Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

HASIL DAN DISKUSI

Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis terandomisasi acak yang dilaksanakan di
RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUD Karawang selama periode November 2020 –
Oktober 2021 dengan tujuan untuk menilai efektivitas dequalinium chloride sebagai terapi
bacterial vaginosis dan infeksi campuran. Sebanyak 34 wanita dengan Bacterial Vaginosis
yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi dilibatkan sebagai
subjek dalam penelitian ini. Sebelum memulai penelitian, masing-masing subjek dijelaskan
mengenai protokol penelitian dan dimintakan kesediaan untuk berpartisipasi secara tertulis
(written informed consent).

4.1. Analisis terhadap Efikasi Dequalinium Chloride pada Subjek Penelitian

Pasca pemberian Dequalinium chloride, didapatkan bahwa 16 dari 17 subjek pada kelompok
perlakuan dengan pemberian Dequalinium Chloride (94,12%) dinyatakan sembuh dari
Bacterial Vaginosis. Sedangkan, pada kelompok kontrol didapatkan seluruh subjek
dinyatakan sembuh pada akhir masa percobaan. Kejadian kegagalan pengobatan pada
kelompok kontrol (control – event rate atau CER) adalah sebesar 0. Kejadian kegagalan
pengobatan pada kelompok perlakuan (experimental – event rate atau EER) adalah sebesar
0,058. Perbedaan kegagalan aktual antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
(absolute risk reduction atau ARR) adalah sebesar 5,78%. Number needed to treat dihitung
dengan menggunakan rumus:

1 1
NNT = = =17 , 24
ARR 0,058

Hasil tersebut memiliki makna bahwa diperlukan sebanyak 17,24 orang yang diberi terapi
adjuvan Dequalinium Chloride untuk dapat menghindarkan 1 orang dari ketidaksembuhan
(kegagalan terapi).

Tabel 2. Analisis efikasi Dequalinium Chloride


Sembuh Tidak Sembuh

Perlakuan 16 (94,12%) 1 (5,78%)

Kontrol 17 (100%) 0 (0%)

Dequalinum chloride (DQC) merupakan agen yang pada awalnya dikembangkan sebagai
antiseptic dan disinfektan. Selain pada infeksi vagina, DQC juga digunakan pada infeksi dan
inflamasi oral seperti tonsilitis, faringitis, dan gingivitis. DQC dapat digunakan untuk terapi
infeksi vagina lokal, seperti kandidiasis vulvovaginal, trikomoniasis, dan Bacterial Vaginosis.
DQC tablet vagina (Fluomycin) banyak digunakan untuk terapi Bacterial Vaginosis karena
sifat antimikrobial spektrum luas terhadap patogen vagina seperti Gardnerella vaginalis dan
Atopobium vaginae, dan bakteri vagina lainnya.1 Pada Skotlandia dan Wales, penggunaan
tablet vagina DQC direkomendasikan sebagai lini kedua setelah pengobatan Bacterial
Vaginosis dengan lini pertama tidak berhasil atau tidak ditoleransi dengan baik. 1 Sedangkan
Perkumpulan Obstetri-Ginekologi Polandia merekomendasikan penggunaan antiseptik
topical, antara lain DQC direkomendasikan sebagai pilihan pertama terapi, karena aktivitas
spektrum luas yang disertai toksisitas rendah dan biokompatibilitas jaringan yang tinggi. 2

DQC dapat mempenetrasi membran sel bakteri, dan merangsang kerusakan pada membran
plasma. Mekanisme aksi dari DQ melibatkan komponen asam nukleat dan protein. Aktivitas
antimicrobial DQC didasari oleh kemampuannya meningkatkan permeabilitas sel disertai
dengan penurunan aktivitas enzim. DQC menunjukkan aktivitas bakterisidal dan fungisidal
yang cepat. DQC terabsorpsi ke permukaan sel mikroorganisme dan berdifusi melalui
dinding sel, kemudian berikatan ke membran sitoplasma. Membran sel dapat mengalami lisis
sehingga terjadi gangguan pertukaran osmotik. Setelah masuk di intrasel, DQC menyebabkan
denaturasi protein yang menginhibisi metabolisme sel bakteri dan mendisrupsi produksi
energi bakteri melalui inhibisi metabolisme glukosa dan sintesis ATP mitokondria serta
terminasi sintesis protein pada ribosom. Pada asam nukleat, DQC menyebabkan presipitasi
material sitoplasmik dengan asam nukleat dan berikatan kepada DNA. Disrupsi permeabilitas
sel dan hilangnya aktivitas enzim dianggap sebagai sebab utama dari kematian sel bakteri
setelah terpapar DQC. Belum ada laporan resistensi mikroorganisme terhadap DQC yang
telah didapati pada studi laboratorium atau klinis. Resistensi diduga sulit terjadi karena
mekanisme aksi yang berlapis dari DQC.

Keamanan dari penggunaan tablet DQC. Penggunaan sistemik DCQ tidak direkomendasikan
antara lain karena potensi neurotoksisitas. Setelah penggunaan peervaginam, DQC hanya
diserap dalam derajat sangat rendah setelah aplikasi vaginal sehingga dapat diabaikan. Tablet
DQC dapat digunakan pada wanita hamil di semua trimester dan pada saat laktasi. Efek
samping disebutkan terjadi pada 7,8% populasi, antara lain kandidiasis vagina, discharge
vagina, gatal pada vulva dan vagina, serta sensasi terbakar pada vulva dan vagina.

Kriteria Amsel untuk diagnosis Bacterial Vaginosis pada penelitian menggambarkan


spesifisitas 100% jika ditemukan clue cell pada permeriksaan mikroskopis dan positif whiff
test menjadi penilaian dengan spesifitas tertinggi kedua dengan angka 91.2% namun memiliki
sensisitifitas terendah dengan hanya 35.7%. 3 Penilaian BV dengan menggunakan Nugent’s
scoring system yang saat ini menjadi baku emas penilaian. menunjukkan sensitivitas 65,6%
dan spesifisitas 97,3%. Kriteria amsel banyak digunakan pada setting klinik namjun Nugent
score tetap menjadi prosedur uji diagnostik paling tepat dan jika terjadi keraguan dalam
melakukan uji ini selnjutnya akan dilakukan uji kultur.4

Persentase positif tertinggi dan terendah menurut kriteria Amsel dan skor Nugent dapat
disebabkan oleh sifat spesifik yang rendah dan tinggi dari kedua tes tersebut. Meskipun kultur
memiliki kelemahannya sendiri, ia memiliki perannya ketika terjadi kegagalan pengobatan,
seperti pada koinfeksi atau isolat yang resisten.5

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa angka kesembuhan pada terapi adjuvant
dengan menggunakan Dequalinium Chloride adalah sebesar 94,12%. Angka keberhasilan
pengobatan DQC pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan angka kesembuhan
pada studi lain yang dilakukan dengan memberikan tablet DQC dosis 10 mg intravaginal
selama 6 hari. Studi yang dilakukan di Belgia terhadap 321 wanita tersebut menunjukkan
bahwa angka kesembuhan pada BV pasca pengobatan DQC adalah sebesar 81,5% pada hari
ke-7 pmberian dan 79,5% pada hari ke-25 pemberian. Persentase tersebut tidak berbeda
bermakna dengan kelompok kontrol yang diterapi dengan menggunakan krim Clindamycin
2% selama 7 hari. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa pH vagina pada wanita yang
diterapi dengan menggunakan DQC cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pH wanita
yang diterapi dengan Clindamycin. Pada akhir studi, 2,5% wanita yang diterapi dengan
menggunakan DQC dan 7,7% wanita yang diterapi dengan menggunakan Clindamyin
didiagnosis dengan kandidiasis vulvovaginal simptomatik, kultur positif. Namun, kedua
angka tersebut tidak bermakna secara statistik. Begitu pula dengan angka non-responder,
rekurensi BV, serta efek samping penggunaan DQC yang tidak berbeda bermakna jika
dibandingkan dengan pengobatan Clindamycin (p = 0,21; p = 0,23; dan p = 0,20 secara
berurutan).sehingga berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi BV
dengan DQC selama 6 hari memiliki efikasi yang sama dibandingkan pemberian krim vagina
selama 7 hari. 6

Perbandingan efikasi antara DQC vaginal supositoria dengan terapi standar metronidazol oral
dilakukan pada studi randomized control trial oleh Eulalia dkk.7 dimana 40 perempuan yang
terdiagnosis bakterial vaginosis (Nugent’s score ≥ 4 dan clue cells positif) dibagi secara
random (Group A dan Group B) untuk mendapatkan DQC 10 mg tablet pv selama 6 hari dan
metronidazol tablet 500 mg dua kali sehari selama 7 hari. Pada hari ke-10 follow up,
sebanyak 67,5% (27/40) subjek mengalami keputihan moderat. Tidak ada keputihan berbau
pada 72,5% (29/40) subjek. Tidak ditemukan pula restorasi pada kedua kelompok perlakuan.
Pada hari ke-21, seluruh subjek hanya mengeluhkan sedikit keputihan. Tidak ada perbedaan
yang bermakna secara statistik (p = 0,76) pada kedua kelompok penelitian. Sebanyak 90%
(36/40) subjek dilaporkan tidak lagi memiliki keputihan berbau. Pada kelompok dengan
pengobatan DQC didapatkan kesembuhan 95% (19/20) dibanding 80% (16/20) pada
pengobatan metronidazol oral. Sebanyak 87,5% (35/40) subjek memiliki hitung coccobasilus
gram-negatif kurang dari 10 per lapang pandang besar pada hari ke-21 pasca pengobatan. Di
antara kedua kelompok perlakuan, 95% (19/20) subjek yang mendapat terapi DQC memiliki
hitung coccobacilli gram negatif yang lebih rendah dibandingkan 80% (16/20) subjek pada
kelompok metronidazole. Hal ini dapat disebabkan karena DQC tidak melewati first pass
metabolism. Sebagaimana surface-active agents lainnya, kerja DQC utamanya terkait dengan
permeabilitas sel. DQC menyebabkan reduksi aktivitas enzimatik dan kematian sel. 8 DQC
bahkan menyelubungi patogen elusive Atopium vaginae yang berhubungan dengan 80%
kasus BV dan terbukti resisten terhadap metronidazole. 9 Della Casa berhipotesis bahwa
kegagalan metronidazole pada pasien dengan BV rekuren atau persisten ditemukan pada hari
ke 30-45 sehingga diduga terhadap mekanisme baru pembentukan biofilm yang mengandung
G. vaginalis bersama dengan Atopobium vaginae. Pada hari ke 7-12, sebanyak 80% subjek
sembuh dengan menggunakan Metronidazole, namun angka kesembuhan tersebut berkurang
hingga 50%-nya setelah 35-45 hari.7

Selain itu juga didapatkan kembalinya flora normal vagina setelah pengobatan lebih baik
(75%) pada kelompok DQC dibandingkan kelompok metronidazol (25%). Perbedaan
restorasi flora normal vagina tersebut terbukti signifikan secara statistik. Secara umum, 95%
(35/40) subjek pada penelitian tersebut mencapai kesembuhan total. Dalam hal kepuasaan
subjek, 47,5% (19/40) subjek merasa puas dan 45% (18/40) merasa sangat puas. Namun,
67% (12/18) subjek pada kelompok DQC merasa puas, dibandingkan dengan hanya 33%
(6/18) subjek yang puas pada kelompok Metronidazole.7

Pada kelompok yang diterapi dengan DQC, seluruh subjek mengalami keputihan sedang yang
berbau tidak sedap. Setelah menjalani pengobatan selama 10 hari, kurang lebih 30% (6/20)
mengalami keputihan sedang dan hanya 15% (3/20) yang mengalami keputihan berbau.
Hitung coccobacilli juga jauh berkurang dibandingkan sebelum pengobatan, di mana hanya
dilaporkan 15% (3/20) subjek yang diterapi dengan DQC memiliki hitung coccobacilli lebih
dari 30 per lapang pandang besar. Tidak ada restorasi flora normal yang ditemukan pada hari
ke-10. Secara statistik, seluruh parameter bersifat signifikan kecuali restorasi laktobasilus. 7

Pada hari ke-21 pengobatan, seluruh subjek megalami keputihan minimal atau bercak pasca
terapi dengan DQC. Hanya 1 subjek yang masih mengeluhkan keputihan berbau. Sebanyak.
75% (15/20) subjek mengalami restroasi sempurna flora normal dan hanya 5 subjek dengan
hitung lactobacilli kurang dari 30 per lapang pandang besar. Tidak ada subjek dengan hitung
Gardnerella vaginalis yang melebihi 30 per lapang pandang besar. Perbedaan semua
parameter bersifat signifikan secara statistik antara data awal dan pada hari ke-21 pasca
terapi. Saat diwawancarai terkait efek samping, tidak ada subjek pada kelompok DQC yang
melaporkan efek samping. Pada kelompok Metronidazole, metallic taste dilaporkan pada
30% (6/20) subjek. Tidak ada efek samping mayor yang dilaporkan dalam penelitian tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam hal kepuasaan pengguna, DQC merupakan
alternatif yang baik terhadap metronidazole, dengan lebih banyak pasien yang menyukai
dequalinium.7
Pada studi yang dilakukan oleh Faught dkk. 10 pengobatan dengan DQC memiliki rekurensi
13,5% dibandingkan pengobatan dengan menggunakan metronidazol dimana rekurensinya
sebesar 25,5%. Selain lebih baik untuk pengembalian flora normal vagina seperti pada
penelitian diatas DQC juga lebih superior pada angka rekurensi BV dibandingkan dengan
pengobatan metronidazol.

Buyukbayrak dkk.11 melakukan studi pada 100 perempuan dengan bakterial vaginosis yang
diberikan terapi DQC per vaginam sekali sehari selama 6 hari dan pada hari ke sepuluh
setelah pengobatan di evaluasi hasilnya. Didapatkan DQC dapat menjadi alternatif pilihan
terapi pada pengobatan BV dimana gejala bau sekret vagina, gatal dan dysparenia membaik
secara signifikan.

Penggunaan antibiotik metronidazole oral dan klindamisin vaginal telah terbukti efisien
dalam pengendalian gejala BV jangka pendek. 12, 13
Kedua terapi tersebut dengan tingkat
kesembuhan 60-90% dalam satu bulan, namun tingkat kekambuhan sangat tinggi sekitar 30-
50% dalam waktu 2-3 bulan dan 50-70% dalam waktu 6-12 bulan. 9 Akan tetapi dalam
penggunaan antibiotik rasional saat ini, agen antiseptik DCQ dianggap sebagai pilihan yang
efektif dalam mengobati berbagai infeksi vagina, teramsuk BV. 14 Namun, terjadi resistensi
terhadap pengobatan dan ketidakmampuan untuk membasmi biofilm vagina pada pemberian
kedua obat tersebut sehingga terjadi kegagalan pengobatan dan kekambuhan pada BV. 15
Antiseptik DCQ merupakan aktivitas mikrobidisida yang luas terhadap bakteri aerob dan
anaerob,9 dimana pemberian DQC mempunyai resistensi yang lebih rendah. DQC memiliki
beberapa sifat anti-inflamasi yang aktif melawan berbagai pathogen vagina, termsuk sel-sel
planktonik Gardnella spp. Selain itu, DQC dapat mengganggu permenabilitas sel dan
inaktivasi enzim.16

Wanita yang diobati dengan metronidazole 400 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari,
58% kambuh dan 69% memiliki kekambuhan flora vagina abnormal dalam waktu 12 bulan.
Sedangkan tingkat kekambuhan setelah pengobatan dengan DCQ tablet vagina 10mg selama
6 hari mendapatkan hasil yang serupa dengan pengobatan standar metronidazole.17

Metronidazole merupakan obat yang memiliki fungsi antibakteri dan antiprotozoal.


Mekanisme kerja metronidazole melalui pengurangan protein transport intraseluler.
Metronidazole direduksi oleh sistem oksireduktase piruvat – ferredoksin dalam mitokondria
bakteri anaerob obligat, yang kemudian mengubah struktur kimianya. Oksireduktase piruvat-
ferredoksin normalnya menghasilkan ATP melalui dekarboksilasi oksidatif piruvat. Dengan
metronidazole di dalam lingkungan selulernya, kelompok nitronya berperan sebagai
penangkap elektron yang biasanya ditransferkan ke ion hydrogen pada siklus tersebut.
Reduksi metronidazole menghasilkan gradien konsentrasi yang kemudian menyebabkan
peningkatan uptake lebih banyak obat dan menginisiasi pembentukan senyawa intermedet
dan radikal bebas yang bersifat toksik untuk sel. Metronidazole merupakan nitroimidazole
yang kerap digunakan sebagai agen antibiotik pada berbagai kondisi seperti infeksi bakteri
anaerob, infeksi protozoa (contoh: giardiasis), gastritis yang disebabkan oleh Helicobacter,
dan hepatoensefalopati. Metronidazole bersifat sitotoksik terhadap bakteri anaerobic
fakultatif seperti Helicobacter pylori dan Gardnerella vaginalis. Mekanisme kerjanya didasari
pada aktivasi reduktif protein transport intraseluler. Metronidazole direduksi oleh sistek
oksidoreduktase piruvat-ferredoksin dalam mitokondria bakteri anaerob obligat.7, 18, 19

Tanda awal BV merupakan perubahan ekosistem vagina. Laktobasilus penghasil hydrogen


peroksida, yang ditemukan pada 96% wanita dengan flora bakteri vagina yang normal, secara
bermakna mengalami penurunan atau bahkan menghilang; sedangkan mikroorganisme seperti
Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob obligat bertahan. Metronidazole mempengaruhi
flora normal laktobasilus secara ringan karena resistensi bawaan dan rekolonisasi rapid oleh
basilus penghasil H2O2 pasca pemberian obat.6, 7, 20

Kebanyakan wanita menggunakan metronidazole untuk mengobati Bacterial Vaginosis.


Sejumlah efek samping seperti mual, muntah, pusing, nyeri pelvis, nyeri perut, perasaan baal
atau kesemutan dan/atau nyeri pada ekstremitas seperti tangan dan kaki, nyeri, bengkak pada
lokasi injeksi, iritasi vagina, keputihan, perubahan warna pada feses dan urin, kejang, mulut
kering, dan rasa tidak enak di lidah merupakan efek samping yang cukup sering dikeluhkan
oleh pengguna metronidazole. Laporan-laporan sebelumnya mengatakan bahwa toksisitas
akibat penggunaan metronidazole dapat menyebabkan efek samping neurologis seperti
neuropati perifer, ataxic gait, dysarthria, kejang, dan ensefalopati. Metronidazole-induced
encephalopathy (MIE) dilaporkan pada 1 pasien yang mengonsumsi metronidazole, dengan
gambaran abnormalitas otak pada MRI, kemudian mengalami kesembuhan setelah
penggunaan metronidazole-nya dihentikan.7, 21, 22
Pada tahun 2010, E. Holloran melaporkan 7 kasus pankreatitis imbat obat metronidazole.
Mekanisme bagaimana metronidazole menyebabkan pankreatitis masih belum diketahui,
namun tingginya komorbid yang dapat mengakibatkan pankreatitis akut membuat
metronidazole dipertimbangkan sebagai kofaktor dalam kejadian tersebut. Metronidazole
memasuki siklus redoks dan menghasilkan hydrogen peroksida, superoksida, dan senyawa
radikal bebas lainnya yang bersifat toksik bagi sel beta pankreas dan menyebabkan
pankreatitis. Pankreatitis imbas obat Metronidazole cukup jarang terjadi, namun jika terjadi
dapat mengakibatkan morbiditas yang besar. Identifikasi Metronidazole sebagai agen kausatif
merupakan kunci penting kesembuhan pada kasus tersebut.7, 22

Studi yang dilakukan oleh Tomosiak pada tahun 2011 mengenai resistensi Gardnerella
vaginalis terhadap antibiotik pada 67 kasus yang diisolasi dari 604 wanita menunjukkan
bahwa kerentanan Metronidazole terhadap resistensi adalah sebesar 68,7%. 23 Sedangkan,
semua strain Gardnerella vaginalis tersebut sensitif terhadap clindamycin dan
amoxicillin/clavulanic acid. Studi yang dilakukan oleh Shopova, et al menunjukkan bahwa
vaginosis akibat Gardnerella vaginalis rekuren hanya 34% yang sentifi terhadap
metronidazole, dibandingkan dengan sensitivitas terhadap clindamycin sebesar 82%. Spesies
Atopobiumvaginae dan Lactobacillus resisten terhadap metronidazole dan sensitif terhadap
clindamycin.7,20

Studi terkait resistensi Metronidazole pada infeksi Clostridium memberikan bukti biokimia
bahwa hidrogenase bidireksional (hydrogenase 1) C. pasteuranium memiliki peran enzimatis
penting dalam reduksi metronidazole melalui mekanisme ferredoksin. Gen yang mengatur
aktivasi metronidazole pada C. acetobutylicum juga telah diidentifikasi. Di antara gen-gen
yang tampak berperan penting dalam mempengaruhi sensitifitas metronidazole, terdapat gen-
gen yang mengkode flavodoksin dan hidrogenase. Protein tersebut berperan sebagai donor
elektron pada proses aktivasi metronidazole. Sejalan dengan itu, flavodoksin dari Clostridium
telah terbukti mampu menggantikan ferredoksin sebagai pembawa elektron (electron
carriers). Studi awal terkait resistensi metronidazole pada Trichomonas vaginalis
menggunakan isolate klinis resisten CDC085 dan galur laboratorium yang rentan
ATCC30001 menunjukkan adanya 2 hipotesis terkait resistensi metronidazole. Yang pertama
adalah adanya protein ferredoksin yang defektif pada isolate resisten dan penjelasan kedua
adalah penurunan kadar protein ferredoksin yang terdapat pada CDC085. Hilangnya aktivitas
hidrogenosomal pada sel-sel yang resisten dapat secara intuitif mengakibatkan mutasi
multipel.7, 24

Perbandingan obat oral dan vaginal metronidazole dalam tatalaksana atau terapi BV memiliki
rute yang berbeda. Dampak rute pemberian antibiotic yang berbeda terhadap konsentrasi
bakteri vagina perlu diteliti agar bisa mencapai target kesembuhan dan target pencegahan
rekurensi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mitchell dkk, pada lima puluh tiga wanita
yang di uji klinis secara acak dilakukan dua perlakuan yaitu 30 wanita menerima oral
metronidazole dan 23 wanita menerima intravaginal metronidazole. Setelah itu dilakukan uji
PCR kuantitatif spesifik takson bakteri untuk mengukur konsentrasi bakteri terkait
Gardnerella vaginalis. Pada penelitian tersebut melampirkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam ebsarnya perubahan konsentrasi bakteri antara kelompok pengobatan oral
dan vagina untuk spesies Gardnella vaginalis. Baik terapi metronidazole oral dan vagina
menghasilkan penurunan yang signifikan dalam konsentrasi sebagian besar bakteri anaerob.44

Penelitian tersebut didukung oleh penelitian Bistoletti dkk yang menyimpulkan bahwa
intravaginal 500 mg metronidazole setiap hari selama 7 hari sama efektifnya dengan
pemberian oral dalam pengobatan vaginosis bacterial. Pada penelitian tersebut diberikan
perlakuan pada 38 wanita dan ditindak lanjut dalam 4 minggu. Terapi via vagina memiliki
tingkat kesembuhan 79% dibandingkan dengan terapi via oral dengan kesembuhan 74%.
Perbedaan yang kecil tersebut membuat keefektifan pemberian hampir sama efektif. 45

Hal tersebut ditegaskan oleh penelitian yangdilakukan Hanson dkk, yang menjelaskan bahwa
perbedaan kemanjuran dari vaginal metronidazole hanya sekitar 0.75% dibandingkan oral
standar metronidazole. Perbedaan yang cukup rendah dan bisa dikategorikan hampir efektif
samanya.46

Hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sobel dkk, pada 90 pasien dengan BV
berulang yang diberikan oral metronidazole dan vaginal metronidazole lalu di ikuti atau
followup selama 9 bulan. Pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa intravaginal lebih
efektif digunakan pada kasus rekurensi daripada menggunakan oral metronidazole.47

Penelitian observasional yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa pemberian DQC


terbukti menurunkan gejala klinis berupa keputihan berbau, adanya keputihan, rasa gatal,
leukorrhea, kemerahan pada vagina, nyeri, dan edema dalam waktu 4-6 minggu pasca
pemberian DQC. Indeks kepuasan pasien pada studi observasional ini dinilai menggunakan
Treatment Satisfaction Questionnaire for Medication (TSQM) dan didapatkan nilai sebesar
5,0  1,2 (dari skala 1 sampai 7), di mana 83,1% subjek menyatakan bahwa pengobatan
dengan DQC memuaskan atau sangat memuaskan dalam meredakan gejala BV. Dari 573
subjek yang mengikuti penelitian tersebut, efek samping hanya dilaporkan pada 4,3% dengan
keluhan tersering berupa keputihan yang ringan atau sangat ringan. Tidak ada efek samping
serius yang dilaporkan pada pengobatan tersebut. Namun, penelitian ini hanya bersifat
observasional dan bukan merupakan uji klinis terandomisasi yang membandingkan DQC
dengan pengobatan lain yang biasa diberikan pada kasus Bacterial Vaginosis.25

Studi lain yang membandingkan pengobatan infeksi vagina dengan 10 mg DQC dan 200 mg
povidone iodine pada 180 wanita menunjukkan bahwa terdapat penurunan gejala klinis,
seperti rasa gatal, keputihan, rasa terbakar, kemerahan pada vulva dan vagina, pada hari ke 5-
7 pasca pengobatan. Gejala ini akan semakin jauh berkurang pada minggu ke-3 sampai
dengan ke-4 setelah pengobatan. Perbaikan gejala ini pada pengguna DQC sebanding dengan
perbaikan gejala pada pengguna Povidone Iodine. Angka kejadian non-responder terhadap
pengobatan DQC dan Povidone Iodine adalah sebesar 10,3% dan 10,2%, hal ini tidak berbeda
bermakna secara statistik. Pada populasi yang ditatalaksana dengan menggunakan DQC,
terjadi penurunan pH vagina dari 5,2  0,7 menjadi 4,6  0,6. Selain itu, didapatkan pula
gambaran flora vagina yang lebih sehat dengan derajat kemurnian 1 (predominansi
laktobasilus, tidak terdapat patogen), dari yang sebelumnya 0,8% menjadi 25%.26

Studi klinis lain yang dilakukan oleh Strecker, et al terhadap 388 wanita, di mana 274 orang
di antaranya mengalami BV, menunjukkan bahwa pemberian ovula DQC dengan dosis 20 mg
intravaginal (2 ovula per hari dengan interval 3 hari) memiliki angka keberhasilan sebesar 70-
85% (terlepas dari apakah BV tersebut juga disertai dengan KVV atau tidak). Efikasi
terapeutik dinilai baik dan sangat baik oleh 91% pasien dan 99% oleh peneliti.27

Radzinsky, et al melaporkan hasil uji multi-senter menggunakan regimen terapi yang


berbeda-beda pada 640 wanita tidak hamil yang mengalami BV akibat berbagai etiologi.
Penelitian tersebut terbagi dalam 2 tahap: (1) subjek menerima terapi anti-infeksi terhadap
BV atau vaginitis non spesifik; (2) dilakukan restorasi ekosistem vagina dengan
menggunakan probiotik. Pada tahap pertama, subjek diberikan terapi anti-infeksi intravaginal
sesuai dengan arahan dokter yang merawat (dapat berupa DQC, clindamycin, chlorhexidine,
povidone iodine, atau kombinasi metronidazole/miconazole). Dari 409 wanita yang
mengalami BV, terbukti bahwa efikasi DQC sediaan intravaginal berdasarkan kriteria Amsel
adalah 77,8%. Hasil ini setara dengan efikasi terapi ---anti-infeksi lainnya, yaitu sebesar
77,1%.28

Secara umum, studi-studi klinis tersebut menunjukkan efikasi yang sangat baik dari DQC 10
mg (formulasi Fluomizin) dalam menatalaksana BV. Angka kesembuhan klinis pengguna
DQC setara dengan kesembuhan pengguna krim vagina clindamycin 2%, yang merupakan
salah satu terapi standard BV. Selain itu, pH vagina, jumlah lactobacillus, dan gejala klinis
secara nyata mengalami perbaikan selama penggunaan DQC 10 mg. DQC juga memiliki
angka KVV pasca BV yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi Clindamycin. DQC
dapat ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek samping serius yang dialami oleh subjek
penelitian.16

Selain pada BV, sejumlah peneliti juga melakukan uji klinis DQC pada wanita dengan infeksi
vagina yang kurang definitif, seperti fluor vaginalis. DQC dengan berbagai formulasi
intravagina telah digunakan untuk menatalaksana kondisi-kondisi berikut: infeksi bakteri
aerob pada vagina, infeksi vagina campuran dan ko-infeksi, serta Trichomoniasis. Hingga
saat ini, terdapat 11 uji klinis (dengan total subjek penelitian sebanyak 968 orang) yang
berusaha untuk menilai efikasi DQC pada infeksi bakteri aerob pada vagina. 26, 28-31 Roddie et
al melakukan penelitian dengan menggunakan pesarium yang mengandung DQC dosis 10 mg
dua kali sehari pada 30 wanita dengan fluor vaginalis bakterial. Gejala tampak mengalami
perbaikan dalam waktu 2 minggu dan terus berlanjut pada 70% kasus pasca 3 minggu
pengobatan.32 Uji klinis lain juga melaporkan efikasi yang baik terapi DQC preparat depot
yang diinsersikan ke dalam vagina dan melepaskan senyawa aktif secara kontinuu selama 8-
10 hari. Terapi tunggal dengan DQC dosis 10-20 mg pada penderita fluor vaginalis
bakterialis berhasil menyembuhkan 66-76% subjek.29, 33

Uji klinis yang belum terpublikasi mengenai efikasi dan keamanan tablet vagina DQC dalam
menatalaksana kolpitis akut menunjukkan bahwa dari 213 wanita yang dilibatkan, terdapat
penurunan gejala pada 52,9% subjek. Jumlah subjek dengan kultur positif bakteri gram
negatif dan gram positif juga berkurang sebesar 50%. Tidak ditemukan adanya efek samping
serius dalam penelitian tersebut.16
Petersen, et al juga memasukkan 73 subjek dengan fluor vaginalis ke dalam populasi
penelitiannya, di mana tanda dan gejala vaginitis serta gangguan keseimbangan flora vagina
tampak jelas, namun tidak dapat didiagnosis sebagai BV, KVV, dan Trichomoniasis.
Terdapat penurunan gejala yang signifikan pada follow-up pertama dan kedua yang dilakukan
dalam waktu 1 dan 3-4 minggu. Jumlah leukosit (lebih dari 10 per lapang pandang) juga
berkurang pada 42,2% subjek yang diterapi dengan DQC. Lebih jauh lagi, terapi DQC juga
menurunkan kultur positif terhadap Streptococcus ssp., Enterococcus spp., dan E. coli sebesar
36%, 49%, dan 73% (secara berurutan). Menurut Cardone, et al restorasi laktobasilus terjadai
paling optimal 3 bulan pasca pemberian terapi.34 Konsentrasi obat dalam dosis tinggi
ditemukan pada lokasi infeksi, namun paparan sistemiknya sangat rendah sehingga
memungkinkan proses penyembuhan dan perbaikan flora normal vagina yang lebih cepat.26

Efikasi DQC terhadap infeksi vagina campuran hanya dilaporkan dalam 5 studi, dengan total
subjek sejumlah 179 orang.16, 27 Sobel, et al mendefinisikan infeksi vagina campuran sebagai
adanya infeksi dari sedikitnya 2 patogen yang dapat didefinisikan secara jelas. 35 Pasca
pemberian ovula DQC 20 mg pada hari pertama dan hari ke-4 pada pasien yang mengalami
ko-infeksi BV dan KVV, ditemukan bahwa 1/3 subjek mengalami perbaikan gejala
sedangkan 2/3 sisanya mengalami kesembuhan total. Temuan ini dikonfirmasi oleh adanya
penurunan pH vagina secara signifikan menjadi di bawah 4,5 pada kurang lebih 2/3 kasus.
Lebih jauh lagi, tes amin positif berubah menjadi negatif pasca terapi pada 87% subjek
dengan ko-infeksi BV-KVV. Kegagalan terapi hanya ditemukan pada 1/10 kasus. 27 Terapi
kombinasi antara DQC dengan estriol 0,0015% pada 49 wanita dengan infeksi vagina
campuran berhasil menghilangkan secara total flora penyebab infeksi pada 80% usapan
vagina.16

Penggunaan DQC dalam menatalaksana infeksi Trichomonas telah dilakukan terhadap 329
wanita.16, 26, 29 Pada suatu studi klinis serial, efikasi dan tolerabilitas pesarium DQC dengan
dosis 10 mg dikaji secara bersamaan pada 139 penderita Trichomoniasis. Terapi DQC
berlangsung selama 6 minggu dan pesarium diaplikasikan 1-2 kali per hari. Secara
keseluruhan, 40-0% kasus Trichomoniasis berhasil tereradikasi dan pasien berhasil sembuh.
Sebanyak 10-60% subjek menunjukkan perbaikan gejala yang sangat signifikan. Pada 1 studi,
dilaporkan bahwa terapi DQC berhasil memberikan kesembuhan kepada wanita-wanita yang
sebelumnya gagal merespon terhadap terapi lain, termasuk pesarium yang mengandung
oxytetracycline. Meskipun demikian, sejumlah kasus mengalami relaps dalam waktu 2-16
minggu pasca terapi berakhir. Terapi trichomoniasis dengan menggunakan DQC dinilai
kurang efisien karena efikasi total hanya berkisar antara 17-50%. Agar dapat mencapai
kesembuhan, pengobatan sistemik konkomitan menggunakan agen trichomonacidal seperti
metronidazole perlu diberikan.16, 29

Dequalinium chloride (DQC) – 1,1’- (decane-1,10-diyl) bis (4-amino-2-methylquinolinium)


dichloride merupakan garam ammonium bis-kuaternari dengan aktivitas antimikrobial
spektrum luas terhadap bakteri gram positif, gram negatif, jamur, dan protozoa, yang sudah
banyak digunakan sebagai antiseptik dalam konteks klinis. Aktivitas microbial DQC dan
garam amonium kuaternari lainnya didasarkan pada kemampuannya untuk meningkatkan
permeabilitas sel serta menghilangkan kemampuan enzimatik mikroorganisme tersebut,
sehingga didapatkan fungsi bakterisidal dan fungisidal yang cepat. DQC juga memiliki fungsi
anti-peradangan.16 Secara lebih mendetail, DQC bekerja dengan cara:

1. Efeknya terhadap permeabilitas sel bakteri didasarkan pada (1) penyerapan permukaan sel
mikrooroganisme dan difusi melalui dinding sel dan (2) pengikatan ke membran
sitoplasma sehingga terbentuk kompleks atau presipitasi protein. Membran sel dapat
mengalami lisis (bergantung pada konsentrasi), akibat gangguan perubahan osmotik.16

2. Efek terhadap protein mikroba dan reaksi metabolik pasca difusi melalui dinding sel
disebabkan oleh (1) denaturasi protein sehingga terjadi penghambatan metabolisme sel
bakteri; (2) gangguan produksi energi bakteri melalui penghambatan metabolisme
glukosa dan sintesis ATP mitokondria melalui inhibisi F1-ATPase bakteri; serta (3)
terminasi sintesis protein pada level ribosom. Lebih lanjut lagi, efek terhadap asam
nukleat bakteri seperti (1) presipitasi material sitoplasma dengan asam nukleat menjadi
lebih sensitif dan (2) pengikatan DNA (secara in vitro).16

Gangguan permeabilitas sel dan hilangnya aktivitas enzimatik merupakan penyebab utama
kematian sel bakteri pasca terjadi kontak dengan senyawa aktif permukaan (surface-active
compound). Inaktivasi enzimatik merupakan proses yang reversibel, namun dapat menjadi
permanen seiring dengan semakin lamanya durasi kontak antara DQC dengan bakteri.
Denaturasi protein dan hambatan reaksi metabolik diperoleh pada dosis di atas dosis klinis
senyawa ammonia kuaternari sehingga kurang relevan terhadap penggunaannya sebagai
antimikrobial. Secara in vitro, efek bakterisidal dan fungisidal DQC sudah mulai terlihat
dalam waktu 30-60 menit pasca pemberian. Penelitian oleh Della Casa, et al menunjukkan
bahwa DQC efektif sebagai antimikrobial terhadap berbagai patogen yang dapat
menyebabkan infeksi vagina, seperti bakteri anaerobic (Gardnerella vaginalis, Bacteroides
spp, Peptostreptococcus spp), bakteri aerob (staphylococci, streptococci, Escherichia coli,
dll), spesies Candida (C. albicans, C. glabrata, dll), dan Trichomonas vaginalis. Studi in
vitro terbaru juga menunjukkan bahwa Atopobium vaginae memiliki kerentanan yang tinggi
terhadap DQC dan mengkonfirmasi mekanisme kerja DQC sebagai bakterisidal. Aktivitas
antimikroba DQC terhadap Candida spp sepadan dengan aktivitas Clotrimazole dan
ciclopiroxolamine.16

Beberapa waktu terakhir, DQC telah dilaporkan berhasil dalam menatalaksana berbagai kasus
Bacterial Vaginosisis, dengan fokus utama mengeradikasi biofilm Gardnerella spp. Penelitian
in vitro menunjukkan bahwa DQC efektif terhadap Bacterial Vaginosisis yang disebabkan
oleh Gardnerella spp. DQC terbukti mampu menghancurkan arsitektur matriks biofilm dari
Gardnerella spp. Dibandingkan dengan clindamycin, DQC memiliki kemampuan yang lebih
baik dalam mereduksi biomassa biofilm Gardnerella spp. Sedangkan, clindamycin memiliki
kemampuan reduksi aktivitas metabolik yang lebih tinggi.36

Sebelumnya, telah dilaporkan bahwa DQC memiliki efek aktif terhadap berbagai patogen
vagina, termasuk sel-sel plaktonik Gardnerella spp. Dikarenakan DQC memiliki beberapa
mekanisme kerja dalam menghadapi bakteri (mengganggu permeabilitas sel dan inaktivasi
enzimatik), risiko terjadinya resistensi tergolong lebih rendah. Sampai saat ini, belum ada
dilaporkan kejadian resistensi mikroorganisme terhadap DQC. Resistensi multiobat terhadap
anti-infeksi kationik kuaternari tunggal berhubungan dengan hipersensitivitas terhadap
senyawa tertentu yang mengandung dua kation kuaternari, termasuk DQC.36

Penelitian toksikologi terkait penyerapan sistemik DQC terbukti tidak bermakna, sehingga
mendukung keamanan penggunaan DQC dalam praktik klinis, termasuk selama kehamilan.
Studi pada subjek manusia menunjukkan bahwa kadar senyawa ammonia kuaternari dalam
darah pasca pemberian DQC per oral dengan dosis 10 – 40 mg tergolong rendah.
Diperkirakan, absorpsi pada pemberian melalui vagina akan semakin lebih rendah lagi. Suatu
studi hewan yang dilakukan untuk menilai tolerabilitas pemberian DQC secara intravaginal
pada kelinci menunjukkan bahwa pemberian DQC dengan dosis 2,5-5 kali dosis terapeutik
secara intravgina tidak mengakibatkan terdeteksinya metabolit DQC dalam darah. Absorpsi
DQC pada kelinci pasca pemberian secara intravaginal kurang dari 0,625% dari dosis per
kilogram berat badan yang diberikan. Hal ini konsisten dengan uji toksikologi lain pada
hewan yang menunjukkan bahwa absorpsi DQC pasca pemberian per oral sangat rendah (<
0,1%).36

DQC sediaan tablet vagina dengan dosis 10 mg (Fluomizin) merupakan tablet vagina
terkompresi langsung, yang dikembangkan untuk memastikan disintegrasi tablet dan disolusi
senyawa aktif secara cepat. Segera setelah tablet vagina berkontak dengan sekret vagina,
tablet tersebut akan berdisintegrasi dan DQC dilepaskan. Setelah terjadi disolusi tablet DQC
10 mg dalam cairan vagina berjumlah 2,5-5 mL, konsentrasi DQC diperkirakan sebesar
2.000-4.000 g/mL. Konsentrasi tersebut kurang lebih 4 sampai 8 kali konsentrasi inhibitori
minimal (MIC). Efek anti-infeksi in vivo umumnya didapatkan jika konsentrasi senyawa aktif
pada area kerja sebesar 2-4 kali dari MIC selama 20 menit sampai 2 jam.16, 26, 37

Terapi lokal infeksi vagina dengan DQC sudah banyak dilakukan. Berbagai studi klinis telah
berhasil dipublikasikan dalam 4 dekade terakhir dan menunjukkan efikasi klinis yang baik. 6,
26, 27
Dosis yang diuji untuk mengobati infeksi vagina bervariasi mulai dari 10 mg sampai
dengan 50 mg. Preparat lepas cepat (immediate release) umumnya digunakan dalam dosis 10
dan 20 mg, sedangkan preparat lepas lambat (controlled release) umumnya digunakan dalam
dosis 20 atau 50 mg. Durasi pengobatan dengan umumnya selama 3-10 hari. Efikasi DQC
pada berbagai sediaan dosis tidak jauh berbeda satu dengan yang lainnya dan tidak terdapat
perbedaan tolerabilitas yang bermakna.6, 26, 27

Hingga saat ini, tercatat lebih dari 3000 wanita dengan berbagai infeksi vagina yang telah
ditatalaksana dengan menggunakan preparat DQC. Secara keseluruhan, angka kejadian efek
samping serius pada pemberian DQC adalah sebesar 2,4% (sangat rendah). Uji keamanan
terhadap tablet vagina DQC dosis 10 mg (Fluomizin) terhadap 1.224 wanita menunjukkan
hanya 95 orang di antaranya (7,8%) yang mengalami efek samping dan tidak ada satupun
efek samping tersebut yang bersifat serius. Mayoritas efek samping yang dirasakan subjek
(kurang lebih 90%) adalah reaksi lokal, seperti keputihan, pruritus vulvovaginal, dan sensasi
terbakar pada vagina.6, 26

Studi klinis terhadap wanita hamil saat ini sudah mulai dilakukan. Sebanyak 181 wanita
hamil telah diterapi dengan menggunakan DQC pada 4 uji klinis dan tidak ada satupun efek
samping yang ditemukan, baik pada ibu maupun pada janin. Fauner dan Binder mengobati 55
wanita hamil dengan KVV menggunakan preparat depot DQC yang secara terus menerus
melepaskan senyawa aktif selama 8-10 hari. Tolerabilitas dan keamanan DQC pada
penelitian tersebut sangat baik dan tidak dilaporkan adanya efek samping pada ibu maupun
neonatus.16, 38

Uji penggunaan obat yang belum terpublikasi pada 60 wanita hamil yang diterapi dengan
DQC dosis 10 mg menunjukkan bahwa tolerabilitas terapi sangat baik. Penelitian lain oleh
Demina, et al terhadap 60 wanita hamil dengan BV pada trimester 1 (dengan risiko
keguguran) menunjukkan bahwa tidak ditemukan efek samping yang bermakna. Pada
populasi tersebut, tidak terjadi abortus spontan sedangkan pada kelompok yang diterapi
dengan povidone iodine, dilaporkan 2 keguguran spontan. Terapi menggunakan iodine
selama kehamilan juga membawa risiko terhadap metabolisme iodine fetal. 30

Grischenko, et al menatalaksana 34 wanita hamil (usia 6-8 minggu) yang mengalami BV


dengan menggunakan tablet vagina DQC dosis 10 mg sekali sehari selama 6 hari. Kelompok
kontrol yang melibatkan 32 wanita hamil diobati dengan povidone iodine. Setelah diberikan
terapi, dilakukan evaluasi terhadap perjalanan kehamilan, kondisi pre-natal fetus dan patologi
perinatal. Disfungsi plasenta ditemukan pada 29,4% subjek yang diterapi dengan DQC,
sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan sebesar 84,4%. Perbedaan yang paling
mencolok antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan adalah jumlah cairan amnion
dan maturitas plasenta. Meskipun dampak BV dalam kehamilan saat ini masih dalam
perdebatan, namun BV dapat menyebabkan disfungsi plasenta pada kehamilan, sehingga
mengakibatkan hipoksia fetus prenatal dan patologi perinatal. Terapi BV dengan DQC secara
efektif pada trimester pertama dapat memperbaiki luaran perinatal.30, 31

Penelitian oleh Bohbot dkk, menunjukkan bahwa terjadi rekurensi pada dequalinium chloride
sebagai adjuvant dengan metronidazole pada kasus BV. 42 Pada negara berkembang terutama
di bagian benua Afrika yaitu negara Uganda terdapat penelitian yang dilakukan pada kasus
kejadian BV dengan menggunakan intervensi beberapa antiseptic terutama dequalinium
chloride. Penelitian yang dilakukan oleh Donders G dkk pada tahun 2017 di Uganda
menunjukkan adanya penurunan sedikit keputihan setelah 4 minggu pada kelompok yang
diobati dengan DQC dengan nilai p = 0.014 dibandingkan kelompok plasebo yang tidak
diobati. Penelitian dengan uji eksperimental klinis, double blind, dengan randomisasi blok.
300 wantia Uganda yang datang untuk rawat jalan rutin, tindak lanjut bahkan perawatan
medis di Rumah sakit Mulago di Kampala Uganda akan dibagi dua kelompok yaitu dengan
DQC dan plasebo atau tanpa perlakuan. Pada kunjungan awal dan pada kunjungan kontrol
setelah 4 minggu, apusan di ambil untuk mikroskop blinded wet untuk menentukan skor
keparahan dari BV. Dibandingkan dengan plasebo, pengobatan dengan DQC secara
signifikan mengurangi prevalensi dan keperahan BV dari kunjungan awal hingga tindak
lanjut (skor BV menurun dari 2,5 menjadi 1,6 dengan nilai p < 0.0001). Namun, setelah
pengobatan intravaginal jangka pendek dengan antiseptic DQC yang tidak dapat diserap
menghasilkan perbaikan yang cukup signifikan dan bertahan lama dalam komposisi
mikrobioma vagina wanita dengan microflora vagina yang terganggu dikarenakan wanita
afrika memiliki prevalensi BV yang tinggi.43

Berdasarkan penelitian ini serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, angka
kesembuhan klinis, mikrobiologis, dan kesembuhan total pengguna DQC sebanding dengan
pengguna metronidazole. Terlebih lagi, pada hari ke-10 dan -21, kesembuhan mikrobiologis
BV ditemukan lebih baik pada kelompok DQC dibandingkan kelompok metronidazole.
Restorasi laktobasilus juga lebih baik secara signfikan pada kelompok DQC dibandingkan
metronidazole. Mayoritas subjek merasa puas, dengan trend peningkatan tolerabilitas pada
kelompok DQC.

Penelitian ini merupakan penelitian pertama dengan populasi wanita Indonesia yang meneliti
penggunaan DQC dalam kasus Bacterial Vaginosis. Kekuatan pada penelitian ini terdapat
pada desain uji klinis dengan randomisasi, dimana dilakukan mekanisme double blinding
terhadap pasien dan pemberi pengobatan. Setelah terapi, pada penelitian ini diambil swab
vagina untuk menilai respon terapi.

Kelemahan penelitian ini terletak pada kurangnya kekuatan penelitian dengan jumlah sampel
pada penelitian yang rendah. Hal ini disebabkan kesulitan dalam mengumpulkan jumlah
sampel yang memadai pada tempat penelitian. Selain itu pada penelitian ini, pemberian
dequalinium chloride adalah sebagai adjuvant dari pemberian antimikroba standar, sehingga
sulit menilai suatu perbedaan kesembuhan pada kedua kelompok, mengingat pemberian
antimikroba metronidazole sendiri pada penelitian ini mampu memberikan kesembuhan.
Kelemahan lain dari penelitian ini adalah kriteria yang digunakan hanya sindroma klinis.
Kelemahan lain dari penelitian ini adalah belum adanya data efek samping dari pengobatan
antara DQC dan kontrol. Diketahui dari penelitian sebelumnya bahwa salah satu kelebihan
dari DQC adalah rendahnya efek samping, sehingga meningkatkan ketaatan dan kepuasan
dalam penggunaannya bagi pasien. Adapun obat standar yakni metronidazole diketahui
memiliki profil efek samping yang cukup mengganggu, antara lain metallic taste, dapat pula
terjadi efek samping neurologis seperti neuropati perifer, disartria, kejang, dan ensefalopati.
Rendahnya efek samping pada penggunaan DQC dapat menjadi faktor yang mendukung
penggunaan DQC dalam praktek klinis pada pasien dengan Bacterial Vaginosis.

Kelemahan lain dari penelitian ini adalah pemeriksaan respon pasca terapi hanya dilakukan 1
kali. Hal ini antara lain disebabkan karena keterbatasan biaya penelitian. Untuk mengetahui
respon dari terapi, beberapa penelitian menggunakan pengecekan respon terapi sebanyak 2
kali, antara lain yang telah disebutkan di atas, pengecekan pertama pada hari ke-7 atau hari
ke-10 dan pengecekan kedua pada hari ke-21 atau hari ke-25. Namun, penelitian-penelitian
tersebut tidak menemukan perbedaan signifikan antara respon terapi pada pengecekan
pertama dibandingkan dengan pengecekan kedua. Tidak adanya pengecekan kedua pada
penelitian ini juga mengurangi risiko loss to follow up sehingga menyebabkan drop out dari
peserta penelitian.

Selanjutnya pada penelitian ini, salah satu kemungkinan lain penyebab ketidakbermaknaan
hasil penelitian adalah dikarenakan perbedaan interpretasi dari pemeriksa dipolikliniik yang
setiap minggu dna bulan berganti, sekalipun telah dilatih oleh peneliti sehingga dapat
membuat penilaian kesembuhan dan rekurensi dapat bervariasi dari satu pemeriksa dan
pemeriksa yang lainnya.
REFERENSI

1. Bailly C. Medicinal applications and molecular targets of dequalinium chloride.


Biochem Pharmacol. 2021:114467.
2. Zimmer M, Huras H, Kaminski P, Karowicz-Bilinska A, Drews K, Fuchs T, et al. Polish
Society of Gynecologists and Obstetricians recommendation on the use of antiseptics for
treatment of inflammatory vaginitis. Ginekol Pol. 2020;91(7):430-5.
3. Bhujel R, Mishra SK, Yadav SK, Bista KD, Parajuli K. Comparative study of Amsel’s
criteria and Nugent scoring for diagnosis of bacterial vaginosis in a tertiary care hospital,
Nepal. BMC Infect Dis. 2021;21(1):1-6.
4. Chaijareenont K, Sirimai K, Boriboonhirunsarn D, Kiriwat O. Accuracy of Nugent’s
score and each Amsel’s criteria in the diagnosis of bacterial vaginosis. J Med Assoc Thai.
2004;87(11):1270-4.
5. Muthusamy S, Elangovan S. Comparison of Amsel’s criteria, Nugent score and culture
for the diagnosis of bacterial vaginosis. National Journal of Laboratory Medicine.
2016;5(1):37-40.
6. Weissenbacher ER, Donders G, Unzeitig V, Martinez de Tejada B, Gerber S, Halaška
M, et al. A comparison of dequalinium chloride vaginal tablets (Fluomizin®) and clindamycin
vaginal cream in the treatment of bacterial vaginosis: a single-blind, randomized clinical trial
of efficacy and safety. Gynecol Obstet Invest. 2012;73(1):8-15.
7. Eulalia M-RA, F TR, D. RL. Efficacy of dequalinium vaginal suppository in the
treatment of bacterial vaginosis compared with standard Metronidazole oral regimen: A
randomized controlled trial / Philippine Journal of Obstetrics and Gynecology. Philippine
Journal of Obstetrics and Gynecology 2013:193-204.
8. D'Auria FD, Simonetti G, Strippoli V. [Antimicrobial characteristics of a tincture of
dequalinium chloride]. Ann Ig. 1989;1(5):1227-41.
9. Lopes dos Santos Santiago G, Grob P, Verstraelen H, Waser F, Vaneechoutte M.
Susceptibility testing of Atopobium vaginae for dequalinium chloride. BMC research notes.
2012;5:151.
10. Faught BM, Reyes S. Characterization and Treatment of Recurrent Bacterial
Vaginosis. J Womens Health (Larchmt). 2019;28(9):1218-26.
11. Eşim Büyükbayrak E, Kaymaz Ö, Karageyım Karşıdağ Y, Kars B, Pirimoğlu M, Gencer S,
et al. Dequalinium Chloride is it an Effective Alternative for Local Treatment of Vaginal
Infections? Gynecology Obstetrics & Reproductive Medicine. 2012;18(1):16-20.
12. Prevention CfDCa. Sexually transmitted diseases treatment guidelines. Bacterial
Vaginosis. 2015.
13. Donders GG, Zodzika J, Rezeberga D. Treatment of bacterial vaginosis: what we have
and what we miss. Expert Opin Pharmacother. 2014;15(5):645-57.
14. Verstraelen H, Verhelst R, Roelens K, Temmerman M. Antiseptics and disinfectants
for the treatment of bacterial vaginosis: a systematic review. BMC Infect Dis. 2012;12:148.
15. Tomás M, Palmeira-de-Oliveira A, Simões S, Martinez-de-Oliveira J, Palmeira-de-
Oliveira R. Bacterial vaginosis: Standard treatments and alternative strategies. Int J Pharm.
2020;587:119659.
16. Mendling W, Weissenbacher ER, Gerber S, Prasauskas V, Grob P. Use of locally
delivered dequalinium chloride in the treatment of vaginal infections: a review. Archives of
gynecology and obstetrics. 2016;293(3):469-84.
17. Bradshaw CS, Morton AN, Hocking J, Garland SM, Morris MB, Moss LM, et al. High
recurrence rates of bacterial vaginosis over the course of 12 months after oral
metronidazole therapy and factors associated with recurrence. J Infect Dis.
2006;193(11):1478-86.
18. Grishchenko O, Lakchno I. Clinical and prognostic aspects of bacterial vaginosis
treatment in pregnant women. 2006.
19. Kim H, Kim Y, Kim S, Park IS, Jo K. Metronidazole-induced encephalopathy in a
patient with infectious colitis: A case report. J Med Case Reports. 2011;5:63.
20. Shopova E, Nikolov A, Dimitrov A. Susceptibility to antibiotics of microorganisms
related with recurrent bacterial vaginosis. Akusherstvo i ginekologii͡a. 2011;50:20-1.
21. Hobson-Webb LD, Roach ES, Donofrio PD. Metronidazole: newly recognized cause of
autonomic neuropathy. J Child Neurol. 2006;21(5):429-31.
22. Nigwekar SU, Casey KJ. Metronidazole-induced pancreatitis. A case report and
review of literature. JOP. 2004;5(6):516-9.
23. Tomusiak A, Strus M, Heczko PB. [Antibiotic resistance of Gardnerella vaginalis
isolated from cases of bacterial vaginosis]. Ginekol Pol. 2011;82(12):900-4.
24. Quon DV, d'Oliveira CE, Johnson PJ. Reduced transcription of the ferredoxin gene in
metronidazole-resistant Trichomonas vaginalis. Proc Natl Acad Sci U S A. 1992;89(10):4402-
6.
25. Antoni Vives J, Cancelo MJ, Losada M, Doménech A. Dequalinium chloride use in
adult Spanish women with bacterial vaginosis: an observational study. Journal of obstetrics
and gynaecology : the journal of the Institute of Obstetrics and Gynaecology. 2021:1-11.
26. Petersen EE, Weissenbacher ER, Hengst P, Spitzbart H, Weise W, Wolff F, et al. Local
treatment of vaginal infections of varying etiology with dequalinium chloride or povidone
iodine. A randomised, double-blind, active-controlled, multicentric clinical study.
Arzneimittelforschung. 2002;52(9):706-15.
27. Strecker M, Kokemohr H, Teucher T, Schmitz H. Antiseptika gegen vulvovaginitiden.
TW Gynäkologie. 1993;6:409-12.
28. Radzinsky V, Ordiyants I, Chetvertakova E. Misuno OA Two-stage therapy for vaginal
infections.
29. Martin J, Martin R. Therapie genitaler Mykosen mit Dequavagyn. Dermatomykosen
und Endomykosen. 1971;71(6):1-4.
30. Demina T, Pilipenko O, Jotenko B, Baksheeva O. The role of anti-microbial therapy in
complex treatment of women with miscarriage. Women’s Reprod Health. 2005;3(23):99-
102.
31. Grishchenko O, Dudko V, Lahno I, Dudko L, Storchak A. Clinical and prognostic
aspects of mixed etiology vaginitis treatment. Women’s Reprod Health. 2006;2(27):8-10.
32. Roddie TW. Clinical evaluation of dequadin in the treatment of vaginal infections &
infestations. Med J Malaya. 1958;13(2):171-2.
33. McCutchan JA, Ronald AR, Corey L, Handsfield HH. Evaluation of new anti-infective
drugs for the treatment of vaginal infections. Infectious Diseases Society of America and the
Food and Drug Administration. Clin Infect Dis. 1992;15 Suppl 1:S115-22.
34. Cardone A, Zarcone R, Borrelli A, Di Cunzolo A, Russo A, Tartaglia E. Utilisation of
hydrogen peroxide in the treatment of recurrent bacterial vaginosis. Minerva Ginecol.
2003;55(6):483-92.
35. Sobel JD, Subramanian C, Foxman B, Fairfax M, Gygax SE. Mixed vaginitis-more than
coinfection and with therapeutic implications. Curr Infect Dis Rep. 2013;15(2):104-8.
36. Gaspar C, Rolo J, Cerca N, Palmeira-de-Oliveira R, Martinez-de-Oliveira J, Palmeira-
de-Oliveira A. Dequalinium Chloride Effectively Disrupts Bacterial Vaginosis (BV) Gardnerella
spp. Biofilms. Pathogens. 2021;10(3):261.
37. Della Casa V, Noll H, Gonser S, Grob P, Graf F, Pohlig G. Antimicrobial activity of
dequalinium chloride against leading germs of vaginal infections. Arzneimittelforschung.
2002;52(9):699-705.
38. Fauner A, Binder H. Chemotherapie der candida-infektion in der Schwangerschaft.
Arztliche Praxis. 1974;26(74):3060.

Anda mungkin juga menyukai