Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin A
2.1.1 Definisi Vitamin A
Vitamin A merupakan zat gizi penting yang larut dalam lemak,
disimpan dalam hati dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga, harus
dipenuhi kebutuhannya dari luar. (Kemenkes RI, 2016). Vitamin A
merupakan vitamin yang larut dalam lemak pertama yang di temukan.
Secara luas, vitamin A merupakan nama generik umum untuk menyatakan
semua retinoid dan prekursor/vitamin A karotenoid yang mempunyai
aktivitas biologi sebagai retinol (Almatsier, 2009).
2.1.2 Sumber Vitamin A
Berikut ini yang merupakan bahan makanan yang mengandung vitamin
A, yaitu :
1. Air Susu Ibu (ASI)
2. Bahan makanan hewani seperti hati, ikan, daging, ayam, dan bebek
3. Buah-buahan seperti papaya, mangga masak, alvokat, jambu bii merah,
pisang.
4. Sayur-sayuran seperti daun bayam, daun singkong, kangkung, daun
katuk, daun mangkokan, daun kelor, daun beluntas, kecipir, labu
kuning, daun ubi jalar, tomat, wortel.
5. Bahan makanan yang mengalami proses penambahan mikronutrien
(fortifikasi) dengan vitamin A seperti margarin, susu, dan beberapa mie
instan. (Adriani & Wirjatmadi, 2012)

8
9

Nilai Vitamin A berbagai bahan makanan (Retinol Ekivalen (RE)/100g =


3,3 SI)
Tabel 3. Bahan-bahan yang mengandung Vitamin A dan komposisi nya per 100g

Bahan Makanan Retino Ekivalen Bahan Makanan Retino Ekivalen


1. Hati sapi 13170 1. Daun katuk 3111
2. Kuning 861 2. Sawi 1940
telur bebek 3. Kangkung 1890
3. Kuning 600 4. Bayam 1827
telur ayam 5. Ubi jalar 2310
4. Ayam 243 merah
5. Ginjal 345 6. Mentega 1287
6. Ikan sardine 250 7. Margarin 600
(kaleng) 8. Susu bubuk, 471
7. Minyak 24000 “full cream”
ikan 9. Keju 225
8. Minyak 18000 10. Susu kental 153
kelapa manis
sawit 11. Susu segar 39
9. Minyak hati 2100 12. Mangga 1900
ikan hiu masak pohon
10. Wortel 3600 13. Pisang raja 285
11. Daun 3300 14. Tomat masak 450
singkong 15. Semangka 177
12. Daun 5475
papaya
13. Daun 5340
lamtoro
14. Daun tales 31118
15. Daun 3000
melinjo
(Almatsier, 2009)

2.1.3 Fungsi Vitamin A

Kementerian Kesehatan (2015), menuliskan bahwa fungsi dari vitamin A


adalah :
1. Meningkatkan pertahanan tubuh terhadap penyakit dan infeksi seperti
diare dan campak.
2. Pada penglihatan membantu proses adaptasi dari tempat yang terang
ketempat yang gelap.
10

3. Mencegah kerusakan sel-sel epitel dan selaput lendir pada mata.


4. Mencegah terjadinya kekeringan pada mata yang di akibatkan oleh
perubahan abnormal sel-sel epitel pada kelenjar sehingga tidak dapat
memproduksi cairan.
5. Mencegah terjadinya kebutaan akibat kerusakan yang terjadi pada mata.
6. Untuk membantu metabolisme tubuh.
Adriani & Wirjatmadi (2012), mengatakan bahwa fungsi vitamin A
adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan daya pertahanan tubuh terhadap penyakit dan infeksi
seperti campak dan diare.
2. Mencegah terjadinya proses metaplasia sel-sel epitel, sehingga kelenjar
tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya
kekeringan pada mata atau yang disebut xerosis konjungtiva.
3. Mencegah terjadinya kerusakan mata berlanjut yang akan menjadi bercak
bitot (bitot’s spot) bahkan kebutaan.
4. Vitamin A esensial untuk membantu proses pertumbuhan.
2.1.4 Defisiensi Vitamin A
Kekurangan (defisiensi) vitamin A merupakan suatu penyakit sistemik
yang dapat merusak sel dan organ tubuh manusia, dan dapat menyebabkan
metaplasia keratin pada epitel saluran pernapasan, saluran kemih, dan
saluran pencernaan. Perubahan pada ketiga saluran ini biasanya lebih awal
terjadi ketimbang kerusakan yang terdeteksi pada mata. Namun, karena
mata yang mudah diamati dan diperiksa, maka diagnosis klinis yang spesifik
didasarkan pada pemeriksaan mata (Arisman, 2004).
2.1.5 Gambaran Klinis Kekurangan Vitamin A
Kekurangan (defisiensi) Vitamin A sering terjadi pada anak-anak
balita. Tanda-tanda kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai.
Kekurangan Vitamin A dapat merupakan kekurangan primer akibat
kekurangan konsumsi, atau kekurangan sekunder karena terjadinya
gangguan penyerapan dan penggunaan vitamin A dalam tubuh, seperti
kebutuhan tubuh yang meningkat, atau pun karena terjadinya gangguan
11

pada konversi karoten menjadi Vitamin A. pada penderita Kurang Energi


Protein (KEP), penyakit hati, Alfa Beta Lipoproteinemia, atau gangguan
Absorpsi (Adriani & Wirjatmadi, 2012).
Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia banyak ditemukan
kekurangan vitamin A, akibat kekurangan vitamin A antara lain:
A. Buta Senja
Buta senja (niktalopia) merupakan salah satu tanda awal kekurangan
Vitamin A, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya
terang ke cahaya redup, seperti saat memasuki kamar terang ke kamar
gelap, konsumsi vitamin A yang cukup banyak menyebabkan simpanan
didalam tubuh menipis, sehingga kadar vitamin A didalam darah menurun
yang akan menyebabkan vitamin A tidak cukup diperoleh retina mata
untuk membentuk pigmen penglihatan rodopsin (Adriani & Wirjatmadi,
2012).
Pada saat ini anak sekolah yang menderita rabun senja adalah khas
defisiensi Vitamin A. Buta senja adalah salah satu gejala awal manifestasi
defisiensi Vitamin A, anak-anak yang menderita buta senja tidak dapat
bermain-main dengan temannya pada saat setelah senja, dia akan lebih
senang memilih duduk dipojok yang aman. Reseptor sensor retina penting
untuk penglihatan tingkat rendah, untuk itu untuk penglihatan remang-
remang (elaborasi rhodopsin) retinol sangat berperan penting. (Adriani &
Wirjatmadi, 2012).
Sangat sulit untuk mendeteksi rabun senja secara khusus, terutama
pada anak-anak yang belum berjalan atau merangkak, tetapi pemeriksaan
yang teliti dan rutin dapat mendeteksi dini. Rabun senja berespons sangat
cepat terhadap Vitamin A, buta senja dapat bereaksi balik terhadap vitamin
A biasanya dalam waktu sekitar 24-28 jam. (Adriani & Wiratmadi, 2012)
12

Klasifikasi Xeropthalmia
Menurut Almatsier 2009, klasifikasi dari Xeropthalmia dibagi menajdi 9
bagian, yaitu :
1. XN = Buta Senja
2. XIA = Xerosis Konjungtiva
3. XIB = Bercak Bitot
4. X2 = Xerosis Kornea
5. X3A = Ulkus kornea atau keratomalasia kurang dari 1/3 permukaan

Kornea

6. X3B = Ulkus kornea atau 1/3 permukaan kornea


7. XS = Bekas luka kornea
8. XF = Fundus xeropthalmia
(Almatsier, 2009)
Menurut Gilbert 2013, tampilan penderita Xeropthalmia berdasarkan
klasifikasinya adalah sebagai berikut :

Gambar 3 : Xerosis Konjungtiva Gambar 4 : Bercak Bitot


13

Gambar 5 : Xerosis Kornea Gambar 6 : Ulkus kornea < 1/3 permukaan kornea

Gambar 7 : Corneal scarring Gambar 8 : Keratomalasia

2.1.5.2 Perubahan pada Mata


Kekurangan vitamin A dapat berpengaruh secara dini pada kornea
mata. Pengeringan pada selaput yang menutupi mata kelenjar air mata
terjadi karena ketidak mampuan mengeluarkan air mata. Ini di ikuti oleh
tanda-tanda : atrofi kelenjar mata, keratinisasi konjungtiva (selaput yang
melapisi permukaan bagian dalam kelopak mata dan bola mata),
pemburaman, pelepasan sel-sel epitel kornea yang akhirnya
menyebabkan melunaknya dan pecahnya kornea. Mata terkena infeksi
dan terjadi perdarahan. Xerosis konjungtiva, yaitu konjungtiva menjadi
kering, bercak bitot (bitot’s spot), yaitu berupa bercak putih keabu-abuan
pada konjungtiva merupakan gejala-gejala yang terjadi dalam bentuk
ringan. Dalam bentuk sedang dinamakan xerosis kornea, yaitu terjadi
kering dan kehilangan kejernihan pada kornea. Kornea menjadi lunak
dan bisa pecah yang menyebabkan buta total merupakan tahap akhir
adalah keratomalasia. Istilah xeropthalmia meliputi semua aspek klinik
yang berkaitan dengan defisiensi Vitamin A (Adriani & Wiratmadi,
2012).
14

2.1.5.3 Infeksi
Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada
manusia dimana mekanisme nya belum jelas. Retinol tampaknya
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leukosit
yang berperan dalam proses kekebalan tubuh). Kekurangan Vitamin A
menurunkan respon antibodi yang bergantung pada sel T (limfosit yang
berperan pada kekebalan sel) (Azrimaidaliza, 2007).
Pada kekurangan vitamin A terjadi penurunan fungsi kekebalan
tubuh, sehingga mudah terserang infeksi. Disamping itu, lapisan sel yang
menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, mudah dimasuki
oleh mikroorganisme atau bakteri karena tidak mengeluarkan lendir,
sehingga dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Bila terjadi
pada permukaan dinding usus akan menyebabkan diare. Perubahan pada
permukaan saluran kemih dan kelamin dapat menimbulkan infeksi pada
ginjal dan kantung kemih serta vagina. Perubahan ini dapat pula
mengakibatkan endapan kalsium yang dapat menyebabkan batu ginjal
dan gangguan kantung kemih. Disamping itu, kekurangan Vitamin A
pada anak-anak dapat menyebabkan komplikasi pada campak yang dapat
menyebabkan kematian. Vitamin A juga disebut sebagai Vitamin anti-
infeksi (Adriani & Wiratmadi, 2012).
2.1.5.4 Perubahan pada Kulit
Hiperkeratinosisfolikular merupakan suatu kondisi dimana kulit
menjadi kering dan kasar, folikel rambut menjadi kasar, mengeras, dan
mengalami keratinisasi. Awalnya terkena pada lengan dan paha,
kemudian dapat menyebar ke seluruh tubuh. (Adriani & Wiratmadi,
2012).
2.1.5.5 Gangguan Penglihatan
Kekurangan Vitamin A dapat menghambat pertumbuhan sel-sel,
termasuk sel-sel tulang. Pada gigi fungsi sel-sel yang membentuk email
pada gigi terganggu dan terjadi atrofi sel-sel yang membentuk dentin,
sehingga gigi mudah rusak (Adriani & Wiratmadi, 2012).
15

2.1.6 Angka Kecukupan Vitamin A


Berdasarkan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 2013,
menyatakan bahwa angka kecukupan vitamin A berdasarkan golongan
usia adalah sebagai berikut :
Tabel 4 : Angka kecukupan gizi vitamin A berdasarkan golongan usia
Golongan umur Angka Golongan umur Angka
Kecukupan Gizi Kecukup
(Retino an Gizi
Ekivalen) (Retino
(mcg) Ekivalen
/orang/hari )
(mcg)/or
ang/hari
Bayi atau anak Ibu hamil
 0-6 bulan 375  Trimester I +300
 7-12 400  Trimester II +300
bulan  Trimester III +350
 1-3 tahun 400 Ibu menyusui
 4-6 tahun 450  6 bulan +350
 7-9 tahun 500 pertama
 6 bulan kedua +350
Laki-laki Perempuan
 10-12 600  10-12 tahun 500
tahun  13-15 tahun 500
 13-15 600  16-18 tahun 500
tahun  19-29 tahun 500
 16-18 600  30-49 tahun 500
tahun  50-64 tahun 500
 19-29 600 500
 65-80 tahun
tahun 500
 80+ tahun
 30-49 600
tahun
 50-64 600
tahun
600
 65-80
tahun
600
 80+
tahun

2.1.7 Kelebihan Vitamin A


16

Kelebihan vitamin A hanya dapat terjadi apabila memakan vitamin


A suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000
RE untuk jangka waktu lama atau 40.000 – 55.000 RE/hari. Pada orang
dewasa gejala yang mungkin timbul antara lain sakit kepala, pusing, rambut
rontok, kulit mengering, tidak ada nafsu makan atau anoreksia, dan sakit
pada tulang. Pada bayi, akan terjadi pembesaran kepala, hidrosefalus, dan
mudah tersinggung, yang dapat terjadi pada konsumsi 8000 RE/hari selama
30 hari. Gejala kelebihan ini hanya terjadi bila dimakan dalam bentuk
vitamin A (Adriani & Wiratmadi, 2012).

2.2 Pengetahuan
2.2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu hasil dari proses pembelajaran yang didapat
seseorang setelah melakukan pengindraan melalui panca indra manusia yakni
indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2012).
2.2.2 Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkatan :
1. Tahu (know) merupakan suatu kemampuan untuk mengingat kembali
suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkat
pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang
spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima.
2. Memahami (Comprehension) merupakan suatu kemampuan menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang dapat
menjelaskan, menyebutkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek
yang dipelajari dapat dikategorikan sebagai orang yang telah paham
terhadap suatu objek atau materi.
17

3. Aplikasi (application) merupakan suatu kemampuan untuk menggunakan


materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya (rill).
Aplikasi yang dimaksud juga dapat diartikan sebagai penggunaan
hukum-hukum, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau
situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis) merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan
suatu materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi
masih didalam suatu struktur organisasi tersebut. Dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Penggunaan kata-kata kerja yang dapat
menggambarkan (membuat bagan) membedakan memisahkan,
mengelompokan dan sebagainya akan dapat menilai tingkat pengetahuan
ini.
5. Sintesis (synthesis) merupakan suatu kemampuan seseorang untuk
menerangkan atau meletakan satu hubungan yang logis dari komponen-
komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis
merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi dari formulasi-
formulasi yang telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas
dengan kata-kata atau kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca
atau didengarkan dan dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang
telah di baca.
6. Evaluasi (Evaluation) merupakan suatu kemampuan yang merujuk untuk
melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek. Dinilai
berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-
kriteria yang ada. Misalnya: dapat membandingkan anak-anak yang
cukup gizi dengan anak-anak yang kekurangan gizi.
2.2.3 Sumber-sumber pengetahuan
Menurut Notoatmodjo, (2007), terdapat beberapa sumber pengetahuan
antara lain sebagai berikut:
1. Kepercayaan berdasarkan tradisi, adat, dan agama
Norma-norma dan kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan
dalam kehidupan sehari-hari merupakan suatu bentuk kepercayaan
18

berdasarkan tradisi, adat, dan agama. Didalam norma dan kaidah tersebut
terdapat pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara
rasional dan empiris, tetapi sulit dikritik dan diubah. Jadi, harus diikuti
tanpa adanya keraguan didalam nya. Pengetahuan yang bersumber dari
kepecayaan cenderung bersifat tetap (mapan) dan subjektif.
2. Pengetahuan yang berdasarkan pada otoritas kesaksian orang lain
Pengetahuan ini biasa didapat dari orang tua, guru, ulama, orang
yang dituakan, dan lain sebagainya, apa yang mereka katakana, baik atau
buruk, benar atau salah, dan bagus atau pun jelek, pada umumnya di ikuti
dan dijalani dengan patuh, karna kebanyakan orang mempercayai mereka
sebagai orang yang berpengalaman dan berpengetahuan luas.
Sumber pengetahuan ini mengandung kebenaran tetapi,
persoalannya terletak pada sejauh mana kesaksian pengetahuannya itu
merupakan hasil pemikiran dan pengalaman yang telah teruji
kebenarannya. Jika kesaksiannya adalah bohong, hal ini akan
membahayakan kehidupan manusia dan masyarakat itu sendiri.
3. Pengalaman
Bagi manusia, pengalaman merupakan suatu peran penting dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah
dan kulit, orang bisa menyaksikan secara langsung dan bisa pula
melakukan kegiatan hidup.
4. Akal pikiran
Akal pikiran memiliki sifat lebih rohani. Akal pikiran mampu
menerima hal-hal yang metafisis, spiritual, abstrak, universal, seragam
yang bersifat tetap dan cenderung memberikan pengetahuan yang lebih
umum, objektif, dan pasti.
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi
pengetahuan seseorang adalah :
1. Pendidikan, pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang
berarti. Dalam proses pendidikan tersebut, terjadi proses pertumbuhan,
19

pekembangan kedewasaan, pematangan pada diri individu, kelompok, atau


masyarakat.
2. Informasi, dengan adanya pemberian informasi terhadap suatu individu
diharapkan terjadi tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku kelompok
sasaran berdasarkan kesadaran dan kemauan individu yang bersangkutan.
3. Sosial budaya, manusia mempelajari perilaku dari orang disekitar dan
lingkungan sosialnya. Hampir segala sesuatu yang dilakukannya berkaitan
dengan orang lain dan dipelajari dari lingkungan sosial budaya.
4. Pengalaman, pengalaman yang disusun secara sistematis oleh otak, adalah
merupakan suatu pengetahuan. Seluruh pengalaman pribadi dapat
merupakan sumber pengetahuan untuk menarik kesimpulan dan
pengalaman.
5. Sosial ekonomi, merupakan tingkat kemampuan seseorang untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Semakin tinggi kemampuan sosial ekonomi,
semakin mudah seseorang mendapatkan pengetahuan. Pengetahuan juga
diperoleh dari kenyataan, dari melihat dan mendengar sendiri serta melalui
alat-alat komunikasi, misalnya dengan membaca surat kabar,
mendengarkan radio, atau pun menonton televisi.
2.2.5 Cara Mengukur Tingkat Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
kuisioner yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan pengetahuan
tersebut (Notoatmodjo, 2012).
2.3 Perilaku atau Tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2012), suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior). Sikap bisa diwujudkan menjadi suatu
perbuatan nyata yang memerlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan.
Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :
1. Respon terpimpin (guided response)
20

Indikator praktek tingkat dua adalah dapat melakukan sesuatu sesuai


dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
2. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah
mencapai praktek tingkat tiga.
3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik.
Meskipun perilaku merupakan suatu bentuk respons atau reaksi terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar individu, namun dalam memberikan respon
sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang tersebut.
Hal ini disimpulkan meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun bagi
setiap orang memiliki respon yang berbeda-beda. Faktor-faktor yang membuat
perbedaan respons terhadap stimulus disebut determinan perilaku. Determinan
perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Determinan atau faktor internal, yaitu faktor yang bersangkutan dengan
karakteristik orang tersebut yang bersifat given atau bawaan, misalnya:
tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yaitu faktor yang bersangkutan dengan
karakteristik lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini juga merupakan faktor yang
disebut dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa perilaku manusia merupakan
suatu totalitas dari penghayatan dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil
bersamaan atau resultan antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor
eksterna. Seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu ke
dalam tiga domain, sesuai dengan tujuan pendidikan. Bloom menyatakan ranah
atau kawasan yaitu: a) Kognitif (cognitive), b) afektif (afektif), c) psikomotor
(phychomotor) (Notoatmodjo, 2012).
21

Dalam perkembangan, teori Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil


pendidikan kesehatan yakni :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan suatu hasil dari proses pembelajaran yang didapat
seseorang setelah melakukan pengindraan melalui panca indra manusia
yakni : indra penglihatan, indra pendengaran, indra penciuman, indra rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2012).
2. Sikap (attitude)
Sikap adalah suatu reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap adalah suatu kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek yang berada di lingkungan tertentu sebagai suatu
penghayatan terhadap objek.
a. Komponen pokok sikap
Menurut Allport (1954) menjelaskan bahwa ada tiga komponen pokok
sikap yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Ketiga komponen ini membentuk sikap yang utuh (total
attitude) secara bersama-sama. Pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan
emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh
ini,.
b. Berbagai tingkatan sikap
Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :
1. Menerima (receiving)
Dapat diartikan sebagai seseorang (subjek) yang mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap
orang terhadap gizi dapat diperhatikan dari kesediaan dan perhatian
orang terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
22

2. Merespons (responding)
Suatu indikasi dari sikap merupakan suatu tindakan dalam
memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerakan tugas yang
diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah
berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Suatu indikasi sikap tingkat tiga adalah dengan mengajak orang
lain mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. Misalnya
seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya
dan sebagainya) untuk datang ke posyandu menimbangkan
anaknya atau mendiskusikan tentang gizi merupakan suatu bukti
bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi
anak.
4. Bertanggung jawab (responsible)
suatu sikap yang paling tinggi adalah dengan bertanggung jawab
atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko
adalah. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun
mendapat tentang dari mertua atau orang tuanya sendiri.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek (Notoatmodjo, 2012).
3. Praktik atau tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2012), suatu sikap belum otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior). Sikap bisa diwujudkan menjadi suatu
perbuatan nyata yang memerlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Sikap ibu yang positif kepada
imunisasi harus mendapat konfirmasi dari suaminya, dan ada fasilitas
imunisasi yang mudah dicapai, agar ibu tersebut mengimunisasikan foktor
23

pendukung (support) dari pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua
atau mertua, dan lain-lain.
Teori lain yang telah mencoba untuk mengungkap determinan perilaku
dari analisa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku
yang berhubungan dengan kesehatan, yaitu:
1. Teori Lawrence Green
Green mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyrakat dapat dipengaruhi oleh dua faktor
utama, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar
perilaku (non-behavior causes). Selain itu perilaku itu sendiri
ditentukan oleh tiga faktor yaitu:
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), merupakan faktor
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan
nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), merupakan faktor
yang terwujud dalam lingkungan fisik, ketersediaan atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan,
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban,
dan sebagainya.
c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), merupakan faktor
yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau
petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku
masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku seseorang
atau masyarakat tentang kesehatan dapat ditentukan oleh pengetahuan,
sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat
yang bersangkutan. Terbentuknya perilaku juga didukung dan
diperkuat dengan ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku petugas
kesehatan terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2012).
24

2.4 Pendidikan Kesehatan.


Pendidikan merupakan suatu tujuan untuk memerangi kebodohan dan bisa
berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan untuk berusaha atau bekerja,
sehingga dapat meningkatkan penghasilan (ekonomi). Selanjutnya akan dapat
meningkatkan kemampuan mencegah penyakit, meningkatkan kemampuan
untuk menjaga dan meningkatkan kesehatannya. Pendidikan kesehatan
merupakan suatu bentuk pengaruh terutama terhadap faktor perilaku. Namun
demikian, ketiga faktor yang lain (lingkungan, pelayanan kesehatan, dan
hereditas) juga memerlukan intervensi pendidikan kesehatan (Notoatmodjo,
2012).
2.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi sikap ibu untuk memberikan
vitamin A dengan anak
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemberian Vitamin A pada balita di posyandu, maka
didapatkan faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian dengan
vitamin A adalah sebagai berikut :
2.5.1 Pengetahuan
Tingkat pendidikan ibu yang menjadi responden juga mempengaruhi
prilaku ibu dalam pemberian vitamin A kepada anaknya, hal ini disebabkan
dengan pendidikan yang cukup tinggi, maka daya serap ibu terhadap suatu
informasi atau ilmu juga akan semakin mudah, semakin tinggi pendidikan
dan pengetahuan ibu maka akan meningkatkan kesadaran ibu terhadap
pentingnya pemberian vitamin A pada bayi dan balita. Pada penelitian yang
telah dilakukan oleh Elizabet Puji Astuti pada tahun 2013 sebagian besar ibu
lulusan SLTA 23 responden (38,3%), untuk lulusan perguruan tinggi
sebanyak 20,0%, selebihnya lulusan SLTP dan ada juga yang lulusan SD.
Hal ini dikaitkan dengan pengetahuan ibu yang mayoritas cukup baik
(Astuti, 2013).
Pernyataan diatas didukung dengan penelitian Astuti (2013), di
Posyandu Dayu Makmur Sleman yang menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pengetahuan ibu dengan pemberian vitamin A
25

2.5.2 Peran kader posyandu dalam distribusi vitamin A


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Astuti (2013),
didapatkan hasil dari analisis univariat diketahui bahwa sebagian besar
responden sebanyak 48 responden (80,0%) memberikan penilaian baik
kepada kader dalam hal pendistribusian vitamin A, dan sebanyak 12
responden(20,0%) menilai kurang baik peran kader dalam memberikan
vitamin A pada balita yang datang ke posyandu. Kader juga seorang ibu
yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam melayani ibu-ibu
yang memiliki balita, kemampuan ibu satu dengan ibu yang lainnya
tentunya berbeda, untuk itu dari hasil ini juga menyebutkan beberapa ibu
kurang baik dalam berperan sebagai kader. Biasanya kader yang bertugas
memberi vitamin A di Posyandu merupakan tetangga di lingkungan
tersebut, sehingga ibu akan lebih mudah dan berani untuk meminta vitamin
A atau memberikan masukan kepada kader apabila pelayanannya kurang
sesuai, sehingga wajar apabila pada penelitian ini terdapat 80,0% ibu
menilai peran kader sudah baik dalam memberikan vitamin A maupun
melakukan aktifitas di posyandu (Astuti, 2013).
2.5.3 Umur
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Pinasang et al,
(2015) menunjukkan bahwa usia ibu yang memiliki partisipasi aktif pada
kegiatan posyandu terbanyak adalah usia 26-35 tahun. Pada hasil
penelitian ini di temukan hubungan yang bermakna antara usia dengan
partisipasi ibu dalam kegiatan posyandu. Hal ini disebabkan pada usia 26-
35 tahun sudah pola berfikir yang dimiliki sudah mulai matang, serta
sudah mempunyai pengalaman yang banyak dan sudah mampu mengambil
keputusan.
2.5.4 Pekerjaan dan Pendapatan
Faktor pekerjaan menunjukkan bahwa ibu yang memiliki partisipasi
aktif pada kegiatan posyandu lebih banyak pada ibu yang tidak bekerja,
berdasarkan data yang didapat dari uji chi square terdapat hubungan
bermakna antara status pekerjaan ibu dengan partisipasi ibu dalam
26

kegiatan posyandu. Seseorang yang memiliki pekerjaan dengan waktu


yang cukup padat dapat mempengaruhi partisipasi ibu dalam pelaksanaan
posyandu. Pada umum nya semakin tinggi aktivitas pekerjaan orang tua
semakin sulit untuk datang ke posyandu. Kemungkinan lainnya juga
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga yang cukup karena ada
kemungkinan lain mereka untuk datang ke pelayanan kesehatan yang lain
selain posyandu (Pinasang et al, 2015).
2.6 Hubungan pengetahuan ibu tentang manifestasi klinis defisiensi Vitamin
A dengan sikap ibu melakukan pemberian vitamin A kepada anak.
Pada penelitian Astuti (2013), ditemukan adanya hubungan pengetahuan
ibu tentang vitamin A dengan kepatuhan ibu memberikan vitamin A kepada
anak balita, hal ini dikarenakan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang
baik hingga sangat baik, dapat memahami pentingnya vitamin A bagi
kesehatan anak nya, dan hal ini juga di dukung oleh data yang di tunjukkan
dengan analisa uji statistik chi square sebesar 3,512 dengan p value sebesar
0,035 (p=0,035 < 0,05)
27

2.7 Kerangka Teori

- Pengetahuan ibu tentang


gambaran klinis defisiensi
Vitamin A

- Peran kader dalam


Perilaku ibu untuk
pemerataan distribusi
memberikan Vitamin
Vitamin A
A
- Umur ibu.

- Pekerjaan dan
Pendapatan

Gambar 9. Kerangka Teori


2.8 Kerangka Konsep

Pengetahuan ibu tentang perilaku ibu untuk


gambaran klinis defisiensi memberikan Vitamin
Vitamin A A

Gambar 10. Kerangka Konsep

2.9 Hipotesis Penelitian


Hipotesis pada penelitian ini adalah “Ada hubungan pengetahuan
ibu tentang manifestasi klinis defisiensi Vitamin A dengan sikap ibu
memberikan vitamin A kepada anak”.

Anda mungkin juga menyukai