Anda di halaman 1dari 7

Pengertian Intelligent Quotient (IQ)

Intelligence Quotient atau yang biasa kita sebut dengan IQ merupakan suatu indikator untuk
mengukur kecerdasan seseorang. Kecerdasan yang dimaksud, yaitu kecerdasan yang terbentuk atas
proses pembelajaran dan pengalaman hidup.

IQ menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir, mengingat, memahami, mengevaluasi,


mengolah, menguasai lingkungan, dan bertindak secara terarah. Biasanya, IQ memiliki kaitan yang
erat dengan intelektual, logika, kemampuan menganalisis, pemecahan masalah matematis, dan
strategis.

Selain itu, IQ juga memiliki keterkaitan dengan keterampilan berkomunikasi, merespons atau
menanggapi hal-hal yang ada di sekitarnya, serta kemampuan mempelajari materi-materi bilangan,
seperti matematika.

Melalui sekolah, kecerdasan ini diasah dengan berpikir secara rasional. Misalnya, saat kita belajar
tentang matematika, kita dilatih untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan masalah dari
soal itu

Sejarah Intelligent Quotient (IQ)

Nah, sebenarnya dari mana sih konsep tes kecerdasan intelektual ini tercipta? Konsep tes IQ ini
mulai ada sejak akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1890-an.

Konsep ini diciptakan dan terpikirkan pertama kali oleh Francis Galton (sepupu Charles Darwin sang
Bapak Evolusi). Galton mengambil landasan dari teori Darwin mengenai konsep survival individu
dalam suatu spesies. Sederhananya, yaitu teori mengenai cara bertahan hidup masing-masing orang,
karena keunggulan dari sifat-sifat tertentu yang dimilikinya dan merupakan turunan dari orang tua
mereka.

Galton pun menyusun sebuah tes yang mengukur intelegensi manusia dari aspek kegesitan dan
refleks otot-ototnya. Baru lah di awal abad ke-20, Alfred Binet, seorang psikolog dari Perancis,
mengembangkan alat ukur intelegensi manusia yang sekarang telah dipakai oleh banyak orang.

Di tahun 1983, penelitian mengenai konsep tes intelegensi manusia ini pun berlanjut oleh psikolog
Harvard, Howard Gardner. Ia menyebutkan, bahwa kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah
konsep tunggal atau bersifat umum.

Menurutnya, kecerdasan tersebut merupakan beberapa set kemampuan yang spesifik dan
berjumlah lebih dari satu. Semua itu merupakan fungsi dari bagian-bagian dari otak yang terpisah,
serta merupakan hasil dari evolusi manusia selama jutaan tahun.
Seiring perkembangan zaman, orang-orang mulai sadar akan pentingnya intelegensi dan
pengetesannya. Banyak para ahli psikologi yang mulai meneliti dan membuat berbagai hipotesis
tentang kecerdasan. Muncullah perbedaan pendapat dengan masing-masing bukti yang dianggap
kuat oleh masing-masing pihak.

Ada yang menganggap bahwa, kecerdasan adalah konsep tunggal yang dinamakan Faktor G (General
Intelligence). Ada juga yang menganggap kecerdasan itu pada intinya terbagi jadi dua macam set
kemampuan, yaitu fluid (Gf) dan crystallized (Gc). Oleh sebab itu, sepanjang abad ke-20, berbagai
macam pengetesan kecerdasan pun akhirnya banyak yang berpatokan ke pandangan-pandangan itu.

Faktor lain yang turut andil dan memiliki peran besar dalam membentuk kecerdasan seseorang,
yakni faktor genetik. Ini lah teori yang dimaksud oleh Galton. Maka, umumnya tingkat IQ seseorang
tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil hingga dewasa.

Namun, tidak menutup kemungkinan adanya hal-hal lain yang mempengaruhi tingkat kecerdasan
intelektual seseorang. Misalnya, seperti lingkungan dan ilmu pengetahuan yang didapat selama
proses akademik.

Jenis-Jenis Intelligent Quotient (IQ)

Mengutip Very Well Mind, menurut Howard Gardner awalnya ada delapan jenis kecerdasan
manusia. Kedelapan jenis IQ itu antara lain, sebagai berikut.

Kecerdasan linguistik (verbal-linguistic)

Kecerdasan matematik atau logika (logical-mathematical)

Kecerdasan spasial (visual-spatial)

Kecerdasan kinetik dan jasmani (bodily-kinesthetic)

Kecerdasan musikal (music-rhythmic and harmonic)

Kecerdasan interpersonal (interpersonal)

Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal)

Kecerdasan naturalis (naturalistic)

Nah, seiring berjalannya waktu, akhirnya Gardner menambahkan satu lagi aspek kecerdasan
kesembilan, yaitu eksistensial (existential). Kecerdasan yang mencakup sisi spiritual dan
transendental. Walaupun akhirnya jenis kecerdasan ini mulai populer, tapi teori mengenai
eksistensial ini mendapat banyak kritik karena kurangnya bukti empiris.
Oleh karena itu, sampai sekarang para ahli belum sepakat dalam mendefinisikan apa itu kecerdasan,
diukur menggunakan alat apa, serta apa arti dari skor kecerdasan seseorang. Di beberapa negara
maju, sekarang banyak yang sudah tidak memakai istilah tes IQ lagi. Alih-alih, mereka menyebutnya
dengan tes tertentu, seperti tes kemampuan akademik, tes kecerdasan verbal, dan sebagainya.

Pengertian Emotional Quotient (EQ)

Emotional Quotient atau EQ merupakan kecerdasan emosional yang berkaitan dengan karakter.
Kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan diri dalam mengontrol perasaan, mengenali
perasaan orang lain, adaptasi, disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan juga komitmen. EQ pun
terkait dengan kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, dan mengontrol emosi
dirinya serta emosi terhadap orang-orang di sekitarnya.

Seseorang yang tidak memiliki EQ yang baik, tidak akan bisa mengontrol amarah, kurang terbuka,
sulit bekerja sama dengan orang lain, mudah curiga, susah memaafkan, hingga tidak bisa berempati,
dan lain sebagainya.

Banyak hal dalam hidup yang dibangun oleh kecerdasan emosional daripada kecerdasan intelektual.
Para peneliti pun mengatakan, bahwa EQ mempunyai posisi lebih penting daripada IQ.

Sebab, IQ tidak sama dengan EQ. Bisa saja seseorang yang memiliki IQ rendah, tapi ia memiliki EQ
yang amat tinggi. Di samping itu, EQ juga bukan turunan maupun bawaan sejak lahir. EQ dapat
diasah, diperkuat, serta diajarkan kapan saja melalui pendidikan karakter, memahami perasaan
orang lain, dan sebagainya

Begitu juga dalam dunia kerja. EQ menjadi satu hal yang sangat penting. Sebab, kamu tentu tidak
akan bekerja seorang diri. Kamu akan berhubungan dan berkomunikasi dengan banyak pihak, seperti
rekan kerja, atasan, hingga klien. Maka dari itu, kecerdasan emosional yang baik diperlukan agar
kamu bisa menjalin kerja sama yang baik pula.

Sejarah Emotional Quotient (EQ)

Konsep Emotional Quotient pertama kali diciptakan oleh Keith Beasley yang dimuat dalam tulisannya
di artikel Mensa pada tahun 1987. Akan tetapi, istilah EQ ciptaanya baru mendunia (dan berubah
menjadi EI) setelah Daniel Goleman menerbitkan bukunya pada tahun 1995 yang berjudul
“Emotional Intelligence – Why it can matter more than IQ”. Walaupun buku Goleman dianggap
bukan sebagai buku akademik, tapi konsep EI yang disusun olehnya membuat para ahli psikologi lagi-
lagi berlomba-lomba membuat penelitian tentang hal ini.

Alasan Goleman mengubah istilah EQ menjadi EI karena lebih tepat penggunaannya untuk
menjelaskan konsep kecerdasan emosional yang dimaksud. Dari situ lah, akhirnya para ahli juga
lebih milih istilah Emotional Intelligence (EI).
Namun, walau konsep EI ini sudah diterima di kalangan umum. Masih banyak ilmuwan dan praktisi
psikologis yang tetap skeptis dengan konsep kecerdasan emosional. Mereka sering sekali mengkritik
cara pengetesannya.

Pasalnya, ilmuwan harus bekerja berdasarkan bukti. Jika seorang ilmuwan di bidang apapun
membuat suatu hipotesis, maka harus didukung dengan pengukuran yang akurat.

Jenis-Jenis Emotional Quotient (EQ)

Goleman pun membagi kemampuan-kemampuan emosional ini menjadi lima jenis. Kelima jenis EQ
itu antara lain, sebagai berikut.

Kesadaran diri,

Kontrol diri,

Kemampuan sosial,

Empati,

Motivasi.

Menurut Goleman, orang yang memiliki IQ tinggi tanpa kelima kemampuan ini, akan terhambat
dalam kegiatan akademik serta pekerjaannya.

(TQ)

Transcendental Quotient atau TQ merupakan kecerdasan transendental yang berkaitan dengan


kemampuan seseorang dalam memaknai hidup dan kehidupannya melalui perspektif agama. TQ juga
bisa kita sebut sebagai kecerdasan ruhaniah/ilahiyah, yaitu pengembangan dari kecerdasan spiritual
(SQ). Kecerdasan transendental ini memiliki konsep visioner yang jauh ke depan.

TQ berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk memahami dan melaksanakan aturan


transendental itu sendiri. Bagi umat Islam, aturan trasendentalnya adalah Al-Quran dan sunnah Nabi
Muhammad SAW.

Sementara bagi umat lain, aturan trasendentalnya adalah peraturan-peraturan yang ada dalam
kitab-kitab agama mereka masing-masing. Meski begitu, konsep kecerdasan transendental ini lebih
ditujukan untuk umat Islam.

Kecerdasan transendental pada dasarnya harus tercermin pada perilaku manusia. Pemahaman
filosofis terhadap kecerdasan transendental dan penerapannya secara konsekuen dan konsisten,
memberikan banyak terhadap perilaku manusia di dalam berbagai kondisi. Selain perilaku dalam
menjalankan ibadah, perilaku seseorang dengan kecerdasan transendental tinggi juga tercermin
pada akhlak mereka yang mulia.
Sejarah Transcendental Quotient (TQ)

Konsep kecerdasan yang satu ini merupakan konsep paling baru yang mulai diterima sama banyak
orang. Lebih mengejutkannya lagi, konsep kecerdasan transendental ini diciptakan oleh orang
Indonesia lho, Grameds.

TQ dipelopori oleh pemikiran Toto Tasmara yang diterbitkan dalam buku berjudul Kecerdasan
Ruhaniah (Transcendental Intelligence) pada tahun 2001. Kemudian diteliti lebih lanjut oleh
Syahmuharnis dan Harry Sidharta di tahun 2006 dengan menerbitkan buku Transcendental Quotient:
Kecerdasan Diri Terbaik.

Pada bagian pengantar Toto menyampaikan, bahwa penggunaan kata kecerdasan ruhaniah atau
Transcendental Intelligence dimaksudkan agar orang-orang lebih mudah memahami perbandingan
konsep buatannya dengan konsep kecerdasan spiritual negara Barat. Konsep yang ia tawarkan
banyak merujuk pada Al-Quran dan hadis yang diyakini sebagai sumber pemikiran yang bersifat
universal dan juga sebagai cara hidup manusia (way of life).

Dalam menyajikan konsep kecerdasan transendental, Toto banyak mengaitkannya dengan ajaran
mahabbah dan akhlak. Menurutnya, kecerdasan ruhaniah adalah kecerdasan yang berpusatkan pada
hati yang diliputi rasa cinta (mahabbah) kepada Allah SWT. Toto pun menggunakan taqwa sebagai
indikator pengukurannya.

Melalui pemikiran Toto, Syahmuharnis dan Harry Sidharta mencoba penelitian lebih lanjut untuk
menjelaskan berbagai pandangan ilmiah tentang spiritualisme dan konsep kehidupan menurut
aturan transendental. Menurut keduanya, konsep kecerdasan ini sangat perlu dipahami agar
meresap ke dalam akal budi manusia, sehingga melandasi seluruh perilakunya sehari-hari.

Konsep TQ dalam buku mereka pun sama dengan konsep TI ciptaan Toto. Hanya saja, TQ yang
merupakan pengembangan lanjutan dari TI ciptaan Toto ini lebih jelas lagi, terutama dalam
penjabaran cara pengukuran dan kaitan TQ dengan konsep kecerdasan lainnya yang sudah ada sejak
puluhan tahun lalu, seperti IQ, EQ, SQ, dan lainnya

(TQ)

Menurut Syahmuharnis dan Harry, indikator perilaku manusia dengan kecerdasan transendental
(TQ) yang tinggi dapat diperhatikan dari dua jenis perilaku, yaitu dalam beribadah dan kehidupan
sehari-hari. Berikut daftar perilaku manusia yang termasuk dalam dua jenis TQ.

Perilaku dalam beribadah mencakup dua hal, yaitu:

Hanya menyembah Allah SWT.


Menjalankan kewajiban agama.

Dalam perilaku sehari-hari mencakup 22 hal, antara lain:

Menyayangi kedua orang tua.

Memiliki integritas yang tinggi.

Bertanggung jawab.

Berlaku adil.

Disiplin dan sungguh-sungguh.

Cerdas dan berilmu.

Tahan terhadap cobaan.

Selalu mensyukuri nikmat.

Terpercaya (amanah).

Tidak sombong.

Produktif, inovatif, dan kreatif.

Selalu berpikir positif dan termotivasi.

Selalu berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran.

Menjaga kebersihan diri.

Percaya diri dan berusaha konsisten.

Tidak pemarah dan suka memberi maaf.

Tidak boros dan kikir.

Bersatu dan menjaga silaturahmi.

Peduli dan menghargai.

Selalu menjaga ucapannya.

Selalu berusaha untuk lebih baik.

Memiliki toleransi yang tinggi tanpa mengorbankan aqidah.

Bagi para pencipta konsep kecerdasan transendental ini, manusia yang memiliki TQ tinggi maka
secara otomatis memiliki EQ, SQ, dan Quotient lainnya dengan tingkat yang tinggi pula. Namun,
manusia itu belum tentu memiliki IQ yang tinggi, tapi termasuk orang yang cerdas.

Orang-orang yang memiliki TQ tinggi telah memahami dan mengamalkan aturan transendental
secara sungguh-sungguh. Tata aturan bagi manusia untuk menjalankan hidup, yaitu memperoleh
kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Aturan tersebut mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam menjalankan ibadah
maupun dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka menjalankan kehidupan dengan selalu
mengerahkan akal-budi, menjaga kesadaran diri, mengedepankan etika dan moral, dilandasi iman
dan takwa, mengacu kepada aturan trasendental, dan selalu mengiringi perjuangan hidupnya
dengan doa dan ibadah. Semua perilaku di atas adalah komponen kecerdasan transendental (TQ).

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas, tentunya Grameds bisa menarik kesimpulan dari perbedaan IQ, EQ, dan TQ.
Ketiganya memiliki perbedaan yang sangat jauh. IQ digunakan untuk mengukur kecerdasan
intelektual, EQ mengukur kecerdasan emosional seseorang, sedangkan TQ adalah ukuran
kecerdasan dari sudut pandang agama.

Ketiganya memiliki aspek atau jenisnya masing-masing. Grameds pun bisa mengembangkan aspek-
aspek tersebut untuk meningkatkan tiga jenis kecerdasanmu. Grameds dapat menemukan banyak
sekali buku-buku cara meningkatkan IQ, EQ, dan TQ di Gramedia kesayangan mu atau melalui
Gramedia.com.

Nah, itulah penjelasan singkat dan sederhana mengenai IQ, EQ, dan TQ. Sekarang Grameds sudah
lebih paham, bukan?

Anda mungkin juga menyukai