HUKUM ISLAM
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih
Disusun oleh :
1
2020/2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqih dan juga untuk khalayak ramai
sebagai bahan penambah ilmu pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat. Makalah
ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan.
Maka dari itu kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang
membaca makalah ini terutama dosen mata kuliah Fiqih yang kami harapkan sebagai bahan
koreksi untuk kami
Wassalamualaikum Wr. Wb
2
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB 1.........................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................5
1. Latar Belakang.................................................................................................................................5
2. Rumusan Masalah............................................................................................................................5
3. Tujuan..............................................................................................................................................6
BAB II.........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
A. Definisi Fiqih...................................................................................................................................7
B. KEISTIMEWAAN FIQIH...............................................................................................................8
a. FARDHU...................................................................................................................................13
b. WAJIB.......................................................................................................................................14
d. HARAM....................................................................................................................................14
3
e. MAKRUH TAHRIM.................................................................................................................15
f. MAKRUH TANZIH..................................................................................................................15
g. MUBAH....................................................................................................................................15
2. Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian manusia dengan hubungan hak kebendaan
yang disebut muamalah maddiyah.....................................................................................................19
BAB 3.......................................................................................................................................................23
PENUTUP.................................................................................................................................................23
A. KESIMPULAN.............................................................................................................................23
B. SARAN.........................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................24
4
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi islam yang paling terkenal atau dikenal oleh
masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, dan itu terjadi dari
sejak lahir sampai dengan meninggal dunia, manusia itu selalu berhubungan dengan fiqih.
Fiqih dikategorikan sebagai ilmu al-hal. Ilmu al-hal yaitu ilmu yang berkaitan dengan tingkah
laku kehidupan manusia, dan juga termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan ilmu
itu pula seseorang baru bisa atau dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada Allah SWT melalui
ibadah seperti dalam melaksanakan sholat, puasa,zakat, haji, dan lain sebagainya.
Fiqih mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam terutama dalam mengarahkan apa
dan bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan kegiatannya dalam
kehidupan sehari-hari. Fiqih dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia tentang sesuatu hal
yang bersumber dari Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Ruang lingkup yang dikaji fiqih
meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT yang biasa disebut dengan ibadah dan hubungan manusia
dengan sesamanya atau yang disebut dengan mu’amalah.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Fiqih ?
5
3. Tujuan
1. Menjelaskan Definisi fiqih
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Fiqih
Secara bahasa, fiqih ( )الِفْقُهberarti fah-mun ( )َفْهٌم, yang artinya pemahaman mendalam yang
memerlukan pengerahan akal pikiran.
َو اْح ُلْل ُع ْقَد ًة ِّم ن ِّلَس اِني *َيْفَقُهوا َقْو ِلي
kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
Adapun secara istilah, berikut ini pengertian fiqih menurut para ulama :
1. Al-Utsaimin
َم ْع ِرَفُة اَأْلْح َكاِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة ِبَأِد َّلِتَها الَّتْفِص ْيِلَّيِة
Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.
2. Az-Zarkasyi
اْلِع ْلُم ِباَأْلْح َكاِم الَّش ْر ِع َّيِة اْلَع َم ِلَّيِة اْلُم ْك َتَس ُب ِم ْن َأِد َّلِتَها الَّتْفِص يِلَّيِة
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah yang digali dari dalil-dalilnya yang
terperinci.
3. Imam Al-Haramain
7
ُهَو اْلعلم ِبَأْح َكام َأفَع ال اْلُم َك ّلفين الَّش ْر ِع َّية دون اْلَع ْقِلَّية
Adalah ilmu tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf secara syar’i bukan secara akal.
Dari definisi ketiga ulama tersebut dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :
Pembahasan fiqih hanya yang bersifat amaliyyah, seperti tata cara sholat, zakat, haji dan
semisalnya
Ilmu fiqih hanya membahas hukum syar’i, tidak membahas hukum akal dan hukum adat
Ilmu fiqih juga membahas hukum perbuatan mukallaf, seperti wajib, sunnah, mubah,
makruh, dan haram
B. KEISTIMEWAAN FIQIH
Fikih Islam mempunyai banyak keistimewaan (sebagaimana dikumpulkan dari Kitab Fajrul
Islam karangan Ahmad Amin, Kitab Tarikh Al-Fiqh Al-Islami karangan As-Sayis, Kitab Tarikh
Tasyri’ karangan Al-Khudhari, Kitab Siyasah Syar’iyyah karangan Abdurrahman Taj, Kitab Al-
Amwal wa Nazhariyat Al-‘Aqd karangan Muhammad Yusuf Musa halaman 126-154 dan
Kitab Al-Madkhal Al-Fiqhi karangan Musthafa Az-Zarqa’), di antaranya adalah
8
b. PEMBAHASANNYA KOMPREHENSIF MENCAKUP SEGALA ASPEK KEHIDUPAN
Bila dibandingkan dengan undang-undang positif yang ada, fikih Islam mempunyai keunggulan
dalam hal objek pembahasannya. Fikih mengatur tiga hubungan utama manusia, yaitu
hubungannya dengan Sang Pencipta, hubungannya dengan dirinya sendiri, dan hubungannya
dengan masyarakat. Hukum-hukum fikih adalah untuk kemaslahatan di dunia dan di akhirat,
sehingga urusan keagamaan dan juga kenegaraan diatur semuanya. Hukum-hukum fikih juga
dimaksudkan untuk mengatur semua manusia, sehingga dia kekal hingga hari akhir. Hukum-
hukumnya mengandung masalah aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah, sehingga ketika
mengamalkannya, hati manusia terasa hidup, merasa melaksanakan suatu kewajiban dan merasa
diawasi oleh Allah dalam segala kondisi. Oleh sebab itu, jika diamalkan dengan benar, maka
ketenangan, keimanan, kebahagiaan, dan kestabilan akan terwujud. Selain itu, jika fikih
dipraktikkan, maka kehidupan manusia di seluruh dunia akan rapi dan teratur.
Pertama, hukum-hukum ibadah seperti bersuci, shalat, puasa, haji, zakat, nadzar, sumpah, dan
perkara-perkara lain yang mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dalam Al-Qur'an
terdapat sekitar 140 ayat yang membahas masalah ibadah dengan berbagai macam jenisnya.
hukuman, hukum kriminal, dan lain-lain yang dimaksudkan untuk mengatur hubungan antara
sesama manusia, baik sebagai individu maupun sebagai satu komunitas. Kelompok kedua ini
terbagi ke dalam beberapa kelompok pembahasan:
9
penanggungan utang, utang piutang, usaha bersama (syirkah), dan lain-lain. Hukum-hukum ini
dimaksudkan untuk mengatur masalah keuangan dan harta yang terjadi di antara individu-
individu,
supaya hak seseorang dapat terlindungi. Dalam Al-Qur'an terdapat sekitar tujuh puluh ayat yang
membahas masalah ini.
Keempat, Al-Ahkaam Al-Muraafa'aat (hukum proses perbidangan baik kasus perdata maupun
pidana). Yaitu, hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah kehakiman, prosedur
melakukan tuduhan, prosedur penetapan suatu kasus baik dengan menggunakan saksi, sumpah,
bukti, atau lainnya. Hukum-hukum dalam masalah ini dimaksudkan untuk mengatur prosedur
penegakan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Dalam Al-Qur'an terdapat sekitar dua puluh
ayat yang mengatur masalah ini.
10
Yaitu keputusan hukum yang didasarkan atas tindakan atau perilaku lahiriah. Hukum seperti ini
tidak ada hubungannya dengan sikap batiniah seseorang. Inilah yang dinamakan dengan “hukum
pengadilan” (Al-Hukmu Al-Qadhaa’i), karena seorang hakim memutuskan hukum berdasarkan
pengamatan yang ia mampui saja. Dari sudut lahiriah, keputusan seorang hakim tidak akan
menyebabkan hal yang batil menjadi kebenaran, atau suatu kebenaran meniadi kebatilan. Begitu
juga, ia tidak akan menjadikan kehalalan menjadi keharaman atau sebaliknya keharaman menjadi
halal. Hasil keputusan hakim mengikat dan harus dilaksanakan, berbeda dengan hasil keputusan
fatwa.
Yaitu, keputusan hukum yang didasarkan kepada kondisi yang sebenarnya, meskipun kondisi
tersebut tidak diketahui oleh orang lain. Hukum ini digunakan untuk mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah Ta’ala. Hukum ini dinamakan dengan “hukum agama” (Al-Hukmu Ad-
Diyaani) dan yang digunakan oleh mufti dalam memberikan fatwa. Sehingga, yang dimaksud
dengan fatwa adalah menginformasikan hukum syara' tanpa ada konsekuensi mengikat.
Pembedaan jenis hukum ini adalah berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Ahmad, dan para pengarang Kutubus Sittah.
Hadits tersebut adalah, “Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, dan kamu bersengketa di
hadapanku. Mungkin di antara kamu ada yang lebih pintar dalam mengemukakan hujjahnya
daripada yang lain. Dengan demikian, aku memberikan hukuman untuknya berdasarkan apa
yang aku dengar. Jika aku menghukum kepadanya dengan merugikan hak seseorang Islam yang
lain, maka itu adalah potongan api neraka. Maka, terserah kepadanya apakah akan mengambil
atau meninggalkannya.”
11
orang berharta, mencegah berlakunya penipuan dan pembohongan dalam kontrak, dan dapat mencegah
memakan harta secara batil.
Contoh melindungi kepentingan orang banyak ialah pensyariatan ibadah seperti shalat, puasa,
dan sebagainya, menghalalkan jual beli, mengharamkan riba dan monopoli (ihtikar), dan
menggalakkan penjualan sesuatu dengan harga yang patut.
12
Adapun fikih yang dibangun berdasarkan qiyas, menjaga maslahah dan 'uruf dapat menerima
perubahan dan perkembangan disesuaikan dengan keperluan zaman, kemaslahatan manusia,
situasi dan kondisi yang berbeda, baik masa maupun tempat, selagi keputusan hukumnya tidak
melenceng dari tujuan utama syariah dan keluar dari asasnya yang betul. Tetapi ini hanya di
dalam masalah muamalah, bukan dalam aqidah dan ibadah. Inilah yang dikehendaki dengan
kaidah “Hukum berubah dengan berubahnya masa.”
a. FARDHU
Fardhu ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya dikerjakan, dan tuntutan itu adalah tuntutan
yang pasti berdasarkan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran lagi. Contohnya adalah rukun Islam
yang lima yang tuntutannya berdasarkan Al-Qur'an Al-Karim. Termasuk juga perkara yang
tuntutannya ditetapkan dengan sunnah yang mutawatir atau sunnah yang masyhur seperti
membaca Al-Qur'an dalam shalat. Begitu juga perkara yang ditetapkan dengan ijma seperti
pengharaman jual beli empat jenis makanan, yaitu gandum sya'ir, gandum qumh, kurma, dan
garam, yang dijual (ditukar) sesama jenis secara tangguh (dalam Kitab Maratib Al-
Ijma’ karangan Ibnu Hazm halaman 85). Hukumnya ialah ketetapan itu harus dilakukan dan
orang yang melakukannya diberi pahala sedangkan orang yang meninggalkannya akan disiksa
(dihukum) dan orang yang mengingkarinya adalah kafir.
13
b. WAJIB
Wajib ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk dilakukan dan tuntutan itu adalah tuntutan
yang pasti berdasarkan dalil zhanni yang ada kesamaran padanya. Contohnya, seperti zakat
fitrah, shalat Witir dan shalat Dua Hari Raya, karena perkara-perkara itu ditetapkan dengan
dalil zhann, yaitu dengan hadits ahad dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hukumnya adalah sama seperti fardhu, cuma orang yang mengingkarinya tidak menjadi kafir.
Fardhu dan wajib mempunyai makna yang sama menurut jumhur ulama selain ulama Hanafi.
Mereka mendefinisikan wajib sebagai sesuatu yang dituntut oleh syara' supaya melakukan
dengan tuntutan yang pasti.
Menurut para ulama selain golongan Hanafi, mandub juga dinamakan dengan istilah sunnah,
nafilah, mustahab, tathawwu’, murghab fih, ihsan, dan husn. Ulama Hanafi membagikan mandub
kepada mandub mu'akkad seperti shalat Jumat, mandub masyru'seperti puasa hari Senin dan
Kamis dan mandub za'id seperti mengikut cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
makan, minum, berjalan, tidur, memakai pakaian, dan lain-lain. Pengarang Ad-Durr Al-
Mukhtar dan Ibnu Abidin memilih pendapat jumhur. Mereka berdua mengatakan tidak ada
perbedaan antara mandub, mustahab, nafilah, dan tathawwu’. Meninggalkan perkara-perkara
tersebut adalah tindakan yang tidak utama (khilaf al-aula). Kadang-kadang membiasakan
diri meninggalkan perkara-perkara tersebut dapat menjadi makruh (dalam Kitab Hasyiyah Ibn
Abidin jilid 1 halaman 115).
d. HARAM
Haram ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang jelas dan
pasti. Menurut ulama Hanafi, haram ialah sesuatu yang perintah meninggalkannya ditetapkan
berdasarkan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran. Contohnya adalah pengharaman zina dan
14
pengharaman mencuri. Hukumnya ialah perkara-perkara itu wajib dijauhi dan pelakunya
dihukum (disiksa). Ia juga dinamakan maksiat, dosa (dzanb), keji (qabih), mazjur 'anhu,
dan mutawa'id 'alayhi. Orang yang mengingkari keharaman adalah kafir.
e. MAKRUH TAHRIM
Menurut ulama Hanafi, makruh tahrim ialah sesuatu yang dituntut oleh
syara' supaya ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak jelas dan pasti berdasarkan dalil zhanni,
seperti melalui hadits ahad. Contohnya ialah hukum membeli barang yang hendak dibeli
oleh orang lain, seperti bertunangan dengan tunangan orang lain dan memakai sutra serta emas
oleh lelaki. Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya diberi pahala dan orang yang
melakukannya dihukum (disiksa).
Dalam Madzhab Hanafi, jika disebut kata makruh, maka maksudnya adalah makruh tahrim.
Maksud makruh tahrim menurut mereka ialah sesuatu yang dilarang itu lebih dekat kepada
keharaman, tetapi orang yang mengingkarinya tidaklah menjadi kafir.
f. MAKRUH TANZIH
Menurut ulama Hanafi, makruh tanzih ialah sesuatu yang dituntut oleh syara' untuk ditinggalkan
tapi tuntutannya tidak pasti dan tidak mengisyaratkan kepada hukuman. Contohnya adalah
memakan daging kuda perang, karena kuda itu diperlukan untuk jihad, seperti mengambil wudhu
dari air di bejana sisa minuman kucing atau burung yang memburu seperti elang dan gagak,
seperti meninggalkan sunnah-sunnah mu'akkad. Hukumnya ialah orang yang
meninggalkannya diberi pahala dan orang yang melakukannya dicela, tetapi tidak dihukum.
Menurut ulama selain golongan Hanafi, makruh hanya mempunyai satu jenis saja, yaitu sesuatu
yang dituntut oleh syara' supaya ditinggalkan dan tuntutan itu bukan tuntutan yang pasti.
Hukumnya ialah orang yang meninggalkannya dipuji dan diberi pahala. Adapun orang yang
melakukannva tidak dicela dan tidak dihukum.
g. MUBAH
Mubah ialah sesuatu yang syara' memberikan kebebasan kepada seorang mukallaf untuk
melakukannya, atau meninggalkannya. Contohnya adalah makan dan minum. Hukum asal dari
segala sesuatu adalah mubah selama tidak ada larangan atau pengharaman. Hukumnya ialah
tidak ada pahala dan tidak ada hukuman (siksa) bagi orang yang melakukannya, ataupun orang
15
yang meninggalkannya. Kecuali dalam kasus apabila meninggalkan perkara mubah itu
akan menyebabkan kebinasaan. Dalam keadaan seperti itu, maka makan menjadi wajib,
dan meninggalkannya adalah haram untuk menjaga nyawa.
(2) Al-Imam maksudnya adalah Abu Hanifah. Asy-Syaikhan adalah Abu Hanifah dan
Abu Yusuf. Ath-Tharafan maksudnya adalah Abu Hanifah dan Muhammad. Ash-
Shahiban adalah Abu Yusuf dan Muhammad. Ats-Tsani maksudnya adalah Abu Yusuf. Ats-
Tsalits maksudnya adalah Muhammad. Kata lahu maksudnya adalah menurut Abu Hanifah.
Kata lahuma atau 'indahuma atau madzhabuhuma ialah madzhab dua sahabat (Abu Yusuf dan
Muhammad). Jika mereka mengatakan ashabuna, maka menurut pendapat yang masyhur
ialah menunjuk kepada imam yang tiga, yaitu Abu Hanifah dan dua orang sahabatnya.Adapun
istilah Al-Masyayikh artinya adalah orang yang tidak sempat bertemu imam.
(3) Yufta Qat'an adalah istilah yang menunjukkan kepada sesuatu yang disepakati oleh Abu
Hanifah dan sahabat-sahabatnya dalam riwayat-riwayat yang zahir. Apabila mereka berselisih
pendapat, maka yang difatwakan secara mutlak adalah pendapat Abu Hanifah, khususnya dalam
bab ibadah. Pendapat kedua-dua sahabatnya atau pendapat salah seorang dari mereka tidak boleh
ditarjihkan kecuali ada sesuatu yang pasti, yaitu -seperti kata Ibnu Nujaim- karena lemahnya
dalil yang dipegang oleh imam ataupun karena darurat dan menjadi amalan (muamalah)
seperti mentarjih pendapat kedua sahabat (Abu Yusuf dan Muhamad) dalam
masalah muzara'ah dan musaqah (dengan alasan menjadi amalan), ataupun karena
perbedaan masa. Dalam kasus-kasus kehakiman, kesaksian, dan harta pusaka yang
16
difatwakan adalah pendapat Abu Yusul karena dia lebih berpengalaman dalam perkara-
perkara ini. Dalam seluruh kasus mengenai dzawil arham pendapat yang difatwakan
adalah pendapat Muhammad. Dan dalam 17 masalah yang difatwakan adalah
pendapat Zufar (dalam Kitab Risalah Al-Mufti dalam Majmu’ Rasa’il Ibn Abidin jilid 1 halaman
35-40 dan dalam Kitab Radd Al-Mukhtar jilid 1 halaman 65-70 karangan Ibnu Abidin).
17
perkawinan itu batal dengan sendiri; dan masalah-masalah lain yang menyebabkan
golongan yang mempunyai kepentingan menggunakan pendapat Asy-Syafi'i yang berbeda-beda
ini untuk mencela Imam Asy-Syafi'i, mencela ijtihadnya, dan menganggap bahwa Imam Asy-
Syafi'i kurang ilmu.
Sebenarnya, munculnya dua pendapat ini adalah akibat adanya qiyas yang bertentangan atau
akibat adanya dalil-dalil yang bertentangan. Ini semua bukanlah menjadi bukti kepada
kekurangan ilmu, malahan ia menunjukkan kesempurnaan akal. Imam Asy-Syafi'I tidak
mengatakan yakin pada masalah-masalah yang memang meragukan. Ia juga menjadi bukti
kepada keikhlasannya dalam mencari kebenaran. Dia tidak menghukum secara pasti kecuali dia
sudah mempunyai alasan-alasan tarjih. Jika dia tidak mempunyai alasan kuat untuk men-tarjih,
maka dia membiarkan persoalan itu apa adanya (dalam Kitab Asy-Syafi’i halaman 172-175
karangan Abu Zahrah).
Apabila seorang mufti mendapati dua pendapat Imam Asy-Syafi'i dalam satu masalah, maka dia
boleh memilih pendapat yang telah ditarjihkan oleh ahli-ahli tarjih pada masa lalu (pada
mujtahid mentarjihkan apa yang telah ditarjihkan oleh Asy-Syafi’i. Kalau ia tidak
mentarjihkannya, pendapatnya yang terakhir mentarjihkan yang lebih dulu. Kalau tidak diketahui
mana pendapat yang terakhir, dan ini adalah sesuatu yang jarang terjadi, maka ditarjihkan
mengikut yang paling dekat dengan ushul kaidah Asy-Syafi’i). Jika tidak ditemukan juga,
maka hendaklah dia pasrah (tawaqquf) seperti yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi.
Ulama dalam madzhab Hambali berbeda pendapat tentang cara mentarjihkan antara pendapat-
pendapat dan riwayat-riwayat yang ada. Perbedaan ini terbagi kepada dua kelompok.
Kelompok pertama, memerhatikan pemindahan pendapat (naql al-aqwal), karena itu adalah dalil
kesempurnaan dalam agama.
18
Kelompok kedua cenderung untuk menyatukan pendapat imam dengan cara mentarjih mengikuti
kronologi. Jika masa munculnya kedua pendapat itu memang dapat diketahui, atau dengan cara
membuat perbandingan di antara dua qaul itu, dan mengambil mana yang mempunyai dalil yang
lebih kuat serta yang lebih dekat dengan mantiq (metode berpikir) imam dan kaidah
madzhabnya. Jika tarjih tidak dapat dilakukan, maka dianggap madzhab mempunyai dua
pendapat dalam masalah tersebut, ketika dalam kondisi darurat untuk mengamalkannya.
2. Hukum-hukum perdata, yaitu hukum yang bertalian manusia dengan hubungan hak
kebendaan yang disebut muamalah maddiyah.
19
Tuhannya. Contoh ibadah adalah shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalah, yaitu bagian
yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya.
Di dalam islam terdapat dua hal yang mendasar, yaitu akidah dan syariat. Akidah merupakan
suatu kepercayaan yang muncul dari dalam sanubari setiap insan tanpa adanya paksaan atau
secara kesadaran diri. Sementara itu syariat adalah hal yang mengatur tata kehidupan manusia
muslim sehari hari, termasuk didalamnya soal ibadah. Fiqih sebagai refleksi syariat, memiliki
empat pokok komponen ajarannya, yaitu ubadiyyah, mu'amalah, munakahat, dan jinayat. Ilmu
fiqih merupakan ilmu mengenai tata cara beribadah kepada Allah SWT. yang membahas
mengenai sah atau tidaknya suatu ibadah. Pembahasannya bersifat hitam putih, karena
menyangkut masalah syariat. Biasannya membahas kitab kitab fiqih selalu dimulai dari thaharah
( tata cara bersuci ) kemudian persoalan persoalan ke fiqihan lainnya. Pembahasan tentang
thaharah lainnya tidak secara langsung terkait dengan pembicaraan pada nilai -- nilai rohaninnya.
Banyak yang berpendapat bahwa kaum fiqih lebih berfikir sedangkan kaum sufi lebih
mengutamakan rasa, hal ini mengakibatkan mereka berlawanan dan menjadikan mereka
bertentangan. Padahal Imam Malik pernah berkata "barang siapa yang mempelajari fiqih tanpa
bertasawuf maka ia fasik. Dan barangsiapa yang bertasawuf namun belum mendalami fiqih maka
ia zindiq. Dan barang siapa yang melakukannya berarti ia melakukan kebenaran". Maka dapat
kita simpulkan bahwa ilmu fiqih dan ilmu tasawuf saling menyempurnakan.
20
Dalam memahami dan menafsir ayat ayat al Quran ayang berkenaan dengan hukum diperlukan
ijtihad yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan
ketentuan hukum sesuatu yang tidak ada naska hukumnya dengan hukum sesuatu yang lain atas
dasar persamaan ilat. Dalam menentukan pemikiran. Artinya, pertimbanagan akal dunia lebih
baik bagi kehidupan masyarakat perorangan.
Aliran aliran teologi dalam islam semuanya memakai akal untuk menyelesaikan persoalannya
dan berpedoman kepada wahyu, yang membedakannya yaitu dalam derajat kekuatan yang
diberikan kepada akal dan dalam intreperetasi mengenai teks al-quran dan Hadis sehingga
dinamakan teologi liberal yang bebeas berkehendak contoh : mu' tazila yang berpegang teguh
pada logika namun suka ditangkap golongan awam dan teolog yang berpendapat akal memiliki
daya yang lemah memberi interpretasi harfi/dekat mengenai teks alquran dan hadist sehingga
dinamakan teologi tradisional yang terbatas dalam berkehendak contohnya : as'ariyah yang
berpegang pada arti harfi dan kurang menggunkan logika namun mudah diterima oleh kaum
awam. Begitupun madzhab- madzhab dalam fiqih adanya perbedaan dikarenakan kemampuan
akal dalam mengiterpretasikan teks AL-Quran dan Hadist.
21
kepada nabi Muhammad Saw sebagai utusannya. Disini ilmu fiqih sudah memerlukan keimanan
kepada para malaikat, keimanan kepada para rasul dan keimanan kepada kitab -- kitab allah
sebagai wahyu allah.
Selanjutnya oleh karena itu tujuan akhir ilmu fiqih untuk mencapai keridhan allah di dunia dan di
akhirat. Hari pembalasan segala amal perbuatan manusia. Seperti kita tahu aspek hukum dari
perbuatan manusia ini menjadi objek pembahasan ilmu fiqih.masalah yang berkaitan dengan
keimanan dibahas di dalam ilmu tauhid.
22
BAB 3
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ilmu fiqih adalah ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar’i amali yang diambil dari dalil-dalil
yang tafsili yang terdapat dalam al-Qur’an, hadits, ijma dan qiyas.
Pada pokoknya yang menjadi objek pembahasan ilmu fiqih adalah perbuatan mukalaf dilihat dari sudut
hukum syara’ yang terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu ibadah, mu’amalah, dan ‘uqubah.
Ilmu fiqih sebagai suatu bidang keilmuan memiliki ciri khas, diantaranya: Al Ahkam (tentang hukum-
hukum), Asy Syar’iyah (yang diambil dari Syariat), Al ‘Amaliyah (berkenaan dengan amal perbuatan), Al
Muktasib Min Adillatiha At Tafshiliyyat (diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci bagi hukum-hukum
tersebut) Antara fiqh, syariat, dan hukum islam ada satu persamaan yang mengaitkan antara ketiganya.
Fiqh adalah aturan yang baru diterapkan pada zaman nabi Muhammad. Syariat adalah aturan Allah yang
telah diterapkan sejak nabi terdahulu Adam, As. Hingga sekarang dan berlaku sangat umum. Sedangkan
Hukum lebih ditekankan kepada analisis suatu peristiwa pada dasar hukum al-Qur’an dan as-Sunnah
B. SARAN
Demikian makalah ini kami buat. Kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi isi
maupun penulisan. Untuk itu, lami meminta kritik dan saran dari berbagai pihak. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat khususnya bagi kami selaku penulis dan umumnya bagi pembaca semua.
Terimakasih.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Anwar, Syahrul. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. 2010. Bogor : Ghalia Indonesia.
2. Hasan, Rosyad Khalil. Tarikh Tasyri’. 2009. Jakarta: Amzah.
3. Zuhri, Saifudin. Ushul Fiqih. 2011. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
4. Nata, Abuddin. Masail Fiqhiyyah. 2006. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
5. Koto, Alauddin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. 2004. Jakarta : Fajar Interpratama Offset.
6. Timur Jaelani, Dkk. Ilmu Fiqih. 1982. Yogyakarta. : Rajagrafindo Persada.
7. Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqih. 2014. Jakarta : Kencana Prenadamedia group.
8. Ramulyo, Mohd Idris. Asas-Asas Hukum Islam. 1995. Jakarta : Sinar Grafika
9. Sofyan. Fiqih Alternatif. 2013. Yogyakarta : Mitra Pustaka
10. Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah. 2008. Jakarta : Robbani Press
11. Hakim, Abdul Hamid. As-Sulam. 1998. Jakarta : Maktabah sa’diyah Putra.
12. Sutrisno. Nalar Fiqih Gus Mus. 2010. Yogyakarta : Mitra Pustaka.
24