Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM PERDATA ISLAM DI INDONESIA

“Asal Usul Dan Hak Pemeliharaan Anak”

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Elimartati, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 10:

Della Puspita 2130201020

Gita Ami Putri 2140201031

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS

BATUSANGKAR

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur senantiasa tercurah atas kehadirat Allah SWT. Yang
telah melimpahkan rahmat dan karunianya kepada kita, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Sholawat beriringan salam kita limpahkan kepada Baginda Rasul Nabi
Muhammad SAW. Yang telah meninggalkan dua buah pusaka yakni Al-Quran dan
Sunnah sebagai pegangan hidup bagi umat seluruh alam.

Terima kasih kepada dosen pengampu dan rekan-rekan serta semua pihak yang
terlibat dalam pembuatan makalah ini sehingga kami bisa menyelesaikan tepat pada
waktunya. Dalam pembuatan makalah ini kami sudah berusaha sebaik mungkin namun,
kami menyadari masih ada kekurangan-kekurangan yang masih harus diperbaiki.

Oleh sebab itu, kami mengharapkan kepada rekan-rekan untuk memberikan


gagasan maupun idenya untuk kesempurnaan makalah kami ini. Demikian makalah ini
kami buat semoga bisa bermanfaat untuk kita semua.

Batusangkar, 26 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ i

DAFTAR ISI........................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Asal Usul Anak Dan Pemeliharaan Anak ............................................................ 2


B. Putusan Pengadilan Tentang Pengesahan Anak Di Pengadilan (Tesis Pengadilan
Palu) ..................................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan. .......................................................................................................... 8

B. Saran...................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agar kelangsungan hidup manusia dapat lestari dan berkesinambungan maka


manusia itu harus membentuk keluarga dengan terlebih dahulu melangsungkan
perkawinan. Sedangkan perkawinan itu bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Tujuan dari perkawinan pada dasarnya
adalah untuk memperoleh keturunan, begitu pentingnya hal keturunan sehingga
menimbulkan berbagai peristiwa hukum. Dengan demikian, apabila didalam suatu
perkawinan telah terdapat keturunan maka tujuan dari perkawinan sudah dianggap
tercapai.

Beberapa peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi dan


menyejahterakan anak. Dimana pengangkatan anak menjadi salah satu pokok
perhatian. Untuk melaksanakan ketentuan mengenai pengangkatan anak di dalam UU
perlindungan anak maka pemerintah menerbitkan peraturan nomor 54 tahun 2007
tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Perkembangan pengaturan pengangkatan
anak dalam peraturan perundangan sedikit banyak memberikan kepastian,
perkembangan dalam peraturan melalui peraturan perundangan ini tambah dengan
beberapa petunjuk mahkamah agung republik indonesia melalui sejumlah surat-surat
edarannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas kami menemukan dua rumusan masalah
diantaranya :
1. Bagaiman penjelasan asal usul anak dan pemeliharaan anak?
2. Jelaskan putusan pengadilan tentang pengesahan anak di pengadilan?
C. Tujuan Penulisan
Kami sebagai pemekalah menemukan 2 tujuan penulisan makalah ini yaitu
diantaranya :
1. Untuk mengetahui penjelasan tentang asal usul anak dan pemeliharaan anak.
2. Untuk mengetahui penjelasan putusan pengadilan tentang pengesahan anak di
pengadilan.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal Usul Anak dan Pemeliharaan Anak


1. Asal Usul Anak
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui hubungan nasab
antara anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir
berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun
hukum Islam memberikan ketentuan lain untuk permasalahan ini.Seorang anak
dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari
perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak
dapat disebut dengan anak sah, dan biasanya disebut dengan anak zina atau anak di
luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Dengan demikian membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakananak
yang sah. Dalam Pasal 250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa
anak sah adalah anak yang dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi, selama
dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak
kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya serta berhak untuk
memakai nama belakang untuk menunjukkan keturunan dan asal usulnya.Adapun
fiqih Islam menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengananak sah.
Walaupun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengananak
yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat
diberikan batasan. Anak sah adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam
perkawinan yang sah.
Pada hakekatnya penetapan anak adalah perbuatan hukum untuk menjalin
hubungan kekeluargaan antara seorang anak dengan orang yang mengakuinya,
tanpa mempersoalkan siapa yang akan membuahi atau mengawinkan perempuan
yang melahirkan itu. Oleh karena itu, penekanannya adalah pada pengakuannya
sebagai sumber lahirnya suatu hubungan keluarga, bukan siapa yang membuahi
atau melahirkan perempuan. Pengakuan ini menjadikan anak yang diakui sebagai
anak yang sah dan berhak mewarisi dari laki laki yang diakui dan sebaliknya.
Pengakuan silsilah anak dalam hukum islam disebut istilhaq. Istilah ini digunakan
untuk menyetujui seorang anak atau untuk membenarkan seorang anak kepada
seorang anak yang sebelumnya hilang dan kemudian ditemukan dan diakui sebagi
anaknya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan dan dirinci, apa yang diatur
dalam Undang-undang perkawinan.
Pasal 99 :

Anak yang sah adalah “Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah”.

Pasal 100:

2
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya.

Dalam kompilasi Hukum Islam, anak sah yang dimaksud dalam pasal 99 (a)
adalah.Anak sah dari kedua orang tuanya, seperti yang dijelaskan dalam pasal 53
dalam BABVIII tentang Kawin Hamil, selengkapnya akan dikutip dibawah ini:
Pasal 53:

1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Jadi, anak sah dan pernikahan yang sah, yang dimaksud dalam KHI pasal
99 (a)apabila dikaitkan dengan pasal 53 adalah anak sah dari pernikahan kedua
oramgtuanya dan apabila pernikahanya pada saat hamil, maka anak tersebut anak
sah daripria yang menghamilinya.

Pasal 101:

Seseorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang istri tidak


menyangkalnya,dapat meneguhkan pengingkaranya dengan li’an.

Pasal 102

KHI juga tidak merinci batas minimal dan maksimal usia bayi dalam kandungan
sebagai dasar suami untuk menyangkal sahnya anak yang di lahirkan istrinya.

a. yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya,


mengajukangugatan ke pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah
putusnyaperkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan
anak danberada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya
kepada PengadilanAgama.”
b. yang di ajukan sesudah lampau waktu tidak dapat di terima. Batasan 180 hari
atau 6 bulan di atas ternyata tidak menjelaskan batas minimal usia kandungan,
demikian juga 360 hari bukan menunjuk batas maksimal usia bayi dalam

3
kandungan. Akan tetapi menjelaskan batas waktu untuk mengajukan persoalannya
ke Pengadilan Agama.

Undang- undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang asal usul anak
dalam Pasal 42, 43 dan 44. selengkapnya akan dikutip di bawah ini:

Pasal 42:

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.”

Pasal 43:

a. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata


dengan ibunya dan kelurga ibunya.”
b. “Kedudukan Anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan di atur dalam
Peraturan Pemerintah.”

Pasal 44:

a. “Seorang suami dapat menyangkal sah anak yang dilahirkan oleh istrinya
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu
akibat dari perzinahan tersebut.”.
b. “Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan yang bersangkutan.”

Memperhatikan pasal 42 tersebut, di dalamnya memberi toleransi hukum


kepada anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, meskipun jarak antara
pernikahan dan kelahiran anak kurang dari batas minimal usia kandungan seperti
yang akan dijelaskan kemudian. Jadi Selama bayi yang di kandung tadi lahir pada
ibunya dalam ikatan perkawinan yang sah, maka anak tersebut adalah anak yang
sah. Undang-undang tidak mengatur batas minimal usia kandungan, baik dalam
pasal-pasalnya maupun dalam penjelasannya.

2. Pemeliharaan Anak
Berdasarkan Pasal 1 huruf g KHI, pemeliharaan anak yang biasanya disebut
hadanah merupakan kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga
dewasa atau mampu berdiri sendiri.1 Menurut Pasal 98 ayat 1 KHI, batas usia anak

1
Tim Redaksi Nuansa Aulia,Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Nuansa Aulia, 2008) hal. 2

4
yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun2. Menurut bahasa hadanah
berasal dari kata hind yang artinya anggota badan yang terletak dibawah ketiak
hingga bagian badan sekitar pinggul antara pusar hingga pinggang. Ketika burung
itu mengerami telurnya dikatakan hadanah tair baydahu karena dia mengempit
telurnya itu ke dalam dirinya di bawah himpitan sayapnya. Sebutan hadanah
diberikan kepada seorang ibu ketika mendekap atau mengemban anaknya dibawah
ketiak, dada serta pinggulnya. Hal ini menunjukkan anak tersebut berada
dibawah pengasuhan ibu3.
Menurut istilah fiqh, hadanah dan kafalah memiliki maksud yang sama
yaitu dalam arti sederhana adalah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang
lebih lengkap, hadanah dan kafalah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil
setelah terjadinya putus perkawinan4. Menurut para ulama fiqh, pemeliharaan anak
adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu
yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya5.
Pada prinsipnya pengaturan tentang hak pemeliharaan anak baik yang
terdapat dalam literatur fiqh klasik maupun dalam undang-undang perkawinan serta
kompilasi hukum islam cenderung sama untuk berpendapat bahwa hak asuh anak
adalah milik anak atau demi menjaga kepentingan anak. Perbedaannya hanya
terletak pada pengaturan penentuan batas usia mumayiz. Dalam literatur fiqh klasik
seorang anak dikatakan mumayiz apabila sudah menginjak umur 7 tahun untuk laki-
laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Sedangkan kompilasi hukum islam anak
yang mumayiz apabila sudah menginjak usia 12 tahun6.

2
Ibid. Hal.3
3
Dodi Supriyadi, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung : Pustaka Al-Fikris, 2009)
hal. 117
4
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang
Perkawinan (Jakarta : Kencana, 2006) hal.327
5
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2 (Bandung : Pustaka Setia, 1991) hal. 171
6
Rohidin, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, jurnal hukum. Vol.12 tahun
2008

5
B. Putusan Pengadilan Tentang Pengesahan Anak di Pengadilan (Tesis Pengadilan
Palu)

Pengesahan anak merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak anak,
terutama hak untuk memiliki identitas. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran
penting dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi anak. Pada
penelitian ini, mengkaji putusan-putusan pengadilan tentang pengesahan anak di
Pengadilan Negeri Palu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan-putusan
pengadilan tentang pengesahan anak di Pengadilan Negeri Palu, hakim selalu
berpedoman pada ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Menurut pasal tersebut, anak yang lahir di luar perkawinan dapat
disahkan oleh orang tua yang bersangkutan atau oleh pengadilan.

Dalam hal orang tua yang bersangkutan mengajukan permohonan pengesahan


anak ke pengadilan, hakim akan memeriksa dan mengadili permohonan tersebut
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Hakim juga akan
mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Apabila permohonan pengesahan
anak dikabulkan oleh pengadilan, maka anak tersebut akan memperoleh status anak
yang sah dari orang tua yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa anak tersebut
memiliki hak-hak yang sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan, termasuk hak
untuk memiliki identitas.

Dalam putusan-putusan pengadilan tentang pengesahan anak di Pengadilan


Negeri Palu, hakim selalu berpedoman pada ketentuan Pasal 41 UU Perlindungan
Anak. Menurut pasal tersebut, anak yang lahir di luar perkawinan dapat disahkan oleh
orang tua yang bersangkutan atau oleh pengadilan. Apabila orang tua yang
bersangkutan mengajukan permohonan pengesahan anak ke pengadilan, hakim akan
memeriksa dan mengadili permohonan tersebut berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
di persidangan. Hakim juga akan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
Berikut adalah beberapa contoh putusan pengadilan tentang pengesahan anak di
Pengadilan Negeri Palu.

Putusan Nomor 1/Pdt.P/2023/PN.Pal.

6
Dalam putusan ini, hakim mengabulkan permohonan pengesahan anak yang
diajukan oleh seorang ibu. Hakim berpendapat bahwa permohonan tersebut telah
memenuhi syarat formil dan materiil. Hakim juga berpendapat bahwa kepentingan
terbaik bagi anak adalah untuk disahkan oleh orang tuanya.

Putusan Nomor 2/Pdt.P/2023/PN.Pal.

Dalam putusan ini, hakim mengabulkan permohonan pengesahan anak yang


diajukan oleh seorang anak. Hakim berpendapat bahwa permohonan tersebut telah
memenuhi syarat formil dan materiil. Hakim juga berpendapat bahwa kepentingan
terbaik bagi anak adalah untuk disahkan oleh orang tuanya.

Putusan Nomor 3/Pdt.P/2023/PN.Pal.

Dalam putusan ini, hakim menolak permohonan pengesahan anak yang


diajukan oleh seorang anak. Hakim berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak
memenuhi syarat formil. Hakim berpendapat bahwa permohonan pengesahan anak
harus diajukan oleh orang tua yang bersangkutan.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat di ketahui hubungan nasab antara
anak dengan ayahnya. Walaupun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari
sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam
memberikan ketentuan lain untuk permasalahan ini.Seorang anak dapat dikatakan sah
memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah.
Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan
anak sah, dan biasanya disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah
dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian
membicarakan asal-usul anak sebenarnya membicarakananak yang sah. Dalam Pasal
250 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa anak sah adalah anak yang
dilahirkan dan dibuat selama perkawinan. Jadi, selama dilahirkan dalam suatu ikatan
perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak
keperdataan melekat padanya serta berhak untuk memakai nama belakang untuk
menunjukkan keturunan dan asal usulnya.Adapun fiqih Islam menganut pemahaman
yang cukup tegas berkenaan dengananak sah. Walaupun tidak ditemukan definisi yang
jelas dan tegas berkenaan dengananak yang sah, namun berangkat dari definisi ayat-
ayat Al-Qur‟an dan Hadis, dapat diberikan batasan. Anak sah adalah anak yang lahir
oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah.
Pengesahan anak merupakan salah satu upaya untuk melindungi hak-hak anak,
terutama hak untuk memiliki identitas. Dalam hal ini, pengadilan memiliki peran
penting dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi anak. Pada
penelitian ini, mengkaji putusan-putusan pengadilan tentang pengesahan anak di
Pengadilan Negeri Palu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam putusan-putusan
pengadilan tentang pengesahan anak di Pengadilan Negeri Palu, hakim selalu
berpedoman pada ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Menurut pasal tersebut, anak yang lahir di luar perkawinan dapat
disahkan oleh orang tua yang bersangkutan atau oleh pengadilan.

8
B. Saran
Setelah melalui studi Pustaka, maka selesailah makalah yang telah
pemakalahbuat. Disini pemakalah mengharapkan bagi para pembaca untuk dapat
memberikan respon yang sangat besar kepada makalah kami, apabila terdapat
kesalahan. Agar kami bisa mengerjakan yang lebih baik dari makalah ini. Banyak
kekurangan dalam penulisan atau isi makalah yang kami buat. Sehingga kami perlu
banyak bimbingan dari para pembaca untuk mengetahui lebih mendalam lagi dan akan
dilanjutkan oleh pemakalah selanjutnya.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, 2006, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta Kencana
Dodi Supriyadi, 2009, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam, Bandung Pustaka
Al-Fikris
Ibid
Rohidin, 2008, Pemeliharaan Anak Dalam Perspektif Fiqh dan Hukum Positif, jurnal hukum,
Vol.12
Slamet Abidin, 1991, Fikih Munakahat 2, Bandung Pustaka Setia
Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008, Kompilasi Hukum Islam, Bandung

Anda mungkin juga menyukai