Bisnis Internasional
Elsya Tridayana A021221194
2. Keterbatasan Perizinan
Lisensi memiliki beberapa masalah. Pertama, bisa membuat perusahaan
memberikan teknologi berharga kepada pesaing asing. Kedua, lisensi tidak
memberi perusahaan kendali yang kuat di negara asing. Ketiga, jika keunggulan
kompetitif perusahaan tergantung pada kemampuan khusus, lisensi mungkin
tidak cocok. Karena itu, dalam situasi-situasi seperti ini, investasi langsung ke
luar negeri lebih baik daripada lisensi.
Paradigma Eklektik
Teori paradigma eklektik oleh John Dunning menyatakan bahwa selain faktor-faktor
umum, keunggulan spesifik lokasi penting dalam menjelaskan investasi langsung asing
(FDI). Contohnya, sumber daya alam atau tenaga kerja berkualitas dapat mendorong
FDI. Silicon Valley adalah contoh lokasi dengan keunggulan spesifik dalam industri
komputer dan semikonduktor. FDI di sana bertujuan memanfaatkan pengetahuan baru
sebelum pesaing global lainnya. Perusahaan dari berbagai negara investasi di Silicon
Valley untuk memanfaatkan "efek samping" pengetahuan. Dalam industri bioteknologi,
FDI ke Amerika Serikat juga didorong oleh akses ke pengetahuan teknologi yang unik di
lokasi tersebut. Teori Dunning membantu memahami bagaimana faktor lokasi
mempengaruhi FDI.
Pandangan Radikal
Pandangan Radikal terhadap Investasi Langsung Asing (FDI) berasal dari teori
Marxisme. Mereka menganggap perusahaan multinasional sebagai alat dominasi
imperialisme yang mengeksploitasi negara tuan rumah demi keuntungan negara asal
kapitalis-imperialist. Pandangan ini menyatakan bahwa FDI hanya mengambil
keuntungan dari negara tuan rumah tanpa memberikan manfaat berarti. Para
pendukung pandangan ini berpendapat bahwa FDI oleh perusahaan multinasional
negara-negara maju membuat negara-negara berkembang menjadi lebih tertinggal dan
bergantung pada negara maju untuk investasi, pekerjaan, dan teknologi. Pada puncak
ekstremnya, pandangan ini menentang FDI dan menyarankan nasionalisasi
perusahaan asing yang sudah ada. Pada 1980-an, pengaruh pandangan radikal mulai
menurun, seiring runtuhnya komunisme di Eropa Timur, kinerja ekonomi buruk dari
negara-negara yang mendukung pandangan ini, dan kesuksesan ekonomi negara-
negara berkembang yang menganut kapitalisme daripada ideologi radikal.
Nasionalisme pragmatis
Nasionalisme pragmatis adalah pendekatan kebijakan terhadap FDI yang mengakui
manfaat dan biayanya. Meskipun FDI dapat membawa modal, keterampilan, teknologi,
dan lapangan kerja bagi negara tuan rumah, keuntungan dari investasi tersebut dapat
pergi ke luar negeri. Negara-negara yang menganut pandangan ini berusaha untuk
memaksimalkan manfaat nasional dan meminimalkan biaya. Contohnya, Jepang
mengadopsi kebijakan restriktif terhadap FDI hingga tahun 1980-an untuk melindungi
industri dan teknologinya sendiri. Namun, ada pengecualian untuk perusahaan dengan
teknologi penting. Negara-negara juga cenderung menawarkan insentif seperti
keringanan pajak atau hibah untuk menarik FDI yang dianggap menguntungkan bagi
kepentingan nasional. Britania Raya sukses menarik investasi besar dari produsen
otomotif Jepang, memberikan manfaat signifikan dalam hal lapangan kerja dan
neraca pembayaran.
Pergeseran Ideologi
Belakangan ini, ada penurunan negara yang menganut ideologi radikal. Meskipun
sedikit yang benar-benar mengadopsi kebijakan pasar bebas, semakin banyak negara
yang cenderung ke arah pasar bebas dan melonggarkan aturan investasi asing. Ini
termasuk negara-negara yang sebelumnya termasuk dalam kubu radikal, seperti bekas
negara-negara komunis di Eropa Timur dan beberapa negara sosialis di Afrika. Juga,
beberapa negara yang dulu mengadopsi nasionalisme pragmatis terhadap FDI, seperti
Jepang, Korea Selatan, Italia, Spanyol, dan banyak negara Amerika Latin, kini beralih
menuju kebijakan pasar bebas. Akibatnya, terjadi peningkatan volume FDI global,
tumbuh lebih cepat dari perdagangan dunia.
Namun, ada tanda-tanda awal dari munculnya sikap yang lebih bermusuhan terhadap
investasi langsung asing. Negara-negara seperti Venezuela dan Bolivia semakin
menentang FDI. Mereka mengubah kontrak untuk eksplorasi minyak dan gas,
meningkatkan royalti yang harus dibayar perusahaan asing. Di negara maju, juga
terlihat reaksi yang tidak ramah terhadap FDI. Sebagai contoh, China National Offshore
Oil Company menarik tawaran pengambilalihan Unocal di AS setelah reaksi negatif dari
Kongres. Jika tren-tren ini semakin meluas, maka gerakan menuju pengurangan
hambatan investasi lintas batas selama 30 tahun terakhir bisa terancam.
Efek Ketenagakerjaan
dari FDI adalah bahwa investasi langsung asing membawa lapangan kerja baru ke
negara tuan rumah. Efeknya bisa langsung, dari perusahaan asing mempekerjakan
warga negara tuan rumah, atau tidak langsung, dari penciptaan lapangan kerja di
pemasok lokal dan peningkatan pengeluaran lokal oleh karyawan perusahaan asing.
Meskipun ada argumen bahwa tidak semua lapangan kerja baru adalah penambahan
bersih, penelitian menunjukkan bahwa perusahaan asing cenderung membayar upah
lebih tinggi dan menghasilkan lapangan kerja lebih cepat daripada perusahaan
domestik. Meskipun FDI bisa sementara mengurangi ketenagakerjaan saat
restrukturisasi, setelahnya, perusahaan yang diakuisisi oleh perusahaan asing biasanya
tumbuh lebih cepat dalam jumlah lapangan kerja daripada pesaing lokal.
Efek Neraca Pembayaran
dari FDI adalah penting bagi kebijakan ekonomi suatu negara. Ini terkait dengan
bagaimana FDI mempengaruhi pembayaran dan penerimaan antar negara. Pemerintah
cenderung khawatir jika negaranya mengalami defisit dalam neraca pembayaran saat
ini. FDI bisa membantu mengatasi hal ini dengan dua cara: pertama, sebagai pengganti
impor, dan kedua, dengan menggunakan anak perusahaan asing untuk ekspor ke
negara lain. Contoh nyata termasuk peningkatan ekspor China berkat investasi asing.
FDI juga dapat mengurangi kebutuhan menjual aset kepada pihak asing untuk
mendukung defisit neraca pembayaran.
Tiga biaya FDI yang menjadi perhatian bagi negara tuan rumah timbul dari
kemungkinan dampak negatif pada persaingan di dalam negara tuan rumah, dampak
negatif pada neraca pembayaran, dan kehilangan kedaulatan dan otonomi
nasional yang dirasakan.
Contohnya, salah satu alasan General Motors dan Ford berinvestasi di perusahaan
otomotif Jepang (GM memiliki sebagian dari Isuzu, dan Ford memiliki sebagian dari
Mazda) adalah untuk mempelajari proses produksi mereka. Jika GM dan Ford berhasil
mentransfer pengetahuan ini kembali ke operasi mereka di Amerika Serikat, hasilnya
dapat menjadi keuntungan bersih bagi ekonomi Amerika Serikat.
Dalam hal efek terhadap lapangan kerja, keprihatinan serius muncul ketika FDI
dianggap sebagai pengganti produksi domestik. Hal ini terjadi dalam investasi Toyota di
Amerika Serikat dan Eropa. Dampak yang jelas dari FDI semacam ini adalah
berkurangnya lapangan kerja di negara asal. Jika pasar tenaga kerja di negara asal
sudah ketat, dengan sedikit pengangguran, kekhawatiran ini mungkin tidak begitu
besar. Namun, jika negara asal mengalami pengangguran, kekhawatiran tentang
ekspor lapangan kerja dapat muncul. Sebagai contoh, salah satu keberatan yang sering
kali diajukan oleh pemimpin buruh Amerika Serikat terhadap perjanjian perdagangan
bebas antara Amerika Serikat, Meksiko, dan Kanada (lihat bab berikutnya) adalah
bahwa Amerika Serikat akan kehilangan ratusan ribu lapangan kerja ketika perusahaan-
perusahaan Amerika Serikat berinvestasi di Meksiko untuk memanfaatkan tenaga kerja
yang lebih murah dan kemudian melakukan ekspor kembali ke Amerika Serikat.
Namun, WTO kurang berhasil dalam memulai pembicaraan untuk aturan universal yang
mempromosikan liberalisasi FDI. Negara-negara berkembang, terutama Malaysia dan
India, menolak usaha WTO untuk memulai diskusi semacam itu. Pada tahun 1995,
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencoba mengadakan
pembicaraan antara anggotanya. Tujuannya adalah menyusun perjanjian multilateral
tentang investasi (MAI) yang akan melarang diskriminasi terhadap investor asing di
antara negara-negara OECD. Namun, pembicaraan ini gagal pada awal 1998 karena
Amerika Serikat menolak untuk menandatangani perjanjian tersebut. Meskipun
mengalami kemunduran, negosiasi tentang revisi perjanjian MAI mungkin akan dimulai
kembali di masa depan. Selain itu, banyak negara terus melonggarkan kebijakan
mereka untuk mendorong perusahaan asing berinvestasi di ekonomi mereka.
Hill, Charles W. L. International business: competing in the global marketplace/Charles W. L. Hill.—8th ed.