Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia Instagram telah menjadi salah satu aplikasi dengan pengunduh

terbanyak mulai dari kalangan masyarakat biasa, pejabat, artis, hingga sampai kepada

kalangan civitas akademia yaitu mahasiswa (Mahendra, 2017). Karena

kepopulerannya itulah sehingga Instagram mempunyai peran terhadap gaya hidup

penggunanya, tak terkecuali mahasiswa (Wicaksono, 2017).

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu

ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk

perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan

universitas (Hartaji, 2012). Mahasiswa merupakan populasi yang mendominasi

penggunaan media sosial Instagram di Indonesia. Salah satu media sosial yang

banyak digemari dan merupakan salah satu fitur unggulan di smartphone adalah

Instagram (Miranda, 2017).

Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto, menerapkan filter digital, dan

membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial (Agustina, 2017). Sistem sosial

di dalam instagram adalah dengan menjadi pengikut akun pengguna lainnya

1
atau memiliki pengikut dari pengguna Instagram lainnya (Byun, 2009). Santoso

(2017) dalam penelitiannya menuturkan bahwa di era digital saat ini, sosial media

memiliki peran penting sebagai alat komunikasi dimana setiap pengguna dapat

berbagi informasi, pengetahuan, dan saling terhubung. Sosial media merupakan

konsep ruang digital dimana setiap pengguna dapat membuat rangkuman profil,

mendeskripsikan dirinya untuk berinteraksi dengan orang-orang dari kalangan

berbeda, baik dalam lingkup antar individu maupun dengan perusahaan (Agustina,

2020). Komunikasi antara pengguna Instagram dapat terjalin dengan memberikan

tanda suka (like) dan juga mengomentari foto-foto yang telah diunggah oleh

pengguna lainnya (Sifa, 2018).

Intensitas penggunaan instagram yang berlebihan pada mahasiswa mengarah

pada perilaku adiksi (Byun, 2009). Andreassen (2015) mendefinisikan adiksi terhadap

media sosial sebagai perilaku individu yang terlalu memperhatikan media sosial yang

ia miliki, didorong oleh motivasi yang sangat kuat untuk masuk atau menggunakan

media sosial, dan menghabiskan banyak waktu serta tenaga untuk bermain jejaring

sosial, sehingga mengganggu aktivitas sosial, pekerjaan atau akademik, hubungan

interpersonal, serta kesejahteraan atau kesehatan psikologis individu tersebut. Adiksi

adalah kecanduan atau keinginan yang sangat kuat dalam diri individu untuk

mendapatkan kebutuhan yang diinginkan, timbulnya adiksi karena dapat

menimbulkan rasa senang atau kepuasaan, tanpa memikirkan dampak negatif yang

ditimbulkan (Antilia, 2016).

2
Kemudian menurut pendapat Kuss dan Griffiths (2011) mengatakan bahwa

perilaku adiksi terhadap media sosial masuk ke dalam salah satu tipe perilaku adiksi

internet, yaitu cyber-relationship addiction, karena tujuan dan motivasi utama untuk

menggunakan media sosial adalah untuk membangun dan mempertahankan hubungan

baik daring maupun non-daring.

Adiksi pada media sosial belum menjadi bagian dari gangguan mental

(Yonatan, 2018). Adiksi media sosial yaitu perhatian yang berlebihan terhadap media

sosial yang dirasakan individu, sehingga mendorong individu tersebut untuk

menggunakannya secara berkepanjangan, dan menganggu berbagai aktivitas sosial

lain, seperti: pekerjaan dan studi, hubungan sosial, serta kesehatan, dan kesejahteraan

psikologisnya (Andreassen & Pallesen, 2015). Beberapa konsekuensi negatif lain dari

adiksi media social adalah mengalami penurunan prestasi akademis, permasalahan

dalam relasi sosial dengan teman, hingga persoalan-persoalan psikologis, seperti:

kesepian hingga depresi (Rahardjo. 2020).

Penelitian ini akan mengkaji mengenai perilaku adiksi mahasiswa yang ada di

Pekanbaru. Menurut Rahardjo (2020) adiksi media sosial Instagram menjadi penting

untuk diteliti karena beberapa alasan. Pertama, bahwa mayoritas riset terdahulu

sifatnya masih lebih luas karena berfokus pada adiksi internet. Kedua, media sosial

memberikan platform yang bervariasi dan luas bagi individu untuk berinteraksi dan

terkait dengan banyak orang, Ketiga, penyebab internal yang banyak dilibatkan

sebagai penyebab adiksi sosial media sosial adalah tipe kepribadian, namun masih

belum banyak sehingga masih dibutuhkan riset yang komprehensif mengenai topik

3
ini. Kepribadian merupakan faktor internal yang paling cepat mempengaruhi harga

diri (Agustina, 2020).

Alasan penulis menjadikan mahasiswa sebagai subjek penelitian ini adalah

bahwa 89,7% pengguna internet di Indonesia adalah mahasiswa, dan 97% dari

pengguna internet telah mengakses konten media sosial (APJII, 2018). Pengguna

sosial media di Indonesia mencapai 79 juta di Tahun 2016 dimana setara dengan 30%

total populasi penduduk. Lebih detail, penggunaan sosial media dengan jenis mobile

phone tercatat sebanyak 66 juta, dimana telah mewakili 25% dari total penduduk di

Indonesia (Fitri, 2020).

Selanjutnya, peneliti memilih media sosial Instagram untuk diangkat dalam

penelitian ini dikarenakan instagram merupakan media sosial yang paling banyak

diakses oleh mahasiswa saat ini. Penulis telah melakukan survey awal untuk melihat

gambaran mengenai perilaku adiksi mahasiswa menggunakan Instagram. adapun

hasil survey adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1 Survey online mengenai penggunaan Instagram


Tanggapan
No Pernyataan
SS S CS TS STS
1 Saya menggunakan instagram Diatas 7,1% 28,6% 17,9% 28,6% 17,9%
8 jam
2 Saya menggunakan instagram untuk 21,4% 42,9% 32,1% 3,6% -
mengisi waktu kosong saja
3 Saya menggunakan instagram karena 35,7% 42,9% 14,3% 7,1% -
mampu meringankan rasa bosan
4 Saya tidak tertarik pada hal lainnya - 7,1% 25% 64,3% 3,6%
selain instagram untuk mengisi waktu
5 Saya sering lupa waktu jika sudah 14,3% 42,9% 7,1% 28,6% 7,1%
menggunakan instagram
Sumber: Survey online, 2020

4
Survey yang dilakukan penulis pada mahasiswa kota Pekanbaru, mahasiswa

menggunakan instagram lebih dari 8 jam setiap harinya dapat memprediksi

keterlibatan individu terhadap perilaku adiksi. Artinya, semakin sering mahasiswa

menggunakan instagram setiap harinya maka semakin tinggi kecenderungan

mahasiswa untuk terlibat ke dalam perilaku adiksi pada instagram. Hasil data

deskriptif responden juga menunjukkan bahwa aktivitas yang paling sering dilakukan

remaja saat menggunakan Instagram adalah mengeksplor berbagai foto/video yang

berkaitan dengan hobi/kesukaan kemudian diikuti dengan melihat postingan

instastory teman/user Instagram lain. Instastory merupakan salah satu tools dalam

aplikasi instagram untuk sharing foto/video dengan batasan waktu untuk tampil.

Penelitian mengenai hubungan harga diri dan perilaku adiksi media sosial

pernah dilakukan oleh Rahardjo (2019) yang menemukan bahwa harga diri yang

negatif mendorong individu untuk terlibat dalam adiksi internet, penggunaan media

sosial yang terus-menerus atau berlebihan yang berpotensi menjadi perilaku adiksi.

Harga diri kemudian menjadi faktor yang menonjol yang dianggap berkorelasi

dengan adiksi internet secara lebih kuat dibandingkan beberapa faktor internal

lainnya. Bagi individu dengan harga diri negatif, internet dianggap sebagai tempat

mendapatkan dukungan sosial dan membantu mengurangi perasaan tidak nyaman

yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari (Nie, Zhang, & Liu, 2017). Hal ini

diperkuat dengan beberapa studi terdahulu yang memperlihatkan adanya faktor

kesepian yang muncul pada individu dengan adiksi internet dan harga diri yang

negatif (Agaj, 2015) .

5
Penulis juga melakukan observasi lapangan dengan cara mengamati perilaku

mahasiswa kota Pekanbaru dalam menggunakan Instagram. Dari observasi sementara

yang dilakukan penulis melihat bagaimana mahasiswa kota Pekanbaru sangat aktif

dalam sosial media Instagram. bisa dilihat dari intensitas mereka aktif mengelola

akun instagram setiap harinya. Alasan penulis menjadikan mahasiswa kota Pekanbaru

sebagai subjek penelitian adalah karena perkembangan kota Pekanbaru yang

mendukung gaya hidup mahasiswa.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan

judul: Hubungan Harga Diri Dengan Perilaku Adiksi di Media Sosial Instagram Pada

Mahasiswa Kota Pekanbaru

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari penguraian latar belakang di atas, maka peneliti

merumuskan masalah yang akan di teliti sebagai berikut, apakah ada hubungan

harga diri dengan perilaku adiksi di media sosial Instagram pada mahasiswa Kota

Pekanbaru ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui hubungan harga diri dengan perilaku adiksi di media

sosial Instagram pada mahasiswa Kota Pekanbaru.

6
1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut:

a. Manfaat Akademis

1. Penelitian ini sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan

S1 prodi Psikologi di Universitas Abdurrab

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih besar

terhadap perkembangan ilmu Psikologi

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk

penelitian selanjutnya.

b. Manfaat praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wadah pengembangan

wawasan bagi peneliti

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan bacaan

yang ilmiah bagi kalangan intelektual.

1.5 Keaslian Penelitian

1.5.1 Keaslian Topik

Keaslian topik yang terkait dengan perilaku adiksi, pernah ada peneliti

sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan jika dilihat dari

topiknya, yaitu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Wahyu Rahardjo, Nurul

Qomariyah, Inge Andriani, Matrissya Hermita1 & Firda Nur Zanah (2020) dengan

judul Adiksi Media Sosial pada Remaja Pengguna Instagram dan WhatsApp:

7
Memahami Peran Need Fulfillment dan Social Media Engagement. DP Budi Susetyo

(2018) dengan judul Ancaman Adiksi Internet dan Pencegahannya.

Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti ingin mengambil judul “Hubungan

Harga Diri Dengan Perilaku Adiksi di Media Sosial Instagram Pada Mahasiswa Kota

Pekanbaru”.

1.5.2 Keaslian Teori

Wahyu Rahardjo, Nurul Qomariyah, Inge Andriani, Matrissya Hermita1 &

Firda Nur Zanah (2020) menggunakan teori (Wild, Flisher, Bhana, & Lombard 2004,

dalam Kavas, 2009). DP Budi Susetyo (2018) menggunakan teori Byun dkk (2009).

Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari American

Psyciatric Association diagnostic and Statistical Manual Disorders V (DSM V)

(2013).

1.5.3 Keaslian Pengumpulan Data

Wahyu Rahardjo, Nurul Qomariyah, Inge Andriani, Matrissya Hermita1 &

Firda Nur Zanah (2020), DP Budi Susetyo (2018) sama-sama menggunakan skala

yang dikembangkan oleh Sheldon, Elliot, Kim, dan Kasser (2001). Skala ini memiliki

6 aspek, yaitu (1) competence, (2) relatedness, (3) pleasure, (4) security, (5) self-

esteem, dan (6) popularity.

8
Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpulan data berupa

skala perilaku adiksi dari American Psyciatric Association diagnostic and Statistical

Manual Disorders V yang disusun sendiri oleh peneliti.

1.5.4 Keaslian Subjek

Penelitian Wahyu Rahardjo (2019) menggunakan subjek penelitian 159

penelitian dari 40 artikel ilmiah antara tahun 2005-2018 dan melibatkan 120.825

peserta. Penelitian Wahyu Rahardjo, Nurul Qomariyah, Inge Andriani, Matrissya

Hermita1 & Firda Nur Zanah (2020) menggunakan subjek penelitian siswa SMA

Negeri 1 Ngawi sebanyak 120 responden. Penelitian DP Budi Susetyo (2018)

menggunakan subjek penelitian masyarakat. Dyotisaddha (2015) menggunakan

subjek penelitian remaja.

Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti ingin mengambil sampel Mahasiswa

rentang usia 19-22 tahun di Kota Pekanbaru.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Adiksi

2.1.1 Definisi Perilaku Adiksi

Adiksi adalah kondisi yang kompleks, suatu penyakit otak yang

dimanifestasikan oleh penggunaan zat secara kompulsif meski dengan konsekuensi

merugikan. Berbagai istilah telah digunakan selama bertahun-tahun untuk merujuk

pada penyalahgunaan zat (APA, 2017).

Dalam ketergantungan perilaku, aktivitas pencarian zat dan bukti terkait pola

penggunaan patologis telah ditekankan, sedangkan ketergantungan fisik mengacu

pada efek fisik (fisiologis) dari beberapa episode penggunaan zat (Salicetia, 2015).

Ketergantungan psikologis, juga disebut habituasi, ditandai oleh hasrat terus-menerus

atau sebentar-sebentar (yaitu keinginan kuat) untuk penggunaan zat untuk

menghindari keadaan disforik. Ketergantungan perilaku, fisik, dan psikologis adalah

ciri khas gangguan penggunaan zat (Sadock, dkk., 2015).

Menurut definisi terbaru yang diajukan oleh American Society of Addiction

Medicine (ASAM), adiksi bukan hanya perilaku tapi juga penyakit otak kronis.

Adiksi meliputi (A) ketidakmampuan untuk secara konsisten menjauhkan diri; (B)

gangguan dalam pengendalian perilaku; (C) keinginan atau peningkatan untuk obat-

obatan atau pengalaman berharga; (D) berkurangnya pengakuan akan masalah yang

10
signifikan dengan perilaku dan hubungan interpersonal seseorang; dan (E) disfungsi

respons emosional (Sdrulla, dkk., 2014).

Adiksi merupakan suatu kondisi ketergantungan fisik dan mental terhadap

hal-hal tertentu yang menimbulkan perubahan perilaku bagi orang yang

mengalaminya (Salicetia, 2015). Dalam adiksi, terdapat tuntutan dalam diri untuk

menggunakan secara terus menerus dengan disertai peningkatan dosis terutama

setelah terjadinya ketergantungan secara psikis dan fisik serta terdapat pula

ketidakmampuan untuk mengurangi dan/atau menghentikan meskipun sudah

berusaha keras (Pramuditya , 2015).

2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Adiksi

Faktor-faktor yang mempengaruhi adiksi internet menurut Montag dan Reuter

(2015), yaitu:

a. Faktor sosial

Kesulitan dalam melakukan komunikasi interpersonal atau individu yang

mengalami permasalahan sosial dapat menyebabkan penggunaan internet

yang berlebihan. Hal tersebut disebabkan individu merasa kesulitan dalam

melakukan komunikasi dalam situasi face to face, sehingga individu akan

lebih memilih menggunakan internet untuk melakukan komunikasi karena

dianggap lebih aman dan lebih mudah daripada dilakukan secara face to face.

Rendahnya kemampuan komunikasi dapat juga menyebabkan rendahnya

11
harga diri, mengisolasi diri menyebabkan permasalahan dalam hidup seperti

kecanduan terhadap internet (Montag dan Reuter, 2015).

b. Faktor psikologis

Kecanduan internet dapat disebabkan karena individu mengalami

permasalahan psikologis seperti depresi, kecemasan, obsesive compulsive

disorder (OCD), penyalahgunaan obat-obat terlarang dan beberapa sindroma

yang berkaitan dengan gangguan psikologis. Gangguan tersebut memicu

individu untuk melarikan diri dari masalah, menerima hiburan menjadi rasa

senang dari penggunaan internet. Pelarian diri ini menyebabkan individu

terdorong untuk lebih sering menggunakan internet sebagai pelampiasan dan

akan menyebabkan kecanduan (Montag dan Reuter, 2015).

c. Faktor biologis

Penelitian yang dilakukan oleh Montag & Reuter (2015) dengan

menggunakan functional magnetic resonance image (fMRI) menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan fungsi otak antara individu yang mengalami

kecanduan internet dengan yang tidak. Individu yang mengalami kecanduan

internet menunjukkan bahwa dalam memproses informasi jauh lebih lambat,

kesulitan dalam mengontrol dirinya dan memiliki kecenderungan kepribadian

depresif.

Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan sebelumnya, terdapat tiga faktor

yang mempengaruhi adiksi internet menurut Montag dan Reuter (2015) yaitu faktor

sosial, psikologi, dan biologis

12
2.1.3 Aspek-Aspek Adiksi Internet

Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai adiksi berikut adalah aspek-aspek

perilaku adiksi berdasarkan panduan American Psyciatric Association diagnostic and

Statistical Manual Disorders V (DSM V) yang diterbitkan pada tahun 2013.

a. Salience

Aspek ini berkaitan dengan pikiran individu yang mengalami adiksi oleh

suatu zat atau perilaku, individu tersebut terus menerus memikirkan suatu zat

atau perilaku yang menyebabkan perilaku adiksi, tidak fokus melakukan

sesuatu yang sedang dikerjakan dan senang mengobrol mengenai hal yang

menyebabkan adiksi tersebut.

b. Tolerance

Aspek ini berkaitan dengan waktu yang dibutuhkan oleh individu yang

mengalami adiksi untuk kembali mencicipi zat atau melakukan aktivitas yang

menjadikan individu tersebut mengalami adiksi, ditandai dengan adanya

peningkatan waktu aktivitas, peningkatan jeda setiap aktivitas, kesulitan

memanajemen waktu.

c. Mood modification

Aspek ini mengarah kepada perilaku individu yang mengalami adiksi

menjadikan perilaku atau zat yang membuat individu tersebut mengalami

adiksi menjadi pelarian ketika menghadapi masalah, merasakan kecemasan

ketika tidak melakukan sesuatu yang mengindikasi dan peningkatan frekuensi

aktivitas ketika menghadapi masalah.

13
d. Relapse

Aspek ini dapat dilihat ketika individu yang sebelumnya meninggalkan

kebiasaan yang menimbulkan adiksi kemudian kembali mengerjakan

kebiasaan tersebut, timbulnya perasaan cemas setelah beberapa saat

meninggalkan kebiasaan tersebut dan timbulnya kecenderungan untuk

kembali melakukan hal tersebut.

e. Withdrawl

Aspek withdrawl berhubungan dengan afektif individu yang bersangkutan

dengan adiksi, ingin selalu terus melakukan aktivitas adiksi, merasa ada yang

kurang ketika belum melakukan aktivitas adiksi dan terganggunya aktivitas

rutinitas.

f. Conflict

Aspek conflict adalah terdapatnya gangguan hubungan antara subjek dengan

orang-orang di sekelilingnya akibat dari perilaku adiksi, berkurangnya minat

untuk berinteraksi dan terdapat kebencian dalam hati terhadap orang banyak.

g. Problems

Aspek problems adalah adanya masalah dalam keseharian individu akibat dari

perilaku adiksi, perasaan tidak puas akan kehidupan dan berkurangnya

motivasi internal dari individu tersebut.

2.2 Harga Diri

14
2.2.1 Pengertian Harga Diri

Salah satu perkembangan psikologis yang dialami oleh remaja adalah

perkembangan sosio-emosi yang salah satunya adalah harga diri, yang merupakan

keseluruhan cara yang digunakan untuk mengevaluasi diri kita, dimana harga diri

merupakan perbandingan antara ideal-self dengan real-self (Santrock, 2012). Harga

diri adalah sikap yang dimiliki tentang dirinya sendiri, baik positif maupun negatif

(Rosenberg, 1965).

Menurut Coopersmith (dalam Lestari & Koentjoro, 2002) mengatakan bahwa

harga diri merupakan hasil evaluasi individu terhadap dirinya sendiri yang

diekspresikan dalam sikap terhadap diri sendiri. Evaluasi ini menyatakan suatu sikap

penerimaan atau penolakan dan menunjukkan seberapa besar individu percaya bahwa

dirinya mampu, berarti, berhasil, berharga menurut standart dan nilai pribadinya

(Santrock, 2012).

Harga diri adalah gagasan mengenai diri secara global yang mengacu pada

keseluruhan evaluasi diri sebagai individu, atau bagaimana orang merasakan

mengenai diri mereka sendiri dalam arti yang komprehensif (Verkuyten, 2003).

Baron & Byrne (2012) juga berpendapat bahwa harga diri adalah evaluasi diri yang

dibuat oleh setiap individu, sikap orang terhadap dirinya sendiri dalam rentang

dimensi positif sampai negatif. Baron & Byrne menegaskan harga diri merujuk pada

sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, mulai dari sangat negatif sampai sangat

positif, individu yang ditampilkan nampak memiliki sikap negatif terhadap dirinya

sendiri.

15
Harga diri yang tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri,

evaluasi positif ini sebagian berdasarkan opini orang lain dan sebagian berdasarkan

dari pengalaman spesifik (Verkuyten, 2003). Sikap terhadap diri sendiri dimulai

dengan interaksi paling awal antara bayi dengan ibunya atau pengasuh lain,

perbedaan budaya juga mempengaruhi apa yang penting bagi harga diri seseorang

(Baron & Byrne, 2012).

Menurut Kwan dan Singelis (dalam Baron & Byrne, 2012) harmoni dalam

hubungan interpersonal merupakan elemen yang penting bagi budaya individualis.

Tingkah laku individu dengan harga diri yang relatif rendah lebih mudah

diprediksikan dari pada individu dengan harga diri yang tinggi, hal ini dikarenakan

skema diri yang negatif diorganisasikan lebih ketat dari pada skema diri yang positif

(Malle & Horowitz dalam Baron & Byrne, 2012).

Namun, pada umumnya individu mengevaluasi diri mereka sendiri dalam

dimensi yang majemuk seperti olah raga, akademis, hubungan interpersonal, dan lain

sebagainya padahal harga diri secara keseluruhan mewakili rangkuman dari evaluasi

spesifik ini (Marsh & Pelham dalam Baron & Byrne, 2012).

Tokoh lain yang juga memberikan pengertian tentang harga diri adalah

Minchintin (dalam Lestari & Koentjoro, 2002) yang mengemukakan bahwa harga diri

merupakan penilaian atau perasaan mengenai diri kita sendiri sebagai manusia baik

berdasarkan penerimaan akan diri dan tingkah laku sendiri, maupun berdasarkan

keyakinan akan bagaimana diri kita.

16
Perasaan mengenai diri sendiri ini berpengaruh pada bagaimana kita

berhubungan dengan orang lain disekitar kita dan aspek-aspek lain dalan kehidupan

(Baron & Byrne, 2012). Menurut Baron & Byrne (2012) Harga diri sering kali diukur

sebagai sebuah peringkat dalam dimensi yang berkisar dari negatif sampai positif atau

rendah sampai tinggi.

Sebuah pendekatan yang berbeda adalah dengan meminta individu untuk

mengindikasikan self-ideal mereka seperti apa, self mereka yang sebenarnya, dan

kemudian membandingkan perbedaan diantara keduanya (Baron & Byrne, 2012).

Semakin besar perbedaan real self dengan ideal self maka semakin rendah harga diri.

Walaupun perbedaan spesifiknya dapat bervariasi namun lama kelamaan perbedaan

self ideal dengan real self akan cenderung stabil (Strauman dalam Baron & Byrne,

2012).

Seorang individu akan merasa senang apabila seseorang akan memberikan

respon positif terhadap beberapa aspek self-ideal namun individu akan merasa kurang

senang apabila seseorang mengatakan bahwa dalam diri individu tidak terdapat

beberapa aspek dari self-ideal (Eisenstand & Leippe dalam Baron & Byrne, 2012).

Robinson (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mengemukakan bahwa harga diri

lebih spesifik dari konsep diri, yang melibatkan unsur evaluasi atau penilaian

terhadap diri.

Menurut Robinson, banyak teoretikus kepribadian, seperti Carl Rogers,

konsep diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang paling penting (Baron &

Byrne, 2012). Konsep diri adalah kerangka kognitif yang mengorganisir bagaimana

17
kita mengetahui diri kita dan bagaimana kita memproses informasi-informasi yang

relevan dengan diri (Aditomo & Retnowati, 2004).

Tokoh lain seperti Baron & Byrne (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) juga

menyebutkan bahwa konsep diri, termasuk harga diri, merupakan aspek yang sangat

penting dalam berfungsinya manusia, hal ini karena manusia memang sangat

memperhatikan berbagai hal tentang diri, termasuk siapa dirinya, seberapa positif

atau negatif seorang individu memandang dirinya, bagaimana citra yang ditampilkan

pada orang lain.

Harga diri rendah diwujudkan dalam perilaku seseorang yang memiliki

keprihatinan yang ekstrim dengan apa yang orang lain pikirkan, kurangnya otonomi

dan individualitas, dan selalu menawarkan atau menyamarkan harga diri yang rendah

(On My Own To Feet: Identity and SelfEsteem, 1997).

Harga diri rendah berasal dari pengalaman seseorang seiring dengan

pertumbuhannya, seperti:

(1) tidak adanya kasih sayang, dorongan, dan tantangan

(2) tidak terdapat cinta dan penerimaan.

(3) selalu mengalami kritikan, ejekan, sarkasme, dan sinisme

(4) adanya pemukulan fisik dan pelecehan.

(5) tidak adanya pengakuan dan pujian untuk prestasi.

(6) terdapat kelebihan dan keunikan yang selalu diabaikan (On My Own To

Feet: Identity and Self-Esteem, 1997).

18
Adanya sistem yang bermasalah yang mendorong rendahnya harga diri, hal ini

ditandai dengan adanya ketidak konsistenan didalam system tersebut, selalu

menerima hukuman apabila melakukan kesalahan, komunikasi yang terdistorsi, dan

selalu tunduk terhadap peraturan (On My Own To Feet: Identity and Self-Esteem,

1997).

Pelham & Swan (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mengemukakan dalam

konteks kesehatan mental, harga diri memiliki peran yang penting. Individu yang

memiliki harga diri tinggi berarti memandang dirinya secara positif. Individu dengan

harga diri yang tinggi sadar akan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan

memandang kelebihan-kelebihan tersebut lebih penting dari pada kelemahannya.

Sebaliknya (Baron & Byrne, 2012).

Temuan ini juga menunjukkan bahwa tingkat harga diri akademik dapat

mempengaruhi harga diri seseorang secara global, terutama pada komponen harga

diri yang positif yang berfungsi juga untuk melihat seberapa tinggi penghargaan

terhadap kemampuan belajar (Rosenberg et al., 1965).

Penelitian pada harga diri umumnya melanjutkan pada praduga dari salah satu

konsep dari tiga konseptualisasi, dan setiap konseptualisasi telah diperlakukan secara

secara independen dari yang lain. Konsep tersebut adalah (1) harga diri telah

diselidiki sebagai hasil dari perilaku. (2) harga diri telah diselidiki sebagai motif,

sehingga dapat memunculkan kecenderungan perilaku seseorang dengan cara

mempertahankan atau meningkatkan evaluasi diri yang positif. (3) harga diri telah

diselidiki sebagai alat penyangga bagi diri sendiri, karena dianggap memberikan

19
perlindungan dari pengalaman-pengalaman buruk dan berbahaya bagi diri individu

(Cast & Burke, 2002).

Dari teori yang dikemukakan oleh para ahli psikologi diatas mengenai

pengertian harga diri dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian terhadap

diri individu mengenai siapa dirinya yang berdasarkan pada keyakinan dari individu

itu sendiri.

2.1.2 Faktor-Faktor Harga Diri

Menurut Michener, DeLamater & Myers (dalam Anggraeni, 2010)

menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor dari harga diri, yaitu family experience,

performance feedback, dan social comparison.

a. Dalam family experience, hubungan orang tua-anak dikatakan penting

untuk perkembangan harga diri. Pengaruh keluarga terhadap harga diri

menunjukkan bahwa self-concept yang dibangun mencerminkan

gambaran diri yang dikomunikasikan atau disampaikan oleh orang-orang

terpenting dalam hidupnya (significant others).

b. Dalam performance feedback, umpan balik yang terus menerus terhadap

kualitas performa kita seperti kesuksesan dan kegagalan, dapat

mempengaruhi harga diri. Kita memperoleh harga diri melalui

pengalaman kita sebagai tokoh yang membuat sesuatu terjadi di dunia,

yang dapat mencapai cita-cita dan dapat mengatasi rintangan

c. Dalam social comparison, sangat penting untuk harga diri karena

perasaan memiliki kompetensi tertentu didasarkan pada hasil performa

20
yang dibandingkan baik dengan hasil yang diharapkan diri sendiri

maupun hasil performa orang lain.

Menurut Coopersmith (Anindyajati & Karima, 2004) terdapat empat faktor

yang dapat mempengaruhi harga diri, yaitu:

a. Penerimaan atau penghinaan terhadap diri. Individu yang merasa dirinya

berharga akan memiliki penilaian yang lebih baik atau positif terhadap

dirinya dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami hal tersebut.

Individu yang memiliki harga diri yang baik akan mampu menghargai

dirinya sendiri, menerima diri, tidak menganggap rendah dirinya,

melainkan mengenali keterbatasan dirinya sendiri dan mempunyai harapan

untuk maju dan memahami potensi yang dimilikinya, sebaliknya individu

dengan harga diri rendah umumnya akan menghindar dari persahabatan,

cenderung menyendiri, tidak puas akan dirinya, walaupun sesungguhnya

orang yang memiliki harga diri yang rendah memerlukan dukungan.

b. Kepemimpinan atau popularitas. Penilaian atau keberartian diri diperoleh

seseorang pada saat individu tersebut harus berperilaku sesuai dengan

tuntutan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya yautu kemampuan

seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang lain atau

lingkungannya. Pada situaasi persaingan, seseorang akan menerima dirinya

serta membuktikan seberapa besar pengaruh dan kepopulerannya.

Pengalaman yang diperoleh pada situasi itu membuktikan individu lebih

mengenal dirinya, berani menjadi pemimpin, atau menghindari persaingan.

21
c. Keluarga dan orang tua. Keluarga dan orang tua memiliki porsi terbesar

yang mempengaruhi harga diri, ini dikarenakan keluarga merupakan modal

pertama dalam proses imitasi. Alasan lainnya kareana perasaan dihargai

dalam keluarga merupakan nilai pentinga dalam mempengaruhi harga diri.

d. Keterbukaan dan kecemasan. Individu cenderung terbuka dalam menerima

keyakinan, nilai-nilai, sikap, moral dari seseorang maupun lingkungan

lainnya jika dirinya diterima dan dihargai. Sebaliknya seseorang akan

mengalami kekecewaan bila ditolak lingkungannya.

Sedangkan menurut Frey & Carlock (Anindyajati & Karima, 2004)

mengemukakan faktor-faktor dari harga diri, yaitu:

a. Interaksi dengan manusia lain. Awal interaksi adalah melalui ibu yang

kemudian meluas pada figur lain yang akrab dengan individu. Ibu yang

memiliki minat, afeksi, dan kehangatan akan menimbuljan harga diri

yang positif, karena anak merasa dicintai dan diterima seluruh

kepribadiannya.

b. Sekolah. Lingkungan sekolah adalah sumber pentung kedua setelah

keluarga. Jika individu memiliki persepsi yang baik mengenai sekolah,

individu akan memiliki harga diri yang positif. Bila sekolah dianggap

tidak memberikan umpan balik yang positif bagi individu, harga diri akan

rendah. Harga diri yang tinggi umumnya dikaitkan dengan keberhasilan

individu pula.

22
c. Pola asuh. Bagaimana orang tua mengasuh anaknya mempengaruhi harga

diri anak.

d. Keanggotaan kelompok. Jika individu merasa diterima dan dihargai oleh

kelompok, individu akan mengembangkan harga diri lebih baik di

banding individu yang merasa terasing.

e. Kepercayaan dan nilai yang dianut individu, harga diri yang tinggi dapat

dicapai bila ada keseimbangan antara nilai dan kepercayaan yang dianut

oleh individu dengan kenyataan yang didapatkannya sehari-hari.

f. Kematangan dan herediter. Individu yang secara fisik tidak sempurna

dapat menimbulkan perasaan negative terhadap dirinya

Berdasarkan beberapa pendapat berbagai ahli tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa, faktor yang dapat mempengaruhi harga diri adalah family

experience, performance feedback, dan social comparison

2.1.3 Aspek-aspek Harga Diri

Rosenberg (dalam Rahmania & Yuniar, 2012) menyatakan bahwa harga diri

memiliki dua aspek, yaitu penerimaan diri dan penghormatan diri. Kedua aspek

tersebut memiliki lima dimensi yaitu: dimensi akademik, sosial, emosional, keluarga,

dan fisik.

a. Dimensi akademik mengacu pada persepsi individu terhadap kualitas

pendidikan individu

b. Dimensi sosial mengacu pada persepsi individu terhadap hubungan sosial

individu

23
c. Dimensi emosional merupakan hubungan keterlibatan individu terhadap

emosi individu

d. Dimensi keluarga mengacu pada keterlibatan individu dalam partisipasi dan

integrasi di dalam keluarga

e. Dimensi fisik yang mengacu pada persepsi individu terhadap kondisi fisik

individu.

Menurut Coopersmith (dalam Andarini, Susandari, & Rosiana, 2012)

mengemukakan empat aspek dalam harga diri, yaitu:

a. Power (Kekuasaan). Kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol

tingkah laku diri sendiri dan orang lain.

b. Significance (Keberartian). Kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima

individu dari orang lain, hal tersebut merupakan penghargaan dan minat

dari orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya.

c. Virtue (Kebajikan). Ketaatan mengikuti kode moral, etika, dan

prinsipprinsip keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi

tingkah laku yang dilarang dan melakukan tingkah laku yang diperbolehkan

oleh moral, etika, dan agama.

d. Competence (Kemampuan). Sukses memenuhi tuntutan prestasi yang

ditandai oleh keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau

pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang berbeda.

Menurut Reasoner & Dusa (dalam Lestari & Koentjoro, 2002), komponen utama

dari harga diri adalah:

24
a. Sense of security Rasa aman bagi individu yang berhubungan dengan rasa

kepercayaan dalam lingkungan mereka. Bagi individu yang memiliki rasa

aman merasa bahwa lingkungan mereka aman untuk mereka, dapat

diandalkan dan terpercaya.

b. Sense of identity Rasa identitas melibatkan kesadaran diri menjadi seorang

individu yang memisahkan dari orang lain dan memiliki karakteristik yang

unik. Ini juga melibatkan penerimaan diri yang memiliki berbagai potensi,

kepentingan, kekuatan dan kelemahan dari orang lain. Untuk untuk

mengetahui jati diri mereka sendiri, individu harus disediakan kesempatan

untuk mengeksplorasi diri serta lingkungan mereka.

c. Sense of belonging Sense of belonging melibatkan perasaan menjadi

bagian dari dunia, perasaan yang ada dalam diri, dan juga merasa memiliki

dunia. Individu dengan sense of belonging akan merasakan bahwa tempat

mereka adalah makna dari dunia.

d. Sense of purpose Maksud yang berkaitan dengan perasaan yang optimis

dalam menetapkan dan mencapai tujuan. Orang tua dapat membantu anak-

anak mereka untuk memiliki rasa tujuan dengan menyampaikan harapan

dan mendorong menetapkan tujuan individu dan memiliki tujuan tinggi.

e. Sense of personal competence Pengertian ini berkaitan dengan kebanggaan

satu perasaan adalah kompetensi pada diri sendiri dan perasaan yang

kompeten dalam menghadapi tantangan dalam hidup. Hal ini membantu

individu untuk menjadi percaya diri untuk menghadapi kehidupan mereka

25
nanti. Individu yang tidak memiliki rasa kompetensi pribadi akan merasa

sangat tidak berdaya.

2.3 Kerangka Berpikir

Dalam studi meta-analisis ini, adiksi internet dideskripsikan sebagai suatu

keadaan di mana individu merasakan dorongan atau menampilkan perilaku

penggunaan internet dan aktivitas lainnya yang melibatkan komputer secara

berlebihan dan tidak terkontrol yang kemudian menyebabkan dirinya berada pada

tekanan dan masalah baru (Gorse & Lejoyeux, 2011). Definisi ini digunakan dalam

studi ini karena bersifat umum dan tidak terlalu spesifik.

Seiring dengan berjalannya waktu dan semakin bervariasinya penelitian yang

ada, terungkap kompleksitas dari adiksi internet. Salah satu upaya memahami

fenomena adiksi internet adalah melalui perspektif bahwa adiksi internet sangat

multidimensional. Faktor-faktor eksternal seperti status sosial ekonomi, peran dan

fungsi keluarga, keberadaan media sosial dan permainan daring di telepon genggam

menjadi beberapa hal yang dianggap memengaruhi adiksi internet (Tang, et al.,

2018). Sementara itu, faktor-faktor internal yang banyak ditemukan terkait dengan

adiksi internet antara lain adalah kepribadian dan harga diri (Kuss, van Rooij, Shorter,

Griffiths, & van de Mheen, 2013; Munno et al., 2017). Harga diri kemudian menjadi

faktor yang menonjol yang dianggap berkorelasi dengan adiksi internet secara lebih

kuat dibandingkan beberapa faktor internal lainnya.

26
Harga diri umumnya digunakan untuk merujuk kepada evaluasi individu atas

dirinyasendiri, termasuk perasaan akan nilai diri (Coopersmith, 1967; Rosenberg,

1979). Orang-orang yang memiliki harga diri rendah mengalihkannya kepada

perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat sebagai cara untuk mengatasi atau

melarikan diri dari perasaan negatif yang terkait dengan harga diri yang rendah

(Tang, et al., 2018). Obat terlarang dapat membantu beberapa remaja untuk

menyesuaikan diri dengan lebih baik dengan lingkungannya. Merokok, minum-

minuman keras, dan mengkonsumsi obat terlarang dapat mengurangi ketegangan dan

frustrasi, menghilangkan kebosanan dan rasa lelah, dan dalam beberapa kasus juga

dapat membantu remaja melarikan diri dari kenyataan hidup yang keras (Santrock,

2005).

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat di bagian 2.3

Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat di bagian 2.3

27
Mahasiswa

Perilaku Adiksi
 Salience
 Tolerance
 Mood modification
 Relapse
 Withdrawl
 Conflict
 Problems

Adiksi Adiksi
tinggi rendah

Harga diri rendah Harga diri tinggi

Keterangan:
:Apabila
: Maka
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian.

2.4 Hipotesis

28
Hipotesis berasal dari dua kata "hypo" yang artinya " dibawah" dan "thesa"

yang artinya "kebenaran". Yang kemudian cara penulisannya disesuaikan dengan

ejaan bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipetesis. Adapun

hipotesis dalam penelitian ini adalah ;

H1: Ada hubungan harga diri dengan perilaku adiksi di media sosial instagram pada

mahasiswa Kota Pekanbaru

H2: Tidak ada hubungan harga diri dengan perilaku adiksi di media sosial instagram

pada mahasiswa Kota Pekanbaru

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini

adalah adanya hubungan harga diri dengan perilaku adiksi di media sosial instagram

pada mahasiswa Kota Pekanbaru. Arah hubungan dalam penelitian ini negatif, yaitu

semakin tinggi harga diri maka akan semakin rendah perilaku adiksi, sebaliknya

semakin rendah harga diri maka semakin tinggi perilaku adiksi.

DAFTAR PUSTAKA

29
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric
Publishing.

American Psychiatric Association. (2017). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder Edition. Retrieved from
https://dsm.psychiatryonline.org/pb-assets/dsm/update/DSMUpdate2015.pdf

Andreassen, C. & Pallesen, S., (2015). Social network site addiction - an overview.
Curr Pharm Des, 20(25), pp.4053-61.

Andreassen, C.S., (2015). Online Social Network Site Addiction: A Comprehensive


Review. Curr Addict Rep, (2), pp.175–84.

Aditomo, A., & Retnowati, S. (2004). Perfeksionisme, Harga Diri, dan


Kecenderungan Depresi pada Remaja Akhir. Psikologika, XXXI(1), 1-14.

Agustina, Sari. (2020). Hubungan kesepian dengan kecanduan terhadap jejaring


sosial instagram pada siswa SMA Negeri 1 Tanjung Batu. Skripsi UIN Raden
Fatah Palembang.

Agaj, C. D. (2015). Predictive effects ofself-esteem, shyness, and loneliness


oninternet addiction: Case of Albania. . International Journal of Education
and Research, , 129.

Antilia, Tanskanen. (2016). A Prospective Study of Social Isolation, Loneliness, and


Mortality in Finlandia. Journal of Public Health. 10 1-7.

Anindyajati, M., Karima, M.C. 2004. Peran Harga Diri Terhadap Asertivitas Remaja
Penyalahguna Narkoba (Penelitian Pada Remaja Penyalahguna Narkoba Di
Tempat-Tempat Rehabilitasi Penyalahguna Narkoba). Fakultas Psikologi
Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta.

Andarini, S., Susandari, & Rosiana, D. (2012). Hubungan antara Self-Esteem dengan
Derajar Stres pada Siswa Akselerasi SD Negeri Banjarsari 1 Bandung.
Prosiding SNaPP2012: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora. III, pp. 217-224.
Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung.

APJII. (2018). Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018. Jakarta:
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.

30
Anggraini, Y. (2010). Asuhan kebidanan masa nifas. Yogyakarta: Pustaka Rihana
Baron, R., & Byrne, D. (2012). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga

Byun, S., et al. (2009). Internet addiction: metasynthesis of 1996 – 2006 quantitative
research. Cyber Psychology & Behavior. Vol. 12, Number 2, p. 203-207.

Cast, A., & Burke, P. (2002, March). A theory of self esteem. Article in Social
Forces. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/
236761671_A_Theory_of_Self-Esteem.

Coopersmith, S. (1967). The antecedents of self-esteem. San Francisco : Freeman and


Company. Friedenberg,

Fitri, A. A. (2002). Pengaruh Fear of Missing Out (FoMO) terhadap


Kecanduan Media Sosial Instagram Pada Remaja di DKI Jakarta. Skripsi
Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Jakarta
Gorse, P., & Lejoyeux, M. (2011). On-line pathological gambling: A new clinical
expression of internet addiction. In H. O. Price (Ed.), Internet Addiction (pp.
48-65). New York: Nova Science Publisher,Inc.
HaenLein, A. K. (2010). User Of The World, Unite! The Challenges and
Opportunities Of Social Media. Business Horizons., 61.

Hartaji, Damar A. (2012). Motivasi Berprestasi Pada Mahasiswa yang Berkuliah.


Dengan Jurusan Pilihan Orangtua. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
Kuss, D. J. &.Griffiths, M. D., (2011). Social networking addiction: An overview of
preliminary findings. Dalam K. Rosenberg & L. Feder (Eds.), Behavioral
addictions: Criteria, evidence and treatment, 119-141. New York, NY:
Elsevier

Kuss, D. J., van Rooij, A. J., Shorter, G. W., Griffiths, M. D., & van de Mheen, D.
(2013). Internet addiction in adolescents: Prevalence and risk factors.
Computers in Human Behavior, 29, 1987-1996. doi: 10.1016/
j.chb.2013.04.002

Lisnawita, Lucky Lhaura Van FC, Musfawati. (2020). Pengaruh Media Sosial

31
Instagram terhadap Lifestyle dan Prestasi Akademik Mahasiswa. JIPI.
Volume 05, Nomor 01, Juni 2020 : 1 – 8

Lestari, R. dan Koentjoro. 2002. Pelatihan Berpikir Optimis untuk Meningkatkan


Harga Diri Pelacur yang Tinggal di Pantai dan Luar Pantai Sosial. Jurnal
Ilmiah Berkala Psikologi Indigenous, Vol 6, No 2, 134-146.

Mahendra, B. (2017). Eksistensi Sosial Remaja Dalam Instagram(Sebuah Perspektif


Komunikasi). Volume 16, No.01, Mei 2017: 151 – 160

Miranda, S. (2017). PENGARUH INSTAGRAM SEBAGAI MEDIA ONLINE


SHOPPING FASHIONTERHADAP PERILAKU KONSUMTIF
MAHASISWI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
POLITUNIVERSITAS RIAU . JOM FISIP Vol. 4 No.1 Februari , 2.

Montag, C., & Reuter, M. (2015). Molecular genetics, personality and internet
addiction. In C. Montag & M. Reuter (Eds.), Internet addiction, studies in
neuroscience, psychology and behavioral economics. (pp. 93-109). London:
Springer International Publishing.

Munno, D., Cappellin, F., Saroldi, M., Bechon, E., Guglielmucci, F., Passera, R., &
Zullo, G. (2017). Internet addiction disorder: Personality characteristics and
risk pathological overuse in adolescents. Psychiatry Research, 248, 1-5. doi:
10.1016/j.psychres. 2016.11.008

Nie, J., Zhang, W., & Liu, Y. (2017). Exploring depression, self-esteem and verbal
fluency with different degrees of internet addiction among Chinese college
students. Comprehensive Psychiatry, 72, 114-120.

On My Own To Feet: Identity and Self-Esteem (2nd ed.). (1997). St. Marlborough:
Dept.of Education and Science Ireland.

Pramuditya, A.D. (2015). Panti Rehabilitasi Narkoba di Yogyakarta. Skripsi .


Universitas Atma Jaya

Rahardjo, Wahyu. N. Q. (2020). Adiksi Media Sosial pada Remaja Pengguna


Instagram dan WhatsApp:Memahami Peran Need Fulfillment dan Social
Media Engagement. Jurnal psikologi, 3.

Rahmania, & Yuniar, I. (2012, Juni). Hubungan antara Self-Esteem dengan

32
Kecenderungan Body Dysmorphic Disorder pada Remaja Putri. Jurnal
Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, I(2), 110-117
Rosenberg, Morris (1965). Society and the adolescent self-image. Princeton, NJ:
Princeton. University Press.

Rosenberg, M., (1979), Conceiving the Self, New York: Basic Books.

Santoso, Amanda P. I. B. (2017). Pengaruh Konten Post Instagram terhadapOnline


Engagement: Studi Kasus pada LimaMerek Pakaian Wanita . JURNAL
TEKNIK ITS , 2.

Salicetia, F. (2015). Internet addiction disorder (IAD). Procedia - Social and


Behavioral ‘ Sciences, 191, 1372–1376. doi: 10.1016/j.sbspro.2015.04.292

Sadock, B.J., Sadock, V.A., & Ruiz, P. (2015). Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry (11th ed.). Philadelphia: Wolters Kluwer.

Sdrulla, Wolfe & Higgins. (2014). Self-Control And Perceived Behavioral Control:
An Examination Of College Student Drinking. Applied Psychology in
Criminal Justice. 4 (01)

Sifa, Izka A. M. (2018). Hubungan regulasi diri dengan adiksi media


sosial Instagram pada siswa SMK Jayawisata Semarang. Volume 7 (Nomor
2), 294-301

Santrock, J.W. 2005. Adolescence, Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J.W. (2012). Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup Edisi 13.
Jilid 1, Penerjemah: Widyasinta,B). Jakarta: Erlangga.

Tang, C.M., & Chaw, L.Y. (2018). Readiness for blended learning:understanding
attitude of university students. International Journal of Cyber Society and
Education, 6(2), 79-100, doi: 10.7903/ ijcse.1086. Retrieved from academic-
pub.org/ojs/ index.php/IJCSE/ article/ view/1086

Verkuyten, M. (2003, Agustus). Positive and Negative Self-Esteem Among Ethnic


Minority Early Adolescents: Social and Cultural Sources and Threats. Youth
and Adolescence, XXXXII(4), 267-277.

33
Wibowo, Y. (2018). Hubungan self estem dan penggunaan media sosial instagram
dengan perilaku narsisme pada siswa kelas VIII SMK Penabur Jaya. Jurnal
Humaniora, 110.

Wicaksono, A. (2017). Pengaruh Media Sosial Instagram @wisatadakwahokura


Terhadap Minat Berkunjung Followers. JOM FISIP Vol. 4 No.2. Riau

34

Anda mungkin juga menyukai