Anda di halaman 1dari 12

Menganalisis Kasus Bullying

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Perkembangan Peserta Didik

Dosen Pengampu: Danial Mursyd, M.Pd.

Kelompok 2

Febri Yanti A1C422001

Arsa Patona A1C422064

Tasya Sianturi A1C422121

Opela Futri Salsabilla A1C422012

Muhammad Noval Riandi A1C422028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2022
PROFIL

Judul : Diduga Jadi Korban Bullying, Anak SD di Jambi Depresi dan Masuk
Rumah Sakit
Tempat dan Waktu : Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Kamis, 12 Maret 2020 12: 44
WIB
Penerbitan Berita : Suara.com, Selasa, 15 November 2022
Sumber : https://www.suara.com/news/2020/03/12/124416/diduga-jadi-korban-
bullying-anak-sd-di-jambi-depresi-dan-masuk-rumah-sakit

Topik :
SN (13), murid SD di Sungai Ulak, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi harus
terbaring sambil menangis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolonel Abundjani
Bangko. Murid kelas enam itu diduga mengalami trauma dan depresi usai mendapatkan
bullying dari enam orang teman sekolahnya.
Dari informasi yang diterima Metro Jambi (jaringan Suara,com), bullying yang
dialami SN sebenarnya sudah terjadi sebulan yang lalu. Penyebabnya, SN tidak mau memberi
contekan pelajaran kepada teman-temanya.
Akibat kesal, teman-temannya itu melakukan bullying kepada korban. Usai kejadian
tersebut, sempat terjadi mediasi antara orang tua korban dan orang tua pelaku serta pihak
sekolah.
Berselang satu minggu usai perundingan, korban tiba-tiba mengalami depresi yang
berat hingga mengalami demam. Bahkan korban histeris jika melihat seseorang
menggunakan seragam dinas atau seragam sekolah.
Melihat anaknya mengalami depresi berat, orang tua korban lantas membawa korban
ke Dinas P2TP2A untuk mengadukan hal tersebut. Usai ditangani, korban langsung dibawa
ke RSUD Kolonel Abunjani Bangko untuk dilakukan perawatan.
Diduga Jadi Korban Bullying, Anak SD di Jambi
Depresi dan Masuk Rumah Sakit
Kekerasan merupakan suatu hal yang paling banyak ditakuti oleh manusia. Baik
kekerasan langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan verbal maupun non verbal.
Kekerasan bisa terjadi dimana saja. Di rumah, di lingkungan kerja, bahkan di sekolah
sekalipun. Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti
kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan.1 Bentuk kekerasan yang
paling sering terjadi di sekolah adalah bullying (Nanang, 2012).
Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian
adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan
gangguan psikis bagi korbannya berupa stress yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau
psikis, atau keduanya. Bullyingdapat didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang
dimaksudkan untuk mengganggu seseorang yang lebih lemah (John, 2007).
Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau
sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa
tertekan, trauma, dan tak berdaya (Sejiwa, 2008). Remaja yang menjadi korban bullying lebih
berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Adapun
masalah yang lebih mungkin diderita anak-anak yang menjadi korban bullying, antara lain
munculnya berbagai masalah mental seperti depresi, kegelisahan dan masalah tidur yang
mungkin akan terbawa hingga dewasa, keluhan kesehatan fisik, seperti sakit kepala, sakit
perut dan ketegangan otot, rasa tidak aman saat berada di lingkungan sekolah, dan penurunan
semangat belajar dan prestasi akademis. Seperti yang dialami oleh siswa SD berinisial SN di
kabupaten Merangin Provinsi Jambi yang diduga terkena depresi akibat Bullying. Bullying
termasuk ke dalam kekerasan yang bersifat psikologis, karena secara tidak langsung bullying
mempengaruhi mental orang yang di bully. Bullying merupakan aktivitas sadar, disengaja,
dan bertujuan untuk melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan teror yang didasari
oleh ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencenderai, ancaman agresi lebih lanjut, teror,
yang dapat terjadi jika penindasan meningkat tanpa henti (Nissa, 2009).
Saat ini, bullying merupakan istilah yang sudah tidak asing di telinga masyarakat
Indonesia. Pelaku bullying sering disebut dengan istilah bully. Seorang bully tidak mengenal
gender maupun usia. Bahkan, bullying sudah sering terjadi di sekolah dan dilakukan oleh para
remaja. Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini pun sangat luas cakupannya. Remaja yang
menjadi korban bullying lebih berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara
fisik maupun mental. Adapun masalah yang lebih mungkin diderita anak-anak yang menjadi
korban bullying ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Bullying
adalah bentuk-bentuk perilaku kekerasan dimana terjadi pemaksaan secara psikologis ataupun
fisik terhadap seseorang atau sekelompok orang yang lebih “lemah” oleh seseorang atau
sekelompok orang. Pelaku bullying yang biasa disebut bully bisa seseorang, bisa juga
sekelompok orang, dan ia atau mereka mempersepsikan dirinya memiliki power (kekuasaan)
untuk melakukan apa saja terhadap korbannya. Korban juga mempersepsikan dirinya sebagai
pihak yang lemah, tidak berdaya dan selalu merasa terancan oleh bully (Zakiyah, dkk, 2017).
Di Indonesia sendiri, kasus bullying di sekolah sudah merajalela. Baik ditingkat
sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Menurut KPAI, saat ini kasus bullying
menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari 2011 hingga Agustus 2014, KPAI
mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25% dari total
pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai
bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun
aduan pungutan liar.5 Sekolah merupakan salah satu institusi pendidikan formal yang
seharusnya mampu memberikan tempat yang aman untuk anak-anak belajar seperti yang
tercantum dalam pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
bahwa:
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau temantemannya di dalam sekolah yang
bersangkutan, atau lembaga Pendidikan lainnya.”
Dari informasi yang diterima Metro Jambi (jaringan Suara,com), bullying yang dialami
SN sebenarnya sudah terjadi sebulan yang lalu. Penyebabnya, SN tidak mau memberi contekan
pelajaran kepada teman-temanya. Bullying merupakan perilaku yang disengaja untuk
menyakiti atau melukai korbannya baik secara jasmani dan rohani. Menurut Amalia(2010),
menggolongkan dua bentuk bullying sebagai berikut:
a. Fisik
Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang, dan mengintimidasi
korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar,
meludahi, dan merusak kepemilikan korban, penggunaan senjata tajam dan perbuatan kriminal.
b. Non-Fisik.
Dalam non-fisik terbagi lagi menjadi verbal dan nonverbal
• Verbal. Contohnya adalah panggilan telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan,
mengancam, menghasut, berkata jorok, berkata menekan, dan menyebarluaskan
kejelekan korban.
• Non-verbal, terbagi lagi menjadi langsung dan tidak langsung
➢ Tidak langsung, contohnya manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak
mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, dan curang.
➢ Langsung, contohnya melalui gerakan tangan, kaki, atau anggota badan lainnya
dengan cara kasar, menatap denganm tajam, menggeram, hentakan mengancam,
atau menakuti.
Menurut Yayasan Sejiwa (seperti dikutip dari Muhammad), bentukbentuk bullying dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu:
a. Bullying fisik, meliputi tindakan: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal,
meludahi, memalak, melempar dengan barang, serta menghukum dengan berlari
keliling lapangan atau push up.
b. Bullying verbal, terdeteksi karena tertangkap oleh indera pendengaran, seperti memaki,
menghina, menjuluki, meneriaki, memalukan di depan umum, menuduh, menyebar
gossip dan menyebar fitnah.
c. Bullying mental atau psikologis, merupakan jenis bullying paling berbahaya karena
bullying bentuk ini langsung menyerang mental atau psikologis korban, tidak
tertangkap mata atau pendengaran, seperti memandang sinis, meneror lewat pesan atau
sms, mempermalukan, dan mencibir.
Sementara itu, menurut Bauman (seperti dikutip dari Fitrian Saifullah),
tipe-tipe bullying adalah sebagai berikut:
a. Overt Bullying atau intimidasi terbuka yang meliputi bullying secara fisik dan secara
verbal, misalnya dengan mendorong sampai jatuh, mendorong dengan kasar,
mengancam dan mengejek dengan tujuan untuk menyakiti.
b. Indirect Bullying atau intimidasi tidak langsung yang meliputi agresi relasional, dimana
pelaku bermaksud untuk menghancurkan hubungan yang dimiliki oleh korban dengan
orang lain, termasuk upaya pengucilan, menyebarkan gossip dan meminta pujian atas
perbuatan tertentu dalam kompetensi persahabatan
c. Cyberbullying atau intimidasi dunia maya. Cyberbullyingmelibatkan penggunaan e-
mail, telepon atau peger, sms, website pribadi, atau media sosial untuk menghancurkan
reputasi seseorang.
Dari bentuk Bullying diatas SN masuk kedalam Non-fisik Verbal, Bullying mental atau
psikologi dan Overt Bullying. Tak hanya itu saja yang dapat menyebabkan terjadinya Bullying
Menurut Ariesto (2009) faktor-faktor penyebab terjadinya bullying antara lain:
a. Keluarga.
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah : orang tua
yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh
stress, agresi, dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika
mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, dan kemudian
menirunya terhadap teman-temannya. Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari
lingkungan terhadap perilaku cobacobanya itu, ia akan belajar bahwa “mereka yang
memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku agresif, dan perilaku agresif itu
dapat meningkatkan status dan kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan
perilaku bullying;
b. Sekolah
Pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini. Akibatnya,
anakanak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku
mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying berkembang dengan
pesat dalam lingkungan sekolah sering memberikan masukan negatif pada siswanya,
misalnya berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan
rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah;
c. Faktor Kelompok Sebaya.
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman di sekitar
rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan
bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok
tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
d. Kondisi lingkungan sosial
Kondisi lingkungan sosial dapat pula menjadi penyebab timbulnya perilaku
bullying. Salah satu faktor lingkungan social yang menyebabkan tindakan bullying
adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi
memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering
terjadi pemalakan antar siswanya.
e. Tayangan televisi dan media cetak
Televisi dan media cetak membentuk pola perilaku bullying dari segi tayangan
yang mereka tampilkan. Survey yang dilakukan kompas (Saripah, 2006)
memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru adegan-adegan film yang ditontonnya,
umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan kata-katanya (43%).

Pada usia remaja, anak lebih banyak menghabiskan waktunya diluar rumah. Pada
masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi terlalu bergantung pada keluarganya dan
mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya. Pengaruh teman sebaya ini
cukup dominan karena rata-rata dari para remaja ini lebih banyak menghabiskan waktunya di
sekolah bersama teman-temannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok
(genk) teman sebaya. Oleh karena itu salah satu faktor yang sangat besar dari perilaku bullying
pada remaja disebabkan oleh teman sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara
memberikan ide baik secara aktif maupun pasif bahwa bullying tidak akan berdampak apa-apa
dan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan (Santrock (2007).
Pencarian identitas diri remaja dapat melalui penggabungan diri dalam kelompok teman
sebaya atau kelompok yang diidolakannya. Bagi remaja, penerimaan kelompok penting karena
mereka bisa berbagi rasa dan pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Dalam
rangka mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja membentuk sebuah genk. Genk
remaja ini sebenarnya sangat normal terjadi dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi
genk kemudian menyimpnag‟ hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah. Dari relasi
teman sebaya juga ditemukan bahwa beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena balas
dendam atau perlakuan penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya. Kelompok
teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang negatif bagi
sekolah seperti kekerasan, perilaku membolos, rendahnya sikap menghormati kepada sesama
teman dan guru. Teman di lingkungan sekolah idealnya berperan sebagai “partner” siswa dalam
proses pencapaian program-program pendidikan.
Berdasarkan temuan di lapangan, teman sebaya para peserta didik ini ada yang
berteman secara positif dan ada juga yang berteman secara negatif. Dalam hal ini, teman sebaya
yang berteman secara positif lebih ke teman sebaya para korbannya, sedangkan teman sebaya
yang ke arah negatif lebih banyak teman sebaya para pelaku. Diketahui dua dari tiga pelaku
yang diwawancarai memiliki teman sebaya yang cenderung ke arah negatif. Mereka senang
menggerombol dan hura-hura kemana saja yang mereka mau. Menggerombol disini mereka
cenderung tidak menerima kehadiran orang lain di dalam genk mereka. Selain itu, mereka
cenderung tidak menerima kehadiran orang lain di dalam genk mereka. Terkadang, beberapa
anak melakukan bullying hanya untuk membuktikan kepada teman sebayanya agar diterima
dalam kelompok tersebut, walaupun sebenarnya mereka tidak nyaman melakukan hal tersebut.
Sementara itu, bentuk-bentuk bullying yang paling sering dilakukan oleh para pelaku adalah
bullying verbal atau lisan dan non-verbal (melalui media sosial seperti bbm, line, atau
whatsapp) (Santrock (2007).
Akibat kesal, teman-temannya itu melakukan bullying kepada korban. Usai kejadian
tersebut, sempat terjadi mediasi antara orang tua korban dan orang tua pelaku serta pihak
sekolah. Bullying antar siswa yang semakin marak terjadi disekolah telah menunjukkan tingkat
yang memprihatinkan. Tingkat emosional siswa yang masih labil, memungkinkan perilaku
bullying ini sering terjadi di kalangan para siswa. Salah satu bentuk emosi yang
diidentifikasikan oleh Daniel Goleman (1995) adalah amarah. Amarah di dalamnya meliputi
brutal, mengamuk, benci, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang,
tersinggung, bermusuhan, tindak kekerasan, dan kebencian patologis.
Sekolah sebagai tempat bergaul dengan teman sebaya, belajar menghargai kepada
teman sebaya, teman lebih kecil maupun para guru dan utamanya adalah tempat untuk
menimba ilmu dan tempat berlangsungnya pendidikan. Pendidikan merupakan sarana
terpenting dalam pengembangan potensi agar pendidikan berinteraksi dengan lingkungan
secara kreatif bagi anak, pendidikan bertujuan menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur dan
berakhlak mulia. Pendidikan juga diarahkan sebagai pemberdayaan yang cepat di berbagai
bidang dan berbagai alternatif (Purnamasari 2017).
Melihat anaknya mengalami depresi berat, orang tua korban lantas membawa korban
ke Dinas P2TP2A untuk mengadukan hal tersebut. Usai ditangani, korban langsung dibawa ke
RSUD Kolonel Abunjani Bangko untuk dilakukan perawatan. Untuk mengatasi sikap perilaku
bullying dapat digunakan Konseling Behavioral. Konseling behavioral merupakan bentuk
adaptasi dari aliran psikologi behavioristik, yang menekankan perhatiannya pada perilaku yang
tampak. Pada hakikatnya konseling merupakan sebuah upaya pemberian bantuan dari seorang
konselor kepada klien, bantuan di sini dalam pengertian sebagai upaya membantu orang lain
agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang
dihadapinya dan mampu menghadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya.(
Syamsul, 2010).
Perlindungan anak dari pihak pemerintah seperti adanya undang-undang tentang
perlindungan anak dan kekerasan pada anak. Perlindungan anak dari pihak keluarga contohnya
dengan memberikan kasih sayang orang tua kepada anak, menghindari tindak kekerasan pada
anak. Perlindungan anak dari pihak masyarakat contohnya masyarakat ikut berpartisipasi
dalam menegakkan peraturan perlindungan anak, tidak melakukan kekerasan pada anak.
Sedangkan, perlindungan anak dari pihak sekolah contohnya dengan memastikan tidak adanya
kekerasan antara siswa maupun kekerasan yang dilakukan guru kepada siswa, adanya
penanganan yang baik ketika adanya perilaku kekerasan di lingkungan sekolah
Berdasarkan hasil peneilitian, dampak bullying bagi siswa sangat bervariasi, yaitu
hilangnya nafsu makan, migraine, dan menarik diri dalam pergaulan teman sebaya. Dampak
psikologis tersebut bisa menghambat perkembangan anak dikemudian hari. Bahkan, ironisnya
kegiatan inisiasi siswa seperti MOS, perubahan kepengurusan oraganiasi OSIS, LDK,
outbound, dan kegiatan yang melibatkan senior cenderung menjadi ajang terjadinya bullying
dengam cara mempermalukan siswa-siswi yang baru masuk sekolah atau adik kelas dengan
kegiatan yang merendahkan dan mengintimidasi siswa (Menengah, 2018).
Hal tersebut menunjukkan bahwa perilaku bullying atau perundungan ini harus
dihentikan demi terciptanya kesehatan mental remaja yang positif. Kerjasama antara orang tua
dan pihak sekolah perlu dilakukan untuk memantau perilaku bullying di sekolah agar perilaku
tersebut dapat dihentikan.Media sosial dan majalah dinding sering membuat kampaye tentang
perilaku bullying untuk meningkatkan pengetahuan siswa dan menghentikan perilaku
bullying.

Dampak dari bullying secara umum adalah korban mengalami tekanan kesehatan
mental. Kesehatan mental merupakan ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan
rohani yang sehat, dengan memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisik yang
kompleks. Menurut Daradjat,7 kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara
manusia dengan dirinya dan lingkungannya. (Nindya, 2019), Adapun dampak-dampak
bullying ialah;
a. Dampak bullying bagi korban
Dampak bullying bagi korban dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan,
mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari
sekolah. Jika bullying berlanjut dalam waktu yang lama, dapat mempengaruhi self esteem
siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja
rentan terhadap stres dan depresi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih ekstrim,
bullying dapat mengakibatkan korban berbuat nekat, bahkan bisa membunuh atau melakukan
bunuh diri. Jika bullying menimpa korban secara berulangulang. Konsekuensinya yaitu korban
akan merasa depresi dan marah, marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku dan terhadap
orangorang di sekitarnya serta terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau
menolongnya.
b. Dampak bagi pelaku
Pada umumnya para pelaku bullying memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan
harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap
kekerasan, tipikal orang yang berwatak keras, mudah marah dan implusif, toleransi yang
rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying memiliki kebutuhan yang kuat untuk
mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya.
Siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan
hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki
empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai hingga dapat mempengaruhi pola
hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
c. Dampak bullying terhadap kesehatan mental
Dampak bullying secara umum sudah dijelaskan di atas, namun secara khusus dampak
bullying terhadap kesehatan mental sendiri yaitu korban mengalami trauma terhadap pelaku,
depresi yang mengakibatkan korban mengalami penurunan konsentrasi, penurunan rasa tidak
percaya diri, muncul keinginan membully sebagai bentuk balas dendam, pobia social dengan
ciri takut dilihat atau diperhatikan di depan umum, cemas berlebihan, putus sekolah, bullycide
(bunuh diri).
Selain dari pemaparan di atas, dampak bullying bagi kesehatan mental anak yaitu:
semangat korban menurun, korban menjadi sakit hati akibat di bully, korban merasa paling
bersalah di antara yang lain sehingga biasanya korban bully cenderung lebih sering menyendiri,
kepercayaan diri korban menurun, semangat hidup berkurang sehingga korban bully lebih suka
murung dan cenderung tidak bergairah, bagi sebagian orang emosi mereka semakin meningkat
sehingga mereka cenderung dendam dan berniat melakukan apa yang telah mereka alami
terhadap orang lain.
d. Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka siswa lain yang menonton dapat
berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam kondisi ini,
beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi sasaran
berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan apapun dan
yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying dapat
berdampak terhadap fisik maupun psikis pada korban. Dampak fisik seperti sakit kepala, sakit
dada, cedera pada tubuh, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian. Sedangkan dampak
psikis seperti rendah diri, sulit berkonsentrasi sehingga berpengaruh pada penurunan nilai
akademik, trauma, sulit bersosialisasi, hingga depresi.
Remaja korban bullying memiliki beberapa karakteristik yaitu lebih sering merasakan
emosi yang negatif (stress, sedih, marah), memandang hidup dan berbagai kejadian dalam
hidup sebagai hal yang negatif memiliki pikiran-pikiran irasional mengenai diri sendiri, seperti
merasa tidak berguna (Branden, 1994), lebih bodoh, lebih lemah dibandingkan pelaku bullying,
merasa memang pantas mengalami bullying, merasa kalau semua orang memandangnya secara
negatif dan merasa tidak mampu meraih kesuksesan dalam hidupnya (Elliott, 2002).
Berdasarkan karakteristik korban bullying tersebut, Rational Emotive Behavior
Therapy (REBT) merupakan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan self esteem korban
bullying. REBT merupakan suatu proses terapeutik yang dapat memperbaiki dan merubah
persepsi, pikiran, keyakinan serta pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi
rasional dan logis (Ellis, 2007). Diharapkan dengan keyakinan, pandangan, dan pikiran-pikiran
negatif korban bullying yang mengarah pada perasaan tidak berharga, tidak mampu dan rasa
tidak diterima oleh teman-temannya dapat diperbaiki dan diganti dengan pikiran yang lebih
rasional sehingga korban bullying akan merasakan perasaan dan perilaku yang lebih baik.
Selain dari cara Rational Emotive Behavior Therapy ada banyak lagi cara untuk
mengobati anak yang mengalami depresi yang disebabkan oleh bullying salah satunya dengan
cara komunikasi interpersonal, dimana berdasarkan teori Self-Disclosure Theory, Self-
disclosure theory merupakan ekspresi atau pernyataan informasi social yang bersifat deskriptif,
afektif, atau evaluative (Littlejhon, 2016:1047). Melalui pengungkapan diri, pelaku
komunikasi (komunikator dan komunikan) mampu menemukan konsep diri yang ada dalam
korban bullying.

Komunikasi interpersonal terhadap korban bullying dapat dilakukan dengan cara


menumbuhkan hubungan interpersonal itu sendiri. Menurut Wulandari (2009:38-40)
mengidentifikasi beberapa hal mengenai cara menumbuhkan hubungan yang baik, seperti: (1)
percaya, dimana dalam menumbuhkan rasa percaya ada menerima, empati, kejujuran; (2) sikap
sportif; (3) sikap terbuka.

Salah satu model komunikasi yang digunakan dalam komunikasi interpersonal ialah
Model Komunikasi Laswell. Model komunikasi ini dicetuskan oleh Harold Laswell pada tahun
1948, memiliki beberapa unsur, seperti who (siapa), say what (apa yang dikatakan), In Which
Channel (salauran Pembicara Pesan Pendengar komunikasi), To Whom (kepada siapa), With
What Effect? (Unsur pengaruh). Model komuniasi ini menggambarkan proses komunikasi dan
fungsi-fungsi yang dalam masyarakat dan merupakan model komunikasi yang paling tua tetapi
masih digunakan orang untuk tujuan tertentu. (Yulandra, dkk, 2018)

Selain itu sekolah juga menjadi alternative solusi mengatasi bullying disekolah.
Dimana disini pihak sekolah harus membangun kesadaran dan pemahaman tentang bullying
dan dampaknya kepada semua stakeholder di sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah,
pegawai sekolah hingga orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan
dalam tahap ini sehingga semua stakeholder memahami dan mengerti apa itu bullying dan
dampaknya. Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan
menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau
kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua
anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban bullying di setiap
sekolah. Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban
bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu
penanganan bagi korban bullying, dll. Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-
praktek kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying sepertipola
pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah dan di sekolah.
Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua untuk menghentikan
praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak (Menengah, 2018).

Namun menurut kami sebanyak apapun alteratif solusi yang diberikan tetap akan
menimbulkan perilaku Bullying baik di lingkungan sekolah maupun sosial. Karena Bullying
banyak sekali faktor- faktor yang dapat menyebabkannya dan dari semua faktor tersebut tidak
dapat semua kita cegah maka dari itu sebagai orang tua, guru, teman kita harus saling
bekerjasama dalam melakukan penurunan kasus terhadap Bullying ditiap tahunnya. Dan
berperanlah dengan sebaik-baik mungkin sesuai peranannya masing-masing. Contohnya pada
keluarga, sebagai orang tua kita harus memberikan kenyamanan terhadap anak kita berilah
didikan yang sewajarnya sehingga membuat anak tersebut tidak merasa tertekan dan sebagai
guru di sekolah berilah kegiatan-kegiatan yang dapat menambah wawasan anak-anak terhadap
Bullying, bahwa Bullying itu merupakan suatu tindakan yang bisa saja berdampak pada rohani
dan jasmani kita.
Daftar Pustaka

Adila, N. (2009). Pengaruh Kontrol Sosial Terhadap Perilaku Bullying Pelajar di sekolah
menengah Pertama. Jurnal kriminologi, V(1), 58.
Ali, M. (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Amini, Y. S. (2008). bullying Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan.
Ariesto, A. (2009). Pelaksanaan Program Antibullying Teacher Empowerment.
Astuti, P. R. (2008). Meredam Bullying 3 Cara Efektif Mengatasi Kekerasan Pada Anak.
Branden, N. (n.d.). Six pillars of self esteem.
Bugn, B. (2012). Analisis Penelitian Kualitatif.
Burhanudin, Y. (1999). Kesehatan Mental Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKK.
Dina, A. (2010). Hubungan Persepsi tentang Bullying dengan Intensi Melakukan Bullying
Siswa SMAN 82 Jakarta. Skripsi Pada Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah
jakarta.
Elliot, M. (2002). Bullying: A practical guide to coping for school. London: Pearson
Education.
Indoensia, K. P. (2014). Komisi Perlindungan Anak Indoensia. Retrieved from KPAI: Kasus
Bullying dan Pendidikan Karakter.
Littlejohn, S. W. (2016). Ensiklopedia Teori Komunikasi Jilid II.
Martono, N. (2012). Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre
Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad. (2009). Aspek Perlindungan Anak dalam Tindak kekerasan (Bullying) terhadap
Korban Kekerasan di Sekolah (Studi Kasus DI SMK Kabupaten Banyumas). Jurnal
Dinamika Hukum, IX(3), 232.
Purnamasari, l. (2017). Homeschooling.
Saifullah, F. (2016). Hubungan Antara Konsep Diri dengan Bullying papa Siswi-siswi SMP
(SMP Negeri 16 Samarinda). ejournal Psikologi, 205.
Santrock, J. W. (2007). In Perkembangan Anak (7 ed., p. 213). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak (Vol. XI). (C. Development, Penerj.) Jakarta:
Erlangga.
Thalib, S. B. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. 191.
TimSejiwa. (2008). Bullying: Panduan bagi Orang Tua dan Guru Mengatasi Kekerasan di
Sekolah dan Lingkungan.
Trisula, Y. S. (2018). KOMUNIKASI INTERPERSONALDALAM MENGHADAPI ANAK
KORBAN BULLYING. ejournal , 12(10), 2-7.
Wulandari, D. (2009). Komunikasi dan konseling dalam Praktik Kebidanan.
Zakiyah, E. H. (n.d.). Faktor yang mempengaruhi remaja dalam melakukan bullying. Jurnal
Penelitian & PPM, IV(2).

Anda mungkin juga menyukai