Anda di halaman 1dari 42

FIKIH kelas XII

Perbedaan pendapat Fikih


Ikhtilaf fikih
• Fikih adalah pengetahuan atas hukum Islam, yang
didapat setelah melakukan pengkajian atas dalil-
dalil syara’ yang terperinci, yang kita kenal dengan
istilah ijtihad.
• Hasil ijtihad ulama terkadang satu sama lain
berbeda pendapat hukumnya.
• Perbedaan pendapat hukum ini disebut dengan
istilah ikhtilaf fikih, terkadang disebut juga dengan
istilah khilaf ulama.
Ikhtilaf fikih
• Perbedaan yang terjadi di antara mereka bukanlah
karena sekadar “ingin tampil beda”. Kepingin beda
dengan yang lain.
• Tidak ada niat seperti itu.
• Perbedaan terjadi karena memang ketika mengkaji,
cara ijtihad masing-masing ulama mujtahid yang
memang berbeda (corak gaya pikir, dalil yang
digunakan, dan cara berargumentasi / istidlal ).
• Fakta tak terbantahkan: perbedaan pendapat hasil
ijtihad sudah ada di zaman nabi Muhammad masih
hidup.
Corak berpikir tekstual dan kontektsual
• Perang ahzab berakhir, tapi Allah perintahkan selanjutnya
mengepung benteng yahudi bani quraizah karena telah
melakukan pengkhianatan perjanjian mempertahankan
kota madinah. Nabi berpesan kepada para pasukan: ‫ال ٌصلٌن‬
‫ احدكم العصر اال فً بنً قرٌظة‬jangan sekali2 solat ashar
kecuali di kampung bani quraizhah.
• Sabda nabi ini dipahami berbeda oleh para sahabatnya.
Sebagian sahabat yang berpikir tekstual: solat ashar pada
hari itu hanya boleh dilakukan setibanya di tujuan.
• Sebagian sahabat lain yang bercorak kontekstual
memahami: bersegeralah berjalan, agar sempat solat ashar
pada waktunya di tempat tujuan.
• Dua perbedaan pendapat ini diadukan kepada nabi, dan
nabi pun mendiamkannya (taqrir) sebagai tanda
membenarkan keduanya.
Tekstual
• Memahami dan menyimpulkan hukum sesuai zahir (apa adanya)
teks dalil, = literlecht / literlek / harfiyah.
• Berdalil secara parsial (tidak melihat dalil lain). Cenderung
simplikatif (terlalu mudah menyimpulkan).
• Sangat berharap adanya dalil berupa teks yang gamblang untuk
mendukung sebuah pernyataan.

Kontekstual
• pemahaman mendalam melampaui sekadar zahir teks dalil semata
= (menangkap makna/ maksud utama di balik teks).
• mencoba menyimpulkan hukum secara penalaran, baik
o antar teks dalil dengan di balik teks (konteks/latar belakang
sejarah, dsb), atau
o antar teks dalill dengan sesama teks dalil yang lain, atau
o antar teks dalil dan prinsip2 agama dan prinisp rasionalitas.
Kamu tipe mana?
• Di rumahmu pas kedatangan tamu. Kamu
dipanggil ortumu dan disuruh: “nak, belikan
pisang goreng, yang ada di simpang tiga
sana!”
• Berangkatlah kamu. Tapi setibanya di tempat,
pisang goreng nya habis. Kamu tak bawa HP.
• Kamu pun “berijtihad” memutuskan segera
langkah selanjutnya.
• What whould you do?
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• Bunyi hadis: Nabi pernah ketika sedang khutbah jumat
berseru kepada salah seorang sahabatnya yang baru
masuk ke dalam masjid: “Sulaik, berdirilah dan solatlah
dua rakaat”.
• Tekstual: orang yang terlambat masuk masjid pas
khutbah jumat sudah dimulai tetap dibolehkan
melakukan solat sunnah tahiyat masjid.
• Kontekstual: tetap makruh solat tahiyat masjid setelah
khutbah dimulai. Hadis ini konteksnya hanya
menceritakan cara nabi memberitahu para sahabatnya
yang lain, bahwa sulaik, seorang sahabat yg miskin dan
tinggal jauh dari kota madinah telah datang (harap
dibantu urusannya selepas solat).
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• Bunyi hadis: “barangsiapa yang makan daging unta,
berwudhulah”.
• Tekstual: makan daging unta termasuk pembatal
wudhu.
• Kontekstual: makan daging unta tidak membatalkan
wudhu. nabi berkata demikian konteksnya adalah
upaya beliau menyelamatkan muka salah seorang
sahabatnya yang buang angin menjelang azan solat
isya selepas makan hidangan malam daging unta.
Demikian asbabul wurud (latar belakang sejarah)
hadis ini.
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual

ِ ‫ َو َكانَ أ َ َح ُدنَا ٌُ ْل ِز ُق َم ْن ِكبَهُ ِب َم ْن ِك‬،‫ظ ْه ِري‬


‫ب‬ ِ ‫ فَإِ ِنًّ أ َ َرا ُك ْم ِم ْن َو َر‬،‫صفُوفَ ُك ْم‬
َ ‫اء‬ ُ ‫أ َ ِقٌ ُموا‬
»‫ َوقَ َد َمهُ ِبقَ َد ِم ِه‬،‫اح ِب ِه‬
ِ ‫ص‬َ
• “Luruskan shaff-shaff kalian ! maka sesungguhnya aku aku
melihat kalian dari belakang punggungku.” (Anas bin Malik
berkata ) : Dan adalah salah satu dari kami melekatkan
pundaknya dengan pundak sahabatnya dan telapak kakinya
dengan telapak kaki sahabatnya.” [ HR. Al-Bukhari : 725 ].
• Tekstual: shaf orang solat berjamaah harus terus rapat bahu
dan mata kaki seperti yg disebutkan.
• Kontekstual: di masjid nabi, para sahabat solat di atas tanah,
tidak ada sajadah, tidak ada garis lurus. Satu-satunya cara
untuk mengetahui seseorang sudah lurus shafnya adalah
dengan menyentuhkan bahu kepada bahu, telapak kaki
kepada telapak kaki sebagai “lencang kanannya”.
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• Ajari anakmu berenang, berkuda, dan memanah.
• Tekstual: olahraga yang disarankan nabi: 3 hal di
atas.
• Kontekstual: orang islam harus bisa mengarungi
lautan, bisa naik kendaraan apa saja, dan bisa
menggunakan senjata apa saja.
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• Hadis fi’liy: Nabi Muhammad selalu melaksanakan solat
hari raya berjamaah di tanah lapang.
• Tekstual: solat hari raya di tanah lapang bukan di
masjid, karena sesuai teks hadis.
• Kontekstual: pelaksanaan solat hari raya mengundang
semua orang bahkan perempuan haid dan anak-anak
disuruh datang. Konteksnya di zaman nabi, masjid
beliau tidak akan muat menampung banyak orang,
maka beliau pilih solat di lapangan. Adapun sekarang
masjid nabi dan banyak masjid sudah bisa menampung
banyak jemaah, maka solat hari raya dikembalikan ke
masjid.
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah
(mengakhiri puasa) karena melihat hilal. Bila ia tidak
tampak olehmu, maka sempurnakan hitungan Sya'ban
menjadi 30 hari," (HR Bukhari dan Muslim).
• Tekstual: terlihat hilal di langit = awal bulan hijriyah
baru.
• Kontekstual: di zaman nabi melihat hilal adalah
satu-satunya cara mengetahui apakah telah terjadi
pergantian kalender bulan lunar. di zaman
sekarang “melihat hilal” bisa lewat perhitungan
ilmu astronomi yang akurat.
Contoh ijtihad corak tekstual dan kontekstual
• Tak ada satu pun dalil teks baik alquran atau hadis nabi, yang
menyinggung perihal zakat profesi (zakat dari gaji bulanan
para profesional: seperti para dokter, hakim, pejabat,
karyawan tambang, seniman, olahragawan, dll).
• Tekstual: tidak ada zakat profesi.
• Kontekstual: zakat adalah bagian yang dikeluarkan dari harta
orang kaya sebagai kewajiban. Di zaman rasul hidup, orang
kaya itu kalau tidak pedagang (zakat perdagangan), peternak
(zakat ternak), petani (zakat pertanian), orang yang banyak
emas peraknya karena penguasa.
• Di zaman sekarang, orang tergolong kaya, bisa saja dari para
profesional yang gajinya setahun melebihi nishob zakat
pedagang yaitu 85 gram emas. Karena itu kepada mereka ini
lebih layak lagi diwajibkan zakat. Namanya zakat profesi.
Faktor-faktor lain

Disamping corak pikir, faktor lain penyebab


terjadinya ikhtilaf fikih bisa pula terjadi pada:
• Faktor karakteristik dalil teks yang multi tafsir.
• Faktor syarat penerimaan dalil tertentu oleh
ulama.
• Faktor perbedaan cara dan kemahiran dalam
melakukan istimbath/ mengolah dalil
• Faktor penetapan standar praktis
Jauhi sikap ghuluw
• Ada saja orang islam yang jatuh pada ghuluw
(berlebihan) dalam perkara ikhtilaf fikih ini.
• Yaitu mereka yang menganggap ikhtilaf fikih
merupakan sebuah kekeliruan dan kesilapan ulama.
• Mereka pun mulai anti mazhab fikih, dan
mempropagandakan semua orang untuk kembali
kepada alquran dan assunnah secara langsung tanpa
memperdulikan apakah mereka punya kemampuan
mengkaji atau tidak.
• Hasil kajian langsung mereka ini pun kemudian
dijadikan standar menilai benar-salah orang selain
mereka.
Jauhi sikap ghuluw
• Yaitu, Bilamana ada orang yang kebetulan
berbeda pendapat dengan mereka, mereka
anggap sebuah penyimpangan yang harus
diluruskan.
• Mereka coba mengkoreksi dengan cara
menyebutkan dalil-dalil yang memang dijadikan
rujukan pendapat yang diadopsinya dengan
anggapan, pendapat mereka sudah pasti benar,
yang benar ya cuma mereka, yang berdalil quran
sunnah ya cuma mereka, yang paham agama ini
ya cuma ulama mereka.
Jauhi sikap ghuluw
• Sikap ghuluw mereka ini membuat mereka merasa
tak rela bila setelah menyebutkan dalil2 mereka
pegangi, pendapat yang mereka tidak diiyakan dan
disetujui. Seolah bila tidak sependapat dengan
mereka sama saja menolak wahyu ilahi.
• Mulailah dari sana keluar tuduhan-tuduhan keji:
berani menentang quran dan sunnah, ingkar sunnah,
berani menolak hadis nabi, orang yang keras kepala,
pengikut hawa nafsu, sesat, ahlul bid’ah, dan
tuduhan buruk lainnya.
• Lebih parahnya lagi pada tahap, ada orang awam
yang sok mengkoreksi ulama mujtahid dengan
ucapan: “ulama kan bisa keliru”.
Jauhi sikap ghuluw
• Orang islam seperti ini telah jatuh pada dosa
ta’asshub/ ashobiyah/ fanatisme kelompok yang
merugikan umat.
• Hadis dari Jabir bin Muth’im, bahwasanya Rasulullah
bersabda,
‫• لٌس منا من دعا الى عصبٌة و لٌس منا من قاتل على عصبٌة و‬
‫لٌس منا من مات على عصبٌة‬
“Bukan termasuk golongan kami orang yang mengajak
kepada 'ashabiyyah, bukan termasuk golongan kami
orang yang berperang karena 'ashabiyyah dan bukan
termasuk golongan kami orang yang mati karena
'ashabiyyah.” [HR. Abu Dawud No.4456]
Jauhi sikap ghuluw
• Faktor utama penyebab ghuluw dan fanatik ini
adalah ketidakpahaman akan latar belakang
mengapa bisa terjadi ikhtilaf fikih, atau
mendapatkan informasi yang keliru tentangnya.
• Faktor lain juga berupa perasaan lebih unggul
dari orang lain, merasa paling benar sendiri, yang
keduanya termasuk penyakit kejiwaan.
• Andai saja mereka mengetahui hal tersebut juga
andai mengetahui bagaimana kah akhlak mulia
yang dipraktikkan oleh para ulama terkait
ikhtilaf fikih ini sesungguhnya, tentu mereka
takkan seperti itu.
Hasil ijtihad bukan wahyu
• Ketahuilah, bahwa tak ada satu pun di kalangan ulama
terdahulu (salaf atau khalaf) yang mengatakan hasil
ijtihad mereka merupakan sebuah wahyu ilahiy, sehingga
barangsiapa yang tidak mengikuti pendapatnya maka
orang tersebut telah berdosa menyalahi alquran dan
hadis yang menjadi landasan ijtihadnya.
• Karena kesemua ulama itu sadar bahwa mereka hanya
berijtihad sebaik mungkin, dan mereka paham sekali
bahwa hasil ijtihad bukanlah wahyu.
• Karena itu menolak hasil ijtihad tidak bisa disebut telah
menolak dalil wahyu.
Hasil ijtihad bukan wahyu
• Dalil boleh sama, pemahaman tak mesti sama.
• Dalil syara’ wajib diterima, tapi pemahaman atas dalil itu
adalah kesimpulan otak manusia yang kadang disepakati
dan kadang tidak.
• Menolak pemahaman sebuah dalil tidak bisa disebut
menolak dalil. Apalagi dalil itu memang multi tafsir.
• Karena itu ulama mujtahid sejati tidak pernah
mewajibkan orang-orang mengikuti pendapat mereka.
Tugas mereka adalah berijtihad – menyampaikan kepada
umat – selesai.
• Yang mau ikut silakan, yang tidak, tak masalah.
Para ulama dan perbedaan pendapat
• Sultan abu Ja’far al manshur dari bani abbasiyah,
pernah memerintahkan agar mazhab Maliki
diterapkan secara seragam kepada seluruh rakyat
kala itu. Namun ide itu ditentang sendiri oleh
imam malik. Beliau berkata:”…..sesungguhnya di
antara umat ini telah sekian lama menerima dan
mengadopsi begitu banyak pendapat yang
beragam, yang mungkin berbeda dengan
pendapatku, tentu sulit bagi mereka untuk
meninggalkannya. Karena itu biarkanlah rakyat
seperti biasa mengadopsi mazhab yang telah
mereka pilih untuk diri mereka.”
Para ulama dan perbedaan pendapat
• Seseorang pernah datang kepada Imam
Ahmad bin Hambal bertanya tentang masalah
perceraian. Imam Ahmad menjawab “Bila hal
itu dilakukan maka ia berdosa”. Orang yang
bertanya itu berkata lagi “bolehkah saya ikut
pendapat yang menyatakan tak mengapa?”,
imam Ahmad menjawab “ya, silakan”.
Beliau tidak marah. Dan mengizinkan orang yang
bertanya tersebut mengambil pendapat ulama
lain selain beliau yang berbeda.
Para ulama dan perbedaan pendapat

• Anas bin Malik, salah seorang sahabat nabi dari


madrasah ahlu ro’yi berkata: “kami (para sahabat
nabi) seringkali setiap melakukan perjalanan
jauh, menemukan di antara kami ada yang
berbuka/tak puasa, ada yg tetap puasa, ada yang
menjamak solatnya, ada yang tidak mau
menjamak. Tapi tak ada seorang pun dari kami
yang saling menghinakan satu sama lain hanya
karena perbedaan amal.
Para ulama dan perbedaan pendapat

• Para ulama tidak mengingkari perbedaan


pendapat.
• Imam syafii, murid-murid beliau (syafiiyah) dan
juga murid-murid imam hanafi (hanafiyah) sering
kedapatan solat bermakmum kepada imam solat
yang bermazhab maliki. Padahal dalam ijtihad
mazhab maliki membaca alfatihah tidak boleh
dengan basmalah. Sementara baca basmalah
malah wajib dalam mazhab syafii (secara jahr)
dan juga mazhab hanafi (secara sirr) = tidak sah
solat kalau tak baca basmalah sebelum fatihah.
Para ulama dan perbedaan pendapat
• Khalifah abbasiyah, harun arrasyid (beliau
bermazhab maliki) pernah menjadi imam solat,
sementara beliau baru saja berbekam. Imam abu
yusuf dari mazhab hanafi mau saja bermakmum
kepada beliau, padahal dalam mazhab hanafi:
berbekam itu membatalkan wudhu.
• Imam hambali (yang berfatwa bahwa bekam dan
mimisan itu membatalkan wudhu), pernah ditanya:
apakah anda mau bermakmum kepada seorang
imam solat yang baru saja berbekam dan tidak
mengulangi wudhunya? Beliau menjawab:
bagaimana bisa aku tidak mau bermakmum kepada
orang sekelas imam malik atau sekelas Said bin
Musayyib (mujtahid generasi tabiin)?!
Para ulama dan perbedaan pendapat
• andaikan perbedaan pendapat itu tercela, niscaya
para ulama besar itu bahkan para sahabat mulia,
akan menjadi garda terdepan dalam menolak hal
tersebut. Mereka pasti tidak akan berdiam diri,
dan tidak akan mungkin sampai membiarkan
kesalahan umat.
• andaikan perbedaan pendapat itu tercela, niscaya
tidak ada sabda nabi berbunyi:
“apabila berijtihad dan benar disisi Allah, maka ia
dapat dua pahala, bila berijtihad ternyata salah di
sisi Allah, maka dapat satu pahala”.
Para ulama hampir semua punya perkataan yang
hampir seragam:
- “pendapatku benar, tapi berpotensi salah,
pendapat orang lain salah tapi berpotensi
benar”.
- “inilah pendapatku, bisa benar bisa salah, andai
benar maka itu karunia dari Allah, bila tersalah,
maka itu dari diriku sendiri dan dari setan”.
Dikarenakan tidak ada lagi nabi Muhammad yang
menjadi pengkoreksi hasil ijtihad, maka tidak
diketahui pula yang manakah satu dari hasil ijtihad
perbedaan pendapat, itu yang mana benar dan
yang mana keliru.
Masing-masing ulama hanya bisa bersangka kuat
bahwa hasil ijtihadnya sudah benar, selama masih
berdasar alquran dan assunnah insyaallah akan
berada dalam petunjuk ilahiy dan jaminan nabi
Muhammad.
Andai ada bahasa mereka “membenarkan” atau
“menyalahkan” maka konteksnya ialah rajih vs
marjuh (dipilih vs tidak dipilih) saja dan itu pun
penilaiannya sangat subjektif.
Ketika pendapat ulama berbeda
dengan sebuah hadis nabi
• Bagi mereka baru mulai mendalami fikih, suatu
waktu pasti akan bertemu dengan pendapat hasil
ijtihad seorang ulama yang nampak berlawanan
dengan zhahir teks hadis nabi.
• Dan bagi mereka yang kurang paham (terutama
kalangan tekstualis yang ghuluw), akan dengan
mudah menuduh ulama tersebut telah meninggalkan
hadis nabi. padahal tuduhan meninggalkan hadis
nabi sama saja menuduh ulama tersebut menentang
ajaran nabi.
• mereka pun kemudian membuat pertanyaan syubhat
simalakama: lebih milih ikut nabi atau ikut ulama?
Penjelasan syaikh Ibnu Taimiyah
• Perkataan syaikh ibnu taimiyah terkait hal ini:
“Tidak ada satu pun di antara para ulama mujtahid
itu memiliki kesengajaan dan keinginan murni untuk
menyelesihi sabda baginda Nabi Muhammad
shallahu alaihi wasallam. baik secara global atau
terperinci. (jelas tak mungkin)
Karena kesemua ulama itu yakin bahwa mengikuti
nabi adalah kewajiban. Para ulama juga yakin
bahwa perkataan manusia kadang diambil kadang
tidak, tapi khusus sabda baginda nabi yang mau tak
mau harus diambil.
“…. Oleh karena itu apabila kita mendapati ada
pernyataan ulama yang secara zahir seolah
bertentangan dengan sabda baginda, maka yakinlah
dalam hati bahwa pasti ulama punya alasan kuat bisa
seperti itu, satu dari tiga hal sebagai berikut:
1. Ulama tersebut tidak meyakini kesahihan hadis
tersebut. Sehingga tak menggunakannya sbg dalil.
2. Ulama tersebut tidak meyakini bahwa pemahaman
atas hadis itu satu saja, dan beliau memiliki cara
memahami yang berbeda.
3. Ulama tersebut meyakini hukum yg ditunjukkan
hadis tadi sudah di mansukh (dianulir.

(‫)رفع المالم عن األئمة األعالم‬


Adab perbedaan pendapat
1. Tidak memaksakan orang lain untuk mengikuti
pendapatnya, atau pendapat ulama yang diikutinya.
“pendapat ini yang benar wajib diikuti, karena
dalilnya lebih kuat”.
2. Tidak menyalah-nyalahkan orang yang mengadopsi
pendapat yang berbeda. “kalau sujud itu pakai tangan
duluan, ini loh teks dalilnya”.
3. Tidak sombong meremehkan orang lain dan merasa
tinggi seolah cuma dia yang mengikuti alquran dan
assunnah. “terserahmu lah, kalau saya cuma mau ikut
nabi”.
4. Menjauhkan diri dari menyinggung2 perkara yang
terjadi khilaf ulama padanya. “kalau cinta nabi, pasti
ikut maulidan”
Adab perbedaan pendapat
5. Tidak bertindak menjadi korektor atas ikhtilaf
fikih, karena tak ada yg berhak melakukannya
selain Nabi Muhammad
“dari kesemua pendapat itu, yg benar adalah pendapat
ini karena lebih sesuai sunnah nabi”.
6. Tidak mudah menggunakan label “sesuai
sunnah” untuk sesuatu yang terdapat
perbedaan pendapat padanya, Karena itu sama
saja menuduh yg beda pendapat = tidak sesuai
sunnah.
“itu kan kalau menurut imam syafii, yang menurut nabi
Muhammad, ya yang ini. Ini yang sesuai sunnah.”
Hikmah adanya ikhtilaf fikih
• Memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam,
bahwa terjadi fleksibel hukum sesuatu perbuatan
itu dengan beragam pendapat padanya.
• Menjadi rahmat bagi umat, dengan memberi
solusi bagi muqallid bilamana mendapati keadaan
darurat tak bisa menjalankan taklidnya seperti
biasa, maka ia bisa bertaklid ke ulama lain (
dengan cara intiqol mazhab).
Tapi. tidak semua perbedaan ditolerir
• Imam nawawi (salah satu mujtahid mazhab
syafii) berkata: para ulama hanya mengingkari
perkara-perkara yang memang sudah ijmak
boleh diingkari. Adapun perkara-perkara yang
tak disepakati, maka tidak boleh diingkari.
Karena semua hasil ijtihad para ulama mujtahid
benar. Atau salah satu mereka benar, yang lain
salah, tapi kita tidak tahu siapa yang benar siapa
yang salah. Hanya Allah yang tahu.
Tapi. tidak semua perbedaan ditolerir
Perbedaan yang tidak bisa ditolerir yaitu perkara
yang prinsip / Ushuliy, yang didasari dalil yang
QOTH’IY TSUBUT dan QOTH’IY DALALAH (yaitu dalil
yang sangat gamblang, yang valid, dan yang tidak
multi tafsir).
baik di bidang akidah, seperti: Tuhan itu satu, Nabi
muhammad nabi terakhir, isi alquran sudah
lengkap, alquran adalah kalamullah, dll
atau di bidang syariah, seperti: kewajiban solat
lima waktu, kewajiban zakat, kewajiban berhijab
bagi muslimah, dll
kesimpulan
• Perbedaan pemahaman hasil ijtihad adalah fakta
yang ditaqrir keberadaannya oleh baginda Nabi.
• Selama beliau hidup, beliau akan melakukan koreksi
bila ada ijtihad sahabat yang keliru.
• Namun selepas beliau wafat, tidak ada orang yang
berhak melakukan hal tersebut.
• Mana Ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah
hanya Allah yang tahu.
• karena itu Nabi memberi jaminan hasil ijtihad para
ulama mujtahid selepas beliau wafat, bahwa semua
ijtihad itu tetap berada dalam kebenaran selama
berdasar alquran dan assunnah, meskipun berbeda
pendapat.
kesimpulan
• Hasil ijtihad hanya mengenal rajih-marjuh (dipilih vs
tak dipilih) yang sifatnya subjektif.
• Para ulama hanya bisa berkata: pendapatku ini
benar menurutku, tapi bisa saja salah. Dan pendapat
orang lain salah, tapi bisa saja benar.
• Perbedaan fikih takkan berujung perpecahan bila
disikapi dengan ilmu dan adab.
• Ikutilah pendapat ulama mu’tabar yang mana saja.
Mereka adalah pewaris para nabi. mereka berbicara
di atas ilmu bukan atas hawa nafsu.
• Tanpa merasa lebih benar. Tanpa merasa lebih
ngikut nabi, tanpa merasa lebih cinta nabi.
Wallahu a’lam bis showab

Anda mungkin juga menyukai