Anda di halaman 1dari 322

KELELAHAN KERJA

(BURNOUT)
Teori, Perilaku Organisasi, Psikologi, Aplikasi dan Penelitian

Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


KELELAHAN KERJA
(BURNOUT)
Teori, Perilaku Organisasi, Psikologi, Aplikasi dan Penelitian

Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


PENERBIT KAMPUS adalah penerbit dengan misi memudahkan proses
penerbitan buku-buku penulis di tanah air Indonesia. Serta menjadi media
sharing proses penerbitan buku.
KELELAHAN KERJA (BURNOUT)
Teori, Perilaku Organisasi, Psikologi, Aplikasi dan Penelitian
Copyright2022 By Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
All right reserved

ISBN
15 x 23 cm, viii + 314 halaman
Cetakan ke-1, Maret 2022

Penulis : Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Desain Sampul : Danillstr
Tata Letak : Ainur Rochmah
Editor Naskah : Dr. Muhamad Husein Maruapey, Drs., M.Sc.
Sumber Gambar : https://www.freepik.com/

Penerbit
PENERBIT KAMPUS
Banguntapan, Bantul-Jogjakarta (Kantor I)
Balen, Bojonegoro-Jawa Timur, Indonesia (Kantor II)
081357517526 (Tlpn/WA)

Website: www.penerbitbukumurah.com
Email: karyabaktimakmur@gmail.com
Youtube: Penerbit Sastrabook
Instagram: @penerbit.sastrabook | @penerbitbukujogja
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

Isi buku diluar tanggungjawab penerbit

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau
Memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin dari penerbit
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum wr. wb.

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah AWT,


atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyajikan buku yang berjudul: Kelelahan Kerja (Burnout),
Teori, Perilaku Organisasi, Psikologi, Aplikasi dan Penelitian.
Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang
meliputi: a) pemberdayaan b) Ambiguitas peran dan konflik
peran. c) Kelelahan (burnout) yang berbentuk oleh kelelahan
emosional, depersonalisasi dan penurunan prestasi d)
Kecerdasan Emosional yang dibentuk oleh kesadaran diri,
ketangguhan emosional, motivasi, hubungan interpersonal,
pengaruh, intuisi dan kehati-hatian. e) stress kerja dan f) beban
kerja. Diharapkan tulisan ini dapat menjadi rujukan dan
pertimbangan dalam peraktek maupun pengembangan ilmu.
Selesainya tulisan ini tidak lepas dari dukungan berbagai
pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih
terutama pada pihak yang telah membantu, yang merupakan
tempat melakukan diskusi, teman sejawat dan semua pihak
yang tidak disebutkan namanya satu persatu.

v
Disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan
yang dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala
kemampuan untuk lebih teliti, tetapi masih dirasakan banyak
kekuarangtepatan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran
yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang
membutuhkan.

Wabillahi taufiq wal hidayah

Penulis

Dr. Roslina Alam, SE., M.Si

vi
Daftar Isi

KATA PENGANTAR ................................................................................... v


DAFTAR ISI .............................................................................................. vii

BAB I PEMBERDAYAAN (EMPOWERMENT) ..................................... 1


1.1. Pengertian Pemberdayaan (Empowerment) ......................... 1
1.2. Sejarah Konsep Pemberdayaan (Empowerment) ................. 5
1.3. Power dan Empowerment ...................................................... 7
1.4. Konsep-konsep Pemberdayaan (Empowerment) ............... 10

BAB II AMBIGUITAS PERAN (ROLE AMBIGUITY) .......................... 15


2.1. Pengertian Peran ................................................................. 15
2.2. Pengertian Ambiguitas Peran .............................................. 16
2.3. Indikator Ambiguitas ........................................................... 21
2.4. Menghindari Ambiguitas Peran ........................................... 22

BAB III KONFLIK PERAN (ROLE OF CONFLICT).............................. 25


3.1. Tipe-tipe konflik ................................................................... 31
3.2. Penyebab atau Sumber Konflik ........................................... 33
3.3. Indikator Konflik Peran ........................................................ 36
3.4. Menghindari Konflik Peran .................................................. 37

BAB IV KELELAHAN KERJA (BURNOUT) ........................................ 41


4.1. Pengertian Kelelahan Kerja (Burnout)................................. 41
4.2. Dimensi Burnout .................................................................. 43
4.3. Dampak Burnout pada Pekerja ........................................... 44
4.4. Konsep-konsep Kelelahan Kerja (Burnout) ......................... 45
4.5. Faktor-Faktor Penyebab Burnout ....................................... 50

vii
BAB V KECERDASAN EMOSIONAL
(EMOTIONAL INTELLIGENCE) .............................................. 55
5.1. Akar Sejarah Kecerdasan Emosional
(Emotional Intelligence) ....................................................... 56
5.2. Pengertian Kecerdasan Emosional
(Emotional Intelligence) ....................................................... 58
5.3. Ketertarikan pada topik Kecerdasan Emosional
di jaman sekarang ................................................................ 61
5.4. Nilai kecerdasan emosional pada pekerjaan ...................... 63

BAB VI STRESS KERJA..................................................................... 67


6.1. Pengertian Stres Kerja ......................................................... 67
6.2. Penyebab stres ‘off the job’ .................................................. 75

BAB VII BEBAN KERJA ...................................................................... 85


7.1. Pengertian Beban Kerja ....................................................... 85
7.2. Aspek dan Dimensi Beban Kerja .......................................... 88
7.3. Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja ............................ 93
7.4. Pengukuran Beban Kerja ..................................................... 97
7.5. Manfaat pengukuran beban kerja ..................................... 101

BAB VIII APLIKASI TEORI DAN PENELITIAN ................................... 103


8.1. Penelitian Roslina Alam (2008) .......................................... 103
8.2. Penelitian : Therese A. Joiner dan Timothy Bartram ........ 133
8.3. Penelitian : Martin Wetzels, K ode Ruyter,
& Josee Bloemer ................................................................ 157
8.4. Penelitian: George S. Low, David w. Cravens, Ken Grant,
& William C. Moncrief ......................................................... 187
8.5. Penelitian : Pamela L. Perewe, Wayne A. Hocwarter, Ana
Maria Rossi, Alan Wallace, Isabella Maignan, Stephanie L.
Castro, David A. Ralston, Mina Westman, Guenther Vollmer,
Moureen Tang, Paulina wan, Cheryl A. Van Deusen.......... 223

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 269


PROFIL PENULIS .................................................................................. 313

viii
1.1. Pengertian Pemberdayaan (Empowerment)
Kata “empowerment” dan “empower” diterjemahkan
dalam bahasa indonesia menjadi pemberdayaan dan
memberdayakan, menurut Merriam webster dan oxfort english
dictionery (dalam Prijono dan Pranarka, 1996:3) mengan-dung
dua pengertian yaitu : pengertian pertama adalah to give power
or authority to, dan pengertian kedua berarti to give ability to or
enable, dalam pengertian pertama diartikan sebagai memberi
kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan
otoritas ke pihak lain, sedang dalam pengertian kedua, diartikan
sebagai upaya untuk memberikan kemampuan atau
keberdayaan.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indoneasia 1995
pemberdayaan secara etimologis berasal dari kata daya yang
berarti kemampuan untuk melakukan sesuatu atau kemampuan
bertindak. Mendapat awalan ber- menjadi ‘berdaya’ artinya
berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, mem-punyai akal
(cara dan sebagainya) untuk mengatasi sesuatu. Mendapat
awalan dan akhiran pe-an sehingga menjadi pemberdayaan

Kelelahan Kerja (Burnout) 1


yang dapat diartikan sebagai usaha/proses menjadikan untuk
membuat mampu, membuat dapat bertindak atau melakukan
sesuatu. (Priansa & Suwatno, 2011:182).
Di dalam Kamus Manajemen (Mutu) (Sugian, 2006:78)
menyatakan bahwa “Empowerment (pemberdayaan) adalah
kondisi dimana para pekerja memiliki otoritas untuk membuat
keputusan dan mengambil tindakan dalam area kerjanya tanpa
meminta persetujuan sebelumnya”.
Pengertian singkat mengenai pemberdaya-an SDM
diungkapkan oleh Smith yang menyatakan bahwa
memberdayakan orang berarti mendorong mereka menjadi
lebih terlibat dalam keputusan dan aktivitas yang memengaruhi
pekerjaan mereka. (Wibowo, 2007: 136)
Definisi lain diungkapkan oleh Fred Luthans dalam
bukunya Organizational Behavior 10th Edition yang
diterjemahkan oleh Vivin Andika dkk (2006:492)
mengemukakan bahwa: Pemberdayaan adalah “mengakui dan
menggali untuk kepentingan organisasi, kekuasaan yang ada
pada seseorang oleh karena pengetahuan mereka yang berguna
dan motivasi internal dalam diri mereka”. Pemberdayaan
adalah otoritas dalam membuat keputusan di area tanggung
jawab seseorang tanpa meminta persetujuan orang lain.
Walaupun pemberdayaan sama dengan delegasi wewenang,
ada dua karakteristik yang menjadikanya unik. Pertama,
karyawan didukung untuk memakai inisiatif mereka sendiri
seperti yang dikatakan di Cummins Engine. ‘Lakukan
saja.’Kedua, pemberdayaan tidak hanya memberi otoritas,
tetapi juga sumber daya sehingga mereka mampu membuat
keputusan dan memiliki kekuasaan untuk diimplementasikan.
Cook dan Macaulay (Wibowo, 2007) juga ikut
mendefinisikan pemberdayaan yaitu merupakan: Perubahan
yang terjadi pada falsafah manajemen yang dapat membantu

2 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


menciptakan suatu lingkungan di mana setiap individu dapat
menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan
organisasi. Seorang karyawan memiliki wewenang dan
berinisiatif untuk melakukan sesuatu yang dipandang perlu,
jauh melebihi tugasnya sehari-hari.
Dari pernyataan di atas dapat dilihat, dengan adanya
pemberdayaan karyawan akan bekerja dengan maksimal sesuai
kemampuannya, tanpa harus terbebani dengan adanya suatu
perasaan dikontrol.
Mendukung pernyataan di atas, Robbins, memberikan
pengertian pemberdayaan karyawan: Menempatkan pekerja
bekerja bertanggung jawab atas apa yang mereka kerjakan.
Dengan demikian, manajer belajar untuk berhenti mengontrol
dan pekerja belajar bagaimana bertanggung jawaban atas
pekerjaannya dan membuat keputusan yang tepat.
Pemberdayaan juga membantu meng-hilangkan kondisi
yang menyebabkan ketidak-berdayaan sambil meningkatkan
perasaan percaya diri pekerja. Percaya diri adalah suatu
perasaan bahwa dirinya mampu menyelesaikan pekerjaan apa
saja yang diberikan kepadanya. Namun, percaya diri perlu
didukung dengan kemampuan nyata.
Proses pemberdayaan pegawai dilakukan dengan
memberikan kewenangan kepada pegawai untuk membuat
lebih banyak keputusan yang berkaitan dengan tugas dan
tanggung jawabnya. Pemberdayaan pegawai dapat dilakukan
melalui perekrutan terhadap orang-orang terbaik yang
berkualifikasi dan mempedulikan apa yang mereka kerjakan
(Kadarisman, 2012).
Pengertian lain yang diungkapkan oleh Kadarisman
mengenai pemberdayaan adalah suatu peningkatan

Kelelahan Kerja (Burnout) 3


kemampuan (ability), pengetahuan (knowledge) dan
keterampilan (skill).
Pemberdayaan sumber daya manusia menjadi suatu hal
yang sangat signifikan, strategis dan komperhensif bagi setiap
proses aktivitas organisasi dalam mewujudkan kinerja
sebagaimana yang diharapkan (Kadarisman, 2012).
Pemberdayaan merupakan suatu proses untuk
menjadikan orang menjadi lebih berdaya atau lebih
berkemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri,
dengan cara memberikan kepercayaan dan kewenangan
sehingga menumbuhkan rasa tanggung jawabnya (Wibowo,
2007).
Pendapat lain mengenai pengertian pemberdayaan
dikemukakan oleh Sharafat Khan (Usmara, 2002) bahwa:
pemberdayaan merupakan hubungan antar personal yang
berkelanjutan untuk membangun kepecayaan (trust) dan
menimbulkan rasa percaya (confident) antar karyawan dan
manajemen.
Dalam pandangan TQM (Total Quality Managament)
pemberdayaan dapat diartikan sebagai pelibatan karyawan
yang benar-benar berarti (signifikan). Dengan demikian
pemberdayaan tidak sekedar hanya memiliki masukan, tetapi
juga memperhatikan, mempertimbangkan, dan menindaklanjuti
masukan-masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak.
(Tjiptono & Diana, 2003)
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pemberdayaan sumber daya manusia adalah proses
mendorong sumber daya manusia/karyawan mampu
mengembangkan menjadi lebih terlibat, dalam pengambilan
keputusan dan mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu
yang dianggap perlu tanpa meminta persetujuan orang lain,

4 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


sehingga akan membangun kepercayaan karyawan dan
manajemen dan pada akhirnya karyawan akan bertanggung
jawab atas pekerjaannya dan memberi kontribusi sehingga
organisasi bekerja lebih baik.
Pemberdayaan (empowerment) merupakan hal penting
dan strategis untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja
organisasi baik organisasi yang bergerak dalam kegiatan
pemerintahan maupun organisasi yang bergerak dalam
kegiatan wirausaha. Mengapa penting dan strategis karena
pemberdayaan, dalam suatu organisasi adalah memberikan
dukungan seperti: unsur‑unsur dalam organisasi/ manajemen,
aspek‑aspek/komponen-komponen, organisasi atau
manajemen, kompetensi, wewenang dan tanggung jawab dalam
organisasi/manajemen tersebut. Pemberdayaan dimaksudkan
dalam hal ini adalah memberikan "daya" (energi atau power)
yang lebih daripada sebelumnya, artinya dapat ditunjukkan
dalam hal : tenaga, daya, kemampuan, kekuatan, peranan,
wewenang dan tanggung jawab.
Konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya
menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab
menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional,
internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi dan lain-
lain.

1.2. Sejarah Konsep Pemberdayaan (Empowerment)


Empowerment, yang dalam bahasa Indonesia berarti
“pemberdayaan” adalah sebuah konsep yang lahir sebagai
bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan
kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Untuk memahami konsep
pemberdayaan (empowerment) secara tepat dan jernih

Kelelahan Kerja (Burnout) 5


memerlukan upaya pema-haman latar belakang konseptual
yang melahirkannya.
Konsep pemberdayaan mulai nampak disekitar dekade
70-an kemudian berkembang terus sepanjang dekade 80-an
dan sampai pada dekade 90-an pada akhir Abad ke-20.
Mungkin konsep ini muncul hampir bersamaan dengan aliran-
aliran seperti Eksistensialisme, Phenomenologi, Personalisme
dan kemudian lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme,
Freudialisme, aliran-aliran seperti Struk-turalisme, dan
Sosiologi Kritik Sekolah Frankfrut, serta konsep-konsep seperti
elit, kekuasaan, anti-establishment, gerakan populis, anti-
struktur, legitimasi, ideologi, pembebasan dan konsep civil
society (Pranarka, 1996).
Konsep pemberdayaan mungkin dapat dipandang sebagai
bagian dari aliran-aliran pada paruh Abad ke-20 yang saat ini
banyak dikenal sebagai aliran post modernisme dengan titik
berat sikap dan pendapat yang orientasinya adalah antisistem,
antistruktur dan antideterminisme, yang diaplikasikan kepada
dunia kekuasaan.
Proses modern Eropa pada hakikatnya dapat dipandang
sebagai “depowerment” dari sistem keagamaan yang mutlak
absolut digantikan dengan sistem kekuasaan alternatif non-
keagamaan. Dengan kata lain diperlukan terjadi-nya proses
pemberdayaan terhadap nonreligious system. Pemberdayaan di
Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi
manusia dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan
liberalisasi serta penataan terhadap segala kekuasaan dan
penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari
konsep pemberdayaan (empowerment).
Kapitalisme yang menyatu diri dengan liberalisme dan
individualisme menyebabkan terjadinya gejolak kegoncangan
masyarakat, dan sebagai reaksinya, timbul sistem alternatif

6 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


baru yang dinamakan sosialisme, kolektivisme sampai kepada
komunisme dan fasisme. Determinisme kemerdekaan dan
individu dirasa sebagai sumber terjadinya proses dehumanisasi
terhadap mereka yang tidak kuat, baik di dalam bidang
ekonomi, hukum maupun politik. Dengan kata lain, orang
menginginkan terjadinya proses “tidak terberdayakan”
(depowerment) dari sistem yang ada dan menggantikannya
dengan “pemberdayaan” (empowerment) dari sistem
alternatifnya (Pranarka, 1996).

1.3. Power dan Empowerment


Apa arti empowering ? Asalnya dari kata "power" yang
artinya "control, authority, dominion" Awalan "emp"artinya on
put on to" atau to cover with ‑ jelasnya "More Power, jadi
empowering artinya is passing on authority and responsibility"
yaitu lebih berdaya dari sebelumnya dalam arti wewenang dan
tanggung jawabnya termasuk kemampuan individual yang
dimilikinya. Ini ada hubungannya dengan profesignalisme yang
pada awalnya selalu dimiliki oleh individual, oleh karena itu
empowerment terjadi manakala "when power goes to eployeyees
Who then experience a sense of ownership and control over.
Orang di Eropa (Barat) merasa betapa komunisme
merupakan sistem kekuasaan semesta yang mengancam umat
manusia. Untuk melawan ini maka orang mulai mengadakan
telaah terhadap sumber doktriner Komunisme yaitu Marxisme,
dengan kesimpulan bahwa komunisme sesungguhnya
merupakan penyimpangan dari ajaran-ajaran Karl Marx
(terutama pada karya-karya awalnya). Apabila Marx ingin
membuang terjadinya proses alienasi eksistensi manusia, maka
Komunisme justru telah menjadi sistem yang menggilas
eksistensi manusia itu sendiri. Namun demikian, kritik mereka
itu akhirnya ditujukan pula kepada lingkungan hidup mereka

Kelelahan Kerja (Burnout) 7


sendiri di Eropa Barat, dengan mengemukakan betapa de facto
industrialisasi, kapitalisme dan teknologi juga merupakan
sistem khusus yang masih dapat mematikan manusia.
Analisa Marx mengenai kekuasaan dirasa oleh sementara
sebagai alat atau metoda yang tepat untuk meneruskan cita-cita
Eksistensialisme, Phenome-nologi ataupun Personalisme,
sekuarang-kurangnya di dalam bidang politik, ekonomi dan
kemasyarakatan. Ekonomi diterima sebagai basis dasar
kekuasaan. Kekuasaan itu kemudian membuat bangunan-
bangunan yang manipulatif, termasuk sistem penge-tahuan,
politik, hukum, ideologi dan religi. Yang tinggal hanya manusia
yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai.
Pembebasan harus terjadi melalui proses liberalisasi ataupun
emansipasi, yang memerlukan proses empowerment of the
powerless.
Terhadap sistem dan kekuasaan sebagai manifestasi dari
determinisme sendiri, memang ada variasi di dalam sikap dan
pandangan. Pertama ada yang radikal: mengannihilisasikan
segala apa yang dinamakan sistem, dan apa yang dinamakan
power. Pada waktu yang dikenal adalah istilah “Power to
Nobody”. Ada yang mempunyai pendekatan lain, yaitu bahwa
kekuasaan dan sistem itu harus dipegang oleh semua orang
secara sama (Power to Everybody), yang pada akhirnya akan
bermuara pada situasi anarki atau power tanpa norma dan etika
bersama. Di samping itu, berkembang pula gagasan bahwa yang
penting adalah “memberikan power kepada yang powerless”,
karena hanya apabila memiliki power maka mereka akan
melaksanakan aktualisasi eksistensi. Demikianlah mungkin
pada garis besarnya yang kemudian menjadi pola dasar dari
gerakan pemberdayaan (empowerment). Gerakan ini tetap
mengamanatkan kepada perlunya power dan menekankan
keberpihakan kepada “the powerless”. Gerakan ini pada

8 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


dasarnya ingin agar semua dapat memiliki “kekuatan” yang
menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi itu.
Secara struktural manusia memang perlu dimungkinkan untuk
mengaktualisasikan eksistensinya.
Konsep pemberdayaan (empowerment) juga merupakan
konsep yang masih terlalu umum, dan kadang-kadang hanya
menyentuh “cabang” atau “daun” namun tidak menyentuh
“akar” permasalahan, baik yang sifatnya mendasar maupun
yang akan terjadi di dalam proses. Pengaruh Marx dan Freud di
dalam gerakan ini nampak misalnya pada teori mengenai
konsientisasi sebagai proses liberalisasi dan emansipasi.
Pengaruh Marx nampak sekali pada mereka yang menekankan
“kekuatan ekonomi” sebagai modal dasar ataupun faktor
generatif dari proses pemberdayaan tersebut. Di samping itu
ada yang lebih melihat betapa kekuasaan politik merupakan
sumber malapetaka eksistensi, dan oleh karena itu
pemberdayaan tersebut harus bertumpu pada pemberdayaan
politik. Ada pula yang melihat secara sosiologi ataupun
psikologi, sehingga memandang keluarga dari pendidik sebagai
wahana pemberdayaan.
Dari gambaran di atas kiranya dapat kita tarik kesimpulan,
bahwa di dalam membahas dan kemudian memprogramkan
konsep pemberdayaan, kita mesti menentukan sikap bersama
terlebih dahulu terhadap maksud dan arti kekuasaan. (konsep
dasar tentang kekuasaan) dan bagaimana membuat kekuasaan
tersebut menjadi bagian serta fungsi dari aktualisasi eksistensi
dan koeksistensi manusia.
Dalam membangun konsep pemberdayaan tersebut perlu
menerima masukan-masukan yang relevan dan membuang
yang kurang relevan. Dengan kata lain kita harus
mengakulturasikan konsep pemberdayaan dari Barat itu secara
kritis dan selektif. Kita harus menempatkan pemberdayaan itu

Kelelahan Kerja (Burnout) 9


tidak hanya secara individual akan tetapi juga secara kolektif
(individual self empowerment maupun collective self
empowerment), dan semua itu harus menjadi bagian dari
aktualisasi dan koaktualisasi eksistensi manusia dan
kemanusiaan. Dengan kata lain manusia dan kemanusiaanlah
yang menjadi tolak ukur normatif, struktural dan substansial. Ini
tidak lain adalah menempatkan konsep pemberdayaan
(empowerment) sebagai bagian dari upaya membangun
eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa,
pemerintahan, negara dan tata dunia di dalam kerangka proses
aktualisasi kema-nusiaan yang adil dan beradab, yang terwujud
di berbagai medan kehidupan: politik, ekonomi, hukum,
pendidikan, dan lain sebagainya. Maka itu konsep
pemberdayaan pada dasarnya adalah upaya menjadikan
suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin
efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam
bidang politik, ekonomi.

1.4. Konsep-konsep Pemberdayaan (Empowerment)


Ada beragam konsep employee empowerment yang
dikemukakan oleh para ahli, dan belum ada keseragaman
tentang hal tersebut. Secara lebih jelas, Robbins (2003)
mengemukakan bahwa pemberdayaan (empowerment)
karyawan berarti membuat karyawan menguasai apa yang
mereka lakukan. Hal senada juga dikemukakan oleh Cutterbuck
(1995) bahwa pemberdayaan berarti mendorong dan
mengijinkan Sumber Daya Manusia memikul tanggung jawab
pribadi untuk meningkatkan cara bekerja dan meningkatkan
kontribusi mereka terhadap organisasi. Pengertian-pengertian
tersebut menggambarkan bahwa yang diberdayakan adalah
SDM bukan organisasi.

10 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Menurut Marchington (1995) dalam Wilkinson (1998) ada
sejumlah perma-salahan dalam literatur yang menggunakan
pemberdayaan. Pertama, istilah digunakan dengan sangat
bebas dan itu adalah tidak selalu cocok jika kita
membandingkan. Kedua, adalah jarang ditempatkan dalam
suatu konteks historis: pemberdayaan seluruhnya dilihat
sebagai suatu fenomena baru. Ketiga, ada pembahasan lebih
detail dari issu bila menerapkan pemberdayaan atau kondisi-
kondisi yang penting untuk pendekatan mencapai sukses. Suatu
assumsi bahwa para pemberi kerja hanya memperhatikan
pendekatan baru, ketika melihat pengaruh baik bagi mereka dan
organisasi. Literatur juga menggunakan pendekatan yang
universalistik, mengenai pemberdayaan sesuai dengan semua
keadaan organisasi. Keempat, literatur menyepelekan konflik
yang ada dalam organisasi dan mengabaikan konteks di mana
pemberdayaan berlangsung.
Pemberdayaan dapat pula diartikan sebagai membagi
kekuasaan (power sharing), atau mendelegasikan kekuasaan
dan wewenang di dalam organisasi Daft et al. (1984). Definisi
lain pemberdayaan adalah wewenang untuk membuat
keputusan dalam kegiatan operasional individual tanpa harus
memperoleh per-setujuan dari siapapun Luthans (2005). Dalam
pendelegasian tersebut, pemimpin bisa memberikan
pengetahuan kepada bawahan tentang seluk beluk tugas dan
wewenangnya sehingga bisa berhasil dalam menyelesaikan
tugas dan wewenang yang diembannya. Pemberdayaan secara
sederhana berarti memberikan kepada supervisor atau pekerja
izin untuk memprioritaskan konsumen dari masalah. Dalam
istilah praktis, hal ini berkaitan dengan sumber daya,
keterampilan, waktu dan dukungan untuk menjadi pemimpin
dan bukannya menjadi pengendali atau robot yang tanpa
pikiran. Pemberdayaan dapat pula diartikan berbagai tingkat

Kelelahan Kerja (Burnout) 11


kekuasaan yang berbeda-beda dengan karyawan di tingkat yang
lebih rendah demi melayani konsumen dengan lebih baik
(Krietner dan Kinicki, 2000).
Pemberdayaan dipahami sebagai tindakan memberikan
kewenangan, keterampilan dan kebebasan kepada pegawai di
dalam melakukan tugas mereka Spreitzer (1996). Spreitzer
(1996) telah mendeskripsikan pemberdayaan sebagai cara
orang memandang diri mereka sendiri di dalam lingkungan kerja
dan tingkat sejauh mana orang merasa mampu membentuk
peran kerja. Pemberdayaan dapat memungkinkan para perawat
untuk menumbuhkan perasaan bahwa dirinya mampu
mengatasi masalah, baik masalah dalam kaitannya dengan
pasien maupun masalah dalam kaitannya dengan organisasi
dan masyarakat sekitar.
Brancato (2003) mengajukan pendapat bahwa
peningkatan pada pemberdayaan perawat dapat mengurangi
stres yang dialami di tempat kerja karena pemberdayaan
memungkinkan perawat untuk memanfaatkan keterampilan,
pe-ngetahuan dan kemampuan mereka secara aktif dan untuk
berpartisipasi sehingga perawat dapat menjadi bagian yang
berarti penting di dalam penyediaan layanan kesehatan.
Pemberdayaan juga dipahami sebagai sebuah konstruk
multidimensional yang terdiri dari empat kognisi dimana
kognisi-kognisi ini mencerminkan bagaimana orientasi seorang
individu terhadap pekerjaannya. Ke empat kognisi itu adalah
makna/mean (nilai dari sebuah tujuan kerja bagi individu),
kompetensi/ competence (keyakinan seorang individu tentang
kemampuan untuk memenuhi tuntutan kerja), menentukan
nasib sendiri/self determination (otonomi atau kendali terhadap
proses-proses perilaku dalam bekerja) dan dampak/impact
(tingkat sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi
hasil yang terbentuk dari pekerjaannya) Spreitzer (1996).

12 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Secara ringkas, pemberdayaan adalah tingkat sejauh mana
seorang individu dapat mempengaruhi secara aktif peran kerja
dan konteks kerjanya (Daniels dan Guppy, 1994).
Pemberdayaan dengan beban kerja yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya role ambiguity (ambigu/kekaburan
peran) dan terjadinya konflik peran (role conflict) (Behrman dan
Perreault, 1984).
Satu hal yang berpotensi untuk menghambat peningkatan
pada stress misalnya melakukan kontak secara terus menerus
dengan konsumen adalah pemberdayaan, dimana
pemberdayaan di sini didefinisikan sebagai “proses
mendapatkan kemampuan untuk mempengaruhi kejadian dan
hasil yang dirasa penting bagi seorang individu atau sebuah
kelompok” (Fawcett et al., 1994).

Kelelahan Kerja (Burnout) 13


14 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
2.1. Pengertian Peran
Kreitner and Kinicki diterjemahkan oleh Biro Bahasa
Alkemis (2014:14), mengemukakan bahwa peran adalah
tatanan perilaku yang diharapkan seseorang dari suatu posisi.
Ahmadi (2008:75) menjelaskan peran adalah suatu lingkup
pengharapan manusia terhadap cara sesorang bagaimana harus
bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu yang berdasarkan
status dan fungsi sosialnya. Sedangkan Robbins and Judge yang
diterjemahkan oleh Saraswati dan Sirait (2015:182)
mengatakan bahwa peran adalah suatu rangkaian pola pada
perilaku yang diharapkan yang dikaitkan dengan posisi tertentu
yang diduduki dalam unit sosial seseorang. Berdasarkan uraian
pengertian tersebut, peran adalah suatu sikap atau perilaku
yang diharapkan terhadap seseorang atau sekelompok orang di
dalam mengemban tugas atau kedudukan tertentu.

Kelelahan Kerja (Burnout) 15


2.2. Pengertian Ambiguitas Peran
Ambiguitas informasi, dalam kata-kata, gambar, atau
media lain, adalah kemampuan mengekspresikan lebih dari
satu penafsiran. Ambiguitas umumnya berbeda dengan
ketidakjelasan. Dalam ambiguitas, penafsiran spesifik dan
berbeda bisa saja muncul (meski beberapa di antaranya tidak
tampak begitu saja), sementara informasi yang tidak jelas sulit
menghasilkan penafsiran apapun pada tingkat spesifikasi yang
diinginkan. (Wiki Pedia)
Ambiguitas peran atau kekaburan peran adalah suatu
kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang
dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan
perannya dengan tepat Brief et al. (1981) dalam Perrewe et al.
(2002). Oleh karena itu ambiguitas peran adalah bersifat
pembangkit stres sebab ia menghalangi individu untuk
melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan
tidak aman dan tidak menentu.
Seseorang dapat dikatakan berada dalam ambiguitas
peran apabila ia menunjukkan ciri-ciri antara lain sebagai
berikut:
a) tidak jelas benar apa tujuan peran yang dimainkannya;
b) tidak jelas kepada siapa ia bertanggung jawab dan siapa
yang melapor kepadanya;
c) tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan dari
padanya dan
d) tidak memahami benar peranan dari pekerjaannya dalam
rangka pencapaian tujuan secara keseluruhan.

Kahn et al. (1964) dalam Bhanugopan et al. (2006)


menemukan bahwa ambiguitas peran berhubungan negatif
dengan kesehatan fisik dan psikis. Para peneliti ini melaporkan

16 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


bahwa individu yang mengalami ambiguitas peran yang tinggi
cenderung merasa kurang puas terhadap pekerjaannya dan
melaporkan stres pekerjaan yang tinggi dibandingkan dengan
mereka yang rendah ambiguitas peran atau perannya lebih
jelas.
Kahn et al. (1964) dalam Wetzels et al. (2000)
mendefinisikan stres peran sebagai konstruk gabungan yang
terdiri dari apa yang disebut sebagai stressor peran atas
ambiguitas peran. Ambiguitas peran terjadi ketika seseorang
tidak memiliki akses ke informasi yang cukup untuk
menjalankan perannya sebagai karyawan Kahn et al. (1964),
memberikan contoh ambiguitas peran mungkin disebabkan
oleh adanya fakta bahwa karyawan tidak dapat memastikan
harapan manajemen atau fakta bahwa mereka tidak
mengetahui bagaimana kinerjanya akan dievaluasi.
Ambiguitas peran adalah dihubungkan dengan satu
kebutuhan kepastian dan meramalkan kemungkinan, terutama
dalam memenuhi makna dan tujuan mereka. Menurut Jackson
et al. (1986), bahwa lingkungan kerja menjadi ambigu, jika
individu kekurangan informasi untuk memenuhi aktivitas dan
tugas-tugas, seperti bila informasi terbatas atau tidak
tergambar atau dilafalkan dengan jelas. Pendapat Bhanugopan,
(2006) yang dapat mengakibatkan ambiguitas peran adalah
ketidakjelasan prosedur-prosedur yang sesuai untuk
melakukan tugas-tugas atau ukuran-ukuran untuk evaluasi
kinerja.
Ambiguitas peran didefinisikan sebagai kondisi yang
menekan yang disebabkan oleh kebingungan karyawan
mengenai harapan-harapan apa yang menjadi tanggung jawab
kerja yang ia emban sebenarnya (Rizzo et al., 1970).
Keberadaan peraturan, standar dan kebijakan tertulis juga
dapat mempengaruhi ambiguitas peran (Rizzo et al., 1970).

Kelelahan Kerja (Burnout) 17


Agar menghasilkan performa yang baik, karyawan perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk
dikerjakan dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka. Saat
tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang
diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.
Pearce (1981) berpendapat bahwa ambiguitas peran
mengacu pada tidak mungkin memprediksi konsekwensi-
konsekwensi kinerja seperti juga kekurangan informasi
mengenai peran perilaku-perilaku yang diharapkan. Sudah lebih
dua dekade, riset menunjukkan ambiguitas peran dihubungkan
dengan sejumlah dis-fungsional termasuk ketidakpastian,
ketidak puasan kerja, ketegangan psikologis, dan niat-niat
untuk tinggalkan organisasi menurut Jackson, (1993);
Schaubroeck et al., (1989). Selain itu sering diuji konsekwensi
dari ambiguitas peran adalah kelelahan kerja (burnout).
Variabel-variabel ini telah ditunjukkan pada berbagai posisi-
posisi yang termasuk publik servis, pengacara Jackson et al.
(1987), perawat Leiter dan Maslach, (1988), guru Schwab dan
Iwanicki, (1992), dan human servis profesional wanita
Brookings et al. (1985) dalam Perewe et al. (2002).

Definisi Ambiguitas Peran


Menurut Kreitner dan Kinicki (2005:203), ambiguitas
peran adalah pengharapan orang lain yang tidak diketahui.
Ambiguitas peran muncul karena kurangnya informasi atau
karena tidak adanya informasi sama sekali atau informasinya
tidak disampaikan. Menurut Munandar (2008: 374) ambiguitas
peran dirasakan jika seorang karyawan tidak memiliki cukup
informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak
mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan
dengan peran tertentu.

18 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Nimran (2004:100) mengemukakan ketidak-jelasan
peran atau ambiguitas peran adalah kurangnya informasi yang
jelas mengenai harapan terkait dengan peran, metode atau cara
untuk memenuhi peran, atau konsekuensi dari peran kinerja.
Dengan kata lain, ketidakjelasan peran merupakan perbedaan
antara jumlah orang yang memiliki informasi dan jumlah yang
mereka butuhkan untuk menjalankan peran secara memadai.
Ambiguitas peran (peran ganda) merupakan suatu kondisi
dimana karyawan tidak mendapatkan informasi yang cukup
mengenai arahan dan tujuan yang jelas peran yang dialami
karyawan dapat mempengaruhi emosi, proses berfikir dan
kondisi se-seorang. Keambiguitasan peran dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi
pekerjaan yang nantinya dapat menghambat pencapaian kinerja
yang diharapkan dan tentunya akan merugikan organisasi.
Para karyawan baru organisasi seringkali mengeluh
tentang deskripsi pekerjaan dan kriteria promosi mereka yang
tidak jelas. Menurut teori peran, ambiguitas peran
berkepanjangan dapat mendorong terjadinya ketidakpuasan
kerja, mengikis rasa percaya diri, dan menghambat kinerja
pekerjaan. Dalam suatu organisasi sebaiknya memiliki
keterangan yang jelas mengenai tugas dan tanggung jawab
pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh karyawan.
Ambiguitas peran kadang diperlukan untuk menghasilkan
performance yang baik, karena karyawan perlu mengetahui
tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan
serta skope dan tanggung jawab dari pekerjaan mereka. Rivai
dan Deddy (2010: 307) mengemukakan saat tidak ada
kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari
pekerjaannya maka akan timbul ambiguitas peran.
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa ambiguitas peran (kebingungan) terjadi apabila

Kelelahan Kerja (Burnout) 19


karyawan tidak memiliki informasi, arahan dan tujuan yang jelas
mengenai peran atau tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.

Nimran (2004:102) mengemukakan Ciri–ciri seseorang yang


mengalami ambiguitas peran :
a. Tidak jelas benar memahami apa tujuan peran yang dia
mainkan.
b. Tidak jelas kepada siapa dia bertanggung jawab.
c. Tidak cukup wewenang untuk melaksanakan tanggung
jawabnya.
d. Tidak sepenuhnya mengerti apa yang diharapkan.
e. Tidak memahami dengan jelas peranan dari pekerjaannya
dalam rangka mencapai tujuan secara keseluruhan.

3 Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ambiguitas peran


Ambiguitas peran yang dialami oleh karyawan akan
merugikan organisasi yang bersangkutan karena ketidakjelasan
sasaran atau tujuan bekerja dan kesamaran tentang tanggung
jawab akan menyebab-kan kinerja yang dihasilkan menurun.
Peran ganda (ambiguitas peran) muncul ketika seseorang
berharap memegang peran tertentu tetapi tidak secara jelas
dimengerti dan tidak yakin pada apa yang di lakukannya.
Ambiguitas peran muncul ketika karyawan merasa bahwa
terdapat banyak sekali ketidakpastian dalam aspek-aspek
peran atau keanggotaan karyawan tersebut dalam kelompok.
Peran ganda (ambiguitas peran) muncul ketika seseorang
berharap memegang peran tertentu tetapi tidak secara jelas
dimengerti dan tidak yakin pada apa yang di lakukannya.
Ambiguitas peran muncul ketika karyawan merasa bahwa
terdapat banyak sekali ketidakpastian dalam aspek-aspek

20 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


peran atau keanggotaan karyawan tersebut dalam kelompok.
Ambiguitas peran dapat terjadi ketika individu mengalami
ketidakpastian mengenai beberapa hal yang berhubungan
dengan pekerjaannya, seperti: mengenai lingkup tanggung
jawabnya, apa yang diharapkan darinya, dan bagaimana
mengerjakan pekerjaan yang beragam. Ambiguitas sering tidak
disukai dan cukup mengakibatkan tekanan bagi banyak orang
akan tetapi hal ini sering pula tidak dihindarkan.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ambiguitas peran
menurut Everly dan Giordano (1980) antara lain:
a. Ketidakjelasan dari sasaran-sasaran (tujuan-tujuan) kerja.
b. Kesamaran tentang tanggung jawab.
c. Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.
d. Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.
e. Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang unjuk
kerja pekerjaan.

Pegawai baru sering mengeluh mengenai job description


yang tidak jelas dan kriteria promosi yang tidak jelas. Sesuai
teori peran, jika ambiguitas peran diperpanjang dapat
memperbesar ketidakpuasan kerja, mengikis percaya diri, dan
menghambat kinerja. Ambiguitas peran merupakan
kebingungan yang timbul dari ketidaktahuan bahwa seseorang
diharap-kan melakukan tugas sebagai pemegang peran
(Wibowo, 2014:171).

2.3. Indikator Ambiguitas


Menurut Rizzo, House dan Lirtzman dalam Pratina (2013),
Indikator Ketidakjelasan Peran (ambigutas peran) dapat diukur
menggunakan indikator-indikator sebagai berikut:

Kelelahan Kerja (Burnout) 21


a. Wewenang, Merasa pasti dan jelas seberapa besar
wewenang yang dimiliki dan mempunyai rencana yang
jelas untuk suatu tugas.
b. Tanggung Jawab, mengetahui dengan jelas seberapa
besar tanggung jawab yang dibebankan dan bertanggung
jawab kepada siapa dan mampu membagi waktu dengan
tepat.
c. Kejelasan Tujuan, Mengetahui apa yang menjadi tujuan
yang ingn dicapai dan apa yang harus dikerjakan adalah
jelas.
d. Cakupan Pekerjaan, Mengetahui cakupan dan batasan
dari pekerjaan dan bagaimana kinerjanya dievaluasi.

Fanani et al (2008) telah mengembangkan enam indikator


untuk mengukur ambiguitas peran, yaitu:
a. Pengetahuan rencana dan tujuan pekerjaan di
perusahaan.
b. Pengetahuan cara membagi waktu untuk perusahaan.
c. Pengetahuan tanggung jawab di perusahaan.
d. Pengetahuan terhadap apa yang diharapkan perusahaan.
e. Pemahaman terhadap wewenang.
f. Pengetahuan terhadap Deskripsi pekerjaan (job
desripyion)

2.4. Menghindari Ambiguitas Peran


Idris (2012) mengutip pendapatat Zeithaml, V. A.,
Parasuraman, A. and Berry, L.L., bahwa untuk memberikan
kejelasan peran untuk karyawan, manajemen dapat
menggunakan empat kunci antara lain: komunikasi, umpan
balik, kepercayaan diri, dan kompetensi. Pertama, karyawan

22 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


informasi yang tepat dan akurat mengenai peran mereka dalam
organisasi. Karyawan memerlukan komunikasi setiap saat dan
lebih sering dari supervisor dan manajer mengenai apa yang
mereka harapkan untuk dilakukan. Perlu pula mengetahui
tujuan, strategi, dan filosofi perusahaan serta departemen dan
unit kerja mereka sendiri.
Karyawan membutuhkan informasi yang update (mutahir)
dan lengkap, misalnya mengenai produk dan jasa perusahaan
yang ditawarkan, dan mereka perlu mengetahui siapa
pelanggan perusahaan, apa yang mereka harapkan, dan
masalah apa saja yang mereka hadapi dalam menggunakan
layanan. Selanjutnya, karyawan perlu mengetahui seberapa
baik mereka melayani dibandingkan dengan standar pelayanan
yang ditetapkan untuk mereka, oleh karena itu karyawan harus
siap menerima complain atau koreksi dari pelanggan sebagai
alat untuk menyempurnakan pelayanan.
Ketika karyawan melakukan pekerjaan dengan baik
reword sangat diperlukan agar dapat membangun motivasi
kepada mereka dan memberi kesempatan untuk koreksi diri,
ketika mereka berkinerja buruk. Karyawan perlu merasa
percaya diri dan kompeten dalam pekerjaan mereka.
Perusahaan dapat meningkat kan kompetensi, keterampilan
dan kepercayaan karyawan dengan memberikan pelatihan yang
dibutuhkan untuk memuaskan pelanggan. Saat ini pelatihan
dapat diberikan secara on line atau off line.
Pelatihan yang berhubungan dengan jasa yang diberikan
oleh perusahaan yaitu dengan membuat contact person
sehingga ketika karyawan berhadapan dengan pelanggan
mereka merasa mampu memberi-kan pelayanan sesuai yang
diharapkan. Pelatihan yang mengutamakan keterampilan
komunikasi terutama dalam mendengarkan pelanggan dan
memahami apa yang harapkan pelanggan, mampu memberikan

Kelelahan Kerja (Burnout) 23


penjelasan yang akurat dan memberikan karyawan kemampuan
dalam menyelesaikan masalah yang muncul dengan pelanggan.
Program pelatihan harus dirancang untuk meningkatkan
kepercayaan dan kompetensi karyawan yang menghasilkan
kejelasan peran yang lebih besar.
Hal di atas dapat diterapkan pada karyawan melalui
program pendidikan dan pelatihan seperti yang dilakukan oleh
Federal Express (FedEx) memberikan pelatihan yang intensif
dan berkala setiap 4 bulan sekali selama 4 hari kepada
costumer servicenya secara on line sebelum menghadapi
pelanggan. Seperti melakukan pelacakan paket yang salah
sasaran dan dengan mudah untuk diketahui. Demikian juga
seperti yang dilakukan oleh Perusahaan Stew Leonard Dairy
Store yang mengikutkan setengah dari karyawannya dalam The
Dale Carnigie Program berupa latihan kepemimpinan bagi
karyawan. Saat ini sangat mudah melakukan pelatihan bagi
karyawan dalam jumlah besar dan jangkauan yang luas melalui
on line.

24 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Pengertian peran (role), seperti yang dinyatakan oleh
Collins et al. (1995) yaitu seperangkat pengharapan yang
ditujukan kepada pemegang jabatan pada posisi tertentu.
Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami
konflik peran (role conflict) apabila ada dua tekanan atau lebih
yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan kepada
seseorang, sehingga apabila individu tersebut mematuhi satu
diantaranya akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin
mematuhi yang lainnya, Collins et al. (1995) menyatakan bahwa
konflik peran terjadi jika individu mempunyai peran ganda
bertentangan atau menerima berbagai pengharapan atas peran
yang bertentangan atas jabatan tertentu.
Konflik peran didefinisikan sebagai “kejadian simultan
dengan seseorang yang membuat pemenuhan yang lebih sulit
dengan yang lainnya” Kahn et al. (1964). Untuk harapan-
harapan personel terbatas di suatu organisasi dan harapan-
harapan konsumen mungkin akan berbenturan. Misalnya, ketika
atasan mengharapkan karyawan untuk melayani konsumen

Kelelahan Kerja (Burnout) 25


sebanyak mungkin (beban kerja), pada saat yang sama,
konsumen mungkin akan menuntut perhatian personal.
Schul et al. (1988) menjelaskan dua hal yang dipandang
sebagai penyebab timbulnya konflik peran pada para
profesional-birokrat. Pertama, tugas-tugas birokratis bersifat
parsial dan pelatihan berlangsung singkat dan dilakukan dalam
organisasi, sedangkan pekerjaan profesional bersifat
keseluruhan (general) dan pelatihan memakan waktu yang
relatif lama diluar organisasi. Kedua, para birokrat loyal kepada
organisasi dan meletigimati tindakan mereka berdasarkan
kompetensi yang mereka miliki. Pada birokrasi, kepatuhan atau
ketaatan diawasi berdasarkan hirarkhi. Berbeda halnya dengan
profesional, ketaatan profesional diperoleh melalui sosialisasi
dan internalisasi norma etika yang ditetapkan oleh asosiasi
profesi. Dalam pengendalian birokrasi, pengendalian dilakukan
berdasarkan jenjang organisasi, sedangkan pengendalian
profesi dilakukan oleh rekan sejawat.
Konflik peran didefinisikan oleh Schaubroeck et al. (1989)
sebagai "the incongruity of expectations associated with a role".
Jadi, konflik peran itu adalah adanya ketidakcocokan antara
harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Secara
lebih spesifik, Schaubroeck et al. (1989), menyatakan bahwa
"Role conflict is the result of an employee facing the inconsistent
Expectations of various parlies or personal needs, values, etc.
"Artinya, konflik peran merupakan hasil dari ketidakkonsistenan
harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya
ketidakcocok-an antara tuntutan peran dengan kebutuhan,
nilai-nilai individu, dan sebagainya. Adanya konflik peran
seseorang biasa mengalami suasana dan perasaan terombang-
ambing, terjepit, dan serba salah.
Ciri-ciri seseorang yang berada dalam konflik adalah
sebagai berikut: (a) mengerjakan hal-hal yang tidak perlu; (b)

26 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


terjepit di antara dua atau lebih kepentingan yang berbeda
(atasan dan bawahan); (c) mengerjakan sesuatu yang diterima
oleh pihak yang satu tetapi tidak oleh yang lain; (d) menerima
perintah/ permintaan yang bertentangan, (e) mengerjakan
sesuatu atau berhadapan dengan keadaan di mana saluran
komando dalam organisasi tidak dipatuhi.
Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami
adanya:
a. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan
dan antara tanggung jawab yang ia miliki.
b. Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut
pandangannya bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
c. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan
kerja, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting
bagi dirinya.
d. Keyakinan pribadinya bertentangan dengan nilai-nilai
pada waktu melakukan tugas pekerjaannya.

Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran
intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan
organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai;
(b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan
terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di
dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur
memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak
pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi
dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu
alternative.

Kelelahan Kerja (Burnout) 27


Rizzo et al. dalam Winardi (2007) meng-kasifikasi konflik
peran sebagai berikut:
a. Intrasender role conflict
b. Intersender role conflict
c. Interrole conflict
d. Person-role conflict

Dari empat klasifikasi konflik peran tersebut akan


dijelaskan sebagai berikut:
1) Intrasender role conflict, yang dapat terjadi jika terdapat
incompatible pesan-pesan dan perintah-perintah yang
berbeda yang ber-sumber dari seorang anggota role-set
atau dengan kata lain konflik ini terjadi jika perangkat
harapan yang berbeda dirumuskan individu yang berbeda.
2) Intersender role conflict, yang dapat terjadi jika pesan-
pesan atau perintah-perintah yang berasal dari seorang
role senders bertentangan dengan pesan-pesan atau
perintah-perintah yang berasal dari role sender lainnya.
3) Interrole conflict, yang terjadi jika perintah-perintah yang
berkaitan dengan keanggotaan seseorang pada suatu
kelompok incompatible dengan perintah-perintah yang
berasal dari keanggotaannya pada kelompok yang lain,
Konflik antar peran dapat terjadi karena menghadapi
peranan ganda.
4) Person-role conflict, yang dapat terjadi jika tuntutan peran
tidak sesuai dengan nilai-nilai, sikap, atau pandangan-
pandangan focal person. atau terjadi jika tuntutan
peranan melanggar nilai-nilai dasar, sikap, dan kebutuhan
individu yang menduduki suatu posisi tertentu.

28 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Winardi (1992) membagi konflik menjadi empat macam,
dilihat dari posisi seseorang dalam struktur organisasi. Keempat
jenis konflik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan
yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam
organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
2. Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara
mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau
setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar
karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
3. Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara
karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando,
dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai
penasehat dalam organisasi.
4. Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang
mengemban lebih dari satu peran yang saling
bertentangan.

Konflik Peran (Role Conflict), diartikan sebagai


“ketidaksesuaian pengharapan yang ber-hubungan dengan
peran”, variabel ini diukur dengan menggunakan delapan item
instrumen yang dikembangkan oleh Rizzo et al. (1970).
Pearce (1981) berpendapat bahwa konflik peran
mengacu pada kesulitan memprediksi konsekwensi-
konsekwensi kinerja seperti juga kekurangan informasi
mengenai peran perilaku-perilaku yang diharapkan. Sudah lebih
tiga dekade, riset menunjukkan konflik peran dihubungkan
dengan sejumlah disfungsional termasuk ketidak-pastian,
ketidak puasan kerja, ketegangan psikolo-gis, dan niat-niat
untuk tinggalkan organisasi menurut Schaubroeck et al. (1989).
Lainnya sering diuji konsekwensi dari konflik peran adalah

Kelelahan Kerja (Burnout) 29


kelahan kerja (burnout). Variabel-variabel ini telah ditunjukkan
pada berbagai posisi-posisi yang termasuk publik servis,
pengacara Jackson et al. (1987), perawat Leiter dan Maslach
(1988), guru Schwab dan Iwanicki (1992), dan human servis
profesional wanita Brookings et al. (1985) dalam Perrewe et al.
(2002).
Robbins (2008), mendefinisikan konflik sebagai sebuah
proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa
pihak lain telah memengaruhi secara negatif, atau akan
memenga-ruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi perhatian
dan kepentingan pihak pertama. Nimran (2004)
mengemukakan konflik peran adalah adanya ketidaksesuaian
antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran.
Konflik peran merupakan suatu hasil dari ketidakkonsistenan
antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu.
Kreitner dan Kinicki (2005) mengatakan bahwa konflik
peran adalah orang-orang memiliki pengharapan yang saling
bertentangan atau tidak konsisten. Menurut Ivancevich, et al.
(2005: 298) Konflik peran muncul ketika seseorang menerima
pesan yang tidak sebanding berkenaan dengan perilaku peran
yang sesuai. Menurut Munandar (2008: 390) konflik peran
terjadi jika seseorang merasa bahwa pekerjaan yang dia lakukan
tidak sesuai dengan keinginan dan pertentangan dengan nilai-
nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakuakn tugasnya.
Menurut Arfan dan Ikhsan (2008) konflik peran adalah
gejala psikologis yang di alam oleh seseorang yang bisa
menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja dan berpotensi
menurunkan motivasi kerja. Konflik peran yang dialami para
karyawan kemungkinan dikarenakan mereka mengalami
kesulitan dalam hal memenuhi tuntutan atas peranannya, akan
tetapi setidaknya mereka mengetahui apa yang menjadi
harapan mereka.

30 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Jennifer M. George, Gareth R. Jones (2012),
mengemukakan bahwa konflik peran sebagai se-perangkat
perilaku atau tugas seseorang diharapkan untuk melakukan
suatu pekerjaan karena posisi dia sebagai kepala kelompok atau
organisasi. Konflik peran terjadi ketika perilaku yang diharapkan
atau tugas yang bertentangan satu sama lain. Misalnya, seorang
manajer mengalami konflik peran ketika atasannya
mengharapkan dia untuk meningkatkan tingkat produksi, dan
bawahannya mengeluh bahwa mereka sedang bekerja terlalu
keras.
Dari beberapa uraian yang telah dikemukakan
sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran
muncul ketika karyawan merasa kesulitan dalam hal
menyesuaikan berbagai peran dan bertanggung jawab dalam
waktu bersamaan.

3.1. Tipe-tipe konflik


Menurut Munandar (2008), konflik peran timbul jika
seorang karyawan mengalami adanya:
a. Pertentangan antara tugas-tugas yang harus dia lakukan.
b. Pertentangan antara tanggung jawab yang dia miliki.
c. Tugas-tugas yang harus dilakukan yang menurut
pandangannya bukan merupakan bagian dari
pekerjaannya.
d. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan.
e. Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari rekan.
f. Tuntutan-tuntutan dari bawahan.
g. Pertentangan antara nilai pribadi dengan keyakinan
pribadi.

Kelelahan Kerja (Burnout) 31


Beberapa karyawan sering menghadapi tuntutan yang
saling berkonflik antara pekerjaan dan keluarga, misalnya
perempuan mengalami konflik peranan yang lebih besar
daripada pria antara pekerjaan dan keluarga, karena
perempuan pada hakikatnya sebagai ibu rumah tangga yang
memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap suami dan
anak. Contoh lain, seorang dosen yang mendapat amanah
sebagai Rektor, pada saat bersamaan harus menghadiri rapat
karena tugasnya sebagai rektor dan harus mengajar sebagai
tugas dosen.
Kreitner dan Kinicki (2005) konflik peran dapat juga
dialami ketika internalisasi nilai, etika atau standar pribadi
bertentangan dengan harapan orang lain. Mangkunegara (2011)
konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang
diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain,
organisasi dengan kenyataan apa yang diharapkannya.
Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk
interaktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal,
kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini terutama
pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya
dengan stres (Winardi, 2003).
Luthans (2006), seseorang akan mengalami konflik peran
jika ia memiliki dua peran atau lebih yang harus dijalankan pada
waktu yang bersamaan. Konflik peran merupakan suatu gejala
psikologis yang dialami oleh seseorang yang bisa menimbul-kan
rasa tidak nyaman dan secara potensial bisa menurunkan
motivasi kerja sehingga bisa menurunkan kinerja secara
keseluruhan. Konflik peran muncul karena adanya
ketidaksesuaian pengharapan yang disampaikan pada
individual di dalam organisasi dengan orang lain di dalam
organisasi dan di luar organisasi (Tsai dan Shis, 2005 Fanani et
al., 2008). Konflik peran dide-finisikan sebagai kondisi yang

32 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


simultan dari dua atau lebih bentuk tekanan pada tempat kerja,
dimana pemenuhan dari satu peran membuat pemenuhan
terhadap peran lainnya lebih sulit (Carnicer, 2005). Artinya
terjadinya konflik peran ketika seseorang yang melaksanakan
satu peran tertentu membuatnya merasa kesulitan untuk
memenuhi harapan peran yang lain. Konflik ini cenderung makin
berkembang ketika tuntutan pekerjaan dan tuntutan peran
sosial sebagai tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
Konflik mampu menghancurkan organisasi melalui
penciptaan dinding pemisah antara rekan sekerja,
menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran diri.

3.2. Penyebab atau Sumber Konflik


Ada kondisi yang melatarbelakangi (antece-dent
conditions) terjadinya suatu konflik. Kondisi tersebut, bisa
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: a) komunikasi, b) struktur, dan c) variabel
pribadi. Muchlas (2008) mengemukakan ada tiga faktor yang
dapat dianggap sebagai sebab atau sumber dari konfik, yaitu:
1) Komunikasi
Komunikasi dapat direpresentasikan sebagai sumber
kekuatan-kekuatan yang bertentangan yang bisa muncul
dari kesulitan-kesulitan semantik, salah pengertian dan
gumuruhnya suara-suara lain dalam media komunikasi.
Sesuatu yang sudah klasik disebutkan bahwa komunikasi
sebagai alasan timbulnya konflik dengan buruh.
Serdamayanti (2007), komunikasi dapat men-jadi
sumber konflik karena diakibatkan adanya salah
memahami makna/arti yang berkenaan dengan kalimat,
bahasa yang kurang atau sulit dimengerti atau informasi

Kelelahan Kerja (Burnout) 33


yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu yang
tidak konsisten
2) Struktur
Semakin besar sebuah kelompok dan semakin
terspesialisasinya kegiatan-kegiatan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik. Kelompok-kelompok di
dalam organisasi memliki tujuan dan harapan-harapan
yang berbeda-beda, perbedaan diantara kelompok-
kelompok ini bisa menjadi sumber pokok terjadi konflik.
Selain itu, konflik yang ber-sumber dari struktur dapat
terjadi karena adanya persaingan kekuasaan antar
departemen dengan kepentingan-kepentingan atau
sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk
memperebutkan sumberdaya-sumberdaya yang terbatas
atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-
kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka
(Sedarmayanti, 2007)
3) Variabel-variabel pribadi
Variabel-variabel pribadi dalam konteks ini adalah faktor-
faktor pribadi, termasuk sistem nilai individual yang
dimiliki oleh setiap orang dan karakteristik-karakteristik
kepribadian yang bertanggung jawab terhadap terjadinya
penyimpangan dan perbedaan-perbedaan. Menurut
Serdamayanti (2007), konflik peran disebabkan, karena
tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai social pribadi
karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan
mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai persepsi.

34 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Wijono (2010) mengemukakan konflik dapat
dikelompokkan dalam dua unsur yaitu:
1) Konflik antar individu dengan dirinya sendiri. Konflik antar
individu dengan dirinya sendiri terjadi jika ada satu
pertentangan yang terjadi di dalam diri individu yang
diakibatkan oleh adanya unsur-unsur yang saling
bertentangan yang mengakibatkan individu tersebut
menga-lami kesulitan dalam menentuukan sikap.
2) Konflik antar individu dengan lingkungan organisasi.
Konflik antara individu dengan lingkungan dalam
organisasi muncul ketika individu mengalami
ketidakcocokan antara kepentingan diri sendiri dengan
kepentingan orang lain atau kelompok yang mempunyai
tujuan yang sama dalam organisasi tersebut.

Muchlas (2008) menjelaskan bahwa ada tiga jenis konflik


peran diantaranya yaitu:
1) Konflik antara orang dan peran. Konflik ini terjadi akibat
adanya pertentangan kepribadian seseorang dengan
harapan peran.
3. 2) Konflik dalam peran (intrarole). Jenis yang kedua
adalah konflik yang timbul akibat adanya ekspektasi yang
saling bertentangan, bagaimana peran yang diberikan itu
sebaiknya dimainkan atau dijalankan.
2) Konflik antar peran (interrole) Konflik ini muncul akibat
adanya persyaratan yang berbeda antara dua atau lebih
peran-peran yang harus dijalankan pada saat yang sama.

Kelelahan Kerja (Burnout) 35


3.3. Indikator Konflik Peran
Rizzo et al. (1970) dalam Fanani et al. (2008) telah
mengembangkan tujuh indikator untuk mengukur konflik peran,
yaitu:
1) Bekerja pada dua kelompok atau lebih yang cara
melakukannya berbeda
2) Mengabaikan aturan atau kebijakan
3) Diminta melakukan beberapa pekerjaan yang saling
bertentangan
4) Melakukan hal-hal yang tidak dapat diterima oleh orang
lain
5) Melakukan hal-hal yang tidak harus dilakukan seperti
biasanya
6) Dukungan material dan sumberdaya
7) Dukungan sumberdaya manusia

Menurut Wexley terjemahan Shobaruddin (2003)


indikator konflik peran antara lain:
1) Peran. Peran adalah serangkaian perilaku yang
diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi
tertentu dalam organisasi atau kolompok.
2) Harapan. Peran Harapan peran berasal dari tuntutan dari
tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas,
peratutan-peraturan dan standar.
3) Peran Sosial. Kondisi situasi masyarakat yang berada di
lingkungan sekitar yang memiliki dampak besar terhadap
kondisi lingkungan.

36 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


3.4. Menghindari Konflik Peran
Beberapa ahli berpendapat, individu yang mengalami
konflik antara peran yang berke-panjangan akan berupaya
mencari metode untuk mengurangi konflik atau mengurangi
ketegangan yang dirasakan antara peran.
Bruening and Dixon dalam Lubis (2014) mengemukakan
bahawa untuk menghindari konflik peran dapat menggunakan
metode seperti berikut:
1. Penyesuaian waktu atau usaha yang terlibat dalam konflik
peran, sehingga konflik langsung dapat berkurang.
Sebagai contoh, seorang pimpinan mendapatkan jadwal
yang penting lebih dari satu pada waktu yang bersamaan.
Maka pimpinan tersebut dapat mendelegasikan tugasnya
kepada bawahan yang berkompeten.
2. Metode lain yaitu mengubah sikap seseorang terhadap
suatu konflik dari pada mengurangi konflik itu sendiri.
Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang bekerja di luar
rumah, memutuskan untuk merasa kurang bersalah
dengan kurangnya waktu kebersamaan dengan anak-
anak.
3. Mencari dan mengandalkan dukungan organi-sasi juga
merupakan metode untuk mengatasi dan mengurangi
konflik peran. Misalnya, organisasi memberikan tunjangan
keluarga seperti cuti keluarga. Menurut Horton dan Hunt
dalam Liliweri (2011), resolusi konflik adalah sekumpulan
teori dan penyelidikan yang bersifat eksperimental dalam
memahami sifat-sifat konflik, meneliti strategi tejadinya
konflik, kemudian membuat penyelesaian terhadap
konflik. Resolusi konflik yang dapat diartikan sebagai
penyelesaian konflik (Conflict Resolution) adalah usaha
yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan cara

Kelelahan Kerja (Burnout) 37


mencari kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat di
dalam konflik. Resolusi konflik memiliki tujuan agar kita
mengetahui bahwa konflik itu ada dan diarahkan pada
keterlibatan berbagai pihak dalam isu-isu mendasar
sehingga dapat diselesaikan secara efektif. Ada beberapa
proses yang umum untuk penyelesaian konflik peran,
yaitu antara lain:
1) Rasionalisasi
Rasionalisasi yakni suatu proses defensif untuk
mendefinisikan kembali suatu situasi yang
menyakitkan dengan istilah-istilah yang secara
sosial dan pribadi dapat diterima. Rasionalisasi
menutupi kenyataan konflik peran, yang mencegah
kesadaran bahwa ada konflik. Misalnya, orang yang
percaya bahwa ”semua manusia sederajat” tapi
tetap merasa derajatnya lebih tinggi daripada orang
lain.
2) Pengkotakan (Compartmentalization).
Pengkotakan (Compartmentalization) yakni
memperkecil ketegangan peran dengan memagari
peran seseorang dalam kotak-kotak kehidupan yang
terpisah, sehingga seseorang hanya menanggapi
seperangkat tuntutan peran pada satu waktu
tertentu. Misalnya, seorang politisi yang di acara
seminar bicara berapi-api tentang pembela-an
kepentingan rakyat, tapi di kantornya sendiri ia terus
melakukan korupsi dan merugikan kepentingan
rakyat.
3) Ajudikasi (Adjudication)
Ajudikasi yakni prosedur yang resmi untuk
mengalihkan penyelesaian konflik peran yang sulit

38 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kepada pihak ketiga, sehingga seseorang merasa
bebas dari tanggung jawab dan dosa.
4) Kedirian (Self)
Kadang-kadang orang membuat pemisahan secara
sadar antara peranan dan ”kedirian” (self), sehingga
konflik antara peran dan kedirian dapat muncul
sebagai satu bentuk dari konflik peran. Bila orang
menampil-kan peran yang tidak disukai, mereka
kadang-kadang mengatakan bahwa mereka hanya
menjalankan apa yang harus mereka perbuat.
Sehingga secara tak langsung mereka mengatakan,
karakter mereka yang sesungguhnya tidak dapat
disamakan dengan tindakan-tindakan mereka itu.

Konflik-konflik nyata antara peran dan kedirian itu dapat


dianalisis dengan konsep jarak peran (role distance) yang
dikembangkan Erving Goffman. ”Jarak peran” diartikan sebagai
suatu kesan yang ditonjolkan oleh individu bahwa ia tidak
terlibat sepenuhnya atau tidak menerima definisi situasi yang
tercermin dalam penampilan perannya. Ia melakukan
komunikasi-komunikasi yang tidak sesuai dengan sifat dari
peranannya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar
peran yang dimainkannya. Seperti, pelayan toko yang
mengusulkan pembeli untuk pergi ke toko lain karena mungkin
bisa mendapatkan harga yang lebih murah. Ini merupakan
tindakan mengambil jarak dari peran yang mereka lakukan
dalam suatu situasi.
Penampilan “jarak peran” menunjukkan adanya perasaan
kurang terikat terhadap peranan. Pada sisi lain, ”penyatuan diri”
dengan pera an secara total merupakan kebalikan dari”jarak
peran.”Penyatuan diri terhadap peran tidak dilihat dari sikap

Kelelahan Kerja (Burnout) 39


seseorang terhadap perannya, tetapi dari tindakan nyata yang
dilakukannya. Seorang individu menyatu dengan perannya bila
ia menunjukkan semua kemampuan yang diperlukan dan secara
penuh melibatkan diri dalam penampilan peran tersebut.

40 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


4.1. Pengertian Kelelahan Kerja (Burnout)
Semenjak Freudenberger pada (1974) dalam Bhanugopan
(2004) mengenalkan istilah burnout (kelelahan kerja), sejak itu
pula terminologi kelelahan kerja berkembang menjadi
pengertian yang meluas dan digunakan untuk memahami gejala
kejiwaan pada diri seseorang. Berbagai tinjauan dari
penggunaan termi-nologi hingga menyimpulkan sindroma yang
kronik tentang stres di lingkungan pekerjaan, yang dialami oleh
seseorang.
Maslach et al. (2001) dan Leiter et al. (2001) mengatakan
bahwa kelelahan kerja merupakan suatu pengertian yang multi
dimensional. Dikata-kannya, kelelahan kerja merupakan
sindroma-psikologis yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu: (i)
kelelahan emosional, (ii) depersonalisasi, dan (iii) low personal
accom-plishment. Dijelaskan, bahwa pekerjaan yang ber-
orientasi melayani orang lain, dapat mem-bentuk hubungan
yang bersifat ”asimetrik”, antara pemberi dan penerima
pelayanan. Seseorang yang berkerja pada bidang pela-yanan
akan memberikan perhatian, pelayan-an, bantuan dan

Kelelahan Kerja (Burnout) 41


dukungan seperti kepada klien, mahasiswa, atau pasien.
Burnout merupakan sindrom kelelahan, baik secara fisik
maupun mental yang termasuk di dalamnya berkembang
konsep diri yang negatif, kurangnya konsentrasi serta perilaku
kerja yang negatif (Pines & Maslach, 1993). Keadaan ini
membuat suasana di dalam pekerjaan menjadi dingin, tidak
menyenang-kan, dedikasi dan komitmen menjadi ber-kurang,
performansi, prestasi pekerja menjadi tidak maksimal. Hal ini
juga membuat pekerja menjaga jarak, tidak mau terlibat dengan
lingkungannya. Burnout juga dipengaruhi oleh ketidak sesuaian
antara usaha dengan apa yang di dapat dari pekerjaan.
Menurut Pines dan Aronson (1989), burnout merupakan
kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan
keter-libatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan
tuntutan emosional. Schaufelli (1993) mendefenisikan burnout
sebagai sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu
kelelahan emosional, deperso-nalisasi, dan penurunan
pencapaian prestasi pribadi. Selanjutnya, Beberapa penelitian
melihat burnout sebagai bagian dari stress (Luthans, 2005).
Menurut Rizzo (1987) burnout menyebabkan seseorang tidak
memi-liki tujuan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam
bekerja. Sementara itu, Freudenberger (1991) menyatakan
burnout merupakan kelelahan yang terjadi karena seseorang
bekerja terlalu intens tanpa mem-perhatikan kebutuhan
pribadinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kelelahan kerja (burnout) adalah sindrom psikologis yang
disebabkan adanya rasa kelelahan yang luar biasa baik secara
fisik, mental, maupun emosional, yang menyebabkan seseorang
terganggu dan terjadi penurunan pencapaian prestasi pribadi.

42 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


4.2. Dimensi Burnout
Leiter & Maslach (1997) menyebutkan ada tiga dimensi
dari burnout, yaitu;
a. Exhaustion
Exhaustion merupakan dimensi burnout yang
ditandai dengan kelelahan yang berke-panjangan baik
secara fisik, mental, maupun emosional. Ketika pekerja
merasakan kele-lahan (exhaustion), mereka cenderung
berpe-rilaku overextended baik secara emosional maupun
fisikal. Mereka tidak mampu menyelesaikan masalah
mereka. Tetap merasa lelah meski sudah istirahat yang
cukup, kurang energi dalam melakukan aktivitas.
b. Cynicism
Cynicism merupakan dimensi burnout yang ditandai
dengan sikap sinis, cenderung menarik diri dari dalam
lingkungan kerja. Ketika pekerja merasakan cynicism
(sinis), mereka cenderung dingin, menjaga jarak,
cenderung tidak ingin terlibat dengan ling-kungan
kerjanya. Cynism juga merupakan cara untuk terhindar
dari rasa kecewa. Perilaku negatif seperti ini dapat
memberikan dampak yang serius pada efektivitas kerja.
c. Ineffectiveness
Ineffectiveness merupakan dimensi burnout yang
ditandai dengan perasaan tidak berdaya, merasa semua
tugas yang diberikan berat. Ketika pekerja merasa tidak
efektif, mereka cenderung mengembangkan rasa tidak
mampu. Setiap pekerjaan terasa sulit dan tidak bisa
dikerjakan, rasa percaya diri berkurang. Pekerja menjadi
tidak percaya dengan dirinya sendiri dan orang lain tidak
percaya dengannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dimensi burnout
terdiri dari burnout exhaustion (gabungan dari physical

Kelelahan Kerja (Burnout) 43


exhaustion, emotional exhaustion, mental exhaustion),
cynicism, dan ineffectiveness.

4.3. Dampak Burnout pada Pekerja


Adapun dampak dari burnout menurut Leiter & Maslach
(2005) adalah:
a. Burnout is Lost Energy
Pekerja yang mengalami burnout akan merasa
stress, overwhelmed, dan exhausted. Pekerja juga akan
sulit untuk tidur, menjaga jarak dengan lingkungan. Hal ini
akan mempengaruhi keinerja performa dari pekerja.
Produktivitas dalam bekerja juga semakin menurun.
b. Burnout is Lost Enthusiasm
Keinginan dalam bekerja semakin menurun, semua
hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjadi tidak
menyenangkan. Kreatifitas, ketertarikan terhadap
pekerjaan semakin berkurang sehingga hasil yang
diberikan sangat minim.
c. Burnout is Lost Confidence
Tanpa adanya energi dan keterlibatan aktif pada
pekerjaan akan membuat pekerja tidak maksimal dalam
bekerja. Pekerja semakin tidak efektif dalam bekerja yang
semakin lama membuat pekerja itu sendiri merasa ragu
dengan kemampuannya. Hal ini akan memberikan
dampak bagi pekerjaan itu sendiri. Dalam suatu penelitian
ditemukan ambiguitas peran, motivasi intrinsik dan
konflik peran, sebagai anteseden kelelahan kerja yang
terkorelasi serta mempunyai konsekuensi terhadap
komitmen organisasi, kepuasan kerja, kinerja tenaga
penjual dan keinginan untuk pindah, yang diteliti oleh Low
et al. (2001)

44 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


4.4. Konsep-konsep Kelelahan Kerja (Burnout)
Konsep kelelahan kerja (burnout) menurut Moore (2000),
meliputi :
1) Konsep Tedium
Tedium adalah kondisi, fisik, emosi, dan kelelahan
mental dalam jangka panjang yang disebabkan karena
situasi yang terlalu banyak hal negatif diban-dingkan hal
positifnya. Dalam hal ini, keadaan seorang pekerja dimana
pekerjaannya menuntut banyak, tanpa dapat memberikan
reward yang sepadan.
2) Konsep Kelelahan Kerja (Job Burnout)
Kelelahan kerja adalah tekanan emosi secara
konstan atau berulang-ulang yang diakibat-kan karena
keterlibatan orang banyak dalam jangka waktu yang lama.
Pada literatur-literatur dijelaskan bahwa kelelahan kerja
banyak dialami oleh pekerja public services, seperti
perawat, polisi, jasa sosial (social service).
Maslach dan Jackson, (1981) mendefinisi- kan
kelelahan kerja menjadi tiga komponen, yaitu: sindrom
psikologi karena kelelahan emosi, depersonalisasi
(insensitif dan kasar), dan menjadi kurang ramah (untuk
seorang pekerja human service).
3) Konsep Schaufeli
Schaufeli merevisi konsep kelelahan kerja, dimana
konsep ini diaplikasikan pada skala yang lebih luas, tidak
hanya pekerja dalam public services yang berinteraksi
dengan banyak orang secara konstan. Schaufeli
mempunyai komponen yang terinspirasi dari Maslach dan
Jackson, yaitu kelelahan (exhaustion), sinisme, dan
berkurangnya efektifitas profesional.
Moore (2000), mengemukakan beberapa penyebab
yang mempengaruhi kelelahan kerja (burnout) antara lain:

Kelelahan Kerja (Burnout) 45


1. Pekerjaan yang berlebihan (job overload),
kekurangan sumber daya manusia yang kompeten
mengakibatkan menumpuknya pekerjaan yang
seharusnya dikerjakan dengan jumlah karyawan
yang lebih banyak.
2. Kekurangan waktu, batas waktu yang diberi-kan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan terkadang
tidak masuk akal. Pada saat si karyawan hendak
mendiskusikan masalah tersebut dengan
atasannya, si atasan bukan-nya memberi solusi
pemecahan namun seringkali memberikan tugas-
tugas baru yang harus dikerjakan.
3. Konflik peran (role conflict). Konflik peran biasanya
terjadi antar karyawan dengan jenjang posisi yang
berbeda, yang seringkali disebabkan oleh otoritas
yang dimiliki oleh peran atau jabatan tersebut.
4. Ambiguitas peran (role ambiguity). Tidak jelasnya
deskripsi tugas yang harus dikerja-kan seringkali
membuat para karyawan mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang seharus-nya tidak dikerjakan oleh
karyawan tersebut kalau ditilik dari sisi keahlian
maupun posisi pekerjaannya.

Kelelahan emosional adalah respons individual yang unik


terhadap stres yang dialami di luar kelaziman pada hubungan
inter-personal karena dorongan emosional yang kuat, timbulnya
perasaan seakan-akan tak ada orang yang membantunya,
depresi, perasaan terbelenggu dan putus asa menurut
Freudenberger (1974) dalam Bhanugopan et al. (2006). Selain
itu, merasa ingin membatalkan pekerjaan, kehilangan pasangan
kerja, pudarnya ilusi sebagai simpton lain dari kelelahan
emosional dalam situasi yang kronik, dapat mendorong

46 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


seseorang mengalami sakit mental bahkan bunuh diri. Potensi
negatif kelelahan emosional itu melicinkan seseorang ke arah
putus asa dan depresi, dua karakteristik yang berpotensi kuat
untuk me-lakukan bunuh diri (Moore, 2000).
Beberapa pendapat tentang kelelahan kerja, kesimpulan
translations dari Medical-Psychology (2006) meliputi: a)
Kehabisan Tenaga, meng-gambarkan seseorang tanpa
cadangan tenaga lagi, b) Letih, berati lebih capek daripada lelah
atau penat, dan sepertinya juga bisa dipakai untuk kondisi
mental c) Kelelahan Fisik dan Emosional, hal ini disebabkan
oleh faktor-faktor stress yang berhubungan dengan pekerjaan
seperti yang dinyatakan oleh Hartono (1999), d) Kelelahan
kerja, pada pekerjaan pelayanan kemanusiaan lebih sering
dikaitkan dengan perasaan lelah secara fisik dan psikis. Bagi
yang lain, gelisah dan tidak mampu tidur dengan baik adalah
simpton yang umum dari kelelahan syaraf. Kelelahan kerja
adalah tekanan emosi secara konstan atau berulang-ulang yang
diakibatkan karena keterlibatan orang banyak dalam jangka
waktu lama. Pada literatur-literatur dijelaskan bahwa kelelahan
kerja banyak dialami oleh pekerja public services, seperti
perawat, polisi, social service, e) Gersang semangat atau
Gosong jiwa, adalah keadaan psikis yang terjadi akibat
seseorang terkuras habis semangat/ gairahnya akibat tuntutan
yang terlalu besar diletakkan oleh diri sendiri atau lingkungan.
Wujudnya adalah kelelahan fisik, mental, emosional. Kelelahan
kerja juga terjadi akibat perubahan kondisi psikologis berupa
“kelelahan” yang merupakan kelelahan fisik (physical
exhaution), kelelahan emosional (emotional exhaustion) dan
kelelahan mental (mental exhaustion). Istilah kelelahan kerja
pertama kali diutarakan oleh Herbert Freudenberger sekitar
tahun 1974. Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa
yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut

Kelelahan Kerja (Burnout) 47


seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Sesuatu
gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan berbagai
aktivitas didalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah
kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang
terkena kelelahan kerja, dari luar segalanya masih nampak
utuh, namun didalamnya kosong dan penuh masalah (seperti
gedung yang terbakar tadi), f) Lelah Fisik dan mental,
sebenarnya kelelahan kerja adalah lelah fisik, mental, dan
emosional yang sering diamati oleh pekerja sosial, g) Kepala
pecah, diasumsikan dalam bahasa Inggris idiom ini asalnya
diambil dari kelelahan kerja istilah pecah ban, dalam bahasa
Indonesia istilah kepala pecah ini lazim, dan h) Kejenuhan,
istilah kejenuhan cukup dapat dipakai untuk menerjemahkan
istilah tersebut, atau kejenuhan yang dalam, atau kejenuhan
yang berat.
Menurut model konseptual Babakus (1999) kelelahan
kerja dapat diartikan sebagai kehabisan tenaga. Kelelahan kerja
merupakan suatu problem yang kemunculannya mem-peroleh
tanggapan yang baik, sebab hal itu terjadi ketika seseorang
mencoba mencapai tujuan yang tidak realistis, pada akhirnya
kehabisan energi dan kehilangan perasaan tentang dirinya dan
terhadap orang lain (Bhanugopan et al., 2006)
Pengetahuan tentang kelelahan kerja (job burnout) telah
mengalami peningkatan besar selama dua dekade terakhir.
Konsep kelelahan kerja dapat diterima dengan cepat. Kelelahan
kerja dapat didefinisikan lewat berbagai cara. Freudenberger
(1980) mengidentifikasikan kelelah-an kerja sebagai “kondisi
lelah (fatigue) atau frustrasi yang ditimbulkan oleh karena si
individu berjuang untuk mencapai tujuan tertentu, karena si
individu memiliki gaya hidup tertentu, atau karena si individu
mengalami kegagalan untuk menghasilkan ganjaran yang
diinginkannya dari hubungan yang ia bina”. Pines et al. (1995)

48 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


mendefinisikan kelelahan kerja sebagai “adanya kehabisan
tenaga secara fisik (depletion), perasaan tidak berdaya dan
putus asa, kelelahan emosional (emotional drain), dan
munculnya konsep diri yang negatif dan sikap yang negatif
terhadap pekerjaan, kehidupan dan terhadap orang lain”.
Sekalipun sudah banyak penelitian terhadap konsep
kelelahan kerja dengan definisinya sendiri-sendiri namun
tampaknya definisi yang paling banyak diterima untuk sekarang
adalah definisi dari Maslach et al. (2001) yaitu bahwa
“kelelahan kerja” adalah respon secara berkepanjangan
terhadap stresor-stresor (faktor-faktor penyebab stress)
emosional maupun interpersonal yang sudah bersifat kronis
(terjadi dalam waktu lama dan terus menerus) dan bercirikan
adanya tiga dimensi yaitu kehabisan tenaga (exhaustion), sikap
sinis dan ketidakberdayaan (inefficacy).” Seperti model
penelitian yang dilakukan oleh Yagil 2006 berikut

Sumber : Yagil (2006)


Gambar 3
Konseptual Hubungan antara motivasi kekuasaan dari Penyedia Layanan,
Pemberdayaan dan Kelelahan kerja dengan Kepuasan Kerja

Kelelahan Kerja (Burnout) 49


Pemberdayaan juga dipandang sebagai keadaan yang
mendahului atau dapat menyebabkan kelelahan kerja (burnout)
seperti yang ditemukan dalam penelitian yang dilakukakn oleh
Yagil (2006) seperti pada Gambar 3.

4.5. Faktor-Faktor Penyebab Burnout


Menurut Leiter & Maslach (1997) burnout biasanya terjadi
karena adanya ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan
pekerja. Ketika adanya perbedaan yang sangat besar antara
individu yang bekerja dengan pekerjaannya akan
mempengaruhi performasi kerja. Leiter & Maslach (1997)
membagi beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya
burnout, yaitu:
a. Work Overloaded
Work overload kemungkinan terjadi akibat
ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaan-nya.
Pekerja terlalu banyak melakukan pekerjaan dengan
waktu yang sedikit. Overload terjadi karena pekerjaan
yang dikerjaan melebihi kapasitas kemampuan manusia
yang memiliki keterbatasan. Hal ini dapat menyebabkan
menurunnya kualitas pekerja, hubungan yang tidak sehat
di lingkungan pekerjaan, menurunkan kreativitas pekerja,
dan menyebabkan burnout.
b. Lack of Work Control
Semua orang memiliki keinginan untuk memiliki
kesempatan dalam membuat pilihan, keputusan,
menggunakan kemampuannya untuk berfikir dan
menyelesaikan masalah, dan meraih prestasi. Adanya
aturan terkadang membuat pekerja memiliki batasan
dalam berinovasi, merasa kurang memiliki tanggung

50 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


jawab dengan hasil yang mereka dapat karena adanya
kontrol yang terlalu ketat dari atasan.
c. Rewarded for Work
Kurangnya apresiasi dari lingkungan kerja membuat
pekerja merasa tidak bernilai. Apresiasi bukan hanya
dilihat dari pemberian bonus (uang), tetapi hubungan yang
terjalin baik antar pekerja, pekerja dengan atasan turut
memberikan dampak pada pekerja. Adanya apresiasi yang
diberikan akan meningkatkan afeksi positif dari pekerja
yang juga merupakan nilai penting dalam menunjukkan
bahwa seseorang sudah bekerja dengan baik.
d. Breakdown in Community
Pekerja yang kurang memiliki rasa belongingness
terhadap lingkungan kerjanya (komunitas) akan
menyebabkan kurangnya rasa keterikatan positif di
tempat kerja. Seseorang akan bekerja dengan maksimal
ketika memiliki kenya-manan, kebahagiaan yang terjalin
dengan rasa saling menghargai, tetapi terkadang
lingkungan kerja melakukan sebaliknya. Ada kesenjangan
baik antar pekerja maupun dengan atasan, sibuk dengan
diri sendiri, tidak memiliki quality time dengan rekan kerja.
Terkadang teknologi seperti hand-phone, computer
membuat seseorang cenderung menghilangkan social
contact dengan orang disekitar. Hubungan yang baik
seperti sharing, bercanda bersama perlu untuk dilakukan
dalam menjalin ikatan yang kuat dengan rekan kerja.
Hubungan yang tidak baik membuat suasana di
lingkungan kerja tidak nyaman, full of anger, frustasi,
cemas, merasa tidak dihargai. Hal ini membuat dukungan
sosial menjadi tidak baik, kurang rasa saling membantu
antar rekan kerja.

Kelelahan Kerja (Burnout) 51


e. Treated Fairly
Perasaan tidak diperlakukan tidak adil juga
merupakan faktor terjadinya burnout. Adil berarti saling
menghargai dan menerima perbedaan. Adanya rasa saling
menghargai akan menimbulkan rasa keterikatan dengan
komunitas (lingkungan kerja). Pekerja merasa tidak
percaya dengan lingkungan kerjanya ketika tidak ada
keadilan. Rasa ketidakadilan biasa dirasakan pada saat
masa promosi kerja, atau ketika pekerja disalahkan ketika
mereka tidak melakukan kesalahan.

Semakin pesatnya perkembangan organisasi,


memberikan konsekwensi meningkatnya tuntutan dalam
pekerjaan. individu dalam organisasi dituntut untuk
menyesuaikan dirinya dengan perubahan-perubahan yang
terkadang amat cepat terjadi. persaingan berlangsung dengan
sengit dan individu tidak dapat melepaskan diri dari tekanan
yang harus dihadapi. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut
maka gangguan bersifat fisik maupun psikologis akan
menghadang kehidupan mereka. Burnout cendrung menjadi
masalah tertentu diantara orang yang memerlukan kontak yang
mendalam dengan memiliki tanggung jawab atas orang lain.
Suatu ide yang amat penting yang tersitar dalam
konseptualisasi dari burnout berhubungan dengan keterlibatan
pekerjaan yang tinggi, identitas atau komitmenterhadap
pekerjaan atau profesiseseorang merupakan penyebab Burnout
(Ivancevich, Konopaske, & Matteson, 2006).
Kebanyakan dari penelitian berkaitan dengan Burnout
difokuskan pada profesi secara umum mengarah pada profesi
pelayanan, seperti Dokter, Guru, Polisi dan pekerjaan yang
memberi layanan umum lainnya. Namun burnout tidak hanya
terjadi pada pada seseorang yang berprofesi sebagai pekerja

52 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pemberi layanan saja, burnout juga banyak ditemukan pada
berbagai pekerjaan lain yaitu dalam bidang organisasi maupun
industri (Maslach, Schaufeli, & Leiter, 2001).
Penelitian Rani Hardiyanti (2012) mengenai gejala-gejala
burnout pada pegawai Kantor Pos, gejala yang paling banyak
ditampakkan adalah selalu merasa lelah setiap hari, dan letih
secara fisik seperti demam, flu, sakit kepala dan gangguan
pencernaan terutama pegawai yang telah bekerja sekitar 10
tahun.
Burnout terjadi diakibatkan oleh faktor situasional,
termasuk di dalamnya karakteristik pekerjaan, jenis pekerjaan,
karakteristik organisasi dan faktor individual terdiri dari
karakteristik demografis, karakteristik kepribadian, dan sikap
terhadap pekerjaan (Maslach et al, 2001).

Kelelahan Kerja (Burnout) 53


54 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
Semenjak dipublikasikan oleh Goleman pada tahun 1995,
kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) menjadi salah
satu perbincangan dalam perusahaan-perusahaan Amerika.
Ketika Harvard Business Review dalam Cheniss (2000)
mempublikasikan artikel mengenai topik ter-sebut cukup
menarik minat pembaca dibanding-kan artikel-artikel lain yang
dipublikasikan tersebut, ia sangat terkesan dan mengirim
fotokopi artikel tersebut pada 400 top eksekutif perusahaan-
nya (Cherniss, 1998).
Kecerdasan emosional telah diterima dan diakui
kegunaannya. Studi-studi menunjukkan bahwa seorang
eksekutif atau profesional yang secara teknik unggul dan
memiliki Emotional Quation (EQ) yang tinggi adalah orang-orang
yang mampu mengatasi konflik, melihat kesenjangan yang perlu
dijembatani atau diisi, melihat hubung-an yang tersembunyi
yang menjanjikan peluang, berinteraksi, penuh pertimbangan
untuk menghasil-kan yang lebih berharga, lebih siap, lebih
cekatan, dan lebih cepat dibandingkan orang lain. Manfaat-
manfaat yang dihasil kan oleh kecerdasan emosional

Kelelahan Kerja (Burnout) 55


merupakan faktor keberhasilan organi-sasi adalah berkaitan
dengan pembuatan keputusan, kepemimpinan, terobosan
teknis dan strategis, komunikasi yang terbuka dan jujur, bekerja
sama dan saling mempercayai, membangun loyalitas,
kreativitas dan inovasi seperti yang dikemukakan oleh (Cooper,
R.K dan Sawaf, 2002).

5.1. Akar Sejarah Kecerdasan Emosional (Emotional


Intelligence)
Ketika para ahli psikologi mulai menulis dan berpikir
tentang kecerdasan, mereka berfokus pada aspek kognitif,
seperti ingatan dan penyelesaian problema. Tetapi ada
beberapa peneliti yang beranggapan bahwa ada aspek-aspek
non kognitif yang juga penting, misalnya David Wechsler
mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau kapasitas
global individu untuk bertindak dengan tujuan tertentu, untuk
berpikir secara rasional dan mengelola lingkungannya secara
efektif. Pada awal tahun 1940 ia menunjukkan elemen "non-
intellective" sama baiknya dengan elemen "intellective",
maksudnya adalah mencakup faktor-faktor afektif, personal
dan sosial. Pada awal tahun 1934 Weschler mengusulkan
kemampuan non intellective sebagai hal yang mendasar untuk
memprediksi kemampuan seseorang untuk mencapai
kesuksesan hidup. Weschler mempertanyakan apakah non
intelective, yaitu kemampuan afektif (berhubungan dengan
emosi) dan konatif (berhubungan dengan sikap), dapat diterima
sebagai faktor-faktor umum kecer-dasan? Cherniss
berpendapat terdapat faktor-faktor yang tidak hanya dapat
diterima tapi penting bahwa agar lebih intelektif terdapat faktor-
faktor non-intellective yang menentukan perilaku cerdas. Jika
pengamatan ini benar, kita tidak bisa mengharapkan mengukur
kecerdasan total sampai pengukuran tersebut menyertakan

56 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pengu-kuran pada faktor-faktor non-intellective
Weschler bukan satu-satunya ahli yang memandang
aspek non-kognitif dari kecerdasan penting untuk adaptasi dan
kesuksesan. Robert Thorndike menulis tentang kecerdasan
sosial di akhir tahun 1930an. Namun sayangnya, usaha-usaha
pendahulu ini dilupakan hingga Edward Gardner (1983) mulai
menulis tentang "kecerdasan ganda" Quebbeman, Rozzell,
(2002) mengusulkan bahwa intelegensi "intrapersonar" dan
interpersonar merupakan hal yang penting dalam pengukuran
IQ dan tes-tes yang berkaitan.
Sekarang beralih pada sejarah psikologi
Industri/Organisasi. Pada tahun 1940, di bawah arahan
Hemphil, the Ohio State Leadership Studies menyarankan
bahwa "pertimbangan" adalah aspek penting dari
kepemimpinan yang efektif. Penelitian ini menyarankan bahwa
pemim-pin yang dapat mempertahankan "kepercayaan timbal
balik, penghargaan dan kehangatan yang pasti serta
pendekatan" dengan anggota kelompok akan lebih efektif. Pada
saat yang sama The Office of Strategic Services mengembangkan
suatu proses pengukuran yang didasarkan pada penelitian
Murray tentang penelitian kemampuan non-kognitif sebaik
kemam-puan kognitif. Proses ini mengembangkan "assesment
center" yang pertama kali diper-gunakan dalam sektor privat di
AT&T pada tahun 1956. Banyak dimensi yang diukur dalam
assesment center ini dan melibatkan kompetensi-kompetensi
sosial dan emosional seperti komuni-kasi, sensitivitas, inisiatif
dan keterampilan sosial.
Cherniss menyatakan bahwa awal tahun 1990an,
terdapat tradisi penelitian yang panjang tentang peran faktor-
faktor non kognitif dalam membantu keberhasilan dalam hidup
dan tempat kerja. Dengan dasar ini penelitian tentang
kecerdasan emosional terbentuk (Cherniss, 2000).

Kelelahan Kerja (Burnout) 57


5.2. Pengertian Kecerdasan Emosional (Emotional
Intelligence)
Istilah kecerdasan emosional pertama kali berasal dari
konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike
pada tahun 1920 dengan membagi dalam tiga bidang
kecerdasan, yaitu:
1. kecerdasan abstrak, seperti kemampuan memahami dan
memanipulasi simbol verbal dan matematika
2. kecerdasan kongkrit kemampuan memahami dan
memanipulasi objek
3. kecerdasan sosial, yaitu kemampuan berhubungan
dengan orang lain. Kecerdas-an sosial menurut Thorndike
yang dikutip Goleman (1995) adalah kemampuan untuk
memahami dan mengatur orang untuk bertindak
bijaksana dalam menjalin hubungan, meliputi kecerdasan
interpersonal dan kecer-dasan intrapersonal. Kecerdasan
intrapersonal adalah kemampuan untuk mengelola diri
sendiri, sedangkan kecerdasan interpersonal adalah
kemampuan memahami orang lain (Yoenanto, APIO,
2002).

Menurut Goleman dalam Bliss (1999) kecerdasan emosi


didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri,
penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan
kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan,
mempenga-ruhi, melakukan inisiatif perubahan dan menerima-
nya. Goleman (2000) memberi pengertian kecerdasan emosi
merujuk pada kemam-puan untuk mengenali perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, kemam-puan memotivasi diri
sendiri dan kemampuan mengelola emosi secara baik pada diri

58 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
Dalam buku yang terbaru kecerdasan emosi dalam
konteks dunia kerja, Goleman yang dikutip oleh Bliss (1999);
Simons (2001) membagi dua wilayah kerangka kecerdasan
emosi, yaitu:
1. Kompetensi pribadi (personal competence), yaitu
bagaimana mengatur diri sendiri yang terdiri dari:
a. Kesadaran diri (self awareness), yaitu kemampuan
untuk mengenal perasaan sendiri. Indikatornya:
tingkat emotional awareness, ketepatan self-
assesment, self-confidence
b. Kemampuan mengatur diri sendiri (self regulaion/self
management), yaitu ke-mampuan mengatur
perasaannya. Indikatornya: tingkat self-control,
trustworthiness dan conscientiousness, inovasi dan
adaptasi.
c. Motivasi (motivating), yaitu kecenderungan untuk
memfasilitasi diri sendiri untuk mencapai tujuan
walaupun mengalami kegagalan dan kesulitan.
Indikatornya: tingkat achievement drive, komitmen,
inisiatif dan optimisme.
2. Kompetensi sosial (social competency), yaitu kemampuan
mengatur hubungan dengan orang lain yang terdiri dari:
a. Empati, yaitu kesadaran untuk memberikan
perasaan/perhatian, kebutuhan atau kepedulian
kepada orang lain. Indikatornya: memahami orang
lain, mengembangkan orang lain, berorientasi pada
pemberian pelayanan, leveraging diversity, kesadaran
politis.
b. Memelihara hubungan sosial, yaitu menga-tur emosi
dengan orang lain, keterampilan sosial seperti

Kelelahan Kerja (Burnout) 59


kepemimpinan, kerja tim, kerjasama dan negosiasi.
Indikatornya: kemampuan mempengaruhi,
kemampuan komunikasi, kemampuan mengelola
konflik, tingkat kepemimpinan, change catalyst.

Hein (1999) menyatakan bahwa kecerdas-an emosional


adalah suatu bentuk kecerdasan yang berkaitan dengan sisi
kehidupan emosi, seperti kemampuan untuk menghargai dan
mengelola emosi diri dan orang lain, untuk memotivasi diri
seseorang dan mengekang impuls, dan untuk mengatasi
hubungan interpersonal secara efektif Hein, (1999). Didasari
oleh pemikiran Goleman, Hein menyatakan komponen-
komponen utama dalam kecerdasan emosional adalah:
1. mengetahui emosi-emosi kita sendiri
2. mengelola emosi-emosi kita sendiri
3. memotivasi diri kita sendiri
4. menghargai emosi orang lain
5. mengatasi kerjasama

Menurut Hein, ada sepuluh (10) kebiasaan dari orang-


orang yang memiliki emosi yang intelegent:
1. memberi label pada perasaan-perasaan mereka, lebih
dari pemberian label pada orang maupun situasi
2. membedakan antara pikiran dan perasaan
3. bertanggung jawab terhadap perasaan-perasaannya
4. menggunakan perasaan-perasaannya untuk membantu
membuat keputusan
5. menunjukkan perhatian terhadap perasaan-perasaan
orang lain.
6. merasa penuh energi, tidak pemarah

60 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


7. membenarkan perasaan orang lain
8. belajar mendapatkan nilai positif dari emosi-emosi negatif
mereka
9. tidak menasehati, memerintah, mengontrol, mengkritisi,
mengadili atau menggurui orang lain
10. menghindari orang-orang yang tidak membe-narkan
mereka, atau tidak menghargai perasaan-perasaan
mereka.

5.3. Ketertarikan pada topik Kecerdasan Emosional di


jaman sekarang
Pada saat Mayer dan Salovey (2004) memasukkan istilah
kecerdasan emosional pada tahun 1990, mereka sadar akan
penelitian sebelumnya tentang aspek non kognitif dari
kecerdasan. Mereka menggambarkan kecerdasan emosional
sebagai "suatu bentuk dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memonitor, menggambarkan perasaan dan emosi
diri maupun orang lain, dan menggunakan informasi ini untuk
mengarahkan pikiran dan tindakan seseorang. Mayer dan
Salovey juga menandai program penelitian yang
mengembangkan pengukuran yang valid tentang kecerdasan
emosional dan meneliti tentang signifikansinya misalnya
mereka menemukan satu penelitian tentang sekelompok orang
melihat gangguan pada film, mereka yang memiliki skor tinggi
pada kejernihan emosinya (yang mampu mengidentifikasi dan
menamai perasaan hati yang dialami lebih cepat pulih). Pada
penelitian yang lain, individu yang memiliki skor tinggi dalam
kemampuan mempersepsi secara akurat, mengerti dan meng-
hormati emosi orang lain, lebih mampu merespon secara
fleksibel perubahan-perubahan dalam lingkungan sosialnya
dan membangun jaringan sosial yang suportif.

Kelelahan Kerja (Burnout) 61


Di awal tahun 1990an, Goleman (1995) sadar akan
penelitian Mayer dan Salovey (1990), mendorong dia menulis
buku kecerdasan emosional. Goleman adalah penulis ilmiah
untuk The New York Times. la telah dilatih sebagai seorang
psikolog di Harvard ketika bekerja pada McClelland. McClelland
adalah seorang peneliti yang berkonsentrasi pada tes-tes
kecerdasan kognitif tradisional.
Intelectual Quation (IQ) bukan hanya sebagai satu
prediktor yang baik pada kinerja tugas. Hunter dan Hunter
mengestimasi bahwa pada IQ terbaik menjelaskan varians
sebesar 25 persen. Sternberg mencatat adanya penelitian yang
ber-variasi dan varian sebesar 10 persen lebih realistis. Ada
juga penelitian lain yang menunjukkan varians sebesar 4
persen. Pada penelitian longitudinal selama 40 tahun dengan
subyek 450 anak laki-laki yang besar di Sommerville,
Massachusetts. Dua dari tiga anak laki-laki berasal dari keluarga
sejahtera dan satu dari tiga orang memiliki IQ di bawah 90.
Tetapi, IQ memiliki hubungan yang kecil terhadap bagaimana
mereka bekerja dengan baik atau akhir hayat mereka. Yang
membuat perbedaan besar adalah kemampuan-kemampuan
pada masa kecil seperti cara mengatasi frustasi, mengontrol
emosi dan hidup harmonis dengan orang lain.
Contoh lain adalah penelitian terhadap 80 doktor lulusan
Berkeley pada tahun 1950an yang telah dites kepribadian, IQ
dan wawancara. Empat puluh tahun kemudian, pada saat
mereka berusia tujuh puluhan kesuksesan mereka di-catat dan
diukur. Ternyata kemampuan sosial dan emosional empat kali
lebih penting daripada IQ dalam menentukan kesuksesan dan
wibawa profesional.
Seorang doktor untuk mencapai gelarnya dan mendapat
pekerjaan mungkin membutuhkan IQ 120 atau lebih, tetapi
kemudian menjadi lebih penting untuk dapat menghadapi

62 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kesulitan secara ketat dan membina hubungan baik dengan
rekan kerjanya. Kita kemudian berpikir bahwa kemampuan
kognitif dan non-kognitif berhubungan erat. Pada kenyataannya
terdapat penelitian yang men-dukung bahwa keterampilan
emosional dan sosial membantu mengembangkan fungsi
kognitif. Misalnya di Stanford University, anak berumur empat
tahun diminta untuk tinggal dalam ruangan sendiri dan diberi
kembang gula dan menunggu peneliti kembali. Mereka
menceritakan bahwa jika mereka bisa menunggu peneliti
kembali sebelum memakan kembang gulanya, mereka men-
dapat dua. Sepuluh tahun kemudian peneliti melacak anak-
anak yang berpartisi-pasi dalam penelitian ini. mereka
menemukan bahwa anak-anak yang bisa bertahan terhadap
godaan tersebut memiliki skor SAT 210 poin lebih tinggi
daripada anak-anak yang tidak menunggu.
Pengakuan bahwa kemampuan kognitif nampaknya
memiliki peran yang terbatas untuk menjelaskan mengapa
beberapa orang lebih sukses daripada orang lain, apakah
merupakan bukti bahwa faktor emosional dan sosial adalah
penting? Penelitian Goleman dalam bukunya yang pertama
menitikberatkan pada pentingnya kemampuan sosial dan
emosional pada kesuksesan pribadi Cherniss, (1998);
Quebbeman dan Rozell, (2002).

5.4. Nilai kecerdasan emosional pada pekerjaan


Martin Seligman mengembangkan suatu konstruk yang
dinamakan learned optimism. Konstruk ini menunjukkan
atribusi sebab-akibat orang melawan kegagalan. Optimis
cenderung membuat atribusi eksternal secara spesifik dan
temporer, sedangkan pesimis membuat atribusi internal secara
global dan permanen. Seligman dan rekan-rekannya
menemukan bahwa salesman baru di Met Life yang optimis

Kelelahan Kerja (Burnout) 63


mampu menjual 37% lebih asuransi dalam dua tahun awal
bekerja dibandingkan salesman yang pesimis.
Dalam penelitian yang lain, Seligman mengetes 500
mahasiswa baru. Di University of Pennsylvania. Dia menemukan
bahwa nilai-nilai mereka dalam tes optimisme sebagai prediktor
yang lebih baik dari tingkatan aktual selama mahasiswa baru
tersebut selama kuliah dibandingkan nilai SAT atau tingkat
sekolah menengah.
Kecerdasan emosional memiliki banyak fungsi dengan
mengetahui kapan dan bagaimana mengekspresikan emosi
sehingga hal tersebut dapat dikontrol. Eksperimen yang
dikerjakan di Yale University oleh Sigdal Barsade menggunakan
sekelompok sukarelawan memainkan peran sebagai manajer
yang datang secara bersama-sama dalam kelompok untuk
mengalokasikan bonus. Seorang aktor terlatih berada di antara
mereka dan berbicara pertama kali. Sukarelawan dibagi dalam
empat kelompok, aktor tersebut merancang semangat yang
riang gembira pada kelompok pertama, kehangatan pada
kelompok kedua, ditekankan ketidakberdayaan pada kelompok
ketiga, dan cepat marah terhadap permusuhan di kelompok ke
empat. Hasilnya menunjukkan bahwa aktor tersebut bisa
menye-barkan emosinya dan perasaannya untuk
mengembangkan kerjasama, keju-juran dan per-formance
kelompok secara menyeluruh. Kenyata-annya, kelompok
pertama bisa mendistribusikan uang secara jujur dalam cara-
cara yang membantu organisasi.
Dari penemuan-penemuan di atas, empati merupakan
aspek penting dalam kecerdasan emosional, dan para peneliti
mengetahui sejak bertahun-tahun empati mendukung
kesukses-an pekerjaan. Rosenthal dan rekan-rekannya di
Harvard menemukan lebih dari dua dekade yang lalu orang yang
mampu mengidentifikasi-kan emosi orang lain dengan baik

64 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


lebih sukses dalam bekerja maupun kehidupan sosialnya.
Penelitian terhadap sales, pembeli meng-inginkan sales yang
mau mendengarkan dan benar-benar mau mengerti dan
perhatian terhadap apa yang diinginkan oleh pembeli.
Goleman, (1999) dan Mayer et al. (2004) berargumentasi
bahwa kecerdasan emosional mungkin bukan suatu prediktor
yang kuat untuk performance kerja, tetapi melengkapi dasar-
dasar kompetensi. Goleman berusaha membedakan
kecerdasan emosional dan kompetensi emosio-nal.
Kompetensi emosional menunjuk pada ketrampilan pribadi dan
sosial yang mengarah pada kinerja superior dalam dunia kerja.
Kompetensi emosional merupakan dasar kecerdasan
emosional. Suatu tingkatan dalam kecerdasan emosional perlu
mempelajari kompetensi emosional. Misalnya, kemampuan
untuk mengakui secara akurat apa yang dirasakan orang lain
memungkinkan sese-orang mengembangkan kompetensi
spesifik yang disebut sebagai pengaruh. Sedangkan orang yang
bisa mengatur emosi dengan baik akan lebih mudah
mengembangkan kompetensi inisiatif atau dorong-an
berprestasi (Cherniss, 2000).

Kelelahan Kerja (Burnout) 65


66 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
6.1. Pengertian Stres Kerja
Luthans (2006) mengemukakan stres adalah sebagai
respons adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan
penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota
organisasi. Robbins (2008) mengatakan bahwa stres
merupakan sebuah kondisi dinamis di mana seorang individu
dihadapkan pada suatu peluang, tuntutan, atau sumber daya
yang terkait dengan apa yang dihasratkan individu dan hasilnya
dipandang tidak pasti dan penting.
Stres kerja yang dialami oleh pegawai bisa bersumber dari
wewenang kerja yang tidak jelas (ambigu) dan penyelia yang
otokratik. Stres kerja menurut David dan Newstrom merupakan
suatu kondisi yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan
kondisi psikis dan fisik seseorang. Sedangkan, definisi stress
kerja yang dikemukakan Robbins merupakan suatu kondisi yang
dinamis di mana individu diperhadapkan dengan kesempatan,
hambatan, atau tuntutan yang berhubungan dengan apa yang
diinginkannya dan untuk itu keberhasilannya ternyata tidak
pasti (2007:368).

Kelelahan Kerja (Burnout) 67


Yoder dan Staudohar (1982 : 308) mengemuka-kan
bahwa Job stress is refers to a physical or psychological
deviation from the normal human state that is caused by stimuli
in the work environment. (dapat diartikan sebagai suatu tekanan
akibat bekerja yang akan mempengaruhi emosi, proses berpikir
dan kondisi fisik seseorang, di mana tekanan itu berasal dari
lingkungan pekerjaan tempat individu tersebut berada).
Beehr dan Franz (Tarupolo, 2002:17), menge-mukakan
stres kerja merupakan suatu proses yang menyebabkan orang
merasa terganggu, sakit, tidak nyaman atau tegang karena
pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu. Dengan
demikian Dalam menjalankan pekerjaan seorang pekerja dapat
mengalami stres kerja. Tugas atau beban kerja yang berlebihan
dan terbatasnya waktu mengakibatkan karyawan menjadi
tertekan dan stres. Sering kali tekanan berasal dari penyelia,
sehingga karakter penyelia yang jelek bisa mengakibatkan stres
terhadap pegawai.
Menurut Ivancevich et al. (2007), stres adalah suatu
respons adaptif, dimoderasi oleh perbedaan individu, yang
merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau
peristiwa yang memberikan tuntutan khusus terhadap
seseorang yang berpengaruh terhadap kinerja seseorang.
Ivancevich, et al. (2007), menjelaskan stres dibagi menjadi dua
kategori, yaitu stress sebagai suatu stimulus atau stres sebagai
suatu respons. a) Stress sebagai stimulus menganggap stres
sebagai sejumlah peristiwa yang bisa menghasilkan
konsekuensi yang tidak beraturan. b) Stres sebagai suatu
respons adalah konsekuensi dari interaksi antara suatu
stimulus lingkungan dan respons individual. Oleh karena itu,
stres adalah interaksi unik antara kondisi stimulus dalam
lingkungan dan cara individu untuk merespons dengan cara
tertentu.

68 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Stres pada taraf tertentu diharapkan dapat memacu
karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
sebaik-baiknya, karena stres kerja tidak selalu berdampak
negatif, stres kerja juga dapat memberikan dampak yang
menguntungkan bagi perusahaan. Misalnya perawat atau
pekerja yang berada dalam kondisi stres kerja akan
menunjukkan perubahan perilaku.
Kreitner dan Kinicki (2005), bawa stres adalah suatu
respons yang adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau
proses psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi
dari setiap tindakan eksternal, situasi yang menempatkan
tuntutan psikolo-gis dan atau fisik khusus seseorang.
Menurut Beehr dan Newman (dalam Luthans 2006) stres
kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia
dan pekerjaan oleh perubahaan manusia yang memaksa
mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.
Veitzal Rivai dan Deddy Mulyadi (2009) mengemukakan
bahwa stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang
menciptakan adanya ketidakse-imbangan fisik dan psikis, yang
mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang,
tekanan tersebut mungkin disebabkan oleh lingkungan kerja.
A. A Prabu Mangkunegara (2008) menjelaskan stres kerja
merupakan perasaan tertekan yang di alami karyawan dalam
menghadapi pekerjaan.
Dari berbagai definisi yang telah dikemukakan dapat
ditarik kesimpulan bahwa stres kerja adalah sebuah bentuk
ketidakseimbangan karakteristik kepri-badian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya
mengakibatkan tekanan, baik fisik maupun mental,
mempengaruhi kinerja seseorang yang dapat terjadi pada
semua kondisi pekerjaan.

Kelelahan Kerja (Burnout) 69


Robbins (2007) stres kerja dapat menimbulkan tiga jenis
konsekuensi :
a. Gejala fisiologis
Gejala fisiologis memiliki indikator yaitu: terdapat
perubahan pada metabolisme tubuh, meningkatnya
kecepatan detak jantung dan napas, meningkatnya
tekanan darah, timbulnya sakit kepala dan menyebabkan
serangan jantung.
Stres juga dapat menciptakan penyakit-penyakit
dalam tubuh yang ditandai dengan jantung berdebar,
mual, sakit perut, pencernaan terganggu, gangguan tidur,
kelelahan, sulit memecahkan masalah, bahkan hingga
sakit jantung.
b. Gejala psikologis
Gejala psikologis memiliki indikator yaitu: terdapat
ketidakpuasan hubungan kerja, depresi, kebingungan,
tegang, gelisah, cemas, mudah marah, kebosanan dan
sering menunda pekerjaan. Keadaan stres seperti ini
dapat memicu ketidakpuasan
c. Gejala perilaku
Stres yang dikaitkan dengan perilaku dapat
mencakup dalam perubahan dalam produktivitas,
absensi, sulit memecahkan masalah, dan tingkat
keluarnya karyawan. Dampak lain yang ditimbulkan
adalah perubahan dalam kebiasaan sehari-hari seperti
perubahan selera makan, makan terlalu banyak, prubahan
sikap, mengurung diri, berbicara dengan intonasi cepat,
mudah gelisah, konsumsi alkohol, gangguan tidur dan
lainnya.

70 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Berdasarkan beberapa pengertian yang diung-kapkan di
atas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa stres kerja
merupakan suatu kondisi dimana seorang karyawan mengalami
gangguan psikologis maupun fisik dalam menghadapi suatu
permasalahan atau pekerjaan yang berakibat mengganggu
kinerja karyawan pada tingkat tertentu dapat meningkatkan
kinerja karyawan. Sebagai contoh jika stres yang dialami oleh
perawat tidak segera teratasi maka akan berdampak buruk
terhadap perawat tersebut. Perawat yang berada dalam kondisi
stres akan memicu terjadinya burn out (kelelahan) yang
merupakan kondisi awal kemunculan kelelahan emosional.
Gejala stres di tempat kerja menurut Veithzal Rivai &
Deddy Mulyadi (2003: 309) ada 7 yaitu:
1. Kepuasan kerja rendah
2. Kinerja yang menurun
3. Semangat dan energy menjadi hilang
4. Komunikasi tidak lancar
5. Pengambilan keputusan buruk
6. Kreativitas dan inovasi kurang
7. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif

Gejala stres lain yang sering muncul adalah, ketegangan,


kecemasan, gangguan tidur, kegelisahan, cepat marah,
kehilangan rasa percaya diri, perasaan kesepian atau
keterasingan, makan terlalu sedikit, mudah tersinggung,
berdebar-debar dan sulit ber-konsentrasi.
Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab stres
(stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:

Kelelahan Kerja (Burnout) 71


1. Extra organizational stressors yakni terdiri dari perubahan
sosial teknologi, keluarga, relokasi, kondisi ekonomi dan
keuangan, ras, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
2. Organizational stressors terdiri dari kebijakan organisasi,
struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi
(misalnya ruangan yang pengap, warna, penerangan yang
kurang, bau, suara bising), dan proses yang terjadi dalam
organisasi.
3. Group stressors adalah stress yang karena ada konflik di
dalam kelompok kerja sama dalam grup, konflik dengan
supervisor, kurangnya dukungan social, konflik
intraindividu, interpersonal, dan intergroup.
4. Individual stressors terdiri dari terjadinya konflik dan
ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola
kepribadian tipe A, kontrol personal, tidak kompeten pada
tugasnya,, dan daya tahan psikologis.

Copper dan Davidson mengemukakan ada dua penyebab


stres dalam pekerjaan, yakni:
1. Group stressors adalah stres yang berasal dari situasi
maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya
kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara
individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya
dukungan social dari sesama karyawan di dalam
perusahaan.
2. Individual stresor adalah penyebab stres yang berasal dari
dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang,
control personal dan tingkat kepasrahan seseorang,
persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam
menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.

72 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


John M. Ivancevich (2012) mengemukakan Stres kerja di
sebabkan oleh :
1. Keterlibatan/Partisipasi
Partisipasi adalah ikut berkontribusi dari segi
pengetahuan, persepsi, pendapat, ide-ide dan sumbang
saran dalam proses pengambilan keputusan. Seseorang
pekerja wajib berkontribusi dalam memajukan organisasi
Kelompok atau organisasi yang tidak memberikan
kesempatan anggotanya untuk berpartisipasi akan
menjadi sumber frustrasi bagi mereka yang menghargai
itu.
2. Hubungan intra dan antar kelompok
Sumber stres dapat disebabkan oleh hubungan buruk baik
di dalam maupun di antara kelompok. Hubungan buruk
dapat berupa: kepercayaan yang rendah, kurangnya
kompak, daya dukung rendah, tidak tertarik
mendengarkan dan kurang berminat terlibat dalam
penyelesaian masalah kelompok. Apabila terjadi masalah
hubungan maka dapat menyebabkan terhambatnya
komunikasi dan kepuasan kerja rendah sehingga
seseorang dapat menjadi stres
3. Politik organisasi
Stres pekerja dapat terjadi karena perilaku politik dalam
organisasi. Penggantian dan perebutan ke-kuasaan dapat
menciptakan gesekan, meningkatkan persaingan
disfungsional antara individu dan kelompok. Politik dalam
organisasi secara konsis-ten dapat menjadi stressor
utama dalam organisasi.
4. Budaya organisasi
Organisasi memiliki kepribadian dan kebiasaan-
kebiasaan yang berbeda. Eksekutif dan otokratis sering,

Kelelahan Kerja (Burnout) 73


menciptakan budaya yang penuh dengan intrik. Iklim
organisasi dapat mendorong tercipta-nya budaya
organisasi., dimana iklim rganisasi merupakan keadaan
karakteristik yang terjadi di lingkungan kerja yang
mempengaruhi perilaku orang dalam lingkungan
organisasi.
5. Peluang pengembangan karir terbatas
Pengembangan karir merupakan aspek-aspek ling-
kungan organisasi yang mempengaruhi seseorang
kualitas kemajuan karirnya. Karir dalam organisasi dapat
menjadi stres ketika mereka menjadi sumber kecemasan
atau frustrasi, ini dapat terjadi jika seorang karyawan
merasa bahwa pengembangan promosi tidak memadai.
Seseorang akan lebih mudah merencanakan masa depan
jabatannya jika perencanaan karir di suatu organisasi baik.
6. Perampingan
Perampingan merupakan pengurangan sumber daya
manusia, PHK, pemindahan, pengabungan merger atau
pensiun dini. Perampingan dapat menjadi stressor yang
sangat potensial, dapat memiliki efek negatif baik untuk
individu maupun organisasi. Itulah sebabnya banyak
perusahaan saat ini membentuk program untuk
membantu karyawan mengatasi stres reorganisasi dan
PHK.
7. Stres diluar pekerjaan
Stres terjadi diluar pekerjaan disebabkan oleh faktor-
faktor di luar organisasi. Seperti membesar-kan anak-
anak, merawat orang tua, masalah finansial, menjadi
sukarelawan di masyarakat, mengambil kursus perguruan
tinggi Meskipun penekanan diluar pekerjaan, stres ini
tidak boleh diabaikan.

74 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Dampak stres sangat bervariasi. Stres dapat pula
berdampak positif, seperti dapat memotivasi diri dan
menstimulasi untuk memenuhi tujuan individu dan organisasi.
Beberapa individu menunjukkan gejala yang stress berbeda,
sebagai contoh salah satu faktor yang mempengaruhi hasil stres
adalah jenis pekerjaan.

6.2. Penyebab stres ‘off the job’


Handoko (2001) mengemukakan stres karyawan juga
dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi yang terjadi di luar
organisasi, misalnya:
1. Kekhawatiran financial (keuangan).
2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak.
3. Masalah-masalah fisik
4. Masalah-masalah perkawinan/rumah tangga
5. Perubahan yang terjadi di tempat tinggal
6. Masalah pribadi, seperti kedukaan sanak saudara.

Jenis-Jenis Stres
Menurut Quick dan Quick (1984) membagi ke dalam dua
kategori stres yaitu:
1. Eustress, merupakan respon terhadap stres yang sifatnya
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun).
Termasuk pula kesejahteraan individu dan juga organisasi
yang diidentikkan dengan pertumbuhan, fleksibilitas,
kemampuan adaptasi, dan kinerja yang.
2. Distress, adalah respon terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak).
Merupakan konsekuensi individu dan organisasi seperti

Kelelahan Kerja (Burnout) 75


penyakit kardio-vaskular dan tingkat ketidakhadiran
tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit,
penurunan, dan kematian.

Beberapa sumber stress (stressor) antara lain:


Stresor Eksternal Organisasi
Faktor di luar organisasi merupakan Stresor yang bisa
berdampak negatif pada pekerjaan mencakup:
1. Perubahan sosial /teknologi mempunyai efek yang besar
pada gaya hidup yang terbawa pada pekerjaan
2. Keluarga, seperti; hubungan yang buruk, sakitnya anggota
keluarga, pertengkaran, krisis keluarga
3. Pindah tempat (relokasi) sekeluarga karena promosi
4. Perubahan hidup, seperti menjadi lebih tua, kehilangan
pasangankarena kematian atau perceraian.
5. Variabel sosiologis spt; ras, jenis kelamin, kelas sosial

Stresor Internal Organisasi


Stresor di dalam organisasi yang potensial mencakup:
1. Kebijakan dan Strategi Organisasi, Contoh; perampingan
karyawan, rotasi shift kerja, aturan birokrasi, teknologi
canggih
2. Struktur organisasi dan Desain pekerjan, Contoh:
sentralisasi, desentralisasi dan formali-sasi, konflik antar
pekerja, ambiguitas peran, tidak ada kesempatan maju
3. Proses Organisasi, Contoh: pengawasan yang ketat,
komunikasi satu arah, sedikit umpan balik, kurangnya
partisipasi

76 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


4. Kondisi Kerja, Contoh: area kerja bising, panas, dingin,
bau, tidak aman, tidak sehat, penerangan kurang

Stresor Kelompok
Stresor kelompok dikategorikan menjadi;
1. Kurangnya kohesivitas / kebersamaan kelompok
2. Kurangnya dukungan sosial
Dukungan sosial pada individu, dapat mengurangi stres.

Stresor Individu
Pada level individu, situasi dan posisi individu dapat
mempengaruhi stres
1. Ciri kepribadian
2. Persepsi personal, seperti perasaan orang mengenai
kemampuan mengontrol situasi
3. Orang yang menyerah pada situasi walaupun sebenarnya
individu dapat melawannya, hal ini terjadi karena
ketidakberdayaan. provokasi, dan tekanan.

Sebagai contoh Keberadaan stres kerja yang dialami oleh


perawat tentu saja tak dapat dipisahkan dari sumber-sumber
penyebab stres kerja tersebut. Robbins menyatakan, sumber
stres kerja yang dialami oleh seorang karyawan setidaknya ada
3 (Robbins, 2007:372). Sumber stres kerja tersebut adalah:
a. Tuntutan tugas.
Faktor ini meliputi desain pekerjaan individu (seprti:
otonomi, keragaman tugas, tingkat otomati-sasi), kondisi
kerja, dan tata letak fisik. Banyaknya saling-tergantungan
antara tugas pekerja, maka makin potensial terjadi stres.

Kelelahan Kerja (Burnout) 77


Pekerjaan dengan suhu yang tinggi, kebisingan, atau
kondisi kerja yang berbahaya dapat menimbulkan
kecemasan. Hal lain yang dapat mempengaruhi stress
antara lain:
1) Ketersediaan sistem informasi
2) Kelancaran pekerjaana
3) Wewenang untuk melaksanakan pekerjaan
4) Peralatan yang digunakan dalam menunjang
pekerjaan
5) Banyaknya pekerjaan yang harus dilaksanakan

b. Tuntutan peran.
Stres kerja dapat terjadi karena Tuntutan peran yang
berhubungan dengan tekanan yang diberikan pada
seseorang sebagai suatu fungsi dari peran tertentu yang
dimainkan dalam organisasi tertentu. Konflik peran
menciptakan harapan-harapan yang biasanya tidak dapat
diwujudkan atau dipuaskan. mengalami ketidakjelasan
(ambiguitas peran) menge-nai apa yang harus dikerjakan.
Pengukuran variabel tuntutan peran terdiri dari:
1) Kesiapan pekerja dalam melaksanakan tugas
2) Batasan antara atasan dengan karyawan berkaitan
dengan tanggung jawab dan wewenang
3) Keterbatasan waktu dalam melaksanakan pekerjaan
4) Kelebihan beban kerja (overload)

c. Tuntutan pribadi.
Stres kerja dapat terjadi karena tuntutan pribadi
dengan tekanan yang diciptakan oleh pekerja lain. Rekan
kerja yang kurang mendukung, hubungan antar pribadi

78 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


yang buruk dapat menimbulkan stres besar, terutama
diantara pekerjaan dengan kebutuhan sosial yang tinggi.
Pengukuran variabel tuntutan pribadi terdiri dari:
1) Hubungan dengan supervisor
2) Hubungan dengan sesama karyawan
3) Hubungan dengan keluarga
4) Pengawasan yang dilakukan supervisor (atasan)
5) Keahlian pengawas dalam mengawasi pekerjaan

d. Ambang Stres
Tingkat stres yang dapat diatasi oleh seseorang
sebelum perasaan stres terjadi disebut sebagai ambang
stres. Ada orang mudah sekali merasa sedih atau kecewa
karena masalah yang sepele namun sebaliknya, ada orang
justru bersikap dingin, cuek, tenang, dan santai. Ini
disebabkan rasa percaya diri dan kemampuan untuk
mengatasi stres. Oleh karena itu stressor yang sama bisa
dirasakan berbeda pada setiap individu

Cara Penanggulangan Stres Kerja


Stres kerja pada titik tertentu dapat pemicu peningkatan
kinerja karyawan akan tetapi ketika melewati titik tersebut,
keadaan stres kerja tersebut justru akan memicu terjadinya
permasalahan dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap
kinerja atau performance. Oleh karena penanggulangan
terhadap stres kerja perlu dilakukan, sehingga tidak berdampak
pada kinerja karyawan.
a. Relaksasi dan Meditasi
Relaksasi (relaxation) dan meditasi merupakan
suatu cara menetralisir ketegangan emosi maupun fisik.

Kelelahan Kerja (Burnout) 79


Teknik relaksasi bertujuan mengurangi kete-gangan
melalui latihan untuk mengendurkan otot-otot dan urat
saraf.
Cara lain untuk menetralisir ketegangan adalah
dengan meditasi. Meditasi merupakan suatu cara
menenangkan diri pada posisi tertentu untuk dapat
berkonsentrasi pada suatu hal tertentu. misalnya
mendengarkan musik, bersembahyang atau menikmati
alam yang indah. Selain itu dapat juga dengan melakukan
Yoga.
b. Pelatihan
Pelatihan stres diberikan pada karyawan agar
karyawan memiliki daya tahan terhadap stres dan
memiliki kemampuan lebih baik untuk mengatasi stres.
c. Terapi
Terapi merupakan perlakuan baik bersifat fisik
maupun psikis. Terapi yang bersifat psikis disebut
psikoterapi. Terapi dapat juga berarti semua bantuan
metodis atau sistematis, yang diberikan oleh orang yang
ahli kepada orang yang membutuhkan bantuan dalam
situasi yang sulit. Salah satu bentuk terapi yang sering
digunakan untuk mengatasi stres adalah terapi perilaku
atau ”behavior therapy”. Tetapi perilaku adalah terapi
yang memusatkan perhatian pada pengubahan perilaku
dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar.

Cara lain Mengatasi Stress


1. Buat perencanaan aktifitas sebaik mungkin.
2. Mengatasi stress dengan menggunakan cara-cara masa
lahu/prngalaman
3. Terlibat menciptakan suasana kerja yang menyenangkan,

80 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


4. Memahami betul tugas dan tanggung jawab anda, serta
jangan ragu untuk bertanya.
5. Istirahat sejenak beberapa menit dari pekerjaan. Santai
dan “Jangan Melakukan Apapun”. Ambil nafas dalam-
dalam.
6. Miliki sikap toleransi kepada sesama rekan kerja. Ingatlah
bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik
7. Delegasikan sebagian tanggung jawab anda kepada anak
buah anda.
8. Pertahankan semangat tim anda, misalnya dengan
melakukan perayaan-perayaan kecil, berolahraga atau
berekreasi bersama
9. Sediakan lingkungan kerja yang baik. Minimalkan
gangguan gangguan seperti suara, ventilasi, cahaya dan
suhu.

Selain itu, ada 8 Tips Lain untuk Mengatasi Stres


1. Lakukan pemijitan tubuh (body massage)
2. Berolahraga teratur merupakan hal yang sangat penting
dalam memerangi stress.
3. Lakukan hobi anda, seperti memancing, mendaki gunung
4. Dengan banyak minum air putih akan membantu
memulihkan tubuh kita dari kekurangan cairan, karena
kekurangan cairan dapat menimbulkan keletihan.
5. Lakukan meditasi.
6. Ketika seseorang mengalami stress, suatu reaksi yang
alamiah jika orang tersebut kemudian melampiaskannya
dengan mengkonsumsi banyak makanan. Perlu anda
ketahui bahwa mengkonsumsi makanan yang
mengandung karbohidrat tinggi dapat meningkatkan

Kelelahan Kerja (Burnout) 81


kadar insulin di dalam tubuh, dimana insulin ini dapat
membuat tubuh menjadi cepat lelah dan mood anda
menjadi jelek.
7. Seks adalah penyembuhan yang sangat baik untuk
menghilangkan stress. Banyak dokter mengatakan bahwa
seks adalah cara yang luar biasa dalam meredam
kemarahan dan stress.
8. Jika tubuh kita sedang lelah, tidak mudah bagi kita dalam
mengendalikan stress. Tidak cukup tidur akan
mempengaruhi keseluruhan hari kita, dan biasanya kita
mengalami hari yang buruk karena kurang tidur
menyebabkan kita tidak dapat berkonsentrasi dan melihat
suatu permasalahan lebih buruk dari yang seharusnya.
Tidur yang baik bagi orang dewasa adalah 7 jam sehari.

Strategi Organisasi Dalam Menangani Stres


Untuk membantu karyawan menangani stres di tempat
kerja, ada lima strategi yang dapat dilakukan organisasi adalah:
1. Menghilangkan stressor atau pemicu stres;
2. Menjauhkan karyawan dari stressor;
3. Mengubah persepsi karyawan terhadap stressor,
4. Mengendalikan konsekuensi dari stres;
5. Perlu dukungan sosial bagi karyawan yang menghadapi
stres.

82 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Dimensi Job Stress
Dimensi stress menurut Zamir dan Ambreen (2011)
adalah sebagai berikut:
1. Organizational costs
Seluruh biaya (organizational costs) yang berbentuk
sanksi yang dikenakan kepada karyawan meliputi biaya
yang harus dikeluarkan saat proses seleksi, pelatihan,
biaya ganti rugi saat terjadi kerusakan dan peningkatan
pemotongan gaji saat karyawan tidak masuk kerja
2. Organizational symptomps
Segala hal yang berkaitan dengan non-keuangan
namun dapat menekan keadaan mental karyawan
(organizational symptomps) adalah rendahnya sikap
saling menghargai, kinerja yang menurun, minimnya
komunikasi dengan atasan, serta iklim organisasi yang
buruk.

Kelelahan Kerja (Burnout) 83


84 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
7.1. Pengertian Beban Kerja
Sejak tahun 1970-an istilah beban kerja telah banyak
dikenal. Beberapa ahli yang telah menge-mukakan definisi
beban kerja sehingga terdapat definisi yang berbeda mengenai
beban kerja. Oleh karena beban kerja merupakan suatu terkait
dengan konsep yang multidimensi, sehingga agak sulit
disimpulkan mengenai definisi yang tepat (Cain, 2007).
Gopher & Doncin (1986) mengemukakan bahwa beban
kerja merupakan suatu konsep yang timbul akibat adanya
kemampuan yang terbatas dalam memroses informasi. Apabila
seseorang menghadapi suatu tugas, maka individu diharapkan
dapat menyelesaikan tugas tersebut pada suatu level tertentu.
Apabila kemampuan yang dimiliki seseorang tersebut
menghambat/ menghalangi pencapaian hasil kerja yang
diharapkan pada level tertentu, berarti telah terjadi
ketidaksesuaian antara tingkat kemampuan yang diharapkan
dan tingkat kapasitas yang dimiliki. Kesenjangan ini dapat
menyebabkan pencapaian kinerja tidak sesuai harapan
(performance failures).

Kelelahan Kerja (Burnout) 85


Menurut Menpan (1997) bahwa beban kerja bagi yang
memamngku jabatan merupakan sejumlah atau sekumpulan
kegiatan yang wajib diselesaikan pada suatu bagian atau unit
organisasi dalam kurung waktu tertentu. Sedangkan
Permendagri (2008), menguraikan bahwa beban kerja adalah
besaran pekerjaan yang harus pertanggungjawabkan oleh suatu
jabatan/unit organisasi dan merupakan hasil kali antara volume
kerja dan norma waktu.
Menurut Gibson dan Ivancevich (1993), tekanan sebagai
tanggapan yang tidak dapat menyesuaikan diri dapat dirasakan
sebagai beban kerja, yang dipengaruhi oleh perbedaan
individual atau proses psikologis, yakni suatu konsekuensi dari
setiap tindakan ekstern (lingkungan, situasi, peristiwa yang
terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologi atau fisik)
terhadap seseorang.
Beban kerja adalah sejumlah tugas dan proses atau
kegiatan yang harus diselesaikan sesuai job description oleh
seorang pekerja dalam jangka waktu tertentu. Apabila seorang
pekerja mampu menyelesai-kan dan menyesuaikan diri
terhadap sejumlah tugas yang diberikan, maka pekerja tidak
merasakan suatu beban kerja. Namun, jika pekerja tidak
berhasil maka tugas dan kegiatan tersebut dirasakan sesuatu
yang berat menjadi suatu beban kerja.
Munandar (2001) mengemukakan bahwa beban kerja
adalah keadaan dimana pekerja dihadapkan pada tugas yang
harus diselesaikan pada waktu tertentu. Menurut Moekijat
(2004), beban kerja merupakan sejumlah dari hasil kerja atau
catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukkan
volume yang dihasilkan yang harus diselesaikan oleh sejumlah
pegawai dalam suatu bagian tertentu.
Beban kerja dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang
dirasakan berada di luar kemampuan pekerja untuk melakukan

86 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pekerjaannya. Kapasitas atau kompetensi seseorang yang
dibutuhkan untuk mengerjakan tugas sesuai dengan harapan
(performa harapan) berbeda dengan kapasitas atau kompetensi
yang tersedia pada saat itu (performa aktual). Perbedaan
diantara keduanya menunjukkan tingkat kesulitan tugas yang
dirasakan sebagai beban kerja.
O’Donnell & Eggemeier (1986) mengemukakan
pengertian yang selaras dengan yang dikemukakan oleh Gopher
& Doncin. Mereka menjelaskan bahwa istilah beban kerja
merujuk kepada “seberapa besar jumlah pekerja yang
dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu tugas/pekerjaan”.
Webster dalam Lysaght, et al. (1989) memiliki sudut pandang
yang berbeda dalam mendefinisikan beban kerja. Ia
mengemukakan beban kerja sebagai
a) jumlah waktu dan pekerjaan yang dibebankan pada
pemangku jabatan atau pekerja
b) banyaknya tugas yang harus diselesaikan oleh suatu
departemen atau unit kerja dalam suatu periode waktu
tertentu”.

Dari definisi ini, maka Lysaght, et al. membagi tiga kategori


beban kerja, yaitu
a) sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan,
b) aspek-aspek tertentu dari waktu yang harus diperhatikan
oleh pekerja
c) pengalaman subjektif yang dialami pekerja terkait dengan
masalah psikologis

Dikemukakannya beberapa definisi tersebut, dapat


disimpulkan bahwa beban kerja merupakan seberapa besar
kemampuan individu dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas
yang diberikan kepadanya, yang dapat dilihat dari jumlah

Kelelahan Kerja (Burnout) 87


pekerjaan yang harus dilakukan, dalam batasan waktu yang
ditetapkan untuk pekerja dalam menyelesaikan tugasnya, serta
pandangan subjektif pekerja mengenai pekerjaan itu sendiri
yang dibebankan kepadanya.
Role Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan
kualitatif. Banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi
kapasitas karyawan disebut sebagai kelebihan beban
kuantitatif. Dengan demikian karyawan tersebut mudah lelah
dan berada dalam ”stres tinggi”. Kelebihan beban kerja secara
kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat rumit dan kompleks
sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.
Moorhead dan Griffin (2014:182), mengemuka-kan
bahwa role overload atau kelebihan beban peran terjadi ketika
ekspektasi untuk peran tersebut melampaui kemampuan
individual. Pada saat seorang manajer memberikan beberapa
tugas besar kepada seorang karyawan sekaligus sambil
meningkatkan beban kerja reguler orang tersebut, karyawan
tersebut mungkin akan mengalami kelebihan beban peran.
Ketika seorang individu mendapat banyak peran pada saat yang
sama maka pekerja dapat terjadi kelebihan beban peran.
Misalnya, seseorang berusaha untuk bekerja ekstra keras pada
pekerjaannya, mencalonkan diri untuk pemilihan dewan
sekolah, menjadi pelatih untuk baseball liga kecil, menjalankan
program pelatihan aktif, mungkin akan menjumpai kelebihan
beban peran.

7.2. Aspek dan Dimensi Beban Kerja


Munandar (2001) mengemukakan, terdapat dua aspek
yang menjadi beban kerja, yaitu:
1) Beban kerja sebagai tuntutan Fisik. Situasi kerja kondusif
dapat menghasilkan prestasi kerja yang optimal di

88 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


samping itu dapat meningkatkan kinerja pegawai. Sebagai
contoh kemampuan seorang pegawai memutar roda pada
sebuah bengkel, atau kemampuan sesorang mengangkat
beban. Kondisi fisik dapat pula berpengaruh terhadap
kesehatan mental seorang pekerja. Kondisi fisik pekerja
mempunyai pengaruh terhadap kondisi fatal dan psikologi
seseorang, sebagai contog seorang karyawan yang postur
tubuhnya tipis, tidak cocok bertugas di bagian tungku atau
perapian. Dengan kata lain bahwa kesehatan pekerja
harus tetap dalam keadaan prima saat melakukan
pekerjaan, selain istirahat yang cukup juga harus didukung
sarana dan tempat kerja yang nyaman serta memadai.
2) Beban kerja sebagai tuntutan tugas. Kerja shif dan kerja
malam sering kali menyebabkan kelelahan bagi pekerja
akibat dari beban kerja yang berlebihan. Seperti contoh
seorang perawat yang giliran jaga malam, akan merasakan
kelelahan karena kurang tidur. Beban kerja berlebihan
dapat mengakibatkan kelelahan dan beban kerja terlalu
sedikit dapat mengakitabtkan terjadinya demotivvasi
sehingga berpengaruh terhadap kinerja pegawai.

Glazer dan Gyurak, (2008) mengemukakan dimensi dari


Kelebihan Beban Peran (role overload) adalah:
1. Qualitative Overload
Tuntutan yang melebihi kemampuan seseorang
(misalnya, tugas terlalu rumit, atasan terlalu menuntut
dan pekerjaan yang tidak biasanya dikerjakan). Qualitative
overload muncul ketika tugas-tugas yang dibutuhkan
untuk diselesaikan terlalu sulit.

Kelelahan Kerja (Burnout) 89


2. Quantitative
Tuntuan kerja yang berlebihan dan tidak dapat
dipenuhi oleh pegawai. Waktu kerja yang panjang,
tekanan dari perusahaan atau pelanggan yang banyak.
Quantitative overload mengacu pada terlalu banyaknya
hal-hal yang harus dikerjakan dalam suatu waktu tertentu.

Davis dan Newstrom (1985), mengemukakan adat


sebelas dimensi yang dapat menyebabkan terjadinya beban
kerja pada seorang pekerja, adalah sebagai berikut:
1) Pekerjaan berlebihan kapasitas pekerja (Work Overload).
Pekerjaan yang memiliki beban berlebih memerlukan
kemampuan maksimal dari pekerja. Umumnya pekerjaan
dengan bebab berlebihan merupakan hal-hal yang
menekan yang dapat menyebabkan timbulnya
(ketegangan).
2) Keterbatasan Waktu (urgensi waktu). Waktu yang terbatas
atau dalam menyelesaikan suatu penyelesaian,
merupakan hal-hal yang menekan yang dapat
menimbulkan (tension). Jika tugas yang dilakukan
terburu-buru akan mengakibatkan kesalahan besar yang
dapat merugikan.
3) Sistem pengawasan yang tidak efisien (kualitas pengawas
buruk). Buruknya dan tidak efisiennya dapat
mengakibatkan ketidaktenangan bagi pekerja dalam
bekerja. Harapan pekerja dalam memenuhi kebutuhan
kerjanya yaitu adanya bimbingan dan pengawasan dari
atasannya.
4) Pemberian wewenang yang kurang tepat sehingga tidak
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan (Otoritas
yang tidak memadai untuk menandingi tanggung jawab).
Akibat dari evaluasi yang tidak memadai akan

90 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


menimbulkan efek pada pemberian wewenang yang tidak
sesuai dengan tanggung jawab pekerjaan pekerja. Pekerja
yang bertanggung jawab lebih besar dari wewenang yang
diberikan akan mudah merasakan perasaan tidak
seimbang yang akhirnya berpengaruh pada kinerjanya.
5) Kurang umpan balik prestasi kerja (insufficient
performance feedback). Ketidakpuasan kerja dapat
dipengaruhi oleh kurangnya umpan balik pada prestasi
kerja. Sebagai contoh memberikan pujian atau kenaikan
gaji ketika pekerja berprestasi.
6) Ketidakjelasan peran (role ambiguity). Untuk
menghasilkan kinerja yang baik, pekerja perlu memahami
tujuan dari suatu pekerjaan, apa yang diharapkan dari
tugas dan tanggung jawab pekerja. Ketidakjelasan peran
dapat dihasilkan informasi yang tidak tepat dan akurat
7) Perubahan-perubahan dalam pekerjaan (change of any
type). Karena adanya perubahan yang terjadi dalam
pekerjaan akan memengaruhi cara orang dalam bekerja.
Hal ini berarti terjadinya ketidakstabilan pada situasi
kerja. Perubahan dalam lingkungan kerja berupa
perubahan teknologi, jenis pekerjaan, perubahan
organisasi, pergantian pemimpin dan perubahan
kebijakan pemilik perusahaan.
8) Konflik antar pribadi atau kelompok (konflik antar pribadi
dan antar kelompok). Konflik juga dapat terjadi akibat
ketidaksesuaian tujuan dan nilai-nilai yang dianut dua
pihak individu dan kelompok. Salah satu dampak negatif
dari konflik adalah terjadinya gangguan dalam komunikasi
dan kerja sama antar kelompok. Situasi yang sering timbul
di tempat kerja.
9) Suasana politik yang tidak aman (iklim politik tidak aman).
Suasana politik yang tidak stabil dapat terjadi di

Kelelahan Kerja (Burnout) 91


lingkungan kerja maupun di lingkungan lebih luas.
Misalnya situasi politik yang tidak kondusif, dapat
menimbulkan ketidakstabilan ekonomi.
10) Frustrasi (frustrasi). Konflik juga dapat mengakibatkan
frustasi dalam berkerja yang berdampak pada
terganggunya usaha mencapai. Misalnya adanya
ketidaksesuaian harapan perusahaan dengan harapan
pekerja Hal ini akan menimbulkan stres apabila
berlangsung terus-menerus.
11) Nilai-nilai perusahaan sering bertolak belakang dengan
nilai-nilai yang dimiliki pekerja (perbedaan antara nilai-
nilai perusahaan dan karyawan). Kebijakan perusahaan
sering tidak sejalan dengan keinginan pekerja. Hal ini
sering terjadi, karena pada dasamya perusahaan lebih
berorientasi pada keuntungan (profit), sedangkan pekerja
menghasilkan upah dan kesejahteraan yang tinggi serta
jaminan kerja yang memuaskan.

Indikator beban kerja


Indikator beban kerja Munandar (2010), menjelaskan
sebagai berikut :
1. Target yang harus di capai.
Pandangan individu mengenai besarnya target kerja yang
di berikan untuk menyelesaikan pekerjaan dalam waktu
tertentu. Apabila seorang karyawan menganggap target
pekerjaannya terlalu tinggi, maka pekerja tersebut
mungkin merasa suatu tantangan yang akan dihadapi atau
pekerja akan merasa memiliki beban kerja yang berat,
2. Kondisi pekerjaan.
Pandangan yang dimiliki oleh individu mengenai kondisi
pekerjaan, serta mengatasi masalah kejadian yang tidak

92 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


terduga seperti melakukan pekerjaan extra diluar waktu
yang di tentukan. Dalam hal ini, karyawan dihadapkan
pada pekerjaan yang memerlukan pemecahan atau
penyelesaian, jika karyawan menganggap pekerjaannya
sulit dipecahkan, maka karyawan merasakan adanya
masalah dan beban pekerjaannya menjadi berat atau
tinggi, demikian pula sebaliknya.
3. Standar Pekerjaan.
Kesan yang dimiliki individu mengenai pekerjaan misalnya
perasaan yang timbul mengenai beban kerja yang harus
diselsaikan dalam jangka waktu tertentu. Standart
pekerjaan yang ditetapkan perusahaan kadang
menjadikan karyawan ter-bebani, karena dia tidak atau
kurang mampu mengerjakannya, demikian pula
sebaliknya, jika standart pekerjaan itu dapat dipahami dan
pekerja merasa dapat menyelesaikan tugasnya maka
pekerja merasa bebannya menjadi tidak berat.

7.3. Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja


Soleman (2011:85) mengemukakan, faktor yang
memengaruhi beban kerja adalah sebagai berikut:
a. Faktor eksternal
Beban kerja yang bersumber dari luar diri pekerja,
antara lain adalah:
1. Tugas (Task). Stasiun kerja, tata letak ruang kerja,
kondisi ruang kerja, kondisi lingkungan kerja, sikap
kerja, cara angkut, beban yang diangkat waktu
istirahat, shift kerja, sistem kerja Tugas bersifat fisik.
Namun tanggung jawab, kompleksitas pekerjaan,
emosi pekerjaan merupakan tugas yang bersifat
mental kerja,

Kelelahan Kerja (Burnout) 93


2. Lingkungan kerja. Lingkungan kerja fisik, lingkungan
kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis dapat
memberikan beban tambahan bagi pekerja.
b. Faktor internal
Jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi,
kondisi kesehatan, dan faktor psikis (motivasi, persepsi,
kepercayaan, keinginan, kepuasan merupa-kan faktor
internal yang berasal dari dalam diri pekerja akibat dari
reaksi beban kerja eksternal yang berpotensi sebagai
pemicu terjadinya stresor, meliputi faktor somatis.

Beberapa literature telah membahas mengenai beban


kerja sering dijelaskan sebagai faktor yang memiliki pengaruh
terhadap kinerja. Lysaght, et al. (1989) mengemukakan faktor-
faktor yang dapat mendorong terjadinya beban kerja adalah
sebagai berikut :
a. Tuntutan situasi dan pengaruh internal
- Kebutuhan kerja dan pembagian tugas
Membedakan tugas antara fungsi sistem dan
manusia merupakan langkah awal dalam desain
sistem dan pembagian ini akhirnya akan
menimbulkan tuntutan situasi pada pekerja. Pda
saat disain sistem dilakukan, perancang
memutuskan fungsi mana yang diberikan pada
manusia dan mana yang diberikan pada sistem.
Setelah pembagian dilakukan, fungsi kendali dan
display akan mengarahkan tugas pada pekerja.
Tugas yang sudah dibagi psda pekerja
mencerminkan pekerjaan pekerja/karyawan. Cara
manusia dalam analisa tugas (task analysis)
berpusat pada pemahaman bagaimana tugas akan
mempengaruhi pekerjaan, dan sejauh mana tugas-

94 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


tugas tersebut tidak dapat dikerjakan pada tingkat
yang diharapkan.
Beban kerja yang banyak dipengaruhi oleh
task (tugas) dirasakan melalui cara. Sebagai contoh,
seorang pekerja melakukan tidakan dalam
memenuhi tugasnya, melalui jumlah dan tipe tugas
yang akan ditampilkan, melalui keterbatasan waktu
tersedia dalam menyelesaikan tugas maupun
melalui tingkat keakuratan yang dibutuhkan dalam
meyelesaikan tugas.
Semua yang telah di atas menjadi faktor yang
dapat mengakibatkan munculnya tuntutan situasi.
- Konteks lingkungan
Tugas yang dikerjakan oleh pekerja tidaklah
dikerjakan sendiri melainkan ada orang lain juga.
Pekerja dapat merasa kesulitan pada saat
melakukan tugas di dalam suatu keadaan yang
berbeda-beda. Interaksi pekerja dengan
sekelilingnya juga memberikan pengaruh yang
penting terhadap kinerja dan beban kerja. Faktor-
faktor eksternal yang dapat mengubah tuntutan
situasi dan mempengaruhi tingkat kesulitan yakni
lingkungan eksternal (misalnya panas, kelembaban
udara, suara, penerangan, getaran, dan gaya
gravitasi), rancangan dari unit pertukaran informasi
manusia-mesin (misalnya tipe dan ukuran dari
display dan kendali, serta bentuk susunannya),
desain dari pengemasan manusia (misalnya pakaian
pelindung, posisi duduk) serta desain dari
keseluruhan tempat kerja (misalnya, penerangan,
ventilasi, kendali kelembaban dan suhu, serta
engurangi getaran)

Kelelahan Kerja (Burnout) 95


b. Pekerja
Setiap individu memasuki suatu situasi kerja dapat
pengaruhi kinerja.
- Kondisi sementara
Kondisi awal kesegaran tubuh seseorang yang bisa
saja berpengaruh kepada pelaksanaan tugas.pekerja.
- Sifat / bawaan menetap
Kondisi seorang pekerja sering disebabkan oleh
karakteristik yang tidak mudah berubah, misalnya
tujuan, motivasi, pengetahuan, keterampilan, dan
kemampuan proses berpikir. Seseorang memiliki cara
berbeda di dalam hal pencapaian tujuan, sejauh mana
prncapaian saat ini, dan sejauh mana pencapaian itu
terpuaskan. Pada akhirnya hal ini merupakan faktor
menentukan tingkat motivasi dalam pemenuhan
tugas dan menentukan sejauh mana upaya secara
sukarela diberikan oleh individu tersebut.

Kemampuan proses berpikir dari seorang pekerja


dibedakan dari pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
melalui pelatihan dan pengalaman. Pengetahuan contohnya
mengenai kenyataan-kenyataan, peraturan-peraturan,
prosedur pemakaian peralatan) dapat dianggap sebagai sumber
yang dimiliki oleh individu yang dapat dimanfaatkan oleh proses
kognitif.
Menggunakan pengetahuan tersebut, seorang individu
perlu melibatkan proses dinamis eperti untuk mengingat dan
memanipulasi pengetahuan yang dibutuhkan dalam
menyelesaikan tugas.

96 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


7.4. Pengukuran Beban Kerja
Untuk memperoleh informasi tingkat efektivitas dan
efisiensi kerja perlu dilakukan pengukuran beban kerja terhadap
banyaknya pekerjaan. Menetapkan jumlah jam kerja dan jumlah
orang yang diperlukan dalam rangka menyelesaikan suatu
pekerjaan tertentu dapat dilakukan dengan pengukuran beban
kerja. (Komaruddin, 1996).
O’Donnell dan Eggemeier (1986) mengemuka-kan,
pengukuran beban kerja dapat dilakukan dalam tiga jenis, yaitu:
a. Pengukuran subjektif
Pengukuran berdasarkan penilaian dan laporan pekerja
merupakan pengukuran subjektif pekerja terhadap beban
kerja yang dirasakannya dalam menyelesaikan suatu
tugas. Pengukuran jenis ini pada umumnya menggunakan
skala penilaian (rating scale).
b. Pengukuran kinerja
Pengukuran kinerja merupakan pengukuran yang melalui
pengamatan terhadap aspek-aspek perilaku/aktivitas
yang ditampilkan oleh pekerja. Salah satu jenis dalam
pengukuran kinerja adalah pengukuran berdasarkan
waktu. Pengukuran kinerja dengan menggunakan waktu
merupakan suatu metode untuk mengetahui lama
penyelesaian suatu pekerjaan yang memiliki kualifikasi
tertentu, di dalam suasana kerja yang telah ditentukan
(Whitmore, 1987).
c. Pengukuran fisiologis
Pengukuran fisiologis merupakan pengukuran tingkat
beban kerja untuk mengetahui beberapa aspek dari
respon fisiologis pekerja sewaktu menyelesaikan suatu
tugas/pekerjaan tertentu. Biasanya dilakukan pengukuran
pada refleksi pupil, pergerakan mata, aktivitas otot dan
respon-respon tubuh lainnya. F. W. Taylor pada tahun

Kelelahan Kerja (Burnout) 97


1891. Yang pertama memperkenalkan teknik pengukuran
kinerja berdasarkan waktu.

Menurt Sutalaksana, Anggawisastra & Tjakr-aatmadja


(2006) menjelaskan bahwa pengukuran waktu dapat digunakan
untuk mendapatkan ukuran tentang beban dan kinerja yang
berlaku dalam suatu sistem kerja. Karena metode yang
digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode ilmiah,
maka hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Melalui
pengukuran ini pengukur memperoleh ukuran ukuran
kuantitatif yang benar tentang kinerja dan beban kerja.
a. Elemen-elemen dalam pengukuran beban kerja
berdasarkan waktu
Beberapa elemen yang dibutuhkan dalam
melakukan pengukuran beban kerja berdasarkan waktu,
agar perhitungan dapat dilakukan menurut rumus yang
ditentukan. Elemen tersebut adalah antara lain:
1) Waktu siklus (Ws)
Waktu yang dibutuhkan dalam suatu proses
penyelesaian suatu produk sejak bahan baku mulai
diproses di tempat kerja yang bersangkutan
(Sutalaksana, dkk., 2006).
2) Faktor penyesuaian (p)
Waktu mengoreksi segala ketidakwajaran yang terjadi
yang ditunjukkan oleh pegawai selama masa
pengamatan dilakukan disebut aktor penyesuaian
(Sutalaksana, dkk., 2006).
Sebagai contoh jika pengukur menemukan harga
rata-rata siklus diketahui diselesaikan dalam
kecepatan tidak wajar oleh operator, maka pengukur
harus menormalkannya dengan melakukan

98 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


penyesuaian. Penyesuaian yang dianggap objektif
adalah Westing-house yang disusun oleh Lawry,
Maynard dan Stegemarten. Penyesuaian
Westinghouse meliputi 4 aspek yaitu; keterampilan,
usaha, kondisi kerja dan konsistensi.
3) Kelonggaran (k)
Waktu-waktu kelonggaran yang diberikan kepada
pekerja untuk tiga hal, yaitu untuk kebutuhan pribadi
(makan, minum dan beribadah), untuk
menghilangkan rasa kelelahan dan untuk hambatan-
hambatan tak terhindarkan dalam pekerjaan. Semua
kelonggaran ini memiliki nilai masing-masing yang
telah ditentukan (Sutalaksana, dkk.,2006).
4) Waktu baku (Wb)
Waktu normal yang dibutuhkan oleh seorang
pekerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang
dijalankan dalam sistem kerja terbaik.
5) Total waktu kerja per hari (twk)
Banyaknya waktu yang diberikan oleh
perusahaan/organisasi sesuai aturan setiap hari
kepada pegawainya untuk menyelesaikan tugas-
tugas yang ada. Jumlah jam kerja pegawai ini dapat
dilihat dari banyaknya waktu kerja yang digunakan
untuk menyelesaikan tugas tertentu
b. Tahapan-tahapan pengukuran beban kerja berdasar-kan
waktu
Untuk melakukan pengukuran beban kerja
berdasarkan waktu, ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan yakni (Sutalaksana, dkk., 2006):
1) Tahapan sebelum pengukuran
- Penetapan tujuan pengukuran

Kelelahan Kerja (Burnout) 99


Sangat penting melakukan penetapan tujuan
dikarenakan tujuan adalah sesuatu ingin dicapai
yang membutuhkan ketelitian dan tingkat
keyakinan.
- Memilih pegawai yang akan diamati
Pegawai yang akan dipilih harus memenuhi
beberapa kriteria tertentu, di antaranya berke-
mampuan normal dan dapat diajak bekerja sama.
Kemampuan seorang pegawai diasumsikan akan
menghasilkan waktu kerja yang normal.
Sedangkan sifat kolaboratif dan kerjasama
diperlukan agar proses pengamatan dan
pencatatan dapat berjalan lancar.
- Mengurai pekerjaan atas elemen pekerjaan
Mengurai pekerjaan ke dalam bagian-bagian
kecil, kemudian setiap bagian dicatat waktunya.
Jumlah seluruh waktu dari tiap elemen akan
menghasilkan waktu siklus. Tujuan mengurai
pekerjaan menjadi bagian yang lebih kecil ini
adalah untuk mengantisipasi adanya elemen
tidak baku yang mungkin saja dilakukan pekerja.
- Menyiapkan perlengkapan pengukuran
Beberapa alat bantu dibutuhkan dalam proses
pengamatan untuk memperoleh data yang
akurat. Alat-alat tersebut berupa jam henti, foto-
foto, video, pena atau pensil dan papan
pengamatan, CCTV.
2) Pengukuran waktu
Kegiatan mengamati dan mencatat waktu waktu kerja
baik setiap elemen ataupun siklus dengan
menggunakan alat-alat yang telah disiapkan di atas.

100 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Perlu pengukuran pendahuluan ini bertujuan untuk
memperoleh data untuk menguji keseragaman data
dan mengetahui jumlah minimum pengamat-an yang
harus dilakukan sebagai syarat kecukupan data.
3) Menghitung waktu baku
Jika proses pengambilan data telah selesai, maka
semua persyaratan perlu diperiksa apa sudah
terpenuhi, setelah itu penghitungan waktu baku
dapat dilakukan, dengan waktu siklus, faktor
penyesuaian dan kelonggaran dalam proses
penghitungannya.

7.5. Manfaat pengukuran beban kerja


Pengukuran beban kerja memberikan beberapa
keuntungan bagi organisasi. Cain (2007) menjelaskan mengenai
alasan utama dalam mengukur beban kerja adalah untuk
mengkuantifikasi biaya mental (mental cost) yang harus
dikeluarkan agar dapat memprediksi kinerja sistem dan pekerja.
Pengukuran beban kerja adalah untuk meningkatkan kondisi
kerja, desain lingkungan kerja ataupun menghasilkan prosedur
kerja yang lebih efektif. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Pedoman Analisis Beban Kerja Di
Lingkungan Departemen Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah
dalam Muskamal (2010) menjelaskan bahwa pengukuran
beban kerja dilakukannya memberikan beberapa manfaat
kepada organisasi, yakni :
- Penataan/penyempurnaan struktur organisasi
- Penilaian prestasi kerja baik jabatan maupun unit
- Bahan penyempurnaan sistem dan prosedur kerja
- Sarana peningkatan kinerja kelembagaan

Kelelahan Kerja (Burnout) 101


- Penyusunan standar beban kerja jabatan/kelem-bagaan,
penyusunan daftar susunan pegawai atau bahan
penetapan eselonisasi jabatan struktural
- Menyusun kebutuhan pegawai secara riil sesuai dengan
beban kerja organisasi
- Menyusun rencana mutasi pegawai dari unit yang
berlebihan ke unit yang kekurangan
- Program promosi pegawai
- Pemberian Reward and punishment terhadap unit atau
pejabat
- Bahan penyempurnaan program diklat
- Materi penetapan kebijakan pimpinan dalam rangka
peningkatan pendayagunaan sumber daya manusia.

102 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


8.1. Penelitian Roslina Alam (2008)
Meneliti mengenai Pemberdayaan Pengaruhnya Terhadap
Kelelahan Kerja dan Kecerdasan Emosional Perawat dan Bidan
pada Rumah Sakit Rujukan di Sulawesi Selatan

ABSTRACT
Nurses and midwives is a profession which serves human
beings and humanity, in the sense that the profession of nurses
and midwives will give priority to the health of individuals, family
and society above their own interest. The services provided by
nurses and midwives is based on their knowledge and know-how
in nursing which integrates the attitude, intellectual capacity and
technical skills of the nurses and midwives based on their
willingness and competence in helping others in health and
sickness.
This research is conducted on nurses and midwives in
regional referral hospitals in South Sulawesi, which is comprised
of seven hospitals in the municipality of Palopo, regency of Bone,

Kelelahan Kerja (Burnout) 103


regency of Bulukumba, municipality of Parepare and three other
hospitals in the municipality of Makassar. The focus of this
research is on the empowerment felt by nurses and midwives in
relation to role ambiguity and conflict, job burnout and emotional
intelligence.
Sample was taken using proportional area random
sampling where each unit is determined as much as 10 percent
by Gay (in Umar, 2004:108). Sample size is about 200 people.
The design of this research is explanatory, which tries to explain
the relation among variables through confirmatory analysis and
proposition testing.
The result of the research shows that: (1) the empowerment
has positive and significant impact on role ambiguity and
conflict, due to the high expectation and lack of workers in the
hospitals, (2) role ambiguity and conflict has positive and
significant impact on job burnout, (3) empower-ment has
insignificant impact on job burnout, (4) job burnout has
insignificant impact on emotional intelligence, and (5)
empowerment has significant and positive impact on emotional
intelligence.
This research found that task and respon-sibility should be
adapted to job description and further research should develop
other variables in the hospital, improve the autonomy and
independence of the nurses and midwives so as to reduce role
ambiguity and conflict.

Keywords: empowerment, role ambiguity, role conflict, job


burnout, emotional intelligence

104 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Latar Belakang Masalah
Keperawatan merupakan salah satu profesi di rumah sakit
yang berperan penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga
mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perawat adalah
salah satu jenis tenaga kesehatan yang dikelompokkan dalam
tenaga keperawatan. Tenaga keperawatan terdiri dari perawat
dan bidan (Peraturan Pemerintah RI No. 32.1996).
Di Sulawesi Selatan sering ada keluhan dari pasien
maupun keluarga pasien bahwa perawat kurang ramah dan
kurang sabar, kurang peduli terhadap pasien, acuh tak acuh,
sering marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang kurang
pantas, komunikasi kurang baik, waktu tunggu terlalu lama, tak
ada kesempatan berkomunikasi dengan dokter serta obat yang
berganti-ganti. Menurut Kepala Puskabangkes dr. Setiawan
Soeparan, hal ini mendorong pasien mencari pelayanan ke luar
negeri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dokter dan
beberapa perawat dan bidan, umumnya perawat dan bidan di
Sulawesi Selatan bekerja sampingan selain di rumah sakit, yaitu
membantu di tempat praktek dokter, membuka praktek sendiri,
berkunjung dan merawat di rumah pasien yang tidak dapat
berobat ke rumah sakit. Hal ini dapat menyebabkan
kebingunangan (ambigu) pada karyawan karena banyak
harapan-harapan dari tanggung jawab kerja yang mereka
emban, Rizzo et al. (1970)
Rendahnya mutu pelayanan perawat disebab-kan oleh
kelelahan kerja karena beban kerja berlebihan, kurangnya
insentif yang diterima, dapat pula kekurangan sumber daya,
baik sumber daya manusia maupun sumber daya teknologi.
Rendah-nya mutu pelayanan dapat juga disebabkan oleh
perawat dan bidan yang kurang menyadari perannya sebagai
profesi yang humanistik.

Kelelahan Kerja (Burnout) 105


Dalam rangka menyusun tatanan pelayanan rumah sakit
umum, peningkatan serta pengembang-an pelayanan
kesehatan dan fungsi rumah sakit umum, Departemen
Kesehatan RI menentukan Standar Pelayanan Rumah Sakit
yang berisi kriteria-kriteria penting mengenai jenis disiplin
pelayanan yang berkaitan terutama dengan struktur dan proses
pelayanan. Selain itu, peningkatan pelayanan kesehatan
bukanlah semata-mata ditentukan oleh tersedianya fasilitas
fisik yang baik saja. Namun yang lebih penting adalah sikap
mental dan kualitas profesionalisme para personel yang
melayaninya.
Pemakai jasa perawatan kesehatan termasuk rumah sakit
selalu memperhatikan kualitas staf medis, pelayanan gawat
darurat, perawatan perawat, tersedianya pelayanan yang
lengkap, rekomendasi dokter, peralatan yang moderen,
karyawan yang sopan santun, lingkungan yang baik,
penggunaan rumah sakit sebelumnya, ongkos perawatan,
rekomendasi keluarga, dekat dari rumah, ruangan pribadi dan
rekomendasi teman (Cooper, 1994).
Kekurangan sumber daya kesehatan khususnya perawat
dan bidan ini menyebab-kan kelebihan beban kerja yang dapat
menimbulkan stres kerja dan kelelahan kerja (burnout) Perewe
et al. (2002). Salah satu alasan terhadap kepentingan ekspansif
adalah temuan yang konsisten bahwa stress yang dialami dapat
memiliki efek yang membahayakan kesehatan mental dan fisik
individu dan juga efek-efek negatif pada kinerja organisasi-onal
Ganster dan Schaubroeck (1991) dan Westman (1992).
Para peneliti juga mengaitkan kelelahan kerja dengan
beragam masalah kesehatan mental dan fisik, dan keburukan
keluarga dan hubungan sosial, serta meningkatnya pergantian
dan ketik-hadiran Jackson dan Maslach (1982); Maslach
(1977); Jackson et al. (1986) dalam Perrewe et al. (2002).

106 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Kahn et al. (1964) dalam Wetzels et al. (2000),
mengemukakan harapan-harapan personel terbatas di suatu
organisasi dan mungkin akan berbenturan dengan harapan-
harapan konsumen. Ketika atasan mengharap-kan karyawan
untuk melayani konsumen sebanyak mungkin, pada saat yang
sama, konsumen mungkin akan menuntut perhatian personal,
hal ini dapat menimbulkan ambiguitas peran.
Ambiguitas peran mengacu pada unpredik-tabilitas
konsekuensi kinerja dan defisiensi informasi mengenai perilaku
peran yang diharapkan Pearce (1981). Sebaliknya, konflik peran
mengacu pada harapan-harapan yang tidak sesuai dan ini dapat
terjadi antar beberapa peran, Schaubroeck et al. (1989).
Selama lebih dari dua dekade, penelitian telah
menunjukkan bahwa ambiguitas peran dan konflik peran terkait
dengan sejumlah outcome disfungsio nal termasuk
ketidakpastian, ketidakpuasan kerja, tekanan psikologis dan
niat untuk meninggalkan organisasi, Rizzo et al. (1970).
Variabel-variabel tersebut nampaknya terkait satu sama lain di
beragam pekerjaan termasuk pengacara layanan publik
Jackson et al. (1987), perawat Leiter dan Maslach, (2001), guru
Schwab dan Iwanicki (1992), dan profesional layanan wanita
Brookings et al. (1985).
Pemberdayaan telah didefinisikan oleh Conger dan
Kanungo (1988); Thomas dan Velthouse (1990) sebagai
motivasi intrinsik yang nampak dalam empat kognisi yang
mencerminkan orientasi dari seorang individu terhadap peran
kerjanya. Ke empat kognisi ini adalah arti (meaning),
kompetensi (competence), penentuan nasib sendiri (self
determination) dan dampak (impact).
Kecerdasan emosional telah diterima dan diakui
kegunaannya. Studi-studi menunjukkan bahwa seorang
eksekutif atau profesional yang secara teknik unggul dan

Kelelahan Kerja (Burnout) 107


memiliki emotional quation (EQ) yang tinggi adalah orang yang
mampu mengatasi konflik, melihat kesenjangan yang perlu
dijembatani atau diisi, melihat hubungan yang tersembunyi
yang menyajikan peluang, berinteraksi, penuh pertimbangan
atau meng-hasilkan yang lebih berharga, lebih siap, lebih
cekatan, dan lebih cepat dibandingkan orang lain (Cooper, R.K
dan Sawaf, 2002).
Penelitian Joiner dan Bartram (2004) menemukan bahwa
pemberdayaan berpengaruh negatif dengan ambiguitas peran
dan konflik peran, hal ini disebabkan bahwa perawat juga
terlibat dalam pengambilan keputusan dalam memecahkan
masalah, kompetensi yang dimiliki perawat dan dukungan
sosial berupa dukungan rekan kerja dapat mengurangi
ambiguitas peran. Penelitian Spreitzer, (1996) menunjukkan
bahwa pemberdayaan berhu-bungan negatif terhadap
ambiguitas peran, demikian pula Wetzels et al. (2000)
memenunjuk kan bahwa pemberdayaan, berpengaruh negatif
terhadap ambiguitas peran dan konflik peran. Hartline dan
Ferrell. (1996) menemukan sebaliknya bahwa pemberdayaan
perpengaruh positif terhadap ambiguitas peran dan konflik
peran, hal ini disebabkan karena tingkat skill relatif rendah
sehingga kesulitan dalam mema-hami perintah atasan dan
kekurangan jumlah sales contact.
Penelitian Yagil, (2006) pemberdayaan berkorelasi
negatif terhadap kelelahan kerja (depersonalisasi dan kelelahan
emosional kemun-duran prestasi personal) dan pengaruh-nya
terhadap kepuasan konsumen dengan variabel moderasi
motivasi kekuasaan. Greco et al. (2006) menemu--kan bahwa
variabel perilaku pemberdayaan pegawai, pemberdayaan
structural berpengaruh negatif terhadap kelelahan kerja.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketika pemim-
pin mengembangkan struktur organisasional yang bisa

108 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


memberdayakan para perawat di dalam memberikan layanan
kesehatan yang optimal, maka pemberdayaan itu bisa
meningkatkan kecocokan antara pengharapan perawat
terhadap kualitas dari kehidupan kerja mereka serta dapat
membantu pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan organi-
sasi dan menurunkan kelelahan.
Low et al. (2001) menunjukkan bahwa variabel ambiguitas
peran, berpengaruh positif terhadap kelelahan kerja. Perrewe et
al. (2002) menemukan bahwa ambiguitas peran dan konflik
peran memiliki arah hubungan yang berbeda-beda pada 9
Negara, ada yang signifikan ada yang tidak signifikan. Hsieh dan
An-Tien (2003) bahwa ambiguitas peran berpengaruh positif
terhadap dimensi burnout (kelelahan emosional, penurunan
prestasi personal dan depersonalisasi). Penelitian ini mengacu
pada pendapat Rizzo (1970) ambiguitas peran sebagai situasi
dimana seseorang tidak memiliki arah yang jelas tentang
pengharapan yang dibebankan kepada peran yang ia jalankan di
dalam organisasi dan konflik peran sebagai ketidak-selarasan
antara pengharapan yang di-komunikasikan dengan persepsi
pegawai mengenai pelaksanaan perannya. Bhanugopan (2006)
bahwa ambiguitas peran memiliki hubungan yang paling kuat
dengan kelelahan kerja.
Benson S. et al. (2007) menemukan bahwa variabel
kelelahan kerja berpengaruh signifikan terhadap pensiun dini,
kelelahan secara emosional sangat tinggi dan konsentrasi pada
dokter ahli bedah memiliki kecendrungan untuk pensiun dini,
dan kelelahan kerja berpengaruh tidak signifikan terhadap
kecerdasan emosional (variabel kendali emosional, pengenalan
emosional dan ekspresi emosional serta pemahaman
emosional). Demikian pula Vera et al. (2007) menemukan
kelelahan kerja (kelelahan emosional, depersonalisasi,

Kelelahan Kerja (Burnout) 109


kemunduran prestasi personal) berpengaruh signifikan
terhadap kecerdasan emosional.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1)
apakah pember-dayaan telah diterapkan sepenuhnya sehingga
berpengaruh terhadap ambiguitas peran, konflik peran,
kelelahan kerja, dan kecerdasan emosional. 2) apakah
ambiguitas peran berpengaruh terhadap kelelahan kerja, 3)
apakah konflik peran pengaruh terhadap kelelahan kerja dan, 4)
apakah kelelahan kerja berpengaruh terhadap kecerdasan
emosional?
Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini
bertujuan membuktikan:
1) pengaruh pemberdayaan terhadap ambigui-tas peran,
konflik peran, kelelahan kerja, dan kecerdasan emosional.
2) pengaruh ambiguitas peran terhadap kelelahan kerja,
pengaruh konflik peran terhadap kelelahan kerja dan 3)
pengaruh kelelahan kerja tehadap kecerdasan emosional

Kerangka konseptual yang menjadi landasan penelitian ini


adalah kajian tentang hubungan kausal antara variabel
pemberdayaan terhadap ambiguitas peran, konflik peran,
kelelahan kerja dan kecerdasan emosional perawat dan bidan
dirumah sakit rujukan.

Landasan Teori
Teori-teori yang dikemukakan menjadi rujukan penelitian
ini karena kedekatannya dengan fakta dan realitas di lingkungan
perawat dan bidan.

110 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Robbins (2003) mengemukakan bahwa pemberdayaan
(empowerment) karyawan berarti membuat karyawan
menguasai apa yang mereka lakukan. Hal senada juga
dikemukakan oleh Cutterbuck (1995) bahwa pemberdayaan
berarti mendorong dan mengijinkan SDM memikul tanggung
jawab pribadi untuk meningkatkan cara bekerja dan
meningkatkan kontribusi mereka terhadap organisasi.
Pengertian-pengertian tersebut menggambarkan bahwa yang
diberdayakan adalah SDM bukan organisasi.
Pemberdayaan dipahami sebagai tindakan memberikan
kewenangan, keterampilan dan kebebasan kepada pegawai di
dalam melakukan tugas mereka Spreitzer (1996). Spreitzer
(1996) telah mendeskripsi-kan pemberdayaan sebagai cara
orang memandang diri mereka sendiri di dalam lingkungan kerja
dan tingkat sejauh mana orang merasa mampu membentuk
peran kerja. Pemberdayaan dapat memungkinkan para perawat
untuk menumbuhkan perasaan bahwa dirinya mampu
mengatasi masalah, baik masalah dalam kaitannya dengan
pasien maupun masalah dalam kaitannya dengan organisasi
dan masya-rakat sekitar. Brancato (2003) mengajukan
pendapat bahwa pening-katan pada pemberdayaan perawat
dapat mengurangi stres yang dialami di tempat kerja karena
pember-dayaan memungkinkan perawat untuk memanfaatkan
keterampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara
aktif dan untuk berpartisipasi sehingga perawat dapat menjadi
bagian yang berarti penting di dalam penyediaan layanan
kesehatan.
Pemberdayaan juga dipahami sebagai sebuah konstruk
multidimensional yang terdiri dari empat kognisi dimana
kognisi-kognisi ini mencerminkan bagaimana orientasi seorang
individu terhadap pekerjaannya. Ke empat kognisi itu adalah
makna/-mean (nilai dari sebuah tujuan kerja bagi individu),

Kelelahan Kerja (Burnout) 111


kompetensi/ competence (keyakinan seorang individu tentang
kemampuan untuk memenuhi tuntutan kerja), menentukan
nasib sendiri/self determination (otonomi atau kendali terhadap
proses-proses perilaku dalam bekerja) dan dampak/impact
(tingkat sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi
hasil yang terbentuk dari pekerjaannya) (Spreitzer, 1996).
Secara ringkas, pemberdayaan adalah tingkat sejauh mana
seorang individu dapat mempengaruhi secara aktif peran kerja
dan konteks kerjanya (Daniels dan Guppy 1994).
Ambiguitas peran atau ambiguitas/kekaburan peran
adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki
seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat
melaksanakan perannya dengan tepat Brief et al. (1981) dalam
Perrewe et al, (2002). Oleh karena itu ambiguitas peran adalah
bersifat pembangkit stres sebab ia menghalangi individu untuk
melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan
tidak aman dan tidak menentu
Kahn et al. (1978) dalam Bhanugopan et al. (2006)
menemukan bahwa ambiguitas peran berhu-bungan negatif
dengan kesehatan fisik dan psikis. Para peneliti ini melaporkan
bahwa individu yang mengalami ambiguitas peran yang tinggi
cenderung merasa kurang puas terhadap pekerjaannya dan
melaporkan stres pekerjaan yang tinggi dibanding-kan dengan
mereka yang rendah ambiguitas peran atau perannya lebih
jelas.
Ambiguitas peran adalah dihubungkan dengan satu
kebutuhan kepastian dan meramalkan kemungkin-an, terutama
dalam memenuhi makna dan tujuan mereka. Menurut Jackson
et al. (1986), bahwa lingkungan kerja menjadi ambigu, jika
individu kekurangan informasi untuk memenuhi aktivitas dan
tugas-tugas, seperti bila informasi terbatas atau tidak
tergambar atau dilafalkan dengan jelas. Pendapat Bhanugopan,

112 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


(2006) yang dapat mengakibatkan ambiguitas peran adalah
ketidak-jelasan prosedur-prosedur yang sesuai untuk
melakukan tugas-tugas atau ukuran-ukuran untuk evaluasi
kinerja.
Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami
konflik peran (role conflict) apabila ada dua tekanan atau lebih
yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan kepada
seseorang, sehingga apabila individu tersebut mematuhi satu
diantaranya akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin
mematuhi yang lainnya, Collins et al. (1995) menyatakan bahwa
konflik peran terjadi jika individu mempunyai peran ganda
bertentangan atau menerima berbagai pengharapan atas peran
yang bertentangan atas jabatan tertentu.
Konflik peran didefinisikan sebagai “kejadian simultan
dengan seseorang yang membuat pemenuhan yang lebih sulit
dengan yang lainnya” Kahn et al. (1964). Untuk harapan-
harapan personel terbatas di suatu organisasi dan harapan-
harapan konsumen mungkin akan berbenturan. Misalnya, ketika
atasan mengharapkan karyawan untuk melayani konsumen
sebanyak mungkin (beban kerja), pada saat yang sama,
konsumen mungkin akan menuntut perhatian personal.
Maslach et al. (2001) and Leiter et al. (2001) mengatakan
bahwa kelelahan kerja merupakan suatu pengertian yang multi
dimensional. Dikata-kannya, kelelahan kerja merupakan
sindroma-psikologis yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu: (i)
kelelahan emosional, (ii) depersonalisasi, dan (iii) low personal
accomplishment. Dijelaskan, bahwa pekerjaan yang ber-
orientasi melayani orang lain, dapat mem-bentuk hubungan
yang bersifat ”asimetrik”, antara pemberi dan penerima
pelayanan. Seseorang yang berkerja pada bidang pelayanan
akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan dan dukungan
kepada klien atau pasien.

Kelelahan Kerja (Burnout) 113


Menurut model konseptual Babakus 1999:60 kelelahan
kerja dapat diartikan sebagai kehabisan tenaga. Kelelahan kerja
merupakan suatu problem yang kemun-culannya memper-oleh
tanggapan yang baik, sebab hal itu terjadi ketika seseorang
mencoba mencapai tujuan yang tidak realistis, pada akhirnya
kehabisan energi dan kehilangan perasaan tentang dirinya dan
terhadap orang lain Bhanugopan et al. (2006)
Kecerdasan emosional telah diterima dan diakui
kegunaannya. Studi-studi menunjukkan bahwa seorang
eksekutif atau profesional yang secara teknik unggul dan
memiliki Emotional Quation (EQ) yang tinggi adalah orang-orang
yang mampu mengatasi konflik, melihat kesen-jangan yang
perlu dijembatani atau diisi, melihat hubungan yang
tersembunyi yang menjanjikan peluang, berinteraksi, penuh
pertimbangan untuk menghasil-kan yang lebih berharga, lebih
siap, lebih cekatan, dan lebih cepat dibandingkan orang lain.
Manfaat-manfaat yang dihasilkan oleh kecerdasan emosional
merupakan faktor keberhasilan organisasi adalah berkaitan
dengan pembuatan keputusan, kepe-mimpinan, terobosan
teknis dan strategis, komunikasi yang terbuka dan jujur, bekerja
sama dan saling mempercayai, membangun loyalitas,
kreativitas dan inovasi seperti yang dikemukakan oleh (Cooper,
R.K dan Sawaf, 2002).
Menurut Goleman dalam Bliss (1999) kecerdasan emosi
didefinisikan suatu kesadaran diri, rasa percaya diri,
penguasaan diri, komitmen dan integritas dari seseorang, dan
kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan,
mempenga-ruhi, melaku-kan inisiatif perubahan dan
menerima-nya. Dengan kata lain Goleman (2000) memberi
pengertian kecerdas-an emosi merujuk pada kemampuan untuk
mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan

114 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


mengelola emosi secara baik pada diri sendiri dan dalam
hubungannya dengan orang lain.
Mayer dan Salovey (2004) menggambarkan kecerdasan
emosional sebagai "suatu bentuk dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memonitor, menggambarkan perasaan
dan emosi diri maupun orang lain, dan menggunakan informasi
ini untuk me-ngarahkan pikiran dan tindakan seseorang. Mayer
dan Salovey juga menandai program penelitian yang
mengembangkan pengu-kuran yang valid tentang kecerdasan
emosional dan meneliti tentang signifikansinya misalnya
mereka menemukan satu penelitian tentang sekelompok orang
melihat gangguan pada film, mereka yang memiliki skor tinggi
pada kejernihan emosinya (yang mampu mengidentifikasi dan
menamai perasaan hati yang dialami lebih cepat pulih).
Berdasarkan pola hubungan antara variabel tersebut
dibuat model seperti gambar seperti Gambar 1 berikut dan
untuk mencapai tujuan penelitian ini, maka dikemukakan
hipotesis penelitian sebagai berikut:

Hipotesis
H1 : Semakin tinggi tingkat pemberdayaan akan menurunkan
ambiguitas peran
H2 : Semakin tinggi tingkat pemberdayaan akan menurunkan
konflik peran
H3 : Semakin tinggi tingkat ambiguitas peran, semakin tinggi
kelelahan kerja
H4 : Semakin tinggi tingkat konflik peran semakin tinggi
kelelahan kerja
H5 : Semakin tinggi tingkat kelelahan kerja semakin tinggi
kecerdasan emosional

Kelelahan Kerja (Burnout) 115


H6 : Semakin tinggi tingkat pemberdayaan semakin menurun
kelelahan kerja
H7 : Semakin tinggi tingkat pemberdayaan semakin tinggi
tingkat kecerdasan emosional (proposisi)

Gambar 1 kerangka konseptual dan penelitian empirik


pendukung sebagai berikut:

AmbPeran
(Y2)

KecEmosi
H1: 1, 2, 3 (Y5)

Proposisi
H3:
Pemberdayaan 6,7,8,9
(X1) H5: 10

H6: 4, 5
H1: 1, 2, 3 Kelelahan
(Y4)

KonPeran H4:
(Y3) 6,7,8,9

Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

Keterangan Penelitian Empirik yang Mendukung:


1. Joiner & Bartram (2004),
2. Spreitzer (1995, 1996, 1997).
3. Wetzels et al. (2000)
4. Yagil, Dana (2006).
5. Greco, Paula et al, (2006)
6. Perrewe, Pamela L et al. (2002).

116 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


7. Yih-Ming Hsieh (2003).
8. Low et al, (2000)
9. Bhanugopan and Alan Fish (2004)
10. S.Benson et al. (2007)
11. Aldo Vera et al. (2007)

Metode
Jenis Penelitian adalah explanatory research, yaitu untuk
memahami karakte-ristik variabel dan menjelaskan hubungan
kausal antara variabel exogenous dan variabel endogenous
melalui pengjian hipotesis.
Lokasi penelitian: pada rumah sakit rujukan berbasis
regional di Sulawesi Selatan. Rumah sakit tersebut merupakan
rujukan dari rumah sakit kabupaten dan puskesmas di
sekitarnya.
Instrumen penelitian adalah: (1) kuesioner, pilihan ganda,
5 opsi (2) wawancara.
Populasi: meliputi semua perawat dan bidan yang
berstatus pegawai tetap (PNS) pada rumah sakit rujukan
berbasis regional di Sulawesi Selatan, berjumlah N = 1987
orang (Dinkes 2006).
Sampel: Teknik Pengambilan Sampel, adalah secara Area
Proporsional Random Sampling. Penentuan rumah sakit rujukan
berdasarkan pertimbangan bahwa rumah sakit tersebut
memiliki perawat dan bidan lebih besar daripada rumah sakit
lain yang ada dalam satu regional. Ukuran sampel di tentukan
dengan memperhatikan keseimbangan proporsi masing-masing
unit.
1) Menurut Mercado (1982:27), besarnya sampel yang
diperlukan untuk finite populasi (confidence limits and

Kelelahan Kerja (Burnout) 117


specified reliability limite, dalam sampling), dinyatakan
dalam persentase (%), yaitu 95% confidence interval
(0,95).
2) Untuk menentukan sampel tiap-tiap unit ditentukan
sebesar 10% sesuai pendapat yang dikemukakan oleh
Gay (dalam Umar, 2004 : 108), bahwa ukuran minimum
sampel yang dapat diterima berdasarkan pada desain
penelitian yang digunakan yaitu, minimal 10% dari
populasi dan untuk populasi relatif kecil minimal 20%
populasi.

Alat Analisis: Alat analisis yang digunakan dalam


penelitian ini yaitu Partial Least Square (PLS) (Ghozali,2006;
Solimun, 2006).

Hasil
Harapan dari penelitian ini adalah bahwa secara teorities
ditemukannya hubungan kausal, antara pemberdayaan
terhadap ambiguitas peran, kelelahan kerja dan kecerdasan
emosional pada rumah sakit umum di Palopo, Parepare dan
Bone.
Diawali dengan analisis Statistic Deskriptif menunjukkan
rata-rata hasil statistic sebagai berikut: pemberdayaan = 3,79;
ambiguitas peran = 4,06; konflik peran = 3,96 kelelahan kerja =
3,99 dan kecerdasan emosional = 4,05.
Uji validitas dan reliabilitas, adalah menyangkut tingkat akurasi
yang dicapai oleh sebuah indikator dalam menilai sesuatu atau
akuratnya pengukuran atas apa yang seharusnya diukur. Oleh
karena itu, untuk dapat dikatakan valid setiap indikator
dilakukan analisis baik terhadap validitas konvergen, validitas
diskriminan dan composite reliabilitasnya.

118 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Pengujian Reliabilitas (Compsite Reliability)
Menurut Hair et al., (2006) reliabilitas dipahami sebagai
sekumpulan variabel laten yang konsisten dengan pengukuran.
Jika nilai composite reliability dari suatu variabel lebih besar dari
0,7 maka dapat dinyatakan 119eliable. Secara ringkas hasil uji
construct reliability, ditunjukkan pada Tabel 1 berikut:
Hasil perhitungan pada Tabel 1 menunjukkan nilai
composite reliability untuk masing-masing variabel laten yaitu
Pemberdayaan, Ambiguitas Peran, Kele-lahan Kerja dan
Kecerdasan Emosional adalah lebih besar dari 0,7 (composite
reliability > 0,7). Dari perhitungan tersebut dapat disimpulkan
bahwa seluruh alat ukur adalah 119eliable (construct reliability
alat ukur terpenuhi), dan dapat digunakan untuk analisis lebih
lanjut:

Tabel 1 Rekapitualsi Hasil Uji Reliabilitas (Compsite Reliability)


Composite
Variabel Kesimpulan
Reliability
Pemberdayaan (X1) 0.803 Reliabel
AmbPeran (Y2) 0.915 Reliabel
KonPeran (Y3) 0.846 Reliabel
Kelelahan (Y4) 0.801 Reliabel
KecEmosi (Y5) 0.898 Reliabel
Sumber : Data Primer diolah, 2009

Uji Validitas Konvergen (convergent validity)


Perhitungan validitas konvergen untuk mengetahui item
yang dapat digunakan sebagai indikator dari seluruh variabel
laten, ditunjukkan pada Tabel 2 berikut:

Kelelahan Kerja (Burnout) 119


Tabel 2 Hasil Pengujian Validitas Konvergen (Convergent
Validity)
Variabel Indikator Outer t- Kesimpulan (t-
Laten Loading statistik statistic>1,96)

Pemberdayaan X1.1 0.685 12.749 Valid


(X1) X1.2 0.849 46.508 Valid
X1.3 0.696 11.740 Valid
X1.4 0.599 7.518 Valid
Ambiguitas Peran Y2.1 0.876 45.201 Valid
(Y2) Y2.2 0.751 18.582 Valid
Y2.3 0.820 20.298 Valid
Y2.4 0.795 17.552 Valid
Y2.5 0.724 12.952 Valid
Y2.6 0.831 32.136 Valid
Konflik Peran Y3.1 0.577 9.002 Valid
(Y3) Y3.2 0.602 9.013 Valid
Y3.3 0.608 8.595 Valid
Y3.4 0.619 8.513 Valid
Y3.5 0.773 16.790 Valid
Y3.6 0.811 21.875 Valid
Y3.7 0.639 12.898 Valid
Kelelahan Y4.1 0.687 0.687 Valid
(Y4) Y4.2 0.735 0.735 Valid
Y4.3 0.843 0.843 Valid
Kecerdasan Y5.1 0.716 18.037 Valid
Emosional Y5.2 0.755 23.694 Valid
(Y5) Y5.3 0.649 12.623 Valid
Y5.4 0.730 18.389 Valid
Y5.5 0.758 22.739 Valid
Y5.6 0.809 21.300 Valid
Y5.7 0.805 20.707 Valid
Sumber : Data Primer diolah 2008

120 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Hasil pengujian pada Tabel 2 di atas menunjukkan seluruh
nilai loading indikator konstruk memiliki nilai di atas 0,5,
sehingga dapat disimpulkan bahwa pengukuran ini memenuhi
persyaratan validitas konvergen.

Hasil Pengujian Validitas Diskriminan (Discriminant Validity)


Menguji validitas diskriminan dapat diperoleh dari nilai cross
loading. Nilai korelasi indikator terhadap konstruknya harus
lebih besar disbandingkan nilai korelasi antara indikator dengan
konstruk lainnya, dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

Tabel 3 Hasil Pengujian Discriminant Validity


Variabel Akar Skor Korelasi Antar Variabel Laten
AVE X1 Y2 Y3 Y4 Y5
Pemberdayaan 0,713
(X1)
AmbPeran 0,801 0.659
(Y2)
KonPeran (Y3) 0,666 0.626 0.650
Kelelahan (Y4) 0,758 0.373 0.431 0.407
KecEmosi (Y5) 0,748 0.498 0.331 0.583 0.275
Sumber : Data Primer yang diolah, 2009

Pada Tabel 3 hasil pengujian menunjukkan akar AVE


(Average Variance Extracted) mem-perlihatkan nilai yang lebih
besar daripada korelasi antar variabel latennya, sehingga dapat
disimpulkan semua konstruk memenuhi kriteria validitas
diskriminan.

Hasil Uji Goodness of Fit Model

Kelelahan Kerja (Burnout) 121


Pengujian Goodness of Fit model struktural pada inner
model meng-gunakan nilai predictive-relevence (Q2). Nilai R2
masing-masing variabel endogen dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: 1) untuk variabel Y1 diperoleh dari R2 sebesar
0,565; 2) untuk variabel Y2 diperolah dari R2 sebesar 0,608; 3)
untuk variabel Y3 diperoleh R2 sebesar 0,782 dan untuk variabel
Y4 diperoleh debesar 0,743.

Nilai predictive-relevance diperoleh dengan rumus:


Q2 = 1 - (1 - R12) (1 – R22) … (1 – Rn2)
Q2 = 1 – (1 – 0,565) (1-0,608) (1-0,782) (1 - 0,743)
Q2 = 0,801

Hasil perhitungan memperlihatkan nilai predictive-


relevance sebesar 0,801 atau sebesar 80%, sehingga model
masih layak dikatakan memiliki prediktif yang relevan.

Hasil Pengujian Hipotesis


Pengujian model penelitian dilakukan dengan SmartPLS,
di mana pengujian dengan SmartPLS akan menghasilkan
(menampilkan) nilai standar-dized regression weight untuk
masing-masing paramater yang ada pada model penelitian.

Tabel 4 Koefisien Jalur (Inner Weights)


Koefisen
Jalur
Variabel t-statistic Kesimpulan
(inner
weights)
Pemberdayaan (X1) -> 0.659 14.403 Signifikan
AmbPeran (Y2)

122 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Koefisen
Jalur
Variabel t-statistic Kesimpulan
(inner
weights)
Pemberdayaan (X1) -> 0.626 13.356 Signifikan
KonPeran (Y3)
AmbPeran (Y2) -> 0.248 2.263 Signifikan
Kelelahan (Y4)
KonPeran (Y3) -> 0.189 2.060 Signifikan
Kelelahan (Y4)
Kelelahan (Y4) -> 0.104 1.698 Non Signifikan
KecEmosi (Y5)
Pemberdayaan (X1) -> 0.090 0.970 Non Signifikan
Kelelahan (Y4)
Pemberdayaan (X1) -> 0.459 6.675 Signifikan
KecEmosi (Y5)
Sumber : Data Primer diolah, 2008

Pengujian hipotesis dilakukan dengan mem-bandingkan


nilai t-statistic masing-masing variabel laten dengan t-tabel
(1,96), yaitu dikatakan signifikan jika t-statistic variabel laten
lebih besar dari 1,96. Hasil pengujian pengaruh antar variabel
laten ditujukkan seperti pada Tabel 4.

Pembahasan
Pengaruh Pemberdayaan terhadap Ambiguitas Peran
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberdaya-an
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ambiguitas
peran. Hasil ini dibuktikan dengan adanya t. hitung (critical ratio)
sebesar 14.403 yang lebih besar dari t. tabel (1.96). Pengaruh
antara variabel pemberdayaan dengan variabel ambiguitas
peran menunjukkan adanya pengaruh positif yang ditandai
dengan koefisien jalur positif dengan inner weight sebesar

Kelelahan Kerja (Burnout) 123


0.659. Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat
pemberdayaan maka semakin tinggi ambiguitas peran perawat
dan bidan pada rumah sakit.
Temuan dalam penelitian ini tidak umum terjadi, bahwa
semakin terberdayakan makin mendorong peningkatan
ambiguitas peran. Sesuai persepsi responden bahwa
kompetansi adalah indikator paling dominan membentuk
pemberdaya-an. Dalam hal ini ketika perawat dan bidan
mempunyai kompetensi yang tinggi maka ada kencendrungan
diberikan tanggung jawab yang lebih besar pula, misalnya
diberikan tugas lebih banyak, bekerja sampingan sebagai
pembantu dokter dan ada yang membuka praktek di luar jam
kerja rumah sakit, dan mengunjungi dan merawat pasien di
rumah, terutama perawat dan bidan yang bertugas didaerah.
Ketika banyak harapan-harapan yang dibebankan, maka
perawat dan bidan dapat mengalami kebingungan dan
mengalami ambiguitas karena ada keinginan untuk memenuhi
harapan tersebut, sesuai pendapat Rizzo et al. (1970). Hartline
dan Ferrel 2006 mendukung penelitian ini bahwa walaupun
pegawai teberdayakan mereka tetap merasakan ambiguitas
dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan peran yang
disebabkan keterbatasan organisasi, misalnya kekurangan
sumber daya manusia, keterbatasan tekonologi dan
kompetensi.

Pengaruh Pemberdayaan terhadap Konflik Peran


Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberdaya-an
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap konflik peran.
Hasil ini dibuktikan dengan adanya t. hitung (critical ratio)
sebesar 13.356 yang lebih besar dari t. tabel (1.96). Pengaruh
antara variabel pemberdayaan dengan variabel ambiguitas
peran menunjukkan adanya pengaruh positif yang ditandai

124 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


dengan koefisien jalur positif dengan inner weight sebesar
0.626. Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat
pember-dayaan maka semakin tinggi ambiguitas peran perawat
dan bidan pada rumah sakit.
Sama dengan pengaruh pemberda-yaan terhadap
ambiguitas peran, demikian pula dengan pengaruh
pemberdayaan terhadap konflik peran, terjadi temuan yang
tidak umum, bahwa walaupun perawat dan bidan merasa
terberdayakan namum masih terjadi konflik peran. Sesuai
persepsi responden bahwa kompetansi adalah indikator paling
dominan mem-bentuk pemberdayaan. Dalam hal ini ketika
perawat dan bidan mempunyai kompetensi yang tinggi maka
ada kencen-drungan diberikan tanggung jawab yang lebih besar
pula, seperti diberikan tugas lebih banyak, jabatan rangkap
misalnya sebagai kepala ruangan, juga mengoperasikan
computer dan kegiatan administrasi lainnya serta melaku-kan
pelayanan dan perawatan pasien, sehingga perawat dan bidan
harus menjalankan tugas rangkap dalam waktu yang
bersamaan. Temuan ini juga didukung oleh penelitian empris
dari Hartline dan Ferrel (1996), dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan peran yang disebabkan keterbatasan organisasi,
misal-nya kekurangan sumber daya manusia, keterbatasan
tekonologi.

Pengaruh Ambiguitas Peran terhadap kelelahan kerja (Burn


Out)
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa ambi-guitas
peran mempunyai pengaruh signifikan terhadap kelelahan
kerja. Hal ini dibuktikan dengan adanya t. hitung (critical ratio)
2.263 yang lebih besar dari t. tabel (1,96). Hubungan antara
variabel ambiguitas peran dengan variabel kelelahan kerja
menunjukkan adanya pengaruh positif yang ditandai dengan

Kelelahan Kerja (Burnout) 125


jalur positif dengan inner weight sebesar 0.248. Hal ini dapat
diartikan bahwa semakin tinggi ambiguitas peran maka semakin
tinggi kelelahan kerja perawat dan bidan pada rumah sakit di
Sulawesi Selatan. Sesuai outer loding bahwa indikator
wewenang merupakan yang paling dominan membentuk
variabel ambiguitas peran, artinya ketika harapan-harapan
terlalu banyak dibebankan maka dapat menyebabkan kelelahan
kerja pada perawat dan bidan.
Outer loading (Tabel 2) bahwa dimensi wewenang yang
paling kuat membentuk variabel ambiguitas peran. Hal ini
disebabkan karena wewenang yang diberikan terlalu besar,
perawat dan bidan merasa kelelahan karena kekurangan jumlah
sumber daya, sistem informasi yang masih perlu ditingkatkan
dan deskripsi tugas kurang jelas.
Penelitian empirik yang dilakukan Low et al. (2000), juga
mendukung penelitian ini bahwa ambiguitas peran berpengaruh
signifikan dan positif ter-hadap kelelahan kerja. Hsieh et al.
(2003) dan Perrewe et al. (2000) juga mendukung penelitian ini
bahwa ambi-guitas peran perpengaruh positif terhadap
kelelahan kerja. Variabel yang berperan paling penting adalah
karakteristik peran. Karak-teristik peran ini terdiri dari
kelebihan beban peran (role overload), ambiguitas peran (role
ambiguity) dan konflik peran (role conflict). Semua variabel ini
telah terbukti memiliki hubungan dengan kelelahan dengan
tingkat kekuatan yang berbeda-beda Cordes dan Dougherty
(1993); Maslach et al. (2001).

Pengaruh Konflik Peran terhadap Kelelahan Kerja (Burn Out)


Berdasarkan Tabel 4 bahwa konflik peran mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kelelahan kerja. Hal ini
dibuktikan dengan adanya t. hitung (critical ratio) sebesar 2,060

126 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


yang lebih besar dari t. tabel (1,96). Hubungan antara variabel
konflik peran dengan variabel kelelahan kerja menunjukkan ada
pengaruh positif yang ditandai dengan jalur positif dengan inner
weight sebesar 0,189. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin
tinggi konflik peran maka semakin tinggi kelelahan kerja
perawat dan bidan pada rumah sakit rujukan berbasis regional
di Sulawesi Selatan. Wewenang dan tanggung jawab yang
diberikan besar, sehingga terjadi konflik peran karena harus
melakukan beberapa tugas dalam waktu yang bersamaan, dan
merasa tidak mampu memenuhi harapan pimpinan dan pasien
dan keluarganya, serta melakukan tugas administrasi dan
pelayanan pasien dalam waktu bersamaan.
Outer loading (Tabel 2) menunjukkan bahwa yang paling
kuat berpengaruh pada variabel konflik peran adalah dimensi
arahan. Perawat dan bidan menyatakan menerima arahan yang
kurang jelas, semenatara dokter atau atasan umumnya
mengatakan perawat tidak paham arahan yang diberikan. Hal ini
menyebabkan perawat menjadi ke-kelahan baik secara
psikologis maupun secara fisik.
Penelitian empirik yang dilakukan Low et al. (2000); Hsieh
et al. (2003) dan Perrewe et al. (2000) juga mendukung
penelitian ini bahwa konflik peran berpengaruh signifikan dan
postif terhadap kelelahan kerja. Sedangkan menurut Zagladi
(2004) menunjuk-kan bahwa konflik peran berpengaruh
terhadap kelelahan emosional.
Beberapa faktor yang menyebabkan stress dan kelelahan
dalam profesi perawat adalah: kelebihan beban kerja yang
tinggi (yang terutama disebabkan karena kesulitan di dalam
merekrut); masalah dalam menyeimbangkan antara tuntutan
keluarga dengan tuntutan pekerjaan; konflik peran yang terjadi
karena perawat menjalankan tugas ganda dalam mengelola
administrasi dan dalam merawat pasien; sumber daya yang

Kelelahan Kerja (Burnout) 127


tidak memadai, dan persepsi bahwa perawat memiliki status
sebagai warga kelas dua setelah dokter (kelompok yang
dianggap tidak penting/ terpinggirkan) dalam organisasi
layanan kesehatan Santamaria (2000).

Pengaruh Kelelahan terhadap Kecerdasan Emosional


Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan kelelahan kerja
mempunyai pengaruh yang negatif tetapi tidak signifikan
terhadap kecerdasan emosional. Hal ini dibuktikan dengan
adanya t. hitung (critical ratio) sebesar 0,348 yang lebih kecil
dari t. tabel (1,96). Hubungan antara variabel kelelahan kerja
dengan variabel kecerdasan emosional menunjukkan ada
pengaruh negatif namun rendah yang ditandai dengan inner
weight sebesar -0,030. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin
tinggi kelelahan semakin menurun kecerdasan emosional,
tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional
perawat dan bidan pada rumah sakit di Sulawesi Selatan.
Artinya ketika perawat dan bidan merasa lelah dalam bekerja
tidak mendorong peningkatan indikator-indikator dalam
kecerdasan emosional.
Kelelahan kerja dalam penelitian ini umumnya terjadi
pada perawat dan bidan yang sudah mendekati pensiun yang
bekerja ganda, yaitu bekerja melayani pasien juga melakukan
kegiatan administrasi, sedangkan pada usia muda dengan
tingkat pendidikan relatif rendah cendrung kelelahan secara
emosional, hal ini disebabkan adanya keterbatasan dalam
memahami arahan baik pimpinan maupun dokter. Faktor lain
yang di perkirakan menyebabkan kelelahan kerja perawat dan
bidan adalah bekerja di luar jam kantor misalnya menjadi
asisten dokter, atau melakukan peraktek dengan menerima
pasien di luar kantor atau berkunjung kerumah pasien yang

128 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


tidak bisa ke rumah sakit atau kepuskesmas. Hal ini dapat
menurunkan kinerja dan mutu pelayanan di rumah sakit.

Pengaruh Pemberdadayaan terhadap Kelelahan


Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberdayaan
mempunyai pengaruh yang positif tetapi tidak signifikan
terhadap kelelahan kerja. Hal ini di buktikan dengan adanya t.
hitung (critical ratio) sebesar 1,545 yang lebih kecil dari t. tabel
(1,96). Hubungan antara variabel pemberdayaan dengan
variabel kelelahan kerja menunjukkan adanya pengaruh positif
namun rendah yang ditandai dengan adanya inner weight
sebesar 0,188. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi
pemberdayaan tidak berpengaruh nyata terhadap kelelahan
kerja perawat dan bidan di rumah sakit. Artinya walaupun
perawat dan bidan merasa terberdayakan, namun tidak
meningkatkan kelelahan kerja secara langsung dan tidak
mengurangi kelelahan kerja.
Berkaitan dengan pemberdayaan, didapati hubungan
antara ke empat kognisi dari pemberdayaan dengan kelelahan
kerja adalah hubungan yang bersifat kompleks. Pemberdayaan
terhadap para perawat dan bidan ditemukakan memiliki
hubungan tidak signifikan dengan kelelahan kerja secara
langsung. tetapi pemberdayaan berpengaruh positif jika melalui
ambiguitas peran.

Pengaruh Pemberdayaan terhadap Kecerdasan Emosional


Proposisi pengaruh pemberdayaan terhadap kecerdasan
emosional ditunjukkan Tabel 4 bahwa pemberdayaan
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap
kecerdasan emosional. Hal ini dibuktikan dengan adanya t.
hitung (critical ratio) sebesar 8,663 yang lebih besar dari t. tabel

Kelelahan Kerja (Burnout) 129


(1,96). Hubungan antara variabel pemberdayaan dengan
variabel kecerdasan emosional menunjukkan adanya pengaruh
positif yang ditandai dengan adanya jalur positif pada inner
weight sebesar 0,617. Ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi
pemberdayaan maka semakin tinggi kecerdasan emosional
perawat dan bidan. Artinya semakin tinggi pemahaman
terhadap kognisi pemberdayaan khususnya kompetensi akan
semakin mendorong peningkatan indikator-indikator dalam
kecerdasan emosional, khususnya kesadaran diri. Semakin
tinggi kompetensi perawat dan bidan semakin tinggi kesadaran
akan pentingnya tugas yang di emban dan ketangguhan
emosional, sehingga walaupun profesi keperawatan dengan
rutinitas yang tinggi cendrung menjadi jenuh, akan tetapi tetap
sabar menjalankan tugas mereka.

Simpulan Dan Saran


Simpulan
Dalam penelitian ini bahwa perawat dan bidan walaupun
terberdayakan tetap mengalami ambiguitas peran dan konflik
peran, hal ini disebabkan ketika perawat dan bidan mempunyai
kompetensi yang tinggi maka ada kencendrungan diberikan
wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar pula, misalnya
diberikan tugas lebih banyak, bekerja sampingan sebagai
asisten dokter dan ada yang membuka praktek di luar jam kerja
rumah sakit, dan meng-unjungi dan merawat pasien dirumah,
terutama perawat yang bertugas didaerah. Begitu banyak
harapan-harapan yang dibebankan, maka perawat dan bidan
dapat mengalami kebingungan/ambiguitas karena ada
keinginan untuk memenuhi harapan tersebut.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ambiguitas peran
dan konflik peran mendorong peningkatan kelelahan kerja
(kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan prestasi

130 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


personal). Tanggung jawab yang besar dan banyaknya harapan
yang dibebankan pada mereka menyebabkan ambiguitas peran
selanjutnya meningkatkan kelelahan kerja.
Dalam penelitian menunjukkan bahwa kelelah-an kerja
tidak meningkatkan kecerdasan emosional yang meliputi
kesadaran diri, ketangguhan emosio-nal, motivasi, kepekaan
inter personal, pengaruh, intuisi dan kehati-hatian.
Penelitian ini menunjukkan pemberdayaan tidak
meningkatkan kelelahan kerja perawat dan bidan pada rumah
sakit. Hal ini menunjukkan makin tinggi pemberdayaan tidak
mendorong meningkat-nya kelelahan kerja perawat dan bidan.
faktor yang dapat menimbulkan ambiguitas peran dan konflik
peran.
Dari proposisi yang diajukan, menunjukkan
pemberdayaan dapat mendorong peningkatan kecerdasan
emosional perawat dan bidan. Artinya makin tinggi pemahaman
terhadap indikator-indikator pemberdayaan dan aplikasi
pemberdayaan akan mendorong peningkatan kecerdasan
emosional yang meliputi kesadaran diri, ketangguhan
emosional, motivasi, kepekaan inter personal, pengaruh, intuisi
dan kehati-hatian.

Saran
Perlu pengaturan tugas dan tanggung jawab yang sesuai
dan seimbang yang dibebankan pada perawat dan bidan
misalnya memberikan deskripsi tugas yang jelas, mengurangi
kerja rangkap, melakukan pelatihan untuk meningkatkan kete-
rampilan, sehingga dapat mengurangi ambiguitas dan konflik
peran.
Penerapan praktek-praktek manajemen melalui
pemberdayaan dapat mengurangi ambiguitas peran dan konflik
peran, dimana manajer rumah sakit dapat mensiasati tanggung

Kelelahan Kerja (Burnout) 131


jawab berlebihan yang di bebankan pada perawat dan bidan,
mensiasati peran ganda, sehingga dapat mengurangi kelelahan
kerja akibat ambiguitas peran dan konflik peran.
Dalam penelitian ini pihak manajemen rumah sakit perlu
mempertimbangkan meningkatkan pember-dayaan untuk
meningkatkan kecerdasan emosional, misalnya mendorong
perawat dan bidan meningkatkan keterampilan agar
kompetensi mereka lebih meningkat, serta mengikutkan
pelatihan peningkatan kecerdasan emosional seperti mening-
katkan kedasaran diri dan empaty terhadap klien.

Implikasi
Perlu peningkatan kemandirian perawat dan bidan,
memberikan otonomi, beban tugas sesuai deskripsi tugas yang
jelas, sehingga bisa mereduksi ambiguitas peran dan konflik
peran. Selanjutnya, beberapa ukuran seharusnya digunakan
untuk mereduksi konflik peran dan ambiguitas peran. Ukuran-
ukuran tersebut mencakup aplikasi keempat kognisi
pemberdayaan, membuka akses informasi, perbaikan
komunikasi pada atasan dan bawahan dan penggunaan training
formal pada pengetahuan dan skill terkait tugas.
Pimpinan dapat mereduksi kelelahan kerja dengan
mengimplementasikan beberapa kebijakan guna mereduksi
konflik peran, ambiguitas peran, dan meningkatkan kecerdasan
emosional melalui praktek peningkatan kesejahteraan,
memotivasi untuk meningkatkan pendidikan baik dengan biaya
rumah sakit maupun biaya sendiri, mengikutsertakan pelatihan,
seminar, studi banding.
Tugas dengan rutinitas tinggi bisa menurunkan semangat
kerja dan menim-bulkan rasa bosan. Ini selanjutnya bisa
menimbulkan kelelahan emosional, menurunkan prestasi
personal, dan meningkatkan depersonalisasi. Oleh karena itu,

132 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pimpinan perlu membuat praktek-praktek manajemen standar
dan para pegawai perlu mematuhi aturan dan prosedur yang
telah dibuat oleh rumah sakit di dalam menjalankan pekerjaan
mereka. Karenanya, para pegawai tidak hanya bisa mengurangi
stres dengan mematuhi prosedur-prosedur standar itu tapi juga
bisa secara tidak langsung mengurangi kelelahan kerja.

Keterbatasan
Keterbatasan penelitian yang berhubungan dengan
kelelahan perawat dan bidan, dalam proses pengolahan data
peneliti tidak dapat memilah faktor-faktor yang dapat
mendorong kelelahan kerja di rumah sakit, dan faktor lain yang
dapat mendorong kelelahan kerja secara akumulatif di luar
rumah sakit seperti faktor lingkungan keluarga, dan bekerja di
luar waktu dinas di rumah sakit dan tidak dapat memilah antara
perawat dan bidan manajer dengan perawat dan bidan
pelaksana.
Demikian pula hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir
terhadap semua jenis penelitian dan pada kondisi yang berbeda.

8.2. Penelitian : Therese A. Joiner dan Timothy Bartram

Dampak Dari Pemberdayaan Dan Dukungan Sosial Terhadap


Stressor Kerja Yang Dialami Perawat Di Australia
ABSTRAK
Kami melakukan survey terhadap 175 perawat di sebuah rumah
sakit swasta di Melbourne untuk meneliti peranan dari
dukungan sosial dan pemberdayaan di dalam mengurangi
stress kerja di kalangan perawat Australia. Temuan yang kami
dapatkan menunjukkan bahwa dukungan sosial, yang diberikan
oleh supervisor atau rekan kerja, memiliki hubungan negatif

Kelelahan Kerja (Burnout) 133


dengan stressor-stressor kerja utama, seperti konflik peran,
ambiguitas peran, kelebihan beban kerja dan ketidakcukupan
sumber daya. Pemberdayaan juga didapati memiliki hubungan
negatif dengan stressor-stressor kerja utama, dengan efek yang
terpisah dari efek yang ditimbulkan oleh kelebihan beban kerja.
Kami memaparkan tentang kontribusi yang diberikan oleh
penelitian kami ini dan bagaimana implikasinya bagi penelitian
dan praktek di dalam manajemen sektor kesehatan.
Apa yang diketahui tentang topik ini? Profesi perawat
adalah profesi yang menimbulkan stress sebagai akibat dari
kelebihan beban kerja (yang terutama disebabkan oleh
kesulitan di dalam merekrut dan mempertahankan perawat),
dan stress juga timbul karena masalah pembagian jam kerja
menjadi beberapa shift dan masalah penyeimbangan antara
tuntutan keluarga dengan tuntutan pekerjaan, karena konflik
peran yang disebabkan karena tanggung jawab ganda antara
administrasi dengan memberikan perawatan bagi pasien,
sumber daya yang tidak memadai dan persepsi bahwa perawat
adalah warga kelas dua dalam organisasi kesehatan.
Apa kontribusi dari makalah ini? Survey yang dilakukan
terhadap para perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit
swasta di Melbourne mendapati bahwa kehadiran dari jaringan
dukungan sosial memiliki hubungan dengan persepsi yang lebih
rendah terhadap semua stressor di tempat kerja yang sudah
disebutkan tadi dan bahwa pemberdayaan terhadap para
perawat memiliki hubungan dengan persepsi yang lebih rendah
terhadap stressor berupa kurangnya kendali, memiliki
hubungan dengan penurunan konflik peran dan ambiguitas
peran serta dapat mengurangi stress akibatnya sumber daya
yang tidak memadai.
Apa implikasi dari temuan penelitian ini bagi para
praktisi? Para manager layanan kesehatan dapat mengurangi

134 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


stress kerja bagi para perawat dengan cara memfasilitasi
terbentuknya jaringan dukungan sosial yang kuat di antara
supervisor perawat dengan perawat dan antara perawat dengan
rekan-rekan kerjanya dan manager layanan kesehatan perlu
memastikan bahwa praktek organisasional sudah benar-benar
konsisten dengan peningkatan pada pemberdayaan para
perawat.

Konteks Dari Penelitian


Penelitian-penelitian sebelumnya telah meng-identifikasi
bahwa profesi perawat adalah profesi yang dapat menimbulkan
stress (Schroeder dan Worall-Carter 2002; Stordeur, D'hoore
dan Vandenberghe 2001; Healy dan McKay 1999). Beberapa
faktor yang menyebabkan stress dalam profesi perawat adalah:
kelebihan beban kerja yang tinggi (yang terutama disebabkan
karena kesulitan di dalam merekrut dan mempertahankan
perawat); stress yang disebabkan oleh pembagian jam kerja
dalam beberapa shift; masalah dalam menyeimbang-kan antara
tuntutan keluarga dengan tuntutan pekerjaan; konflik peran
yang terjadi karena perawat menjalankan tugas ganda dalam
mengelola adminis-trasi dan dalam merawat pasien; sumber
daya yang tidak memadai; dan persepsi bahwa perawat
memiliki status sebagai warga kelas dua kelompok yang
dianggap tidak penting/terpinggirkan, mungkin maksudnya
dianggap kalah penting daripada dokter dalam organisasi-
organisasi layanan kesehatan (Fitzgerald 2002; Stordeur,
D'hoore dan Vandenber-ghe 2001; Santamaria 2000;
Patrickson dan Maddern 1996). Laporan The Nurse Recruitment
and Retention Committee Report (Victorian Govern-ment
Department of Human Services 2001) menyimpulkan bahwa
profesi perawat makin lama menjadi sebuah profesi yang makin
berat secara fisik dan mental dan para perawat tidak lagi

Kelelahan Kerja (Burnout) 135


mampu untuk bekerja dalam kondisi stress yang berat itu.
Bahkan rendahnya semangat kerja (morale) dan stress adalah
tema yang terus bermunculan di dalam laporan itu.
Stress kerja (work stress) dapat didefinisikan sebagai
respon adaptif terhadap situasi kerja yang memberikan
tuntutan fisik dan/atau psikologis khusus pada seorang pekerja
(Matteson dan Ivancevich 1987). Tuntutan fisik atau psikologis
dari lingkungan terhadap pekerja yang menimbulkan stress ini
diistilahkan sebagai stressor. Stressor-stressor umum/generik
utama yang telah berhasil diidentifikasi di dalam literatur
manajemen adalah konflik peran (role conflict), ambiguitas
peran (role ambiguity), kelebihan beban kerja (work overload),
kendali terhadap tugas (task control) atau otonomi (autonomy),
keamanan karir (career security) dan hubungan interpersonal
(interpersonal relation) (Kahn dkk. 1964; Kahn dan Byosiere
1992; Jex 1998). Manajemen stress di dalam organisasi adalah
sangat penting karena stress kerja telah didapati memiliki
hubungan dengan kesejahteraan fisik dan mental dari para
pegawai dan juga memiliki hubungan dengan masalah-masalah
yang dihadapi organisasi, seperti misalnya penurunan kinerja
(yaitu dalam hal ini kualitas dari layanan yang diberikan kepada
pasien), peningkatan pada jumlah kecelaka-an, tingkat
pembolosan (absenteeism) dan perganti-an pegawai (turnover)
(Cropanzano, Rupp dan Byrne 2003; Sordeur, D'hoore dan
Vendenberghe 2001; Hackett dan Bycio 1996; Manning,
Jackson dan Fusilier 1996; Ganster, Fusilier dan Mayes 1986).
Dalam profesi keperawatan, pemahaman yang lebih baik
terhadap stress dan metode untuk mengatasi stress di kalangan
perawat dapat menjadi sarana yang penting bagi peningkatan
kualitas dari layanan yang diberikan terhadap pasien dan juga
berperan penting untuk meningkatkan dan memper-tahankan
retain, retention, mempertahankan agar pegawai tidak keluar

136 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


dari pekerjaannya para perawat di dalam kondisi dewasa ini
yang makin meng-khawatirkan karena ketersediaan tenaga
perawat makin berkurang (Creegan, Duffield dan Forrester
2003; Fitzgerald 2002; Victorian Government Department of
Human Services 2001; Healy dan McKay 1999).
Mengingat tingginya angka stress kerja di kalangan profesi
perawat yang berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif
yang signifikan dalam bentuk pembolosan, pergantian pegawai
dan penurunan dari layanan yang diberikan pada pasien, maka
sudah dilakukan beberapa penelitian terhadap metode yang
digunakan oleh individu dan oleh organisasi untuk mengatasi
stress (Schroeder dan Worrall-Cater 2002; Santamaria 2000;
Victorian Government Department of Human Services 2001).
Metode yang digunakan individu untuk mengatasi stress antara
lain adalah strategi sosial atau strategi personal seperti
olahraga, meditasi, konseling atau pelatihan ketrampilan
keperawatan lewat kuliah, seminar atau lokakarya. Dukungan
sosial dipahami sebagai transaksi interpersonal yang dilakukan
individu yang satu dengan individu yang lain (misalnya
supervisor atau rekan kerja) untuk mendapatkan dukungan
secara emosional maupun dukungan dalam bentuk penyediaan
informasi. Dukungan sosial ini telah terbukti sebagai metode
yang efektif bagi individu di dalam mengurangi stress kerja
(House 1981). Sekalipun dukungan sosial dan stress kerja telah
sering diteliti di dalam literatur manajemen, namun masih
sedikit sekali penelitian yang dilakukan terhadap dampak dari
dukungan sosial terhadap stressor-stressor tertentu di dalam
konteks keperawatan Australia. Ini adalah kondisi yang
mengherankan karena laporan Nurse Recruitment and
Retention Committee Report menyimpulkan berdasarkan bukti-
bukti yang ada bahwa dukungan yang diberikan kepada
beberapa perawat tertentu masih sangat rendah, baik itu

Kelelahan Kerja (Burnout) 137


dukungan dari manajemen yang berbentuk kepe-mimpinan dan
pelatihan, maupun dukungan dari rekan kerja dalam bentuk
layanan sosial dan dukungan antar teman (camaraderie).
Karenanya kami mengajukan pertanyaan: apakah dukungan
sosial dapat mengurangi stressor yang dialami perawat? Atau
secara lebih terinci: apakah ada salah satu bentuk dari
dukungan sosial tertentu yang lebih efektif untuk mengurangi
stressor jenis tertentu bagi para perawat?
Selain dari metode individu yang digunakan untuk
mengurangi stress, juga ada metode organi-sasional yang
ditargetkan pada stressor-stressor tertentu di dalam lingkungan
organisasi. Beberapa contoh dari metode organisasional yang
digunakan untuk mengatasi stress adalah disain ulang
pekerjaan (job redesign), perubahan pada jadwal kerja dan
lokakarya untuk menganalisa peran (role analysis workshop)
(Santamaria 2000; Victorian Government Department of Human
Services 2001). Sekalipun beberapa penelitian tentang stress
telah dilakukan untuk menyelidiki peranan dari program-
program organisasional yang diarahkan untuk meningkatkan
otonomi pekerja (seperti pengayaan kerja, pembentukan
kelompok-kelompok kerja otonom) namun masih sedikit sekali
penelitian yang telah dilakukan untuk menyelidiki peran dari
pemberdaya-an di dalam mengurangi stress kerja, dimana
dalam konteks keperawatan di Australia. Literatur kepera-
watan di Amerika Serikat telah membuktikan bahwa ada
sekelompok rumah sakit, yang dijuluki “rumah sakit magnet”
(magnet hospital, yang disebut demi-kian karena mampu
menarik banyak konsumen), dimana rumah-rumah sakit
semacam ini mampu menarik dan mempertahankan para
perawatnya lewat praktek-praktek pemberdayaan (misalnya
memperluas tanggung jawab perawat, menciptakan peluang-
peluang pendidikan baru dan meningkatkan harga diri (self

138 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


esteem) dari para perawat) (Aiken, Smith dan Lake 1994;
Ramano 2002). Pemberda-yaan dipahami sebagai tindakan
memberikan kewenangan, ketrampilan dan kebebasan kepada
pegawai di dalam melakukan tugas mereka (Spreitzer 1995).
Spreitzer (1995) telah mendeskrip-sikan pemberdayaan
sebagai cara orang memandang diri mereka sendiri di dalam
lingkungan kerja dan tingkat sejauh mana orang merasa mampu
membentuk peran kerja kereja. Pemberdayaan dapat
memungkinkan para perawat untuk menumbuhkan perasaan
bahwa dirinya mampu mengatasi masalah, baik masalah dalam
kaitannya dengan pasien maupun masalah dalam kaitannya
dengan organisasi dan masyarakat sekitar. Kami mengajukan
pendapat bahwa peningkatan pada pemberdayaan perawat
dapat mengurangi stress yang dialami di tempat kerja karena
pemberdayaan memungkinkan perawat untuk memanfaatkan
ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan mereka secara aktif
dan untuk berpar-isipasi sehingga perawat dapat menjadi
bagian yang berarti penting di dalam penyediaan layanan
kesehatan (Brancato 2003).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti peran dari
dukungan sosial dan pemberdayaan di dalam mengurangi
stress kerja di kalangan perawat Australia. Bagian berikutnya
akan memaparkan tentang teori yang menghubungkan variabel-
variabel ini.

Pengembangan Teori Dan Hipotesa


Dukungan Sosial dan Stressor Kerja
Dukungan sosial didefinisikan sebagai aliran komunikasi
antar beberapa orang untuk memberikan dukungan emosional,
menunjukkan keperdulian (caring), memberikan informasi atau
memberikan bantuan instrumental (instrumental support,

Kelelahan Kerja (Burnout) 139


bantuan dalam melakukan kegiatan tertentu -pent) (House
1981). Dukungan sosial bisa didapatkan secara informal,
misalnya dari kerabat, dari teman atau dari rekan kerja dan juga
bisa didapatkan secara formal, misalnya dari supervisor atau
dari guru/dosen (House 1981). Penelitian yang menjadi pelopor
dalam bidang ini dari House (1981) telah seringkali dikutip
sebagai bukti untuk mendukung pendapat bahwa dukungan
sosial membawa dampak positif terhadap stress kerja. Ada
banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa ada
hubungan antara dukungan sosial dengan berbagai aspek
kesehatan dan penyakit, termasuk di antaranya stress kerja
(misalnya Ganster dkk., 1986; Anderson 1991; Daniels dan
Guppy 1994).
Penelitian-penelitian terbaru dalam konteks keperawatan
telah membuktikan pentingnya peranan dari dukungan sosial di
dalam mengurangi stress kerja. Sebagai contoh, Schroeder dan
Worrall-Carter (2002) dalam penelitian kualitatif yang mereka
lakukan terhadap manager dari para perawat perioperatif
(perawat yang terlibat dalam proses sebelum dan setelah
operasi) mendapatkan kesim-pulan bahwa dukungan dari
supervisor dan dari rekan kerja adalah unsur yang penting di
dalam mengurangi stress dan menjaga standar dari praktek dan
keselamatan dari penyediaan layanan bagi pasien. Demikian
juga, Healy dan McKay (1999), dalam penelitian mereka
terhadap stress kerja pada 129 perawat di Victoria (salah satu
negara bagian di Australia -pent) mendapati bahwa ketika
perawat tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai
dari supervisor, mereka akan mengalami stress.
Penelitian kami ini difokuskan hanya dukungan sosial
yang diberikan oleh supervisor dan rekan kerja dari para
perawat karena dua jenis dukungan ini tampaknya adalah yang
paling relevan dengan kondisi kerja dari para perawat.

140 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Supervisor dan rekan kerja akan lebih besar kemungkinannya
untuk bisa memberikan informasi dan masukan yang berharga
bagi para perawat dan juga memberikan dukungan emosional
ketika menghadapi kondisi kerja yang sulit seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Penelitian kami ini juga menyelidiki dampak
dari dukungan sosial terhadap berbagai jenis stressor. Bisa jadi
bahwa jenis dukungan sosial tertentu akan lebih efektif untuk
mengurangi stressor dari jenis tertentu pula. Sebagai contoh,
dukungan dari rekan kerja perawat akan lebih efektif di dalam
mengurangi ambiguitas peran sementara dukungan dari
supervisor akan lebih efektif untuk mengurangi stress akibat
beban kerja yang terlalu berat. Karena penelitian ini masih
bersifat eksplorasi, maka kami mengajukan hipotesa-hipotesa
umum mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan
stressor kerja perawat dalam bentuk hipotesa nul.
H1 : Dukungan sosial tidak memiliki hubungan dengan stressor
kerja dari para perawat.

Pemberdayaan dan Dukungan Sosial


Pemberdayaan dipahami sebagai sebuah konstruk
multidimensional yang terdiri dari empat kognisi dimana
kognisi-kognisi ini mencerminkan bagaimana orientasi seorang
individu terhadap pekerjaannya. Ke empat kognisi itu adalah
makna (nilai dari sebuah tujuan kerja bagi individu), kompetensi
(keyakinan seorang individu tentang kemampuan untuk
memenuhi tuntutan kerja), menentukan nasib sendiri (otonomi
atau kendali terhadap proses-proses perilaku dalam bekerja)
dan dampak (tingkat sejauh mana seorang individu dapat
mempengaruhi hasil yang terbentuk dari pekerjaan-nya)
(Spreitzer 1995). Secara ringkasnya, pember-dayaan adalah
tingkat sejauh mana seorang individu dapat mempengaruhi

Kelelahan Kerja (Burnout) 141


secara aktif peran kerja dan konteks kerjanya (Daniels dan
Guppy 1994).
Pemahaman terhadap pemberdayaan seperti di atas
memiliki relevansi dengan stress kerja, karena beberapa
peneliti memandang bahwa pemberdayaan merupakan
kegiatan dan praktek kerja yang memberikan kekuasaan,
kendali dan kewenangan kepada para bawahan (Conger dan
Kanungo 1988). Penelitian-penelitian sebelumnya telah secara
konsisten mendapati bahwa otonomi kerja dan partisipasi
dalam pengambilan keputusan (atau pemberian kendali kepada
pegawai) memiliki hubungan positif dengan kesehatan dan
kesejah-teraan dari pegawai (Savery dan Luks 2001).
Selanjutnya, di dalam literatur manajemen juga telah dibahas
tentang hubungan antara pemberdayaan dengan stressor.
Dalam model untuk hubungan antara tuntutan kerja, kendali
dan stress yang diajukan Karasek (1979), misalnya, telah
diajukan pendapat bahwa pemberian kendali kepada pegawai di
dalam bekerja dapat mengurangi dampak dari stressor
terhadap kesejahteraan pegawai. Selain itu, Spector et al.
(2002:462) melaporkan bahwa “popularitas dari pendekatan
manajemen yang menekankan pada pemberian otonomi dan
pember-dayaan serta kendali kepada pegawai sekarang telah
menjadi bagian penting di dalam pengelolaan dari banyak
organisasi Pendekatan-pendekatan manaje-men yang
meningkatkan otonomi dan pemberdayaan bagi pegawai akan
meningkatkan kesejahteraan pegawai pada umumnya.”
Penelitian-penelitian baru yang meneliti dampak dari
pemberdayaan terhadap kesehatan mental dan ketegangan
kerja (job strain) dari para perawat mulai banyak dimuat dalam
jurnal-jurnal keperawatan.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan Laschinger dan
Havens (1997) terhadap 62 staf perawat di Amerika Serikat

142 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


menunjukkan bahwa struktur pemberdayaan di dalam
lingkungan kerja perawat, seperti hubungan yang memberikan
dukungan (supportive relationship), pemberian kebebasan
dalam mengambil keputusan, dan pemberian akses untuk
mendapatkan informasi dan sumber daya yang vital (yang
disebut sebagai pemberdayaan struktural) didapati memiliki
hubung-an dengan penurunan pada ketegangan kerja (job
tension). Laschinger, Finegan dan Shamian (2001) dalam
penelitian yang berskala lebih besar terhadap 400 perawat di
Kanada telah mengembangkan sebuah model untuk
menunjukkan bahwa pemberda-yaan struktural memiliki
dampak positif terhadap pemberdayaan psikologis (dimana
pemberdayaan psikologis ini adalah konsep pemberdayaan
yang diajukan Spreitzer (1995) dan selanjutnya pember-dayaan
struktural didapati memiliki hubungan negatif dengan
ketegangan kerja (job strain) dari para perawat.
Temuan-temuan dari penelitian ini menunjuk-kan bahwa
struktur yang memberdayakan (seperti struktur organisasi yang
memberikan akses pada informasi, akses pada sumber daya,
dukungan dan peluang bagi pegawai) dapat menciptakan
kondisi psikologis sedemikian rupa sehingga para perawat akan
lebih besar kemungkinannya untuk merasa bahwa pekerjaan
mereka itu memiliki makna bagi diri mereka, merasakan
otonomi yang lebih besar dan menjadi yakin bahwa mereka
mampu mempengaruhi hasil-hasil yang dicapai dalam
pekerjaan, sehingga dengan begitu para perawat akan
mengalami penurunan pada ketegangan kerja. Dalam penelitian
yang kami lakukan terhadap perawat-perawat Australia ini,
kami juga meneliti tentang pemberdayaan psikologis dan
dampaknya terhadap beberapa stressor kerja perawat.
Maksudnya, kami mengajukan pertanyaan: apakah
pemberdayaan psikologis dapat mempengaruhi semua stressor

Kelelahan Kerja (Burnout) 143


kerja, ataukah pemberdayaan hanya menimbulkan penurunan
yang lebih besar terhadap beberapa jenis stressor tertentu
daripada terhadap beberapa jenis stressor lainnya?
Sesuai dengan H1 tadi, hipotesa mengenai hubungan
antara pemberdayaan dengan stressor kerja perawat ini juga
disajikan dalam bentuk hipotesa nul.
H2 : Pemberdayaan tidak memiliki hubungan dengan stressor
kerja perawat.

Metode Penelitian
Sampel dan Prosedur
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
para staf perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit swasta di
Melbourne, negara bagian Victoria. Rumah sakit swasta ini
memiliki sekitar 1250 pegawai yang tersebar di dua lokasi di
dalam kota. Staf perawat mencapai 59 persen dari total jumlah
pegawai yang ada. Para pegawai lainnya masuk dalam layanan
lingkungan (seperti bagian kebersihan dan penyiapan makanan)
sebanyak 24 persen, manajemen rumah sakit sebanyak 10
persen, dan bagian lain-lain sebanyak 7 persen. Sebagian besar
dari staf perawat di rumah sakit ini berstatus casual nurses
sebanyak 45 persen, kemudian berstatus permanent part-time
sebanyak 38 persen dan sisanya adalah perawat tetap (full-time
nurses) sebanyak 17 persen.
Kuesioner dibagikan secara acak kepada 600 perawat
yang ada di dalam rumah sakit dengan cara merekatkan amplop
berisi kuesioner itu pada slip gaji mereka. Para responden
diberitahu bahwa pengisian kuesioner itu bersifat sukarela dan
bahwa penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang tidak memiliki
ikatan apapun dengan rumah sakit dan bahwa informasi yang
mereka berikan akan dijaga kerahasiaannya. Kerahasiaan

144 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


identitas dari para responden dijaga dengan cara meminta para
responden untuk mengirimkan kuesioner yang sudah diisi itu
dalam amplop yang sudah disediakan dan dibubuhi perangko
secukupnya serta alamat dari peneliti. Ada total 157 respon
yang dikembalikan sehingga menghasilkan tingkat respon
sebesar 26 persen (5 kuesioner kemudian tidak digunakan
karena datanya tidak lengkap). Sampel ini terdiri dari 97 persen
wanita (sementara rata-rata industri adalah 96 persen dengan
mean usia 41 tahun dan mean dari lama masa kerja dalam
rumah sakit adalah 8 tahun). Para perawat klinik menempati 70
persen dari total responden sementara sisanya adalah manager
perawat (nurse manager) (26 persen) dan pengajar perawat
(nurse educator) (4 persen). Sebagian besar dari responden
adalah perawat berstatus part-time (55 persen) dan diikuti oleh
perawat tetap (full time) sebanyak 37 persen dan 8 persen
sisanya berstatus casual. Pola ini tidak selaras dengan pola
demografis dari populasi perawat dalam organisasi. Rendahnya
tingkat partisipasi dari perawat casual ini mungkin disebabkan
oleh kurangnya minat dan/atau karena mereka tidak
mendapatkan kuesioner itu pada waktu yang tepat mengingat
bahwa jam kerja mereka tidak tetap.

Ukuran
Skala dukungan sosial yang dikembangkan oleh House
dan Wells (1978) digunakan untuk mengukur dukungan
supervisor (sebanyak 6 butir) dan dukungan dari rekan kerja
(sebanyak 3 butir). Skala ini sudah pernah digunakan
sebelumnya dan terbukti memiliki reliabilitas yang memadai
(Deery dan Iverson 1995). Sekalipun skala ini tampaknya belum
pernah digunakan dalam konteks keperawatan sebelumnya,
ada tiga pengajar perawat (yang tidak masuk dalam sampel)

Kelelahan Kerja (Burnout) 145


yang telah diminta untuk mengevaluasi skala ini dan mendapati
bahwa isi dari butir-butir dalam skala itu sudah tepat.
Pemberdayaan diukur dengan menggunakan skala yang
terdiri dari 12 butir yang dikembangkan oleh Spreitzer (1995)
dan mencakup ke empat komponen dari pemberdayaan, yaitu
makna, kompetensi, menentukan nasib sendiri dan dampak.
Skala ini sudah banyak digunakan di dalam penelitian di
berbagai bidang, termasuk di dalam konteks layanan
kesehatan. Ke empat komponen dari pemberdayaan ini
didapatkan dari hasil principal components factor analysis yang
dilakukan terhadap instrumen Spreitzer (dimana faktor-faktor
yang memiliki eigen value di atas 1 dipertahankan dan
kemudian solusi faktor dirotasi dengan menggunakan metode
varimax orthogonal).
Instrumen yang terdiri dari 15 butir yang dikembangkan
oleh Kahn dkk. (1964) digunakan untuk mengukur stress kerja
dari para perawat. Ukuran-ukuran bagi stress yang dibuat
belakangan (seperti House dan Rizzo 1972) tidak berbeda jauh
dari dimensi-dimensi stress utama dalam instrumen yang
dibuat Kahn dkk. (1964) dan bahkan instrumen yang dibuat
belakangan ini nampak sangat banyak mengambil ide dari
instrumen yang pertama ini. Instrumen dari Kahn dkk. (1964) ini
telah banyak digunakan di dalam penelitian manajemen dan
memiliki reliabilitas yang cukup memuaskan, dan bagian dari
instrumen ini yang mengukur dimensi konflik peran dan dimensi
ambiguitas peran sudah pernah digunakan di dalam konteks
keperawatan (misalnya Stordeur, D'hoore dan Vandenberghe
2001). Sekali lagi, untuk memeriksa relevansi dari skala ini bagi
konteks keperawatan, ke tiga pengajar perawat tadi dimintai
pendapat dan mereka menyatakan bahwa susunan kalimat di
dalam butir-butir dalam skala ini sudah memadai. Instrumen ini
meminta para responden untuk melaporkan persepsi mereka

146 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


secara mandiri (self report) yaitu tentang sejauh mana para
responden itu sendiri merasa “terganggu” oleh aspek-aspek
tertentu dari lingkung-an kerja mereka. Instrumen ini berusaha
untuk menangkap stressor-stressor kerja utama, seperti konflik
peran, ambiguitas peran, kelebihan beban kerja, kendali kerja
dan ketidakcukupan sumber daya.
Dilakukan sebuah principal component factor analysis
dengan menggunakan rotasi orthogonal varimax dimana faktor
yang memiliki eigen values lebih dari satu dipertahankan, dan
dari situ didapatkan empat faktor atau empat stressor dari
sampel perawat yang digunakan di sini. Ke empat faktor itu
diberi label sebagai berikut: kendali kerja (misalnya “saya tidak
mampu mempengaruhi keputusan atau tindakan dari
supervisor yang akan berdampak bagi diri saya”), konflik peran
atau ambiguitas peran (misalnya, “sejauh mana jangkau-an dan
tanggung jawab dari pekerjaan saya masih belum jelas”),
ketidakcukupan sumber daya (missal-nya “saya tidak merasa
cukup trampil untuk menjalankan pekerjaan saya”) dan
kelebihan beban kerja (misalnya, “beban kerja saya terlalu
berat”).

Temuan
Mean, standar deviasi, reliabilitas alpha dan matriks
korelasi dari variabel-variabel utama disajikan dalam Box 1 (di
hal. 60 -pent).
Analisa regresi berganda dilakukan untuk menguji ke dua
hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini dan hasilnya
disajikan secara ringkas dalam Box 2. Hasil dari pengujian
terhadap Model 1 yang disajikan dalam Box 2 menunjukkan
bahwa dukungan sosial dari supervisor dan rekan kerja serta
dimensi dampak dan dimensi kompetensi dari pemberdayaan

Kelelahan Kerja (Burnout) 147


memiliki hubungan negatif dengan variabel stress kerja yang
diagregasikan. Untuk memahami lebih jauh tentang bagaimana
hubungan antara dukungan sosial dan pemberdayaan dengan
dimensi-dimensi yang ada dalam stress kerja, kami membuat
Model 2 sampai Model 5. Untuk Model 2, didapati bahwa ada
hubungan negatif antara tiga variabel independen (dukungan
supervisor, dukung-an rekan kerja dan dampak) dengan stress
yang disebabkan oleh kurangnya kendali terhadap masalah-
masalah kerja. Model 3 menunjukkan bahwa dukungan
supervisor, dukungan rekan kerja dan menentukan nasib sendiri
semuanya memiliki hubungan negatif dengan stress yang
disebabkan oleh konflik peran/ambiguitas peran. Kemudian
untuk Model 4, hasil regresi menunjukkan bahwa dukungan
supervisor, dukungan rekan kerja, compe-tensi dan
menentukan nasib sendiri semuanya memiliki hubungan negatif
dengan stress yang diakibatkan oleh ketidakcukupan sumber
daya. Yang terakhir, Model 5 menunjukkan bahwa ada
hubungan negatif antara dukungan sosial (dari supervisor dan
dari rekan kerja) dengan stress akibat kelebihan beban kerja,
tapi hubungan antara dimensi-dimensi pemberdayaan dengan
stress akibat kelebihan beban kerja tidak mendapatkan
dukungan.
Pengujian terhadap kecukupan dari model-model regresi
mengindikasikan bahwa asumsi-asumsi dari model dipenuhi
oleh data. Uji normalitas mengindikasikan bahwa temuan dari
tiap-tiap model memiliki distribusi yang cukup normal. Untuk
mendiagnosa kemungkinan terjadinya multikoline-aritas, kami
meneliti variance inflation factors (VIF) dari variabel-variabel
prediktor. VIF didapati berkisar nilainya dari 1 sampai 1,47.
Berdasarkan temuan-temuan ini, H1 dan H2 dapat
ditolak.

148 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Pembahasan Dan Kesimpulan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti peran dari
dukungan sosial dan pemberdayaan di dalam upaya untuk
mengurangi stressor kerja yang terjadi pada perawat-perawat
Australia. Literatur layanan kesehatan telah
mendokumentasikan bahwa masalah stress kerja bisa
membawa konsekwensi negatif yang serius bagi kinerja
perawat dan penyediaan layanan kesehatan bagi pasien, serta
bisa berdampak negatif bagi rekrutmen dan pemertahanan
perawat (Creegen, Duffield dan Forrester 2003; Schroeder dan
Worrall-Carter 2002; Fitzgerald 2002; Santamaria; Johnstone
1999). Temuan yang kami dapatkan menunjukkan secara jelas
bahwa kehadiran dari struktur dukungan sosial (social support
structure), yaitu dukungan dari supervisor dan dukungan dari
rekan kerja memiliki hubungan negatif dengan semua stressor
kerja utama. Temuan ini selaras dengan temuan dari penelitian
keperawatan sebelumnya dan memperluas temuan-temuan
yang sudah didapatkan itu (misalnya Schroeder dan Worrall-
Carter 2002; Healy dan McKay 1999). Dalam kaitannya dengan
pemberda-yaan, didapati bahwa hubungan antara ke empat
kognisi dari pemberdayaan dengan stressor-stressor kerja
adalah hubungan yang bersifat kompleks. Yang pertama,
pemberdayaan psikologis terhadap para perawat didapati tidak
memiliki hubungan dengan stress yang ditimbulkan oleh
kelebihan beban kerja. Yang kedua, temuan bahwa pember-
dayaan (yaitu dimensi dampak dan dimensi kompetensi)
memiliki hubungan negatif dengan stress kerja perawat adalah
temuan yang selaras dengan penelitian-penelitian keperawatan
sebelum-nya yang dilakukan di luar Australia (misalnya
Laschinger, Finegan dan Shamian 2001) dan selaras dengan
temuan-temuan dalam literatur manajemen (misalnya Savery
dan Luks 2001). Yang ketiga, tidak semua komponen dari

Kelelahan Kerja (Burnout) 149


pemberdayaan ikut berdampak dalam mengurangi dampak dari
stressor kerja perawat. Temuan-temuan ini membawa bebe-
rapa implikasi penting bagi para perawat dari semua level dan
juga bagi manajemen rumah sakit, seperti yang dipaparkan
berikut ini.
Untuk dukungan sosial, manajemen rumah sakit bisa
mencoba menerapkan strategi-strategi untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan dari para staf perawat dengan
cara meningkatkan komunikasi antara perawat dengan
supervisor dan dengan rekan kerjanya agar dukungan yang
diterima perawat dari keduanya bisa lebih ditingkatkan.
Langkah awal yang penting untuk dilakukan di sini adalah
meminta pengelola rumah sakit untuk melakukan evaluasi
secara komprehensif agar bisa mengidentifikasi masalah-
masalah yang terjadi dalam komunikasi, hirarki dan
kepemimpinan (Ramano 2002). Salah satu cara yang dapat
digunakan untuk memfasilitasi dukungan sosial adalah dengan
membuka forum komunikasi antar rekan kerja dan antara
perawat dengan supervisor, misalnya yang berbentuk
pertemuan mingguan untuk membahas masalah-masalah yang
terkait dengan pekerjaan. Selain itu, proses “penyerahan
formal” dari shift satu ke shift berikutnya, yang digunakan untuk
meneruskan informasi mengenai pasien kepada perawat yang
berjaga di shift berikutnya, bisa diperpanjang dengan
melakukan pembicaraan informal selama 5-10 menit untuk
mengurangi konflik atau ambiguitas mengenai penanganan
terhadap pasien.
Pengembangan dan peningkatan hubungan kerja adalah
bagian penting dari keperawatan dan salah satu hubungan kerja
yang sangat penting adalah kerja tim (Schroeder dan Worrall-
Carter 2002). Ketersediaan dari model kerja tim dapat menjadi
sarana untuk membangun jaringan dukung-an sosial baik antar

150 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


para perawat sendiri maupun antara perawat dengan
manajemen/supervisor. Literatur keperawatan yang ada
sekarang menekan-kan pentingnya pengembangan
ketrampilan dari manager perawat di dalam membangun tim
(team building), memberikan pelatihan (coaching) dan
kepemimpinan agar bisa memfasiitasi terbentuknya rasa saling
menghormati dan keterbukaan komuni-kasi yang lebih besar di
level bangsal (ward) (Stordeur, D'hoore dan Vandenberghe
2000). Implementasi dari program pelatihan dan pendam-
pingan (mentoring) secara formal juga bisa menjadi cara untuk
memfasilitasi terbentuknya jaringan dukungan antara perawat
yang kurang berpengalam-an dengan perawat yang sudah
berpengalaman. Schroeder dan Worrall-Carter (2002)
mendapati bahwa pelatihan dan pendampingan (mentoring)
adalah sumber daya yang sangat berharga karena dapat
membmerikan masukan dan dukungan emosional bagi para
perawat di tempat kerja.
Prosedur sosialisasi di level bangsal (ward) juga bisa
ditinjau ulang untuk melihat sejauh mana kemungkinan untuk
menerapkan program-program atau strategi-strategi yang bisa
membantu para staf perawat yang masih baru agar mereka
dapat merasa menjadi bagian dari jaringan kerjasama yang
saling mendukung di antara para perawat. Prosedur-prosedur
sosialisasi ini bisa diperluas dengan cara mengembangkan
kelompok-kelompok sosial informal bagi para perawat di luar
jam kerja. Para perawat seringkai merasa perlu mendapatkan
kesempatan untuk berbicara (debrief) setelah mengalami
situasi yang sulit dan dukungan yang bisa diberikan oleh rekan
kerja di dalam situasi informal bisa mengurangi stress kerja
yang mereka rasakan. Selain itu pihak manajemen juga perlu
memahami dan bersikap sabar/toleran jika para perawat
melakukan percakapan informal di tempat kerja karena perilaku
itu berpotensi besar untuk mengurangi stress. Satu komponen

Kelelahan Kerja (Burnout) 151


penting dari peningkatan terhadap dukungan sosial di tempat
kerja adalah penyediaan peluang pelatihan bagi para manager
perawat atau direktur dari divisi keperawat-an untuk
meningkatkan ketrampilan mereka di dalam melakukan
pelatihan dan pendampingan (mentoring), gaya kepemimpinan,
pembanguna tim, komunikasi interpersonal dan resolusi konflik
(Stordeur, D'hoore dan Vandenberghe 2001). Kesempatan
untuk mengikuti kuliah, seminar, loka-karya atau konferensi
adalah sebuah cara yang penting untuk mengembangkan
ketrampilan-ketram-pilan itu.
Selanjutnya untuk masalah pemberdayaan, penelitian
kami mendapati bahwa ada hubungan negatif antara
pemberdayaan dengan stress kerja. Analisa secara lebih
mendalam dilakukan untuk meneliti komponen-komponen dari
stress kerja yang dipengaruhi oleh pemberdayaan. Dari analisa
ini didapatkan temuan-temuan berikut:
 Untuk sampel perawat Australia yang diguna-kan di sini,
peningkatan pada pemberdayaan psikologis (dimensi
dampak dari pemberda-yaan) memiliki hubungan dengan
penurunan stress kerja yang ditimbulkan oleh kurangnya
kendali perawat terhadap pelaksanaan dari tugas-tugas
dalam pekerjaan. Dengan kata lain, perawat-perawat yang
terberdayakan memiliki kebebasan yang lebih besar
untuk membuat keputusan dan menyuarakan pendapat
(voice) di dalam konteks kerja, sehingga bisa menurunkan
stress di tempat kerja.
 Ada pendapat bahwa peningkatan pemberda-yaan bisa
meningkatkan perselisihan antar pegawai dan mendorong
mereka untuk lebih berani dalam menentang keputusan
dari atasan (sehingga bisa meningkatkan konflik peran/
ambiguitas peran), namun pada akhirnya para anggota
organisasi akan mendapatkan keun-tungan dari
peningkatan pemberdayaan itu karena mereka ikut serta

152 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


secara aktif di dalam memecahkan masalah-masalah
organisasi (Laschinger dan Havens 1997). Pendapat ini
tampaknya mendapatkan dukungan dari sampel perawat
Australia yang kami gunakan di sini, karena dalam sampel
ini didapati bahwa peningkatan pada pemberdayaan
psikologis (dimensi menentukan nasib sendiri) memiliki
hubungan dengan penurunan konflik peran/-ambiguitas
peran.
 Peningkatan pada pemberdayaan (dimensi kompetensi
dan menentukan nasib sendiri) memiliki hubungan negatif
dengan ketidak-cukupan sumber daya, terutama
perasaan perawat bahwa diri mereka tidak cukup trampil
untuk melakukan pekerjaan itu. Pada intinya, para
perawat yang merasa yakin pada kompetensi mereka di
dalam pekerjaan (yang mungkin mereka dapatkan karena
sudah memiliki pengalaman atau sudah mendapatkan
pelatihan yang tepat) akan mengalami stress yang lebih
rendah.
 Pemberdayaan tidak memiliki hubungan dengan
kelebihan beban kerja.

Karenanya pihak manajemen rumah sakit perlu


mempertimbangkan kemungkinan untuk menerapkan berbagai
strategi pemberdayaan untuk mengatasi stress pada para
perawat. Pengembangan strategi-strategi sumber daya
manusia yang bisa menumbuhkan makna bagi perawat akan
membawa dampak yang positif. Manajemen rumah sakit juga
bisa mempertimbangkan kemungkinan untuk memberikan
masukan yang lebih banyak kepada para perawat mengenai
kesejahteraan organisasi dan kesejahteraan pasien, serta
mengenai kinerja unit dan kinerja individu agar para perawat
bisa lebih memahami bagaimana dampak yang mereka berikan

Kelelahan Kerja (Burnout) 153


terhadap pasien dan terhadap rumah sakit tempat mereka
bekerja secara keseluruhan. Maksudnya, para perawat perlu
tahu bagaimana peran mereka yang sebenarnya di dalam rumah
sakit dan juga perlu ditunjukkan kepada para perawat bahwa
mereka memegang peranan vital bagi pencapaian tujuan-tujuan
rumah sakit sehingga para perawat tidak perlu merasa tidak
berdaya di tengah-tengah hirarki struktur rumah sakit. Conger
(1989) juga berpendapat bahwa ganjaran dan dorongan kepada
pegawai untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada
biasanya perlu diberikan secara menyolok dan langsung kepada
pegawai agar bisa membuat para pegawai (yang dalam hal ini
adalah para perawat) merasa menjadi bagian dari organisasi
(sense of belonging) atau dalam hal ini rumah sakit dan agar
pegawai merasa bahwa dirinya dapat memberikan kontribusi
yang berharga.
Pengembangan terhadap kompetensi dan keyakinan diri
dari para pegawai lewat kegiatan pelatihan dan pengembangan
adalah cara yang penting untuk mengurangi stress yang timbul
karena perasaan tidak berdaya atau kurang trampil. Selain itu,
berpartisipasi di dalam kegiatan pendidikan, membaca jurnal-
jurnal keperawatan, dan/atau berga-bung dengan asosiasi
profesi perawat dapat meningkatkan kemampuan para perawat
di dalam menangani situasi-situasi yang sulit dalam pekerja-
annya (Aiken, Smith dan Lake 1994). Pelatihan dan
pendampingan (mentoring) secara formal juga bisa berperan
penting di sini agar perawat yang sudah berpengalaman bisa
menularkan ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan
mereka kepada para perawat yang masih merasa belum trampil.
Dan memang peran penting dari mentoring sudah disebutkan
oleh laporan Nurse Recruitment and Retention Committee Final
Report (Victorian Government Department of Human Services
2001). Perasaan mampu menentukan nasib sendiri (self
determination) dapat ditingkatkan dengan cara memberikan

154 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kebebasan yang lebih besar bagi perawat di dalam membuat
keputusan bagi pelaksanaan tugasnya. Maka mendorong
adanya partisipasi yang lebih besar di dalam pengambilan
keputusan-keputusan yang penting bagi pekerjaan, terutama
partisipasi di dalam menetapkan target kinerja, adalah sangat
penting untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh
kurangnya kendali kerja dan konflik peran/ambiguitas peran.
Yang terakhir, para perawat perlu diberi peran yang lebih besar
di dalam governansi rumah sakit (Ramano 2002).
Sekalipun rekomendasi-rekomendasi yang sudah
diberikan di atas adalah cara-cara yang berguna untuk
mengelola stressor-stressor yang mempengaruhi para perawat,
namun cara-cara di atas masih memiliki keterbatasan dalam
prakteknya. Penghambat yang utama dari pemberdayaan
perawat menurut Stanton, Bartram dan Harbridge (2004)
adalah struktur manajemen yang kurang memadai dan
kurangnya pendanaan dari pemerintah. Sampai sekarang,
masih sedikit sekali perhatian yang sudah diberikan terhadap
pendekatan-pendekatan manaje-men sumber daya manusia di
dalam layanan kesehatan (Saltman, Figueras dan Sakellarides
1998). Kurangnya fokus terhadap pengelolaan sumber daya
manusia ini adalah sebuah hal yang mengherankan karena
industri layanan kesehatan adalah industri yang sangat sarat
tenaga kerja (labor intensive), memerlukan tenaga kerja yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi dan menempati porsi yang
besar dalam total biaya tenaga kerja. Jelas bahwa
pengembangan terhadap para manager masih perlu terus
dilakukan di dalam sektor layanan kesehatan ini dan di sisi lain
juga perlu dilakukan sosialisasi dan lobi kepada pemerintah
tentang pentingnya penambahan anggaran bagi sektor
kesehatan.
Ada banyak hal yang perlu diteliti secara lebih mendalam
dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Sebagai contoh, masih

Kelelahan Kerja (Burnout) 155


perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam konteks rumah
sakit untuk mengeksplorasi mekanisme-mekanisme dukungan
sosial lainnya (seperti dukungan dari teman dan pasangan
hidup) serta dampaknya terhadap stressor dalam pekerjaan.
Penelitian lebih lanjut juga perlu dilakukan untuk memahami
dampak dari struktur dukungan sosial dan skema-skema
pemberdayaan terhadap variabel-variabel hasil kerja (outcome)
lainnya seperti pembolosan, tingkat pemertahanan perawat
(retention) dan kualitas dari perawatan yang diberikan kepada
pasien. Dengan meneliti dampak dari program mentoring yang
diberikan kepada perawat terhadap variabel-variabel hasil
kerja, terutama hasil kerja (outcome) yang berbentuk stress,
bisa memberikan pemahaman-pemahaman yang penting bagi
para akademisi maupun para praktisi. Penelitian kualitatif juga
perlu dilakukan di dalam konteks rumah sakit untuk memahami
dan mengembangkan intervensi-intervensi untuk me-
ningkatkan dukungan sosial dan pemberdayaan bagi para
perawat.
Dapat disimpulkan di sini adalah bahwa administrator dan
manager dalam rumah sakit perlu mendorong dan
mengembangkan jaringan dukungan sosial yang kuat di antara
perawat dengan supervisor dan antara perawat dengan rekan-
rekan kerjanya. Selain itu ada beberapa praktek organisasional
yang perlu dilakukan untuk memberdayakan perawat dengan
tujuan agar bisa mengurangi stress kerja yang dialami para
perawat. Mengingat bahwa dalam kondisi yang sekarang,
rekrutmen dan pemertahanan (retention) terhadap para
perawat dalam industri layanan kesehatan menjadi makin sulit
dilakukan (Creegan, Duffield dan Forrester 2003; Fitzgerald
2002) padahal perawat memegang peranan yang sangat
penting dalam industri layanan kesehatan, maka penerapan
praktek-praktek manajemen yang dapat mengurangi stress
kerja harus disadari oleh para administrator dan manager rumah

156 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


sakit sebagai bagian yang sangat penting bagi manajemen
rumah sakit.

8.3. Penelitian : Martin Wetzels, K ode Ruyter, & Josee


Bloemer

Anteseden Dan Konsekuensi Stress


Peran Tenaga Penjualan Ritel

ABSTRAK
Dengan adanya proposisi dalam marketing layanan bahwa
keunggulan layanan sangat ditentu-kan oleh interaksai antara
personel kontak konsumen dan konsumen, kami menguji
beberapa anteseden dan konsekuensi stress peran dalam
konteks ritel dari perspektif karyawan dan konsumen. Kami
menginvestigasi dampak kontrol layanan versus model
pemberdayaan dalam ambiguitas peran dan konflik peran dan
mengamati efek stressor peran tersebut dalam komitmen
terhadap organisasi dan terhadap pemberian kualitas layanan
oleh tenaga penjualan ritel. Terakhir, kami mengeksplorasi
dampak pada kualitas layanan yang dirasakan konsumen.
Penemuan-penemuan empiris menam-pakkan bahwa
formalisasi dan pemberdayaan mereduksi ambiguitas peran.
Sebaliknya, ambiguitas peran terkait negatif dengan komitmen
organisasi-onal dan komitmen terhadap kualitas. Tipe terakhir
komitmen memiliki dampak positif pada kualitas yang dirasakan
konsumen.

Kata kunci: ambiguitas peran; konflik peran; kualitas layanan;


ritel.

Kelelahan Kerja (Burnout) 157


1. Pendahuluan
Selama mayoritas retailer beroperasi dalam pasar yang
dicirikan oleh kompetisi intens, loyalitas toko yang menurun dan
tekanan harga yang meluas, ada baiknya mereka memfokuskan
pada pemberian keunggulan dalam kualitas layanan.
Pengakuan yang meningkat terhadap kualitas layanan yang
dirasakan sebagai determinan signifikan kinerja bisnis dalam
terma keuntungan ekonomi menghasilkan kepen-tingan dalam
nilai strategis kualitas layanan dari akademisi dan juga praktisi
ritel (Anderson dan rekan-rekannya, 1994; Buzzel dan Gale,
1987; Jacobson dan Aaker, 1987; Reichheld dan Sasser, 1990;
Rust dan rekan-rekannya, 1995). Namun demikian,
implementasi sebuah strategi ke-unggulan layanan sangat
bergantung pada sikap dan perilaku tenaga penjualan ritel.
Sebagai personel kontak konsumen, mereka bertanggung
jawab terhadap penempatan strategi ke dalam operasi dalam
pengalamannya dengan para konsumen dalam outlet ritel.
Untuk memperbaiki implementasi efektif strategi-strategi
kelu, pengetahuan berlebih diperlu-kan dalam beberapa faktor
yang memper-tinggi atau menghambat pemberian layanan
bermutu oleh tenaga penjualan ritel yang menja-lankan ‘tingkat
depan’ perusahaan (Mangold dan Abakus, 1991).
Dalam kumpulan literatur baru tentang penga-laman
layanan, beberapa penulis menunjukkan fakta bahwa personel
kontak konsumen harus berhadapan dengan tuntutan-tuntutan
‘tingkat belakang’ dari atasan dan juga kebutuhan serta harapan
konsumen (misalnya, Wheatherly dan Tasik, 1994). Dalam
peran terbatasnya, tenaga penjualan ritel terbatas pada
fleksibilitas untuk berjalan melebihi panggilan tugas normal
menurut beberapa prosedur pedoman organisasional
(Parkingtoin dan Schneider, 1979; Schneider, 1980; Hartline
dan Ferrell, 1996), sambil memodifikasi layanan ritel terhadap

158 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kebutuhan-kebutuhan konsumen, atau “pelayanan adaptif”,
kerap kali sangat penting untuk evaluasi kualitas layanan
(Bitner, 1990; Bitner dan rekan-rekannya, 1990; Good Win dan
Radford, 1993). Tuntutan yang bertentangan tersebut kerapkali
menimbulkan stress peran.
Stress peran nampaknya memiliki dampak negatif pada
komitmen organisasional, komitmen personel penjualan
terhadap kualitas dan kualitas layanan yang dirasakan
(Behrman dan Perreault, 1984; Goolsby, 1992; Jackson dan
Schuler, 1985; Johnston dan rekan-rekannya, 1990; Michaeals
dan Tanskik, 1993; Zeithaml dan rekan-rekannya, 1988). Stress
peran adalah sangat relevan dengan konteks layanan ritel,
selama riteling adalah proses pemberian layanan yang
bergantung pada partisipasi konsumen ekstensif dan sedikit
kontrol oleh tenaga penjualan ritel (Goodwin dan Radford,
1993). Selama stress peran menghambat misi retailer untuk
menyediakan keunggulan layanan, ada baiknya menguji
anteseden stress peran dan efeknya pada kualitas layanan yang
dirasakan dalam konteks ritel. Supaya bisa menentukan apa
praktek organisasi yang mengon-tribusikan kualitas layanan
dari sudut pandang konsumen, sebuah perspektif seharusnya
dipakai untuk mempertim-bangkan anteseden dan konse-
kuensi stress peran.
Perspektif semacam itu dipakai dalam makalah ini.
makalah ini disusun sebagai berikut. Pertama, kami akan
menawarkan sebuah sintesis singkat marketing layanan dan
literatur organisasi-onal dalam isu-isu konseptual kunci
mengenai anteseden dan konsekuensi stress peran. Kami
selanjutnya akan mendiskusikan hasil-hasil studi yang didesain
untuk memberikan pengetahuan tentang stress peran yang
dialami oleh tenaga penjualan ritel dan efeknya pada kualitas
layanan sebagaimana yang dirasakan oleh konsumen. kami

Kelelahan Kerja (Burnout) 159


menyimpulkan menyuguhkan kesimpulan dengan sejumlah
implikasi hasil-hasil kami terhadap retailer, limitasi-limitasi
studi kami dan petunjuk untuk penelitian mendatang.

2. Kerangka Konseptual
Kahn dan rekan-rekannya, (1964) mende-finisikan stress
peran sebagai konstruk gabungan yang terdiri dari apa yang
disebut sebagai stressor peran atas konflik peran dan
ambiguitas peran. Konflik peran didefinisikan sebagai “kejadian
simultan dengan seseorang yang membuat peme-nuhan yang
lebih sulit dengan yang lainnya” (Kahn dan rekan-rekannya,
1964, halaman 19). Untuk harapan-harapan personel terbatas
di suatu organi-sasi dan harapan-harapan konsumen mungkin
akan berbenturan. Misalnya, ketika atasan mengharapkan
karyawan untuk melayani konsumen sebanyak mungkin, pada
saat yang sama, konsumen mungkin akan menuntut perhatian
personal. Ambiguitas peran terjadi ketika seseorang tidak
memiliki akses ke informasi yang cukup untuk menjalankan
perannya sebagai karyawan (Kahn dan rekan-rekannya, 1964;
Walker dan rekan-rekannya, 1975). Misalnya, ambiguitas peran
mungkin disebabkan oleh adanya fakta bahwa karyawan tidak
dapat memastikan harapan manajemen atau oleh fakta bahwa
mereka tidak mengetahui bagaimana kinerjanya akan
dievaluasi.
Dalam literatur manajemen layanan terbaru, dua
paradigma saingan saling berkompetisi berkaitan dengan
pertanyaan tentang bagaimana beberapa organisasi
seharusnya dijalankan dan paradigma tersebut menunjukkan
dua anteseden potensial stress peran dalam beberapa
organisasi (Bowen dan Lawler, 1995). Salah satu paradigma
adalah apa yang disebut sebagai model kontrol yang didasarkan
pada asumsi bahwa hierarki dan birokrasi mekanistik akan

160 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


mempertinggi produkti-vitas dan kualitas. Levitt (1972, 1976)
merekomen-dasikan model ini untuk industri-industri layanan,
dengan berargumen bahwa efisiensi dan juga kualitas akan
dipastikan oleh standarisasi dan formalisasi tugas dan
pengambilan keputusan terbatas bagi beberapa karyawan.
Terdapat serangkaian prosedur untuk melayani konsumen,
dengan memberikan kontrol organisasi atas pertemuan
konsumen-karyawan, dengan contoh McDonalds dan Disney
yang sering disebutkan (Tasik, 1990).
Menurut para penyokong model kontrol, pendekatan ini
menimbulkan operasi layanan yang efisien dan kualitas layanan
yang baik. Pokok terhadap paradigma kontrol adalah konsep
formali-sasi yang didefinisikan sebagai “perluasan peraturan,
prosedur, instruksi dan komunikasi yang tertulis” (Pugh dan
rekan-rekannya, 1968, halaman 75). Keberadaan peraturan,
standar dan kebijakan tertulis akan mempengaruhi ambiguitas
peran dan konflik peran, sebagaimana yang akan didiskusikan
dalam bagian berikutnya (Kahn dan rekan-rekannya, 1964;
Organ dan Greene, 1981; Rizzo dan rekan-rekannya, 1970;
Rizzo dan House, 1972; Rogers dan Molar, 1976).
Pendekatan kedua terhadap pengelolaan beberapa
organisasi layanan kerap kali disebut sebagai model
keterlibatan (Bowen dan Lawler, 1995). Menurut model ini, yang
akarnya berada dalam manajemen partisipatif (misalnya,
Argyris, 1964; McGregor, 1960), karyawan kontak konsumen
mampu melakukan koordinasi (misal-nya, melalui pengelolaan-
diri tim kerja) dan kontrol kualitas layanan. Burger King dan
Marriott kerap kali disebut sebagai model peran dalam
pendekatan ini (Zemke dan Schaaf, 1989). Konsep pokok
terhadap pendekatan keterlibatan, yang sangat populer baru-
baru ini dalam beberapa organisasi layanan, adalah

Kelelahan Kerja (Burnout) 161


pemberdayaan (Bowen dan Lawler, 1995; Hartline dan Ferrrell,
1996; Schlesinger dan Heskett, 1991).
Esensi pemberdayaan sangat dipahami sebagai
“kebalikan pelaksanaan sesuatu menurut buku” (Zemke dan
Schaaf, 1989, halaman 68). Beberapa karyawan bebas untuk
sedikit menyesuaikan regulasi-regulasi layanan supaya bisa
memenuhi atau melebihi harapan-harapan konsumen. dua
dimensi pemberdayaan telah diidentifikasi, yakni: (1)
kompetensi dan (2) kontrol (Chiles dan Zorn, 1995; Conger dan
Kanungo, 1988). Beberapa karyawan harus merasa mampu
menjalankan pekerjaannya secara kompeten dan diberikan
otoritas untuk membuat keputusan. Terdapat sedikit bukti
empiris tentang pengaruh pemberdayaan pada stress peran
(Bowen dan Lawler, 1995). Apakah model kontrol atau model
keterlibatan adalah pendekatan terbaik untuk mengatur
karyawan kontak konsumen tentunya akan sangat bergantung
pada tipe industrinya, jenis hubungan konsumen-karyawan
(kontak tinggi vs rendah), dan strategi bisnisnya (Bowen dan
Lawler, 1995).
Tiga konsekuensi penting yang terkait dengan stress
peran karyawan layanan adalah komitmen organisasional,
komitmen terhadap kualitas dan performa kerja. Porter dan
rekan-rekannya, (1974, halaman 604) mendefinisikan
komitmen organi-sasional sebagai “kekuatan identifikasi
individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Sebagai
konstruk sikap, komitmen organisasional juga dapat dicirikan
dalam terma tiga komponen, antara lain: (1) kepercayaan dan
keberterimaan yang kuat tentang tujuan dan nilai organisasi, (2)
keinginan untuk melakukan usaha demi kepentingan organisasi
dan (3) keinginan yang kuat untuk mempertahankan
keanggotaan organisasi (Mowday dan rekan-rekannya, 1979,
1982). Ketika personel kontak konsumen membagi serangkaian

162 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


nilai-nilai bersama yang diarahkan pada satu tujuan, jenis
komitmen khusus atau ‘pertimbangan layanan” mungkin akan
muncul (Howard, 1990; reardon dan Enis, 1990). Kualitas
layanan dapat dipandang sebagai contoh tujuan umum (Hartline
dan Ferrell, 1996). Oleh karena itu, komitmen terhadap kualitas
(layanan) oleh karyawan kontak konsumen dapat menjadi
determinan penting kualitas layanan yang dirasakan oleh
konsumen. terakhir, dan paling penting, performa kerja dapat
dicirikan sebagai tingkatan di mana beberapa karyawan
melaksana-kan tugas kerjanya, tanggung jawab dan penugasan
secara memadai.
Pada esensinya, dua kategori ukuran kinerja dapat
dibedakan, yakni: (1) ukuran-ukuran kinerja obyektif dan (2)
ukuran-ukuran subyektif dan laporan-diri. Ukuran-ukuran
laporan-diri kerap kali didasarkan pada penilaian oleh
seseorang itu sendiri atau oleh supervisornya. Ini
mencerminkan sebuah perspektif internal. Namun demikian,
dalam organi-sasi layanan, konsumenlah yang pada akhirnya
akan menentukan kinerja dan meng-evaluasinya dari sudut
pandang kualitas layanan yang dirasakan (Grönroos, 1983;
Parasuraman dan rekan-rekannya, 1985; Schneider dan rekan-
rekannya, 1979).
Jadi, kami mengidentifikasi dua anteseden stress peran:
(1) formalisasi dan (2) pada, di mana keduanya dianggap
sebagai cara untuk memper-tinggi kinerja organisasi layanan.
Komitmen organisasional, komitmen terhadap kualitas dan
kualitas layanan yang dirasakan dianggap sebagai konsekuensi
stress peran. Kualitas layanan yang dirasakan seharusnya
dipandang tidak hanya sebagai konsekuensi langsung stress
peran. Namun juga sebagai konsekuensi komitmen
organisasional dan komitmen terhadap kualitas. Untuk
memahami bagaimana anteseden dan konsekuensi yang telah

Kelelahan Kerja (Burnout) 163


disebutkan terkait dengan konstruk-konstruk fokal kami atas
ambiguitas peran dan konflik peran, kami akan
mengembangkan sejumlah hipotesis tentang hubungan antara
konsep-konsep tersebut dan anteseden serta konsekuensi
tersebut dalam bagian selanjutnya.

3. Pengembangan Hipotesis
Dalam memformulasikan hipotesis tentang hubungan
antara beberapa konstruk, kami akan mengamati marketing
layanan, tenaga penjualan dan teori organisasional untuk
pedoman kami. Berkaitan dengan hubungan antara formalisasi
dan stressor peran, studi-studi meta analitis menemukan
sebuah hubungan negatif antara formalisasi dan ambiguitas
peran, sedangkan hasil-hasil terhadap hubungan antara
formalisasi dan konflik peran digabungkan (misalnya, Fisher dan
Gitelson, 1983; Jackson dan Schuler, 1985). Namun demikian,
Organ dan Greene (1981) dan Nicholson dan Goh (1983)
menemukan sebuah hubungan positif antara formalisasi dan
konflik peran terhadap beberapa karyawan yang memiliki
norma-norma profesional. Dilaporkan juga bahwa formalisasi
membatasi fleksibilitas posisi-posisi peran terbatas, yang
menimbulkan tingginya level konflik peran (Clopton, 1984;
Micheals dan rekan-rekannya, 1987). Misalnya, Parasuraman
dan rekan-rekannya (1988) menghubungkan konflik peran
terhadap personel kontak konsumen dengan pekerjaan
administratif berlebihan dan hambatan internal. Hubungan ini
diperkuat oleh penemuan Michaels dan rekan-rekannya, (1987)
dalam konteks pembelian industrial. Dalam basis literatur ini,
kami memformulasikan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Terdapat hubungan negatif antara formalisasi dan
ambiguitas peran.

164 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


H2 : Terdapat hubungan positif antara formalisasi dan konflik
peran.

Sedikit riset empiris tentang hubungan antara


pemberdayaan dan stress peran telah diadakan (Bowen dan
Lawler, 1995). Sebagaimana yang diargumenkan di atas,
pemberdayaan seharusnya menimbulkan reduksi stress peran
selama personel kontak konsumen diberikan fleksibilitas
berlebih yang mereka gunakan untuk menghindari konflik
peran. Selanjutnya, selama karyawan yang telah diberdayakan
harus bergantung pada informasinya sendiri dalam
pengambilan keputusan, ambiguitas peran akan direduksi juga,
namun demikian, bukti empiris yang jarang ada dan tersedia
menunjukkan beberapa petunjuk lain. Yang mengejutkan,
Hartline dan Ferrell (1996) menemukan bahwa data terkait
positif dengan ambiguitas peran. Hubungan positif ini diperluas
oleh fakta bahwa pemberdayaan pada mulanya akan
meningkatkan ketidakpastian, sebagai akibat dari fakta bahwa
terdapat standar-standar dan prosedur-prosedur yang kecil
yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh para karyawan.
Beberapa karyawan memiliki kebebasan untuk membuat
keputusan, namun mereka mungkin akan kekurang-an skill
untuk melakukannya (yakni karyawan diberikan kontrol
tertentu, walaupun kurang memiliki kompetensi). Terakhir,
Hartline dan Ferrell (1996) melaporkan hubungan non-
signifikan antara pemberdayaan dan konflik peran. Sebagian
dalam basis Hartline dan Ferrell (1996) dan sebagian dalam
basis teori, kami mengembangkan hipotesis yang berkaitan
dengan hubungan antara pemberdayaan dan stress peran
sebagai berikut:
H3 : Terdapat hubungan positif antara pember-dayaan dan
ambiguitas peran.

Kelelahan Kerja (Burnout) 165


H4 : Terdapat hubungan negatif antara pember-dayaan dan
konflik peran.

Behrman dan Perreault (1984) menunjukkan bahwa


konflik peran dan ambiguitas peran seharusnya tidak dianggap
sebagai konstruk-konstruk independen (bandingkan dengan
Rizzo dan rekan-rekannya, 1970). Mereka berargumen bahwa
konflik peran seharusnya dianggap sebagai determinan
ambiguitas selama permintaan kerja yang bertentangan bisa
meningkatkan ambiguitas dalam melayani konsumen. oleh
karena itu, kami dapat menyajikan hipotesis bahwa:
H5 : Terdapat hubungan positif antara konflik peran dan
ambiguitas peran.

Selanjutnya, kami akan mengembangkan hipotesis


tentang hubungan antara variabel outcome komitmen
organisasional dan stressor peran. Meskipun Mowday dan
rekan-rekannya, (1982) menunjukkan bahwa hubungan ini
masih belum diuraikan, namun beberapa studi meta-analitis
tetap menemukan sebuah hubungan negatif antara komitmen
organisasional dan ambiguitas peran dan konflik peran
(misalnya, Fisher dan Gitelson, 1983; Jackson dan Schuler,
1985; Mathieau dan Zajac, 1990). Oleh karena itu, hipotesis
berikut ini kami sajikan:
H6 : Terdapat hubungan negatif antara ambiguitas peran dan
komitmen organisasional.
H7 : Terdapat hubungan negatif antara konflik peran dan
komitmen organisasional.

166 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Berkaitan dengan komitmen terhadap kualitas sebagai
konsekuensi stressor peran, penelitian sebelumnya
menegaskan sebuah hubungan negatif antara ambiguitas peran
dan konflik peran serta komitmen terhadap kualitas (Hartline
dan Ferrell, 1996). Sebagai akibatnya, hipotesis berikut ini kami
suguhkan:
H8 : Terdapat hubungan negatif antara ambiguitas peran dan
komitmen terhadap kualitas.
H9 : Terdapat hubungan negatif antara konflik peran dan
komitmen terhadap kualitas.

Berkaitan dengan performa kerja, penelitian sebelumnya


hanya melaporkan dukungan terbatas terhadap hubungan
negatif antara konflik peran dan ambiguitas peran dan ukuran-
ukuran kualitas layanan obyektif serta subyektif (Fisher dan
Gitelson, 1983; Jackson dan Schuler, 1985). Bagozzi (1978)
menemukan sebuah indikasi yang kuat terhadap efek-efek yang
merugikan terhadap konflik peran dalam penjualan, sebuah
ukuran kinerja obyektif, Behrman dan Perreault (1984)
melaporkan bahwa stress peran adalah determinan terpenting
kinerja nilai-diri dalam konteks tenaga penjualan industrial.
Secara khusus, beberapa penulis menemu-kan sebuah
hubungan negatif antara ambiguitas peran dan kinerja, dan
hubungan positif antara konflik peran dan kinerja, penemuan-
penemuan serupa dilaporkan oleh Michaels dan rekan-
rekannya, (1987) dan Dubinsky dan Hartlet (1986). Hubungan
negatif antara ambiguitas peran dan performa kerja nampaknya
masuk akal, namun bagaimana hubungan positif antara konflik
peran dan kinerja dapat dijelaskan? Beberapa penulis
menunjukkan bahwa konflik peran tidaklah dapat dihindari
dalam posisi terbatas (Behrman dan Perreault, 1984; Walker
dan rekan-rekannya, 1975). Oleh karena itu, kinerja akan

Kelelahan Kerja (Burnout) 167


bergantung pada tingkatan di mana tenaga penjualan terbatas
akan mampu menanggulangi konflik peran (Goolsby, 1992).
Sebagai akibatnya, hipotesis tentang hubungan antara stressor
peran dan kualitas layanan yang dirasakan dapat diformulasikan
sebagai berikut:
H10 : Terdapat hubungan negatif antara ambiguitas peran dan
kualitas layanan yang dirasakan konsumen.
H11 : Terdapat hubungan positif antara konflik peran dan
kualitas layanan yang dirasakan kon-sumen.

Terakhir, beberapa karyawan yang berko-mitmen


terhadap organisasinya menampakkan komitmen kecil
terhadap konsumen. Muncul kemungkinan bahwa beberapa
karyawan tersebut akan menjalankan pekerjaannya demi
kepentingan organisasinya. Mereka menegakkan ‘kebijakan’
perusahaan atau melakukan sesuatu ‘menurut petunjuk’, yang
memiliki dampak negatif pada persepsi konsumen terhadap
kualitas (Hartline dan Ferrell, 1996).
Alternatifnya, beberapa karyawan yang berkomitmen
terhadap kualitas akan lebih terorientasi pada pemberian
kualitas layanan kepada konsumennya. Ini kemungkinan besar
memiliki dampak positif pada persepsi-persepsi konsumen
(Cespedes 1991; Howard, 1990; Piercy dan Morgan, 1991;
Reardon dan Enis, 1990). Ini menimbulkan dua hipotesis
terakhir sebagai berikut:
H12 : Terdapat hubungan negatif antara komitmen
organisasional dan kualitas layanan yang dirasakan.
H13 : Terdapat hubungan positif antara komitmen terhadap
kualitas dan kualitas layanan yang dirasakan.

168 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Gambar 1 menawarkan tinjauan hipotesis yang telah
disebutkan.
Dalam bagian berikutnya, kami akan melaporkan hasil-
hasil studi empiris yang didesain untuk menguji hipotesis
tersebut untuk sebuah konteks ritel.

4. Sebuah Studi Empiris


a. Setting Riset
Dalam studi kami, kami memakai fokus internal dan
juga eksternal dalam organisasi ritel. Di dalam organisasi-
organisasi ritel, kami mengukur formalisasi,
pemberdayaan, stress peran, komitmen organisasional,
dan komitmen terhadap kualitas. Untuk bagian ini, tenaga
penjualan ritel dari tujuh retailer terkemuka di Belgia
diwawancarai dalam basis kuesioner terstruktur. Sampel
kami mencakup layanan ritel yang terkait dengan pasar
barang (pertokoan, supermarket, makanan siap saji) atau
‘layanan konsumen’ dan juga layanan ‘murni’ (hiburan,
layanan perawatan kesehatan) (Grönroos, 1983). Secara
menyeluruh, 148 tenaga penjualan ritel dimasukkan
dalam studi kami. Dengan menggunakan perspektif
eksternal, kami mengukur kualitas layanan yang
dirasakan konsumen. untuk bagian ini, kira-kira 100
konsumen diwawancarai untuk masing-masing retailer
yang berhubungan dengan persepsi mereka terhadap
kualitas layanan yang diberikan oleh organisasi ritel.
Secara menyeluruh, 708 konsumen ritel berpartisipasi
dalam studi kami.

Kelelahan Kerja (Burnout) 169


b. Desain Kuesioner
Formalisasi dioperasionalkan dengan menggunakan
enam skala item yang diajukan oleh Ferrell dan Skinner
(1988). Instrumen ini adalah adaptasi skala yang
dikembangkan oleh John (1984). Pemberdayaan
dioperasionalkan dengan menggun-akan sembilan item
instrumen pemberda-yaan yang disarankan oleh Hartline
dan Ferrell (1996). Mereka mengembangkan instrumen
ini dalam basis toleransi skala kebebasan dari LBDQ XII
(Stogdill, 1963). Instrumen pemberdayaan ini terdiri dari
dua dimensi: kompetensi dan kontrol. Konflik peran dan
ambiguitas peran diukur dengan menggunakan empat
belas item instrumen yang dikembangkan oleh Rizzo dan
rekan-rekannya (1970). Dalam instrumen ini, ambiguitas
peran direpresentasikan oleh enam item dan konflik peran
diukur oleh delapan item. Komitmen organisasional
dioperasionalkan dengan menggunakan versi sembi-lan
item Organizational Commitment Questionnaire (OCQ)
yang diajukan oleh Mowday dan rekan-rekannya, (1979)
dan Porters dan rekan-rekannya, (1974).
Para penulis menunjukkan bahwa enam item skor-
terbalik tidak menilai komitmen organisasional, namun
intensi pergantian (Mathie dan Zajac, 1990; Tett dan
Meyer, 1993). Oleh karena itu, kami mereduksi skala OCQ
asli lima belas item menjadi versi sembilan item, dan tidak
termasuk item-item yang mengukur intensi pergantian.
Komitmen terhadap kualitas diukur secara sama.
Bukannya organisasi sebagai obyek komitmen, kualitas
layanan ditunjukkan oleh obyek komitmen. Adaptasi OCQ
ini ditunjukkan oleh Hartline dan Ferrell (1996). Terakhir,
kualitas layanan yang dirasakan dioperasionalkan dengan
menggunakan instrumen SERVPERF dua puluh dua item

170 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


yang diajukan oleh Cronin dan Taylor (1992). Adaptasi
instrumen-SERVQUAL asli ini hanya menggabungkan
elemen persepsi skala asli. Semua item dalam skala
berbeda diukur dengan format tipe-Likert sembilan-poin.

Kelelahan Kerja (Burnout) 171


Table 1 Matriks korelasi urutan-nola,b
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Pemberdayaan 0.82
(keperca-yaan)
2. Pember-dayan 0.61* 0.83
(kebe-basan)
3. Formali-sasi 0.22* 0.13 0.41
4. Ambigui-tas -0.53* -0.30* -0.29* 0.86
peran
5. Konflik peran -0.04 -0.08 -0.03 0.32* 0.82
6. Komitmen 0.42* 0.36* 0.24* -0.56* -0.21* 0.93
organisasi-onal
7. komitmen 0.30 0.26* 0.18* -0.46* -0.12 -0.63* 0.82
terhadap
kualitas
8. kualitas layanan -0.17 -0.18 -0.06 -0.04 0.06 -0.15 0.18* 0.95
yang dirasakan

172 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


a
alpha koefisien dalam diagonal
b
tes two-tailed
p < 0.05
c

d
p < 0.01
e
p < 0.001

5. Properti Pengukuran
Sebagaimana yang dapat diobservasi dalam Tabel 1,
semua skala menampakkan sebuah nilai alpha koefisien yang
melebihi 0.7, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nunnally dan
Bernstein (1994) kecuali untuk formalisasi.
Skala enam item asli yang diajukan oleh John (1984), yang
melaporkan alpha koefisien yang relatif rendah sebesar 0.63,
memiliki sebuah alpha koefisien sebesar 0.32 dalam studinya.
Supaya bisa memperbaiki reliabilitas item-skala dengan
korelasi total-item yang lebih rendah dari 0.2 dihilangkan dari
skala asli. Alpha koefisien untuk tiga item lain adalah 0.41.
Penghilangan item selanjutnya tidak menghadirkan perbaikan
substansial apapun dalam konsistensi internal. Selanjutnya,
dimensionalitas instrumen pemberdayaan dieksplorasi.
Analisis faktor umum (PFA dengan rotasi varimaks) dijalankan
dan dalam basis scree plot, kami menemukan solusi dua-faktor.
Ini menampakkan muatan (loading) tinggi dalam faktor-faktor
yang telah diduga; kompetensi dan kontrol.

Kelelahan Kerja (Burnout) 173


-
Formalisasi

-
Ambiguitas
peran
-

Komitmen
+
organisasional
-
- PSQ
+

- +

Komitmen
+ terhadap
kualitas
Konflik Peran
-

Pemberdayaan
Gambar 1 Kerangka Konseptual

174 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


6. Analisis Data
Studi ini menggunakan desain level-silang. Dalam desain
ini, fenomena pada satu level mempengaruhi fenomena pada
level lain (Klein dan rekan-rekannya, 1994; Rousseau, 1978,
1985). Dalam studi ini, kami membedakan dua level: (1) unit
organisasional dan (2) karyawan ritel individuil. Tujuan studi
kami adalah untuk mengukur semua konstruk pada level
terendah. Namun demikian, kualitas layanan yang dirasakan
bukanlah hasil dari usaha individu, namun unit organisasional
secara menyeluruh. Sebagai hasilnya, muncul kesulitan dalam
mempertalikan kualitas layanan yang dirasakan terhadap
karyawan ritel khusus. Oleh karena itu, kami mengukur kualitas
layanan yang dirasakan pada level unit organisasional. Semua
konstruk diukur pada level karyawan ritel individuil.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rousseau (1978),
karyawan ritel individual adalah unit analisis. Untuk data
eksternal, ini berarti bahwa, skor kualitas layanan yang
dirasakan dikalkulasi untuk tujuh unit ritel. skor mean tersebut
ditetapkan bagi karyawan ritel individuil yang sesuai. Dengan
kata lain, masing-masing karyawan dalam unit tertentu memiliki
skor kualitas layanan yang dirasakan yang sama.
Kami menggunakan path analysis untuk menguji hipotesis
yang telah disebutkan sebelumnya. Selama skala yang
dipublikasikan dengan properti psikometrik digunakan, kami
memutuskan untuk tidak memisahkan beberapa skala ke dalam
beberapa indikator (Schmitt dan Bedeian, 1982; Williams dan
Hazer, 1986). Walaupun demikian, efek bias potensial atas
kesalahan pengukuran harus dipertimbangkan (Bagozzi,
1980a,b; Bollen, 1989; James dan rekan-rekannya,, 1982;
Kenny, 1979). Oleh karena itu, kami menggunakan sebuah
pendekatan alternatif yang diajukan oleh Williams dan Hazer
(1986). Mereka menunjukkan proses dua-tahap, di mana model

Kelelahan Kerja (Burnout) 175


pengukuran lebih dahulu ditentukan dan kemudian digunakan
dalam tahap kedua ketika model struktural destinasi. Secara
lebih khusus, reliabilitas variabel-variabel yang diukur
digunakan untuk menspesifikasikan model pengukuran
(bandingkan dengan Kenny, 1979; Loehlin, 1987). Path dari
semua konstruk ke indikatornya (x,Yij) sama dengan square root
(akar kwadrat) reliabilitas indikator itu dan error variance (i, i)
sama dan satu dikurangi reliabilitas dalam kasus penggunaan
matriks korelasi sebagai input. Tabel 2 menunjukkan
representasi matriks kerangka konseptual.
Sebuah matriks korelasi dalam basis penghilangan
listwise atas nilai-nilai yang diabaikan dikalkulasi dengan
menggunakan PRELIS (lihat juga Tabel 1) dan digunakan
sebagai input untuk LISREL 7. Program ini memberikan estimasi
kemungkinan-maksimum atas parameter bebas dalam
kerangka konseptual. Goodness-of-fit dapat dinilai dengan
mengguna-kan statistik X2 yang sesuai, root-mean-square
residual (RMSR) dan beberapa fit indices, seperti indeks
goodness-of-fit (GFI) dan indeks goodness-of-fit yang ssuai
(AGFI) (Hu dan Bentler, 1995; jöreskog dan Sörbom, 1989).
Terlepas dari ukuran-ukuran absolute fit tersebut, kami juga
menggunakan nilai normed fit index (NFI) yang diajukan oleh
Bentler dan Bonett (1980). Apa yang disebut sebagai
incremental fit index didasarkan pada perbandingan antara
model null struktural dan model yang diajukan. Model null
struktural tidak mengasumsikan relasi antara variabel endogen
dan eksogen (bandingkan dengan William dan Hazer, 1986).
Secara lebih khusus, NFI didefinisikan sebagai berikut (Bentler
dan Bonett, 1980):
Penggunaan model-model kausal disokong oleh para
peneliti terkemuka dalam bidang teori organisasional (Jackson
dan Schuler, 1985; King dan King, 1990; Van Sell dan rekan-

176 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


rekannya, 1981). Model-model kausal diizinkan untuk menguji
efek-efek anteseden dan outcome dalam ambiguitas peran dan
konflik peran dan lebih disukai untuk analisis korelasi dan
regresi.

7. Hasil-Hasil
Tabel 3 meringkas hasil-hasil analisis kami. Dari Tabel ini,
dapat diobservasi bahwa model konseptual yang diajukan
menunjukkan sebuah fit yang memadai untuk data itu.
Statistik 2 yang sama dengan 20.23 dengan 12 tingkat
kebebasan (p = 0.063) dengan GFI = 0.966 dan AGFI = 0.899.
NFI sama dengan 0.890 yang memperkirakan level sebesar 0.9
seperti yang direkomendasikan, RMSR memiliki nilai yang dapat
diterima sebesar 0.054. indikasi selanjutnya untuk goodness-
of-fit disediakan oleh sebuah analisis residual standar yang
sesuai dan plot-Q (Jöreskog dan Sörbom, 1989). Hanya empat
dari 2.58, yang diajukan oleh Jöreskog dan Sörbom 91989)
sebagai cut-off value. Pemerik-saan visuil plot-Q itu
memperkuat penemuan-penemuan kami, selama residual
dikelompokkan di seputar garis 450. Terakhir, koefisien
determi-nasi model struktural adalah 0.514. Dengan kata lain,
51.4% variansi dijelaskan oleh variabel-variabel eksogen.

Tabel 3 Hasil-hasil path-analysis


Model df 2 p RMSR GFI AGFI NFI
Moo* 25 184.05 <0.001 0.226 0.766 0.663 -
Mo1 12 20.23 0.063 0.063 0.966 0.899 0.890
Mo2 17 13.53 0.700 0.943 0.978 0.952 0.926
*Strctural null model

Kelelahan Kerja (Burnout) 177


Meskipun kami menemukan sebuah fit yang dapat
diterima untuk model yang diajukan, kami selanjutnya
memodifikasi model itu supaya bisa mencapai sebuah
representasi parsimoni berlebih terhadap data itu (bandingkan
dengan McCallum, 1986). Untuk memulainya, kami
menghilangkan path non-signifikan dari model itu. Selanjutnya,
kami menyelidiki indeks-indeks modifikasi. Hal tersebut
menunjukkan perbaikan dalam tes 2 menyeluruh yang akan
dicapai jika parameter itu adalah bebas. Tidak ada indeks
modifikasi yang lebih tinggi daripada 3.841 ditemukan (2
dengan 1 tingkat kebebasan dan x = 0.05). model revisi yang
dihasilkan (M02) disajikan dalam Gambar 2.
Fari Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai 2 untuk M02 adalah
13.53 dengan 17 tingkat kebebasan (p = 0.700). RMSR, GFI,
AGFI, dan NFI menunjukkan sebuah perbaikan substansial dari
M01 sampai model M02. Lebih lanjut, tak satupun residual
standar yang sesuai melebihi 2.58 dalam nilai mutlak. Untuk
plot-Q, beberapa penemuan adalah sama dengan Model 01.
Terakhir, koefisien determinasi model struktural meningkat dari
0.514 sampai 0.571.
Berkaitan dengan anteseden stressor peran, hasil-
hasilnya menunjukkan hubungan negatif antara formalisasi dan
ambiguitas peran dan pemberdayaan dan ambiguitas peran,
selama tidak ada hubungan signifikan antara formalisasi dan
konflik peran dan pemberdayaan dan konflik peran yang
ditemukan. Hasil-hasilnya mendukung hipotesis 1 saja,
sedangkan hipotesis 2, 3, dan 4 harus ditolak. Berkaitan dengan
dua stressor peran, nampaknya terdapat hubungan positif
antara konflik peran dan ambiguitas peran. Ini berarti bahwa
hipotesis 5 harus diterima. Selanjutnya, terdapat hubungan
negatif antara ambiguitas peran dan komitmen organisasional
dan antara ambiguitas peran dan kualitas layanan yang

178 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


dirasakan tidak didukung oleh data itu, yang menimbulkan
penolakan hipotesis 10. Berhubung-an dengan konsekuensi-
konsekuensi konflik peran, tidak ada hubungan signifikan antara
konflik peran dan komitmen organisasional, komitmen terhadap
kualitas dan kualitas layanan yang dirasakan yang ditemukan.
Oleh karena itu, hipotesis 7, 9,dan 11 ditolak. Terakhir,
hipotesis 12 dan 13 menjawab efek-efek komitmen
organisasional dan komitmen terhadap kualitas dalam kualitas
layanan yang dirasakan. Komitmen organisasional memiliki efek
negatif pada kualitas layanan yang dirasakan; hipotesis 12
didukung. Alternatifnya, penemuan-penemuan kami menam-
pakkan bahwa komitmen terhadap kualitas memi-liki dampak
positif pada kualitas layanan yang dirasakan, sehingga
mendukung hipotesis 13.

8. Diskusi
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil-nya, formalisasi
dan pemberdayaan menimbulkan turunnya ambiguitas peran.
Hubungan negatif antara formalisasi dan ambiguitas peran
sesuai dengan penemuan-penemuan sebelumnya dari literatur
ini; keberadaan aturan-aturan formal dan rutinitas
mengklarifikasi harapan-harapan peran tenaga penjualan ritel,
yang mereduksi ambiguitas peran. Namun demikian, penemuan
kami yang berkaitan dengan hubungan antara pemberdayaan
dan ambiguitas peran bertentangan dengan hasil-hasil yang
diperoleh oleh Hartline dan Ferrell (1996). Ini dipakai untuk
aspek-aspek kontrol dan kompetensi dalam pemberdayaan itu.
Perwakilan penjualan yang diizinkan untuk menginterpretasi
kan beberapa norma dan prosedur akan mampu mereduksi
ketidakpastian tentang apa yang seharusnya dijalankan dan
bagaimana menjalan-kannya, bahkan dalam setting supervisi
dekat seperti retailing.

Kelelahan Kerja (Burnout) 179


Dampak pemberdayaan dalam ambiguitas peran adalah
relatif lebih kuat daripada dampak formalisasi pada ambiguitas
peran. Ini kelihatan-nya menunjukkan bahwa dalam pemberian
layanan ritel, beberapa karyawan memerlukan kebijakan dan
prosedur namun di atas itu semua, kebebasan untuk
menyesuaikan hal tersebut tentunya diperlukan. Ini
menunjukkan bahwa dalam setting ritel, pemberdayaan
mungkin perlu digerakkan secara prosedural Bowen dan Lawler,
1995), atau sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bourgeois dan
Brodwin (1984), agar pemberdaya-an itu efektif, ini seharusnya
diarahkan oleh tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan atasan.
Kami gagal untuk menemukan hubungan signifikan antara
formalisasi dan konflik peran dan pemberdayaan dan konflik
peran. Sebaliknya, konflik peran nampaknya tidak memiliki efek
pada komitmen organisasional, komitmen ter-hadap kualitas
dan kualitas layanan yang dirasakan. Beberapa alasan terhadap
hasil-hasil tersebut disuguhkan pada literatur ini. Behrman dan
Perreault (1984) berargumen bahwa aspek-aspek konflik
adalah inheren pada posisi penjualan dan bebas dari formalisasi
dan pember-dayaan. Singh dan Rhoads (1991) menunjukkan
bahwa konflik peran tidak mudah dikontrol oleh manajemen
dari sudut pandang strategi-strategi formalisasi dan/atau
pemberdayaan. Tentu saja, ditunjukkan bahwa karakteristik-
karakteristik personal tenaga penjualan (misalnya, daya inovasi,
locus of control) menawarkan sebuah penjelasan yang lebih baik
mengenai konflik peran (Behrman dan Perreault, 1984).
Johnston dan rekan-rekannya (1990) menunjukkan
bahwa level konflik menengah mungkin adalah baik untuk
tenaga penjualan dan tidak akan memiliki efek negatif pada
komitmen terhadap terhadap organisasinya. Terakhir, muncul
argumen bahwa hanya karyawan itu sajalah yang dapat
menanggulangi konflik peran yang sebenarnya akan tetap

180 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


berada pada posisi terbatasnya (Goolsby, 1992). Pada waktu
yang bersamaan, konflik peran terkait positif dengan ambiguitas
peran. Ini adalah sesuai dengan penemuan-penemuan
Behrman dan Perreault (1984) yang berargumen bahwa
tuntutan pekerja-an yang bertentangan akan menimbulkan
ambiguitas yang lebih tinggi.
Ambiguitas peran terkait negatif dengan komitmen
organisasional dan komitmen terhadap kualitas. ini juga sesuai
dengan penemuan-penemuan empiris sebelumnya. Jika para
karyawan menganggap komitmen organisasional sebagai hasil
dari pendapatan dikurangi biaya, maka tingkat tinggi ambiguitas
peran akan merepresentasikan biaya yang akan menimbulkan
ikatan komitmen individu yang lemah jika keuntungan dari
organisasi tetap konstan (Michael dan rekan-rekannya, 1988).
Alternatifnya, ambiguitas peran yang kecil akan memudahkan
anggota-anggota organisasional untuk mendefini-sikan sebuah
komitmen yang jelas terhadap kualitas layanan (Hartline dan
Ferrell, 1996).
Terdapat hubungan negatif yang relatif kuat antara
komitmen organisasional dan kualitas layanan yang dirasakan.
Ini adalah bertentangan dengan outcome studi yang dilaporkan
oleh Boshof dan Mels (1995) yang melaporkan sebuah jalur
kausal positif dari komitmen organisasional terhadap kualitas
layanan. Perbedaan dalam hasil-hasil ini bisa dijelaskan dengan
dua cara.

Kelelahan Kerja (Burnout) 181


-30
(-2,35)

-65
Formalisasi (-8,67)

-71
(-5.00)
Ambiguitas peran

Komitmen
organisasional
-54
(-4.25)
PSQ

-34
-52 (4.72)
(-5,31)
Komitmen
terhadap kualitas -80
(4.17)
Konflik Peran

Gambar 2. Hasil-hasil untuk model revisi (M02)

Pemberdayaan

182 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Boshof dan Mels (1995) menggunakan penilaian
manajemen kualitas layanan yang dirasakan bukan evaluasi
oleh konsumen itu sendiri yang menjelaskan perbedaan dalam
hasil-hasilnya. Lebih lanjut, muncul argumen bahwa personel
kontak konsumen yang memiliki aktivitas-aktivitas terbatas dan
ekstensif (misal-nya, tenaga penjualan dalam penjualan ritel)
kemungkinan besar berkomitmen terhadap konstituensi yang
kepentingannya kelihatan ber-tentangan dengan kepentingan
organisasi (Johnston dan rekan-rekannya, 1990). Ikatan-ikatan
komitmen lainnya tersebut mungkin akan menghasilkan banyak
komitmen tenaga penjualan ritel kepada para koleganya,
norma-norma profesional dan konsumen (Reicher, 1985).
Argumen berikutnya didukung oleh dampak positif komitmen
terhadap kualitas dalam layanan yang dirasakan selama tipe
komitmen ini lebih terorientasi pada konsumen. Komitmen
terhadap kualitas akan membantu mereduksi kesenjangan
layanan berbeda dan mempertinggi pemberian layanan
bermutu.
Sebagian dari kekuatan proyek penelitian terletak pada
pengakuan batas-batasnya. Batasan-batasan tersebut mungkin
akan berfungi sebagai poin untuk agenda penelitian mendatang.
Kami hanya mengidentifikasi tiga pengaruh organisasio-nal
(yakni formalisasi, pemberdayaan,dan konflik peran)dalam
model kami pada ambiguitas peran. Selama faktor-faktor
tersebut menjelaskan 59% variansi dalam ambiguitas peran
dan hasil ini nampaknya lebih dapat diterima, ada baiknya
menguji pengaruh variabel personal, seperti daya inovasi,
kreativitas, sikap terhadap keluhan dan locus of control, sebagai
anteseden terhadap ambiguitas peran selama karakteristik-
karakteris-tik tersebut kerap kali berada dalam posisi terbatas
(Michaels dan rekan-rekannya, 1988). Ini meningkatkan

Kelelahan Kerja (Burnout) 183


kekuatan konseptual dan juga eksplanatory model stressor
peran.
Dari studi-studi sebelumnya, kami telah mempelajari
bahwa hasil-hasil mengenai hubung-an antara konflik peran dan
anteseden yang digabungkan dalam model kami digabungkan.
Namun demikian, berkaitan dengan kapasitas eksplanatory
sederha-na atas konflik peran dalam model kami, hal yang
seharusnya diperhatikan yakni konflik dapat menjadi banyak
bentuk (intersender, intrasender, peran-seseorang, dan
interrole) sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kahn dan rekan-
rekannya (1964). Selama operasionalisasi konflik peran kami
mencermin-kan pengukuran konflik peran menyeluruh saja,
nampaklah bahwa efek-efek tipe konflik khusus tidak dapat
diobservasi pada level agregat. Penelitian tambahan diperlukan
untuk menguji anteseden dan konsekuensi banyak tipe konflik
peran dalam setting layanan.
Kedua, komitmen terhadap organisasi nampaknya bukan
merupakan tujuan yang diinginkan selama ini memiliki dampak
negatif pada kualitas layanan yang dirasakan konsumen. Dalam
setting layanan-layanan ritel, beberapa karyawan yang tidak
begitu berkomitmen terhadap organisasinya mungkin akan
membiar-kan kepentingan organisasi berlaku di atas
kepentingan konsumen. namun demikian, ini bukan berarti
bahwa beberapa ukuran seharusnya diambil untuk menurunkan
komitmen organisasio-nal demi kepentingan tingkat kualitas
layanan yang dirasakan. Isu-isu lain mungkin akan
bermunculan, selama komitmen organisasional kelihatan
mereduksi intensi karyawan untuk pergi (Williams dan Hazer,
1986). Kami perlu mengetahui lebih banyak tentang Hu
komitmen organisasional-kualitas yang dirasakan dan
bagaimana ini beroperasi dalam konteks layanan ritel. Terdapat
penjelasan bahwa selama kon-sekuensi perampingan dan

184 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


oursourcing (Hammer dan Champy, 1993; Hamel dan Prahalad,
1994) dan fakta bahwa tidak ada ‘pengamatan emas’ berlebih
yang dihadirkan kepada karyawan yang loyal, dampak
komitmen organisasional akan mengalami perubahan. Sebagai
akibatnya terlihat bahwa fokus pada konsumen mungkin akan
menjadi lebih eksplisit. Penelitian selanjutnya tentang
hubungan komit-men organisasional-kualitas yang dirasakan
akan dibenarkan.
Di sisi lain, penemuan-penemuan kami menunjukkan
bahwa komitmen terhadap kualitas memiliki efek positif pada
kualitas layanan. Selama dua tipe komitmen yang digabungkan
dalam studi kami menjelaskan lebih dari 20% variansi dalam
kualitas layanan yang dirasakan, gagasan mengenai banyak
konstruk komitmen dalam setting ritel tentu saja akan
memerlukan perhatian lebih lanjut. Penelitian mendatang
seharusnya menguji tipe-tipe lain komitmen (misalnya,
komitmen terhadap kolega, departe-men, komunitas,
manajemen vs. Komitmen karyawan terhadap kualitas) dan
dampak potensial serta relatifnya pada kualitas layanan yang
dirasakan.
Ketiga, kami membatasi pengujian kami pada persepsi-
persepsi kualitas layanan sebagai konsekuensi stress peran
karyawan penjualan. Penelitian tambahan diperlukan untuk
memodel konsekuensi-konsekuensi tersebut dari sudut
pandang intensi dan perilaku konsumen (misal-nya, pembelian
berulang, loyalitas terhadap merek, keluhan, komunikasi dari
mulut-ke-mulut). Beberapa batasan juga terletak pada
pemodelan kompabilitas prosedur yang diikuti. Meskipun model
terformulasi mempengaruhi hubungan yang diobservasi dan
mengizinkan kita untuk menguji hipotesis tentang anteseden
dan konsekuensi stressor peran, hal yang seharusnya
diperhatikan yakni statistic fit mungkin bisa dicapai dengan

Kelelahan Kerja (Burnout) 185


model-model selain model-model yang telah kami uji dalam
studi kami. Meskipun terdapat fakta bahwa kami menggunakan
sebuah sampel multi-perusahaan, ukuran-ukuran gabungan
multi-item yang telah ditetapkan dengan baik dan perspektif-
nya bersifat dyadic (memiliki dua elemen yakni karyawan-
konsumen), penemuan-penemuan kami dibatasi oleh artifak
yang rumit dengan ukuran-ukuran level yang sama, misalnya,
dengan memasukkan berbagai toko dari organisasi ritel yang
sama. Terakhir, hasil-hasil kami perlu diverifikasi oleh desain
penelitian longitudinal dan meluas ke setting layanan melebihi
retailing.

9. Implikasi-Implikasi Manajerial
Implikasi-implikasi manajerial atas pene-muan-
penemuan kami memakai anteseden dan konsekuensi stressor
peran dalam organisasi-organisasi ritel. Formalisasi dan
pemberdayaan bisa mereduksi level ambiguitas peran tenaga
penjualan ritel yang memiliki dampak negatif yang kuat pada
komitmen terhadap kualitas. selama formalisasi dan
pemberdayaan sama-sama eksis, kontingensi pendekatan itu
bergantung pada penggunaan tugas-tugas non-rutin dan
tekanan yang kompleks, prediktabilitas lingkungan ritel dan
pertumbuhan dan kebutuhan sosial karyawan seharusnya
dipertimbangkan ketika memilih gabungan optimum formalisasi
dan pemberdayaan secara cermat (Bowen dan Lawler, 1995).
Selan-jutnya, beberapa ukuran seharusnya digunakan untuk
mereduksi konflik peran selama hal ini memiliki pengaruh
signifikan pada ambiguitas peran. Ukuran-ukuran tersebut
mencakup perbaik-an di atas dan di bawah komunikasi dan
peng-gunaan training formal pada pengetahuan dan skill
terkait-tugas (Hartline dan Ferrell, 1996).

186 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Komitmen terhadap kualitas adalah sebuah determinan
signifikan persepsi-persepsi konsumen atas kualitas layanan.
Retailer seharusnya menjalankan beberapa tahap untuk
meningkatkan tipe komitmen ini di antara beberapa karyawan-
nya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa cara yang
efisien untuk mengevaluasi sikap dan perilaku orientasi-
konsumen adalah dengan mengevaluasi dan menghargai tipe
komitmen ini (Reardon dan Enis, 1990). Secara lebih khusus, ini
berarti penetapan kriteria kinerja kualitas layanan, pemantauan
dan penyediaan feedback individuil dan kelompok dalam
kualitas layanan, penetapan program pengakuan yang memuat
penghargaan finansial dan non-finansial dan mengintegrasikan
kualitas layanan dalam program-program pengem-bangan
personel.

8.4. Penelitian: George S. Low, David w. Cravens, Ken


Grant, & William C. Moncrief

Anteseden Dan Konsekuensi-Konsekuensi Burnout Tenaga


Penjualan

ABSTRAK
Investigasilah anteseden dan outcome burnout tenaga
penjualan. Penelitian sebelumnya tentang burnout dalam
penjualan personal diperluas dengan memasukkan serangkaian
prediktor burnout berlebih, dan dengan menguji model
konseptual burnout dengan menggunakan sampel multi-
perusahaan tenaga penjualan lapangan dalam sebuah setting
internasional. Hubungan di antara burnout, sikap, dan perilaku
diprediksi berdasarkan literatur yang relevan, dan diuji dengan
menggunakan hasil-hasil survey dari 148 tenaga penjualan

Kelelahan Kerja (Burnout) 187


lapangan di Australia. Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa
model konseptual yang diajukan sesuai dengan data itu.
Motivasi intrinsik, ambiguitas peran, dan konflik peran
semuanya adalah anteseden burnout yang signifikan. Kepuasan
kerja dan kinerja tenaga penjualan adalah outcome langsung
burnout, dan juga memediatori pengaruh burnout tak langsung
pada komitmen organisasional dan intensi untuk meninggalkan
organisasi. Beberapa implikasi terhadap manajemen tenaga
penjualan dan penelitian mendatang didiskusikan.

Kata kunci: Tenaga penjualan, burnout, sikap karyawan,


motivasi.

Burnout mencapai proporsi epidemis di antara para


karyawan Amerika. Tempat kerja saat ini adalah lingkungan
yang dingin bermusuhan, dan menuntut, baik dari segi ekonomi
maupun psikologis. Orang-orang akan merasa letih ditinjau dari
sudut pandang emosi, fisik, dan spiritualnya (Maslach dan
Leiter, 1997).
Penelitian terbaru mulai menunjukkan bahwa burnout
adalah penting dalam menjelaskan beberapa perilaku dan sikap
dalam lingkungan kerja stress-tinggi (misalnya, Lee dan
Ashforth, 1996). Namun hanya satu studi (Singh dan rekan-
rekannya, 1994) saja yang dipublikasikan dalam literatur
marketing dalam efek-efek burnout pada sikap dan perilaku
personel marketing, meskipun terdapat beberapa indikasi
bahwa penjualan oleh personal mungkin adalah suatu
pekerjaan yang rentan terhadap tingkat burnout yang tinggi
(Moravec dan rekan-rekannya, 1990; Korschun, 1993). Studi
terkait lainnya menguji komponen keletihan emosional dalam

188 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


sebuah studi tenaga penjualan (Babakus dan rekan-rekannya,
1999).
Burnout adalah fokus penelitian kami untuk beberapa
alasan. Pertama, efek-efek negatif pada karyawan meliputi
biaya-biaya substansial akibat pergantian, ketidakhadiran, dan
berkurangnya produktivitas (Cordes dan Dougherty, 1993).
Kedua, pemahaman mengenai peran burnout dalam lingkungan
penjualan bisa membantu memedomani manajemen dalam
mereduksi efek-efek berbahayanya. Ketiga, burnout dalam
studi-studi penelitian non-penjualan ditemukan terkait dengan
beberapa sikap dan perilaku yang juga penting dalam
lingkungan penjualan (Lee dan Ashforth, 1990; 1996).
Singh dan rekan-rekannya (1994) meng-analisis burnout
sebagai mediator parsial antara stressor peran dan perilaku
kunci dan juga outcome kerja psikologis. Penelitiannya, yang
menggunakan perwakilan layanan konsumen yang ditelepon,
menunjukkan nilai burnout dalam memahami perilaku individu
dalam posisi terbatas. studinya diadakan dalam sebuah
organisasi tunggal dengan menggunakan beberapa responden
yang pekerjaannya berbeda dalam beberapa hal dari tenaga
penjualan lapangan yang kerap kali bekerja juga dari
organisasinya. Tenaga penjualan lapangan, yang berkomunikasi
secara personal dengan beberapa konsumen sebagai bagian
dari tanggung jawab kerja yang menuntut dan kurang
terstruktur, secara potensial adalah lebih rentan terhadap efek-
efek burnout. Selain itu, Singh dan rekan-rekannya (1994)
merasakan bahwa literatur itu tidaklah dikembangkan dengan
cukup untuk mengajukan dam menguji hubungan antara
stressor individuil seperti konflik peran dan outcome khusus
seperti kepuasan kerja – mereka memilih untuk
menggabungkan variabel-variabel tersebut ke dalam konstruk-
konstruk urutan-tinggi (stresssor peran, outcome psikologis),

Kelelahan Kerja (Burnout) 189


dengan menyederhanakan analisisnya namun membatasi
validitas eksternal penemuannya.
Babakus dan rekan-rekannya (1999) berusaha untuk
menjawab kelemahan yang terbukti dalam Singh dan rekan-
rekannya (1994) dengan menggunakan tenaga penjualan
lapangan dan dengan memodel hubungan antara konstruk-
konstruk terpisahnya. Namun demikian, Babakus dan rekan-
rekannya (1999) hanya mempelajari satu komponen burnout –
keletihan emosional – dan juga menggunakan sebuah sampel
perusahaan tunggal. Lebih lanjut, tidak ada penelitian yang
dikenal telah menguji burnout tenaga penjualan lapangan di luar
Amerika Serikat. Tidak terdapat juga penelitian yang mencakup
motivasi intrinsik, sebuah anteseden yang bisa membantu
mereduksi burnout dalam lingkungan penjualan personal.
Tujuan makalah ini adalah untuk menjawab kesenjangan
penelitian dalam riset tentang burnout dalam penjualan
persolan dengan mereplikasi secara parsial dan memperluas
riset yang sebelumnya diadakan oleh Singh dan rekan-rekannya
(1994) dan Babakus dan rekan-rekannya (1999) dengan
menguji beberapa anteseden dan outcome burnout. Kami
menambahkan aliran riset yang berkembang ini dengan:
 Menguji model keletihan emosional Babakus dan rekan-
rekannya dalam sebuah setting nasional berbeda dan
menggunakan sampel multi-perusahaan;
 Menguji beberapa anteseden dan konsekuensi yang
dimodel oleh Babakus dan rekan-rekannya (1999) dengan
menggunakan konstruk burnout penuh; dan
 Memasukkan motivasi intrinsik dalam beberapa model
yang diajukan oleh Babakus dan rekan-rekannya (1999)
dan Singh dan rekan-rekannya (1994) dalam lingkungan
penjualan lapangan multi-perusahaan.

190 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Kami juga memecahkan inkonsistensi khusus yang
terbukti dalam hasil-hasil dua studi tersebut dengan
memasukkan hubungan tambah-an. Tujuan utama kami dalam
menjawab kelemahan penelitian sebelumnya adalah untuk
meningkatkan generalisabilitas serangkaian pene-muan riset
burnout yang baru.
Dalam bagian berikutnya, kami mengem-bangkan model
konseptual kami dan mengajukan hipotesis berdasarkan
padanya, menjelaskan metodologi penelitian kami,
menghadirkan hasil-hasil kami, dan mendiskusikan implikasi-
impli-kasinya untuk praktek marketing dan penelitian
mendatang.

Model Konseptual dan Hipotesis


Model konseptual yang ditunjukkan dalam Gambar 1
memakai beberapa anteseden dan konsekuensi logika burnout
yang diajukan oleh Singh dan rekan-rekannya (1994), sambil
mereplikasi dan memperluas konseptualisasi keletihan
emosional yang ditawarkan oleh Babakus dan rekan-rekannya
(1999)[1]. Model kami memperluas modelnya dengan
memasukkan motivasi intrinsik sebagai anteseden burnout,
dengan menguji konstruk burnout komplit,dan
mempertimbangkan beberapa pijakan tambahan. Yang penting,
konseptualisasi kami adalah sebuah permulaan substansial dari
replikasi langsung penelitian Babakus dan rekan-rekannya
(1999). Dasar pemikiran pendukung terhadap hipotesis yang
didukung oleh penemuan empiris dalam penelitian terbaru dan
terkait (misalnya, Babakus dan rekan-rekannya, 1999, Singh
dan rekan-rekannya, 1994)secara ringkas dipresentasikan
dalam bentuk ringkasan dan dimasukkan untuk kesempurnaan.

Kelelahan Kerja (Burnout) 191


Dasar pemikiran terhadap hubungan hipotesis yang tidak begitu
banyak didukung dalam literatur itu adalah lebih bersifat
menyeluruh.

Burnout
Penelitian burnout yang masih ada pada dasarnya
menekankan pekerjaan layanan seperti perawatan anak dan
pekerjaan medis di mana para karyawan ditampakkan dan
bertanggung jawab terhadap beberapa orang secara lebih
konstan. Penelitian yang dipublikasikan oleh Cordes dan
Dougherty (1993) menunjukkan bahwa burnout mungkin
berlaku pada tipe-tipe karir dan setting lainnya. Burnout
didefinisikan sebagai sebuah sindrom respons dengan multi-
dimensi atau segi. Hal tersebut adalah:
 Keletihan emosional;
 Depersonalisasi; dan
 Hilangnya kecakapan personal (Maslach, 1982; Maslach
dan Jackson, 1981; Pines dan Maslach, 1981).

Gambar 1 : Model Anteseden dan Konsekuensi-Konsekuensi Burnout Tenaga


Penjualan

192 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Burnout adalah konstruk penting yang terdiri dari tiga
dimensi yang saling berkaitan dan mungkin memberikan sebab-
sebab umum (Jackson dan rekan-rekannya, 1986).
Personel marketing, yang memiliki kontak ekstensif
dengan orang di luar organisasi, ke-mungkinan besar
mengalami beberapa konse-kuensi burnout (Leiter dan
Maslach, 1988). Secara khusus, tenaga penjualan yang tugas
kerja utamanya adalah untuk menjembatani kesenjang-an
antara beberapa konsumen dan perusahaan, dan bertanggung
jawab terhadap permintaan kedua-nya, adalah rentan terhadap
efek-efek burnout. Tenaga penjualan mungkin akan mengalami
beberapa sumber stress, dan selama stressor tunggal tidak
bersifat disfungsional, efek-efek gabungannya mungkin akan
melebihi kapasitas seseorang untuk menanggulanginya, yang
menim-bulkan meningkatnya level burnout (Singh dan rekan-
rekannya, 1994).

Anteseden Burnout
Tenaga penjualan motivasi intrinsik dan dua stressor
peran utama adalah anteseden burnout. Model konseptual dan
hipotesis penelitian didasarkan pada asumsi bahwa sebuah
strategi penjualan organisasi mengikuti filosofi kontrol
manajemen penjualan berbasis-perilaku bukan penggunaan
kontrol berbasis-outcome (Anderson dan Oliver, 1987). Dengan
mengguna-kan bentuk kontrol ini, beberapa manajer
memfokuskan perhatiannya pada pemantauan, pengarahan,
pengevaluasian, dan penghargaan tenaga penjualan, dan
proporsi kompensasi yang tinggi dijelaskan oleh gaji tetap.
Motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik adalah perasaan
tenaga penjualan atas tantangan atau kompetensi yang
diakibatkan oleh pelaksanaan pekerjaan itu (Keaveney, 1992).

Kelelahan Kerja (Burnout) 193


Tenaga penjualan yang bekerja di beberapa organisasi yang
menggunakan strategi-strategi kontrol manajemen berbasis-
perilaku dan menampakkan level tinggi motivasi intrinsik,
termotivasi untuk memfungsi-kan organisasi penjualan, dan
termotivasi oleh pengakuan rekan sekerja (andreson dan Oliver,
1987; Oliver dan Anderson, 1994; cravens dan rekan-rekannya,
1993). Secara intrinsik, beberapa individu yang termotivasi
lebih mampu menanggulangi situasi kerja yang memerlukan
permintaan yang bertentangan atau ambigu sebagai aspek-
aspek tanggung jawab kerja yang menantang dan merangsang
(Keaveney dan Nelson, 1993). Kami memasukkan anteseden
burnout ini lebih dahulu dalam studi tenaga penjualan sebab
potensinya terhadap pemahaman burnout dalam konteks
tenaga penjualan lapangan.
Ambiguitas dan konflik peran. Stressor peran (ambiguitas
peran dan konflik peran) telah diuji dalam beberapa studi-studi
tenaga penjualan (Ford dkk, 1975; Johnston dkk, 1990;
Michaels dkk, 1987, 1988; Dubinsky dan Mattson, 1979). Para
peneliti telah mempertimbangkan efek-efek langsung stressor
peran sebagai beberapa anteseden kepuasan kerja, performa
kerja, komitmen organisasional, dan intensi pergantian (Brown
dan Peterson, 1993). Singh dkk (1994) menawarkan dukungan
empiris terhadap konstruk burnout sebagai:
 Mediator parsial efek-efek stressor peran dalam outcome
kerja;
 Prediktor outcome kerja yang lebih kuat yang berbanding
dengan satu atau lebih stressor peran.

Ambiguitas peran dan konflik peran, yang ditemukan


sebagai stressor peran penting yang terkait dengan sikap dan
perilaku sikap dan perilaku dalam penelitian sebelumnya,

194 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


diajukan sebagai anteseden burnpout yang terkorelasi (Gambar
1( (Jackson dan Schuler, 1985; Michaels dan Dixon, 1994).
Ambiguitas peran didefinisikan sebagai kondisi yang
menekan yang disebabkan oleh kebingungan karyawan
mengenai harapan-harapan apa tanggung jawab kerja yang ia
emban sebenarnya. Konflik peran didefinisikan sebagai
perbedaan, yang dirasakan oleh karyawan, antara harapan kerja
yang disampaikan oleh banyak sumber (Rizzo dan rekan-
rekannya, 1970). Karyawan yang memperhatikan inkonsistensi
antara deskripsi pekerjaan tertulisnya dan permohonannya dari
manajer adalah sebuah contoh konflik peran.
Secara intrinsik, individu-individu yang termotivasi
kemungkinan besar mengalami konflik peran yang terbatas
dalam pekerjaannya sebab level motivasinya bisa memperkuat
pertahanannya melawan stressor peran ini (Keaveney dan
Nelson, 1993). Beberapa karyawan dengan level tinggi motivasi
intrinsik mungkin memandang konflik peran sebagai sebuah
tantangan yang membuat pekerjaannya menjadi lebih menarik.
Efek-efek serupa diharapkan berkaitan dengan ambiguitas
peran, berdasarkan pada penemuan-penemuan penelitian yang
menetapkan sebuah hubungan positif antara ambiguitas peran
dan konflik peran (Sager, 1994; Brown dan Peterson, 1993).
Berdasarkan pada dasar pemikiran ini, kami mengajukan
bahwa:
H1A : Semakin tinggi level motivasi intrinsik, semakin rendah
konflik peran tenaga penjualan.
H1B : Semakin tinggi level motivasi intrinsik, semakin rendah
ambiguitas peran tenaga penjualan.
H2 : Semakin tinggi level ambiguitas peran, semakin besar
konflik perannya.

Kelelahan Kerja (Burnout) 195


Motivasi intrinsik memudahkan para karyawan untuk
menanggulangi stimuli stress yang muncul dengan membuat
persepsi-persepsi-nya stimuli semacam itu menjadi berat
sebelah (Keaveney dan neslon, 1993). Ini menunjukkan bahwa
motivasi intrinsik bisa mereduksi burnout. Kami mengharapkan
tenaga penjualan yang termotivasi secara intrinsik untuk
menampakkan burnout yang lebih rendah daripada orang-orang
yang secara intrinsik tidak termotivasi. Oleh karena itu kami
menghipotesis bahwa:
H3 : Semakin tinggi level motivasi intrinsik, semakin rendah
burnout tenaga penjualan.

Dua stressor peran terkait, ambiguitas peran dan konflik


peran, telah dipelajari dalam penelitian konseptual dan empiris
burnout sebelumnya. Penemuan-penemuan itu secara
konsisten mendukung sebuah hubungan positif antara stressor
peran dan burnout tersebut (Cordes dan Dougherty, 1993; Lee
dan Ashforth, 1996; Jackson dan rekan-rekannya, 1986; Singh
dan rekan-rekannya, 1994). Sebuah hubungan yang sama
ditemukan antara konstruk-konstruk tersebut dan keletihan
emosional (Babakus dan rekan-rekannya, 1999; Boles dan
rekan-rekannya, 1997). Kami menghipotesis bahwa:
H4A : Semakin tinggi level motivasi intrinsik, semakin besar
burnout tenaga penjualannya.
H4B : Semakin tinggi level konflik peran, semakin besar tenaga
penjualannya.

Konsekuensi-Konsekuensi Burnout
Kami mengajukan sejumlah konsekuensi burnout dalam
kerangka konseptual kami:

196 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


(1) Kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan intensi
untuk meninggalkan organisasi (outcome psikologis
dalam model Singh dan rekan-rekannya (1994)); dan
(2) Kinerja tenaga penjualan (outcome perilaku) (Gambar
1)[1].

Masing-masing konsekuensi tersebut adalah sebuah


konstruk outcome penting dalam penelitian penjualan personal
sebelumnya (Brown dan Peterson, 1993).
Kepuasan kerja. Penelitian sebelumnya menekankan
pentingnya kepuasan tenaga penjual-an dengan pekerjaannya.
Dengan adanya independensi yang sesuai dengan banyak
tenaga penjualan lapangan, dan motivasi-diri yang diperlukan
agar berhasil dalam pekerjaannya, kepuasan kerja adalah
variabel penting dalam memahami perilaku dan sikapnya.
Review penelitian yang dipublikasikan oleh Brown dan Peterson
(1993) menunjukkan bahwa kepuasan kerja seharusnya
dimasukkan dalam model konseptual burnout sebagai outcome
kondisi-kondisi kerja tenaga penjualan dan lingkungan-nya, dan
sebagai variabel anteseden dengan konsekuensi-konsekuensi
seperti komitmen orga-nisasional dan intensi untuk
meninggalkan organisasi (lihat Gambar 1).
Singh dan rekan-rekannya (1994) menawarkan dukungan
empiris untuk hubungan negatif antara burnout dan outcome
psikologis. Selain itu, Lee dan Ashforth (1996), dalam meta-
analisis mereka atas korelasi tiga dimensi burnout dan
kepuasan kerja, menunjukkan sebuah korelasi negatif signifikan
antara dimensi depersonalisasi burnout dan kepuasan kerja.
Oleh karena itu, kami menghipotesis bahwa:
H5 : Semakin besar jumlah burnout, semakin rendah
kepuasan kerja tenaga penjualan.

Kelelahan Kerja (Burnout) 197


Terdapat dukungan konseptual untuk hubungan positif
antara motivasi intrinsik dan kepuasan kerja. Individu yang
terorientasi secara intrinsik kemungkinan besar termotivasi ke
arah tantangan dan stimulasi dalam pekerjannya (Deci dan
Ryan, 1985). Keaveney dan Nelson (1993) melaporkan sebuah
hubungan positif signifikan antara motivasi intrinsik dan
kepuasan kerja dalam sampelnya atas 305 pembeli untuk
organisasi ritel. berdasarkan pada penemuan-penemuan
empiris terkait, kami menawarkan hipotesis sebagai berikut:
H6 : Motivasi intrinsik yang lebih tinggi akan memiliki dampak
positif pada kepuasan kerja tenaga penjualan.

Penelitian mendukung sebuah hubungan negatif antara


stress peran (ambiguitas peran dan konflik peran), dan
kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya (Jackson dan
Schuler, 1985; Netemeyer dan rekan-rekannya, 1990).
Babakus dan rekan-rekannya (1999) menyajikan dukungan
empiris terhadap hubungan negatif antara ambiguitas peran
dan konflik peran dan kepuasan kerja dalam sebuah studi
keletihan emosional perusahaan tunggal. Oleh karena itu,
terdapat dukungan substansial untuk memprediksi efek-efek
negatif dan langsung atas stressor peran dalam kepuasan kerja.
Oleh karena itu, kami menghipotesis bahwa:
H7A : Semakin besar jumlah ambiguitas perannya, semakin
rendah kepuasan kerja tenaga penjualannya.
H7B : Semakin besar jumlah konflik perannya, semakin rendah
kepuasan kerja tenaga penjualannya.

198 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Komitmen organisasional tenaga penjualan dan intensi
untuk meninggalkan organisasi telah dipelajari sebagai
outcome potensial kepuasan kerjanya. Kepuasan kerja
nampaknya terkait positif dengan komitmen organisasional dan
terkait negatif dengan intensi untuk meninggalkan organisasi
(Sager, 1994; Netemeyer dan rekan-rekannya, 1990).
Komitmen organisasional. Komitmen organisasional
didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan dan dedikasi tenaga
penjualan kepada organisasinya (Porter dan rekan-rekannya,
1974). Temuan-temuan penelitian menunjukkan sebuah
hubungan positif antara kepuasan kerja dan komitmen
organisasional (Johnston dan rekan-rekannya, 1990). Namun
demikian, petunjuk kausal dalam hubungan ini adalah ambigu.
Terdapat dukungan konseptual yang lebih kuat terhadap
dampak kepuasan kerja dalam komitmen organisasional
(Babakus dan rekan-rekannya, 1999; Brown dan Peterson,
1993). Berdasarkan pada temuan-temuan tersebut, kami
mengajukan bahwa:
H8 : Level kepuasan kerja yang lebih tinggi akan memiliki
dampak positif pada komitmen organisasional tenaga
penjualan.

Diskusi awal mengenai hubungan antara stressor kerja


dan outcome kerja memberikan logika konseptual terhadap
hubungan langsung antara ambiguitas peran dan komitmen
organisa-sional. Singh dan rekan-rekannya (1994) melaporkan
korelasi negatif signifikan antara ambiguitas peran dan
komitmen organisasional, dan antara konflik peran dan
komitmen organisasional. Dalam Babakus model dan rekan-
rekannya (1999), para penulis menghipotesis sebuah jalur
negatif dari konflik peran terhadap komitmen organisasional,
namun hasil-hasilnya tidak mendukung hipotesis mereka.

Kelelahan Kerja (Burnout) 199


Babakus dan rekan-rekannya (1999) tidak menghipotesis
sebuah hubungan antara ambiguitas peran dan komitmen
organisasional, dan tidak menguji hubungan ini secara empiris
dalam analisis mereka. Selama salah satu tujuan studi ini adalah
untuk memperluas Babakus dan rekan-rekannya (1999), kami
mengajukan dan menguji sebuah hubungan yang sebelumnya
diinvestigasi secara khusus. Sebagai akibatnya, kami
menghipotesis bahwa:
H9 : Level ambiguitas peran yang lebih tinggi akan memiliki
dampak negatif pada komitmen organisasional tenaga
penjualan.

Intensi untuk meninggalkan organisasi. Penelitian


sebelumnya menunjukkan bahwa intensi untuk meninggalkan
organisasi adalah out-come penting dalam memahami perilaku
tenaga penjualan. Meskipun intensi untuk meninggalkan
organisasi adalah SB outcome yang tidak diinginkan bagi
beberapa organisasi, namun ada baiknya memahami
predikatornya supaya bisa meminimalisir dampak negatifnya
pada efektivitas organisasi. Kepuasan kerja dan komitmen
organi-sasional adalah dua prediktor penting yang telah
ditunjukkan dalam studi-studi sebelumnya untuk mereduksi
intensi karyawan untuk meninggalkan organisasi (Babakus dan
rekan-rekannya, 1999; Bedian dan Achilles, 1981; Boles dan
rekan-rekannya, 1987; Netemeyer dan rekan-rekannya, 1990;
Sager, 1994; Johnston dan rekan-rekannya, 1990). Jadi, kami
memprediksi hipotesis sebagai berikut:
H10 : Level kepuasan kerja tenaga penjualan yang lebih tinggi
akan memiliki dampak negatif pada intensi untuk
meninggalkan organisasi.

200 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


H11 : Level kepuasan kerja tenaga penjualan yang lebih tinggi
akan memiliki dampak negatif pada intensi tenaga
penjualan untuk meninggalkan organisasi.

Kami memperluas penelitian sebelumnya dengan


mengonseptualisasikan outcome kerja sebagai konstruk-
konstruk terpisah, termasuk intensi untuk meninggalkan
organisasi sebagai outcome psikologis berbeda. Singh dan
rekan-rekannya (1994) mempertimbangkan variabel-variabel
outcome psikologisnya sebagai konstruk urutan-tinggi tunggal.
Selama pendekatannya adalah berguna pada tahap awal
pengembangan konseptual, kami merasakan bahwa sekarang
terdapat literatur yang cukup untuk memudahkan kita dalam
menjustifikasi hubungan individuil antara beberapa konstruk itu
sendiri (misalnya, Babakus dan rekan-rekannya, 1999). Brown
dan Peterson (1993) memberikan dukungan dalam meta-
analisis untuk hubungan positif antara ambiguitas peran dan
intensi untuk meninggalkan organisasi. Namun demikian,
hubungan langsung antara konstruk-konstruk level tinggi yang
mencakup ambiguitas peran dan intensi untuk meninggalkan
organisasi tidaklah signifikan dalam model burnout Singh dan
rekan-rekannya (1994). Babakus dan rekan-rekannya (1999)
tidak memasukkan jalur langsung dalam mode keletihan
emosional ini. Dengan mengetahui terhadap bukti yang
bertentangan dalam hubungan ini, kami memasukkan
ambiguitas/intensi untuk meninggal-kan jalur dalam model
kami, dan menawarkan hipotesis sebagai berikut:
H12 : Level ambiguitas peran yang lebih tinggi akan memiliki
dampak positif pada intensi tenaga penjualan untuk
meninggalkan organisasi.

Kelelahan Kerja (Burnout) 201


Kinerja. Konseptualisasi kami mengenai kinerja tenaga
penjualan mencakup dimensi out-come dan perilakunya
(Behrman dan Perreault, 1984; Anderson dan Oliver, 1987;
Cravens dan rekan-rekannya, 1993; Oliver dan Anderson,
1994). Dimensi perilaku mempertimbangkan kinerja fungsi-
fungsi yang diharapkan oleh tenaga penjualan (seperti kontak
dan panggilan konsu-men, dan lain sebagainya). Dimensi
outcome menjawab hasil terakhir usaha-usaha tenaga
penjualan.
Penelitian yang telah eksis menunjukkan bahwa
setidaknya satu stressor peran kemung-kinan besar
berpengaruh langsung pada performa kerja. Misalnya, Babakus
dan rekan-rekannya (1999) melaporkan sebuah jalur negatif
signifikan antara ambiguitas peran dan kinerja. Meta-analisis
Brown dan Peterson (1993) juga mendukung efek negatif
ambiguitas peran pada kinerja tenaga penjualan. Kami
mengajukan hipotesis sebagai berikut:
H13 : Level ambiguitas peran yang lebih tinggi akan memiliki
dampak negatif pada kinerja tenaga penjualan.

Yang menarik, kumpulan penelitian sebe-lumnya


menunjukkan tidak adanya hubungan langsung antara konflik
peran dan kinerja (bandingkan Brown dan Peterson, 1993).
Meskipun terdapat dukungan tak langsung terhadap hubungan
ini dalam literatur (Singh dan rekan-rekannya, 1994),
penemuan individuil ini tidak didasarkan pada konstruk-
konstruk stressor peran terpisah. Oleh karena itu, hasil-hasil
dalam studi mereka adalah bertentangan dengan apa yang telah
dihipotesis. Berdasarkan pada kurang-nya temuan-temuan
penelitian yang meyakinkan yang terkait dengan hubungan ini,
kami memilih untuk tidak memasukkannya dalam kerangka
konseptual kami.

202 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Hubungan negatif antara burnout dan kinerja tenaga
penjualan ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya (Singh dan
rekan-rekannya, 1994). Meskipun hubungan ini didasarkan
pada tes empiris yang hanya mengukur dimensi perilaku kinerja,
studi-studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa ukuran-
ukuran perilaku dan kinerja outcome terkorelasi positif (Cravens
dan rekan-rekannya, 1993; Babakus dan rekan-rekannya,
1996). Jadi, kami menghipotesis bahwa burnout akan
berpengaruh merugikan pada kinerja tenaga penjualan
menyeluruh:
H14 : Semakin tinggi level burnout, semakin rendah kinerja
tenaga penjualan.

Sebuah hubungan positif antara kinerja dan kepuasan


kerja dilaporkan dalam beberapa studi. Namun demikian,
hubungan itu secara khusus tidak begitu kuat (Brown dan
Peterson, 1993; Behrman dan Perreault, 1984). Babakus dan
rekan-rekannya (1999) menemukan sebuah jalur positif antara
dua konstruk dalam model keletihan emosionalnya. Namun
demikian, Brown dan Peterson (1993) mengeliminir jalur dalam
meta-analisis kepuasan kerja revisi. Singh dan rekan-rekannya
(1994) melaporkan sebuah korelasi non-signifikan antara dua
konstruk itu.
Berdasarkan pada temuan-temuan penelitian
sebelumnya, kami memutuskan untuk tidak memasukkan jalur
itu dalam model burnout kami, dengan mengenalkan bahwa
sebuah kasus untuk memasukkan hubungan itu dapat juga
dibuat. Bahkan, kami memasukkan sebuah jalur antara kinerja
dan komitmen organisasional yang belum diinvestigasi dalam
penelitian burnout atau keletihan emosional. Brown dan
Peterson (1993) memasukkan jalur kinerja-komitmen dalam
model meta-analisis revisi itu, dan menghilangkan jalur antara

Kelelahan Kerja (Burnout) 203


kinerja dan kepuasan kerja. Walaupun begitu, mereka
berkomentar bahwa kinerja penjualan nampaknya terkait lemah
dengan outcome kerja misalnya, kepuasan kerja, komitmen
organisasional, dan intensi untuk meninggalkan organisasi).
Jadi, jalur kinerja-komitmen memiliki dukungan yang lebih
besar sebelumnya daripada jalur kinerja-kepuasan. Oleh karena
itu, kami menghipotesis:
H15 : Semakin tinggi level kinerja tenaga penjualan, semakin
tinggi pula komitmen organisasional tenaga penjualan
itu.

Tidak terdapat indikasi yang jelas dari penelitian


sebelumnya tentang hubungan antara kinerja dan intensi untuk
meninggalkan organisasi. Dalam studi burnout Singh dan rekan-
rekannya (1994), dua ukuran kinerja representatif layanan
konsumen tidak terkorelasi dengan intensi untuk meninggalkan
organisasi. Babakus dan rekan-rekannya (1999) juga
melaporkan korelasi non-signifikan antara dua konstruk dalam
studi perusahaan tunggal dan tidak memasukkan jalur itu dalam
model mereka. Nampaklah bahwa dampak kinerja pada intensi
untuk meninggalkan organisasi mungkin terjadi secara tidak
langsung melalui kepuasan kerja. Namun demikian,
sebagaimana yang telah diperlihatkan di atas, temuan-temuan
penelitian hanya menunjukkan hubungan positif kecil antara
kinerja dan kepuas-an (Brown dan Peterson, 1993; Behrman
dan Perreault, 1984). Ini menunjukkan bahwa sebuah
hubungan kinerja/intensi untuk meninggalkan organisasi
seharusnya diinvestigasi, dan kami memasukkan jalur itu dalam
model burnout kami. Kami mengajukan sebuah hubungan
negatif meskipun nampak bahwa tenaga penjualan yang
berkinerja-tinggi, yang tidak merasa puasa dengan
pekerjaannya, mungkin menampakkan intensi tinggi untuk
meninggalkan organisasinya. Walau-pun demikian, poin logis

204 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


manajemen dasar terhadap hubungan negatif antara konstruk-
konstruk itu:
H16 : Semakin tinggi level kinerja tenaga penjualan, semakin
rendah intensi tenaga penjualan untuk meninggalkan
organisasinya.

Desain Penelitian
Setting Penelitian
Studi burnout tenaga penjualan sebelumnya hanya
diadakan di Amerika Serikat (Singh dan rekan-rekannya, 1994).
Oleh karena itu, kami beranggapan bahwa ada baiknya
memperluas penelitian itu ke negara lain. Australia memberikan
tempat penelitian yang tepat di mana studi-studi penjualan
sebelumnya telah diadakan (misalnya, Babakus dan rekan-
rekannya, 1996). Lebih lanjut, beberapa eksekutif Australia
pada umumnya mendukung beberapa studi penelitian.
Studi tenaga penjualan dari beberapa perusahaan di
Australia dijalankan untuk menguji beberapa hipotesis yang
dikembangkan dari model konseptual (Gambar 1). Data
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dikirimkan
melalui kantor pos kepada seorang manajer penjualan dalam
masing-masing perusahaan yang berpartisi-pasi. Manajer itu
mendistribusikan salinannya kepada masing-masing tenaga
penjualan. Beberapa responden diminta untuk mengirimkan
survey yang telah diisi secara langsung kepada satu penulis
studi. Pre-tes dengan manajer-manajer penjualan dan tenaga
penjualan diadakan untuk memperbaiki instrumen survey.
Selama banyak skala yang digunakan dalam studi-studi
sebelumnya, tujuan utama pre-tes adalah untuk memastikan
bahwa beberapa terma dan kalimat dapat dipahami oleh para
responden.

Kelelahan Kerja (Burnout) 205


Sampel
Tujuan rencana sampling adalah untuk mengumpulkan
respon-respon tenaga penjualan pada sejumlah besar
organisasi yang memiliki tenaga penjualan di seluruh industri
berbeda. Pemerolehan beberapa respons di beberapa tenaga
penjualan dianggap penting sebab hanya studi burnout tenaga
penjualan sebelumnya sajalah yang diadakan di sebuah
perusahaan tunggal. Tenaga penjualan berasal dari lingkungan
penjual-an berbeda seperti telekomunikasi, percetakan
(komersial, koran/katalog), pengiriman pos, zat kimia, cat,
pengemasan, ban, material bangunan dan makanan ringan.
Sampelnya mencakup beberapa perusahaan yang merepresen-
tasikan produk-produk dan layanan-layanan industrial dan
konsumen.
Metodologi sampling yang ditetapkan dipakai supaya bisa
memasukkan lingkungan penjualan yang bermacam-macam
itu. Ini adalah sebuah metode yang sama dengan studi-studi
penelitian antar-perusahaan dalam arena penjual-an/marketing
(Babakus at al., 1996). Beberapa organisasi yang berpartisipasi
diseleksi dari daftar perusahaan-perusahaan yang menjual
produk-produk dan layanan konsumen dan/atau industrial dan
yang merepresentasikan berbagai macam ukuran tenaga
penjualan dengan sebuah departemen penjualan tertunjuk dan
orang-orang di bidang penjualan. Masing-masing perusahaan
dikontak melalui telepon untuk menentukan apakah seorang
tenaga penjualan lapangan beroperasi dan apakah manajer
penjualannya mau bekerjasama dalam studi itu. Beberapa
manajer tersebut mendistribusikan beberapa kuesioner kepada
tenaga penjualan individuil yang kemudi an akan
mengembalikannya secara langsung kepada para peneliti,
untuk memastikan kerahasia-annya.

206 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Untuk alasan etika, kuesioner jelas menyata-kan sifat
studi yang non-kompulsory atau tak wajib. Manajer-manajer
penjualan mendistribusi-kan memorandum yang menekankan
signifi-kansi studi itu dan memohon kerja sama tenaga
penjualan. Perusahaan-perusahaan yang berpar-tisipasi
diberikan sebuah ringkasan mengenai hasil-hasil penelitian.
Total 148 tenaga penjualan dari 27 perusahaan berpartisipasi
dalam studi ini. beberapa respons diperoleh dari 55 persen
tenaga penjualan di beberapa perusahaan yang setuju untuk
berpartisipasi dalam studi ini. tingkat respons sebesar 55
persen adalah tingkat yang diharapkan sebab panjangnya
kuesioner. Kisaran dan tingkat respons memenuhi tujuan-
tujuan sampel untuk memasukkan data dari beragam
lingkungan penjualan.
Bias non-respons dicek dengan menganalisis secara teliti
karakteristik-karakteristik sampelnya; 87 persen sampel adalah
pria, 13 persen adalah wanita. Dari orang-orang yang
merespons, 52 persen adalah lulusan college. Usia rata-rata
responden adalah 34 tahun, dan lama kerja rata-rata pada
perusahaannya adalah empat tahun. Hal tersebut adalah
karakteristik demografi untuk tenaga penjualan di area
geografis yang disampelkan.

Instrumen Pengukuran
Beberapa konstruk dalam Gambar 1 dioperasionalkan
dengan menggunakan item-item skala dari studi-studi
sebelumnya yang dipubli-kasikan dalam beberapa area
penjualan dan psikologi kerja. Item-item skala dan sumber-
sumber yang digunakan untuk mengukur masing-masing
konstruk disajikan dalam Lampiran.

Kelelahan Kerja (Burnout) 207


Motivasi intrinsik diukur dengan mengguna-kan skala
empat-item berdasarkan pada penelitian Anderson dan Oliver
(1986) dan penelitian sebelumnya yang diadakan oleh Cravens
dan rekan-rekannya (1993) dan Oliver dan Anderson (1994).
Ukuran itu menilai motivasi tenaga penjualan ke arah pekerjaan
(misalnya, kepuasan personal dari melaksanakan pekerjaan
dengan baik). Responden itu menunjukkan kesepakatan
mengenai masing-masing item dengan menggu-nakan skala
Likert yang dinyatakan dengan kalimat “sangat setuju” (7)
sampai “sangat tidak setuju” (1). Koefisien reliabilitasnya
adalah 0.77 (Cronbach, 1970).
Ambiguitas peran dan konflik peran diukur dengan
menggunakan skala enam dan delapan item berdasarkan skala
Rizzo dan rekan-rekannya (1970). Item-item skala itu adalah
pernyataan tentang mana responden yang diminta untuk
menilai seberapa seringkah mereka mengalami keadaan khusus
dalam skala lima-poin yang dinyatakan dengan kalimat “selalu”
(5) dan “tidak pernah” (1). Koefisien reliabilitasnya adalah
0.77dan 0.74 untuk ambiguitas peran dan konflik peran.
Burnout diukur dengan menggunakan 22 item dari
inventarisasi burnout Maslach (Maslach dan Jackson, 1981).
Beberapa responden diminta untuk menunjukkan perasaannya
tentang masing-masing pernyataan berdasarkan pada skala
Likert lima-poin yang dinyatakan oleh “sangat setuju” (5) dan
“sangat tidak setuju” (1). Koefisien reliabilitas untuk burnout
dalam studi kami adalah 0.82.
Kami mengukur kepuasan kerja (Churchill dan rekan-
rekannya, 1974) dengan menggunakan skala 28-item
berdasarkan penelitian sebelumnya (Comer dan rekan-
rekannya, 1989). Ukuran itu menggabungkan item-item yang
dimasukkan ke dalam kepuasan para responden terhadap
pekerjaannya, manajer penjualannya, peluang terhadap

208 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kemajuan karirnya, karyawan lainnya, konsumen, dan
kompensasi. Kepuasan kerja memiliki koefisien reliabilitas
sebesar 0.89.
Komitmen organisasional diukur dengan menggunakan
skala sembilan-poin dari penelitian yang telah dipublikasikan
(Porter dan rekan-rekannya, 1974). Kedua ukuran itu
diimplemen-tasikan dengan menggunakan skala Likert tujuh-
poin yang dinyatakan dengan “sangat setuju” (7) dan “sangat
tidak setuju” (1). Koefisien reliabilitas terhadap komitmen
organisasional adalah 0.90.
Kami menggunakan skala empat-item dasar skala
Bluedorn (1982) untuk mengukur intensi untuk meninggalkan
organisasi. Item-item itu meminta para responden untuk
memutuskan kemungkinan bahwa mereka akan meninggalkan
posisinya dalam tiga bulan mendatang, enam bulan mendatang,
dan dua tahun mendatang, dan telah digunakan dalam
penelitian penjualan oleh Johnston dan rekan-rekannya (1990).
Masing-masing item disertai oleh skala 7-poin yang dinyatakan
dengan “sangat tinggi” (7) dan “sangat rendah (1). Koefisien
reliabilitas terhadap intensi untuk meninggalkan organisasi
berdasarkan sampel kami adalah 0.88.
Skala laporan-diri sembilan-item yang dipakai dari
penelitian sebelumnya (Behrman dan Perreault, 1984; Cravens
dan rekan-rekannya, 1993) digunakan untuk mengukur kinerja
tenaga penjualan. Kinerja yang diukur dengan metode laporan-
diri nampaknya sangat terkorelasi dengan kinerja tenaga
penjualan sebagaimana yang diputuskan oleh seorang manajer
penjualan (Churchill dan rekan-rekannya, 1985). Kalimat untuk
skala tujuh-poin itu adalah “sangat baik” (7) dan “memerlukan
perbaikan” (1). Koefisien reliabilitasnya adalah 0.84.
Analisis faktor konfirmatory dijalankan untuk
memverifikasi bahwa ukuran-ukuran multi-item yang

Kelelahan Kerja (Burnout) 209


digunakan dalam studi ini menampak-kan karakteristik-
karakteristik pengukuran yang dapat diterima (Gerbing dan
Anderson, 1992). Beberapa model destinasi untuk masing-
masing konstruk laten untuk mengecek loading masing-masing
item skala. Berdasarkan pada analisis AMOS, model-model
tersebut sesuai dengan data itu, dengan indeks goodness-of-fit
yang berkisar dari 0.72 sampai 0.97 (Sharma, 1996).
Validitas diskriminan dicek dengan menja-lankan analisis
faktor konfirmatory pair-wise untuk semua pasangan konstruk,
dua model dibandingkan untuk masing-masing pasangan model
dua faktor di mana item-itemnya dimuati dalam konstruk laten
masing-masing dan model faktor tunggal di mana semua
itemnya dipaksa untuk dimuati pada konstruk laten tunggal.
Berdasarkan pada beberapa tes perbedaan chi-square yang
ditunjukkan oleh Anderson dan Gerbing (1988), semua tes
validitas diskriminan adalah signifikan.
19 hipotesis yang didasarkan pada Gambar 1 diuji secara
berurutan dengan menggunakan AMOS berdasarkan pada
beberapa korelasi di antara ukuran-ukuran konstruk multi-item.
Beberapa korelasi dan reliabilitas (Cronbach, 1970) untuk
beberapa ukuran itu disajikan dalam Tabel 1.

Hasil-Hasil
Analisis jalur AMOS menunjukkan bahwa model hipotesis
itu sesuai dengan data itu, yang memberikan dukungan yang
kuat terhadap hubungan yang diajukan (chi-square = 13.43, GFI
= 0.98, AGFI = 0.91, RMSR = 0.03). nilai-p statistik chi-square
adalah 0.14 dan normed fit index-nya adalah 0.97 (Bentler dan
Bonnett, 1980) juga mendukung excellent model fit.

210 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Tes Hipotesis
Hasil-hasil terhadap tes hipotesis individuil disajikan
dalam Tabel II. Koefisien untuk semua jalur yang dihipotesis
adalah signifikan (p < 0.05) dan berada pada arah yang
dihipotesis kecuali jalur dari kinerja terhadap intensi untuk
meninggalkan organisasi (H16). Jadi 18 dari 18 hipotesis
didukung. Lebih ari 30 persen (R2 = 0.303) variansi dalam
variabel outcome intensi untuk meninggalkan organisasi
dijelaskan oleh model itu.

Kelelahan Kerja (Burnout) 211


Tabel I. Ukuran interkorelasi, koefisien reliabilitas, means dan standar deviasi.
Ukuran Motivasi Ambiguitas Konflik Burn- Kepuasan Komitmen Kinerja Intensi untuk
intrinsik peran peran out kerja organisasional meninggalkan
organisasi
Motivasi intrinsik 0.77
Ambiguitas -0.29 0.77
peran
Konflik peran -0.21 0.35 0.74
Burnout -0.35 0.43 0.41 0.82
Kepuasan kerja 0.37 -0.44 -0.54 -0.54 0.89
Komitmen 0.37 -0.54 -0.46 -0.45 0.72 0.90
organisasi-onal
Kinerja 0.18 -0.33 -0.11* -0.36 0.24 0.35 0.84
Intensi untuk -0.08* 0.41 0.31 0.29 -0.42 -0.96 0.06* 0.88
meninggalkan
organisasi
Mean sampel 6.19 1.97 2.59 2.35 4.73 4.96 4.95 2.16
Standar deviasi 0.75 0.53 0.55 0.45 0.69 1.04 0.88 1.40
Catatan: Reliabilitas skala ditunjukkan dalam diagonal. Semua korelasi adalah signifikan pada p < 0.05 kecuali yang ditandai *

212 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Kami memperluas temuan-temuan Singh et al. (1994)
dengan menginvestigasi secara lebih detil model burnout,dan
menambah temuan-temuan Babakus dan rekan-rekannya
(1999) dengan menggunakan skala burnout yang komplit,
dengan menambahkan anteseden burnout yang positif -
motivasi intrinsik - dan menginvestigasi beberapa hubungan
yang tidak dimasukkan dalam modelnya. Yang penting, hanya
tujuh dari 19 hipotesis saja yang sama fon yang dipertimbang-
kan oleh Babakus dan rekan-rekannya (1999). Kami
memperluas kedua studi tersebut dengan menggunakan
sampel multi-perusahaan. Terdapat dukungan umum terhadap
efek-efek langsung dan tak langsung stressor peran pada
outcome kerja tenaga penjualan. Bukannya memfokuskan pada
hasil-hasil yang mengonfirmasikan kembali temuan-temuan
studi awal tersebut, kami mem-bandingkan hasil-hasil kami
dengan dua studi sebelumnya dan kemudian mendiskusikan
beberapa perbedaan yang menarik dan menekan-kan
pengetahuan tambahan yang dikontribusikan pada penelitian
ini. misalnya, hasil-hasil kami menunjukkan bahwa jalur dari
burnout ke kinerja adalah signifikan. Singh dan rekan-rekannya
(1994) juga menyimpulkan bahwa burnout adalah sebuah
prediktor signifikan perilaku dan kinerja psikologis (dua ukuran
kinerja urutan tinggi gabungan). Mereka melaporkan R2 sebesar
0.14 untuk kinerja perilaku dan 0.72 untuk outcome psikologis.
Kami menemukan 0.17 R2 untuk kinerja, dan 0.41 untuk
kepuasan kerja, 0.60 untuk komitmen organisasional, dan 0.30
untuk intensi untuk meninggalkan organisasi. Dari tiga variabel
outcome psikologis yang diukur dalam studi kami, burnout
nampaknya paling banyak berpengaruh negatif pada komitmen
organisasional. Variansi yang dijelaskan dalam model terhadap
kinerja keletihan emosional Babakus dan rekan-rekannya
(1999) hanya sebesar 0.03, berbanding 0.49 untuk kepuasan

Kelelahan Kerja (Burnout) 213


kerja, 0.37 untuk komitmen organisasi-onal, dan 0.24 untuk
intensi untuk meninggalkan organisasi. Jadi, hasil-hasil burnout
kami adalah lebih kuat daripada temuan-temuan keletihan
emosional.

Tabel II. Hasil-hasil jalur yang dihipotesis


Hipo Koefisien
Jalur yang dihipotesis Nilai-t
tesis standar
H1A Motivasi intrinsik  konflik peran -0.21 -2.50
H1B Motivasi intrinsik  ambiguitas peran -0.29 -3.39
H2 Ambiguitas peran  konflik peran 0.35 3.97
H3 Motivasi intrinsik  burnout -0.22 -3.00
H4A Ambiguitas peran  burnout 0.27 3.56
H4B Konflik peran  burnout 0.27 3.67
H5 Burnout  kepuasan kerja -0.31 -4.12
H6 Motivasi intrinsik  kepuasan kerja 0.16 2.34

H7A Ambiguitas peran  kepuasan kerja -0.18 -2.49


H7B Konflik peran  kepuasan kerja -0.23 -3.18
H8 Kepuasan kerja  komitmen 0.58 9.89
organisasional

H9 Ambiguitas peran  komitmen 0.25 -4.07


organisasional
H10 Kepuasan kerja  intensi untuk -0.21 -2.14
meninggalkan organisasi
H11 Komitmen organisasional  intensi -0.19 -1.75
untuk meninggalkan organisasi
H12 Ambiguitas peran  intensi untuk 0.30 3.58
meninggalkan organisasi

H13 Ambiguitas peran  kinerja tenaga -0.21 -2.50


penjualan
H14 Burnout  kinerja tenaga penjualan -0.28 -3.31

214 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Hipo Koefisien
Jalur yang dihipotesis Nilai-t
tesis standar
H15 Kinerja tenaga penjualan  0.13 2.27
komitmen organisasional

H16 Kinerja tenaga penjualan  intensi 0.26 3.48


untuk meninggalkan organisasi

Sebagaimana yang telah didiskusikan sebelumnya, Singh


dan rekan-rekannya (1994) mengoperasionalkan burnout
dengan memodel tiga komponennya (keletihan emosional,
deperso-nalisasi, dan hilangnya kecakapan personal) sebagai
indikator terpisah konstruk urutan-tinggi dalam sebuah model
persamaan struktural dengan beberapa anteseden dan
outcome burnout yang juga dimodel sebagai konstruk-konstruk
laten urutan-tinggi. Untuk menunjukkan lebih lanjut kontribusi-
kontribusi studi kami, kami meng-analisis data kami dengan
menggunakan pendekatan ini (chi-square = 139.49, d.f. = 35,
AGFI = 0.77, NFI = 0.72) dan membanding-kannya dengan
model urutan-tinggi yang identik dengan indikator tunggal
burnout (jumlah 22 item) (chi-square = 67.91, d.f. = 20, AGFI =
0.84, NFI = 0.83). perbedaan-perbedaan chi-square itu adalah
71.858 dengan 15 d.f. yang menunjukkan bahwa metode kami,
yang menggabungkan tiga komponen burnout ke dalam
gambaran yang lebih detil terhadap hubungan antara konstruk-
konstruk individuil dan burnout.
Sebuah hasil yang tidak diduga adalah jalur positif antara
kinerja dan intensi untuk meninggal-kan organisasi. Ini
menunjukkan bahwa tenaga penjualan yang menampakkan
kinerja tinggi kemungkinan besar meninggalkan organisasi
daripada tenaga penjualan yang menampakkan kinerja rendah.
Yang menarik, korelasi sederhana antara dua ukuran konstruk
itu tidak signifikan (Tabel I). Yang jelas, anteseden kinerja

Kelelahan Kerja (Burnout) 215


mengontribusikan hubungan positif antara kinerja dan intensi
untuk meninggalkan organisasi. Kami mempertimbangkan isu
peran kinerja dalam model burnout dan hubungan positif yang
tak terduga antara kinerja dan intensi untuk mening-galkan
organisasi dalam bagian berikutnya.

Diskusi, Implikasi-Implikasi dan Penelitian Mendatang


Temuan-temuan tersebut memberikan pengetahuan
signifikan mengenai burnout dalam penjualan langsung,
konsekuensi-konsekuensi burnout, dan efek-efek konstruk
individuil. Selain itu, temuan-temuan tersebut juga diketahui
hasil-hasil burnout-nya berdasarkan sampel 27 tenaga
penjualan perusahaan berbeda. Hasil-hasilnya juga
menunjukkan bahwa pengujian peran konstruk individuil
(berbanding dengan konstruk urutan-tinggi) mengontribusikan
pemahaman yang lebih terfokus pada peran burnout dalam
organisasi penjualan dan hubungannya dengan beberapa
anteseden dan konsekuensinya. Kami mendiskusi-kan hasil-
hasil studi ini untuk menjelaskan kontribusi-kontribusi tersebut
dan bagaimana kami memperluas dua studi terkait (Singh dan
rekan-rekannya, 1994 dan Babakus dan rekan-rekannya,
1999).

Burnout dalam Penjualan Langsung


Hasil-hasil ini memberikan dukungan terhadap relevansi
konstruk burnout dalam penjualan personal secara langsung.
Selama penelitian Singh dan rekan-rekannya (1994)
mengargumenkan secara persuasif tentang burnout dalam
pekerjaan terbatas, temuan-temuan mereka didasarkan pada
perwakilan layanan konsumen melalui telepon dan mungkin
tidak dipakai pada tenaga penjualan lapangan. Hasil-hasil kami

216 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


memberikan bukti tambahan bahwa burnout adalah sebuah
variabel penting dalam memahami sikap dan perilaku tenaga
penjualan lapangan.
Studi kami didasarkan pada sampel multi-perusahaan,
berbanding dengan studi Babakus dan rekan-rekannya (1999)
yang didasarkan pada temuan-temuan dari perusahaan tunggal.
Meski-pun terdapat peningkatan kesalahan pengukuran yang
inheren atau melekat pada metode multi-perusahaan kami, dan
penambahan dua variabel baru (burnpout dan motivasi
intrinsik), model fit menyeluruh kami adalah sebaik hasil-hasil
perusahaan-tunggal Babakus dan rekan-rekannya berdasarkan
pada fit indices (NFI = 0.97 vs. 0.98),dan paling baik
berdasarkan pada tes chi-square (p = 0.14 vs. P = 0.013).

Peran Konstruk Individuil


Konseptualisasi dan operasionalisasi kami atas stressor
peran dan outcome kerja kami selama konstruk individuil
memperluas temuan-temuan Singh dan rekan-rekannya (1994)
melebihi konstruk-konstruk urutan-tinggi yang mereka pelajari.
Yang menarik, dalam model kami, besarnya koefisien konflik
peran-burnout adalah sama dengan koefisien antara ambiguitas
peran dan burnout. Motivasi intrinsik juga memainkan peran
anteseden penting dalam model itu, yang mereduksi burnout,
konflik peran, ambiguitas peran, dan meningkatkan kepuasan
kerja secara langsung. Motivasi intrinsik tidak dimasukkan
dalam model burnout Singh dan rekan-rekannya (1994) atau
model keletihan emosional Babakus dan rekan-rekannya
(1999). Koefisien jalur antara ambiguitas peran dan kepuasan
kerja dari hasil-hasil kami adalah lebih kecil daripada koefisien
antara ambiguitas dan burnout; sedangkan jalur konflik peran
dan kepuasan memiliki besar yang sama dengan jalur
konflik/burnout. Singh dan rekan-rekannya (1994) menemukan

Kelelahan Kerja (Burnout) 217


bahwa jalur dari stressor peran ke outcome psikologis tidaklah
signifikan ketika burnout adalah mediator antara stressor peran
dan outcome kerja.
Hasil-hasil dari analisis jalur kami antara stressor peran
individuil dan konstruk-konstruk outcome kerja menunjukkan
sebuah peran penting untuk burnout, namun juga mengangkat
pertanya-an tentang sejauh mana tesis mediator parsial Singh
dan rekan-rekannya (1994) berpengaruh pada hubungannya
dengan konstruk-konstruk lain dalam model itu. Berdasarkan
pada analisis kami, efek langsung dan tak langsung atas
stressor peran mungkin adalah penting.

Konsekuensi-Konsekuensi Burnout
Nampaklah bahwa burnout memiliki dampak negatif
signifikan pada kepuasan kerja dan kinerja. Besarnya dampak
burnout pada dua konstruk itu adalah sangat sama. Temuan
yang mengejutkan adalah jalur positif antara kinerja dan intensi
untuk meninggalkan organisasi. Sebagaimana yang dinyatakan
dalam H16, sebuah hubungan negatif diduga bukan temuan
positif. Hubungan positif ini mungkin digerakkan oleh dampak
tak langsung burnout dan ambiguitas peran melalui kinerja
dalam intensi untuk berhenti. Kemungkinan lainnya yakni dalam
setting Australia, performer tertinggi kemungkin-an besar
berkeinginan untuk meninggalkan organisasinya daripada
performer rendah, dan lebih sering mengubah pekerjaannya.
Tenaga penjualan yang berhasil baik mungkin merasakan
bahwa faktor-faktor seperti peluang kemajuan terbatas,
kurangnya penghargaan, dan gaji/ tunjangan yang rendah
sebagai alasan-alasan untuk mencari posisi lain berbanding
tenaga penjualan yang kurang berhasil. Yang menarik,
sebagaimana yang telah didiskusikan sejak awal, penghilangan

218 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


konstruk kinerja dari model itu memiliki dampak yang sangat
kecil pada hubungan konstruk dan overall model fit.
Pengamatan pada variansi yang dijelaskan untuk intensi
untuk meninggalkan organisasi dalam model kami yang
berbanding dengan R2 untuk ukuran konstruk outcome kerja
psikologis Singh dan rekan-rekannya (1994) menunjukkan
bagaimana masing-masing level analisis memberi-kan
informasi yang bermanfaat. R2 terhadap intensi untuk
meninggalkan organisasi kami adalah 0.30 berbanding dengan
R2 yang besarnya 0.72. Hasil-hasil mereka menunjukkan
dampak burnout menyeluruh, sedangkan hasil-hasil kami
menunjukkan bagaimana masing-masing konstruk anteseden
dan konsekuensi individuil sesuai dengan model burnout.
Variansi yang dijelaskan dalam kepuasan kerja dan komitmen
organisasi-onal dalam model kami secara substansial adalah
lebih besar daripada R2 untuk intensi untuk meninggalkan
organisasi. Sampel Singh dan rekan-rekannya (1994) atas
perwakilan layanan konsumen melalui telepon mungkin bisa
mem-bantu menjelaskan R2 yang lebih besar untuk intensi
untuk meninggalkan organisasi. Pergantian personel layanan
telepon kemungkinan besar lebih tinggi dibandingkan dengan
tenaga penjualan lapangan yang bekerja di bawah kontrol
manaje-men penjualan berbasis-perilaku. Selain itu, overall
model fit indices kami (NFI = 0.97) adalah paling baik daripada
overall model fit indices yang dilaporkan oleh Singh dan rekan-
rekannya (1994) (NFI = 0.91), yang menggunakan model
urutan-tinggi (khususnya yang menghasilkan fit indices yang
lebih tinggi). Ini selanjutnya menekankan pentingnya temuan-
temuan kami.

Kelelahan Kerja (Burnout) 219


Implikasi-Implikasi Manajerial
Hasil-hasil studi ini menimbulkan sejumlah implikasi-
implikasi manajerial penting, sebab kebanyakan variabelnya
dapat dikontrol oleh manajemen. Hubungan yang diidentifikasi
menun-jukkan cara-cara manajer dalam menyumbangkan efek-
efek pengaruh negatif pada tenaga penjualan dan mendorong
kinerja tinggi dan outcome kerja lainnya, misalnya, usaha-usaha
untuk mengukur burnout tenaga penjualan dan anteseden
negatif lainnya seperti stressor peran akan menjadi alat
manajemen yang berharga yang mampu mendiag-nosis
pengaruh negatif ini. Ukuran itu dapat dimasukkan dalam survey
sikap dan hanya memerlukan sejumlah kecil item. Beberapa
manajer dapat berusaha untuk mereduksi burnout dengan
mengimplementasikan beberapa kebijakan guna mereduksi
konflik peran, ambiguitas peran, atau guna meningkatkan
motivasi intrinsik melalui praktek pemberian gaji yang baik.
Sebaliknya, tindakan-tindakan tersebut akan menyebabkan
tingginya kepuasan kerja, komitmen organisasi-onal, kinerja,
dan rendahnya pergantian.
Selain itu, hasil-hasil tersebut menunjuk-kan tindakan-
tindakan khusus lain yang dapat diambil oleh beberapa manajer
untuk memper-baiki kinerja tenaga penjualan dan mereduksi
pergantian. Temuan-temuan studi ini menunjuk-kan bahwa
kepuasan kerja dan komitmen organisasional yang lebih tinggi
akan menyebab-kan rendahnya intensi untuk meninggalkan
organisasi.
Aktivitas-aktivitas pemantauan, pengeva-luasian, dan
penghargaan oleh manajer-manajer penjualan adalah cara yang
bermanfaat untuk meningkatkan kepuasan kerja tenaga
penjualan dan komitmen terhadap organisasional (Oliver dan
Anderson, 1994). Aktivitas-aktivitas di atas seharusnya mampu
mengarahkan elemen-elemen terkait-kerja khusus yang

220 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


penting ke beberapa karyawan seperti peluang karir, penugasan
ke konsumen, kompensasi, kapabilitas dengan rekan kerja, dan
lain sebagainya.
Temuan-temuan kami dalam setting internasional
menawarkan basis yang bermanfaat untuk perbandingan
dengan studi-studi organisasi penjualan di Amerika Serikat
(Singh dan rekan-rekannya, 1994; Babakus dan rekan-
rekannya, 1999; Boles dan rekan-rekannya, 1997). Terdapat
banyak persamaan di antara studi-studi itu namun juga terdapat
beberapa perbedaan penting yang telah diperlihatkan sejak
awal. Studi Australia kami juga merupakan satu-satunya
pengujian burnout dalam sampel tenaga penjualan lapangan di
beberapa organisasi.

Arah untuk Penelitian Mendatang


Hasil-hasil studi kami menunjukkan banyak area
penelitian mendatang tentang burnout yang akan menjadi
perhatian para praktisi dan akade-misi marketing. Penelitian
berlebih diperlukan berkaitan dengan burnout dalam beberapa
setting di mana tenaga penjualan memiliki kontak langsung
dengan para konsumen supaya bisa menetapkan validitas
eksternal temuan-temuan dalam area ini. Selain itu, penelitian
mendatang dapat mempelajari burnout dalam pekerjaan
terkait-marketing lain, seperti penelitian menda-tang atau
manajemen merek, di mana burnout kemungkinan besar juga
menjadi variabel eksplanatory yang penting. Ini akan
memberikan pengetahuan tambahan tentang peran burnout
dan selanjutnya akan memperluas generalisabilitas temuan-
temuan tersebut ke area-area marketing lainnya.
Penelitian mendatang juga dapat mengin-vestigasi
dampak ciri-ciri tenaga penjualan dalam suseptibilitas atau

Kelelahan Kerja (Burnout) 221


kerentanannya terhadap burnout. Variabel independen/bebas
seperti jenjang karir, perilaku kewargaan organisasional
(Podsakoff dan rekan-rekannya, 1997), usia, dan gender,
mungkin akan menambah pemahaman kita mengenai
bagaimana dan mengapa burnout berkembang.
Penelitian longitudinal tentang proses bagaimana burnout
berkembang sepanjang waktu adalah area lain di mana
penelitian mendatang dapat membuat sebuah kontribusi
penting. Sebuah pendekatan proses terhadap penelitian
burnout akan memudahkan penelitian untuk menguji teori yang
ditunjukkan oleh Cordes dan Dougherty (1993) bahwa burnout
adalah proses tiga-tahap:
(1) keletihan emosional;
(2) depersonalisasi; dan
(3) hilangnya kecakapan personal.

Namun demikian, rentang waktu tertentu yang diperlukan


untuk mendeteksi perubahan-perubahan longitudinal
kemungkinan besar me-merlukan beberapa tahun data, yang
mungkin akan sulit untuk dikumpulkan sebab terdapat tingkat
pergantian tinggi dalam beberapa organisasi penjualan.
Penelitian mendatang dalam area ini juga diuntungkan
dengan memperluas model kami dengan menggunakan ukuran-
ukuran kinerja tenaga penjualan lainnya, sesuai dengan
penelitian sebelumnya (Babakus dan rekan-rekannya, 1999;
Singh dan rekan-rekannya, 1994), kami menggu-nakan sebuah
metode laporan-diri yang mengukur perilaku dan kinerja
outcome. Namun demikian, beberapa skala disediakan dalam
literatur penjualan untuk mengukur kinerja sebagai kinerja
perilaku dan outcome yang terpisah (Babakus dan rekan-
rekannya, 1996; Oliver dan Anderson, 1994). Metode-metode

222 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pengukuran kinerja lain yang dapat bermanfaat dalam
memahami efek-efek burnout mencakup keputusan manajer
penjualan atas kinerja tenaga penjualan dan outcome
kuantitatif seperti pertumbuhan penjual-an, pencapaian tujuan-
tujuan penjualan, dan kontribusi langsung terhadap
profitabilitas perusahaan atau divisi. Penelitian dalam area yang
didasarkan pada multi-metode ini akan mereduksi atau
mengurangi kesalahan pengukuran dan meningkatkan validitas
temuan-temuan itu.
Perluasan penelitian burnout ke beberapa negara di luar
Amerika Serikat juga akan menambah kumpulan temuan yang
meningkat tentang topik ini. Meskipun kami memulai usaha ini
dengan studi ini, penelitian internasional berlebih akan
memudahkan perbandingan antar-negara tambahan dan
meningkatkan validitas eksternal kesimpulan kami.

8.5. Penelitian : Pamela L. Perewe, Wayne A. Hocwarter,


Ana Maria Rossi, Alan Wallace, Isabella Maignan,
Stephanie L. Castro, David A. Ralston, Mina Westman,
Guenther Vollmer, Moureen Tang, Paulina wan, Cheryl
A. Van Deusen

Apakah Hubungan Stress Kerja Adalah Universal? Sebuah


Pengujian Sembilan-Wilayah Stressor Peran, Efiksasi-Diri
Umum, Dan Burnout

ABSTRAK
Studi-studi lintas-nasional atas stress kerja belum
dipertahankan bersama-sama dengan aliran penelitian lain
dalam lingkungan internasional. Untuk mulai menjawab
kekurangan pengembang-an ini, kami menguji hubungan di

Kelelahan Kerja (Burnout) 223


antara stressor peran, efiksasi-diri umum (GSE), dan burnout di
sembilan daerah (yakni Amerika Serikat, Jerman, Perancis,
Brazil, Israel, Jepang, Cina, Hong Kong, dan Fiji). Beberapa
temuan menunjukkan bahwa GSE memiliki sebuah asosiasi atau
hubungan negatif universal dengan burnout di semua daerah
itu. Selanjutnya, efikasi-diri memediatori hu-bungan antara
konflik peran dan/atau ambiguitas peran dan burnout di delapan
dari sembilan kultur. Kesimpulan terpusat di seputar seberapa
rendah-kah efiksasi-diri bisa membantu menjelaskan mengapa
stressor peran okupasional memiliki hubungan positif dengan
burnout di lingkup lintas-nasional. Beberapa implikasi dan
petunjuk untuk penelitian mendatang didiskusikan.

1. Pendahuluan
Literatur tentang stress kerja dan burnout berkembang
secara eksponensial selama dua dekade sebelumnya. Salah
satu alasan terhadap kepentingan ekspansif adalah temuan
yang konsisten bahwa stress yang dialami dapat memiliki efek
yang membayakan kesehatan mental dan fisik individu
(misalnya, Ganster dan Schaubroeck, 1991; Kahn dan at al,
1964; Westman, 1992), dan juga efek-efek negatif pada
outcome organisasional seperti kinerja (misalnya, Westman dan
Sen, 1992) dan pergantian (misalnya, O’Driscoll dan Beehr,
1994). Karena stress nampaknya bisa menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya seperti yang
diperlihatkan di atas, pengidentifikasian model-model yang
dimulai untuk menjelaskan mengapa efek-efek negatif itu
terjadi merepresentasikan tantangan besar bagi para peneliti.
Penambahan kompleksitas selanjutnya terhadap studi stress
kerja adalah pemahaman bahwa beberapa organisasi
beroperasi secara global dan penelitian yang menilai dampak
stress kerja dalam berbagai outcome kerja di domain lain adalah

224 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


kecil. Kebanyakan penulis memperlihatkan bahwa penelitian
manajemen lintas-nasional diperlukan lebih dari sebelumnya
sebab kita tidak dapat lagi mengasumsikan bahwa konsep-
konsep dan teori-teori Barat mentransendensikan batas-batas
kultural dan nasional (misalnya, Peng at al., 1991; Trompenaars
dan Hampden-Turner, 1998).
Tujuan studi ini adalah untuk menginves-tigasi
universalitas lintas-nasional atas dampak yang dimiliki stressor
peran dalam outcome kerja dan untuk mengeksplorasi lebih
lanjut tentang mengapa hubungan tersebut terjadi. Beberapa
argumen awal bahwa “diri” seharusnya dipandang sebagai
representasi peran aktif dalam organisasi-organisasi pekerjaan
(Bandura, 1978; Brief dan Aldag, 1981) telah menstimulasi
perhatian penelitian dalam individu yang menggunakan efek-
efek signifikan dalam perilaku dan lingkung-an. Tentu saja,
penelitian terbaru tentang efiksasi-diri mengilustrasikan
relevansinya pada literatur lintas-kultural (Shaffer et al, 1999),
dan juga untuk menggabungkan variabel-variabel stress dalam
penelitian stress lintas-kultural secara teoritis meskipun data
tarik terbarunya muncul (Bond dan Smith, 1996; Jamal, 1999).
Untuk menangani batasan itu, kami memfokuskan perhatian
kami pada konflik peran dan ambiguitas peran sebagai stressor
dan burnout sebagai outcome psikologis, dengan efiksasi-diri
umum (GSE) yang berfungsi sebagai hubungan penengah atau
variabel eksplanatory dalam penelitian ini.
Dalam bagian berikutnya, kami akan mendiskusikan
variabel-variabel terkait-stress dan negara dalam studi kami.
Sebaliknya, kami akan menyajikan pertanyaan-pertanyaan riset
khusus kami dan metode yang digunakan untuk mengeksplorasi
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kami menyimpulkan makalah
ini dengan sebuah diskusi terhadap temuan-temuan kami

Kelelahan Kerja (Burnout) 225


mengenai universalitas global sebuah model hubungan stress di
semua kultur.

2. Review Konstruk-Konstruk Studi


a. Stressor-Konflik Peran dan Ambiguitas Peran
Selama penelitian awal Kahn at al. (1964),
anteseden dan konsekuensi stress peran telah menjadi
pokok terhadap studi stress kerja. Sebagai akibatnya,
kebanyakan penelitian ini memfokus-kan pada
ambiguitas peran dan konflik peran. Ambiguitas peran
mengacu pada unprediktabilitas konsekuensi kinerja dan
defisiensi informasi mengenai perilaku peran yang
diharapkan (Pearce, 1981). Sebaliknya, konflik peran
mengacu pada harapan-harapan yang tidak sesuai dan ini
dapat terjadi antar beberapa peran (Schaubroeck at al.,
1989). Selama lebih dari dua dekade, penelitian telah
menunjukkan bahwa ambiguitas peran dan konflik peran
terkait dengan sejumlah outcome disfungsional termasuk
ketidakpastian, ketidak-puasan kerja, tekanan psikologis
dan intensi untuk meninggalkan organisasi (Jackson,
1993; Schaubroeck at al., 1989). Lainnya kerap kali
menguji bahwa konsekuensi konflik peran dan ambiguitas
peran akan mengalami burnout. Variabel-variabel
tersebut nampaknya terkait satu sama lain di beragam
pekerjaan termasuk pengacara layanan publik (Jackson at
al., 1987), perawat (Leiter dan Maslach, 1988), guru
(Schwabdan Iwanicki, 1992), dan profesional layanan
wanita (Brookings at al., 1985).

226 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


b. Burnout
Burnout adalah tipe khusus ketegangan yang
mencerminkan sebuah kepercayaan bahwa bebe-rapa
sumber untuk menanggulangi kondisi-kondisi yang
menekan adalah jarang atau tidak ada, yang menimbulkan
seseorang mengalami keputusasaan, keletihan, dan
kekalahan kognitif (Lee dan Ashforth, 1993). Para peneliti
mengait-kan burnout dengan beragam masalah
kesehatan mental dan fisik (Ganster dan Schaubroeck,
1991; Jacksondan Maslach, 1982; Maslach dan Pines,
1977), keburukan keluarga dan hubungan sosial (Jackson
dan Schuler, 1982), meningkatnya pergantian dan
ketidakhadiran (Jackson at al., 1986), dan menurunnya
kualitas dan kuantitas performa kerja (Maslach dan
Jackson, 1984).
Penelitian awal tentang burnout memfokus-kan
secara eksklusif pada faktor-faktor lingkungan di sekitar
pekerjaan khusus (misalnya, Maslach, 1982; Pines dan
Aronson, 1981). Mengingat bahwa sebuah basis empiris
ekstensif mengaitkan konflik dan ambiguitas ke banyak
konsekuensi personal dan organisasional termasuk
kepuasan kerja, komitmen organisasional, ketidakhadiran
dan penarikan diri (Jackson dan Schuler, 1985), tidaklah
mengejutkan bahwa para peneliti melihat stressor peran
kronis sebagai faktor utama dalam memprediksi burnout.
Menurut data, stressor peran merepresentasikan
sebagian besar korelasi burnout yang diteliti (Cordes dan
Doughtery, 1993). Yang sesuai dengan studi saat ini yakni
ambiguitas peran dan konflik peran terkait dengan
sejumlah outcome disfungsional di semua kultur
individualis dan kolektivis (Bhagat dan rekan-rekannya,
1994). Jadi, berdasarkan pada temuan-temuan lintas-

Kelelahan Kerja (Burnout) 227


kultural Bhagat at al. (1994), dan sesuai dengan literatur
yang menghubungkan stressor peran dan burnout, konflik
dan ambiguitas mungkin adalah anteseden universal
terhadap burnout di semua negara dan kultur (Etziondan
Bailyn, 1994), dan mencerminkan “pengolahan psikologis
yang sama yang beroperasi di semua manusia yang bebas
dari kultur” (Poortinga, 1992, halaman 13). Meskipun
terdapat fakta bahwa penelitian menguji konflik peran dan
ambiguitas peran sebagai prekursor terhadap burnout,
yang begitu banyak hal yang diketahui tentang sebab-
sebab mendasar hubungan tersebut. Kami berargumen
bahwa stressor peran tersebut mungkin mempengaruhi
GSE, di mana sebaliknya akan menyebabkan pengalaman
burnout.

c. Efiksasi-Diri
Efiksasi-diri “mengacu pada kepercayaan tentang
kapabilitas seseorang untuk mengorganisir dan
melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan
untuk menghasilkan pencapaian tertentu” (Bandura,
1997, halaman 5). Efiksasi-diri tidak terkait dengan skill
yang seseorang miliki, namun keputusan yang dapat
seseorang kaitkan dengan skill tersebut. Pada esensinya,
efiksasi-diri mengacu pada penguasaan dan kontrol atas
lingkungan seseorang. Efiksasi-diri diargumenkan sebagai
konstruk penting dalam sains organisasional (Gist dan
Mitchell, 1992), kerap kali diuji sebagai faktor perbedaan
individuil yang mampu mempengaruhi hubungan antara
anteseden dan konsekuensi. Penelitian menunjukkan
bahwa beberapa karyawan yang melaporkan beberapa
persepsi efiksasi personal dapat melakukan penanganan
secara lebih baik ketika berhadapan dengan perubahan

228 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


(Hill dan rekan-rekannya, 1987), menentang
keberterimaan feedback negatif (Nease dan rekan-
rekannya, 1999), dan melaksanakan pekerjaan lebih
lama, bahkan dalam menghadapi kesengsaraan (Lent dan
rekan-rekannya, 1987).
Dengan mengambil satu langkah ke depan, efiksasi-
diri diargumenkan sebagai variabel penting ketika menguji
konsekuensi-konsekuensi kesehatan stress kerja.
Misalnya, pengalaman stressor tanpa kemampuan yang
dirasakan untuk melaksanakan kontrol yang memadai
dapat menghambat fungsi sistem yang kebal (Shavit dan
Martin, 1987) dan meningkatkan tekanan darah, yang
memiliki implikasi-implikasi prediktif terhadap penyakit
kardiovaskular (Schaubroeck dan Merritt, 1997). Selain
itu, efiksasi-diri yang dirasakan dapat menanggulangi
reaksi-reaksi biologis negatif terhadap stressor
lingkungan jangka pendek (Bandura, 1997) dengan
memperoleh reaksi-reaksi emosional individukan
memprakarsai perilaku penanggulangan (Haney dan Long,
1995). Terakhir, Saks (1994) menemukan bahwa
pendatang baru ke sebuah organisasi yang memiliki
pemahaman tinggi mengenai efiksasi tidak akan banyak
mengalami kegelisahan, dapat menanggulangi tuntutan
situasional yang lebih baik, merasa lebih puas terhadap
pekerjaannya, memiliki komitmen yang lebih kuat
terhadap profesinya, dan memiliki intensi rendah untuk
meninggalkan organisasi. Jadi, efiksasi-diri yang
berkaitan dengan outcome organisasional positif dan
personal, dan mungkin akan menjadi variabel kritis dalam
studi stress kerja lintas-nasional. Dengan adanya peran
efiksasi-diri sebagai konstruk penting dalam penelitian
organisasional pada umumnya (Gist dan Mitchell, 1992),

Kelelahan Kerja (Burnout) 229


dan khususnya terhadap pengujian burnout (Bandura,
1997), kami menguji GSE sebagai sebuah konstruk
psikologis yang mungkin bisa menjelaskan hubungan
stressor-burnout peran dengan mengintervensi dua
variabel.
Salah satu perbedaan penting yang dibuat
berkenaan dengan efiksasi-diri adalah perbedaan antara
GSE dan efiksasi-diri. Eden dan Kinnar (1991) berargumen
bahwa GSE yang mirip-ciri sesuai dengan peran variabel
moderator. Dengan demikian, GSE merepresentasikan
kepercayaan umum tentang kompetensi-diri. sebaliknya,
efiksasi-diri khusus (SSE) adalah sebuah persepsi
kompetensi ketika menjalankan tugas khusus. Meskipun
penelitian yang menguji bagaimana GSE (dalam peran
moderator) bisa mengubah sebagai hubungan kausal
diperlukan, pengujian situasi yang mempengaruhi GSE
juga merupakan area studi penting. Jika efiksasi-diri dapat
mengu-bah cara individu dalam menginterpretasikan
lingkungannya, maka penetapan situasi yang mungkin
mempengaruhi GSE adalah sesuatu yang terpenting.
Efiksasi-diri dapat mempengaruhi proses keputusan
di mana orang-orang menginterpretasi-kan outcome,
namunvarioabell lingkungan juga mempengaruhi efiksasi-
diri (Bandura, 1997; Gist dan Mitchell, 1992). Terdapat
banyak bukti bahwa SSE dapat dipertinggi (misalnya, Eden
dan Zuk, 1995), meskipun ini tidak menghambat
pengujian kondisi-kondisi yang mungkin mempengaruhi
GSE. Meskipun SSE dapat dipengaruhi dalam rentang
waktu singkat (misalnya, training), namun GSE
diargumenkan bisa dipengaruhi selama periode waktu
panjang. Oleh karena itu, stressor kronis perpasif mungkin
bisa mengubah GSE. Studi ini menguji kondisi-kondisi

230 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


lingkungan organisasi perpasif dalam beberapa organisasi
(yakni stressor peran) yang mungkin berpengaruh negatif
pada GSE individuil.

d. Beberapa Negara dalam Studi


Supaya bisa menguji pertanyaan riset kami dari
sebuah perspektif global, kami berkeinginan untuk
memasukkan negara representatif dari ekonomi dunia
industri maju dan industri berkembang (Amerika Utara,
Eropa Barat, Asia, dan Timur Tengah). Untuk
mengoperasionalkan tujuan ini, kami menggunakan
“kluster negara” Ronen dan Shenker (1985), dan juga
nilai-nilai kultural Hofstede dan Bond (1988). Kami
mengembangkan desain lintas-kultural kami berdasarkan
kluster negara Ronen dan Shenker. Tujuan kami adalah
untuk memiliki representatif untuk masing-masing kluster
yang relevan. Selanjutnya,kami juga berkeinginan untuk
mem-sukkan negara-negara independen relevan- negara-
negara yang dimasukkan dalam studi Ronen dan Shenkar
namun negara-negara itu tidak sesuai dengan kluster
khusus (misalnya, Jepang) – dan negara-negara yang
tidak dimasukkan dalam studi in, namun dianggap penting
dalam ekonomi sekarang ini (misalnya, Cina). Jadi, studi
ini pada mulanya didesain untuk memasukkan 11 negara:
sembilan negara yang selanjutnya didiskusikan (Amerika
Serikat, Jerman, Perancis, Brazil, Israel, Jepang, Cina,
Hong Kong, dan Fiji), plus Mesir dan Argentina di mana
pengumpulan data tidak dapat disempurnakan.
Amerika Serikat adalah Amerika Utara, yang
merupakan representatif kluster Anglo. Jerman adalah
Eropa Barat, yang merupakan representatif kluster
Jerman. Perancis adalah Eropa Barat, yang merupakan

Kelelahan Kerja (Burnout) 231


representatif Eropa-Latin. Brazil adalah representatif
Amerika Selatan. Namun demikian, ini adalah negara
independen sebab negara ini tidak sesuai dengan kluster
Amerika Latin, sebab perbedaan-perbedaan bahasanya.
Israel merepresentasikan kultur Timur Tengah kami
meskipun negara ini juga diakui sebagai negara
independen, sebab perbedaan-perbedaan religius dengan
negara lain dalam kluster Timur Tengah.
Selain itu, di luar tiga representatif Asia, Hong Kong
adalah satu-satunya negara yang diidentifikasi dalam
penelitian Ronen dan Shenkar (1985) sebagai bagian dari
kluster Timur Jauh. Jepang adalah negara “independen”
dari kerangka Ronen dan Asia, yang berarti bahwa negara
ini tidak sesuai dengan kluster Timur Jauh – mungkin
karena pengaruh Barat (khususnya Amerika Serikat) yang
tertanam pada Perang Dunia II. Akibat adanya kesulitan
dalam mengumpulkan data di Cina selam periode pra-
1985, Cina tidak dimasukkan dalam penelitiannya.
Namun demiki-an, kami memasukkan Cina dalam studi
kami sebab counterpoin (pertentangan)-nya pada Hong
Kong, di mana negara ini membagi banyak persamaan
kultural, dan juga perbedaan-perbeda-an terkenalnya
(Ralston dan rekan-rekannya, 1993). Sebagaimana yang
diperlihatkan, data dikumpulkan pada tahun 1996
sebelum reunifikasi Hong Kong.
Terakhir, kluster negara Ronen dan Shenkar (1985)
tidak memasukkan Fiji dan Pasifik Selatan akibat kecilnya
penelitian yang diadakan di sana selama periode pra-
1985. namun demikian, area itu mengalami pertumbuhan
dalam ekonomi global pentingnya dan kurang
direpresentasikan dalam studi ini. Secara khusus, Fiji
dianggap sebagai salah satu Pulau Pasifik Selatan yang

232 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


paling berhasil ditinjau dari sudut pandang industrialisasi
dan perilaku organisasi efektif- mungkin karena beberapa
dekade pengaruh Inggris hingga tahun 1970an. Jadi, kami
memilih untuk menyimpulkan Fiji sebab pentingnya
daerah ini dan sejarah kolonial umumnya yang membagi-
nya bersama Hong Kong.
Kami memvalidasi-silang perbedaan global sampel
kami, yang ditentukan oleh kluster-kluster negara,dengan
menggunakan dimensi-dimensi Hofstede (Hofstede dan
Bond, 1988). Sebagaimana yang dapat dilihat dalam Tabel
1, ukuran-ukuran individualisme-kolektivisme, jarak
kekuasaan, maskulinitas-feminitas, dan penghin-daran
ketidakpastian juga menunjukkan sebuah gambaran
mengenai perbedaan kultural di semua sampel kami.
Misalnya, dalam individualisme – dimensi kolektivisme,
kami menemukan bahwa Amerika Serikat, Perancis, dan
Jerman yang diberi skor dalam kisaran tinggi, dengan
Israel, Jepang, dan Brazil yang diberikan skor dalam
kisaran menengah, dan Hong Kong yang diberi skor dalam
kisaran rendah. Sebagaimana halnya dengan kluster-
kluster negara itu, tidak terdapat skor untuk Cina atau Fiji.
Bagi Fiji, kami tidak mengetahui data apapun yang eksis
dalam dimensi-dimensi tersebut. Bagi Cina, data terbaru
yang mampu kami identifikasi dikumpulkan selama tahun
1990an. Selama data Hofstede asli yang dilaporkan dalam
Hofstede dan Bond (1988) dikumpulkan selama tahun
1970an, hal yang tidak begitu relevan adalah
mengumpulkan data dalam 15-20 berikutnya, dalam
industri berbeda dan mungkin dari generasi berbeda
dalam sebuah masyarakat yang menampakkan
perubahan-perubahan dramatis di semua generasinya
(Ralston dan rekan-rekannya, 1996). Studi terbaru yang

Kelelahan Kerja (Burnout) 233


diadakan oleh Egoi dan Ralston (2001) menemukan
bahwa kaum muda Cina adalah lebih sama dengan kaum
muda Amerika Serikat dibandingkan dengan kaum tua
Cina-nya. Oleh karena itu, untuk tujuan perbandingan
lintas-kultural dalam studi ini,

Tabel 1
Hubungan sembilan lokasi dalam studi dalam kluster-
kluster Ronen dan Shenkar dan nilai-nilai kultural
Hofstede dan Bond
Negara [kluster Jarak Individualisme- Maskulinitas- Penghindaran
negaraa] kekuasaan kolektivisme femininitas ketidakpastian
[levelb] [levelb] [level] [level]

Jerman 35 67 66 65
[Jerman] [L] [H] [H] [M]
Amerika 40 91 62 46
Serikat
[Anglo} [L] [H] [M] [M]
Perancis 68 71 43 86
[Eropa Latin] [M] [H] [M] [H]
Hong Kong 68 25 57 29
[Timur Jauh] [M] [L] [M] [L]
Brazil 69 38 49 76
[Independen] [M] [M] [M] [M]
Jepang 54 46 92 95
[Independen] [M] [M] [H] [H]
Israel 13 54 95 92
[Independen] [L] [M] [H] [H]
Cina No data for Ronen and Shenkar (1985) and Hofstede and
Bond (1988)
Fiji No data for Ronen and Shenkar (1985) and Hofstede and
Bond (1988)

234 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Negara [kluster Jarak Individualisme- Maskulinitas- Penghindaran
negaraa] kekuasaan kolektivisme femininitas ketidakpastian
[levelb] [levelb] [level] [level]

Kisaran 11 – 104 6 – 91 5 – 95 8 – 112


dimensi
Level
Tinggi 73 – 104 64 – 91 65 – 95 78 – 112
Sedang 42 – 72 35 – 63 35 – 64 43 – 77
Rendah 11 – 41 6 – 34 5 – 34 8 – 42
a
Kluster negara didasarkan pada penelitian Ronen dan Shenkar
(1985).
5 – 34

Bukti yang menunjukkan efek-efek dis-fungsional


terhadap stressor peran di semua negara (Bhagat dan rekan-
rekannya, 1994) menyebabkan kita dapat berpendapat bahwa
hubungan di antara beberapa variabel adalah sesuai di semua
negara dan kultur, bukan level-level mutlak variabel-variabel
tersebut. Meskipun begitu, penelitian mendukung pandangan
bahwa orang-orang yang bekerja dalam pekerjaan berbeda
(misalnya, pilot penerbangan, perawat) sama-sama merasakan
stressor peran, tanpa memandang kultur nasional atau
kediaman negara (Armstrong-Stassen dan rekan-rekannya,
1994; Merritt, 1997), penelitian dalam area ini adalah jauh dari
konklusif (Peterson dan rekan-rekannya, 1995).
Terdapat dua pertanyaan penelitian. Pertama, dalam
masyarakat industri maju dan industri berkembang, apakah
level-level mutlak konflik peran, ambiguitas peran, burnout,dan
efiksasi-diri berbeda signifikan di semua daerah suatu negara?
Kedua, tanpa memandang level-level mutlak empat variabel
tersebut, apakah hubungan di antara mereka berbeda signifikan
dari satu daerah terhadap daerah lainnya? Pada esensinya,

Kelelahan Kerja (Burnout) 235


studi ini akan mulai mengeksplorasi isu tentang apakah
hubungan stress di semua negara adalah universal, yang
didasarkan pada bukti empiris dan konseptual yang dihadirkan,
kami memprediksi bahwa efiksasi-diri akan meme-diatori
hubungan antara stressor peran dan burnout.

3. Metode
a. Sampel
Sampel terdiri dari 923 manajer dari delapan negara
plus teritorial Hong Kong: Brazil (n = 124); Cina (n = 83);
Fiji (n = 88); Perancis (n = 113); Jerman (n = 84); Hong
Kong (n = 99); Israel (n = 119); Jepang (n = 92);dan
Amerika Serikat (n = 121). Semua subyek adalah
karyawan level profesional atau manajerial dan
merupakan warga negara representatifnya. Semua ukuran
ditranslasi-kan dan ditranslasikan kembali dari versi
bahasa Inggris untuk digunakan dalam daerah-daerah
lainnya. Translasi dan translasi ulang diselesaikan oleh
lebih dari satu orang. Proses pengumpulan data dikelola
oleh setidaknya satu anggota tim peneliti yang tinggal di
negara itu, dengan perkecualian Perancis. Beberapa
anggota tim peneliti semuanya fasih dalam berbicara
bahasa Inggris. Namun demikian, kami memperhatikan
tentang penerjemahan makna pertanyaan secara akurat.
Untuk memastikan makna yang benar dalam
terjemahannya, banyak pertemuan dan panggilan telepon
di antara anggota-anggota tim peneliti dan penduduk
negara yang relevan terjadi selama satu tahun.
Beberapa prosedur pengumpulan data memastikan
kerahasiaan nama responden. Di sebagian besar daerah,
tidak lebih dari lima subyek berasal dari satu perusahaan.

236 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Selanjutnya, data dikumpulkan dari lebih dari satu
perusahaan di semua daerah. Data demografis untuk
subyek-subyek tersebut disajikan dalam Tabel 2.

b. Ukuran-Ukuran
1) Stressor Peran
Skala Rizzo dan rekan-rekannya (1970)
mengukur ambiguitas peran dan konflik peran.
Ambiguitas peran adalah skala 6-item dan konflik
peran adalah skala 8-item, yang keduanya dengan
kisaran respons dari sangat tidak setuju (1) sampai
sangat setuju (7). Item sampel untuk ambiguitas
peran adalah “saya memiliki tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran yang terencana dengan jelas
terhadap pekerjaan saya” (skor-kebalikan), sebuah
item sampel terhadap konflik peran adalah “Saya
bekerja di bawah beberapa kebijakan dan garis
pedoman yang tidak sesuai”.

Kelelahan Kerja (Burnout) 237


Tabel 2 Data demografi untuk subyek (n = 922) dari sembilan negara dalam studi
U.S. Germany France Brazil Israel Japan Hong China Fiji
(n = (n = 84) (n = (n = (n = (n = Kong (n = (n =
121) 113) 124) 119) 92) (n = 99) 83) 88)
Usia (tahun rata-rata) 44.9 41.1 41.4 41.5 37.3 31.1 34.3 41.7 40.7

Gender (% pria) 69.1 65.2 62.8 56.5 32.1 75.0 43.4 76.8 75.0
Pendidikan (% gelar universitas) 82.8 82.6 52.3 68.3 13.4 79.3 37.4 49.4 5.8

Status pernikahan (% menikah) 75.7 68.5 71.7 56.9 82.4 51.1 48.5 89.2 76.7

Posisi (% profesional)
(% manajerial) 13.2 21.7 10.6 9.3 0.5 65.2 45.4 36.3 79.3
86.8 78.3 89.4 90.7 99.5 34.8 54.6 63.7 20.7
Ukuran perusahaan (% > 100 65.1 58.7 64.6 83.9 66.9 90.2 51.5 77.2 95.8
karyawan)
Lama bekerja (lama rata-rata) 22.4 18.7 18.1 20.5 13.0 9.1 12.0 19.8 19.0

Jam kerja (jam/minggu rata-rata) 50.9 48.7 47.2 44.9 44.5 49.8 45.9 43.5 39.2

45.9

238 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


2) Burnout
Burnout Questionnaire Pines dan rekan-
rekannya (1981) 21-item mengukur burnout yang
dialami. Beberapa skala respons adalah tidak
pernah (1), jarang (2), kadang-kadang (3), sering (4),
dan selalu (5). Item-item sampel dari ukuran ini
mencakup “merasa emosional” dan “merasa
tertekan”. Keputusan dibuat untuk menggunakan
ukuran unidimensional burnout bukan ukuran
multidimensi. Meskipun menganggap burnout
sebagai konstruk multidimensi kadang-kadang lebih
disukai, namun pendekatan unidimensional adalah
lazim dalam sains perilaku. Misalnya, pendekatan
u8nidimensional kerap kali digunakan oleh para
peneliti yang berkeinginan untuk mengestimasi
prevalensi burnout dalam beberapa sampel
(misalnya, Schaufeli dan Enzman, 1998). Lebih
lanjut, keuntungan pendekatan unidimen-dional
mungkin akan lebih besar daripada kerugiannya,
tergantung pada kompleksitas desain penelitiannya.
Dengan adanya sampel-sampel yang besar dan
bervariasi dalam studi sekarang ini, terdapat
perhatian bahwa pengujian dimensi burnout di
sembilan negara mungkin akan mengaburkan
pertanyaan-pertanyaan riset utama.

3) Efiksasi-Diri
Indikator efiksasi-diri dinilai dengan
menggunakan tujuh item yang merepresentasikan
konfidensi dalam kemampuan seseorang untuk
menjalankan pekerjaannya, ukuran ini secara
konseptual adalah sama dengan ukuran efiksasi-diri

Kelelahan Kerja (Burnout) 239


yang digunakan oleh Prussia dan rekan-rekannya,
91998). Ukuran khusus disadur dari skala
penguasana 7-item Pearlin dan Schooler. Beberapa
respons berkisar dari sangat tidak setuju (1) sampai
sangat setuju (7). Item-item sampel mencakup
“Saya memiliki sedikit kontrol atas sesuatu yang
terjadi pada saya” (skor kebalikan) dan “Saya hanya
dapat melakukan segala sesuatu yang benar-benar
saya ingin kerjakan”.

c. Analisis
1) Hubungan Mediator
Dengan mengikuti Baron dan Kenny (1986),
serangkaian persamaan regresi destinasi dalam
data sembilan negara untuk menguji efek mediator
efiksasi-diri dalam hubungan antara stressor peran
dan burnout. Pertama, mediator (yakni efiksasi-diri)
diregresikan dalam variabel independent/ bebas
(yakni stressor peran). Kedua, variabel
dependent/terikat (yakni stressor peran) dan
mediator (yakni efiksasi-diri). Supaya mediator bisa
ditetapkan, efek variabel bebas dalam variabel
terikat harus lebih kecil dalam persamaan ketiga
daripada dalam persamaan kedua. Jika beta itu
lebih kecil dalam persamaan ketiga, namun
signifikan, mediator parsial dapat ditetapkan. Jika
betanya tidak lagi signifikan dalam persamaan
ketiga, mediator penuh bisa ditetapkan. Pendekatan
yang sama digunakan untuk semua daerah.

240 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


2) Perbandingan Variabel Studi di Semua
Daerah Suatu Negara
Bagian dari analisis ini terdiri dari empat
tahap. Tahap analisis pertama adalah untuk
mengalkulasi MANCOVA satu-arah untuk me-
nentukan apakah terdapat perbedaan di sembilan
daerah suatu negara untuk empat variabel studi
(yakni konflik peran, ambiguitas peran, burnout, dan
efiksasi-diri). Kedua, jika sebuah efek signifikan
ditemukan untuk MANCOVA, analisis univariasi
(ANCOVA) dikalkulasi untuk empat variabel studi,
dengan menggunakan demografi yang diidentifikasi
dalam Tabel 2 sebagai kovariasi. Ketiga, kovariasi
yang mengontribusi kan secara signifikan masing-
masing empat variabel studi diidentifikasi, dan
ANCOVA dijalankan kembali dengan hanya
menggunakan kovariasi signifikan. Untuk masing-
masing variabel signifikan yang diidentifkasi oleh
ANCOVA, multi-tes perbandingan Duncan
dijalankan untuk mengidentifikasi mana dari
sembilan kultur yang berbeda satu sama lain (Kirk,
1982). Terakhir, tiga variabel demografi yang secara
signifikan mengontribusikan variabel studi (yakni
gender, status pernikahan, dan posisi) dimasukkan
kembali sebagai kontrol sebelum mengadakan
analisis mediator.

d. Hasil-Hasil
1. Reliabilitas Skala
Estimasi konsistensi internal (alpha
Cronbach), menurut negaranya, berkisar dari.72

Kelelahan Kerja (Burnout) 241


sampai.85 untuk konflik peran,.67 sampai.85 untuk
ambiguitas peran,.64 sampai.80 untuk efiksasi-diri
dan.85 sampai.93 untuk burnout. Reliabilitas untuk
beberapa variabel itu adalah sedang sampai tinggi.

2. Perbandingan Konsistensi Lintas-Kultural


dalam Empat Variabel Studi
MANCOVA menunjukkan sebuah efek lambda
Wilks [ =.82, df = 3,8,922, P <.001). Mengingat
penemuan inilah, ANCOVA dikalku-lasi untuk
menentukan signifikansi masing-masing empat
variabel studi-konflik peran, ambiguitas peran,
efiksasi-diri dan burnout. Semua empat acnova
adalah signifikan. Hasil-hasil means, standar
deviasi, dan tes-F ANCOVA dilaporkan dalam Tabel
3. Selama semua ANCOVA adalah signifkan, multi-
tes perban-dingan Duncan dijalankan untuk masing-
masing empat variabel studi. Tabel 4
menggambarkan hasil-hasil multi-tes perbandingan
Duncan. Pada esensinya kami tertarik dalam
mengevaluasi signifikansi semua perbedaan antara
pasangan means.

Tabel 3 Hasil-hasil ANCOVA untuk empat variabel studi di


sembilan negara

Variabel studi Kultur Mean S.D. F


Konflik perana,b Israel 2.86 1.17 22.37***
Brazil 2.92 1.14
Jerman 3.15 1.11
Amerika Serikat 3.24 1.18
Jepang 3.29 0.77

242 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Variabel studi Kultur Mean S.D. F
Hong Kong 3.33 1.05
Cina 3.37 0.93
Fiji 3.84 1.13
Perancis 4.52 1.36
Ambiguitas Fiji 2.49 0.82 78.80***
peranc
Cina 2.71 0.87
Israel 2.90 0.78
Hong Kong 2.96 0.84
Amerika Serikat 3.03 1.14
Jepang 3.12 0.79
Brazil 3.27 1.19
Jerman 3.71 0.87
Perancis 5.19 1.03
Efiksasi-diri Perancis 4.30 0.91 118.91***
Jerman 3.04 0.86
Hong Kong 4.56 0.95
Fiji 4.58 1.03
Brazil 4.87 1.27
Cina 4.95 0.70
Jepang 5.12 0.76
Israel 5.47 1.05
Amerika Serikat 5.70 0.90
Burnout a,c
Israel 2.19 0.43 8.19***
Perancis 2.23 0.47
Jerman 2.27 0.48
Amerika Serikat 2.30 0.48
Cina 2.33 0.42
Brazil 2.50 0.61
Hong Kong 2.57 0.49
Fiji 2.57 0.44
Jepang 2.60 0.48
Covariasi yang dimasukkan dalam analisis: gender, bstatus pernikahan, cposisi
a

terbaru dalam organisasi.


*** P <.001

Kelelahan Kerja (Burnout) 243


Beberapa perbedaan yang ditemukan oleh analisis
ANCOVA secara jelas menunjukkan bahwa level-level
stressor peran (konflik peran dan ambiguitas peran)
adalah bervariasi di semua kultur. Sebaliknya, tendensi
untuk burnout dan tingkat efiksasi-diri tidaklah universal
di semua kultur dan tidak berbanding dengan tingkat
stressor peran yang ditemukan di Amerika Serikat. Namun
demikian, yang lebih menarik adalah hasil-hasil multi-tes
perbandingan Duncan. Dalam basis per kultur di semua
sembilan kultur dalam studi ini, beberapa kecenderungan
yang didefinisikan secara kasar dapat ditemukan.
Misalnya, di Amerika Serikat dan Israel, di mana konflik
peran dan ambiguitas peran adalah rendah sampai
sedang, kami menemukan efiksasi-diri tinggi dan burnout
rendah. Sebaliknya, di Hong Kong, di mana konflik peran
dan ambiguitas peran adalah rendah sampai sedang, kami
menemukan efiksasi-diri rendah dan burnout tinggi.
Namun demikian, temuan-temuan untuk beberapa kultur
lain tidaklah sesuai dengan hasil-hasil tersebut. Jadi,
hasil-hasil ANCOVA/multi-tes perbandingan memberikan
sebuah jawaban alternatif terhadap pertanyaan pertama
– apakah terdapat perbedaan-perbedaan tingkat dalam
variabel-variabel studi di semua kultur?

244 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Tabel 4 Hasil-hasil multi-tes perbandingan Duncan untuk sembilan kultur dalam variabel efiksasi-diri,
burnout, konflik peran, dan ambiguitas peran
Dimensi Negara
Konflik peran Israel
Brazil
Jerman
Amerika * *
Serikat
Jepang * *
Hong * *
Kong
Cina * *
Fiji * * * * * * *
Perancis * * * * * * * *
Israel Brazil Jerman Amerika Jepang Hong Cina Fiji Perancis
Serikat Kong
Ambiguitas Fiji
peran
Cina
Israel *
Hong *
Kong

Kelelahan Kerja (Burnout) 245


Dimensi Negara
Amerika * *
Serikat
Jepang * *
Brazil * * * *
Jerman * * * * * * *
Perancis * * * * * * * *
Fiji Cina Israel Hong Amerika Jepang Brazil Jerman Perancis
Kong Serikat
Efiksasi-diri Perancis
Jerman *
Hong * *
Kong
Fiji * *
Brazil * * * *
Cina * * * *
Jepang * * * *
Israel * * * * * * *
Amerika * * * * * * *
Serikat
Perancis Jerman Hong Fiji Brazil Cina Jepang Israel Amerika
Kong Serikat

246 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Dimensi Negara
Burnout Israel
Perancis
Jerman
Amerika
Serikat
Cina
Brazil * * * * *
Hong * * * * *
Kong
Fiji * * * * *
Jepang * * * * *
Israel Perancis Jerman Amerika Cina Brazil Hong Fiji Jepang
Serikat Kong
*Menunjukkan bahwa beberapa perbandingan adalah signifikan pada level P <.05, yang mengontrol tingkat kesalahan experiment-wise.

Kelelahan Kerja (Burnout) 247


Namun demikian, analisis tersebut tidaklah cukup
untuk menjawab pertanyaan kedua – apakah hubungan di
antara variabel-variabel studi itu adalah universal,
meskipun level masing-masing variabel itu tidaklah
universal? Oleh karena itu, langkah selanjutnya adalah
dengan menguji model burnout stressor peran-efiksasi-
diri yang diajukan untuk masing-masing daerah suatu
negara.

e. Perbandingan Lintas-Nasional atas Model Stress


Hasil-hasil mediator regresi untuk masing-masing
sembilan negara dilaporkan dalam Tabel 5 dan 6.
Hubungan antara ambiguitas peran, efiksasi-diri, dan
burnout dilaporkan dalam Tabel 5; dan hubungan antara
konflik peran, efiksasi-diri, dan burnout dilaporkan dalam
Tabel 6.

Tabel 5 Koefisien estimasi untuk hubungan mediator dengan


ambiguitas peran, efiksasi-diri, dan burnout
Koefisien
Nega ra Ambiguitas  Ambiguitas Efiksasi- F
efiksasi-diri  burnout diri 
burnout
Amerika 0.16 0.51** -0.51** 11.68**
Serikat
Jerman - 0.41** 0.51** -0.36** 4.12**
Perancis -0.23** 0.51** -0.50** 7.25**
Brazil -0.18* 0.51** -0.65** 19.87**
Israel -0.26** 0.51** -0.27** 14.33*
Jepang -0.35** 0.51** -0.31** 6.31**
Hong Kong -0.31* 0.51** -0.51** 11.85*
Cina -0.46* 0.51** -0.63** 9.68**
Fiji -0.18* 0.51** -0.47** 5.92**

248 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


df = 1.
*P <.05
** P <.01

Tabel 6 Koefisien estimasi untuk hubungan mediator dengan


konflik peran, efiksasi-diri, dan burnout
Koefisien
Negara Konflik  Konflik  Efiksasi-diri F
efiksasi-diri burnout  burnout
Amerika -0.40** 0.22*
Serikat 0.01 -0.51** 11.68*
Jerman 0.06 0.09
0.12 -0.36** 4.12**
Perancis -0.10 -0.06
0.02 -0.50** 7.25**
Brazil -0.11** 0.07
0.01 -0.65** 19.87**
Israel -0.15 0.31**
0.27* -0.27** 14.33**
Jepang -0.02 0.07
0.06 -0.31** 6.31**
Hong Kong -0.09 0.05 -0.48**
0.01 -0.51** 11.85**
Cina -0.09 0.05
0.08 -0.63** 9.68**
Fiji -0.35 0.18*
0.01 -0.47** 5.92**

df = 1.
*P <.05
** P <.01

1) Amerika Serikat
Ambiguitas peran tidak memiliki hubungan dengan
efiksasi-diri namun memiliki sebuah hubungan positif

Kelelahan Kerja (Burnout) 249


dengan burnout ( =.23, P <.05). Pengujian untuk
mediator adalah mustahil. Efiksasi-diri memiliki hubungan
negatif dengan burnout ( = -.51, P <.01). Konflik peran
memiliki efek negatif pada efiksasi-diri ( = -.40, P <.01)
dan efek positif pada burnout ( = -.22, P <.05).
sebagaimana yang dapat dilihat dalam Tabel 6, ketika
efiksasi-diri dimasukkan ke dalam persamaan, konflik
peran tidak lagi mempengaruhi burnout. Jadi, efiksasi-diri
benar-benar memediatori hubungan antara konflik peran
dan burnout, yang sebagian mendukung hipotesis.

2) Jerman
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri ( = -.41, P <.01) dan hubungan
positif dengan burnout ( = -.25, P <.10). Konflik peran
tidak memiliki efek pada efiksasi-diri; jadi, tidak ada
analisis lanjutan untuk mediator yang dibenarkan.
Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 5, ketika
efiksasi-diri dimasukkan ke dalam persamaan, efiksasi-
diri memiliki hubungan negatif dengan burnout ( = -.36,
P <.01) namun ambiguitas peran tidak lagi memiliki
dampak signifikan. Jadi, efiksasi-diri benar-benar
memediatori hubungan antara ambiguitas peran dan
burnout.

3) Perancis
Ambiguitas peran ditemukan memiliki hubungan
negatif dengan efiksasi-diri ( = -.23, P <.01), namun tidak
memiliki hubungan dengan burnout. Konflik peran tidak
memiliki hubungan sama sekali dengan efiksasi-diri atau
burnout. Ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam

250 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


persamaan, ini memiliki hubungan negatif terprediksi
dengan burnout ( = -.50, P <.01). Tidak ada efek mediator
yang ditemukan untuk sampel Perancis.

4) Brazil
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri ( = -.18, P <.01) dan hubungan
positif dengan burnout ( =.29, P <.01). Setelah efiksasi-
diri dimasukkan ke dalam persamaan, efiksasi-diri
memiliki hubungan negatif dengan burnout yang
dilaporkan ( = -.65, P <.01) selama ambiguitas peran
masih memiliki hubungan positif dengan burnout,
meskipun kekuatan hubungan itu jatuh ( =.18, P <.01).
Jadi, kami berargumen bahwa efiksasi-diri sebagian
memediatori hubungan antara ambigui-tas peran dan
burnout. Efiksasi-diri tidak memediatori hubungan antara
ambiguitas peran dan burnout. Efiksasi-diri tidak
memediatori hubungan antara konflik peran dan burnout.
Konflik peran memiliki sebuah efek negatif pada efiksasi-
diri ( = -.11, P <.01) namun tidak memiliki efek apapun
pada burnout untuk sampel Brazil; jadi, mediator tidak
ditemukan.

5) Israel
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri ( = -.26, P <.01) dan hubungan
positif dengan burnout ( =.16, P <.01). Efiksasi-diri
memiliki hubungan negatif dengan burnout (( = -.27, P
<.01). Sebagaimana yang dapat dilihat dalam Tabel 5,
ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam persamaan,
ambiguitas peran tidak lagi memiliki hubungan positif

Kelelahan Kerja (Burnout) 251


signifikan dengan burnout yang dilaporkan. Konflik peran
tidak memiliki hubungan apapun dengan efiksasi-diri
namun memiliki hubungan positif dengan burnout yang
dilaporkan ( =.31, P <.01). Temuan-temuan tersebut
menunjukkan sebuah efek mediator parsial untuk
efiksasi-diri dalam hubungan ambiguitas peran–burnout.
Mengingat tidak adanya hubungan yang eksis untuk
konflik peran dan efiksasi-diri, tidak ada mediator yang
ditemukan.

6) Jepang
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri ( = -.35, P <.01) dan hubungan
positif dengan burnout ( =.28, P <.01). Efiksasi-diri
memiliki sebuah hubungan negatif dengan burnout ( = -
.31, P <.01). Ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam
persamaan, ambiguitas peran masih memiliki hubungan
positif dengan burnout ( =.17, P <.01). beta jatuh dari.28
ke.17, sehingga menunjukkan efek-efek mediator parsial
untuk efiksasi-diri dalam hubungan ambiguitas peran–
burnout. Konflik peran tidak memiliki hubungan dengan
efiksasi-diri atau burnout.

7) Hong Kong
Ambiguitas peran memiliki sebuah hubungan
negatif fon efiksasi-diri ( = -.31, P <.01) dan sebuah
hubungan positif dengan burnout ( =.38, P <.01). Konflik
peran tidak memiliki hubungan dengan efiksasi-diri atau
burnout. Ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam
persamaan, ini memiliki sebuah hubungan negatif dengan
burnout ( = -.51, P <.01). Ambiguitas peran masih

252 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


memiliki sebuah hubungan positif dengan burnout ( =.22,
P <.05) namun beta-nya jatuh, sehingga menunjukkan
sebuah efek mediator parsial untuk efiksasi-diri dalam
hubungan ambiguitas peran-burnout.

8) Cina
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri ( = -.46, P <.05) dan hubungan
positif dengan burnout ( =.35, P <.05). Konflik peran tidak
memiliki hubungan dengan efiksasi-diri atau burnout; jadi,
tidak ada analisis mediator lanjutan yang diperlukan.
Ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam persamaan,
efiksasi-diri memiliki sebuah hubungan negatif dengan
burnout yang dilaporkan ( = -.63, P <.01) dan ambiguitas
peran tidak lagi memiliki sebuah hubungan dengan
burnout; jadi, efiksasi-diri benar-benar memediatori
hubungan antara ambiguitas peran dan burnout.

9) Fiji
Ambiguitas peran memiliki hubungan negatif
dengan efiksasi-diri dan hubungan positif dengan burnout
( = -.18, P <.05;  =.26, P <.01). selain itu, konflik peran
memiliki hubungan negatif dengan efiksasi-diri dan
hubungan positif dengan burnout ( = -.35, P <.01);  =.18,
P <.05). Sebagaimana yang telah diduga, ketika efiksasi-
diri dimasukkan ke dalam persamaan, efiksasi-diri
memiliki sebuah hubungan negatif dengan burnout ( = -
.47, P <.01). Tidak ada ambiguitas peran atau konflik
peran yang mempertahankan sebuah hubungan dengan
burnout ketika efiksasi-diri dimasukkan ke dalam

Kelelahan Kerja (Burnout) 253


persamaan; jadi, dukungan ditemukan untuk mediator
penuh.

f. Ringkasan Hasil-Hasil
Sebuah ringkasan antar negara terhadap hubungan
agar konflik peran, ambiguitas peran, burnout, dan
efiksasi-diri disajikan dalam Tabel 7. Tabel ini juga
melaporkan dukungan hipotesis untuk efiksasi-diri
sebagai variabel mediator antara konflik
peran/ambiguitas peran dan burnout.
Hubungan antara konflik peran dan efiksasi-diri dan
konflik peran dan burnout tidaklah konsisten di semua
kultur. Konflik peran ditemukan memiliki hubungan
negatif dengan efiksasi-diri untuk negara Amerika Serikat,
Brazil, dan Fiji saja; tidak ada hubungan signifikan statistik
yang ditemukan untuk enam negara lainnya. Selain itu,
konflik peran ditemukan memiliki hubungan positif
dengan burnout untuk negara atau daerah Amerika
Serikat, Israel, dan Fiji saja.

254 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Tabel 7 Ringkasan temuan-temuan hubungan untuk konflik peran, ambiguitas peran, burnout, dan efiksasi-
diri di sembilan kultur dalam studi
Negara Konflik peran Konflik Ambiguitas peran Ambiguitas peran Efiksasi-diri Dukungan
dan efiksasi- peran dan dan efiksasi-diri dan burnout dan burnout hipotesis
diri burnout mediator
Amerika - + 0 + - Partial
Serikat
Jerman 0 0 - + - Partial
Perancis 0 0 - 0 - None
Brazil - 0 - + - Partial
Israel 0 + - + - Partial
Jepang 0 0 - + - Partial
Hong Kong 0 0 - + - Partial
Cina 0 0 - + - Partial
Fiji - + - + - Full
+ = sebuah hubungan positif; - = sebuah hubungan negatif; 0 = tidak hubungan yang signifikan.

Kelelahan Kerja (Burnout) 255


Hubungan antara ambiguitas peran dan efiksasi-diri dan
ambiguitas peran dan burnout adalah jauh lebih kuat di semua
daerah suatu negara. Yang menarik, kecuali Amerika Serikat,
ambiguitas peran memiliki sebuah hubungan negatif dengan
efiksasi-diri di semua kultur. Selanjutnya, ambiguitas peran
memiliki hubungan positif dengan burnout untuk semua daerah
di suat negara, kecuali Perancis. Nampaklah bahwa ambiguitas
peran memiliki hubungan pervasif dan membahayakan dengan
outcome personal secara global. Terakhir, semua sembilan
negara memiliki sebuah hubungan negatif signifikan-statistikatr
efiksasi-diri dan burnout.
Berkaitan dengan hipotesis mediator efiksasi-diri, semua
negara (dengan perkecualian Perancis) menampakkan
mediator parsial atau penuh dalam hubungan konflik peran
dan/atau ambiguitas peran-burnout. Efiksasi-diri memediatori
hubungan antara konflik peran dan burnout untuk Amerika
Serikat dan Fiji saja. Dalam mendukung gagasan Bandura
(1997) atas ambiguitas peran yang berpengaruh negatif pada
efiksasi-diri, temuan-temuan kami menunjukkan dukungan
yang kuat terhadap efek-efek mediator efiksasi-diri dalam
hubungan ambiguitas peran-burnout. Secara khusus efiksasi-
diri secara parsial atau penuh memediatori hubungan
ambiguitas peran-burnout di Jerman, Brazil, Israel, Jepang,
Hong Kong, Cina, dan Fiji. Yang menarik, untuk sampel Fiji,
mediator penuh untuk efiksasi-diri ditemukan dalam hubungan
konflik peran-burnout dan ambiguitas peran-burnout.
Sebagaimana yang diilustrasikan dalam means variabel-
variabel hubungan stress yang dilaporkan dalam Tabel 3,
terdapat perbedaan global substansial di sembilan kultur dalam
studi kami. Namun demikian, pada level hubungan, terdapat
konsistensi berlebih di semua kultur. Dalam bagian berikutnya,
kami akan mendiskusi-kan secara detil implikasi-implikasi

256 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


lintas-kultural dalam hubungan stress yang dipertimbangkan
dalam studi ini.

6. Diskusi
Dalam bagian pendahuluan kami, kami telah
mengidentifikasi dua pertanyaan riset. Pertama, apakah level-
level variabel studi (konflik peran, ambiguitas peran, efiksasi-
diri, dan bunrout) konsisten di semua negara yang diteliti?
Kedua, apakah hubungan di antara empat variabel studi
konsisten di semua negara, tanpa meman-dang apakah level-
level aktualnya konsisten? Temuan-temuan kami menun-
jukkan tingkat dukungan yang bervariasi untuk model stress
yang kami ajukan.

a. Sebuah Perbandingan Lintas-Kultural terhadap Level-


Level Empat Variabel Studi
Sebagaimana yang dapat dilihat dalam Tabel 4, temuan-
temuan kami jelas menunjukkan bahwa level-level aktual
konflik peran, ambiguitas peran, dan burnout berbeda signifikan
di sembilan kultur dalam studi ini. selain itu, level efiksasi-diri
yang dirasakan juga bervariasi secara signifikan.

1) Stressor-Konflik Peran dan Ambiguitas Peran


Untuk konflik peran, Perancis dan Fiji adalah tinggi; Israel,
Brazil, dan Jerman adalah rendah, dengan empat lain dalam
kisaran sedang. Untuk ambiguitas peran, Perancis adalah tinggi
dan Fiji dan Cina adalah rendah. Dalam kisaran sedang, Brazil
dan Jerman adalah agak tinggi dan Israel, Hong Kong, Jepang,
dan Amerika Serikat adalah rendah. Selama Perancis tetap
tinggi dalam kedua stressor, terdapat banyak perbedaan di
semua kultur – misalnya, Fiji, Jerman dan Brazil. Jadi, jelaslah

Kelelahan Kerja (Burnout) 257


bahwa ketika melaksanakan bisnis di luar negeri dan bekerja
sama dengan individu-individu dari kultur-kultur berbeda,
sesuatu yang akan menjadi sumber stress dapat bervariasi
secara signifikan di semua kultur.

2) Burnout
Temuan-temuan kami untuk burnout dibagi ke dalam dua
kelompok. Kluster wilayah burnout-tinggi adalah Jepang, Fiji,
Hong Kong dan Brazil, sedangkan kluster rendah adalah Israel,
Perancis, Jerman, Cina, dan Amerika Serikat. Dari penelitian,
baik empiris maupun anekdotal, nampaklah bahwa terdapat
kemudahan untuk memahami burnout tinggi di Jepang dan
Hong Kong. Di samping itu, Fiji dan Brazil nampaknya bukan
merupakan anggota intuitif dalam kategori ini. Namun demikian,
terdapat penelitian orga-nisasional yang kecil yang dijalankan di
area-area tersebut, khususnya Fiji. Jadi, temuan-temuan itu
nampaknya mendukung kebutuhan terhadap penelitian empiris
yang baik tentang perekono-mian melebihi temuan-temuan
yang kami fokuskan secara khusus ini. Untuk dua kelompok
burnout, Perancis adalah anggota yang paling menarik, sebab
level tinggi konflik peran dan ambiguitas perannya. Temuan
paradoks dari beberapa responden Perancis mungkin adalah
akibat dari kultur Perancis. Meskipun karyawan Perancis
memiliki reputasi terhadap produktivitas tinggi, mereka tidak
setuju sepanjang waktu dan rata-rata mereka memiliki liburan
terpanjang di dunia (Barsoux dan Lawrence, 1991), Perancis
percaya bahwa kualitas hidup adalah yang paling penting; jadi,
mereka tidak mungkin mengalami level burnout yang tinggi.

258 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


3) Efiksasi-Diri
Amerika Serikat adalah paling tinggi dalam ukuran
efiksasi-diri, dengan Perancis yang berada di ukuran efiksasi-
diri yang rendah. Negara lain dapat dideskripsikan sebagai
negara berukuran sedang. Jadi, negara nampaknya terkait
dengan konsep diri seseorang tentang kemampuan seseorang.
Temuan ini memiliki implikasi-implikasi untuk orang-orang yang
menjalankan bisnis dalam pangsa pasar global. Misalnya,
individu dari negara berbeda mungkin berkeinginan untuk
mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaannya sampai
tingkatan yang berva-riasi, tergantung pada disposisi seseorang
terhadap efiksasi-diri.
Mengingat perbedaan-perbedaan dalam level itu
ditemukan untuk stressor, burnout, dan efiksasi-diri di semua
sembilan negara dalam studi kami, ada baiknya menginvestigasi
hubungan lintas-nasional di antara variabel-variabel tersebut.
Kami sekarang ingin melihat tentang apakah hubungan
variabel-variabel tersebut konsisten meskipun level-level
aktualnya tidak.

b. Sebuah Perbandingan Lintas-Kultural di antara Empat


Variabel Studi
Penelitian internasional sebelumnya yang menguji
stressor peran memfokuskan pada perbedaan-perbedaan
dalam kultur sebagai anteseden terhadap stressor peran
(misalnya, Peterson dan rekan-rekannya, 1995). Tujuan terakhir
studi ini adalah untuk menguji konsistensi lintas-kultural atas
konsekuensi-konsekuensi stressor peran organisasio-nal dalam
burnout dengan menggunakan efiksasi-diri sebagai variabel
mediator yang dapat menjelaskan mengapa stressor peran
terkait dengan konse-kuensi-konsekuensi disfungsional.

Kelelahan Kerja (Burnout) 259


Mungkin, temuan yang paling menonjol adalah konsisten
dengan efiksasi-diri yang terkait dengan level rendah burnout,
kami menemukan bahwa untuk setiap negara, efiksasi-diri
memiliki hubungan negatif fon burnout. Jadi, nampaklah bahwa
efiksasi-diri rendah memiliki hubungan yang secara universal
membahayakan dengan burnout.
Ambiguitas peran memiliki hubungan disfung-sional
dengan efiksasi-diri untuk semua negara kecuali untuk Amerika
Serikat. Ambiguitas peran tidak memiliki efek kuat pada
persepsi karyawan Amerika Serikat terhadap kapabilitasnya
sebagaimana persepsi-persepsi karyawan dalam kultur-kultur
lainnya, atau terdapat variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam studi yang relevan dengan beberapa hubungan ini.
Berkaitan dengan mediator, efiksasi-diri memediatori
hubungan antara ambiguitas peran dan burnout untuk semua
sampel kecuali Amerika Serikat dan Perancis. Ambiguitas peran
memiliki hubungan positif dengan burnout untuk semua kultur
kecuali Perancis. Jadi, ambiguitas peran nampaknya ada-lah
stressor yang konsisten dengan konsekuensi-konsekuensi
disfungsional. Sebagaimana yang telah didiskusikan sejak awal,
para responden Perancis melaporkan level tertinggi ambiguitas
peran, namun level rendah burnout.
Konflik peran tidak begitu banyak berjalan secara
konsisten dibandingkan ambiguitas peran selama konflik peran
memiliki hubungan negatif dengan efiksasi-diri di Amerika
Serikat, Brazil, dan Fiji dan hubungan positif dengan burnout di
Amerika Serikat, Israel, dan Fiji. Konflik peran tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan efiksasi-diri dan burnout di
Jerman, Perancis, Jepang, Hong Kong, atau Cina. Jelaslah
bahwa konflik peran tidak beroperasi secara sama di berbagai
kluster. Sebagai ringkasan, meskipun efiksasi-diri terkait
konsisten dengan ambiguitas peran daripada konflik peran di

260 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


semua negara, sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 7,
namun tidak ada hubungan universal yang terjadi. Jadi,
nampaklah bahwa efiksasi-diri adalah relevan sebagai efek
mediator hubungan outcome, namun tidak universal untuk
semua stressor, dan seluruhnya tidak konsisten dengan semua
negara. Oleh karena itu, nampaklah bahwa langkah selanjutnya
dalam menjelaskan efek-efek diferen-sial konflik peran di
semua negara adalah dengan mengidentifikasi secara lebih
khusus dinamika kultural yang mungkin terjadi di dalam negara-
negara tersebut. Dengan demikian, selama efiksasi-diri jelas
menjadi faktor penting dalam hubungan stress, terdapat faktor-
faktor lain yang seharusnya juga dimasukkan.

c. Limitasi
Satu dari beberapa limitasi studi ini yakni seleksi negara
kami tidak memasukkan semua daerah terkemuka. Studi ini
pada mulanya didesain untuk memasukkan 11 negara:
sembilan negara yang didiskusikan di sini (Amerika Serikat,
Jerman, Perancis, Brazil, Israel, Jepang, Cina, Hong Kong, dan
Fiji), plus Mesir, dan Argentina. Kami ingin memiliki negara-
negara representatif dari ekonomi maju dan sedang
berkembang yang terkemuka di seluruh dunia (Amerika Utara,
Eropa Barat, Asia,dan Timur Tengah). Kami juga menginginkan
negara-negara tersebut merepresen-tasikan “kluster-kluster
negara” Ronen dan Shenkar (1985) dan juga memasukkan
negara-negara independen relevan yang tidak sesuai dengan
kluster khusus daerah geografisnya. Sayangnya, kami tidak
mampu mengumpulkan data di Argentina dan Mesir. Argentina
adalah representatif kluster Amerika Selatan dari Amerika Latin
kami. Sebagaimana yang telah disebutkan sejak awal, Brazil
adalah negara independen menurut klasifikasi Ronen dan
Shenkar, sebab perbedaan bahasa. Terakhir, Mesir adalah

Kelelahan Kerja (Burnout) 261


representatif kluster Timur Tengah kami. Sama dengan Brazil,
Israel juga merupakan negara independen, sebab perbedaan
bahasa dengan negara lain dalam kluster Timur Tengah.
Meskipun sebagian besar menyepakati bahwa studi sembilan-
negara yang merentang di seluruh dunia sebagai negara yang
dapat diterima, namun demikian terdapat “lubang” dalam
desain kami yang mencegah kami untuk memasukkan semua
daerah ekonomi maju dan berkembang di seluruh dunia saat ini.
Limitasi lainnya yakni kultur negara tidak diukur secara
langsung. Kami lebih menggunakan penelitian konseptual lama
dan juga temuan riset empiris untuk mendukung penjelasan
konseptual kami terhadap temuan-temuan itu, dan menawar-
kan petunjuk untuk penelitian mendatang. Meskipun beberapa
argumen dibuat berkaitan dengan masing-masing negara yang
merepresen-tasikan kultur-kultur tersebut, ukuran-ukuran
langsung kultur itu dapat mempertinggi program penelitian ini.
Terakhir, kami memiliki kemampuan yang terbatas untuk
membuat pernyataan kausal yang kuat akibat sifat cross-
sectional studi ini. misalnya, beberapa individu yang mengalami
burnout kemungkinan besar melaporkan level rendah efiksasi-
diri dan level tinggi stressor peran.
Penelitian mendatang dapat membantu studi burnout
cross-sectional dengan (a) menguji hubungan dalam studi-studi
longitudinal, (b) menggabungkan variabel-variabel tambahan ke
dalam model burnout, dan (c) menguji multi-dimensional
burnout. Yang jelas, supaya bisa mempelajari proses burnout,
penelitian longitu-dinal diperlukan. Misalnya, dengan menguji
rentang yang dibutuhkan, stressor kronis yang mempengaruhi
efiksasi-diri dan burnout dapat menjadi sesuat yang penting
guna memahami proses burnout. Selanjutnya, kami perlu
mengga-bungkan variabel-variabel tambahan, seperti respons
penanggulangan, ke dalam studi burnout. Penggabungan

262 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


strategi penanggulangan khusus bisa membantu memberikan
pengetahuan tambahan tentang perbedaan-perbedaan lintas-
nasional. Misalnya, kultur-kultur negara khusus mungkin lebih
atau kurang rentan terhadap penggunaan dan penerimaan
pemanfaatan dukungan sosial sebagai bentuk penanggulangan
yang sah; ini kemungkinan besar akan mempengaruhi proses
burnout.
Terakhir, mengingat adanya konstruk burnout yang
dianggap bersifat multidimensional, penelitian mendatang
diperlukan untuk menguji beberapa anteseden dan
konsekuensi dimensi-dimensi burnour khusus. Moore (2000),
misalnya, berargumen bahwa individu-individu yang mengalami
keletihan (kompo-nen burnout utama), kemungkinan besar
akan mengalami konsekuensi-konsekuensi negatif, tergan-tung
pada atribusi-atribusi kausalnya. Lee dan Ashforth (1996)
mengadakan meta-analisis dan menunjukkan bahwa
komponen-komponen burnout berkaitan dengan outcome
seperti intensi perantian, komitmen organisasional, dan
penanggulangan kontrol. Zellars dan Perrewe (2001)
menemukan bahwa beberapa anteseden seperti kepribadian
dan dukungan sosial secara berbeda berkaitan dengan dimensi-
dimensi burnout. Yang jelas, penelitian tambahan diperlukan
untuk menguji multidimen-sionalitas dan proses burnout yang
kompleks di lingkup lintas-nasional.

d. Implikasi-Implikasi
Studi saat ini berusaha untuk menguji konsekuensi-
konsekuensi disfungsional stressor peran di semua kultur
negara. Temuan-temuan dari studi ini mengontribusikan
literatur terbaru dalam beberapa hal. Pertama, efiksasi-diri
rendah terkait dengan burnout tinggi di semua negara. Jadi,
perasaan yang dialami oleh seseorang bahwa ia tidak mampu

Kelelahan Kerja (Burnout) 263


menyelesaikan pekerjaan orang lain terkait dengan laporan-
laporan burnout di seluruh negara.
Kedua, stressor peran lingkungan (khusus-nya ambiguitas
peran) terkait dengan level rendah efiksasi-diri, tergantung
pada negaranya. Meski-pun konflik peran dan ambiguitas peran
memiliki efek-efek diferensial dalam efiksasi-diri yang
bergantung pada negaranya, semua responden melaporkan
level rendah efiksasi-diri dalam konflik peran, ambiguitas peran
atau keduanya.
Terakhir, efiksasi-diri atau penguasaan nampaknya
menjadi variabel eksplanatory/ mediator dalam hubungan
stressor peran-burnout yang memiliki kekuatan prediktif di
seluruh negara tersebut. Meskipun terdapat variabel-variabel
lain yang mengontribusikan penjelasan mengenai mengapa
stressor peran lingkungan mempengaruhi burnout, namun
efiksasi-diri nampaknya menjadi konstruk yang konsisten di
lingkup lintas-nasional. Temuan-temuan dari penelitian ini
menunjukkan bahwa stressor peran lingkungan terkait dengan
efiksasi-diri yang dirasakan rendah, yang sebaliknya akan
memiliki efek negatif pada burnout. Temuan-temuan itu
menunjukkan peran penting efiksasi-diri dalam hubungan
stressor-ketegangan. Selama terdapat beberapa bukti bahwa
efiksasi-diri dapat dipertinggi (Eden dan Kinnar, 1991; Eden dan
Zuk, 1995), salah satu implikasi pentingnya adalah dalam
mengenalkan program-program yang didesain untuk
mempertinggi efiksasi-diri. Temuan Earley (1994) dari studi
multidimensional menunjukkan bahwa bagi beberapa individu,
training fokus-diri memiliki dampak yang lebih kuat pada
efiksasi-diri dan kinerja daripada training fokus-kelompok.
Sebaliknya, bagi kolektivis, training fokus-kelompok memiliki
dampak yang lebih kuat pada efiksasi-diri dan kinerja daripada
training fokus-diri. Dengan memperluas penelitian ini ke

264 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


burnout (dan juga outcome lain), tidaklah mustahil bahwa
proses yang sama beroperasi. Berdasarkan pada temuan-
temuan terbaru yang dipadukan dengan studi Earley, penelitian
mendatang diperlukan untuk menguji efek-efek training fokus-
diri dan fokus-kelompok dalam efiksasi-diri dan burnout di
lingkup lintas-nasional.

Tabel 8 Ringkasan empat dimensi Hostede dan hasil-hasil


studi terhadap konflik peran, ambiguitas peran, efiksasi-diri,
dan burnout
Tidak
Dimensi Tinggi Sedang Rendah
diketahui
Jarak Brazil Amerika Cina
kekuasaan Serikat
Hong Kong Jerman Fiji
Perancis Israel
Jepang
Individualisme- Amerika Israel Hong Cina
kolektivisme Serikat Kong
Perancis Jepang Fiji
Jerman Brazil
Maskulinitas- Jepang Amerika Cina
femininitas Serikat
Israel Perancis Fiji
Jerman Hong Kong
Penghindaran Perancis Brazil Hong Cina
ketidakpastian Kong
Jepang Jerman Fiji
Israel Amerika
Serikat
Konflik perana Israel Fiji Perancis
Brazil
Jerman
Amerika
Serikat

Kelelahan Kerja (Burnout) 265


Tidak
Dimensi Tinggi Sedang Rendah
diketahui
Jepang
Hong Kong
Cina
Ambiguitas Fiji Jerman Perancis
perana
Cina
Israel
Hong Kong
Amerika
Serikat
Jepang
Brazil
Efiksasi-diria
Perancis Brazil Israel
Jerman Cina Amerika
Serikat
Hong Kong Jepang
Fiji
Burnout Israel Cina Brazil
Perancis Hong
Kong
Jerman Fiji
Amerika Jepang
Serikat

Tinggi, sedang, rendah ditentukan secara berurutan


dengan mengalkulasi sepertiga atas, menengah, dan rendah
mean score, sebagaimana yang dilaporkan dalam Tabel 3, untuk
masing-masing empat variabel tersebut.
Ringkasnya, studi sekarang ini, meskipun bersifat
eksplanatory, telah mengidentifikasi beberapa hubungan yang
menarik di antara stressor peran, efiksasi-diri, dan burnout di
semua kultur. Bagi profesional praktis, pengetahuan level-level
relatif stressor terkait-kerja secara global seharusnya penting.

266 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Yang lebih penting, meskipun merupakan pengetahuan
mengenai apakah seseorang dapat menduga bahwa stressor
memiliki dampak yang sama sebagaimana yang ditemukan di
negaranya sendiri, dan mengapa.
Selanjutnya, apa yang menjadi perhatian penting peneliti
global yakni, meskipun level konflik peran, ambiguitas peran,
efiksasi-diri, dan burnout berbeda signifikan di semua kultur,
kebanyakan hubungan di antara variabel-variabel tersebut
adalah konsisten. Berbeda dengan temuan-temuan Hofstede
dan Bond (1988), kami menemukan perbedaan-perbedaan
level di semua kultur. Namun demikian, sebuah investigasi
dekat atas hasil-hasil kami menunjukkan BH temuan-temuan
dari studi ini dan temuan dari studi Hofstede dan Bond adalah
berbeda dalam dua hal penting. Pertama, kami tidak
menemukan ukuran-ukuran makro beberapa kultur yang dapat
menjadi prediktor yang bagus atas variabel-variabel stress
mikro, sebagaimana yang diringkas dalam Tabel 8. Kultur makro
memiliki stereotype sebab, selama permulaan yang bagus
untuk memahami nilai-nilai kultur, mereka tidak secara
langsung menganalisis isu mikro di dalam sebuah kultur, seperti
stress dan burnout. Selain itu, sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Tung (1995, halaman 491) “kultur tidaklah statis; namun
kultur muncul sepanjang waktu.” Ini saatnya untuk menghenti-
kan usaha untuk memprediksi perbedaan-perbedaan kultural
milenium baru dengan data 30 tahun silam.
Kedua, ketika kami mengamati hubungan variabel dan
bukan hanya variabel-variabel individuil, kami menemukan
sebuah pola yang lebih konsisten. Oleh karena itu, temuan kami
mulai bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa “tidak
terdapat sesuatu seperti teori-teori manajemen universal”
(Hofstede, 1991, halaman 81). Pada level variabel-individu,
data kami mendukung kepercayaan ini, sebagaimana penelitian

Kelelahan Kerja (Burnout) 267


sebelumnya, sebaliknya, pada level hubungan di antara
beberapa variabel, data kamu secara substansial mendukung
perspektif bahwa terdapat teori-teori manajemen universal
yang mentransendensikan beberapa kultur. Namun demikian,
sebelum kami dapat benar-benar menjawab pertanyaan teori-
teori manajemen universal, kami lebih dahulu perlu memahami
lebih baik hubungan kompleks yang mendasari teori-teori
tersebut. Oleh karena itu, untuk mencari universalitas global,
ada baiknya melihat melebihi variabel atau dimensi sederhana
dan menginvestigasi model-model hubungan sebelum
mengambil kesimpulan bahwa tidak terdapat konsistensi lintas-
kultural dalam perilaku manusia. Jadi, kami menyarankan untuk
meng-identifikasi hubungan di antara beberapa variabel suatu
fenomena, seperti stress organisasional, di mana ini merupakan
langkah awal dalam memahami dinamika global, tidak hanya
stress, namun banyak aspek lain karyawan lintas-kultural dan
perilaku manajerial. Pada esensinya, kami menyarankan bahwa
ada baiknya bergerak dari perbandingan kultur level-makro
sederhana ke desain yang lebih canggih untuk mengeksplorasi
isu-isu bisnis global.

268 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Daftar Pustaka

A.S Munandar, Psikologi Industri Dan Organisasi(Jakarta: UI


Press, 2001), hlm. 392.
Achmad Hardiman. 2003. Rumah Sakit Indonesia Belum Siap
Bersaing. http://www.kompas-.com/kompascetakr/
0412/22/humaniora1455383 html-
Achmad S Ruky. 2001. Manajemen Penggajian & Pengupahan
Untuk Karyawan Perusahaan. Penerbit PT. Garamedia
Pustaka Utama. Jakarta
Agustian Ary Ginajar. 2002. ESQ, Emotional Spiritual Quotient.
Cetakan ketujuh, Arga Jakarta.
Aiken L, Smith H & Lake ET 1994. Lower Medicare mortality
among a set of hospitals known for good nursing care,
Medical care, vol. 32.pp.71-87
Aiken L. Smith H & Laka FT 1994. Lower Medicene Motality
among a set of hospitals known for good nursing care,
vol. 32.pp. 771-87
Al Quran dan Terjemahan, November 2003. http://geocities.
com/alquran_indo
Allen, Richard S. 1998. The Role of Reward System and
Enviromen-tal Turbulance in A Total Quality
Management-Based Strategy. Dissertation. University
of Pittsburgh.
Al-Qarni, Aidh. 2005. La Tahzan, Jangan Bersedih. Cetakan ke
18 Qisthi Press, Jakarta

Kelelahan Kerja (Burnout) 269


Anderson JG 1991. Stress and burnout among nurses: a social
network approach. Journal of Social Behavior and
Personality. Vol. 6. Pp.251-72
Anderson, E. and Oliver, R.L. (1987), ``Perspectives on
behavior-based versus outcome-based salesforce
control systems'', Journal of Marketing, Vol. 51,
October, pp. 76-88.
Anderson, E.W., Fornell, C., Lehmann, D.R., 1994. Customer
satisfaction, market share, and profitability: findings
from Sweden. Journal of Marketing 58, 53-66.
Anderson, J.C. and Gerbing, D.W. (1988), ``Structural equation
modeling in practice: a review and recommended two-
step approach'', Psychologi-cal Bulletin, Vol. 103 No. 3,
pp. 411-23.
Anrilia Ema. 2004. Peranan Dimensi-Dimensi Birolrasi Terhadap
Burnout pada Perawat Rumah Sakit di Jakarta. Fakutas
Psikologi Universitas Bina Darma Palembang.
Appelbaum, Steven H. & Karen Honeggar. 1998. Empowerment:
a Contrasting Overview of Organizations in General and
Nursing in Particular – an Examination of
Organizational Factors, Managerial Behaviors, Job
Design, and Structural Power. Empowerment in
Organizations, Vol. 6 No. 2, pp. 29-50. MCB University
Press.
Arai Susan M. 1997. Empowerment : From the Theoretical to the
Personal. Journal of Leisurability
Argyris, C., 1964. Integrating the Individual and the
Organization. Wiley, New York.
Armstrong-Stassen, M., Al-’Aitah, R., Cameron, S., Horsburgh,
M., 1994. Determinants and consequences of burnout:
a cross-cultural comparison of Canadian and
Jordanian nurses. Health Care Women Int. 5, 413–
421.
Aryee, Samuel & Zhen Xiong Chen. 2006. Leader–member
Exchange in a Chinese Context: Antecedents, the

270 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Mediating Role of Psychological Empowerment and
Outcomes. Journal of Business Research 59, 793 –
801.
Ashar S. Munandar. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Ashkanasy Neal M., Peter I. Jordan, Charmine E. Hartel. 2000.
Job Insecurity and Emplyee Innovation: A Bounded
Emotinality Analysis. Academy of Management
Proceedings 2000
Ashkanasy Neal M., Peter I. Jordan, Charmine E. Hartel. 2002.
Emotional Intelligence as a Moderator of Emotional and
Behavioral Reaction to Job Insecurity. Academy of
Management Review. 2002, Vol. 27, No. 3. 361-372.
Ashkanasy Neal M.. 2002. Studies of Cognition and Emotion in
Organisations: Attribution, Affective Events,Emotional
Intelligence and Perception of Emotion. Australian
Journal of Management, Vol. 27, Special Issue 2002
Ashkanasy Neal M.and Catherine S. Daus 2002. Emotion in the
workplace: The new challenge for managers. Academy
of Management Executive. 2002, Vol. IS, No 1
Atmosoeprapto, Kisdarto. 2002. Menuju SDM Berdaya. Cetakan
kedua. Gramedia. Jakarta.
Augusty Ferdinand. 2002. Structural Equation Modeling Dalam
Penelitian Manajemen. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Augusty Ferdinand. 2006. Metode Penelitian Manajemen,
Pedoman Penelitian untuk Penulisan Skripsi, Tesis dan
Disertasi Ilmu Manajemen. Edisi kedua, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang.
Babakus, E., Cravens, D.W., Grant, K., Ingram, T.N. and LaForge,
R.W. (1996), ``Investigating the relationships among
sales management control, sales territory design,
salesperson performance, and sales organization
effectiveness'', International Journal of Research in
Marketing, Vol. 13, pp. 345-63.

Kelelahan Kerja (Burnout) 271


Babakus, E., Cravens, D.W., Johnston, M. and Moncrief, W.C.
(1999), ``The role of emotional exhaustion in sales
force attitude and behavior relationships'', Journal of
the Academy of Marketing Science, Vol. 27, Winter, pp.
58-70.
Bacharach, S.B., Bamberger, P. and Conley, S. (1991), ``Work-
home conflict among nurses and engineers: mediating
the impact of role stress on burnout and satisfaction at
work'', Journal of Organizational Behavior, Vol. 12, pp.
39-53.
Bagozzi, R.P.,1980a. Performance and satisfaction in an
industrial sales force: an examination of their
antecedents and simultaneity. Journal of Marketing 44,
65-77.
Bagozzi, R.R., 1980b. Causal Models in Marketing. Wiley, New
York.
Bandura, A., 1978. The self system in reciprocal determinism.
American Psychologist 33, 344 – 358.
Bandura, A., 1997. Self-Efficacy: The Exercise of Control. W.H.
Freeman, New York, NY.
Baron, R.M., Kenny, D.A., 1986. The moderator – mediator
variable distinction in social psychological research:
conceptual, strategic, and statistical considerations. J.
Pers. Soc. Psychol. 5, 1173– 1184.
Barsoux, J.L., Lawrence, P., 1991. The making of a French
manager. Harvard Bus. Rev., 58 – 67 (July – August).
Bartram, Timothy & Gian Casimir. 2007. The Relationship
between Leadership and Follower in-Role Performance
and Satisfaction with the Leader The Mediating Effects
of Empowerment and Trust in the Leader. Leadership &
Organization Development Journal Vol. 28 No. 1, pp. 4-
19. Emerald Group Publishing Limited.
Bayrs, Llyod L., and Leslie Rue. 2000. Human Resources
Management. International Edition, Mc.Graw Hill.

272 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Bedian, A.G., and Achilles, A. (1981), ``A path analytic study of
the consequences of role conflict and ambiguity'',
Academy of Management Journal, Vol. 24, June, pp.
417-24.
Behrman, D.N. and Perreault, W.D. Jr.1984. ``A role stress
model of the performance and satisfaction of industrial
salespersons'', Journal of Marketing, Vol. 48, Fall, pp.
9-21.
Benson, S, P.G. Truskett, B.Findlay. 2007. The Relationship
Between Burnout and Emotional Intelligence in
Australian Surgeon and Surgical Trainees. ANZ Journal
of Surgery, Oxford: May 2007. Vol 77, Iss.s1; pg.A79
Bentler, P.M. and Bonett, D.G. (1980), ``Significance tests and
goodness of fit in the analysis of covenance structures'',
Psychological Bulletin, Vol. 88, pp. 588-606.
Bentler, P.M., Bonett, D.G., 1980. Significance tests and
goodness of fit in the analysis of covariance structures.
Psychological Bulletin 88, 588-606.
Bhagat Rabi S. and Sherry E. Sallivan. 2001. Organizational
Stress, Job satisfaction and Job Performance, where Do
We Go From Here? Journal of Management Vol 18. No 2,
353-374
Bhagat, R.S., O’Driscoll, M.P., Babkus, E., Frey, L., Chokkar, J.,
Ninokumar, B.H., Pate, L.E., Ryder, P.A., Fernandez,
M.J.G., Ford, D.L., Mahanyele, M., 1994. Organizational
stress and coping in seven national contexts: a cross-
cultural investigation. In: Keita, G.P., Hurrell, J.J. (Eds.),
Job Stress in a Changing Workforce. American
Psychological Association,
Bhanugopan, Ramadu & Alan Fish. 2006. An Empirical
Investigation of Job Burnout among Expatriates.
Personnel Review, Vol. 35 No. 4, pp. 449-468. Emerald
Group Publishing Limited.

Kelelahan Kerja (Burnout) 273


Bitner, M.J., 1990. Evaluating service encounters: the effects of
physical surroundings and employee responses.
Journal of Marketing 54, 69-82.
Black, James A and Dean J. Champion. 2001. Metode dan
Masalah Penelitian Sosial. Terjemahan E. Koeswara,
Dira Salam, dan Alfin Ruzhendi. Bandung: PT. Refika
Aditama, Cetakan Ketiga.
Bluedorn, A.C. (1982), ``A unified model of turnover from
organizations'', Human Relations, pp. 135-53.
Boles, J.S., Johnston, M.W. and Hair, J.F. Jr (1997), ``Role
stress work-family conflict and emotional exhaustion:
inter-relationships and effects on some work related
consequences'', Journal of Personal Selling & Sales
Management, Winter, pp. 17-28.
Bollen, K.A., 1989. Structural Equation Models with Latent
Variables. Wiley, New York. Boshof, C., Mels, G., 1995. A
causal model to evaluate the relationships among
supervision, role stress, organizational commitment
and internal service quality. European Journal of
Marketing 29, 23-42.
Bond, M., Smith, P., 1996. Cross-cultural social and
organizational psychology. In: Rosenzweig, M., Porter,
L. (Eds.), Annual Review of Psychology. Annual Reviews
Inc., Stanford, CA, pp. 205 – 235.
Bourgeois, L.J., Brodwin, D.R., 1984. Strategic implementation:
five approaches to an elusive phenomenon. Strategic
Management Journal 5, 241-264.
Bowen, D.E., Lawler, E.E., 1995. Organising for service:
empowerment or production line?. In: Glynn, W.J.,
Barnes, J.G. (Eds.), Understanding services
management. Wiley, Chicester, pp. 269-294.
Bracato V 2003, Enhancing psychological empowerment for
nurses. Pensylvania Nurse. Vol.50. pp.10-11.
Brief, A.P., Aldag, R.J., 1981. The ‘‘self’’ in work organizations: a
conceptual review. Acad. Manage. Rev. 6, 75 – 88.

274 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Brookings, J.B., Bolton, B., Brown, C.E., McEvoy, A., 1985. Self-
reported job burnout among female human service
professionals. Journal Occupational Behavior. 6, 143–
150.
Brotheridge, Celeste M. and Alicia A. Grandey. 2002. Emotional
Labor and Burnout: Comparing Two Perspectives of
“People Work”. Journal of Vocational Behavior 60, 17–
39. Elsevier Science.
Brown, S.P. and Peterson, R.A. (1993), ``Antecedents and
consequences of salesperson job satisfaction: meta-
analysis and assessment of causal effects'', Journal of
Marketing Research, Vol. XXX, February, pp. 63-77.
Buzzel, R.D., Gale, B.T., 1987. The PIMS Principles. The Free
Press, New York.
Byrne, Barbara M. 1998. Sturctural Equation Modeling with
Lisrel, Prelis, and Simplis. United States of America
Cacioppe, Ron. 1998. Structured Empowerment : an Award-
Winning Program at The Burswood Resort Hotel.
Leadership & Organization Development Journal 19/5
Cambridge, MA. Hartline, M.D., Ferrell, O.C., 1996. The
management of customercontact service employees:an
empirical investigation. Journal of Marketing 60, 52-70.
Caruso. David R., John D. Mayer, Peter Salovey. 2002. Relation
of an Ability Measure of Emotional Intelligence to
Personality. Journal of Personality Assessment 79(2),
306–320 Copyright © 2002, Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Cespedes, F., 1991. Organizing and Implementing the Marketing
Effort. Addison-Wesley, Reading, MA.
Cherniss Carry. 2001. Emotional Intelligence and Organizatinal
Effectiveness, The Emotionally Intelligent Workplace.
Chapter 1.
Chiles, A.M., Zorn, T.E., 1995. Empowerment in organizations:
employees' perceptions of the influences of

Kelelahan Kerja (Burnout) 275


empowerment. Journal of Applied Communication
Research 23, 1-25.
Churchill, G.A. Jr, Ford, N.M. and Walker, O.C. Jr (1974),
``Measuring the job satisfaction of industrial
salesmen'', Journal of Marketing Research, Vol. XI,
August, pp. 254-60.
Churchill, G.A. Jr, Ford, N.M., Hartley, S.W. and Walker, O.C. Jr
(1985), ``The determinants of salesperson
performance: a meta-analysis'', Journal of Marketing
Research, Vol. XXII, May, pp. 103-18.
Ciarrochi Joseph, Joseph P. Forgas, and John D. Mayer. 2001.
Emotional Intelligence in Everyday Life: A Scientific
Inquiry. Philadelphia: The Psychology Press, 2001, 230
pages,
Clopton, S.W., 1984. Seller and buying firm factors affecting
industrial buyers' negotiation behavior and outcomes.
Journal of Marketing Research 21, 39-53.
Collins, David, Cshepherd and Leslie M. Fine. 1994. Role Conflict
and Role Ambiguity Reconsidered. Journal of Personal
Selling & Salrs management Vol. XIV No.2
Collins, David. 1995. Rooting for Empowerment? Empowerment
in Organizations Volume 3 • Number 2 • 1995 • pp. 25–
33
Collins, David. 1999. Born to fail? Empowerment, Ambiguity and
Set Overlap. Personnel review, vol 28 No. 3, 1999, pp.
208-221.
Comer, J.M., Machleit, K.A. and Lagace, R.R. (1989),
``Psychometric assessment of a reduced version of
INDSALES'', Journal of Business Research, Vol. 18, pp.
291-302.
Conger JA & Konungo RN 1988, The empowerment process:
integrating theory and practice. Academy of
Management Review. Vol. 13. Pp. 471-82
Conger JA 1989. Leadership: the art of empowering other,
Academy of Management Executive. Vol. 1, pp. 17-24

276 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Conger, J.A., Kanungo, R., 1988. The empowerment process:
integrating theory and practice. Academy of
Management Review 13, 471-482. Cronin Jr., J.J.,
Taylor, S.A., 1992. Measuring service quality: a
reexamination and extension. Journal of Marketing 56,
55-68.
Cooper Robert K. 1997. Applying Emotional Intelligence in the
Workplace. Training and Development
Cooper, Donal R. and Pamela S. Schindler. 2006. Business
Research Methods. Richard D. Irwin,Inc., Ninth Edition,
Singapore.
Cooper, Donald R. and C. William Emory.1995. Business
Research Methods. Richard D. Irwin,Inc., Fifth Edition.
Cooper, RK dan Syawaf Aiman. 2002. Executive EQ, Kecerdasan
Emotional dalam Kepemimpinan dan Organisasi,
Cetakan Kelima, PT. Gramedia Jakarta.
Cordes, C.L. and Dougherty, T.W. (1993), ``A review of an
integration of research on job burnout'', Academy of
Management Review, Vol. 18, pp. 621-56.
Cordes, C.L., Doughtery, T.W., 1993. A review and an integration
of research in job burnout. Acad. Manage. Rev. 18, 621
– 656.
Cravens, D.W., Ingram, T.N., LaForge, R.W. and Young, C.E.
(1993), ``Behavior-based and outcome-based
salesforce control systems'', Journal of Marketing, Vol.
57, October, pp. 4759.
Creegan R. Duffield C & Forester K 2003. Casualization of the
nursing workforce in Australian Health Review. Vol. 26.
No.1. pp. 201-8, viewed8 Sep 2004
Creswell John W, 1994. Research Design Qualitative &
Quantitative Approaches. United States of America.
Cronbach, L. (1970), Essentials of Psychological Testing, 3rd ed.,
Harper & Row Publishers, New York, NY.
Cropanzano R. Rupp DE & Byrne Zs 2003.The relationship of
emotional exhaustion o work attitudes, job performace,

Kelelahan Kerja (Burnout) 277


and organizational citizenship behaviours. Journal of
Applied Psychology.vol. 88. Pp. 160-83
Curry, J.P., D.S. Wakefield, J.L. Price, C.W. Mueller, and J.C.
McCloskey. 1985. Determinants of Nursing Turnover
Among Nursing Department Employees. Nursing in
Research and Health, Vol. 8: 397-41 1.
Cushway, Barry and Derek Lodge. 2002. Perilaku dan Desain
Organisasi. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo.
Daft L. Richard, Norman B. Macintosh. 1984. The Nature and Use
of Formal Control System for Management Control and
Strategy Implementation. Journal of Management, Vol
10 No. 1. 43-66
Damayanti, N.A. 2000. Kontribusi Kinerja perawat dan Harapan
Pasien dalam Dimensi Non Teknik Keperawatan
Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Inap Kasus Kronis.
Disertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Daniels K & Guppy A 1994, occupational stress, social support,
jobcontrol and psychological well-being, human
Relations, vol. 47. Pp. 1523-38.
Davis, Keith and John W. Newstrom. 1994. Perilaku dalam
Organisasi. Jilid 1, Terjemahan Agus Dharma, Cetakan
Keempat, edisi ketujuh, Penerbit Erlangga Jakarta.
Davis, Keith, & John W. Newstrom. 2002. Human Behavior at
Work Organizational Behavior, 11th ed., McGraw-Hill
International Editions. New York:
Deci, E.L. and Ryan, R.M. (1985), Intrinsic Motivation and Self
Determination in Human Behavior, Plenum Press, New
York, NY.
Deery M & Iverson RD 1995. Enhancing produktuvity.
Intervention strategis foremployee turnover in N Johns
(ed), Managing Productivity in Hopitality and Tourism,
Cassel, London.

278 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Dessler, G. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi
Bahasa Indonesia, jilid 1 dan 2, Alih bahasa Benyamin
Molan. Penyunting Triyana Iskandarsyah.
Dinas Kesehatan Sulsel. 2007. Tahun Ini 11 Pustu Dibangun.
Tribun Timur, Sabtu, 26-05-2007
Donnelly, Gibson dan ivancevich. 1993. Perilaku Struktur
Proses. Jakarta: Erlangga.
Dowling, Edward T. 2001. Theory and Problem of Inroduction to
Mathematical Economics. Thirdth edition, McGraw-Hill.
Schaum’s Outline Series.
Dubinsky, A.J. and Mattson, B.E. (1979), ``Consequences of
role conflict and ambiguity experienced by retail
salespeople'' Journal of Retailing, Vol. 55, Winter, pp.
70-86.
Dubinsky, A.J., Hartley, S.W., 1986. A path-analytic study of a
model of salesperson perfromance. Journal of the
Academy of Marketing Science 14, 36-46.
Dulewicz, Victor and Malcolm Higgs. 2003. Measuring emotional
intelligece : Content, Construct and Criterion-Related
Validity. Journal of Managerial Psychology Vol.18 No.5
Earley, P.C., 1994. Self or group? Cultural effects of training on
self-efficacy and performance. Adm. Sci. Q. 39, 89 –
117.
Eden, D., Kinnar, J., 1991. Modeling Galatea: boosting self-
efficacy to increase volunteering. J. Appl. Psychol. 76,
770 – 780.
Eden, D., Zuk, Y., 1995. Seasickness as a self-fulfilling prophecy:
raising self-efficacy to boost performance at sea. J.
Appl. Psychol. 80, 628– 635.
Egri, C., Ralston, D.A., 2001. Socio-Political versus Personal
Influences on Values Formation: A Comparison of
Chinese and U.S. managers. National Academy of
Management Meetings, Washington, DC.
Elloy, David F. and Catherine R. Smith. 2003. Patterns of Stress,
Work-Family Conflict, Role Conflict, Role Ambiguity and

Kelelahan Kerja (Burnout) 279


Overload Among Dual-Career and Single-Career
Couples: An Australian Study. Vol 10, No. 1.
Etzion, D., Bailyn, L., 1994. Patterns of adjustment to the
career/family conflict of technically trained women in
the United States and Israel. J. Appl. Soc. Psychol. 24,
1520 – 1549.
Everly dan Giordano, The Stress Mess Solution, (Maryland:
Prentice Hall, 19..) hlm. 392.
Eylon, Dafna & Kevin Y. AU. 1999. Exploring Empowerment
Cross-Cultural Differences Along the Power Distance
Dimensions. Int. J. Intercultural Rel. Vol. 23, No. 3, pp.
373±385, Elsevier Science Ltd.
Ferrell, O.C., Skinner, S.J., 1988. Ethical behavior and
bureaucratic structure in marketing research
organizations. Journal of Marketing Research 25, 103-
109.
Fetterman David and Abraham Wandersman. 2007.
Empowerment Evaluation: Yesterday, today, and
Tomorrow. American Journal of Evaluation. 28; 179
Fish Alan and Jack Wood. 1996. A review of expatriate staffing
practices in Australian business enterprises. The
International Journal of Human Resource Management
Fish, Alan and Jack Wood. 1997. Managing spouse/partner
preparation and adjustment Developing a meaningful
portable life. Personnel Review, Vol. 26 No. 6, pp. 445-
466.
Fisher, C.D., Gitelson, R., 1983. A meta-analysis of the correlates
of role conflict and ambiguity. Journal of Applied
Psychology 68, 320-333.
Fitzgerald D 2002. Nurse Shortages: a crisis for the next decade,
Contemporery Nurse, vol. 13. Pp.109-12.
Ford, N.M., Walker, O.C. and Churchill, G.A. Jr (1975),
``Expectation-specific measures of the intersender
conflict and role ambiguity experienced by industrial

280 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


salesmen'', Journal of Business Research, Vol. 3, April,
pp. 95-112.
Fried, Y., and G.R. Ferris. 1987. The Validity of Job
Characteristics Model: A Review and Meta-analysis.
Personel Psychology, Number 40: 287-322.
Ganster DC, Fusiler MR & Mayes BT 1986. Role of Social support
in the experiences of stress at work. Journal of
AppliedPsychology. Vol. 71. Pp. 102-10
Ganster, D.C., Schaubroeck, J., 1991. Work stress and employee
health. J. Manage. 17, 235–271.
Garland, B. 2000. Prison treatment staff burnout: Consequences,
causes and prevention. Corrections Today; Dec 2002;
64, 7, pg. 116
Gerbing, D.W. and Anderson, J.C. (1992), ``Monte Carlo
evaluation of goodness fit indices for structural equation
models'', Sociological Methods and Research, Vol.
21,November, pp. 132-60.
Gibson, Ivancevich and Donnelly. 1995. Organizations. Richard
D. Irwin, Inc., Eight Edition.
Gibson, J.L., J.M. Ivancevich & J.H. Donnelly, Jr. 1996.
Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Jilid 1 dan 2. Alih
bahasa Nurul Adiarni, editor laydon Saputra. Binaputra
Aksara. Jakarta:
Gist, M.E., Mitchell, T.R., 1992. Self-efficacy: a theoretical
analysis of its determinants and malleability. Acad.
Manage. Rev. 17, 183 – 211.
Goleman, Daniel. 1995. Emotional intelligence. New York:
Bantam Books.
Goleman, Daniel. 1999. Working with Emotional Intelligence
(Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi).
Alih bahasa Alex Tri Kantjono Widodo. Penerbit: PT.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta:
Goleman, Daniel. 2000. Emotional Intelligence (Kecerdasan
Emosional). Alih bahasa T. Heryana, cetakan
kesepuluh, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta.

Kelelahan Kerja (Burnout) 281


Goleman, Daniel. 2003. Kepemimpinan yang Mendatangkan
Hasil. Cetakan pertama. Amara Books. Yogyakarta.
Goleman, Daniel. 2003. Maxed emotions. Business Strategy
Review, 2003, Volume 14 Issue 2, pp 26-32
Gomes, F. Cardoso. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Andi Yogyakarta.
Gomez-Mejia, Luis R., David B.Balkin, & Robert L. Cardy. 2001.
Managing Human Resources. 3th edition. Prentice Hall.
New Jersey.
Goodwin, C., Radford, R., 1993. Models of service delivery: an
integrative perspective. Advances in Services Marketing
and Management 2, 231-252.
Goolsby, J.R., 1992. A theory of role stress in boundary spanning
positions of marketing organizations. Journal of the
Academy of Marketing Science 20, 155-164.
Greasley, Kay, Alan Bryman, Andrew Dainty, Andrew Price and
Robby Soetanto, Nicola King. 2005. Employee
perseptions of Empowerment. Employee Relations Vol.
27 No.4.
Greco, Paula, Keather K.Spence Laschinger, Carol Wong. 2006.
Leader Empowering Behaviours, Staff Nurse
Empowerment and Work Engagement/Burnout. Nursing
Leadership Volume 19 Number 4.
Gronroos, C., 1983. Strategic management and marketing in the
services sector. Report No. 83-104, Marketing Science
Institute,
Gujarati, N Damodar. 2003. Basic Ekonometrics,4th McGraw-
Hill/Irwin International Edition,, Singapore.
Hackett B & Bycio P 199 Role conflict and ambiguity6. An
evaluation of employee absenteeism as a coping
mechanism among hospital nurses. Journal of
Occupational and OrganizatinalPsychology. Vol 69. Pp.
327-8

282 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Hair, Joseph F. Jr., Rolph E. Anderson, Ronald L. Tatham, &
William C. Black. 2006. Multivariate Data Analysis.
Sixth Edition. Prentice Hall International Inc.
Hammer, Leslie, & Cynthia Thompson. 2001. Work-Family Role
Conflict. Micro-soft Internet Explorer / A Sloan Work
and Family Encyclopedia Entry.
Haney, C.J., Long, B.C., 1995. Coping effectiveness: a path
analysis of self-efficacy, control, coping, and
performance in sport competitions. J. Appl. Soc.
Psychol. 25, 1726 – 1746.
Hapsari, Elsi Dwi. 2006. Menyiapkan Perawat yang Siap
Berkompetisi di Era Pasar Global. Jurnal INOVASI
Vol.6/XVIII/Maret 2006.
Harley William B. 1995. Eight critical principles of empowerment.
Empowerment in Organizations vol. 3 number 1. Pp. 5-
12
Hart, S. G., Staveland, L. E., (1988). Development of NASA-TLX
(Task Load Index): Results of Empirical and Theoretical
Researc, dalam Hancock, P. A. dan Meshkati, N.
(Editors.), Human Mental Workload, (Hlm. 139–183).
Amsterdam: North-Holland.
Hartline, M.D., Ferrell, O.C., 1996. The management of customer
contact service employees: an empirical investigation.
Journal of Marketing 60, 52-70.
Healy C & McKay M 1999. Identiflying sources of stress and job
satisfaction in the nursing environment. Australian
Journal of Advanced Nursing. Vol. 17.pp. 30-5.
Hein, Steve. 1999. Ten Habits of Emtionally Intelligent People,
New-York, The EQ Institut Inc.
Henry Simamora. 1997. Manajemen Sumberdaya Manusia.
Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN, Edisi 2.
Herman Sofyandi dan Iwa Garniwa. 2007. Perilaku Organisasi.
Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Herrick James, D. S. W. 1995. Empowerment Practice and Social
Change: The Place For New Social Movement Theory.

Kelelahan Kerja (Burnout) 283


University of Washington, Shool of Social Work, 4101
15th Ave. NE., Seattle WA 98195.
Higgs, Malcolm and Paul Aitken. 2003. An Exploration of the
Relationship Between Emotional Intelligence and
Leadership potential. Journal of Managerial Psychology
Vol. 18 No. 8
Higgs, Malcolm. 2001. Is the Relationship Between the Myers-
Briggs type indicator and emotional intelligence?. Jurnal
of Managerial Psychology, Vol. 16 No. 7
Higgs, Malcolm. 2004. A study of the relationship between
emotional intelligence and performance in UK call
centres. Journal of Managerial Psychology Vol. 19 No.
4.2004. pp.442-454.
Hill, T., Smith, N.D., Mann, M.F., 1987. Role of efficacy
expectations in predicting the decision to use advanced
technologies: the case of computers. J. Appl. Psychol.
72, 307 – 313.
Hofstede, G., 1991. Cultural constraints in management
theories. Acad. Manage. Exec. 7, 81 – 94.
Hofstede, G., Bond, M.H., 1988. The Confucius connection: from
cultural roots to economic growth. Organ. Dyn. 16 (4), 4
– 21.
Hofstede, Geert. 1993. Cultural constraints in management
theories. Academy of Management Executive, Vol. 7 No.
1
Holdsworth Lynn and Susan Cartwright. 2002. Empowerment,
stress and satisfaction: an exploratory study of a call
centre. Leadership and Organization Development
Journal, 131-140
House JS & Wells JA 1978. Occupational stress social support
and health, in Producing occupational stress:
Proceedings of conference. A McLean. G. Black & M
Colligan (eds) Departement of Health, Education and
Health. Education and Welfare (National Institude of

284 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Occupational Safety and Health, Publication78-140 pp.
8-29.
House JS 1981. Work Stress and Social Support Addson-Wesley,
University of Michigan.
House RJ & Rizzo JR 1972. Role Conflict and ambiguity as
critical variable in model of organizational behavior.
Organizational Behaviour and Human Performance vol.
7. Pp. 467-506.
Howard, R., 1990. Values make the company: an interview with
Rober Haas. Harvard Business Review 68, 133-144.
Hsieh, Yih-Ming and An-Tien Hsieh2003.. Does Job
Standardization Increase Job Burnout. International
Journal of Manpower Vol. 24 No. 5, pp. 590-614. MCB
UP Limited.
Hu, L., Bentler, P.M., 1995. Evaluating model fit. In: Hoyle, R.H.
(Ed.), Structural Equation Modeling: Concepts, Issues
and Applications Sage Publications, Inc, Thousand
Oaks, CA, pp. 76-99.
Hunsaker, J. (1986), ``Burnout: the culmination of long term
stress'', Industrial Management, Vol. 28, November/
December, pp. 24-6.
Huy, Quy Nguyen. 1999. Emotional Capability, Emotional
Intelligence, and Radical Change. The Academy of
Management Review. Vol. 24 No. 2, 325-345.
Imam Ghozali. 2004. Model Persamaan Struktural: Konsep dan
Aplikasi dengan Program AMOS Ver. 5.0. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Istijanto. 2005. Riset Sumber Daya Manusia. Cetakan Pertama,
Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Izzan Ahmad dan Syahri Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi
Syariah, ayat-ayat Al-Quran yang berdimensi Ekonomi.
Cetakan pertama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
J.D., Rosenthal, R.A., 1964. Organizational Stress: studies in
Role Conflict and Ambiguity. Wiley, New York.

Kelelahan Kerja (Burnout) 285


J.R.Rizzo,R.J House, S Lirtzman“Role conflict and ambiguity in
complex organizations.”Administrative science
quarterly,Vol. 15pp. 150-63 (1970).
Jackson S.E., Schuler, R.S., 1985. A meta-analysis and
conceptual critique of research on role ambiguity and
role comflict in work settings. Organizational Behavior
and Human Performance 36, 16-78.
Jackson, S.E. and Schuler, R.S. (1985), ``A meta analysis and
conceptual critique of research on role ambiguity and
role conflict in work settings'', Organizational & Human
Decision Processes, Vol. 36, August, pp. 16-78.
Jackson, S.E., Maslach, C., 1982. After-effects of job-related
stress: families as victims. J. Occup. Behav. 3, 63 – 77.
Jackson, S.E., Schuler, R.S., 1983. Preventing employee burnout.
Personnel 60, 58 – 68.
Jackson, S.E., Schuler, R.S., 1985. A meta-analysis and
conceptual critique of research on role ambiguity and
role conflict in work settings. Org. Behav. Hum. Decis.
Process. 33, 1 – 21.
Jackson, S.E., Schwab, R.L. and Schuler, R.S. (1986), ``Toward
an understanding of the burnout phenomenon'', Journal
of Applied Psychology, Vol. 71 No. 4, pp. 630-40.
Jackson, S.E., Schwab, R.L., Schular, R.S., 1986. Toward an
understanding of the burnout phenomenon. J. Appl.
Psychol. 71, 630 – 640.
Jackson, S.E., Turner, J.A., Brief, A.P., 1987. Correlates of
burnout among public service lawyers. J. Occup. Behav.
8, 339 – 349.
Jackson, Susan E., Richard L. Schwab & Randall S. Schuler.
1986. Toward an Understanding of the Burnout
Phenomenon. Journal of Psychology vol. 71 (4)(630-
640).
Jacobson, R., Aaker, D.A., 1987. The strategic role of product
quality. Journal of Marketing 58, 31-44.

286 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Jadid, Ruhul. 2008. Tantangan Keperawatan Indonesia dalam
Proses Profesionalisme. Http://www.-google.com.20
Julu 2008
Jamal, M., 1999. Job stress, type-A behavior, and well-being: a
cross-cultural examination. Int. J. Stress Manag. 6, 57
– 67.
James, L.R., Mulaik, S.S., Brett, J.M., 1982. Causal Analysis.
Sage Publications, Beverly Hills, CA.
Jex S 1998. Stress and Performance, Sage. Thousand Oaks,
Calif.
John, G., 1984. An empirical investigation of some antecedents
of opportunism in a marketing channel. Journal of
Marketing Research 21, 278-289.
Johnston, M.W., Parasuraman, A., Futrel, C.M., Black, W.C.,
1990. A longitudinal assessment of the impact of
selected organizational influences on salespeople's
organizational commitment during early employment.
Journal of Marketing Research 27, 333-344.
Johnston, M.W., Parasuraman, A., Futrell, C.M. and Black, W.C.
(1990), ``A longitudinal assessment of the impact of
selected organizational influences on salespeople's
organizational commitment during early employment'',
Journal of Marketing Research,
Johnstore PL. 1999. Occupaional stress in the operating theatre
suite: should employers be concerned? Australian
Health Review. Vol. 23. N0. 1. Pp. 60-80
Joiner, Therese A. & Timothy Bartram. 2004. How
Empowerment and Social Support Affect Australian
Nurses Work Stressors. Australian Health Review; 28, 1;
pg. 56.
Jones, G., 1986. Socialization tactics, self-efficacy, and
newcomers’ adjustments to organizations. Acad.
Manage. J. 2, 262 – 279.
Joreskog, K., Sorbom, K., 1989. LISREL 7: A Guide to the
Program and Application. Joreskog and Sorbom/SPSS,

Kelelahan Kerja (Burnout) 287


Inc, Chicago, IL. Kahn, R.L., Wolfe, D.M., Quinn, R.P.,
Snoek,
Kahn RL & Byosiere P 1992. Stress in organizations, in
Handbook of Industrial and Organizational Psychology,
MD Dunnelte & LM Hough (eds). Vol. 3. Pp. 571-650.
Consulting Press Palo Alto, Calif.
Kahn, R.L., Wolfe, D.M., Quinn, R.P., Snoek, J.D., Rosenthal, R.A.,
1964. Occupational Stress: Studies in Role Conflict and
Role Ambiguity. Wiley, New York, NY.
Kahn. RL.Wolfe D, Quinn R & Snoek J 1964, Organizational
stress studies in role conflict and ambiguity. Wiey, New
York.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4th ed. (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008).
Kaplan, Robert S., & David P. Norton. 2001. The Strategy –
Focused Organization, How Balanced Scorecard
Companies Thrive in The New Business Environment.
Harvard Business School Press. Boston,
Massachusetts.
Karasek RA. JR 1979. Job Demands, job decision latitudeand
mental strain: implication for job redesign.
Administrative Science Quarterly. Vol. 24. Pp. 285-307.
Karatepe, Osman M. & Alptekin Sokmen. 2006. The Effects of
Work Role and Family Role Variables on Psychological
and Behavioral Outcomes of Frontline Employees.
Tourism Management 27, 255–268.
Keaveney, S.M. (1992), ``An empirical investigation of
dysfunctional organizational turnover among chain and
non-chain retail store buyers'', Journal of Retailing,
Summer, pp. 145-72.
Keaveney, S.M. and Nelson, J.E. (1993), ``Coping with
organizational role stress: intrinsic motivational
orientation, perceived role benefits, and psychological
withdrawal'', Journal of the Academy of Marketing
Science, Spring, pp. 113-24.

288 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Kenny, D.A., 1979. Correlation and Causality. Wiley, New York.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No:
Kep/75/M.Pan/7/2004. Pedoman Perhitungan
Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja dalam
Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil.
Kim, Hyun Jeong, & Kang Hyun Shin, W. Terry Umbreit. 2006.
Hotel Job Burnout: The Role of Personality
Characteristics. Hospitality Management 26, 421–434.
Kirk, R.E., 1982. Experimental Design: Procedures for the
Behavioral Sciences, second ed. Brooks/Cole
Publishing, Monterey, CA.
Kirkman, Bradley L. and Benson Rosen. 1999. Beyond Self-
management: Antecedents and Consemences of Team
Empower-ment. Acade-my of Management Journal, VA
42: 58-74.
Klein, K.J., Dansereau, F., Hall, R.J., 1994. Level issues in theory
development, data collection, and analysis. Academy of
Management Review 19, 195-229.
Koeswara. 1986. Motivasi: Teori dan Penelitiannya. Bandung:
Penerbit Angkasa.
Korschun, A. (1993), ``Turning your sales career around'',
American Salesman, Vol. 38, March, pp. 3-5.
Kreitner, Robert and Angelo Kinicki. 2000. Organizational
Behavior. Irwin/McGraw-Hill, International Edition/
Fourth Edition.
Laschinger HK & Havens DS 1997, The effect of work-piace
empowerment of staff nurses’ occupational mental
healthand work effectiveness. Journal of Nursing
Administration. Vol. 27. Pp 42-50
Laschinger HK, Finegan J & Shamian J 2001, Promoting Nurses
health effect of empowerment on job strain and work
satisfaction, Nursing Ekonomics. Vol. 19. Pp. 42-52.
Laschinger, Heather K. Spence, Joan Finegan, and Judith
Shamian. 2001. The Impact of Workplace
Empowerment, Organizational Trust on Staff Nurses,

Kelelahan Kerja (Burnout) 289


Work Satisfaction and Organizational Commitment.
Health Care Management Review, Gaithersburg, Vol.
26: 7-23.
Lee, Pamela Chandler. 2005. Cognition and Affect in Leader
Behavior : The effect of Spirituality, Psychological
Empowerment, and Emotional Intelligence on The
Motivation To Lead. Dissertation. School of Leadership
Studies Regent University.
Lee, R.T. and Ashforth, B.E. (1990), ``On the meaning of
Maslach's three dimensions of burnout'', Journal of
Applied Psychology, Vol. 75 No. 6, pp. 743-47.
Lee, R.T. and Ashforth, B.E. (1996), ``A meta-analytic
examination of the correlates of the three dimensions of
job burnout'', Journal of Applied Psychology, Vol. 81
No. 2, pp. 123-33.
Lee, R.T., Ashforth, B., 1990. On the meaning of Maslach’s three
dimensions of burnout. J. of Appl. Psychol. 6, 743 –
747.
Lee, R.T., Ashforth, B., 1990. On the meaning of Maslach’s three
dimensions of burnout. J. of Appl. Psychol. 6, 743 –
747.
Lee, R.T., Ashforth, B.E., 1993. A further examination of
managerial burnout: toward an integrated model. J.
Organ. Behav. 14, 3 – 20.
Lee, R.T., Ashforth, B.E., 1996. A meta-analytic examination of
the correlates of the three dimensions of job burnout. J.
Appl. Psychol. 81, 123 – 133.
Leiter, M.P. and Maslach, C. (1988), ``The impact of
interpersonal environment on burnout and organization
commitment'', Journal of Organizational Behavior, Vol.
9, pp. 297-308.
Leiter, M.P., Maslach, C., 1988. The impact of interpersonal
environment on burnout and organizational
commitment. J. Organ. Behav. 9, 297 – 308.

290 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Leiter, Michael P, Cristina Maslach. 2001. Burnout and Quality in
a Speed-up World. Association for Quality &
Participation
Lent, R.W., Brown, S.D., Larkin, K.C., 1987. Comparison of three
theoretically derived variables in predicting career and
academic behavior: self-efficacy, interest congruence,
and consequence thinking. J. Couns. Psychol. 34, 293 –
298.
Leopold, John. 2002. Human Resources in Organisations, First
published, Prentice Hall, Pearson Education.
Levitt, T., 1972. Product-line approach to service. Harvard
Business Review 50, 41-52.
Levitt, T., 1976. Industrialization of service. Harvard Business
Review 54, 63-74.
Li, Ling & W.C. Benton. 2006. Hospital Technology and Nurse
Staffing Management Decisions. Journal of Operations
Management 24, 676–691.
Linda Ritchie. 2001. Empowerment and Australian Community
Health Nurses’ Work with Aboriginal Clients: The
Sociopolitical Context. Qual Health Res 2001; 11; 190
Loehlin, J.C., 1987. Latent Variable Models. Lawrence Erlbaum,
Hillsdale, NJ. Mangold, W.G., Babakus, E., 1991.
Service quality: the front-stage vs. the back-stage
perspective. The Journal of Services Marketing 5, 59-
70.
Loehlin, J.C., 1987. Latent Variable Models. Lawrence Erlbaum,
Hillsdale, NJ. Mangold, W.G., Babakus, E., 1991.
Service quality: the front-stage vs. the back-stage
perspective. The Journal of Services Marketing 5, 59-
70.
Low, George S., David W. Cravens, Ken Grant & William C.
Moncrief. 2001. Antecedents and Consequences of
Salesperson Burnout. European Journal of Marketing,
Vol. 35 No. 5/6, pp. 587-611. MCB University Press.

Kelelahan Kerja (Burnout) 291


Lum, Lillie, John Kervin, Kathleen Clark, Frank Reid, and Wendy
Sirola. 1998. Explaining Nursing Turnover Intent: Job
Satisfaction, Pay Satisfac-tion, or Organizational
Commitment. Journal of Organizational Behavior, Vol.
19, Issue 3: 305-320.
Luthans, Fred. 2005. Organizational Behavior. Irwin/McGraw-
Hill, Tenth Editions.
Ma’rifin Husin. 1996. “Pola Pendidikan Keperawatan di
Indonesia dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan
Rumah sakit,” disampaikan pada Kongres PERSI VII.
Malhotra, Naresh K. 2004. Marketing Research, An Applied
Orientation. Fourth Edition. Prentice Hall International,
Inc. London.
Malteson MT & Ivancevich. JM 1987. Controlling work Stress,
Jossey-Bass, San Fransisco.
Mamduh M Hanafi. 1997. Manajemen. Yogyakarta:Penerbit UPP
AMP YKPN.
Mangku Negara, AP. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mangkuprawira, Sjafri. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia
Strategik. Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Manning MR. Jackson CN & Fusiller MR 1996. Occupational
stress, social support and the costs of health care.
Academy of Management Journal, vol. 39. Pp738-61.
Manojlovich, Milisa. 2007. Power and Empowerment in Nursing :
Looking Backward to Inform the Future. Journal of
Issues in Nursing. Vol.12 No.1.
Martinko, M.J., Gardner, W.L., 1982. Learned helplessness: an
alternative explanation for performance deficits. Acad.
Manage. Rev. 7, 195 – 204.
Mas’ud Fuad. 2004. Survai Diagnosis Organisasional, Konsep &
Aplikasi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Maslach, C. (1982), ``Understanding burnout: definitional
issues in analyzing a complex phenomenon'', in Pine,
W.S. (Ed.), Job Stress and Burnout: Research, Theory,

292 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


and Intervention Perspectives, Sage Publications,
Beverly Hills, CA, pp. 29-40.
Maslach, C. and Jackson, S.E. (1981), ``The measurement of
experienced burnout'', Journal of Occupational
Behavior, Vol. 2, pp. 99-113.
Maslach, C. and Leiter, M.P. (1997), The Truth about Burnout:
How Organizations Cause Personal Stress and What to
Do About It, Jossey-Bass, San Francisco, CA.
Maslach, C., 1982. Burnout: The Cost of Caring Prentice Hall,
Englewood Cliffs, NJ.
Maslach, C., Jackson, S.E., 1984. Burnout in organizational
settings. In: Oskamp, S. (Ed.), Applied Social
Psychology Annual: Applications in Organizational
Settings, vol. 5. pp. 133 – 153.
Maslach, C., Pines, A.M., 1977. The burnout syndrome in the day
care setting. Chile Care Q. 6, 100 – 113.
Maslach, Christina, Wilmar B. Schaufeli, Michael P. Leiter. 2001.
Job Burnout. Annu. Review. Psychology. 2001.
52:397–422
Maslach. Christina and Susan E. Jackson. 1981. The
measurement of experienced burnout. Journal of
Occupational Behaviour : 2. 99-113.
Masri Singarimbun. 1995. Metode dan Proses Penelitian. Dalam
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi (editor). Metode
Penelitian Survai, hlm. 3-16. Jakarta: Penerbit LP3ES.
Masrun. 1979. Reliabilitas dan Cara-Cara Menentukannya.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM.
Mathieu, J.E. and D.M. Zajac. 1990. A Review and Meta Analysis
of The Antecedents, Corellates, and Consequences of
Organizational Commitment. Psychological Bulletin,
Number 108: 171-194.
Mathieu, J.E., Zajac, D.M., 1990. A review and meta-analysis of
the antecedents, correlates and consequences of
organizational commitment. Psychological Bulletin
108, 171-194.

Kelelahan Kerja (Burnout) 293


Mathis, Robert L. and John H. Jackson. 2004. Manajemen
Sumber-Daya Manusia. Buku Dua, Terjemahan Jimmy
Sadeli dan Bayu Prawira Hie. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, Edisi Pertama.
Matthews A. Russell, Wendy Michelle Diaz and Steven G. Cole.
2003. The Organizational Empowerment Scale.
Personnel Review Vol. 32 No.3
Mayer John D and David Caruso. 2002. The effective leader:
Understanding and applying emotional intelligence.
Ivey Business Journal Novem-ber/December 2002
Mayer John D, Peter Salovey and David Caruso. 2004. A Further
Consideration of the Issues of Emotional Intelligence.
Psychological Inquiry, Vol. 15, No. 3, 249-255.
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Mayer John D. and Catherine Maslach, Beltz. 2002.
Socialization, Society’s “ Emotional Contract”, and
Emotional Intelligence. Ebsco Publishing
Mayer, John D, Maria DiPaolo, Peter Salovey. 1990. Preceiving
Affective Content in Ambigous Visual Stimuli : A
Component of Emotional Intelligence. Journal of
Personality Assessement 1990, 54 (3&4), 772-781
Mayer, John D. and David Caruso. 2002. The effective leader:
Understanding and applying emotional intelligence.
Business Journal
McCallum, R.C., 1986. Specification searches in covariance
structure modeling. Psychological Bulletin 100, 107-
120.
McGregor, D., 1960. The Human Side of the Enterprise. McGraw-
Hill, New York.
McKenna, Eugene & Nick Beech. 2000. The Essence of
Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Andi.
Yogyakarta.
McKenna, Eugene and Nic Beech. 1995. The Essence of Human
Resource Management. Terjemahan Toto Budi Santosa.
Prentice Hall International (UK) Ltd.

294 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


McShane, Steven L. and Mary Ann Von Glinow. 2003.
Oganizational Behavior: Emerging Realities for
Workplace Revolution. International Edition, McGraw-
Hill, Second Edition.
Merritt, A., 1997. National culture and work attitudes in
commercial aviation: a cross-cultural investigation.
Diss. Abstr. Int. 58, 0446.
Meyer Henry R, 2007. Manajemen dengan Keceradasan
Emosional.Cetakan I, Nuansa, Bandung.
Michaels, R.E. and Dixon, A.L. (1994), ``Sellers and buyers on
the boundary: potential moderators of role stress ± job
outcome relationships'', Journal of the Academy of
Marketing Science, Winter, pp. 62-73.
Michaels, R.E., Cron, W.L., Dubinsky, A.J. and Joachimsthaler,
E.A. (1988), ``Influence of formalization on the
organizational commitment and work alienation of
salespeople and industrial buyers'', Journal of
Marketing Research, Vol. XV, November, pp. 376-83.
Michaels, R.E., Day, R.L. and Joachimsthaler, E.A. (1987),
``Role stress among industrial buyers: an integrative
model'', Journal of Marketing, Vol. 51, April, pp. 28-45.
Micheals, R.E., Day, R.L., Joachimsthaler, E.A., 1987. Role stress
among industrial buyers: an integrative model. Journal
of Marketing 51, 28-45.
Mishra, A.K. and Spreitzer, G.M. 1998. “Explaining how survivors
respond to downsizing: the roles of trust, empowerment,
justice and work redesign”. Academy of Management
Review. Vol. 23 No. 3, pp. 567-88.
Moekijat. 2004. Manajemen Tenaga Kerja dan Hubungan Kerja.
Bandung: Pioner Jaya.
Mohamad As'ad. 1987. Psikologi Industri. Yogyakarta: Penerbit
Liberty, Edisi Tiga.
Mohr, Alexander T. & Jonas F. Puck. 2007. Role Conflict, General
Manager Job Satisfaction and Stress and the

Kelelahan Kerja (Burnout) 295


Performance of IJVs. European Management Journal
Vol. 25, No. 1, pp. 25–35, Elsevier Ltd.
Moncrief, Milliam A, Emin Babakus, David W. Cravens, Mark
Johnston. 1997. Examining the antecedents and
consequences of salesperson job stress. European
Journal of Marketing, Vol. 31 No. 11/12, 1997, pp.786-
798.
Moore, J.E., 2000. Why is this happening? A causal attribution
approach to work exhaustion consequences. Acad.
Manage. Rev. 25, 335– 349.
Moore, Jo Ellen. 2000. One Road to Turnover:An Examination of
Work Exhaustion in Technology Professionals. Southern
Illinois University. MISQ, Volume 24 No 1, halaman 141
– 168/Maret 2000.
Moorhead, Gregory and Ricky W. Griffin. 2000. Organizational
Behavior. A.I.T.B.S. Publishers & Distributors, First
Indian Edition.
Moravec, M., Collins, M. and Tripodi, C. (1990), ``Don't want to
change? Here's another path'', Sales & Marketing
Management, Vol. 142, April, pp. 70-6.
Mowday, R.T., Porter, L.W., Steers, R.M., 1979. The
measurement of organizational commitment. Journal of
Vocational Behavior 14, 224-247.
Mowday, R.T., Steers, R.M., Porter, L.W., 1982. Employee-
Organization Linkages. Academic Press, New York.
Mulki, Jay Prakash, Fernando Jaramillo, & William B. 2006.
Emotional Exhaustion and Organizational Deviance:
Can the Right Job and a Leader's Style Make a
Difference?. Locander. Journal of Business Research
59, 1222–1230.
Munandar. 2001. Stress dan keselamatan Kerja, Psikologi
Industri dan organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Nease, A., Mudgett, B., Quinones, M., 1999. Relationship among
feedback sign, self-efficacy, and acceptance of
performance feedback. J. Appl. Psychol. 5, 806 – 814.

296 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Netemeyer, R.G., Johnston, M.W. and Burton, S. (1990),
``Analysis of role conflict and ambiguity in structured
equations framework'', Journal of Applied Psychology,
Vol. 75, April, pp. 148-57.
Nicholson Jr., P.J., Goh, S.C., 1983. The relationship of
Organization Structure and Interpersonal Attitudes to
Role Conflict and Ambiguity in Different Work
Environments. Academy of Management Journal 26,
148-155.
Noe, Raymond A., Hollenbeck, John R., Gerhart, Barry, Wright,
Patrick M. 2006. Human Resource Management,
Gaining a Competitive Advantage. Fifth Edition. Irwin
McGraw-Hill.
Nunnally, J.C., Bernstein, I.H., 1994. Psychometric Theory.
McGrawHill, New York.
Nurse Recruitment and Relation Commite Report see Victorian
Government Departement of Sevices 2001.
O’Donnell dan Eggemeier. 1986. Workload Assessment
Methodology. New York: Wiley.
O’Driscoll, M.P., Beehr, R.A., 1994. Supervisor behaviors, role
stressors and uncertainty as predictors of personal
outcomes for subordinates. J. Organ. Behav. 15, 141 –
155.
Oliver, R.L. and Anderson, E. (1994), ``An empirical test of the
consequences of behavior- and outcome-based sales
control systems'', Journal of Marketing, October, pp.
53-67.
Opengart, Rose. 2005. Emotional Intelligence and Emotion
Work: Examin-ing Constructs From an Interdisciplinary
Framework. Human Resource Development Review
2005; 4; 49
Organ, D.W., Greene, C.N., 1981. The effects of formalization on
professional involvement: a compensatory process
approach. Administrative Science Quarterly 26, 237-
252.

Kelelahan Kerja (Burnout) 297


Oshagbemi, Titus. 2000. Satisfaction With Co-Worker' Behavior.
Employee Relations. MCB University Press,Volume 22,
Number 1.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., Berry, L.L, 1988. SERVQUAL: a
multiple-item scale for measuring consumer
perceptions of service quality. Journal of Retailing 64,
12-40.
Parasuraman, A., Zeithaml, V.A., Berry, L.L., 1985. A conceptual
model of service quality and its implications for future
research. Journal of Marketing 49, 41-50.
Parkington, J.P., Schneider, B., 1979. Some correlates of
experienced job stress: a boundary role study. Academy
of Management Journal 22, 270-281.
Paticson M & Moddem J. 1996. Human Resource management
in hospitals: a contested arena for jurisdiction.
Auatralian Health Review. Vol 19. No 3. Pp. 104-
16.viewed8 Sep2004
Pearce L. Jone 1981. Bringing Some Clarity to Role Ambiguity
Research. Academy of Management Review 1981. Vol.
6. No. 4, 665-674
Pearce, J., 1981. Bringing some clarity to role ambiguity
research. Acad. Manage. Rev. 6, 665 – 674.
Pearlin, L.I., Schooler, C., 1978. The structure of coping. J.
Health Soc. Behav. 19, 2 – 21.
Peng, T.K., Peterson, M.F., Shyi, Y.P., 1991. Quantitative
methods in cross-national management research:
trends and equivalence issues. J. Organ. Behav. 12, 87
– 107.
Perkins, Douglas D., & Marc A. Zimmerman. 1995.
Empowerment Theory, Research, and Application.
American Journal of Community Psychology, vol. 23,
no. 5.
Permendagri No.12 Tahun 2008. Pedoman Analisis Beban Kerja
di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan
Pemerintah Daerah.

298 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Perrewe, L. Pamela. Wayne A. Hochwarter, Ana Maria Rossi,
Allan Wallace, Isabella Maignan, Stephanie L. Castro,
David A. Ralston, Mina Westman, Guenther Vollmer,
Moureen Tang, Paulina Wan, Cheryl A. Van Deusen.
2002. Are Work Stress Relationships Universal? A nine-
region Examination of Role Stressors, General Self-
Efficacy, and Burnout. Journal of International
Management 8, 163–187. Elsevier Science Inc.
Peterson, M.F., Smith, P.B., Adebowale, A., Ayestaran, S.,
Bochner, S., Callan, V., Cho, N.G., Jesuino, J.C.,
D’Amorim, M., Francois, P., Hofmann, K., Koopman, P.,
Leung, K., Lim, T.K., Mortazvi, S., Munene, J.,
Pines, A.M. and Maslach, C. (1981), Burnout: From Tedium to
Personal Growth, Macmillan, New
Pines, A.M., Aronson, E., Kafry, D., 1981. Burnout: From Tedium
to Personal Growth. Macmillan, New York, NY.
Pines, Ayala and Sylvia Guendlman. 1995. Exploring the
Relevance of Burnout to Mexican Blue Collar Woman.
Jurnal of Vovational behavior. 47, 1-20
Podsakoff, P.M., Ahearn, M. and MacKenzie, S.B. (1997),
``Organizational citizenship behavior and the quantity
and quality of work group performance'', Journal of
Applied Psychology, Vol. 82, April, pp. 262-70.
Pohan S. Imbalo. 2004. Jaminan Mutu Layanan Kesehatan,
Dasar-dasar Pengendalian dan Penerapan. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Poortinga, Y., 1992. Towards a conceptulialization of culture for
psychology. In: Iwawaki, S., Kashima, Y., Leung, K.
(Eds.), Innovations in Cross-Cultural Psychology. Swets
& Zeitlinger, Amsterdam, pp. 3 – 17.
Porter, L.W., Steers, R.M., Mowday, R.T. and Boulian, P.V.
(1974), ``Organizational commitment, job satisfaction
and turnover among psychiatric technicians'', Journal
of Applied Psychology, Vol. 59, October, pp. 603-9.

Kelelahan Kerja (Burnout) 299


Porter, L.W., Steers, R.M., Mowday, R.T. and Boulian, P.V.
(1974), ``Organizational commitment, job satisfaction
and turnover among psychiatric technicians'', Journal
of Applied Psychology, Vol. 59, October, pp. 603-9.
Pranarka, A.M.W, Vidyandika Moeljarto. 1996. Pemberdayaan
(Empowerment). Centre for Strategic and International
Studies Jakarta.
Preffer Jeffrey, Budi W. Soetijpto dkk. 2003. Paradigma Baru
Manajemen Sumber daya Manusia, Cetakan keempat,
Amara Books, Jokjakarta.
Prins Annette. 2006. Emotional Intelligence and Leadership in
Corporate Management : A Fortigenic Perseption.
Unpublished Ph.D dissertation : University the Free
State Bloemfontein.
Prussia, G.E., Anderson, J.S., Manz, C.C., 1998. Self-leadership
and performance outcomes: the mediating influence of
self-efficacy. J. Organ. Behav. 19, 523 – 538.
Pugh, D.S., Hickson, DJ., Minings, C.R., Turner, C, 1968.
Dimensions of organization structure. Administrative
Science Quarterly 13, 63-105.
Quebbeman Amanda J. and Elizabeth J. Rozell. 2002. Emotional
intelligence and dispositional affectivity as moderators
of workplace aggression: The impact on behavior
choice. Human Resource Management Review 12
(2002) 125–143
Quinn, Robert E. & Gretchen M. Spreitzer. 1997. The Road to
Empowerment : Seven Question Every Leader Should
Consider.
Radford, M., Ropo, A., Savage, G., Setiadi, B., Sinha, T.N.,
Sorneson, R., Viedge, C., 1995. Role conflict, ambiguity,
and overload: a 21-nation study. Acad. Manage. J. 38,
429– 453.
Rahim M. Afzalur and Patricia Minors. 2000. Effects of Emotional
Intelligence on Concern for Quality and Problem Solving.
Managerial Auditing Journal 10/2

300 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Ralston, D.A., Gustafson, D.J., Cheung, F., Terpstra, R.H., 1993.
Differences in managerial values: a study of U.S., Hong
Kong and PRC managers. J. Int. Bus. Stud. 24, 249 –
275.
Ralston, D.A., Yu, K.C., Wang, X., Terpstra, R.H., He, W., 1996.
The cosmopolitan Chinese manager: findings of a study
on managerial values across the six regions of China. J.
Int. Manage. 2, 79 – 109.
Ramano M, 2002, A strong attraction. As hospitals seek ‘magnet’
status to retain nurses and omprove care, some see the
program as little more than adalah pricey marketing
gimmick, Modem Healthcare, vol. 32, pp.28-33.
Reardon, K.K., Enis, B., 1990. Establishing a company-wide
customer orientation through persuasive internal
marketing. Management Communication Quarterly 3,
376-387.
Reichers, A., 1985. A review and reconceptualization of
organizational commitment. Academy of Management
Review 10, 465-476.
Reichheld, F.F., Sasser, W.E., Jr., 1990. Zero defection: quality
comes to services, Harvard Business Review 105-111.
Remano M. 2002. A Strong attraction. As hospital seek ‘magnet’
status to retain nurses and improve care, some see the
program as little more than a pricey marketing gimmick,
Modem Healthcare, vol. 32. Pp.28-33
Rivai Veithzal. 2004. Manajemen Sumber Daya manusia untuk
Perusahaan, dari Teori ke Praktek. Cetakan pertama,
PT Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Rizzo R. John, Robert J. House, and Sidney L. Lirtzman 1970.
Role Conflict and Ambiguity in Complex Organizations.
Administrative Science Quarterly
Rizzo, J.R., House, R.J. and Lirtzman, S.I. (1970), ``Role conflict
and ambiguity in complex organizations'',
Administrative Science Quarterly, Vol. 15, March, pp.
150-63.

Kelelahan Kerja (Burnout) 301


Robbins, Stephen P. 2005. Organizational Behavior: Concepts,
Controversies, and Applications. Prentice-Hall
International Editions, Fifth Edition.
Rocca Ana Della and Marion Kostanski, 2001. Burnout and Job
satisfaction amongst Victorian Secondary school
Teachers: A Comparative look at Contract and
Permanent Employment. Teacher Education: Change of
Heart, Mind and Action. Melbourne.
Rogers, D.L., Molnar, J., 1976. Organizational antecedents of
role conflict and ambiguity in top-level administrators.
Administrative Science Quarterly 21, 598-610.
Ronen, S., Shenkar, O., 1985. Clustering countries on attitudinal
dimensions: a review and synthesis. Acad. Manage.
Rev. 10, 435 – 454.
Rousseau, D.M., 1978. Characteristics of departments,
positions, and individuals: contexts for attitudes and
behavior. Administrative Science Quarterly 23, 521-
540.
Rousseau, D.M., 1985. Issues of level in organizational research:
multilevel and cross-level perspectives. In: Cummings,
L.L., Staw, B.M. (Eds.), Research in Organizational
Behavior: An Annual Series of Analytical Essays and
Critical Reviews, pp. 1-37.
Rousseau, D.M., 1985. Issues of level in organizational research:
multilevel and cross-level perspectives. In: Cummings,
L.L., Staw, B.M. (Eds.), Research in Organizational
Behavior: An Annual Series of Analytical Essays and
Critical Reviews, pp. 1-37.
Rust, R.T., Zahorik, A.J., Keiningham, T.L., 1995. Return on
quality (ROQ): making service quality accountable.
Journal of Marketing 59, 58-70.
Rust, R.T., Zahorik, A.J., Keiningham, T.L., 1995. Return on
quality (ROQ): making service quality accountable.
Journal of Marketing 59, 58-70.

302 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Sager, J.K. (1994), ``A structural model depicting salespeople's
job stress'', Journal of the Academy of Marketing
Science, Vol. 22, January, pp. 74-84.
Sager, J.K. (1994), ``A structural model depicting salespeople's
job stress'', Journal of the Academy of Marketing
Science, Vol. 22, January, pp. 74-84.
Sager, J.K., 1994. A structural model depicting salespeople's job
stress. Journal of the Academy of Marketing Science
22, 74-84.
Sager, J.K., 1994. A structural model depicting salespeople's job
stress. Journal of the Academy of Marketing Science
22, 74-84.
Saks, A.M., 1994. Moderating effects of self-efficacy for the
relationship between training method and anxiety and
stress reactions of newcomers. J. Organ. Behav. 15, 639
– 654.
Saks, A.M., 1994. Moderating effects of self-efficacy for the
relationship between training method and anxiety and
stress reactions of newcomers. J. Organ. Behav. 15, 639
– 654.
Saltman R Figueras J & Sakellarides C eds) 1998. Critical
challenges for health care reform in Europe, State of
Health. Open University Press, Buckingham.
Santamaria N 2000. The relationship between nurses personality
and stress level recorted when caring for
interpersonality difficuls patiens, Australian Journal of
Advanced Nursing. Vol. 18. Pp. 20-6.
Santamaria N, 2000. The relationship between nurses
personality and stress levels reported when caring for
interpersonally difficult patients. Australian Journal of
Advanced Nursing, vol. 18, pp.20-6
Savery K. Lawson, and Luks J.Alan, 2001. The Relationship
between empower-ment, job satisfaction and reported
stress levels: some Australian evidence. Ledership &
Organization Development Journal, 97-104

Kelelahan Kerja (Burnout) 303


Savery LK & Luks JA 2001. The relationship between
empowerment, job satisfaction and reported stress
leves: some Australian evidence. Leadership and
Organizational Development Journal. Vol.22. pp. 97-
104
Schaubroeck, J., Cotton, J., Jennings, K., 1989. Antecedents and
consequences of role stress: a covariance structure
analysis. Journal Organizational Behavior. 10, 35–58.
Schaubroeck, J., Cotton, J., Jennings, K., 1989. Antecedents and
consequences of role stress: a covariance structure
analysis. J. Organ. Behav. 10, 35 – 58.
Schaubroeck, J., Cotton, J., Jennings, K., 1989. Antecedents and
consequences of role stress: a covariance structure
analysis. J. Organ. Behav. 10, 35 – 58.
Schaubroeck, J., Merritt, D.E., 1997. Divergent effects of job
control on coping with work stressors: the key role of
self-efficacy. Acad. Manage. J. 40, 738 – 754.
Schaubroeck, J., Merritt, D.E., 1997. Divergent effects of job
control on coping with work stressors: the key role of
self-efficacy. Acad. Manage. J. 40, 738 – 754.
Schaufeli, W.B., Enzmann, D., 1998. The Burnout Companion to
Study and Practice: A Critical Analysis. Taylor & Francis,
London.
Schaufeli, W.B., Enzmann, D., 1998. The Burnout Companion to
Study and Practice: A Critical Analysis. Taylor & Francis,
London.
Schaufeli, Wilmar B, Toon W. Taris. 2005. The conceptualization
and measurement of burnout: Common ground and
worlds apart. Work & Stress, July September 2005;
19(3): 256_/262
Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership.
Jossey-Bass Publishers. San Francisco.
Schlesinger, L.A., Heskett, J.L., 1991. Enfranchisement of
service workers. California Management 33, 83-100.

304 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Schlesinger, L.A., Heskett, J.L., 1991. Enfranchisement of
service workers. California Management 33, 83-100.
Schmitt, N., Bedeian, A.G., 1982. A comparison of LISREL and
two-stage least squares analysis of a hypothesized life-
job satisfaction reciprocal relationship. Journal of
Applied Psychology 67, 219-231.
Schmitt, N., Bedeian, A.G., 1982. A comparison of LISREL and
two-stage least squares analysis of a hypothesized life-
job satisfaction reciprocal relationship. Journal of
Applied Psychology 67, 219-231.
Schneider, B., 1980. The service organization: climate is crucial.
Organizational Dynamics 9, 52-65.
Schneider, B., 1980. The service organization: climate is crucial.
Organizational Dynamics 9, 52-65.
Schroeder M & Worral- Carter L 2002. Perioperative managers:
role stressand strategies for coping, Contemporery
Nurse. Vol. 13. pp. 229-38.
Schuler, Randall S. dan Susan E. Jackson. 1997. Manajemen
Sumber-daya Manusia Menghadapi Abad Ke-21. Jilid
1, Terjemahan Nurdin Sobari dan Dwi Kartini Yahya.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Schumacker, Randall E. and Richard G. Lomax. 1996. A
Beginner's Guide to Structural Equation Modeling.
Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Schwab, R.L., Iwanicki, E.F., 1992. Perceived role conflict, role
ambiguity, and teacher burnout. Educational
Administration. Q. 18, 60–74.
Sekaran, Uma. 2003. Research Methods for Business: A Skill
Building Approach. John Wiley & Sons, Inc., Fourth
Edition.United States of America.
Shaffer, M., Harrison, D., Gilley, M., 1999. Dimensions,
determinants, and differences in the expatriate
adjustment process. J. Int. Bus. Stud. 3, 557 – 582.
Sharma, S. (1996), Applied Multivariate Techniques, John Wiley
& Sons, New York, NY.

Kelelahan Kerja (Burnout) 305


Shavit, Y., Martin, F.C., 1987. Opiates, stress, and immunity:
animal studies. Ann. Behav. Med. 9, 11 – 20.
Siegall Marc and Susan Gardner. 2000. Contextual Factor of
Psychological Empowerment. Personnel review, Vol.29
No. 6, pp 703-722
Siegall, Marc. 2000. Putting the Stress Back into Role Stress:
Improving The Measurement of Role Conflict and Role
Ambiguity. Journal of Managerial Psychology, Vol. 15
No. 5, 2000, pp. 427-439. MCB University Press,
Simamora, Hendrik. 1995. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Edisi Kesatu. Penerbit YKPN. Yogyakarta.
Simon T. Tidd, Heather H. Mclntyre, Raymond A. Friedman.
2000. The Importance of Role Ambiguity and Trust in
Cinfict Perception : Unpacking the Task Conflict to
Relationship Confict linkage. The International Joumal
of Conflict Management Vol. 15, No. 4, pp. 364-380
Sinar harapan. 2004. Upaya Meningkatkan Profesionalisme
Perawat, Simposium Keperawatan RS Husada.
Singh, J. and Rhoads, G. (1991), ``Boundary role ambiguity in
marketing oriented positions: a multidimensional
multifaceted operationalization'', Journal of Marketing
Research,August, pp. 328-38.
Singh, J., Goolsby, J.R. and Rhoads, G.K. (1994), ``Behavioral
and psychological consequences of boundary spanning
burnout for customer service representatives'', Journal
of Marketing Research, November, pp. 558-69.
Singh, J., Rhoads, O.K., 1991. Boundary role ambiguity in
marketingoriented positions: a multidimensional,
multifaceted operationalize-tion. Journal of Marketing
Research 28, 328-338.
Siswono. 2002. Model Praktik Keperawatan Profesional di
Indonesia. Indonesian Nutrition Network, Gizi.net
Sitompul dan Imam Nurmawan. Jakarta: Penerbit Erlangga,
Edisi Kelima.

306 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Soenarjo, 1971. Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Pentafsir
Al Quran, Jakarta
Soetjipto dan Uka Wikarya. Jakarta: Penerbit Erlangga, Edisi
Kelima.
Soleman, Aminah. 2011. Analisis Beban Kerja Ditinjau Dari
Faktor Usia Dengan Pendekatan Recommended Weiht
Limit. Jurnal Arika, Vol.05 No.02.
Solimun. 2002. Structural Equation Modeling: Lisrel dan Amos.
Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
Spector PE, Cooper CL, Sanchez. JL, O’Driscoll M & Sparks K
2002. Lokus of Control and wll-being at work: how
generalizable are Western finding? Academy of
Mangement Journal. Vol. 45, pp. 453-66
Spreitzer, G.M. 1995. “Psychological empowerment in the
workplace: dimen-sions, measurement and validation”.
Academy of Management Journal, Vol. 38 No. 5, pp.
1442-65.
Spreitzer, G.M., Kizilos, M.A. and Nason, S.W. 1997. “A
dimensional analysis of the relationship between
psychological empowerment and effectiveness,
satisfaction, and strain”. Journal of Management, Vol.
23 No. 5, pp. 679-704.
Spreitzer, Gretchen M. 1996. Social Structural Characteristics of
Psychological Empowerment. Academy of Management
Journal, Vol. 39, No. 2, 483-504.
Stanton P. Bartram T & Harbridge R 2004, People Management
practices in the public health sector: development frm
Victoria, Australia, Journal of European Industrial
training, vol. 28 (in press).
Stephen P Robbins and Timothy A Judge, Perilaku Organisasi,
12th ed. (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.
372.8Nimran Umar, Perilaku Organisasi, (Surabaya:
Citra Media, 2004). hlm. 24

Kelelahan Kerja (Burnout) 307


Stogdill, R.M., 1963. Manual for the Leader Behavior Description
Questionnaire-From XII. Columbus: Bureau of Business
Research, The Ohio State University.
Stordeur S. D’hoore W & Vandenberghe C 2001. Hospital
nursing staff. Journal of Advenced Nursing. Vol.35. pp.
533-42
Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &
D, Cetakan kesati, Alfabeta. Bandung.
Sulistami D Ratna dan Erlinda Manaf Mahdi, 2006. Universal
Intelligence. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sy, Thomas, Susanna Tram, & Linda A. O’Hara. 2006. Relation of
Employee and Manager Emotional Intelligence to Job
Satisfaction and Performance. Journal of Vocational
Behavior 68, 461–473.
Tansik, D.A., 1990. Managing human resource issues for high
contact personnel. In: Bowen, D.E., Chase, R.B.,
Cummings, T.G. (Eds.), Service Management
Effectiveness. Jossey-Bass, San Francisco, pp. 152-
176.
Tett, R.P., Meyer, J.P., 1993. Job satisfaction, organizational
commitment, turnover intention, and turnover: path
analyses based on meta-analytic findings. Personnel
Psychology 46, 259-293.
Tjandra Yoga Aditama. 2003. Manajemen Administrasi Rumah
Sakit. Edisi Kedua, Penerbit Universitas Indonesia
Trompenaars, F., Hampden-Turner, C., 1998. Riding the Waves
of Culture: Understanding Cultural Diversity in Global
Business, second ed. McGraw-Hill, New York.
Tsigilis, Nikolaos, Evridiki Zachopoulou and Vasilios
grammatikopoulos. 2006. Job Satisfaction and burnout
among Greek early educators: A comparison between
public and private sector employees. Educational
Recearch and Review Vol. 1 (8), pp.256-261.

308 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Tung, R.L., 1995. Strategic human resource challenge: managing
diversity. International Journal of Human Resource
Management 6, 482 – 493.
Tyson, Shaun and Tony Jackson. 1992. The Essence of
Organizational Behavior. Prentice Hall International
(UK) Ltd.
Umar, Husein. 2004. Riset Sumber Daya Manusia dalam
Organisasi. Cetakan keenam Penerbit: PT. Gramedia
Utama. Jakarta
Van Sell, M., Brief, A.P., Schuler, R.S., 1981. Role conflict and
role ambiguity: integration of the literature and
directions of future research. Human Relations 34, 43-
71.
Vera Aldo, Iris Ravanal, Lonel Cancino, Claudia Carrasco,
Gustafvo Conreras, Oscar Ateaga. 2007. Burnout
Sindrom and Emotional Intelligence an Analysis From a
Psychosocial Approach in a Government Agency in
Chile. Escuela de salud Publica, Facultad de Medicina.
Universidad de Chile. Cienc Trab. Abr-Jun; 9 (24): 51-
54).
Visser, Mechteld R.M., Ellen M.A. Smets, Frans J. Oort, Hanneke
C.J.M. de Haes. 2003. Stress, Satisfaction and Burnout
Among Dutch Medical Specialists. Canadian Medical
Association or its licensors
Walker Jr., O.C., Churchill Jr., G.A., Ford, N.M., 1975.
Organizational determinants of the industrial
salesman's role conflict and ambiguity. Journal of
Marketing 39, 32-39.
Walker, James W. 1992. Human Resource Strategy. McGraw-Hill
International Edition. New York:
Weinberger, Lisa A. 2002. Emotional Intelligence: Its Connection
to HRD Theory and Practice. Human Resource
Development Review 2002; 1; 215

Kelelahan Kerja (Burnout) 309


Werther, William B., Jr. & Keith Davis. 1996. Human Resource
and Personnel Management. Fifth Edition. McGraw-Hill,
Inc.
Westman, M., 1992. The moderating effects of decision latitude
on stress–strain relationships: does organizational level
matter? Journal Organizational Behavior. 13, 713–722.
Westman, M., Eden, D., 1992. Excessive role demand and
subsequent performance. Journal Organizational
Behavior.13, 519–529.
Wetzels, Martin, Ko de Ruyter, & Josee Bloemer. 2000.
Antecedents and Consequences of Role Stress of Retail
Sales Persons. Journal of Retailing and Consumer
Services 7, pp. 65-75.
Wheatherly, K.A., Tansik, D.A., 1993. Tactics used by customer
contact workers: effects of role stress, boundary
spanning and control. International Journal of Service
Industry Management 4, 4-17.
Wilkinson, Adrian. 1998. Empowerment: Theory and Practice.
Personnel Review, Vol. 27 No. 1, 1998, pp. 40-56. MCB
University Press
Williams, L.J., Hazer, J.T., 1986. Antecedents and consequences
of satisfaction and commitment in turnovermodels: a
reanalysis using latent variable structural equation
methods. Journal of Applied Psychology 71, 219-231.
Winardi. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung:
Penerbit PT Citra Aditya Bakti.
Winardi. 2004. Manajemen Prilaku Organisasi. Edisi Revisi,
Penerbit Kencana Jakarta.
Yagil, Dana. 2006. The Relationship of Service Provider Power
motivation, Empowerment and Burnout to Customer
Satisfaction. International Journal of Service Industry
Management Vol. 17 No. 3, pp. 258-270. Emerald
Group Publishing Limited.
Zagladi, Abdul Latif. 2004. Pengaruh Kelelahan Emotional
terhadap kepuasan kerja dan Kinerja dalam

310 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


pencapaian Komitmen Organisasional Dosen
Perguruan Tinggi Swasta. Disertasi. Universitas
Brawijaya Malang
Zani, Bruna & Luca Pietrantoni. 2001. Gender Differences in
Burnout, Empowerment and Somatic Symptoms Among
Health Professionals: Moderators and Mediators. Vol.
20 No. 1\2. Department of Education, University of
Bologna.
Zeithaml, V.A., Berry, L.L., Parasuraman, A., 1988.
Communication and control processes in the delivery of
service quality. Journal of Marketing 52, 35-48.
Zellars, K.L., Perrewe´, P.L., 2001. Affective personality and the
content of emotional social support: coping in
organizations. J. Appl. Psychol. 86,, 459 – 467.
Zemke, R., Schaaf, D., 1989. The Service Edge: 101 Companies
That Profit from Customer Care. New American Library,
New York.
Zhou Jing and Jennifer M. George. 2003. Awakening employee
creativity: The role of leader emotional intelligence. The
Leadership Quarterly 14. 545-568

Kelelahan Kerja (Burnout) 311


312 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.
Profil Penulis

Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.


Dosen DPK Universitas Muslim Indonesia Makassar, menjabat
sebagai direktur Pascasarjana YPUP Makassar periode 2011-
2014, mengajar STIE Nobel Makassar, Asmi Publik, STIMIK
Kharisma Makassar, UIN Alaudin Makassar

Latar Belakang Pendidikan


 S1 Universitas Hasanuddin 1984
 S2 Universitas Hasanuddin 1995
 S3 Universitas Brawijaya 2009

Kelelahan Kerja (Burnout) 313


314 Dr. Roslina Alam, S.E., M.Si.

Anda mungkin juga menyukai