Oleh Kelompok 5:
1. Maisya Dilla Auryn (1910863022)
2. Vanesi Alda Putri (2010861001)
3. Tasya Ahsana Tafsira (2010861021)
4. Tiara Vurmasari (2010861023)
5. Annisa Yasmin (2010862007)
6. Putri Baidah (2010862009)
7. Sadiah Ningrum (2010862015)
8. Fatrisya Fabiona (2010863011)
Dosen Pengampu:
Muhammad Thaufan A., S.Sos
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Digital Media in Indonesia:
Challenges and Opportunities of Digital Revolution in Indonesia”
Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan pembaca terkait tantangan dan peluang dari revolusi media yang ada
di Indonesia. Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para
pembaca serta mampu mengajak para pembaca untuk lebih kritis ketika menonton sebuah
tayangan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang berkenan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia telah dimudahkan dalam melalukan akses terhadap informasi melalui banyak
cara, serta dapat menikmati fasilitas dari teknologi digital dengan bebas, namun dampak
negatif pun juga muncul sebagai ancaman. Tindak kejahatan mudah terfasilitasi, game online
dapat merusak mental generasi muda, pornografi, dan pelanggaran hak cipta mudah
dilakukan, dan lain-lain.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
2.2 Digital Activism in Contemporary Indonesia
a. Definisi Aktivisme Digital
Aktivisme berakar dari kata "aktif", sebuah kata dengan makna yang sangat luas,
mulai dari terlibat dalam aksi, partisipasi, sibuk, bergerak, sesuatu yang melibatkan usaha,
sampai sesuatu yang menyebabkan perubahan atau berpengaruh. Bentuk aktivisme yang
sering dikenal biasanya berupa aksi langsung: seperti kampanye, protes, boikot, demonstrasi,
pemogokan, dan lain-lain. Namun, banyak juga bentuk aktivisme yang dapat dilakukan
sehari-hari seperti membentuk komunitas, mempromosikan gagasan atau pesan melalui
tulisan atau medium- medium kreatif lainnya, menulis surat atau petisi, menghadiri
pertemuan atau diskusi publik, dan masih banyak lagi. Meski ada banyak cara untuk
melakukan aktivisme, secara umum kita dapat bersepakat bahwa kita melakukan aktivisme
untuk mewujudkan perubahan yang kita inginkan, mulai dari perubahan-perubahan kecil
hingga perubahan besar yang mungkin membutuhkan usaha dan dukungan dari banyak pihak.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan dari aktivisme yang kita lakukan adalah
dengan mengajak sebanyak mungkin orang untuk mendukung isu atau masalah yang kita
perjuangkan. Untuk mengajak, melibatkan, atau mendapatkan dukungan tersebut, kita dapat
menyusun strategi, menggunakan banyak cara, dan memanfaatkan medium yang bisa kita
gunakan untuk menyebarkan informasi dan menarik dukungan. Di sisi inilah, teknologi
digital memiliki banyak sekali peran dalam aktivisme. Teknologi digital adalah alat atau
sarana yang bisa kita gunakan untuk mencapai tujuan aktivisme. Aktivisme digital dapat
dipahami sebagai usaha-usaha untuk menciptakan perubahan sosial di dalam masyarakat
dengan menggunakan perangkat atau medium teknologi digital.
Aktivisme digital yang kita pahami saat ini banyak didefinisikan bersamaan dengan
perkembangan dan maraknya penggunaan jejaring sosial seperti blog, Facebook dan Twitter
sejak sekitar tahun 2004. Namun, sebenarnya aktivisme digital telah berawal jauh sebelum
itu. Di Indonesia, seperti juga di banyak negara di mana media atau kanal informasi
dikontrol, disensor atau dikuasai oleh pemerintah, media-media baru seperti blog atau forum
diskusi online berfungsi untuk menyebarkan informasi atau berita oleh warga dan menjadi
tempat warga berdiskusi dan menyebarkan informasi. Pada tahun-tahun terakhir menjelang
6
kejatuhan rezim Orde Baru di Indonesia, misalnya, internet digunakan untuk menyebarkan
informasi-informasi "bawah tanah" karena informasi yang ada di media massa dikontrol dan
disensor oleh pemerintah. Internet juga berguna untuk memperkuat jaringan para aktivis pro-
demokrasi dan menumbuhkan solidaritas dukungan bagi gerakan para aktivis tersebut.
Lewat mailing list (milis) seperti Apa Kabar Indonesia yang sangat marak pada akhir
dekade 1990-an, para aktivis serta pendukung gerakan pro-demokrasi ini bertukar berita dan
informasi. Penggunaan milis semakin marak karena tiga hal: ketersediaan perangkat keras
seperti modem dan PC yang memadai sejak pertengahan tahun 1980-an; kegiatan komunitas
di Indonesia yang memulai bereksperimen dalam penggunaan perangkat keras tersebut; dan
adanya komunitas-komunitas warga negara Indonesia di luar negeri (terutama pelajar) yang
mulai menggunakan email untuk berkomunikasi.' Pada masa itu, milis Apa Kabar Indonesia
bahkan mencapai angka 250,000 pembaca dari 96 negara di seluruh di dunia-salah satu milis
Indonesia dengan jumlah pembaca terbesar di dalam sejarah internet.
Akan tetapi, dalam upaya untuk memahami aktivisme digital, yang terjadi kemudian
adalah fenomena aktivisme sering direduksi menjadi anekdot dan studi kasus yang terbatas
dan sangat spesifik, serta juga mayoritas terjadi dalam konteks gerakan politik. Contoh dari
fenomena tersebut adalah, ketika membicarakan aktivisme digital, banyak sekali rujukan
yang membahas kisah Barack Obama di Amerika Serikat, yang menggunakan situs jejaring
sosial Facebook untuk memobilisasi sukarelawannya, terutama yang berusia muda.
Aktivisme digital juga kerap melihat kisah inspiratif kontribusi media sosial pada eskalasi
protes politik yang dapat menggulingkan penguasa otoriter, seperti pada fenomena revolusi di
negara-negara Arab yang disebut dengan Arab Spring (Joyce, 2010).
Anekdot dan studi kasus ini kemudian diberitakan, dipuji, dan juga telah dikritik
secara luas. Beberapa pelajaran dan praktik terkait aktivisme digital telah coba diekstraksi
untuk dapat diterapkan ke kampanye lain. Namun faktanya, tentu replikasi ini tidak dapat
secara langsung digunakan dalam kondisi sosial yang kompleks dan terfragmentasi (Joyce,
2010). Hal ini dijelaskan sebagai berikut: “Konteks aktivisme digital mengacu pada teknologi
digital yang digunakan dalam kampanye dan aktivisme tertentu dan pada konteks ekonomi,
sosial, dan politik [dimana] penggunaan teknologi tersebut terjadi. Infrastruktur teknologi
digital kombinasi dari jaringan, kode, aplikasi, dan perangkat yang membentuk infrastruktur
fisik aktivisme digital adalah titik awal tetapi bukan titik akhir. Perbedaan dalam faktor
ekonomi, sosial, dan politik pada akhirnya [akan] mengubah cara aktivis menggunakan
teknologi ini” (Joyce, 2010).
8
Dalam memaknai aktivisme digital-seberapa efektif, jitu, atau mujarabnya teknologi
digital untuk usaha-usaha menciptakan perubahan, ada beberapa hal penting yang perlu
menjadi perhatian kita, yaitu:
1. Menyesuaikan fungsi dan potensi dari teknologi digital, apapun bentuknya, dengan
tujuan kampanye atau gerakan kita. Fungsi dari Facebook atau Twitter, misalnya,
adalah menyebarkan informasi, dengan potensi bahwa informasi tersebut bisa dengan
sangat mudah tersebar share) oleh para penggunanya, dan lain-lain. Hanya dengan
mempelajari dan mengetahui fungsi-fungsi tersebut, kita bisa menggunakan teknologi
digital secara efektif untuk kampanye yang kita lakukan.
2. Memanfaatkan fungsi teknologi yang kita gunakan untuk kampanye secara kreatif.
Hal ini terutama dapat kita lakukan untuk memperkuat pesan yang ingin kita
sampaikan dan mencuri perhatian masyarakat yang lebih luas.
3. Aktivisme digital hanyalah salah satu bagian dari aksi atau kampanye. Untuk
merancang aksi atau kampanye yang berhasil, ada banyak sekali langkah-langkah
yang perlu dilakukan, seperti mengumpulkan data dan informasi yang relevan,
merancang strategi komunikasi dan penyebaran informasi, mengenali pihak-pihak
yang dapat menjadi kawan' dan lawan' dari aksi kita, serta mengetahui persis siapa
pihak yang kita sasar dan dapat memenuhi tuntutan kita. Teknologi digital memang
dapat berperan di semua tahap tersebut, namun faktor-faktor lain yang lebih penting
adalah kemampuan untuk menganalisa masalah, berpikir secara kritis, dan
mengkomunikasikan pesan yang ingin kita sampaikan.
4. Masih menurut Mary Joyce, Masa depan aktivisme sepertinya adalah aktivisme yang
hibrida-percampuran dari perangkat dan taktik digital dan offline. Ke depannya,
mungkin kita dapat menghindari cara-cara berpikir yang memisahkan aktivisme
online dan offline, dan melihat keduanya sebagai satu kesatuan yang mewujudkan
aktivisme yang berhasil mencapai tujuan. Apakah aksi-aksi online dan offline tersebut
harus dilakukan oleh pihak yang sama, atau dapat dilakukan oleh individu atau oleh
sekelompok orang yang berbeda-beda namun memiliki tujuan yang sama, hal-hal ini
dapat kita diskusikan lagi. Namun, sangat penting bagi kita untuk mulai melihat
beragam aktivisme atau gerakan di dalam masyarakat secara utuh, dengan cara
berpikir seperti inilah peranan aktivisme digital di dalam masyarakat dapat kita lihat
secara objektif.
9
Hal lain yang perlu diperhatikan dari aktivisme digital adalah, sumber daya dan
keterampilan tertentu masih diperlukan untuk keterlibatan online atau digital ini. Aktivis
harus memiliki pengetahuan dalam aktivisme digital, mereka harus harus memahami literasi
digital terlebih dahulu. Selain itu ada hal lain yang perlu diperhatikan, misalnya
mempekerjakan personil untuk mengoperasikan TIK, perangkat lunak dan coding, bahkan
pengetahuan akan kemungkinan terjadinya peretasan.
Dalam aktivitas yang lebih luas atau dalam tingkat tinggi, pendanaan darurat juga
dibutuhkan sebagai biaya apabila terjadi penangkapan oleh polisi dan perangkat hukum, yang
mana ini menjadi salah satu konsekuensi dari menjadi aktivis, termasuk aktivis digital.
Tindakan online dan offline dalam aktivisme saling melengkapi satu sama lain. Organisasi
pergerakan sosial saat ini hampir selalu menggunakan kedua tindakan tersebut. ‘Aktivis yang
tepat secara digital’ senantiasa mengikutsertakan aktivisme secara offline untuk menunjukkan
bahwa kelompok mereka benar-benar terdiri atas orang yang ‘nyata’.
Perlu dicatat pula bahwa beragam fitur media sosial harus digunakan untuk
memaksimalkan tingkat keberhasilan, misalnya apabila hanya menggunakan satu jenis media
sosial saja, contohnya menggunakan Twitter saja tidak cukup, atau menggunakan Facebook
saja tidak cukup.
Van de Donk menyatakan protes adalah aksi politik dari golongan yang tidak
berdaya. Pada taraf tertentu, aktivisme adalah salah satu cara untuk menyalurkan
aspirasi dan protes politik masyarakat. Karena kita mempelajari New Media,
kehadiran media baru dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
memberikan ruang yang tidak hanya untuk partisipasi politik warga negara, tapi juga
ruang untuk diskusi politik. Hal ini mengingat interaksi yang komunikatif adalah hal
yang sangat penting dalam masyarakat demokratis. Maka dari itu, aktivisme digital
telah memberikan ruang untuk demokrasi yang lebih luas dari sebelumnya.
Van de Donk juga berpendapat organisasi pergerakan sosial bisa menjadi lebih
efektif ketimbang partai politik untuk membentuk opini publik. Karena teknologi saat
ini memungkinkan dokumentasi di tempat dari setiap peristiwa penting, pemimpin
politik atau perusahaan dapat bertanggung jawab setiap saat . Aliran informasi yang
cepat dapat mengurangi pengawasan dari pemerintah sehingga organisasi pergerakan
sosial diuntungkan dalam menjalankan demonstrasi dengan lancar.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam ekonomi digital, perusahaan menawarkan layanan mereka sesuai dengan
layanan-layanan tertentu yang sesuai dengan permintaan spesifik tertentu atau penawaran
khusus. Agar ekonomi digital dapat memberikan keuntungan kepada masyarakat dan pelaku
usaha, maka diperlukan kerangka regulasi yang tepat sehingga terjadi iklim pasar yang
kompetitif dan seimbang dalam mengembangkan ide untuk menciptakan produk dan inovasi.
Teknologi digital adalah alat atau sarana yang bisa kita gunakan untuk mencapai
tujuan aktivisme. Aktivisme digital dapat dipahami sebagai usaha-usaha untuk menciptakan
perubahan sosial di dalam masyarakat dengan menggunakan perangkat atau medium
teknologi digital. Konsep aktivisme digital dimanfaatkan untuk mendorong berbagai aktivitas
masyarakat sipil terutama dalam konteks negara demokrasi.
3.2 Saran
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami paham bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih terdapat berbagai kesalahan, oleh karena itu dimohonkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca semua. Terima kasih.
12
DAFTAR PUSTAKA
Joyce, Mary, et all. 2010. Digital Activism Decoded: The New Mechanics of Change. New
York : International Debate Education Association.
Van de Donk, W, Loader, B. D, Nixon, P. G & Rucht, D. (2004). Cyberprotest: New Media,
Citizens and Social Movements. Routledge: London.
Zahira, Darasti & Habibah Hermanad. Memetakan Aliran Aktivisme Digital: Sebuah Pergerakan
Sosial. Case Series #23. Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada :
Yogyakarta. Diakses dari : https://cfds.fisipol.ugm.ac.id/wp-
content/uploads/sites/1423/2021/01/23-CfDS-Case-Study-Memetakan-Aliran-Aktivisme-Digital-
Sebuah-Pergerakan-Sosial.pdf
13