Anda di halaman 1dari 27

FORMULASI DAN TEKNOLOGI SEDIAAN

SEDIAAN SEMI SOLID SUPPOSITORIA


PARACETAMOL

Dosen Pengampu : Apt. Tri Danang Kurniawan, M.Farm

Apt. Nur Amalia Rostikarina, S.Farm

Disusun oleh:

KELOMPOK 4

Herdian Purniawati (AKF 22085)


Sugianta Livanda Ekasari (AKF 22093)
Yustina Ajeng Sasmita (AKF 22095)
Muhammad Salahuddin Al Ayubi (AKF22088)

PRODI FARMASI

POLITEKNIK KESEHATAN PUTRA INDONESIA MALANG

2023
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di zaman sekarang ini semakin tidak menentunya cuaca atau iklim di negara
indonesia. Seiring dengan musim yang berjalan tidak menentu mengakibatkan mudahnya
terserang penyakit apalagi dengan anak anak yang mudah sekali terserang penyakit akibat
perubahan cuaca atau yang biasa di sebut musim pancaroba. Penyakit yang biasanya
menyerang anak anak pada saat pergantian musim adalah penyakit demam. Demam adalah
kondisi ketika suhu tubuh berada di atas 37,5 derajat celcius. Demam dapat disebabkan oleh
infeksi ringan atau parah.
Salah satu obat untuk indikasi demam adalah parasetamol. Parasetamol adalah
golongan obat analgesik non opoloid yang dijual secara bebas. Parasetamol relatif aman
digunakan untuk anak anak dan ibu hamil karna aman untuk lambung. Di pasaran sediaan
parasetamol hanya dalam bentuk tablet dan sirup, jarang sekali kita jumpai dalam bentuk
suppositoria.
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dalam bentuk, yang
diberikan melalui rectal,vaginal atau uretra.keuntungan sediaan ini adalah Untuk tujuan lokal
seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria
untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membran mukosa dalam rektum,Untuk
memperoleh kerja awal yang lebih cepat,Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di
dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.(Syamsuni,
2005).
Parasetamol dibuat dalam suppositoria bertujuan agar efek yang diberikan dapat
secara cepat dibandingkan dengan sediaan farmasi yang lain dan cocok untuk pasien yang
susah menelan obat serta untuk pasien yang sedang kejang atau pasien yang koma (tidak
sadarkan diri). Dosis parasetamol yang kami buat dalam sediaan suppositoria adalah 250 mg
per suppositoria karna ini di gunakan untuk anak anak.(FI jilid III).Oleh karena itu kami
sebagai tenaga teknis kefarmasian diharapkan bisa membuat formulasi sediaan suppositoria
parasetamolyang di gunakan untuk menurunkan demam pada anak-anak sesuai dengan dosis
dan CPOB yang benar.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui bentuk sediaan suppositoria
2. Mengetahui bahan dasar suppositoria
3. Mengetahui dan memahami cara pembuatan suppositoria

1.3 Manfaat
1. Dapat memahami langkah-langkah dalam pembuatan sediaan suppositoria sesuai
dengan CPOB
2. Untuk dapat mengaplikasikan di dunia kerja.
3. Untuk menambah wawasan dan ketrampilan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Penyakit


2.1.1 Definisi Demam
Umumnya dikenal dengan nama demam, adalah suatu reaksi fisiologis tubuh yang
kompleks terhadap penyakit yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh diatas nilai
normal akibat rangsangan zat pirogen terhadap pengatur suhu tubuh di hipotalamus.
Suhu normal tubuh manusia berkisar antara 36.5-37.2 ˚C. Suhu subnormal yaitu <36.5
˚C, hipotermia merupakan suhu <35 ˚C. Demam terjadi jika suhu >37.2 ˚C. hiperpireksia
merupakan suhu ≥41.2 ˚C. Terdapat perbedaan pengukuran suhu di oral, aksila, dan rectal
sekitar 0.5 ˚C; suhu rectal > suhu oral > suhu aksila.

2.1.2 Mekanisme Demam


Tujuan dari pengaturan suhu adalah mempertahankan suhu inti tubuh sebenarnya pada
set level 37˚C. Demam (pireksia) merupakan keadaan suhu tubuh meningkat melebihi suhu
tubuh normal. Apabila suhu tubuh mencapai ±40°C disebut hipertermi.
Etiologi
Gangguan otak atau akibat zat yang menimbulkan demam (pirogen) yang menyebabkan
perubahan “set point”. Zat pirogen ini bisa berupa protein, pecahan protein, dan zat lain
(terutama kompleks lipopolisakarida atau pirogen hasil dari degenerasi jaringan tubuh yang
menyebabkan demam selama keadaan sakit). Pirogen eksogen merupakan bagian dari
patogen, terutama kompleks lipopolisakarida (endotoksin) bakteri gram (-) yang dilepas
bakteri toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu.
Patofisiologi
Ketika tubuh bereaksi adanya pirogen atau patogen. Pirogen akan diopsonisasi (harfiah=siap
dimakan) komplemen dan difagosit leukosit darah, limfosit, makrofag (sel kupffer di hati).
Proses ini melepaskan sitokin, diantaranya pirogen endogen interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, 6,
8, dan 11, interferon α2 dan γ, Tumor nekrosis factorTNFα (kahektin) dan TNFβ
(limfotoksin), macrophage inflammatory protein MIP1. Sitokin ini diduga mencapai
organ sirkumventrikular otak yang tidak memiliki sawar darah otak. Sehingga terjadi demam
pada organ ini atau yang berdekatan dengan area preoptik dan organ vaskulosa lamina
terminalis (OVLT) (daerah hipotalamus). Pirogen endogen ini setelah berikatan dengan
reseptornya di daerah preoptik hipotalamus, akan merangsang hipotalamus untuk
mengaktivasi fosfolifase-A2 yang selanjutnya akan melepaskan asam arakhidonat dari
membran fosfolipid dan kemudian oleh enzim siklooksigenase-2 (COX-2) akan diubah
menjdi prostaglandin E2(PGE2).

Rangsangan prostaglandin inilah baik secara langsung atau melalui penglepasan siklik AMP
menset termostat pada suhu yang lebih tinggi. Hal ini merupakan awal dari berlangsungnya
reaksi terpadu sistem saraf otonom, endokrin dan perubahan perilaku dalam terjadinya
demam. Ketika demam meningkat (karena nilai sebenarnya menyimpang dari set level yang
tiba-tiba neningkat), pengeluaran panas akan dikurangi melalui kulitsehingga kulit menjadi
dingin (perasaan dingin), produksi panas juga meningkat karena menggigil (termor). Keadaan
ini berlangsung terus sampai nilai sebenarnya mendekati set level normal (suhu normal). Bila
demam turun, aliran darah ke kulit meningkat sehingga orang tersebut akan merasa
kepanasan dan mengeluarkan keringat yang banyak.
Pada mekanisme tubuh alamiah, demam bermanfaat sebagai proses imun. Pada proses
ini, terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifkan sel T. Suhu tinggi (demam) juga
berfungsi meningkatkan keaktifan sel T dan B terhadap organisme patogen. Konsentrasi
logam dasar di plasma (seng, tembaga, besi) yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri
dikurangi.
Selanjutnya, sel yang rusak karena virus, juga dimusnahkan sehinga replikasi virus
dihambat. Namun konsekuensi demam secara umum timbul segera setelah pembangkitan
demam (peningkatan suhu). Perubahan anatomis kulit dan metabolisme menimbulkan
konsekuensi berupa gangguan keseimbangan cairan tubuh, peningkatan metabolisme, juga
peningkatan kadar sisa metabolism, peningkatan frekuensi denyut jantung (8-12 menit⁻¹/˚C)
dan metabolisme energi. Hal ini menimbulkan rasa lemah, nyeri sendi dan sakit kepala,
peningkatan gelombang tidur yang lambat (berperan dalam perbaikan fungsi otak), pada
keadaan tertentu demam menimbulkan gangguan kesadaran dan persepsi (delirium karena
demam) serta kejang.

2.1.3 Tipe Demam


Demam Septik. Suhu badan naik ke tingkat tinggi sekali pada malam hari, lalu suhu
turun (masih) di atas normal pada pagi hari. Sering terdapat menggigil, berkeringat.
Demam Hektik. Suhu badan naik ke tingkat tinggi sekali pada malam hari, lalu suhu
turun sampai normal pada pagi hari.
Demam Remiten. Suhu badan dapat turun setiap hari namun tidak pernah sampai suhu
badan normal, namun selisih tak pernah sampai >2 ˚C, tidak sebesar penurunan pada demam
septik.
Demam Intermiten. Suhu badan dapat turun beberapa jam dalam 1 hari. Bila demam
terjadi tiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas diantara dua
serangan demam disebut kuartana.
Demam Kontinyu. Variasi suhu badan yang meningkat sepanjang hari dan tidak
berbeda lebih dari 1 ˚C. Jika sampai pada tingkat yang lebih tinggi disebut hiperpireksi.
Demam Siklik. Demam ditandai dengan kenaikan suhu selama beberapa hari,
kemudian diikuti periode bebas demam selama beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula.
Demam kadang dihubungkan pada suatu penyakit, misal abses, pneumonia, infeksi
saluran kencing atau malaria; kadang idopatik. Bila demam disertai dengan sakit otot, rasa
lemas, tak nafsu makan, mungkin pilek, batuk dan sakit tenggorok biasanya digolongkan
sebagai influenza (common cold). Kausa demam selain infeksi, juga bisa akibat toksemia,
keganasan, obat, dan gangguan pusat pengatur suhu sentral (heat stroke, perdarahan otak,
koma). Hal-hal khusus yang diperhatikan pada demam seperti cara timbul, lama demam,
sifat, tinggi demam, keluhan serta gejala lain demam. Demam yang tiba-tiba tinggi, mungkin
diakibatkan virus.
Demam Belum Terdiagnosis merupakan keadaan seseorang yang mengalami demam
terus-menerus selama 3 minggu dengan suhu badan >38.3 ˚C dan tetap belum ditemukan
penyebabnya walaupun telah diteliti selama seminggu secara intensif dengan menggunakan
laboratorium dan penunjang medis lainnya.
Demam Dibuat-Buat (Factitius Fever) merupakan demam yang dibuat seseorang
dengan sengaja dengan berbagai cara agar suhu badannya melebihi suhu badan sebenarnya.

2.1.4 Penatalaksanaan Demam


Demam dapat dihambat dengan cara memutus rangkaian reaksi yang terjadi mulai dari
pelepasan pirogen endogen dari sel makrofag, monosit, limfosit dan endotel oleh rangsang
pirogen eksogen hingga timbulnya demam.Pemberian Antipiretik: dari sekian banyak obat
yang telah diteliti obat penghambat siklooksigenase (Cyclooxygenation inhibition/COX)
yang cukup bermakna dan memuaskan sebagai antipiretik.

Obat OAINS seperti aspirin, metamizol, ibuprofen, nimesulid, diclofenak, ketoprofen,


indometasin dan sebagainya adalah obat yang dapat menghambat enzim siklioksigenase dak
karena itu obat-obat ini dapat digunakan sebagai antipiretik. OAINS selain menghambat Cox-
2 juga menghambat COX-1, sehinga menimbulkan efek samping terhadap lambung, ginjal
dan trombosit.
Dari sekian banyak obat-obatan antipiretik asetaminofen (paracetamol) adalah paling
aman. Di jaringan perifer asetaminofen adalah penghambat siklooksigenase-2 yang lemah,
tetapi di otak oleh sistem sitrokrom p-450, asetaminofen ini akan dioksidasi sehingga
memiliki sifat penghambat enzim siklooksigenase-2 (COX-2) yang kuat.

2.2 Tinjauan Bahan Aktif


2.2.1 Definisi Parasetamol
Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja
menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP) . Parasetamol
digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai
analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui
resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)
Parasetamol umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik, tetapi tidak
antiradang. Umumnya dianggap sebagai antinyeri yang paling aman untuk swamedikasi
(pengobatan mandiri). Sebagai analgesik, parasetamol bekerja dengan meningkatkan ambang
rangsang rasa sakit. Sebagai antipiretik, parasetamol diduga bekerja langsung pada pusat
pengatur panas di hipotalamus. Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman,
juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu (Tjay dkk., 2008).

2.2.2 Monografi Parasetamol


Parasetamol (Acetaminophen) mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih
dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Depkes, 1979).
Struktur dan Berat Molekul : Struktur kimia : (Moffat, 2005). Berat molekul : 151,16
Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit(Anonim a, 1979)
Kelarutan : Parasetamol agak sukar larut dalam air (1 : 70), larut dalam air mendidih (1 : 20),
mudah larut dalam alkohol (1 : 7 atau 1: 10), larut dalam aseton (1 : 13), agak sukar larut
dalam gliserol (1: 40), mudah larut dalam propilen glikol (1: 9), sangat sukar larut dalam
kloroform, praktis tidak larut dalam eter, larut dalam larutan alkali hidroksida (Reynolds,
1989).

2.2.3 Mekanisme Kerja Parasetamol


Mekanisme Kerja Parasetamol dapat menurunkan demam dengan bekerja pada
hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi dan pengeluaran keringat (Turkoski dkk.,
2003). Pada dosis terapeutik, inhibisi sintesis prostaglandin tidak signifikan pada jaringan
peripheral, sehingga parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang rendah. Meskipun
parasetamol menginhibisi dengan lemah isolasi cyclo-oxygenase (COX)-1 dan COX-2 secara
in vitro, tetapi bersifat inhibitor kuat dari sintesis prostaglandin didalam system selular pada
saat konsentrasi dari asam arachidonat rendah (Mashford, 2007).

2.2.4 Farmakokinetik dari Parasetamol


Farmakokinetik Parasetamol diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal dengan
konsentrasi puncak plasma menccapai sekitar 10-60 menit dengan rute per oral. Parasetamol
didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh. Melewati plasenta dan mengalir melalui air
susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik normal, namun dapat
meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Waktu paruh eliminasi dari parasetamol
bervariasi antara 1 hingga 3 jam (Sweetman, 2002). Pada penggunaan per oral parasetamol
diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam
waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol dimetabolisme dalam hati
dan diekskresi melalui urine sebagai glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5%
diekskresi sebagai parasetamol. Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam. Ikatan protein plasma
dapat diabaikan pada konsentrasi normal tetapi dapat meningkat dengan peningkatan
konsentrasi (Reynolds, 1989). Parasetamol sebagian besar dimetabolisme di hati dan
disekresi lewat urin terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi sulfat. Kurang dari 5
% dikeluarkan dalam bentuk tetap parasetamol. Suatu metabolit terhidroksilasi (N- acetyl-p-
benzoquinoneimine), selalu diproduksi dengan jumlah yang sedikit oleh isoenzim sitokrom
P450 (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) didalam hati dan ginjal. Metabolit ini selalu
terdetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat terjadi akumulasi diikuti
dengan overdosis parasetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan (Sweetman, 2002).

2.3.5 Farmakodinamik dari Parasetamol


Efek analgesik Parasetamol dan Fenasetin serupa dengan Salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat.
Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu Parasetamol dan Fenasetin tidak
digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin (PG) yang lemah. Efek iritasi, erosi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada
kedua obat ini, demikian juga gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.(Mahar
Mardjono 1971)
Semua obat analgetik non opioid bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat
pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer.
Inilah yang menyebabkan Parasetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Parasetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa parasetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat pirogen
endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang ditimbulkan akibat
pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain,
seperti latihan fisik. (Aris 2009)

2.2.6 Efek Samping dari Parasetamol


Efek samping jarang terjadi lewat dosis sedang seperti mual, muntah, nyeri perut,
menggigil. Dosis lebih berkepanjangan dapat mengakibatkan neutropenia, leukopenia,
trombositopenia, pensilopenia, agranulositosis, reaksi hipersensitivitas, udem laring, lesi
mukosa, eritemia atau ruam, udem angioneurotik dan demam. Reaksi hipersensitivitas
meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi, hal ini dapat terjadi setelah penggunaan
parasetamol baik pada dewasa maupun anak-anak. Juga dilaporkan terdapat angioedema
(Sweetman, 2002).

2.2.7 Dosis dari Parasetamol


Dosis Dosis obat yang digunakan melalui rectum mungkin lebih besar atau lebih kecil
daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti keadaan tubuh
pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati penghalang fisiologi untuk
absorpsi dan sifat basis supositoria serta kemampuannya melepaskan obat supaya siap untuk
diabsorpsi (Ansel, 1989).
Bobot supositoria bila tidak dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2
gram untuk anak (Anief, 2006).
Umur Dosis Keterangan Tiap 4-6 jam, maks 4x 1-5 tahun 125-250 mg sehari Tiap 4-6
jam, maks 4x 6-12 tahun 250-500 mg sehari Tiap 4-6 jam, maks 4x dewasa 0,5-1 gram
sehariBNFC merekomendasikan dosis rektal pada bayi sebagai berikut:
 Neonatus usia 28-32 minggu, 20 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 15 mg/ kg tiap
12 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 30 mg/kg sehari.
 Neonatus usia diatas 32 minggu, 30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 20 mg/kg
tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60 mg/kg sehari.
 Bayi usia 1-3 bulan, 30-60 mg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60
mg/kg sehari.
 Bayi usia 2-12 bulan, 60-125 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum 4 kali
dalam 24 jam.
 Anak usia 5-12 tahun, 250-500 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum 4 kali
dalam 24 jam.
 Pada gejala yang berat, anak-anak usia 1-3 bulan dapat diberikan 30 mg/kg sebagai dosis
tunggal, kemudian diikuti dengan 20 mg/kg tiap 8 jam hingga maksimum 60 mg/kg
sehari. Anak-anak dengan usia lebih besar dapat diberikan 40 mg/kg dalam dosis tunggal
yang diikuti dengan 20 mg/kg tiap 4-6 jam hingga maksimum 90 mg/kg sehari dalam 48
jam, bila diperlukan, sebelum diturunkan mencapai 15 mg/kg tiap 6 jam (Sweetman,
2002)

2.3 Tinjauan Sediaan


2.3.1 Definisi Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo,
dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope
Indonesia Edisi III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk
torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area
tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh
penanganan cepat.
2.3.2 Macam-macam Suppositoria
a. Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya suppositoria
rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam.
Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung
kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g
untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau
seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti
pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin
pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih
bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya ± 4 g.
Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria,
panjang ± 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d.Suppositoia untuk hidung dan telinga
Suppositoia untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut telinga, keduanya berbentuk
sama dengan suppositoria saluran urin hanya ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm.
Suppositoria telinga umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin.
Seperti dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga sekarang jarang
digunakan.

2.3.3 Tujuan Penggunaan Supositoria


1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan penyakit infeksi
lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh
membrane mukosa dalam rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral
tidak memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat karena obat
diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan
perubahan obat secara biokimia di dalam hati (Syamsuni, 2005).

2.3.4 Keuntungan dan Kerugian Supositoria


Keuntungan Supositoria:
 Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
 Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
 Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih
cepat daripada penggunaan obat peroral.
 Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
Kerugian Supositoria:
 Pemakaiannya tidak menyenangkan.
 Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.

2.3.5 Persyaratan Supositoria


Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:
 Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut
(persyaratan kerja obat).
 Pembebasan dan responsi obat yang baik.
 Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang
memadaidari bahan obat).
 Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.

2.3.5 Basis Suppositoria


Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur, melarut
dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting. Maka dari itu
basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu
ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat
aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian
menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal juga harus
mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
 Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
 Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
 Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta pemisahan
obat.
 Kadar air mencukupi.
 Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus
diketahui jelas.

2.3.6 Persayaratan Basis Suppositoria


1. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat
disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu keras, juga oleh
kasarnya bahan obat yang diracik).
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat berlangsung
cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan mendaak dalam
cetakan).
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini
dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya pada suhu
tinggi sehingga tetap stabil).

2.3.7 Macam-macam Basis Suppositoria


 Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
 Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak : campuran tween dengan gliserin laurat.
 Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya: gliserin-gelatin, PEG
(polietienglikol).

2.3.8 Bahan Dasar Supositoria


1. Bahan dasar berlemak: oleum cacao
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas dan
bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras
30°C akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C
berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair
sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
Keuntungan oleum cacao:
 Dapat melebur pada suhu tubuh
 Dapat memadat pada suhu kamar.
Kerugian oleum cacao:
 Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
 Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila ditambahkan
dengan bahan tertentu.
 Meleleh pada udara yang panas.

2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000.
Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000), PEG 1500
(carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di
bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam.
Formula PEG yang dipakai sebagai berikut
Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.Titik lebur PEG
antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairansekresi tubuh.
Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
 Tidak mengiritasi atau merangsang.
 Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
 Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
 Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa yang
menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air
dahulu sebelum digunakan.
 Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat. Pembuatan
supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu dituangkan ke
dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak coklat.
2.3.9 Nilai Tukar
Nilai tukar adalah nilai yang digunakan untuk mengurangi kadar zat aktif.Tujuan dari
pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang ditimbulkan. Karena zat aktif
yang tertera pada literature merupakan kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada
penggunaan untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan dengan proses
farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya melalui ADME sedangkan
untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan langsung diserap
oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke pembuluh darah selanjutnya masuk
kedalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka
dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus
tetap.Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat
diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang mempunyai
volume yang sama dengan 1g obat.
Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth dan
Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria mengandung
obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan berkurang dan jika dipenuhi dengan
campuran massa, akan diperoleh jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk
membuat supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan
nilai tukar. (IMO Hal 159-161)

2.3.10 Uji Bahan Aktif


1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh
seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik
lebur untuk menetapkan karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji
titik lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point Apparatus (MPA) alat
ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik lebur suatu zat.
2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25terhadap bobot air dengan
volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan
membagi bobot jenis dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam
monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25. (FI IV hal 1302).
Bobot jenis dapat digunakan untuk:
1. Mengetahui kepekaan suatu zat
2. Mengetahui kemurniaan suatu zat
3. Mengetahui jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda dengan
zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi
dengan jelas. Berat jenis sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau rongga
ruang. Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung sekaligus degan
porinya sehingga nyata.

2.3.11 Metode Pembuatan


Pembuatan supositoria secara umum yaitu bahan dasar supositoria yang digunakan
dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam bahan dasar, jika perlu
dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus. setelah
campuran obat dan bahan dasar meleleh atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria
kemudian didinginkan. Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu homogenitas zat aktif
dengan bahan dasar.
Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam lainnya, namun
ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk
mengeluarkan supositoria. Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan,
supositoria harus dibuat berlebih (±10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi
lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus sapotanus (Soft Soap
Liniment) agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus tidak boleh
digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan
sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria
dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan
dasar tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan
mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris,
kemudian diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper,
sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa
digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang
dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder
dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.
2. Dengan mencetak kompresi
Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang
dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa suppositoria
yang diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan.

3. Dengan mencetak tuang


Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas uap
untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif
diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan
logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel.

2.3.12 Pengemasan Supositoria


a. Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin, umumnya dikemas dalam wadah
gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam isi supositoria.
b. Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau
dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah perekatan.
c. Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasanya dibungkus satu per
satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti lembaran metal (alumunium foil).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Formulasi
Formulasi suppositoria parasetamol
R/ Parasetamol 250 mg
Cetaceum 5%
Ol cacao 2g
M f supp dtd No VI
S prn

3.2 Monografi Bahan


Parasetamol
Nama Lain : Acetaminophen
Berat molekul : 151,16
Struktur kimia : C8H9NO2
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit
Kelarutan : Parasetamol agak sukar larut dalam air (1 : 70), larut dalam air mendidih (1 :
20), mudah larut dalam alkohol (1 : 7 atau 1: 10), larut dalam aseton (1 : 13),
agak sukar larut dalam gliserol (1: 40), mudah larut dalam propilen glikol (1:
9), sangat sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter, larut
dalam larutan alkali hidroksida
Titik Lebur : 1690 sampai 1720
Oleum Cacao (FI-III hal 453)
Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak agak
rapuh.
Kelarutan : sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P, dalam
eter P dan dalam eter minyak tanah P.
Suhu lebur : 310 – 340 C.
Khasiat : zat tambahan
Cetaceum
pemerian : massa hablur bening, licin, warna putih mutiara, bau lemah
kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan etanol, larut dalam 20 bagian etanol
mendidih, dalam kloroform dan dalam eter karbondisulfida, dalam minyak
lemak dan minyak atsiri.
Suhu lebur : 42 sampai 50 derajat celcius
Penggunaan : Zat tambahan

3.3 Alasan Pemilihan Bahan


Parasetamol
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati demam, zat aktif ini dibuat dalam
bentuk suppositoria karena untuk demam membutuhkan penanganan yang cepat. Efek terapi
yang diberikan jika sediaan dalam bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk
oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih dahulu,
sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan
akan lebih cepat.
Ol cacao
Oleum Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif daripada yang lain, karena
mempunyai titik lebur pada suhu 31°-34°. Dibuat dalam bentuk suppositoria ditujukan untuk
melebur pada suhu tubuh, karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang
ketambahan zat aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35°-37°. Obat yang larut dalam air
yang dicampur dengan oleum cacao, pada umumnya memberi hasil pelepasan yang baik.
(Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi: 581). Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan
10% pada basisnya, sebab basis saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga
berkurang. Selain itu saat di dinginkan basis akan menyusut dan berkurang oleh karena itu
harus dilebihkan 10% pada basisnya.
Cetaceum
Cetaceum digunakan untuk menaikkan titik lebur dari oleum cacao. Penambahan cetaceum
tidak boleh lebih dari 6% sebab akan menghasilkan campuran yang mempunyai titik lebur
diatas 37 derajat celcius dan tidak boleh kurang dari 4% karena akan diperoleh titik lebur
dibawah titik leburnya (<33 derajat celcius).
Cetaceum juga berguna dalam mengeluarkan bahan obat pada penyimpanan dan membantu
proses melunakkan kembali pada pemakaian setelah masuk kedalam rectum (excipient : 528).
3.4 Perhitungan Bahan
Parasetamol ( nilai tukar 0,7 )
0,25g x 6 = 1,5 gr
Berat suppositoria 2 x 6 = 12 gr
Nilai tukar parasetamol 1,5 gr x 0,7 = 1,05 gr
Lemak coklat yang harus dibutuhkan adalah 12 gr – 1,05 gr = 10,95 gr
Lemak coklat
Tambahan lemak coklat 10 % = 10,95 gr x 10 % = 1,095 gr
Total lemak coklat yang dibutuhkan adalah 10,95 gr + 1,095 gr = 12,045 gr
Cetaceum
Cetaceum 5% : 5% x 12 gr = 0,6 gr

3.5 Alat dan Bahan

Alat Bahan
1. Timbangan, anak timbangan, penara 1. Parasetamol
2. Perkamen 2. Ol cacao
3. Cawan porselen 3. cetaceum
4. Sendok tanduk 4. Aluminium foil
5. Sudip
6. Batang pengaduk
7. Mortir
8. Stamper
9. Serbet
10. Pencetak supositoria
3.6 Prosedur kerja
Menggunakan cara cetak tuang. Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas
penangas air atau penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan,
kemudian bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa
dituang kedalam cetakan logam yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau
nikel.
Cara pembuatan :
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Disetarakan timbangan.
3. Ditimbang parasetamol 1,05 gr
4. Ditimbang ol cacao 12,05 gr
5. Timbang cetaceum 0,6 gr
6. Dioleskan paraffin dalam cetakan supositoria.
7. Dilebur oleum cacao dan cetaceum hingga berbentuk seperti massa krim, diangkat.
8. Dimasukkan parasetamol ke dalam hasil leburan, diaduk ad homogen.
9. Dituang ke dalam cetakan supositoria.
10. Dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kulkas agar memadat (membeku).
11. Disiapkan alumunium foil sebagai kemasan.
12. Dilepas supositoria dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil.
13. Dimasukkan plastik dan diberi etiket biru.

3.7 Evaluasi Sediaan


Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut:
1. Uji homogenitas
Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan aktif dapat tercampur rata
dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak dapat tercampur maka akan mempengaruhi
proses absorbsi dalam tubuh. Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara
menguji homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah
atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati
dibawah mikroskop, cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara
titrasi.
2. Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti sediaan
suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan
tersebut bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan
keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu, suppositoria
merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3. Uji waktu hancur
Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama sediaan tersebut dapat hancur
dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama dengan
suhu tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu
hancurnya ±15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat
diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh.
Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung
cairan.
4. Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama atau
belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap
kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan
ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari
hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat
aktif dari masing-masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen.
Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak
memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk
mengetahui kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan
dapat memberikan efek terapi yang sama pula.
5. Uji titik lebur
Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan sediaan
supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh. Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan
suhu ±37°C. Kemudian dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya.
Untuk basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan untuk PEG
1000 adalah 15 menit.
6. Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu keras yang menjadikannya sukar
meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal.
Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan jarak tidak
kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi beban seberat 20N (lebih
kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
7. Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk menunjukkan volume penyebaran
obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Volume distribusi ini hanyalah
perhitungan volume sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.
Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terduru dari plasma atau serum, dan Vd adalah
jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan kadarnya dalam plasma atau serum.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Praktikum


Dari hasil praktikum yang dilakukan mendapatkan hasil evaluasi sebagai berikut:
Uji Evaluasi Hasil
Organoleptis
- Bentuk
- Warna
- Bau
Homogenitas
Waktu hancur
Keseragaman bobot
- Suppo I
- Suppo II
- Suppo III

4.2 Pembahasan
Pada saat pembuatan suppositoria berbahan zat aktif parasetamol ini terjadi kendala
yaitu tidak adanya salah satu bahan dalam formulasi rancangan, yaitu cetaceum. Hal ini
dikarenakan disaat praktikum dilaksanakan, cetaceum dalam keadaan habis dan tidak ada
bahan penggantinya sehingga mengakibatkan suppositoria paracetamol ini tidaklah stabil.
Karena tidak adanya cetaceum ini mengakibatkan waktu hancur yang seharusnya untuk
3menit menjadi lebih dari 5 menit. Hal ini menyebabkan suppositoria ini gagal dalam
absorbsi dalam tubuh manusia.
Pada pengujian homogenitas ditemukan suppositoria tidak homogeny. Hal ini
disebabkan oleh beberapa factor, misalnya dari suhu antara bahan yang dileburkan dengan
pencetakaannya tidak pada suhu yang sama (panas). Adapun factor dimana zat aktif belumlah
larut keseluruhan yang mengakibatkan tidak homogeny. Cara penuangan kedalam
pencetakannya yang tidak benarpun dapat mengakibatkan suppositoria tidak homogeny.
Pada uji organoleptis sangat menarik, dikarenakan bentuk dan tekstur yang sesuai
dengan standart. Namun, bau coklat yang sedikit menyengat dapat menimbulkan bahaya
dalam jangkauan anak-anak dikarenakan bisa saja anak-anak akan mengiranya adalah
makanan.
Pada uji keseragaman bobot ditemukan berat bobot yang sama, yaitu 1,3gr. Namun, hal
ini juga tidak memenuhi formulasi karena seharusnya bobot dari suppo adalah 2gr namun
menjadi 1,3. Hal ini juga disebabkan alat cetak yang tidak sesuai.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa suppositoria yang dibuat masih sangat jauh dari kata
sesuai standart dikarenakan berbagai factor.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Suppositoria adalah sediaan padat yang berbentuk torpedo yang biasanya digunakan
melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien
yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat. Suppositoria ini mempunyai
zat aktif yaitu parasetamol yang ditujukan untuk anak-anak disaat demam yang sangat tinggi.
Dari hasil praktikum dan uji evaluasi yang dilakukan mendapatkan hasil suppositoria
yang dibuat masih jauh dari kata sesuai standar atau tidak sesuai standar. Hal ini dikarenakan
berbagai factor, misalnyanya waktu hancur yang relative lama yaitu lebih dari 5 menit,
suppositoria yang tidak homogeny, dan belum dapat menutupi bau coklat dari oleum cacao.

5.2 Saran
Seharunya dalam melaksanakan praktikum, seorang farmasis harus mengetahui serta
memahami secara detail prosedur kerja pembuatan suppositoria yang benar dan akan
menghasilkan suppositoria yang sesuai standart. Dan juga tidak lupa untuk selalu mengecek
bahan-bahan yang akan digunakan, tersedia atau tidaknya bahan tersebut.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo,
dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. Alasan pemilihan bahan aktif
paracetamol adalah Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati demam, zat aktif
ini dibuat dalam bentuk suppositoria karena untuk demam membutuhkan penanganan yang
cepat. Pada uji evaluasi tidak memenuhi syarat yang diinginkan.

5.2 Saran
Praktikan harus lebih teliti dalam melakukan praktikum,agar mendapatkan hasil yang
memuaskan dan sesuai dengan yang diharapkan.

Anda mungkin juga menyukai