Anda di halaman 1dari 20

‫اإلدغام‬

Al-Idghām

MATA KULIAH SHARAF III

DOSEN PENGAMPU :

Tri Yanti Nurul Hidayati, S.S., M.A.

Anggota Kelompok 10 :
1. Sevira Dewi Hasna Wulandari (B0522065)
2. Sofia Mazida (B0522068)
3. Fadiyah Husnul Ummah (B0522085)

PROGRAM STUDI SASTRA ARAB


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Al-
Idghām” dapat kami selesaikan dengan baik guna memenuhi tugas makalah pada
mata kuliah sharaf III.
Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Tri
Yanti Nurul Hidayati, S.S., M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Sharaf III
yang telah memberikan kami semangat dan juga bimbingan dalam pembuatan
makalah ini. Serta teman-teman seperjuangan yang telah membantu kami dalam
berbagai hal. Harapan kami, semoga informasi dan materi yang terdapat dalam
makalah ini dapat berguna bagi pembaca, dan apa yang telah kami cantumkan
dapat diterima dan dipahami pembaca dengan baik.
Kami tahu bahwa di dunia tidak ada yang sempurna kecuali Allah SWT,
Tuhan Yang Maha Sempurna, kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan maupun ketidaksesuaian
materi yang kami tulis pada makalah ini, kami mohon maaf. Kami memohon
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami bisa membuat makalah
yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Surakarta, 14 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian.................................................................................... 1
BAB II: PEMBAHASAN
A. Pengertian idghām.................................................................................. 2
B. Jenis-jenis idghām .................................................................................. 3
C. Hukum idghām....................................................................................... 3
D. Faidah idghām....................................................................................... 15
BAB III: PENUTUP........................................................................................... 17
A. Kesimpulan ........................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa arab merupakan bahasa yang mendapat kehormatan menjadi
bahasa yang digunakan oleh Allah dalam menurunkan wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW. Kitab suci Al-Qur’an dan umat pertama yang
mengemban risalah pengembangan islam menggunakan bahasa arab.
Sampai saat ini posisi bahasa arab tidak tergantikan dan memang tidak boleh
digantikan. Ada beberapa ibadah yang mesti dilakukan dengan
menggunakan bahasa arab, seperti sholat misalnya. Tidaklah sah sholat
seseorang jika menggunakan bahasa selain bahasa arab. Al-Qur’an pun
tetap digunakan dalam bahasa arab, kalaupun ada terjemahannya, itu harus
tetap ada bagian bahasa arabnya.
Bahasa arab memiliki banyak cabang keilmuan yang menyusunnya,
salah satunya adalah ilmu sharaf. Sharaf secara bahasa berarti “berubah”.
Menurut Al-Ghulayayni (1987:9) ilmu sharaf adalah ilmu yang membahas
dasar-dasar pembentukan kata, termasuk di dalamnya imbuhan. Maka dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu sharaf adalah salah satu
cabang dalam ilmu Bahasa arab yang mempelajari perubahan suatu kata dari
satu bentuk ke bentuk yang lain sehingga menghasilkan makna yang
berbeda-beda. Ilmu sharaf menjadi bagian penting dalam mempelajari dan
memahami bahasa arab. Berangkat dari itu, maka penulis mencoba
menguraikan bab idghām yang merupakan salah satu bab yang harus
diketahui oleh mahasiswa yang mempelajari bahasa arab.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari idghām?
2. Apa saja jenis dari idghām?
3. Apa saja hukum dari idghām?
4. Apa faidah dari idghām?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian dari idghām
2. Mengetahui apa saja jenis idghām
3. Mengetahui apa saja hukum idghām
4. Mengetahui faidah dari idghām

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Idgham

Kata idghām (‫ )إدغام‬secara etimologi/bahasa berarti memasukkan, yang

diambil dari kata adghama (‫ )أدغم‬1

ِ ِ ُ ‫ ِِبي‬,‫ف آخرِمن ِجْن ِس ِه‬


ٍ ٍ ُ ‫ا ِإلد َغام هو إِدخ‬
ً ‫ث يَص ْ َْي ِان َح ْرفًا َواح ًدا ُم َشد‬
‫َّدا‬ َْ ْ َ َ ‫ال َح ْرف ِِف َح ْر‬ َ ْ َُ ُ ْ
Idghām adalah memasukkan huruf pada huruf yang sejenis, kemudian
menjadikannya satu huruf yang bertasydid. (Jami’ud Durus Al- Arabiyah, hal. 213)

Contohnya:

artinya aslinya lafadz


Dia laki-laki telah memanjangkan
‫َم َد َد‬ ‫َم َّد‬
Dia laki-laki sedang
‫َيَْ ُد ُد‬ ‫َيَُد‬
memanjangkan
Memanjangkan
‫َم ْد ًدا‬ ‫َمدًّا‬

Didalam idghām, huruf yang pertama disukunkan, sedangkan huruf yang


kedua diberi harakat dengan tanpa adanya pemisah diantara kedua huruf
tersebut.

Sukunnya huruf yang pertama adakalanya memang dari asal, seperti ‫املد‬

dan ‫ال َشد‬, atau dengan pembuangan harakat seperti ‫َم َّد‬ dan ‫ َش َّد‬, atau dengan

1
Muhammad bin Mukarram bin Madhur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-Arob, Bairut, juz
12, hal. 202

2
memindahkan harakatnya (huruf yang pertama) pada huruf sebelumnya seperti

‫ َيَُد‬dan ‫يشد‬
ُ .

Pengidghāman huruf dapat terjadi pada dua huruf yang

berdekatan makhraj-nya ِ َْ‫)املتَ َقا ِرب‬


(‫ي‬ ataupun dua huruf yang sama
ُ
ِ ْ ‫)املتَ َجانِس‬, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara
dalam makhraj-nya (‫ي‬
َ ُ
mengganti huruf yang pertama agar menyamai huruf yang kedua seperti

(terhapus) ‫اِ ََّّمَى‬ asalnya ‫اِْْنَ َحى‬ mengikuti wazan ‫اِنْ َف َع َل‬ , ataupun terkadang

dengan mengganti huruf yang kedua agar menyamai huruf yang pertama seperti

(menuduh) ‫عى‬ ِ ِ ِ
َ ‫ ا َّد‬asalnya ‫ ا ْدتَ َعى‬mengikuti wazan ‫افْ تَ َعل‬ َ

B. Jenis-jenis Idghām
Idghām terbagi menjadi dua:

1. Al-Idghām As-Shaghīr (‫ي‬


‫)اإلدغام الصغ ر‬
Idghām shaghīr adalah idgham yang huruf pertamanya secara asal
berharakat sukun.

2. Al- Idghām Al-Kabīr (‫ي‬


‫)اإلدغام الكب ر‬
Idghām kabīr adalah idghām yang kedua hurufnya sama-sama
berharakat. Kemudian huruf yang pertama disukunkan dengan menghapus
harakatnya atau dengan memindahkan harakat huruf pertama pada huruf
sebelumya. Adapun alasan dinamakan idghām kabīr karena didalam idghām
kabīr terdapat dua tahapan, yaitu mensukunkan dan memasukkan.
Sedangkan didalam idghām shaghīr tidak seperti itu, melainkan hanya
memasukkan huruf pertama pada huruf kedua.

C. Hukum-hukum Idghām
Idghām memiliki tiga hukum, yaitu:

3
1. Idgham yang diwajibkan ( ‫اإل إدغَامر‬
‫ب إ‬‫) ُو ُج إو ُر‬
A. Diwajibkannya idghām dalam dua huruf yang satu jenis apabila berkumpul
dalam satu kata, baik keduanya berharakat,

artinya asalnya lafaz

‫َمرر يَ ْم ُر ُر‬ ‫َمَّر َيَُر‬


Dia laki-laki lewat
َ
َ

Atau jika huruf yang pertama sukun sedangkan huruf yang kedua berharakat,
seperti:

artinya asalnya lafaz


Memanjangkan
‫َم ْد ًدا‬ ‫َمدًّا‬
Menggigit
‫ضا‬
ً‫ض‬ْ ‫َع‬ ‫َعضًّا‬

Adapun perkataan penyair,

(Segala puji bagi Allah yang maha puji lagi maha agung)
‫العلير اإالَ إجلَ رل‬
َ ‫احلمد هلل‬
Maka termasuk keadaan darurat dalam kalam sya’ir. Sedangkan yang sesuai

dengan kaidah sharaf adalah syarat (‫ج ِل‬


َ َ‫)اال‬.
Kemudian apabila huruf yang pertama dari kedua huruf yang sejenis berharakat
sukun, maka langsung diidghāmkan pada huruf yang kedua tanpa melakukan
perubahan, seperti:

artinya asalnya lafaz


Menguatkan
‫َش ْد ٍد‬ ‫َش ٍد‬
Menghalangi
‫ص ْدد‬
َ ‫ص ٍد‬
َ

4
Apabila huruf yang pertama berharakat, maka harakatnya dibuang
(disukunkan) kemudian diidghāmkan apabila huruf sebelumnya berharakat
atau berupa huruf mad, seperti:

artinya asalnya lafaz


Ia laki-laki menjawab
‫َرَد َد‬ ‫َرَّد‬
Menjawab
‫َر ِادد‬ ‫َراد‬

Sedangkan apabila huruf yang sebelumnya sukun, maka dipindahkan harakat


huruf pertama pada huruf sebelumnya, seperti:

artinya asalnya lafadz


Ia laki-laki menjawab
‫يَْرُد ُد‬ ‫يَُرد‬

B. Wajib mengidghāmkan dua huruf serupa yang bersandingan, yang mana


huruf pertama berharakat sukun yang berada dalam dua kata yang seperti
satu kata, seperti :

ِ ، ‫ قُل له‬، ‫ اكتب ِِبلقلم‬، ‫ علَي‬، ‫ عنَّا‬، ‫س َكت س َّكنَ ا‬


‫استغف ْر ربَّك‬ ْ ْ ُ َّ َ َ َ َ
2

ِ
‫استغف ْر ربَّك‬ ‫قُ ْل له‬ ‫ب‬ ‫َس َّكنَ ا‬
ْ ُ‫اكت‬ ‫َعلَ َّي‬ ‫َعنَّا‬ ‫َس َكت‬

‫ِِبلقلم‬
Aku meminta Katakan Tulislah Kepadaku Tentang Mereka Aku
ampun kepadanya dengan kita )dua diam
kepada Allah pena perempuan)
diam

2
Musthafa al-Ghulayayni, Jami’ al-Durus al-Arabiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut,
juz 2

5
Hanya saja apabila huruf yang kedua berupa dhāmir, maka wajib
mengidghāmkan secara lafaz dan penulisan, sedangkan apabila huruf yang
kedua bukan berbentuk dhāmir,, maka wajib mengidghāmkan secara lafaz saja,

Dikatakan syadz (‫ )شاذ‬tidak melakukan pengidghāman yang seharusnya

dilakukan pada beberapa lafaz yang tidak bisa dibuat analogi (kemiripan)
seperti :

ْ ‫ت َرائِ َحتُ ُه َما َوفَ َس َد‬


‫ت‬ ْ ‫إِذَا تَغَََّْي‬ َّ ‫ألِ َل‬
‫السقاَءُ واالَ ْسناَ ُن‬
Jika bau keduanya berubah dan rusak Kantong air dan gigi

‫الش ْع ُر ِِف َجبِْينِ ِه‬


َّ ‫ت‬َ َ‫إِ َذا نَب‬
ِ ‫دبب‬
‫االنْ َسان‬ َ ََ
Jika rambut tumbuh didahinya Lalat manusia
ِ ُ
‫ضبَ ُابا‬ ُ ‫إِذاَ َكثْ َر‬
َ ‫ت‬ ُ ‫ضبِبَت االَْر‬
‫ض‬
Jika ada banyak kabut Bumi berkabut
ِ َ‫إ ِِ َذا َكا َن ق‬
ً‫ص ْْياً َج ْعدا‬ ُُ‫الش ْعر‬
َّ َ ‫قُ ِط‬
‫ط‬
Jika pendek dan keriting Potong rambut

َّ terkadang juga diidghāmkan.


Lafadz ‫قط‬

ِ ‫ت أَ ْج َفا ُنَا ِِب َّلرَم‬


‫ص‬ ْ ‫ص َق‬ ِ ِ
َ َ‫إذا ل‬ ‫ي‬
َ ْ ‫الع‬
َ ‫حل َحت‬
Jika kelopak matanya menempel pada pasir Mata itu berkedip

‫أج َف ِانَا‬
ْ ‫ت‬
ِ
ْ َ‫إِ َذا َكثَُر َد ْمعُها و َغلظ‬ ‫ل ِخ َخت‬
Ketika air matanya melimpah dan kelopak Dia berisik
matanya menjadi tebal

6
dan dikatakan bahwa lafadz ‫ت‬
ْ َّ‫ت و َحل‬
ْ ‫ لَ َّخ‬juga diidghāmkan.

‫س‬ ‫ش‬ ‫امل‬ ‫ها‬ ِ ‫إذَا ظَهر ِف و ِظي‬


‫ف‬ ِ ‫مش َش‬
‫ت الدابة‬
َ
ُ َ ْ َ ََ َ
Jika tampak pada fungsi epifisisnya Binatang itu berjalan

‫اق ََْمَرى لَبَ نُ َها‬


َ ‫ض‬َ ‫إِ َذا‬ ‫عزَز ِت الناقة‬
ُ
Jika aliran susunya menyempit unta betina tidak berdaya

Pada beberapa kalimat isim pun dikatakan syadz (‫)شاذ‬.

‫وش ِديْ ُد َها‬


َ ‫ضيِ ُق َها‬
َ ‫ف احلَ ِال‬
ُ ‫ض َف‬
َ ‫َر ُجل‬
Kesempitan dan kepedihannya Laki-laki yang
meringkik/menyedihkan

Dan dikatakan bahwa lafadz ‫ضف احلال‬


َ juga bisa diidghāmkan.
‫اب‬ ِ ِ ِ َ‫وطعام ق‬
ُ ‫صى صغَ ُار أو تَُر‬
َ ‫فْيه َح‬ ‫ضْيض‬
Didalamnya berisi kerikil kecil Dan mengunyah makanan
atau berdebu

Dan dikatakan bahwa pada lafadz ‫ قَض‬dengan mengidghāmkan sedangkan

ٍ ‫ض‬
lafadz )‫ض‬ ٍ ‫ض‬
َ َ‫ (ق‬diberi harakat dan tidak boleh diidghamkan karena )‫ض‬ َ َ‫(ق‬
merupakan isim yang mengikuti wazan‫ فَ َع ٍل‬seperti lafadz ‫( ستَ َعلِم‬Kamu akan
َ
tahu).

7
2. Idgham yang diperbolehkan ( ‫رراإل إدغَامر‬
‫) َج َو ُاز إ‬
Diperbolehkan mengidghāmkan huruf atau tidak mengidghāmkan huruf dalam
empat keadaan :
a. Ketika huruf yang pertama dari dua huruf yang sama tersebut
berharakat,,sedangkan huruf yang kedua disukunkan dengan sukun

yang bukan asli (‫ )عارض‬karena dijazmkan dan lain sebagainya,

contoh:

Artinya Tanpa Dengan


Idgham Idgham
Panjangkanlah
‫ْام ُد ْد‬ ‫ُم َّد‬
Dia laki-laki satu tidak
‫َلْ َيَْ ُد ْد‬ ‫َلْ َيََُّد‬
memanjangkan

dan ‫ َلْ َيَْ ُد ْد‬dan ‫ا ْم ُد ْد‬ dengan mengidghāmkan, ini lebih baik.

Demikian pula di dalam Al-Qur’an :

ۡ ِ ‫ي َكاد َزۡي تُها ي‬


‫ض ۤیءُ َولَ ۡو َل ََت َس ۡسهُ ََنر‬ ُ َ ُ َ
“Yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api.” {Surat An-Nur: 35}

ۡ
‫َوٱش ُد ۡد َعلَ ٰى قُلُوبِِ ۡم‬

“Dan kuncilah hati mereka.” {Surat Yunus: 88}

Apabila huruf yang diidghāmi bersambung dengan alif


tatsniyah atau wawu jama’ atau ya’mukhatabah atau nun taukid,
maka wajib diidghamkan sebab sukunnya huruf yang kedua sudah
hilang, contoh :

8
artinya lafaz
Mereka (2 laki-laki) tidak memanjangkan
‫َلْ َيَُدَّا‬
Kamu (1 perempuan) tidak memanjangkan
‫َلْ َتَُ ِدى‬
Mereka (perempuan banyak) tidak
‫َلْ َيَُدَّن‬
memanjangkan

Adapun bila huruf yang diidghāmi bersambung dengan


dhamīr rafa’ mutacharrik, maka tidak boleh diidghāmkan,
sebagaimana yang akan dijelaskan dibelakang.

Harakat huruf yang kedua didalam fi’l mudhari’ yang


majzum dan fi’l ‘amr, yang tidak bersambung dengan apapun, ikut
pada harakat fa’ fi’l-nya menurut mayoritas pendapat ulama’ contoh:
artinya lafaz
Berilah jawaban
‫ُرد‬
Dia (1 laki-laki) tidak memberi
‫َلْ يَُرد‬
jawaban
Gigitlah!
‫ض‬
َّ ‫َع‬
Dia (1 laki-laki) tidak menggigit
‫ض‬
َّ ‫َلْ يَ َع‬
Larilah!
‫فِ ِر‬
Dia (1 laki-laki) tidak berlari
‫َلْ يَِف ِر‬

Namun juga diperbolehkan membaca fathah atau kasrah


walaupun fa’ fi’l-nya dibaca dhammah

9
artinya lafaz
Berilah jawaban
‫ُرَّد\ ُرِد‬
Dia (1 laki-laki) tidak
‫َلْ يَُرَّد\ َلْ يَُرِد‬
menjawab

Boleh juga membaca kasrah walaupun fa’ fi’l-nya dibaca


fathah :

artinya lafaz
Gigitlah! ِ ‫َع‬
‫ض‬
Dia (1 laki-laki) tidak ِ ‫َلْ يَ َع‬
‫ض‬
menggigit

dan membaca fathah walaupun fa’ fi’l-nya dibaca kasrah:

arti lafaz
Larilah!
‫فَِّر‬
Dia (1 laki-laki) tidak berlari
‫َلْ يَِفَّر‬

Dari penjelasan di atas dapat kita pahami apabila fa’ fi’l-nya


dibaca dhammah, maka huruf yang diidghāmi atau huruf yang yang
kedua dhammah, fatchah dan kasrah, namun dibaca kasrah adalah
pendapat yang lemah dibandingkan dibaca fatchah dan dhammah.
Dan apabila fa’ fi’l-nya dibaca fatchah, maka huruf yang diidghāmi
boleh dibaca fatchah atau kasrah, tapi yang lebih utama dan lebih
populer dibaca fatchah. Sedangkan apabila fa’ fi’l-nya dibaca
kasrah, maka huruf yang diidghāmi boleh dibaca kasrah dan
fatchah.

10
Perlu juga untuk diketahui bahwa adanya hamzah washl
dalam fi’l amr dari fi’l tsulatsy mujarrad, seperti: ْ‫أ ُ ْمدُد‬
(panjangkanlah kamu (1 laki-laki) tidak dibutuhkan lagi setelah
adanya proses idghām, maka dibuang dan menjadi (pemanjangan)
‫ ُمد‬, sebab alasan mendatangkan hamzah washl adalah agar adanya
kata tidak dimulai dengan huruf yang sukun dan penyebab ini telah
hilang (seiring proses idghām) karena huruf pertama sudah
berharakat.

b. Apabila ‘ain kalimat dan lam kalimat pada suatu kata berupa ya’
yang harus (‫ )الزم‬,serta ya’ yang kedua berharakat, contoh :

Artinya Tanpa idghām Dengan idghām


Dia (1 laki-laki) telah hidup
‫َحيِ َي‬ ‫َح َّي‬

Apabila harakatnya huruf yang kedua tidak asli (‫عا ِرض‬


َ ) karena
adanya i’rab, contoh : ‫( لَْن يُ ْحيِ َي‬dia (1 laki-laki) tidak akan hidup)
maka tidak boleh diidghāmkan. Begitu juga tidak boleh idghām

ُ ‫( َحيِْي‬saya
apabila sukunnya huruf yang kedua tidak asli, contoh : ‫ت‬

telah hidup).

c. Apabila pada permulaan fi’l madhi terdapat dua ta’, contoh : (dia
laki-laki satu telah mengikuti) ‫( تَتَ بَّ َع وتَتَابَ َع‬dia laki-laki satu telah
mengikuti), maka hukum idghām diperbolehkan serta
menambahkan hamzah washl dipermulaannya agar tidak dimulai
dengan huruf yang sukun, contoh : ‫اِتَّبَع واَِّتَّبَع‬
Kemudian apabila yang demikian adalah fi’l mudhāri’, maka tidak
boleh diidghāmkan, bahkan diperbolehkan meringankannya
dengan membuang salah satu ta’ nya, contoh : ‫ تَتَ َجلَّى‬menjadi
‫( ََتَلَّى‬dia laki-laki satu telah menyingkap)

11
d. Dua huruf yang sama bersandingan dalam dua kata serta sama-sama
berharakat, contoh : ‫ب ِِبلْ َقلَِم‬
َ َ‫( َكت‬dia laki-laki satu telah menulis
dengan pulpen), maka boleh diidghāmkan dengan mensukunkan
huruf yang pertama ‫كتب ِبلقلم‬
ْ , hanya saja dalam hal ini

pengidghāman khusus secara lafaz bukan secara tulisan.

3. Idghām yang dilarang (‫اإل إدغَامر‬


‫اع إ‬
ُ‫) ا إمتنَ ر‬
Dilarang idghām dalam 7 tempat :
a. Apabila kedua huruf mitslain menjadi permulaan kata.

Contoh : َ ‫ود َد ِان وتٍََت‬


‫ودنَ ٍن‬ َ ‫ودد‬ َ ‫َد َد ٍن‬
َ ‫ود ًدا‬
3

b. Apabila berada pada kalimat isim yang,

• Mengikuti wazn ‫فُ َعل‬


Contoh : ‫ف‬ ٍ ‫ُدرٍر وج َد ٍد وص َف‬
ُ ُ َ
• Mengikuti wazn ‫فُعُ ٍل‬

Contoh : ‫د ٍد‬ ُ ‫ُس ُرٍر وذُلُ ٍل‬


ُ ‫وج‬
• Mengikuti wazn ‫فِ َع ٍل‬

ِ ‫لِم ٍم وكِلَ ٍل‬


contoh : ‫وحلَ ٍل‬
َ
• Mengikuti wazn ‫فَ َع ٍل‬
Contoh: ٍ َ‫وخب‬
‫ب‬ َ ‫ب‬ٍ َ‫طَلَ ٍل ولَب‬

3
Musthafa al-Ghulayayni, Jami’ al-Durus al-Arabiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut,
juz 2

12
c. Apabila berada pada wazn yang ditambah untuk disamakan
(dengan wazn fi’l rubā’i) , baik tambahannya adalah salah satu dari
dua huruf tersebut atau bukan.
Contoh :

Arti lafaz
Dia laki-laki satu telah memakai
‫ب‬
َ َ‫َج ْلب‬
jilbab
Dia laki-laki satu telah mengucapkan
‫َهْي لَ َل‬
tahlil

d. Apabila huruf pertama dari kedua huruf mitslain bersambung


dengan huruf yang menjadi target idghām.
ٍ ‫ َشدَّد ومشد‬،‫هلَّل ومهلَّ ٍل‬
Contoh : ‫َّد‬ َ َ َ َ َ
Dan apabila dalam contoh ini masih diidghāmkan lagi, maka akan
terjadi pengulangan idghām yang tidak diperbolehkan.

e. Dalam wazn { ‫ } أَفْعِل‬yang berfaidah ta’ajjub,


ْ
Contoh : ! ‫َحبَب بِه‬ ِ
ْ ‫أ َْعَزْز ِِبلع ْل ِم ! وأ‬
ْ
Maka tidak boleh diidghāmkan menjadi ! ‫ب بِ ِه‬
َّ ‫َح‬ ِِ ‫أ‬
َ ‫َعَّز به ! وأ‬
َ

f. Apabila salah satu hurufnya disukunkan, dikarenakan bertemu


dengan dhamīr rafa’ mutacharrik.

Contoh : ‫ن‬
َّ ُ‫ومددت‬
ْ ‫مدد ُْت‬
ْ ،‫ت‬َ ‫مدد‬
ْ ،‫مدد ََن‬
ْ ،‫ت‬ُ ‫مدد‬
ْ

g. Beberapa lafad syadz (janggal/jarang) yang tidak diidghāmkan oleh


orang Arab sebagaimana telah dijelaskan didepan, maka dilarang
untuk mengidghāmkannya.

13
D. Faidah
Fi’l mādhī yang tiga huruf, tidak ada penambahan, dibaca kasrah ‘ain fi’l-
nya, berbina’ mudho’af serta disandarkan pada dhamīr rafa’ mutacharrik, maka
boleh dibaca dengan tiga cara :
1. Tetap secara sempurna (hurufnya) dengan tanpa melakukan idghām,

Contoh : ‫ل‬
َّ َ‫ ظ‬dibaca ‫ت‬ ِ
ُ ‫ ظَلْل‬.
2. Membuang ‘ain fi’il-nya dan fa’ fi’lnya tetap dibaca fathah,

Contoh : ‫ت‬
ُ ‫ ظَْل‬.
3. Membuang ‘ain fi’l dan memindah harakatnya pada fa’ fi’l setelah
membuang harakatnya fa’ fi’l,

Contoh : ‫ت‬ ِ
ُ ‫ ظ ْل‬.

Allah ta’ālā berfirman :

‫)ر‬65‫ر‬:‫طامارفَظَلإتُ إمرتَ َف َّك ُهونرر(الواقعةر‬


ً ‫علناهمرح‬
ُ َ‫ل إَورنشاءر ََل‬ )97‫ر‬:‫إترعليهرعاك ًفاررر(طهر‬
َ ‫َوانإظُإررا ََلراهلكرالذيرظَل‬

Dalam kedua ayat tersebut huruf dha’ dibaca fatchah berpijak pada
harakatnya yang tetap dan dha’ dibaca kasrah berpijak pada harakatnya yang
dibuang dan memindah harakatnya huruf lam yang dibuang pada huruf dha’.
Fi’l amr atau fi’l mudhari’ yang tiga huruf, tidak ada penambahan, berbina’
mudho’af, ‘ain fi’lnya dibaca kasroh baik fi’l amr maupun mudhari’, serta
disandarkan pada dhamīr rafa’ mutacharrik, maka boleh dibaca dua :
1. Dibaca itmam

Contoh : ‫ يَِقر وقَِّر‬dibaca ‫ يَ ْق ِرْر َن واِقْ ِرْر َن‬.

14
2. Membuang ‘ain fi’l dan memindah harakatnya pada fa’ fi’l,

َ ‫ يَِقر َن وقِر‬.
Contoh : ‫ن‬
ْ ْ
Termasuk di dalam Al-Qur’an
)33 : ‫(االحزاب‬ ‫ف بيوت ُك َّنر‬
‫َوقَ إر َرن ر‬

Dengan membaca kasrah huruf qaf kalau tidak ikut bacaan imam
‘Ashim dan Nafi’, sedangkan imam ‘Ashim dan Nafi’, maka huruf qaf
dibaca fatchah, sehingga tidak boleh dibaca kasrah kecuali sama’i.

َّ ‫ ” وقَر َن ِِف بُيُوتِ ُك‬dengan dibaca fathah qafnya


termasuk juga ayat ” ‫ن‬
ْ
menggunakan bacaan imam Nafi’ dan ‘Ashim yang diikuti oleh imam

َ ‫ اِقْ ِرْر‬karena lafaz ‫ َّقر‬bisa saja


Hafs. Untuk bacaan kasrah asalnya adalah ‫ن‬

ikut wazn ‫فعل يفعِل‬


َ atau ‫يفعل‬
ِ 4
َ ‫فعل‬

4
Musthafa al-Ghulayayni, Jami’ al-Durus al-Arabiyah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Bairut,
juz 2

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang kami lakukan, kami dapat menyimpulkan beberapa hal
yakni sebagai berikut:

1. Idghām adalah memasukkan huruf pada huruf yang sejenis, sekiranya dua huruf tersebut
menjadi satu dengan cara diberi tasydid.
2. Idghām berdasarkan jenisnya dapat dibagi menjadi idgham shaghir dan idgham kabir
3. Idghām berdasarkan hukumnya dapat dibagi menjadi wajib, ja’iz (boleh) , dan terlarang.
4. Sebuah faidah dari pembahasan idgham dapat kita ketahui sebagai berikut:
a. Fi’l madhi yang terdiri dari tiga huruf tanpa ada huruf tambahan, 'ain fi'l nya dibaca
kasrah yang merupakan mudho’af serta disandarkan pada dhamīr rafa’
mutacharrik.
b. Fi’l amr atau fi’l mudhāri’ yang terdiri dari tiga huruf tanpa ada tambahan huruf
yang berupa mudha’af, ‘ain fi’l nya dibaca kasroh baik itu merupakan fi'l amr
maupun fi’l mudhāri’, serta disandarkan pada dhamīr rafa’ mutacharrik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Gulayini, Syaikh Musthafa. 2010. Jami' ad-Durus Al-'Arabiyyah.


Beirut: Dar Fikr.
A. Zakaria. 2020. Al Kaafii fii 'ilmish sharfi. Garut: IBN AZKA press.
Muhammad bin Mukarram bin Madhur al-Afriqy al-Mishry, Lisan al-
Arob, Bairut, juz 12, hal. 202
Munawwir, KH. Ahmad Warson. 1989. Kamus Al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.

17

Anda mungkin juga menyukai