Ikhlas adalah level kedewasaan tertinggi, merelakan sesuatu sebagai bentuk
kehambaan bahwasanya kita tidak punya otoritas untuk membuat segala
sesuatu itu sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Kendatipun kita ingin berjalan di atas aspal, namun yang ada di depan mata adalah bebatuan yang berliku, tetaplah kita harus berjalan melaluinya. Sehingga dengan keikhlasan itu apapun dapat kita hadapi. Meski memang pahit dirasa, tapi bila kita benar-benar berkaca dan belajar pada sejarah perjalanan hidup kita, sebenarnya kita telah banyak merasakan manis, dan rasa manis itu ternyata sementara. Demikianlah, sepertimana lagu Noah, “Tak Ada Yang Abadi.” Sehingga dalam ketidak abadian itu, apa yang dapat kita paksakan untuk abadi ? tidak ada ! Pada akhirnya, semua yang kita rasakan tidak lagi menjadi perasaan seperti sediakala. Berguguranlah rasa sakit dan senang itu. Sakit yang selalu dihindari dan mungkin ditakuti banyak orang, sebaliknya senang yang selalu didamba dan dikerjar banyak orang, keduanya akan berakhir pada ketiadaan. Nada-nada absurdis ini memang terdengar melankolis, tapi memang begitulah adanya. *Tidak ada yang harus kita lupakan, tidak ada yang harus kita damba- dambakan, kita hanya perlu berjalan, di jalan tengah antara masa lalu dan masa depan. Yang diinginkan, pun yang tidak diinginkan, keduanya sama- sama pernah kita lalui. Justru karena kita terlalu banyak menghindar, akhirnya kita tersesat. Katanya Soe Hok Gie, “Terimalah, dan hadapilah !” Cisaranten, Bandung, 02 September 2023. Gara-gara Kiben dan Isem Teu Bisa Molor !