang rawan
(Kamarul et al., 2011).
22
sumber lain, dengan kemurnian, berat molekul, derajat sulfotasi yang bervariasi. Saat ini masih
terjadi kontroversi terkait penggunaan glukosamin dan chondroitin, baik tunggal mapupun
kombinasinya, untuk terapi OA. Pasien masih menggunakan suplemen ini sebagai terapi
komplementer untuk mengatasi gejala yang terkait dengan OA. Walaupun beberapa publikasi
melaporkan bahwa senyawa-senyawa ini tidak punya efek dalam mengatasi nyeri dan
memodifikasi penyakit, namun masih cukup potensial untuk digunakan. Pertama, dari semua
studi yang sudah dilakukan tidak muncul efek samping yang signifikan akibat pemakaian
glukosamin maupun chondroitin. Kedua, tidak teramatinya efikasi pada beberapa studi
disebabkan karena dosis yang digunakan terlalu rendah. Ketiga, testimoni pasien dan case
report tentang efikasi kedua suplemen ini sangat tinggi (Sherman et al., 2012). Perlu dilakukan
studi lebih lanjut untuk mengidentifikasi golongan pasien yang benar-benar membutuhkan
terapi alternatif dengan suplemen, dosis optimal, dan rute administrasi optimal untuk
memberikan efek terbaik. Diharapkan diperoleh lebih banyak informasi sehingga rekomendasi
penggunaan kedua suplemen ini lebih berdasar.
23
2.7.2 Algoritma OA (Perbaikan)
Penggunaan topikal NSAID sama efektifnya dengan NSAID oral, tetapi hanya digunakan
untuk nyeri pada struktur tubuh superficial saja. Tramadol atau obat-obatan opioid dapat digunakan
jika obat lini pertama dikontraindikasikan, tidak dapat ditoleransi, atau tidak efektif untuk nyeri
akut. Obat lain yang dapat diberikan meliputi relaksan otot rangka, bifosfonat (alendronat,
risedronat, ibandronat, asam zoledronat), hormon peptida (teriparatid dan calcitonin), estrogen dan
24
raloxifene untuk wanita postmenopause, suplemen kalsium, vitamin D, antidepresan,
benzodiazepin, analgesik opioid, asam hialuronat, nutraseutikal (glukosamin, kondroitin).
NSAID baik selektif atau non selektif memiliki aktivitas analgesia, antiinflamasi, yang
diperlukan untuk mengatasi nyeri kronis dan memiliki keefektifan yang mirip. Penggunaan
tunggal atau kombinasi dengan obat lain dari kelas yang berbeda terbukti efektif mengurangi nyeri
akut dan kronis pada pasien muskuloskeletal. Jika dibandingkan dengan parasetamol, NSAID lebih
baik dalam menghilangkan nyeri pada penderita osteoarthritis, tetapi profil keamanannya lebih
baik parasetamol. Hal yang sama juga dinyatakan bahwa diklofenak merupakan NSAID yang
paling popular, diikuti ibuprofen, asam mefenamat, dan naproksen berdasarkan data penjualan dan
daftar obat esensial di beberapa Negara. Penggunaan NSAID menjadi terbatas dikarenakan efek
samping pada saluran pencernaan dan sistem kardiovaskuler. Diklofenak dibandingkan jenis
NSAID yang lain merupakan yang paling efektif dalam mengatasi nyeri dan telah ditetapkan
sebagai drug of choice dalam mengatasi osteoarthritis. Efek samping yang umum dari penggunaan
NSAID adalah toksisitas gangguan saluran pencernaan, meliputi dispepsia, ulcer, perdarahan
saluran cerna, hingga terjadinya perforas. Faktor resiko yang dapat memperparah efek samping
tersebut adalah usia lebih dari 65 tahun, mempunyai riwayat peptic ulcer disease, penyakit jantung,
penggunaan bersamaan obat antiplatelet, antikoagulan, dan kortikosteroid (Isnenia, 2020).
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Anatomi dan fisiologi asteoarthritis mengenai sendi. Sendi adalah penghubung 2 tulang
agar 6dapat digerakkan. Sendi terdiri atas beberapa struktur diawali dengan: Sendi
synovial, kartilago articular, tulang subkondral, kapsula, cairan synovial dan struktur
tambahan sendi, sementara kartilago terdiri dari dua yaitu hialin dan serat kartilago.
Adapun dalam hal fisiologi fungsi dasar sendi lutut adalah:
1. Memberikan stabilitas untuk tumpuan berat badan;
2. Memungkinkan terjadinya mobilitas/gerakan pada tungkai;
3. Meneruskan/mentransmisi beban dari tubuh bagian atas dan paha ke tungkai bawah
2) Fakor resiko terhadap asteoarthritis ialah Umur dan gender, Obesitas, Genetik, Aktivitas
sendi, Kekuatan otot dan Keselarasan otot.
3) Patofisiologi osteoarthritis adalah Osteoartritis (OA) dapat terjadi pada sendi mana pun,
namun paling sering terjadi pada sendi tertentu tangan, lutut, kaki dan pinggul. Jika keluhan
OA parah maka perubahan patologis berakibat radiologis perubahan, seperti hilangnya
ruang sendi, sklerosis tulang subkondral dan adanya osteofit (taji tulang yang sebagian
besar terletak di tepi sendi). Perubahan ini dapat terjadi pada gejala sendi seperti nyeri,
kaku dan kehilangan fungsi. Adapun gejalanya bervariasi yaitu waktu dan antara situs
bersama dan individu. Oleh karena itu, insiden dan prevalensinya adalah sulit untuk
ditentukan.
4) Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoarthritis ialah untuk Terapi Famakologi yaitu
Pendekatan umum yang terbagi menjadi 2 yaitu Terapi Obat dan Terapi pendekatan. Terapi
obat ditujukan untuk menghilangkan rasa sakit. Pendekatan konservatif diperlukan karena
OA sering terjadi pada orang lanjut usia dengan kondisi medis lain sementara Terapi
pendekatan individual yaitu Lanjutkan terapi non- obat yang sesuai saat memulai terapi
obat. Sementara terapi non farmakologi yaitu Mendidik pasien tentang proses dan luasnya
penyakit, prognosis, dan pengobatan, Mempromosikan konseling diet, olahraga, dan
program penurunan berat badan untuk pasien kelebihan berat badan, Menggunakan alat
bantu untuk aktivitas sehari – hari dan untuk disabilitas fungsional dan/ atau nyeri hebat
yang tidak responsif terhadap terapi konservatif yaitu Prosedur Pembedahan
26
5) Diagnosa terhadap osteoarthritis yaitu Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien,
pemeriksaan dokter, temuan radiologi, dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis OA
meliputi OA pinggul, OA lutut dan OA tangan yang memiliki nyeri dan gejala mengenai
sendi dan peradangan.
3.2 Saran
Sebaiknya bagi pembaca tetap menggali informasi yang lebih detail dari referensi lain tentang
Osteoarthritis.
27
DAFTAR PUSTAKA
Bhushan M.S, Arnita V dan Vijakumar, M. 2010. Osteoartritis: Gambaran Umum dengan kriteria
diagnostic. Jurnal Internasional Penelitian Farmasi, 1(1)
Hellmi R. Y dkk, 2023. Diagnosis dan Pengelolaan Osteoartritis (Lutut, Tangan dan Panggul).
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Herowati Rina, 2014. Obat dan Suplemen untuk Osteoarthritis. Pharmacy. 11(1)
Isnenia, 2020. Penggunaan Non- Steroid Antiinflamatory Drug dan Potensi Interaksi Obatnya pada
Pasien Muskoloskeletal. Pharmaceutical Journal of Indonesia. 6(1)
Pereira D, Branco J dan Ramos E, 2016. Osteoartritis. Acta Med Port. 28(1)
Wells B. dkk, 2009. Buku Pegangan Pharmacoterapy Edisi Tujuh. Mississippi. Universitas
Mississppi Oxford
Wells B. dkk, 2015. Buku Pegangan Pharmacoterapy Edisi Sembilan. Mississippi. Universitas
Mississppi Oxford
Wieland H. A, dkk, 2005. Osteoartritis – sebuah penyakit yang tidak dapat diobati. Nature
Publishing Group
Zaki Achmad, 2013. Buku Saku Osteoarthritis Lutut. Bandung: Celtics Press.
28