e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
ABSTRAK
Dalam industri farmasi, pengendalian mutu merupakan bagian dari Good
Manufacturing Practice (GMP) untuk memastikan bahwa suatu produk memiliki
kualitas yang sesuai dengan tujuan penggunaannya, sehingga produk tersebut
ditempatkan di pasar untuk memenuhi persyaratan GMP. Dalam permintaan
tersebut perlu ditetapkan kadar parasetamol dalam tablet sesuai dengan
persyaratan Farmakope Indonesia (FI) Versi IV 1995 tidak kurang dari 90% dan
tidak lebih dari 110%. Kandungan bahan aktif parasetamol dalam sediaan tablet
adalah 500 mg. Kadar yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan untuk suatu
senyawa obat akan mempengaruhi efek terapeutik yang diharapkan dan dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak baik, yang ditunjukkan dengan terjadinya efek
samping yang tidak diinginkan atau efek toksik yang dapat merugikan konsumen
obat tersebut. Oleh karena itu, penentuan konsentrasi parasetamol sangat penting
untuk mengetahui keakuratan konsentrasi parasetamol dalam sediaan tablet
tersebut. Metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi parasetamol
pada percobaan kali ini adalah spektrofotometri UV-Visible. Spektrofotometri
UV-Visible adalah metode yang tidak standar. Oleh karena itu, sebelum metode
yang digunakan untuk menentukan konsentrasi diterapkan dalam uji
laboratorium, terlebih dahulu harus dilakukan validasi. Tujuan dari praktikum ini
ialah untuk dapat mengetahui kadar parasetamol dalam sediaan suppositoria dan
mengetahui disolusi dan degradasi parasetamol dalam sediaan suppositoria
berdasarkan pengukuran berdasarkan pengukuran menggunakan
Spektrofotometri UV-Vis.
ABSTRACT
product is placed on the market to meet GMP requirements. In this request, it is necessary
to determine the level of paracetamol in tablets in accordance with the requirements of the
Indonesian Pharmacopoeia (FI) Version IV 1995, not less than 90% and not more than
110%. The content of the active ingredient paracetamol in tablet preparations is 500 mg.
Levels that are not in accordance with those set for a drug compound will affect the expected
therapeutic effect and can cause things that are not good, which is indicated by the
occurrence of unwanted side effects or toxic effects that can be detrimental to consumers of
the drug. Therefore, determining the concentration of paracetamol is very important to
determine the accuracy of the concentration of paracetamol in these tablets. The method
used to determine the concentration of paracetamol in this experiment is UV-Visible
spectrophotometry. UV-Visible spectrophotometry is a non-standard method. Therefore,
before the method used to determine the concentration is applied in laboratory tests, it must
first be validated. The purpose of this practicum is to be able to determine the levels of
paracetamol in suppository preparations and to know the dissolution and degradation of
paracetamol in suppository preparations based on measurements using UV-Vis
Spectrophotometry.
PENDAHULUAN
Demam disebabkan oleh patogen yang dapat meningkatkan suhu tubuh yang
merupakan penanda suatu respon tubuh terhadap penyakit. Kejang demam
merupakan kejang yang terjadi pada saat suhu rektal atau suhu tubuh meningkat
melebihi 38oC dan disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam
dapat terjadi pada 2 - 4 % anak yang berusia 6 bulan - 5 tahun. Penatalaksanaan
untuk demam dapat diatasi dengan pemberian antipiretik. Penggunaan
antipiretik belum terbukti dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam,
namun para ahli di Indonesia tetap sepakat bahwa pemberian antipiretik tetap
dapat digunakan seperti, paracetamol, ibuprofen, atau aspirin (Trianggani,2017).
lambat terkadang variabel penyerapan tidak menentu. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu bioavailabilitas relatif suppositoria mungkin
tergantung pada ketinggian penempatan di rektum, pH rektum, isi kubah rektal,
dan aliran darah kolon. Bioavailabilitas parasetamol juga dapat dipengaruhi oleh
formulasi suppositoria dengan penyerapan dari suppositoria lipofilik yang lebih
cepat dari pada suppositoria hidrofilik.
Suppositoria adalah sediaan padat dengan berat dan bentuk yang berbeda,
diberikan secara rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau larut
pada suhu tubuh. Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan lokal,
pembawa agen terapi topikal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang umum
digunakan adalah cocoa butter, gelatin gliserin, minyak sayur terhidrogenasi,
campuran polietilen glikol berbagai berat molekul, dan ester asam lemak
polietilen glikol (Depkes, 2020). Bahan dasar supositoria yang digunakan memiliki
pengaruh yang besar terhadap pelepasan zat terapeutik. Lemak coklat larut
dengan cepat pada suhu tubuh dan tidak bercampur dengan cairan tubuh,
sehingga menghambat pengiriman obat yang larut dalam lemak ke tempat
pengobatan. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang cocok untuk beberapa
disinfektan. Pembawa minyak seperti cocoa butter jarang digunakan dalam
persiapan vagina, karena membentuk residu yang tidak dapat diserap, sedangkan
gelatin gliserin jarang digunakan secara rektal karena pembubarannya yang
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
lambat. Lemak coklat dan penggantinya (lemak keras) lebih baik untuk
mengurangi iritasi, seperti sediaan wasir dalam (Depkes, 2020).
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu: Rabu, 23 November 2022
Tempat: Laboratorium Analisis Farmasi, Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Indonesia
Preformulasi Suppositoria
Setiap 1 suppositoria mengandung 250 mg zat aktif paracetamol, jumlah
suppositoria yang dibuat pada praktikum ini berjumlah 10 buah suppositoria,
berat 1 suppositoria adalah 3 gram dan berat keseluruhan 10 suppositoria adalah
30 gram nilai tukar parasetamol yaitu 1,5 x 2,5 gram = 3,75 gram.
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
Pembuatan Suppositoria
Disiapkan alat dan bahan yang diperlukan serta timbang bahan sesuai dengan
perhitungan. Dileburkan cera alba dengan menggunakan cawan porselin
kemudian diletakkan di atas penangas air. Masukkan oleum cacao ke dalam cera
alba yang sudah melebur, aduk sampai homogen. Kemudian masukkan zat aktif
paracetamol ke dalam oleum cacao dan cera alba yang telah homogen sambil terus
diaduk. Setelah diaduk siapkan cetakan suppositoria jangan lupa diolesi dengan
menggunakan parafin cair. Masukkan sediaan suppositoria ke dalam cetakan
suppositoria ditunggu hingga suhu nya sudah tidak panas. Kemudian masukkan
suppositoria ke dalam lemari es selama 30 menit, suppositoria yang telah dingin
dibungkus dengan menggunakan aluminium foil.
ppm Absorbansi
0,2418
3
0,3151
4
0,3768
5
0,4371
6
0,518
7
0,5782
8
0,7624
9
Baku yang digunakan pada uji kadar kali ini yaitu baku eksternal berupa serbuk
paracetamol. Baku yang dibuat memiliki konsentrasi 400 ppm dan dari larutan
tersebut dibuat 7 seri konsentrasi dimulai dari 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 ppm.
Pemilihan seri konsentrasi ini berdasarkan banyaknya jumlah seri konsentrasi
yang sudah ditetapkan oleh International Conference Harmonization yaitu paling
sedikit sebanyak 6 seri konsentrasi. Pada preparasi baku dan sampel dilakukan
penimbangan seksama sebagai upaya untuk menghindari kesalahan yang dapat
memicu kesalahan pada hasil absorbansi pula.
Pemakaian larutan ini karena NaOH merupakan pelarut yang sering dijumpai,
serta dalam praktikum ini, penambahan NaOH dilakukan agar baku maupun
sampel memiliki suasana basa dan dapat dilakukan pengukuran sesuai dengan
panjang gelombang maksimum pada literatur. Pada praktikum ini, NaOH
berperan sebagai reagen yang nantinya akan berperan dalam penyerapan foton
dalam daerah Uv-Vis (Irawan, A., 2019). Pada praktikum kali ini dilakukan pada
panjang gelombang 257 nm karena paracetamol yang digunakan pada keadaan
basa. Sesuai dengan literatur rujukan, diketahui bahwa dari kelima variasi
konsentrasi yang digunakan sebagai uji serapan gelombang maksimum, serapan
maksimum larutan parasetamol tetap berada pada panjang gelombang 256 nm.
Nilai serapan maksimum dari hasil pengukuran spektrum serapan larutan
parasetamol ini hampir mendekati nilai serapan maksimum parasetamol sesuai
literatur lain dimana serapan maksimum parasetamol pada daerah ultraviolet di
dalam larutan asam adalah 254 nm dan dalam larutan basa adalah 257 nm (Fendri,
S. T. J., 2018).
Pada hasil absorbansi tersebut, didapat persamaan regresi linear dengan nilai y =
0,0796x - 0,0163 dan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9603 seperti pada gambar
1., dimana koefisien korelasi yang mendekati 1 menyatakan hubungan linear
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
terhadap konsentrasi dengan AUC yang dihasilkan. Hal ini menyatakan bahwa
semakin meningkat nilai absorbansi, maka berbanding lurus dengan peningkatan
konsentrasinya sesuai dengan koefisien korelasi yang baik (Wahyuni A.M., et. al.,
2022). Adapun korelasi yang baik sesuai dengan standar SNI yaitu nilai koefisien
korelasi diatas 0,997 (Kemenkes RI., 2020). Kemudian, terdapat standar yang
digunakan dalam penelitian global yaitu sebesar 0,998 (ICH (International
Conference Harmonization) 1994). Berdasarkan hal tersebut, nilai koefisien yang
didapat belum memenuhi syarat koefisien korelasi yang baik. Terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi hasil yang tidak sesuai tersebut, salah satunya yaitu
pada saat preparasi terdapat ketidaktelitian dalam memipet larutan. Kesalahan
pemipetan merupakan kesalahan yang sangat lazim ditemukan pada preparasi.
Ditambah, pada praktikum kali ini pemipetan hanya dilakukan secara
konvensional atau manual tidak menggunakan alat otomatis. Sehingga pemipetan
dari satu tempat ke tempat lain dengan volume tertentu yang memiliki volume
yang sama, tidak selalu menghasilkan hasil uji yang baik. Meski sudah
menggunakan mikropipet yang terstandarisasi dalam preparasi, hal tersebut
masih berpengaruh dalam pemipetan karena mikropipet merupakan alat yang
masih tergolong manual, sehingga hal ini mempengaruhi dalam hasil absorbansi
(Santoso, K., 2017).
Berat (x) (x - 𝒙
̅) (x - 𝒙
̅)2
Dari hasil perhitungan, didapatkan nilai RSD yaitu sebesar 1,089237% pada 5
suppositoria pertama, 0,895522% pada 5 suppositoria selanjutnya dan 0,6647%
pada keseluruhan suppositoria yang digunakan. Nilai ini merupakan nilai yang
baik dalam perhitungan RSD. Menurut literatur, diketahui bahwa nilai persentase
RSD yang baik yaitu tidak melebihi 2% (Husni, P., 2022). Nilai persentase tersebut
juga memenuhi nilai uji keseragaman bobot suppositoria itu sendiri. Uji
keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah semua suppositoria
yang dihasilkan mempunyai bobot seragam yang artinya masing-masing bobot
suppositoria tidak menyimpang dari bobot rata-ratanya (Nuryanti, N., 2016).
Suppositoria tersebut memenuhi persyaratan karena tidak satupun suppositoria
melebihi batasan persyaratan keseragaman bobot yang ditetapkan British
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
5 0,139 0,1616
15 0,2943 0,2440
30 0,6056 0,3796
45 0,5915 1,5298
60 0,5976 2,1864
Pada proses disolusi ini, diambil sampel pada menit ke 5, 15, 30, 45, dan 60
kemudian ditambahkan NaOH hingga 10 mL. Adapun dilakukan penetapan
kadar dengan variasi menit seperti ini untuk melihat waktu obat lepas dari basis
dan kemudian terdegradasi oleh suhu.
Kadar yang kurang dari dosis efektif akan mempersulit penyembuhan penyakit.
Hal ini bisa terjadi karena pemberian dosis yang kurang atau karena terjadinya
penurunan kualitas obat selama penyimpanan. Dengan demikian kontrol kualitas
dan penetapan waktu kadaluarsa obat sangat diperlukan. Jalur utama degradasi
yang menyebabkan parasetamol tidak stabil adalah peristiwa hidrolisis yang
memecah parasetamol menjadi p aminofenol dan asam asetat, dan hal ini dapat
terjadi selama penyimpanan obat, sehingga kontrol kualitas dan penetapan waktu
kadaluarsa obat sangat diperlukan, selain itu penting untuk memformulasikan
obat sedekat mungkin dengan pH optimumnya untuk memperoleh sediaan yang
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
lebih stabil selama penyimpanan (Husni, P., 2022). Larutan tersebut kemudian
diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV Vis.
Dari hasil tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa tiap seri waktu yang
tidak masuk pada rentang absorbansi baku standar. Dengan kata lain, bahwa pada
menit ke-5 replikasi 1 dan menit ke-5 hingga 15 pada replikasi 2 sediaan tidak
memenuhi absorbansi baku atau belum sepenuhnya terdisolusi pada larutan
aquades. Diketahui pada kurva sampel replikasi 1 mengalami penurunan kadar
pada menit ke 45 dan 60. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada menit ke-5 hingga 30
pada sampel 1 menunjukkan peningkatan konsentrasi, kemudian pada menit ke-
45 mengalami penurunan konsentrasi kemudian pada menit ke-60 mengalami
sedikit kenaikan konsentrasi. Berbeda dengan sampel 2, dimana terus mengalami
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
peningkatan nilai kadar hingga menit ke-60. Bisa disimpulkan bahwa pada menit
ke-45 obat di dalam tubuh mengalami fase rate limiting step yaitu tahap dimana
paling lambat dari tahap pelepasan obat mulai dari bentuk sediaan obat sebelum
diabsorbsi oleh tubuh kemudian mengalami fase eliminasi berikutnya dengan
ditandai kenaikan kadar sedikit dari sebelumnya namun tidak lebih dari menit ke-
30 (Umar, S., 2017).
Pada penurunan tersebut juga diasumsikan terjadi degradasi pada parasetamol
tersebut. Berdasarkan penelitian sebelumnya, disebutkan bahwa paracetamol
terutama dalam bentuk sediaan suppositoria lebih stabil disimpan pada suhu
ruang. Selain itu, hidrolisis parasetamol dapat menghasilkan p-aminofenol dan
asam asetat (Husni, P., 2022).
Pada Replikasi 1 juga, absorbansi yang didapat sedikit rendah dari absorbansi
replikasi kedua. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan
suppositoria sebelum dianalisis. Kondisi penyimpanan dispersi padat juga dapat
mempengaruhi stabilitas fisik sediaan tersebut. Berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dikutip pada penelitian Puspayani, N. L. I., (2017),
penyimpanan dispersi padat dengan suhu ruang atau sekitar 25 derajat celcius
dalam jangka waktu lebih dari dua bulan hingga lima bulan dapat menyebabkan
terjadi proses penuaan fisik sehingga jumlah obat yang terdisolusi menurun tiap
waktunya. Pada proses penuaan fisik tersebut, partikel dispersi padat mempunyai
energi bebas permukaan yang tinggi dimana membuat partikel tidak stabil dan
dapat bergabung membentuk partikel yang ukurannya lebih besar yang dapat
menurunkan energi bebas permukaan. Terbentuk partikel besar ini dapat
menyebabkan partikel dispersi padat menjadi lebih besar dan mengakibatkan
permukaan partikel yang mempunyai kontak fisik terhadap media disolusi
menurun. Hal tersebut yang mengakibatkan menurunnya disolusi obat.
Dari hasil yang diperoleh pada percobaan analisis kali ini, perlu dipertimbangkan
beberapa hal yang perlu dilakukan lebih teliti dalam pengerjaan yaitu : 1) pada
saat pengenceran, alat-alat yang digunakan harus bersih tanpa adanya zat
pengotor; 2) di dalam penggunaan alat harus benar-benar steril; 3) jumlah zat yang
dipakai harus sesuai dengan yang telah ditentukan; dan 4) dalam penggunaan
MEDFARM: Jurnal Farmasi dan Kesehatan, Vol 1, No 3, 2022, Hal, 1 – 16
e-ISSN : 2715-9957
p-ISSN: 2354-8487
SIMPULAN
1. Didapatkan kadar parasetamol pada sediaan suppositoria yaitu pada
replikasi pertama pada menit ke 5; 15; 30; 45; 60 diperoleh hasil kadar
sebesar 0,139; 0,2943; 0,6056; 0,5915 dan 0,5976 mg. Pada replikasi 2 pada
menit yang sama diperoleh hasil 0,1616; 0,2440; 0,3796; 1,5298 dan 2,1864
mg.
DAFTAR PUSTAKA