Anda di halaman 1dari 6

PRIBADI GURU

KAMI KENAL & KAMI KENANG

AL – ALLAMAH
AL – HABIB MUHSIN
BIN ALI AL – HINDUAN RA

SITUBONDO
1999
MENGENANG DAN MENGENAL PRIBADI AGUNG
SHOHIB ATH-THARIQAT
AL-MURSYID AL-HABIB MUHSIN BIN „ALI AL-HINDUAN RA

Bismillaahirramaanirrahiim

Allahumma Sholli Alaa Muhammad wa Aali Muhammad

Desa Kepanjen, adalah desa yang telah ditetapkan oleh Allah swt sebagai tempat kelahiran bagi salah
seorang kekasih-Nya. Di desa itu, dan dari rahim pasangan hidup (isteri) Al-Habib Ali bin Salim bin Hasan
Al-Hinduan ra, seorang putra dilahirkan. Tiada yang mengetahui dengan pasti, bahwa kekasih Allah swt yang
baru saja dilahirkan itu, kelak akan bangkit untuk mengibarkan seraya menyebar-lanjutkan ajaran suci dari
kakeknya yang ke-37 (Rasulullah saw). Tak terlintas dugaan dari pendahulu-pendahulu di desa itu, bahwa
putra Al-Habib Ali ra yang masih terlihat bayi dengan rengek tangis dalam kain balutan yang menutup
tubuhnya itu, kelak akan menggiring semua hati untuk menangis hina di hadapan Allah swt. Sungguh suatu
kelahiran yang terlihat biasa dalam pandangan manusia, mereka menyambut kelahirannya dengan senyum
bahagia, tanpa menduga sedikitpun bahwa generasi yang akan datang menantinya sebagai pelita dalam hidup
mereka nanti.
20 Juni 1920, sebagai titik perwujudan dari Nur Ilahi turun ke bumi dengan proses alami, dari rahim
ibunda tercinta dan dalam penungguan cemas penuh harap dari sang ayah, untuk melihat janin itu menjelma
di hadapan mata. Rahmat Allah swt mengguyur desa itu, tak ubahnya hujan yang bersifat non materi
menenggelamkan batas dan permukaannya, sehingga tidak hanya desa Kepanjen saja, akan tetapi Sumenep-
Madura menjadi hilang karena genangan rahmat-Nya.
Sedetik setelah itu, banjir rahmat menyapu luas ke pelbagai daerah dan pulau yang ada di negeri ini. Hanya
mata-mata malakut dan pandangan (bashirah) hati yang mampu meneropong kejadian agung seperti itu.
Bayi yang mungil diberinya nama “MUHSIN”.
Hari berganti bulan, hingga pergeseran tahun melaju dalam putaran waktu. Muhsin bin Ali tumbuh
berkembang dalam wujud jasmani dan ruhani. Pada usianya yang ke-6 (1 Agustus 1926), ayahanda Al-Habib
Ali menitipkan putranya di sebuah Madrasah Ibtida‟iyah “Makarim El-Akhlaq”, untuk belajar tulis dan
baca. Layaknya manusia biasa, Muhsin bin Ali meniti karier sebagaimana kawan-kawannya. Huruf demi
huruf dikenal, dan kalimat demi kalimat mulai dibaca. Tidak lepas dari sifat insaniyah, Muhsin bin Ali
menyisihkan waktu untuk bermain dan beradaptasi dengan lingkungannya.
Sebelas tahun telah berlalu, Muhsin bin Ali meninggalkan kota kelahirannya menuju kota Sampang
(1973). Disana di sebuah “Madrasah „Imaduddin”, Muhsin bin Ali melanjutkan studi dan sekaligus
mengajar. Di usianya yang masih belia ini, terlihat Nur Ilahi pada dirinya mulai bergeser cepat, sehingga akal
yang sehat berdecak kagum melihat kemampuannya dan keberaniannya untuk tampil beda dalam grafik hidup
yang menawan.
Dari titik ke titik, perjalanan hidupnya berada dalam ketetapan Allah swt. Dialah yang mengatur
rangkaian proses Muhsin bin Ali dalam genggaman kuasa-Nya. Setahun setelah itu (1938), diperkenalkannya
Muhsin bin Ali kepada beberapa kekasih-Nya yang lain, maka dari KH. Ahmad Sirajuddin, KH. Fathul Bari,
KH. Syamsuddin, KH. Ali Wafa. Mereka orang-orang yang dipercaya oleh Allah swt untuk merangkul

Pribadi Guru 2
Muhsin bin Ali dalam sebuah bimbingan thariqat. Maka sedikit demi sedikit ajaran thariqat dari para Guru
Mursyid membias ke dadanya. Inilah kesempatan bagi jiwa Muhsin bin Ali untuk segera bersiaga menyambut
bendera peralihan dari tangan-tangan suci para Guru Mursyidnya. Dan bukanlah hal yang mudah untuk
dilogikakan, bila ternyata jiwa Muhsin bin Ali terdorong oleh semangat dahsyat yang melesat cepat atas
landasan otak dan fikiran cerdasnya.
Dua belas tahun berikutnya, tepat pada usia ke-30, Muhsin bin Ali dinyatakan sebagai Mursyid dari
thariqat yang diamalkannya, yakni Thariqat Naqsyabandiyah Mudzhariyah. Inilah awal tersibaknya penutup
pada dirinya, sehingga pribadi agung yang dimiliki itu terlihat oleh sejumlah mata yang memang sudah curiga
akan kebesaran Muhsin bin Ali, sebab mata-mata itu penuh terkesiap oleh bersitan tanda yang tertangkap
secara lahiriyah.
Pandangan orang-orang mulai berubah untuk tidak lagi mensejajarkan Muhsin bin Ali dengan
manusia biasa. Sebutan untuk Muhsin bin Ali dikemas dalam serangkaian panggilan Al-Mursyid Al-Habib
Muhsin bin Ali Al-Hinduan ra, untuk membedakan nama Beliau dengan panggilan orang lain yang
kebetulan sama. Apalah arti sebuah panggilan, bila pada dasarnya panggilan tersebut tidak sampai pada
hakikat keagungannya. Tetapi kita tetap berupaya menjaga keagungannya dengan panggilan-panggilan yang
kita sandingkan kepada Beliau ra, sebab ketidak-mampuan kita untuk menyingkap segenap keaugungannya,
maka panggilan itu kita nyatakan dengan kemampuan kita semata-mata. Hanya Allah swt, yang maha
mengetahui maqom Beliau sebenarnya. Semoga panggilan kita kepada Beliau masih menggapai batas awal
kemuliaan Beliau ra.
Mari kita lihat lebih jauh pribadi Al-Habib Muhsin ra dalam irama hidupnya yang indah. Dengan
dasar kelayakan dan kelebihannya, maka persyaratan untuk menjadi seorang mursyid dapat Beliau penuhi
dengan sempurna. Apa kata orang, bila mursyid sebuah thariqat tidak memiliki daya penguasaan terhadap dua
pengetahuan secara baik, yakni Syari‟at dan Thariqat. Terlampau banyak dugaan yang akan mereka
nyatakan, namun secara umum dapatlah kita dengar ketidak inginan mereka untuk sesat dalam bimbingan
seorang Mursyid yang kurang memenuhi syarat. Kecuali mereka itu awam atau juga berlagak tak peduli
dengan persyaratan seorang mursyid, sehingga langsung saja mereka berbai’at.
Al-Habib Muhsin ra, merupakan figur yang memiliki penguasaan baik terhadap syari‟at, lebih-lebih
mengenai thariqat. Di zaman Belia ra, banyak tokoh ulama’ dari berbagai kalangan dan suku yang juga terjun
ke masyarakat untuk berdakwah. Karenanya tak sedikit yang dari mereka (ulama’) yang mengenal Al-Habib
Muhsin ra, serta mencoba berdialog dan bertanya tentang hal-hal yang kurang mereka fahami. Dalam hal
tafsir, hukum-hukum (fiqih) dan juga riwayat-riwayat (hadist), yang semua itu Beliau ra kuasai dengan baik,
disamping penguasannya terhadap thariqat.
Sangatlah wajar bila Allah swt mengangkat Maqom Beliau di mata manusia, sehingga beraneka
ragam bentuk penghormatan yang mereka tujukan kepada Al-Habib Muhsin ra, baik secara lisan maupun
tulisan. Al-Habib Muhsin ra, dihormati bukan hanya atas dasar keilmuan, tetapi juga atas dasar akhlaq dan
penghormatannya terhadap orang lain. Beliau ra, menghormati seluruh lapisan masyarakat yang ada, dari
tokoh ulama’ sampai ke kalangan masyarakat awam. Sungguh contoh penempatan dan sikap diri yang baik
telahBeliau tampakkan, sehingga kita bias mengambil I‟tibar dalam hal ini.
Pada usia Beliau yang ke-37, tepat pada tahun 1957, Beliau mendengar adanya seorang Guru Mursyid
dari Thariqat Naqsyabandiyah Kholidiyah yaitu Dr. Jalaluddin di Bukit Tinggi Sumatra. Maka segeralah Al-

Pribadi Guru 3
Habib Muhsin ra, menuju ke pulau itu untuk berkunjung sekaligus menambah pengetahuan dari pemimpin
Thariqat Naqsyabandiyah Kholidiyah tersebut. Dalam waktu singkat, pendidikan yang diajarkan oleh Dr.
Jalaluddin dapat diserap dengan baik, sehingga kagum dan percayalah Dr. Jalaluddin kepada Beliau ra. Hal
ini yang melatar-belakangi Dr. Jalaluddin untuk mengangkat Beliau sebagai Mursyid dan Khalifah dalam
thariqat yang diajarkannya. Maka Beliau ra, juga resmi menjadi mursyid dalam thariqat baru, yakni thariqat
Naqsyabandiyah Kholidiyah. Beliaupun berhak mengambil murid untuk thariqat yang satu ini.
Beliau (Al-Habib Muhsin ra) pernah berkata pada salah satu muridnya : “Selagi aku tahu dimana ada
Mursyid thariqat, maka aku akan mengunjunginya”.
Pada tahun 1959 Beliau membuka sebuah Majelis Thariqat Naqsyabandiyah Mudzhariyah di
Sumenep Madura.
Inilah awal pernyataan untuk tampil, maka bendera yang Beliau terima dari Guru Mursyidnya mulai
dikibarkan. Misi agung Beliau ra., berhembus rata di Pulau Madura dan menyusur luas ke Pulau Jawa.
Langkah panjang dalam penyebaran thariqat menjangkau Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Di setiap pulau itu
pasak-pasak ditancapkan, dan benang emas direntangkan. Sulaman Ilahiyah yang dipercayakan kepada Al-
Habib Muhsin ra mulai dirajut, guna terlihat jelas bahwa misi kekasih-Nya tak lain untuk memproklamirkan
Dzikrullah sebagai pangkalan dakwahnya.
Dari relung hatinya yang terdalam, dan dengan belaian kasih sayang Allah swt yang Beliau rasakan,
maka terpatri sebuah tekad untuk menghabiskan usianya dalam bentuk pengabdian kepada Allah swt. Usaha
dan semangat Beliau yang membaja, menjelma sebuah realita sejarah yang sulit dipungkiri. Perjuangan
panjang itu memerlukan pengorbanan. Demikian pula aneka rintangan, ibarat gunting-gunting tajam yang
siap memotong jalur-jalur dakwah Beliau ra. Musuh-musuh mengintai dari persembunyian, mereka
merancang jebak dan ranjau untuk meledakkan risalah Allah swt yang dipikul oleh Beliau ra. Terkadang
senyuman tersirat di kedua bibirnya, sementara hati Beliau luka oleh derita. Musuh nyata dan musuh dalam
selimut, datang dengan niat untuk menumbangkan menara Allah swt.
Thariqat Naqsyabandi terus dijaga, bukan karena dibalik Naqsyabandi Beliau menyusun istana dan
kekayaan, tetapi justru jiwa dan raga Beliau siap dikorbankan.
Thariqat Naqsyabandi selalu dipertahankan, bukan karena dipunggung Naqsyabandi Beliau mencari
nama dan ketenaran.
Al-Habib Muhsin ra pernah dipersalahkan, difitnah dengan berbagai tuduhan, serta kemudian
dipenjarakan.
Keluh kesah Beliau hanya disampaikan kepada Allah swt, tangis dan luka hatinya hanya ditujukan
kepada Allah swt. Beliau menyembunyikan segala derita dan musibah dalam rongga jiwanya, hingga terkesan
Beliau tak pernah menyerah.
Setiap kali Beliau mengingat Allah swt, maka bertambah pula tekad dan semangatnya untuk berjihad
di jalan Allah swt.
Beliau, Al-Habib Muhsin ra telah melatih ribuan lidah dan mata hati murid-muridnya untuk berdzikir
kepada Allah swt. Karena kecintaan Beliau kepada murid-muridnya, maka dikunjunginya setiap tempat
dimana mereka tinggal. Disana Beliau ra memberikan pengarahan serta pendidikan, agar murid-muridnya
yang awam dapat mengenal Allah swt. Lidah dan hati mereka yang sebelumnya kaku lagi keras, kini menjadi
lincah dan gesit dalam menyebut Asma Allah swt.

Pribadi Guru 4
Dzikir yang dahulu asing bagi mereka, kini menjadi hiasan di dalam dada-dada mereka. (Sebuah hal penting
yang perlu kita catat).
Bahwa Al-Habib Muhsin ra menjaga murid-muridnya dengan cinta dan waspada. Tak jarang Beliau ra
menolong hati murid-muridnya yang mulai berkarat untuk segera dibersihkan kembali dengan Tawajjuh-
tawajjuhnya, sehingga mereka merasakan bekas-bekas dzikir yang Beliau hunjamkan ke setiap hati dan jiwa.
Maka mereka menangis karena terasa bahwa Allah swt ternyata ada dan hudhur dalam sanubari mereka.
Dzikir-dzikir itu mengoyak lapisan hijab. Mata hati mulai terbelalak. Ribuan rahasia dibalik alam
maya ini terlihat jelas. Langit terbelah hingga lapis yang ke-7, alam dimana para malaikat bermukim dapat
disinggahi. Titian shirath yang membentang didatangi. Surga dan neraka bukan hanya sekedar kata, tapi
keduanya memang tertera nyata. Bila rindu tiba, ruhaniyah Baginda Rasul saw hadir, demikian pula
ruhaniyah para Masyaikh-pun tampak.
Hati yang kecil dan mungil itu memiliki Isti’dad (Persipanan) untuk melanglang ke seluruh alam. Akankah
kejadian semua itu tertampik oleh kekuatan akal? Katakanlah bahwa akal yang kau miliki adalah lemah, akal
itu terbatas, sementara hati itu lepas. Di alam materi ini, hati menjadi penghubung yang mampu menembus
alam-alam ghaib. Takkan sampai kesana akal siapapun, tapi hati siapapun bias menyusup ke alam per alam,
setelah alam rendah yang kita tempati ini.
Al-Habib Muhsin ra berkata : “Apa-apa yang terlihat oleh hatimu, jangan kau sampaikan kepada
orang lain. Karena hal-hal itu merupakan rahasia antara murid dengan Guru”.
Petikan butir-butir tasbih yang terjuntai diantara jemari, merupakan perantara agar dzikir terhitung
dalam jumlah tertentu. Bahkan saat tasbih tak ada di tangan, jari telunjuk tetap bergerak, sementara tubuhnya
telah kaku terbujur di pembaringan. Begitu pula lathifah tetap berdetak, sementara jasad tergeletak tanpa
nyawa.
Berapa banyak paramedik dibuat tercengang oleh kenyataan ini?
Kami berdzikir bukan untuk sebuah kekeramatan. Kami berdzikir untuk menyucikan hati, agar kami nanti
sampai pada kesucian Allah swt.

3 Mei 1980

Desir angin kepedihan dan kesedihan merambah rendah ke permukaan bumi, kepakan sayap-sayap
burung, ringan membawa terbang tubuhnya yang kecil, namun kicauan mereka terdengar memilukan.
Bayang-bayang awan menutup, suramkan sinar mentari yang sampai ke bubung atap sebuah Rumah Sakit di
daerah Sei Jawi (Pontianak). Disana di sepetak Ruang Gawat Darurat, tubuh Guru yang mulia terbaring
lemah, tanda-tanda perpisahan mulai diisyaratkan. Walau tangannya tidak melambai sebagai tanda
perpisahan, tapi kedua matanya yang indah merapat dalam pejaman rahmat Allah swt. Ada yang menduga
bahwa Sang Guru masih belum tiada, karena detak lathifahnya masih terlihat nyata.
Bagi kami, gerakan lathifah Guru bukan bukti bahwa Beliau akan kembali. Kami tahu bahwa Beliau telah
pergi. Kami sadar bahwa Guru kami telah tiada, tapi mata dan hati tak siap berpisah. Andai ruh kami dapat
menjadi ganti untuk memperpanjang kehidupan Sang Guru, maka itu lebih baik bagi kami.

Pribadi Guru 5
Duhai permata hidup kami…
Duhai pendidik cinta Rabbani
Engkau telah meninggalkan diri kami di saat cinta baru tumbuh.
Di waktu kami tidur, engkau membangunkan kami. Belum sempat kami bangun, engkau mengajak kami
duduk.belum sempat kami duduk, engkau mengajak kami berdiri. Belum sempat kami berdiri, engkau
mengajak kami berlari. Belum sempat kami berlari, engkau telah pergi.
Sungguh cepat janji Allah swt padamu wahai Guru…
Kami hanya mampu berucap : “Selamat pergi… dan nantikan kami di pintu Ilahi. Doakanlah, agar bai‟at
yang kami ucapkan tidak kami ingkari” Amin Ya Rabbal Alamiin.

Pribadi Guru 6

Anda mungkin juga menyukai