Anda di halaman 1dari 13

DEMOKRASI DALAM AL-QUR’AN

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah Al-
Qur.‟an dan Wawasan Kebangsaan.

DOSEN PENGAMPU

Abdul Halim, S.Th.I, M.Ag

KELOMPOK 8

Wira Hadi Kusuma 4121011


Pajri Ramadhan 4121017
Nurhainan 4121057

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SJECH M. DJAMIL DJAMBEK


BUKITTINGGI

2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji bagi Allah S.W.T tuhan semesta


alam yang telah memberikan kesempatan dan kelancaran dalam menghadirkan
materi pembelajaran sesuai dengan tema yang telah diamanatkan. Shalawat
beserta salam tidak lupa kita panjatkan kepada utusan Allah SWT yang terakhir
yakni nabi Muhammad SAW yang telah menjadi garda terdepan dalam
menyebarkan cahaya Islam keseluruh penjuru bumi. Pembelajaran ini berupa
“Demokrasi dalam Al-Qur‟an” pada bidang studi “Al-Qur.‟an dan Wawasan
Kebangsaan”. Bersama dengan bimbingan Bapak dosen tercinta ustad Abdul
Halim, S.Th.I, M.Ag, kita akan membahas sesuatu yang relevan dengan keilmuan
Al-Qur.‟an dan Tafsir.
Apabila terdapat kecacatan dalam badan makalah dan presentasi yang kami
paparkan maka kami mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Kami berharap
kesalahan bukanlah menjadi faktor penghalang tersalurnya ilmu yang akan kita
pelajari bersama. Atas perhatian dan dukungannya kami selaku pemateri
mengucapkan terima kasih. Akhirul kalam wassalamu‟alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.

Bukittinggi, 28 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah ................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Demokrasi .......................................................................................... 2
B. Teori-Teori Demokrasi dalam Q.S Ali-Imran: 159 dan Q.S Asy-Syura: 38 .... 3
C. Pandangan Ulama tentang Demokrasi ............................................................. 7
BAB III PENUTUPAN
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 9
B. Saran ................................................................................................................. 9
DAFTAR KEPUSTAKAAN ..............................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu wacana yang cukup kontroversial di kalangan intelektual
muslim adalah demokrasi. Kontroversi di seputar wacana demokrasi memang
wajar terjadi. Sebab, demokrasi adalah barang asing yang datang bukan dari
Islam. Demokrasi datang dari dunia Barat yang memiliki akar hostoris dan
pandangan dunia yang berbeda dengan Islan. Demokrasi murni hasil dari
pemikiran manusia.
Dalam perdebatan tentang wacana demokrasi, intelektual muslim terbagi
dalam tiga kelompok. Pertama, mayoritas masyarakat Islam memisahkan
antara demokrasi dengan Islam. Kedua, sebagian masyarakat Islammengatakan
ada hubungan yang canggung antara Islam dan demokrasi. Ketiga, sebagian
masyarakat Islam lainnya menerima adanya hubungan antara Islam dan
demokrasi.
Dalam makalah ini, penyusun mencoba memaparkan tentang konsep
demokrasi dalam Al-Qur‟an. Penyusun mencoba menganalisa dan menjelaskan
berdasarkan Q.S Al-Imran: 159 dan Q.S Asy-Syura: 38.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana defenisi demokrasi ?
2. Bagaimana teori-teori demokrasi dalam Q.S Ali-Imran: 159 dan Q.S Asy-
Syura: 38 ?
3. Bagaimana pandangan ulama tetang demokrasi ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui defenisi demokrasi.
2. Memahami teori-teori demokrasi dalam Q.S Ali-Imran: 159 dan Q.S Asy-
Syura: 38.
3. Mengetahui pandangan ulama tentang demokrasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena
Kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh
awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu. Defenisi
modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan
sistem demokrasi dibanyak negara.1
Secara bahasa demokrasi berasal dari dua kata , yaitu demos yang
berarti rakyat dan kretos atau cratein yang berarti pemerintahan.2Secara
epitemologi, Abraham Lincoln mengatakan demokrasi adalah suatu
pemerintahan untuk rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi juga
merupakan gagasan politik yang dimana ia mengatur berbagai prinsip-prinsip
politik dan juga pemerintahan.3
Secara teoritik dapat dipahami bahwa sumber kedaulatan hukum bagi
negara yang menganut sistem demokrasi adalah rakyat, atau sederhananya kita
kenal dengan istilah “Suara rakyat adalah suara Tuhan.” Meski secara fakta
penerapan demokrasi memiliki varian-varian sesuai dengan situasi dan kondisi
suatu negara. Namun, dibalik varian-varian demokrasi, sejak dari klasik hingga
kontemporer ini, demokrasi tetap dikonotasikan kepada semboyan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat.4
Secara historis kemunculan demokrasi terinspirasi dari Yunani Kuno
yang mempraktekkan pelibatan seluruh warga kota dalam proses pengambilan
keputusan. Konsep Yunani tersebut digali lagi pada zaman pencerahan, yaitu
era perlawanan terhadap kekuasaan gereja dan kaisar yang sarat dengan

1
Aat Hidayat. “Syura dan demokrasi dalam Perspektif Al-Qur‟an”. Jurnal Addin. Vol. 9
No. 2 Agustus 2015.
2
Ibid.
3
Ilyas, Ahmad Faidlal. “Syura dan Demokrasi dalam Al-Qur‟an Perspektif al-Dakhil fi al-
Tafsir.” Jurnal JPIK. VOL. 1 No. 1 Maret 2018.
4
Ibid.

2
penyimpangan dan penindasan dengan mengatasnamanakan agama. Oleh
karena itu, muncullah gerakan reformasi gereja yang menentang dominasi
gereja. Dan menghendakinya disingkirkannya agama dari kehidupan dan
menuntut kebebasan. Puncaknya adalah pada revolusi Prancis pada tahun 1789
yang berujung pada sekularisme, yakni upaya kompromistik untuk
memisahkan gereja dari masyarakat, negara, dan politik.5
Pada masa itu, orang mencari model agar kekuasaan tidak dimonopoli
oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum bangsawan atau penguasa gereja,
ironinya, satu-satunya bahan yang tersedia bagi para pemikir abad pertengahan
adalah dari sejarah Yunani Kuno. Dari sejarah itulah mereka belajar bahwa di
kota Athena tempo dulu diterapkan satu sistem, yaitu seluruh warga kota turut
terlibat dalam proses pengambilan keputusan.6

B. Teori-Teori Demokrasi dalam Q.S Ali-Imran: 159 dan Q.S Asy-Syura: 38


1. Q.S Ali-Imran: 159

ِ َ ‫نت فَظِّا َغلِي‬ ِِ


‫ف‬
ُ ‫ٱع‬
‫ك فَ م‬ َ ‫ضوا ِم من َح مول‬ ِ ‫ظ ٱلم َق مل‬
ُّ ‫ب لَٱن َف‬ َ ‫نت ََلُ مم َولَ مو ُك‬
ٍ
َ ‫فَبِ َما َر مْحَة ِّم َن ٱللَّه ل‬
ُّ ‫ت فَتَ َوَّك مل َعلَى ٱللَّ ِه إِ َّن ٱللَّهَ ُُِي‬ ِ ‫عمن هم و‬
‫ب‬ َ ‫ٱستَ مغف مر ََلُ مم َو َشا ِومرُه مم ِِف مٱْل مَم ِر فَِإذَا َعَزمم‬
‫َ ُم َ م‬
ِ
َ ‫ٱلم ُمتَ َوِّكل‬
‫ي‬

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut


terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah
mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah
membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertawakal.”

Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya, al-Misbah mengatakan


bahwa ayat ini berbicara tentang tuntunan yang diarahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, sambil menyebutkan sikap lemah lembut Nabi Saw
5
Ibid.
6
Ibid.

3
kepada kaum muslimin, khususnya mereka yang melakukan kesalahan dan
pelanggaran dalam perang Uhud. Sebenarnya cukup banyak hal dalam
peristiwa perang Uhud yang dapat mengundang emosi manusia untuk
marah. Namun demikian, cukup banyak pula bukti yang menunjukkan
kelemah lembutan Nabi Saw. Beliau bermusyawarah dengan mereka
sebelum memutuskan berperang, beliau menerima usul mayoritas mereka,
walau beliau sendiri kurang berkenan. Beliau tidak memaki dan tidak
menyalahkan para pemanah yang meninggalkan markas mereka, tetapi
hanya menegur mereka dengan halus dan lain-lain.7
Salah satu yang menjadi penekanan pokok dalam ayat ini adalah
perintah melakukan musyawarah. Ini penting, karena petaka yang terjadi di
perang Uhud didahului oleh musyawarah, serta disetujui oleh mayoritas.
Kendati demikian, hasilnya sebagaimana telah diketahui adalah kegagalan.
Hasil ini boleh jadi mengantar seseorang untuk berkesimpulan bahwa
musyawarah tidak perlu dilakukan, apalagi bagi Rasulullah Saw. Nah,
karena itu ayat ini dipahami sebagai pesan untuk melakukan musyawarah.
Kesalahan yang dilakukan tanpa musyawarah dan kebenaran yang diraih
sendiri, tidak sebaik kebenaran yang diambil saat bersama.8
Selain perintah untuk berperilaku lembah lembut dan bermusyawarah,
nilai-nilai yang terkandung dalam Q.S Ali-Imran: 159 adalah sebagai
berikut:
a. Pemaaf
Kata pemaaf berasal dari kata al-„afwu yang terambil dari akar kata
yang terdiri dari huruf-huruf „ain, fa, dan wau. Makna dasarnya berkisar
pada dua hal yaitu “meninggalkan sesuatu” dan “memintanya”. Dari sini
lahir kata „afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang
bersalah.
Dalam Al-Qur‟an kata „afwu terdapat sebanyak 35 kali dengan
berbagai makna. Menariknya di dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan
7
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Volume 2. ( Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2005).
Hal. 255-256.
8
Ibid. Hal. 258.

4
perintah untuk meminta maaf. Tetapi, dalam Al-Qur‟an terdapat perintah
untuk memberi maaf. Ketiadaan perintah meminta maaf bukan berarti
tidak bersalah dan tidak diperintahkan untuk meminta maaf. Namun yang
lebih perlu adalah membimbing manusia agar berakhlak mulia sehingga
tidak menunggu orang meminta maaf baru dimaafkan.9
b. Bertawakkal kepada Allah Swt
Menurut bahasa tawakkal berasal dari al-Wakalah, yang artinya
mewakilkan. Sedangkan Abu Said al-Kharaz mengatakan bahwa
tawakkal adalah keadaan berbuat tanpa henti (berusaha) dan keadaan
tenang dengan tidak mengerjakan apa-apa (pasrah). Maksudnya adalah
melakukan perbuatan yang menyebabkan trjadinya sesuatu, serta pasrah
terhadap hasil dari pekerjaan atau perbuatan tersebut, hatinya tenang dan
senantiasa mengharapkan ridha-Nya.10
Tawakkal bukanlah pasrah sepenuhnya kepada Allah Swt dengan
menghilangkan sebuah usaha serta melupakan andil dirinya, akan tetapi
hendaknya seseorang dalam berusaha selalu memperhatikan sebab-sebab
lahiriyyah yang bisa mengantarkan ke arah keberhasilan, serta berusha
semaksimal mungkin untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan
memasrahkan hasilnya kepada Allah Swt.11
2. Q.S Asy-Syura: 38

‫ٱلصلَ ٰوةَ َوأ مَم ُرُه مم ُش َور ٰى بَمي نَ ُه مم َوِِمَّا َرَزقم ٰنَ ُه مم يُ ِنف ُقو َن‬
َّ ‫ٱستَ َجابُوا لَِرِِّّبِ مم َوأَقَ ُاموا‬
‫ين م‬
ِ َّ
َ ‫َوٱلذ‬

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan


melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

9
Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur‟an.
(Jakarta: Erlangga, 2006). Hal. 228
10
Yusuf Qardhawi. Tawakkal: Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan Hakiki.
(Jakarta: P.T Al-Mawardi Prima, 2004). Hal. 21
11
Muhammad Rifa‟i Subhi. Tasawuf Modern: Paradigma Alternatif Pendidikan Islam.
(Pemalang: Alrif Management, 2012). Hal. 48-49.

5
Ayat ini turun sebagai pujian kepada muslim Madinah yang bersedia
menerima Nabi Muhamad Saw dan menyepakati hal tersebut melalui
musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub al-Anshari.
Namun demikian, ayat ini berlaku umum mencakup semua kelompok
masyarakat yang hendak melaksanakan musyawarah.12
Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ‫َوٱلَّ ِذيهَ ٱ ْستَ َجابُىا لِ َزبِّ ِه ْم‬
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-Nya”,
yakni mengikuti Rasul-Nya, menaati perintah-Nya, dan menjauhi larangan-
َّ ‫“ َوأَقَا ُمىا ٱل‬Dan mendirikan shalat”. Dan shalat merupakan ibadah
Nya. َ‫صلَ ٰىة‬
terbesar kepada Allah Swt. ‫“ َوأَ ْم ُزهُ ْم ُشى َر ٰي بَ ْينَهُ ْم‬Sedang urusan mereka
diputuskan dengan musyawarah antara mereka”, yaitu, mereka tidak
menunaikan satu urusan hingga mereka bermusyawarah agar mereka saling
dukung-mendukung dengan pendapat mereka, seperti dalam peperangan dan
urusan sejenisnya. Sebagaimana Allah Swt berfirman ‫َاورْ هُ ْم فًِ ْٱْلَ ْمز‬
ِ ‫“ َوش‬Dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (Q.S Ali-Imran:
159).13
Untuk itu Rasulullah Saw bermusyawarah dengan para sahabatdalam
menentukan peperangan dan urusan sejenisnya. Agar hati mereka menjadi
baik. Demikian pula ketika Umar bin Khatab menjelang wafat setelah
ditusuk oleh seseorang, dijadikan masalah kepemimpinan sesudahnya
berdasarkan musyawarah enam orang sahabat, Ustman, Ali, Thalhah, az-
Zubir, Sa‟ad, dan Abdurrahman bin Auf. Maka paa sahabat bermufakat
untuk mengangkat Ustman.14
Menurut Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya al-Misbah ‫َو ِم َّما َر َس ْق ٰنَهُ ْم‬
َ‫ يُنفِقُىن‬mengisyaratkan bahwa kaum yang beriman itu bekerja dan bekerja
sebaik mungkin sehingga dapat memperoleh hasil yang melebihi kebutuhan
jangka pendek dan mencegah mereka sehingga dapat membantu orang lain.

12
Sohrah. “Konsep Syura dan Gagasan dan Demokrasi (Telaah Ayat-Ayat Al-Qur‟an)”.
Jurnal al-Daulah. Vol. 4 No. 1 Juni 2015.
13
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7.3. Terj. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan al-Atsari.
(Padang: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2004). Hal. 259.
14
Ibid.

6
Al-Qur‟an tidak menjelaskan bagaimana bentuk musyawarah yang
dianjurkan. Ini untuk memberi kesempatan kepada setiap masyarakat
menyusun bentuk musyawarah yang mereka inginkan sesuai dengan
perkembangan dan ciri masyarakat masing-masing.15

C. Pandangan Ulama tentang Demokrasi


Para ulama berbeda pandangan tentang demokrasi. Ada yang menerima
dan ada juga yang menolak, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Al-Maududi
Beliau merupakam salah satu ulama yang menolak demokrasi.
Menurutnya Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan
kekuasaan besar kepada rakyat. Demokrasi merupakan buatan manusia
sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Ia menganggap demokrasi merupakan suatu hal yang
syirik, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukun Tuhan).16
2. Muhammad Iqbal
Beliau berpendapat bahwa demokrasi yang diyakini dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen
sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Untuk
itu, Muhammad Iqbal tidak bisa menerima model demokrasi Barat yang
telah kehilangan basis moral spiritual. Ia menawarkan sebuah demokrasi
yang dilandasi etik dan moral ketuhanan.17
3. Yusuf al-Qardhawi
Beliau memandang demokrasi sesuai dengan Islam. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa hal diantaranya, pertama, dalam pemilihan kandidat
pemimpin melibatkan banyak orang. Kedua, penetapan hukum yang

15
M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah Volume 12. ( Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2005).
Hal. 512.
16
Farida Nur „Afifah. “Demokrasi dalam Al-Qur‟an: Implementasi Demokrasi di
Indonesia”. Jurnal Kaca Lulusan Ushuluddin STAI Al-Fithrah. Vol. 10 No. 1 Februari 2020.
17
Ibid.

7
berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam.
Ketiga, kebebasan pers dan mengeluarkan pendapat, serta otoritas
pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan
Islam.18
4. Syaikh Fadillah Nuri
Beliau merupakan seorang ulama Iran. Menurutnya, prinsip
demokrasi mempunyai satu kunci yaitu persamaan semua warga negara.
Sedangkan dalam Islam hal itu tidak mungkin karena terdapat banyak
perbedaan. Perbedaan yang tidak mungkin dihindari misalnya antara yang
beriman dengan yang tidak beriman, antara ahli hukum Islam dan
pengikutnya. Dalam Islam tidak seorang pun yang dibolehkan mengatur
hukum, karena tugas manusia hanya menjalankan hukum-hukum Tuhan.19
5. Sayyid Qutb
Beliau sangat menentang konsep demokrasi. Karena demokrasi
mempunyai gagasan yaitu kedaulatan rakyat. Baginya ini merupakan
sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan. Menentang kekuasaan
Tuhan merupakan salah satu bentuk kebodohan pra Islam.20

18
Ibid.
19
Piqih Yandriani. Nilai Demokrasi dalam Tafsir al-Jabiri dan M. Quraish Shihab.
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2022). Hal. 31.
20
Ibid.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokrasi bukanlah akhir dari sebuah sistem yang dijadikan landasan
bagi sebuah negara, karena pada dasarnya demokrasi adalah suatu cara bukan
tujuan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi merupakan satu-
satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berlandasan
pada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-Qur‟an. Demokrasi merupakan sebuah
cara untuk memaami rakyat dalam suatu negara, yang membutuhkan
pertolongan melalui ide dan gagasan untuk menciptakan kebijaksanaan yang
tepat, berbuat adil, bermusyawarah adalah bentuk kewajiban dan anjuran yang
diajarakan Al-Qur‟an mencerminkan ajaran demokrasi.

B. Saran
Pemahaman lebih lanjut, pembaca dapat merujuk pada referensi yang
telah penyusun cantumkan atau pada referensi-referensi yang lebih
mendukung.

9
DAFTAR KEPUSTAKAAN

„Afifah Farida Nur. 2020. “Demokrasi dalam Al-Qur‟an: Implementasi


Demokrasi di Indonesia”. Jurnal Kaca Lulusan Ushuluddin STAI Al-
Fithrah. Vol. 10 No. 1.
Hidayat, Aat. 2015. “Syura dan demokrasi dalam Perspektif Al-Qur‟an”. Jurnal
Addin. Vol. 9 No. 2.
Ilyas, Ahmad Faidlal. 2018. “Syura dan Demokrasi dalam Al-Qur‟an Perspektif
al-Dakhil fi al-Tafsir.” Jurnal JPIK. VOL. 1 No. 1.
Katsir, Ibnu. 2004. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7.3. Terj. Abdul Ghoffar, Abu Ihsan al-
Atsari. Padang: Pustaka Imam asy-Syafi‟i.
Nurdin, Ali. 2006. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam
Al-Qur‟an. Jakarta: Erlangga.
Qardhawi, Yusuf. 2004. Tawakkal: Jalan Menuju Keberhasilan dan Kebahagiaan
Hakiki. Jakarta: P.T Al-Mawardi Prima.
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misbah Volume 2. Ciputat: Penerbit Lentera
Hati.
Shihab, M. Quraish. 2005. Tafsir al-Misbah Volume 12. Ciputat: Penerbit Lentera
Hati.
Sohrah. 2015. “Konsep Syura dan Gagasan dan Demokrasi (Telaah Ayat-Ayat Al-
Qur‟an)”. Jurnal al-Daulah. Vol. 4 No. 1.
Subhi, Muhammad Rifa‟i. 2012. Tasawuf Modern: Paradigma Alternatif
Pendidikan Islam. Pemalang: Alrif Management.
Yandriani, Piqih. 2022. Nilai Demokrasi dalam Tafsir al-Jabiri dan M. Quraish
Shihab. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

10

Anda mungkin juga menyukai