Anda di halaman 1dari 17

Ekonomic Value Of Money

Syaeful Anwar
Syaefulanwar997@gmail.com

ABSTRAK

Dalam dunia ekonomi khususnya dalam permasalahan moneter dan fiskal


semua nya berkaitan dengan “uang”. Uang merupakan suatu alat pembayaran dan
pemenuhan bagi kehidupan perekonomian. Berkenaan dengan masalah uang,
sistem ekonomi yang berlaku memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan utama
antara ekonomi konvesional dan ekonomi syariah terletak pada cara pandang
filosofinya. Ekonomi konvensional mengenal konsep Time Value of Money yaitu
berpandangan bahwa nilai uang yang dimiliki saat ini lebih berharga dibandingkan
dengan nilai uang di masa yang akan datang. Sedangkan ekonomi syariah mengenal
konsep Economic Value of Time yaitu konsep yang menyatakan bahwa waktulah
yang memiliki nilai ekonomis, bukan uang yang memiliki nilai waktu.

Kata kunci : Ekonomi, Nilai dan Uang.

ABSTRACT

In the world of economics, especially in monetary and fiscal matters all


are related to "money". Money is a means of payment and fulfillment for the
life of the economy. With regard to money problems, the prevailing economic
system has a different view. The main difference between conventional
economics and Islamic economics lies in the perspective of philosophy.
Conventional economy recognizes the concept of Time Value of Money, which
is of the view that the value of money held today is more valuable than the
value of money in the future. While Islamic economics knows the concept of
Economic Value of Time, the concept that states that time has economic value,
not money that has a time value.

Keywords : Economic, Value, and Money

Pendahuluan

Dalam dunia ekonomi khususnya dalam permasalahan moneter dan fiskal


semua nya berkaitan dengan “uang”. Uang merupakan suatu alat pembayaran dan
pemenuhan bagi kehidupan perekonomian. Berkenaan dengan masalah uang,

1
sistem ekonomi yang berlaku memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan utama
antara ekonomi konvesional dan ekonomi syariah terletak pada cara pandang
filosofinya. Ekonomi konvensional mengenal konsep Time Value of Money yaitu
berpandangan bahwa nilai uang yang dimiliki saat ini lebih berharga dibandingkan
dengan nilai uang di masa yang akan datang. Sedangkan ekonomi syariah mengenal
konsep Economic Value of Time yaitu konsep yang menyatakan bahwa waktulah
yang memiliki nilai ekonomis, bukan uang yang memiliki nilai waktu.

Kajian Pustaka

Time value of money


Dalam ekonomi konvensional time value of money didefinisikan sebagai
berikut:
“Satu dollar hari ini lebih berharga daripada satu dollar di masa depan karena
satu dollar hari ini bisa diinvestasikan untuk mendapatkan pengembalian”.1
Pengertian ini tidaklah akurat karena setiap investasi memiliki peluang untung
mendapatkan hasil positif, negatif dan impas (no return). Itu sebabnya dalam teori
keuangan selalu dikenal hubungan antara risk-return.2
Time value of money juga merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa
nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang
atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena
perbedaan waktu.3 Menurut Willian R. Lasher mengemukakan bahwa time value of
money didasarkan pada gagasan bahwa sejumlah uang di tangan seseorang saat ini
bernilai lebih dari jumlah yang sama dijanjikan pada beberapa waktu di masa depan.
4

Dalam sistem ekonomi konvensional, konsep nilai waktu uang memiliki


pengaruh signifikan dalam pengelolaan berbagai aktivitas ekonomi. Konsep nilai
waktu uang berpengaruh banyak pada berbagai keputusan dan teknik keuangan,
seperti keputusan investasi (penganggaran modal), biaya modal, struktur modal,

1 Dedi Suselo. Dunia Manajemen. http://dedisuselopress.blogspot.co.id/2015/11/time-value-of-


money-and-economic-value.html. Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 20.00
2 Adiwarman Karim. Ekonomi Makro Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.2010), hlm. 40
3 Mauizhotul Hasanah. Time Value of Money VS Economic Value of Time.
http://makalahmauizhotul.blogspot.co.id/2015/07/time-value-of-money-vs-economic-value.html.
Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.33

4 William R. Lasher. Financial Management: a Practical Approach. (USA: Thomson South-


Western. 2008), hlm. 221

2
penilaian sekuritas seperti saham dan obligasi, perhitungan amortisasi hutang,
kebijakan dividen, dan lain-lainnya.5

Economic Value of Time


Economic value of time adalah sebuah konsep dimana waktulah yang
memiliki nilai ekonomi, bukanlah uang memiliki nilai waktu. Economic value of
time memiliki arti memaksimumkan nilai ekonomis suatu dana pada periodik
waktu.6
Di dalam islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang
dicari adalah keuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu
itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun juga harus didasari dengan
keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat.
Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan di dunia
berarti keimanan yang tidak diamalkan.7

2.2 Konsep Economic Value of Time

Islam tidak mengenal konsep dasar perhitungan pada kontrak berbasis


Economic value of time adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil
dalam perhitungan kontrak yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing).
Konsep bagi hasil (profit sharing) berdampak pada tingkat nisbah yang
menjadi perjanjian kontrak dua belah pihak. Transaksi bagi hasil berbeda dengan
transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil
hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau penyewa dengan yang
menyewakan.8
Penentuan nisbah bagi hasil harus dilakukan diawal maka digunakanlah
project return. Jika ternyata acual return dari bisnis yang di biayai tidak sama
dengan proyeksinya, maka yang digunakan adalah angka actual, bukan angka

5 Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Syariah (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. 2010), hlm.
863
6 Muhammad Ibnu Soim. Economic Value of Time. http://ibnu-soim.blogspot.co.id/2014/05/bab-i-
economic-value-of-time.html. Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 20.23
7 Hasnah. Konsep Time Value of Money dan Economic Value of Time.
http://hasnah921.blogspot.co.id/2015/09/kaidah-fiqhiyah-al-umuuru-bi.html, Diakses pada 24
Mei 2018, pkl 21.30
8 Adiwarman Karim.. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi Makro. (Jakarta: IIIT Indonesia.
2002), hlm.160

3
proyeksi. Hal ini menunjukan bahwa Islam tidak mengenal time value of money.
Tetapi waktu mempunyai nilai ekonomi jika waktu tersebut dimanfaatkan dengan
menambah faktor produksi yang lain, sehingga menjadi capital dan memperoleh
return.9
Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam memformulasikan konsep EVT
(Economic Value of Time), yaitu:
1. Harta harus berputar tidak boleh diam.
2. Semakin sering berputar maka akan semakin berkembang.
3. Masa depan tidak pasti hasilnya, bisa positif/negatif/impas.
4. Return bisnis masa depan dapat diproyeksikan.
5. Hasil aktual tidak selamanya sama dengan hasil yang diproyeksikan.10

2.3 Kritik atas Time Value of Money


Sebagaian besar teori mengenai keuangan dibangun berdasarkan konsep
nilai dan waktu dari uang yang mengasumsikan bahwa uang sekarang relatif lebih
besar dibandingkan dengan uang dimasa yang akan datang. Ekonomi Islam
memiliki prinsip yang yang berasal dari sumber hukum baik al-Qur'an dan hadits
maupun pemikiran cendikiawan muslim. Nilai fundamental ini yang mendasari
pandangan ekonom muslim dalam melahirkan pemikirannya, termasuk mengkaji
fungsi uang dalam kehidupan ekonomi. Menurut pendapat mereka fungsi uang
hanya ada dua yaitu:
1. Sebagai alat pengukur harga
2. Alat pembayaran
Fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai tidak diakui karena dianggap sesuatu
yang mendekati riba. Fungsi uang yang dilarang inilah yang sebenarnya melahirkan
teori time value of money. Dalam Ekonomi Islam, validitas konsep ini telah
dibantah argumentasinya dengan adanya pelarangan riba dalam Islam. Sebagai

9 Mauizhotul Hasanah. Time Value of Money VS Economic Value of Time.


http://makalahmauizhotul.blogspot.co.id/2015/07/time-value-of-money-vs-economic-value.html.
Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.33
10 Dedi Suselo. Dunia Manajemen. http://dedisuselopress.blogspot.co.id/2015/11/time-value-of-
money-and-economic-value.html. Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 20.00

4
gantinya, aktivitas bisnis dalam Ekonomi Islam selalu menekankan kepada
mekanisme sistem bagi hasil.11
Menurut pendapat para Ekonom konvensional, ada dua hal yang menjadi
pondasi konsep time value of money yaitu:
1. Kehadiran dari Inflasi (Presence of Inflation)
Katakanlah tingkat inflasi 10% per tahun. Seseorang dapat membeli sepuluh
potong pisang goreng hari ini dengan membayar sejumlah Rp 10.000,-. Namun bila
ia membelinya tahun depan, dengan jumlah uang yang sama, yaitu Rp 10.000,-, ia
hanya dapat membeli sembilan potong pisang goreng. Oleh karena itu ia akan
meminta kompensasi untuk hilangnya daya beli uangnya akibat infalsi.
2. Preferensi konsumsi sekarang untuk konsumsi masa depan (preference
present consumption to future consumtion)
Bagi umumnya individu, present consumption lebih disukai daripada future
consumption. Katakanlah tingkat inflasi nihil, sehingga dengan uang Rp 10.000,-
seseorang tetap dapat membeli sepuluh pisang goreng hari ini maupun tahun depan.
Bagi kebanyakan orang, mengkonsumsi sepuluh pisang goreng hari ini lebih
disukai dari pada mengkonsumsi sepuluh pisang goreng tahun depan. 12

Kritik yang diambil dari teori time value of money yaitu:


1. Menggunakan sistem bunga.
Time value of money sangat erat kaitannya dengan riba, karena waktu diberikan
nilai harga secara tersendiri bisa menyebabkan terjadinya riba al-nasiah. Aplikasi
nilai waktu uang yang seperti ini dapat dilihat dalam kontrak pinjam-meminjam
atau sewa menyewa yang mengenakan bunga sebagai keuntungan karena nilai
bunga yang dikenakan adalah semata-mata imbalan kepada al-ajal. Oleh karena itu
al-ajal dalam hal ini adalah diharamkan oleh syara’.
Aplikasi konsep nilai waktu uang haruslah bebas dari unsur-unsur riba, namun
nilai waktu uang tidak dianggap riba jika waktu tersebut diberikan imbalan uang

11 Mauizhotul Hasanah. Time Value of Money VS Economic Value of Time.


http://makalahmauizhotul.blogspot.co.id/2015/07/time-value-of-money-vs-economic-value.html.
Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.33
12 Hasnah. Konsep Time Value of Money dan Economic Value of Time.
http://hasnah921.blogspot.co.id/2015/09/kaidah-fiqhiyah-al-umuuru-bi.html, Diakses pada 24
Mei 2018, pkl 21.30

5
secara bersama-sama atau secara tidak langsung seperti dalam jual beli tangguh dan
kontrak murabahah. Dalam jual beli ini, dimensi waktu al-ajal diberikan imbalan
uang secara bersama dengan harga barang yang dijual secara tangguh. Kewujudan
harga barang tersebut menyebabkan dimensi waktu al-ajal tidak diberikan imbalan
uang secara tersendiri atau sebaliknya imbalan uang diberikan secara tidak
langsung. Situasi ini ternyata bebas dari unsur riba yang dapat membawa kepada
unsur negatif.
2. Adanya unsur ketidak pastian (gharar)
3. Hanya menghitung inflasi
4. Tidak berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist 13

2.4 Perbedaan antara Time Value of Money dan Economic Value of Time
Ekonomi konvensional tidak mengabaikan laba (return) yang akan
diterima. Kompensasi terhadap ketidakpastian return menurut ekonomi
konvensional adalah discount rate. Dibandingkan dengan interest rate, istilah
discount rate lebih bersifat umum.
Dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian return dikonversi menjadi
kepastian melalui premium for uncertainly. Dalam setiap investasi selalu ada
probabilitas atau kemungkinan mendapatkan positive return. Kemungkinan ini
menimbulkan uncertainty (ketidakpastian). Selanjutnya kemungkinan
mendapatkan negative return dan no return diperlukan dengan sesuatu yang pasti
(premium for uncertainty).
Ekonomi syariah menolak keadaan yang disebut al ghunmu bilaghurmi dan
al kharaj biladhaman. Keadaan yang ditolak oleh teori ilmu keuangan berdasarkan
prinsip return goes along with risk. Dalam ekonmi syariah, penggunaan sejenis
discount rate dalam menentukan harga mu’ajjal (bayar tangguh) dapat dibenerkan
karena pertimbangan berikut:
o Jual beli dan sewa menyewa adalah sector riil yang menimbulkan economic
value added (nilai tambah ekonomis)
o Tertahannya hak si penjual yang telah melaksanakan kewajiban dengan
menyerahkan barang dan jasa sehingga ia tidak dapat melaksanakan
kewajibannya kepada pihak lain.
Discount Rate dapat pula digunakan dalam menentukan nisbah bagi hasil.
Dalam hal ini, nishbah dikalikan actusl return, bukan dengan expented return.
Transaksi bagi hasil bebeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa
menyewa. Sebab, dalam transaksi bagi hasil, hubungan yang tercipta bukan penjual
dan pembeli, atau penyewa dan yang menyewakan, melainkan antara pemodal dan

13 Mauizhotul Hasanah. Time Value of Money VS Economic Value of Time.


http://makalahmauizhotul.blogspot.co.id/2015/07/time-value-of-money-vs-economic-value.html.
Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.33

6
yang memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi mereka berdua timbul ketika
usaha memproduktifkan modal tersebut menghasilkan pendapatan atau
keuntungan. Mereka berbagi hasil atas pendapatan atau keuntungan tersebut sesuai
dengan kesepakatan awal, baik berdasarkan pendapatan atau berdasarkan
keuntungan.14

Tabel perbedaan Interest Rate dengan Discount Rate dalam Pandangan


Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Syari’ah

Certainty Return Uncertainty Return


Ekonomi Ekonomi Ekonomi Ekonomi
Konvensional Syari'ah Konvensional Syari'ah

14 Adiwarman Karim. Ekonomi Makro Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.2010), hlm. 38

7
Interest Rate Keuntungan dalam jual Discount Rate Discount Rate
ditentukan oleh: beli/sewa menyewa ditentukan oleh: ditentukan atas dasar
1. 1. Preferency secara bayar tangguh 1. 1. Preferency current harapan keuntungan
current ditentukan oleh : comcumtion. (expected return), dan
comcumtion. 1. 1. Tingkat 2. 2. Expected inflation. digunakan untuk
2. 2. Expected keuntungan setiap kali3. 3. Premium for menentukan nisbah bagi
inflation. transaksi. uncertanty, dgn kata hasil
2. 2. Frekuensi lain, actual return Bagi hasil yg harus
transaksi dalam satu dipaksakan dibayar adalah nisbah bagi
periode. harus sama dgn hasil dikalikan dengan
expected return-nya pendapatan aktualnya (
actual return)
Dengan kata lain
pendapatan aktual (actual
return) tidak harus sama
dengan pendpatan yang
diharapkan (expected
return)

2.5 Riba dalam Perspektif Islam


Pengertian Riba

Riba berarti menetapkan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat


pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok,
yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah
(tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan
membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam
menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam
Islam.

Adapun menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran
yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau
terlambat menerimanya. Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut,
ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; Arba fulan ‘ala
fulan idza azada ‘alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang lain jika di
dalamnya terdapat unsur tambahan) atau disebut liyarbu ma a’thaythum min syai’in
lita’khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara
berlebih dari apa yang diberikan).

8
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang
dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering
juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Usury” dengan arti tambahan
uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara’, baik dengan
jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.

Adapun menurut istilah syariat para fuqahâ sangat beragam dalam


mendefinisikannya, diantaranya yaitu :
Menurut Al-Mali riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu
yang tidak diketahui tmbangannya menurut ukuran syara’ ketika berakad atau
dengan mengakhirkan tukarana kedua belah pihak atau salah satu keduanya.
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad
yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut
aturan syara’ atau terlambat salah satunya.
Syaikh Muhammad Abduh berendapat riba adalah penambahan-penambahan
yang disayaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam
hartanya karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang
telah ditentukan.
Artinya: Rasulullah saw. bersabda: “Emas dengan emas sama timbangan dan
ukurannya, perak dengan perak sama timbangan dan ukurannya. Barang siapa yang
meminta tambah maka termasuk riba.”
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apabila tukar-menukar emas atau
perak maka harus sama ukuran dan timbangannya, jika tidak sama maka termasuk
riba. Dari situ dapat dipahami bahwa riba adalah ziyâdah atau tambahan. Akan
tetapi tidak semua tambahan adalah riba.Dalam istilah fiqh, riba adalah
pengambilan tambahan dari harta pokok secara bathil baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam meminjam.
Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di
tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu
disebabkan rente dan riba merupakan “bunga” uang, karena mempunyai arti yang
sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank
atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk
usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju
dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua
belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas
keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.
Timbullah pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga?
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara Timbullah
pertanyaan, di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk
menjawab pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga
sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang
biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Jadi uraian di
atas, dapat disimpulkan bahwa riba “usury” dan bunga “interest” pada hakekatnya
sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.

9
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya
riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik
pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk
mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk
mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di
kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama’ sependapat bahwa
tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang
waktu tertentu ‘iwadh (imbalan) adalaha riba.11 Yang dimaksud dengan tambahan
adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan
dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal:
emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan
komoditi tersebut.
Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana
dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai
konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syari’ah yang memakai
prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan
diterbitkannya undang-undang perbankan syari’ah di Indonesia nomor 7 tahun
1992.15

Pandangan Para Pakar Mengenai Riba


Para pakar ekonomi memahami lebih banyak lagi bahaya riba mengikuti
perkembangan praktik-praktik ekonomi. Di antaranya adalah: buruknya distribusi
kekayaan, kehancuran sumber-sumber ekonomi, lemah nya perkembangan
ekonomi, pengangguran, dan lain-lain.
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar.
Keadaan seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai
berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang
disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”Kesepakatan ini dinukil
oleh Al-Mawardi rahimahullahu. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat
Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua
jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama Al-Quran;
sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu
Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi
konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok, yaitu:
Kelompok pertama, mengharamkan riba yang berlipat ganda/ad’âfan
mudhâ’afa, karena yang diharamkan al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda saja,
yakni riba nas’ah, terbukti juga dengan hadis tidak ada riba kecuali nasî’ah.
Karenanya, selain riba nasî’ah maka diperbolehkan.
Kelompok kedua, mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba
dilarang dalam Islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atupun tidak. Riba

15 Wikipedia. Riba. (Online). Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Riba. Diakses pada 26 Mei


2018, 12:50

10
yang berlipat ganda haram hukumnya karena zatnya, sedang riba kecil tetap haram
karena untuk menutup pintu ke riba yang lebih besar (harâmun lisyadudzari’ah).
Meski demikian ada beberapa pandangan yang berbeda. Perbedaan-
perbedaan itu umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap riba.
Kendati riba dalam al-Qur’an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi
karena tidak diberi batasan yang jelas, sehingga hal ini menimbulkan beragamnya
interpretasi terhadap riba. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap
pemahaman para ulama sesudah generasi sahabat. Bahkan, sampai saat ini
persoalan ini (interpretasi riba) masih menjadi perdebatan yang tiada henti. Namun
demikian, ulama mutaqaddimin pada umumnya sepakat tentang keharamannya.16

Riba : Tinjauan Historis

Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar
Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat
dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi
bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari
masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba
pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 275
: …padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep
keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga
seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk
Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu
akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga
bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah
menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya
dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah
bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi
selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan
penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah
bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang
terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil
yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi
adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Contoh nisbahnya adalah 70% : 30%, maka
bagian deposan 70% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Pertama, dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 – 276, Allah SWT
menyatakan bahwa:
“Orang–orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual

16 Wikipedia. Riba. (Online). Tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Riba. Diakses pada 26 Mei


2018, 12:50

11
beli dan mengharamkan riba. Orang–orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Oran yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni – penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(275).
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276).”
Di dalam ayat tersebut Allah menegaskan bahwa Dia mengharamkan riba
untuk dijadikan sebuah instrument mencari keuntungan dalam kegiatan sosial
ekonomi. Namun, Allah menyuburkan sedekah dan menghalalkan jual beli sebagai
salah satu jalan untuk memperoleh harta dengan cara yang baik. Berdasarkan uraian
diatas, pandangan Islam sudah sangat jelas bahwa konsep riba adalah haram. Secara
bahasa riba berarti kelebihan atau tambahan. Para ulama fiqh mendefiniskan riba
sebagai sebuah kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan
atau gantinya. Sedangkan secara umum dijelaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Sistem ekonomi syariah yang salah satu prinsip di dalamnya adalah larangan
mengambil harta secara batil dengan menggunakan instrument riba telah
menimbulkan kecenderungan bahwa konsep larangan riba hanya terdapat pada
Islam. Hal ini akhirnya menimbulkan kesan bahwa larangan riba ini hanya
diperuntukkan oleh umat Islam saja dan merugikan umat agama lain yang selama
ini telah nyaman dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Namun, riba ternyata
bukanlah persoalan kalangan Islam saja, tetapi sudah menjadi persoalan serius yang
dibahas oleh kalangan non-muslim.
Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami
perkembangan dalam pemaknaan. Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya
diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar Islam-pun
memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu
tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-Muslim, seperti Hindu,
Budha (Rivai, dkk, 2007: 761), Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen (Antonio,
2001: 42).
Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah “neshekh”
dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat
dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun
dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat dalam Old Testament yang melarang
pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang miskin dan mengutuk usaha mencari
harta dengan membebani orang miskin dengan riba (Antonio, 2001: 43) diantaranya
adalah sebagai berikut:
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan sebagai berikut: “Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin
di antaramu, maka janganlah engakau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia;
janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya”.
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyebutkan sebagai berikut:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan
makanan atau apapun yang dapat dibungakan”.

12
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan sebagai berikut:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau
harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah
engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu
janganlah kau berikan dengan meminta riba”.
Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktek riba merupakan
tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988: 124). Pada masa Yunani sekitar abad VI
SM hingga 1 M, terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya (Antonio,
2001: 43). Sementara itu, pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M,
terdapat undang-undang yang membolehkan penduduknya mengambil bunga
selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan
hukum (maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan
berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga
berbunga (double countable).
Pada masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu
sebagai berikut:
 Bunga maksimal yang dibenarkan: 8%-12%
 Bunga pinjaman biasa di Roma: 4%-12%
 Bunga di wilayah taklukan Roma: 6%-100%
 Bunga khusus Byzantium: 4%-12%
Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga tersebut dicela oleh para ahli
filsafat Yunani, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM),
begitu pula para ahli filsafat Romawi, seperti Cato (234-149 SM), Cicero (106-43
SM) dan Seneca (4 SM-65 M)mengutuk praktik bunga, yang digambarkannya
sebagai tindakan tidak manusiawi (Islahi, 1988: 124)
Konsep riba di kalangan Kristen mengalami perbedaan pandangan, yang
Secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga periode sebagai berikut:
Pertama, pandangan para pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang
mengharamkan riba dengan merujuk pada Kitab Perjanjian Lama dan undang-
undang dari gereja. Pada abad IV M, gereja Katolik Roma melarang praktik riba
bagi para pendeta, yang kemudian diperluas bagi kalangan awam pada abad V M.
Pada abad VIII M, di bawah kekuasaan Charlemagne, gereja Katolik Roma
mendeklarasikan praktik riba sebagai tindakan kriminal (Iqbal dan Mirakhor,
2007: 71).
Kedua, pandangan para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang cenderung
membolehkan bunga, dengan melakukan terobosan baru melalui upaya
melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut
mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan sedangkan usury adalah bunga
yang berlebihan. Para sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pemikiran
bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-
1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274) dan
St. Thomas Aquinas (1225-1274) (Antonio, 2001: 47).
Ketiga, pandangan para reformis Kristen (abad XVI-1836) seperti Martin
Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551) dan John Calvin
(1509-1564) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga ( interest

13
). Pada periode ini, Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan Gereja Katolik
Roma, dan pada tahun 1545 bunga ( interest ) resmi dibolehkan di Inggris asalkan
tidak lebih dari 10%. Kebijakan ini kembali diperkuat oleh Ratu Elizabeth I pada
tahun 1571 (Karim, 2001: 72; Rivai, dkk, 2007: 763).
Dari berbagai perspektif yang telah terurai diatas, praktek riba tidak hanya
dilarang di agama Islam namun juga telah menjadi pembahasan yang serius di
kalangan umat Kristiani, Yahudi, bangsa Yunani dan Romawi. Ada beberapa alasan
penting yang mendasari pelarangan praktik riba yaitu karena dari praktik ini telah
tercipta ruang hilangnya keseimbangan tata kehidupan sosial ekonomi
kemasyarakatan. Prinsip pengambilan bunga menjadi sebuah senjata bagi penganut
sistem kapitalis (golongan kaya) untuk mengambil keuntungan yang sebesar
besarnya yang mana hal ini semakin melemahkan posisi orang – orang miskin.
Salah satu alat dalam menyuburkan riba adalah kehadiran uang yang saat ini telah
berubah fungsi dari alat tukar menjadi alat komoditas untuk menghasilkan
keuntungan.
Dengan latar belakang sejarah tersebut diatas, maka seluruh praktik
operasionalisasi perbankan modern yang mulai tumbuh dan berkembang sejak
abad XVI M ini menggunakan sistem bunga. Sistem bunga ini mulai tumbuh,
mengakar, dan mendarah-daging dalam industri perbankan modern sehingga sulit
untuk dipisahkan. Bahkan mereka beranggapan bahwa bunga adalah pusat
berputarnya sistem perbankan. Jika tanpa bunga, maka sistem perbankan menjadi
tak bernyawa dan akhirnya perekonomian akan lumpuh (Mannan, 1997: 165). 17

Tahapan Pelarangan Riba

Pelarangan riba diturunkan tidak sekaligus melainkan secara bertahap. Proses


ini sama dengan pelarangan khamr (minuman keras). Dari proses kedua pelarangan
tersebut dapat kita lihat persamaan antara riba dan khamr. Kedua fenomena itu
sudah merupakan kebiasaan yang mengakar pada masyarakat. Untuk meruntuhkan
nilai-nilai yang sudah sedemikian tertanam dalam masyarakat dibutuhkan cara yang
tepat, bijaksana namun tegas. Hal ini sangat sesuai dengan teori sosiologi modern,
dimana untuk menggantikan sesuatu yang sudah memasyarakat digunakan melting
method. Nilai lama tidak serta merta dilarang melainkan didudukkan dulu
permasalahannya, dikaji secara objektif keuntungan serta kerugiannya, dilakukan
pemasyarakatan nilai pengganti, “pemutihan”, dan tentu saja law enforcement.
Inilah hikmah diturunkannya al-Quran secara bertahap dimana ayat yang
diturunkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan aktual yang timbul
dalam masyarakat. Selain tercantum dengan sangat jelas dalam al-Quran,
pelarangan riba juga terdapat dalam hadits yang merupakan kontrol yang dilakukan
oleh Rasulullah atas aplikasi pelaksanaan perintah dan larangan dalam kehidupan
nyata masyarakat.18

17 Abu Amar Fauzi. 2014. Riba dalam Prespektif Islam, Kristen, Yahudi, Yunani dan Romawi.
Surabaya.
18 Rizka Maulan. Larangan Riba dalam Islam. (Online). Tersedia di
https://investasisyariahonline.wordpress.com/seputar-riba/larangan-riba-dalam-islam/. Diakses
pada Diakses pada 26 Mei 2018, 12:53

14
Tahap Pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba pada zahirnya
menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau
taqarrub kepada Allah SWT.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)” (Qs. Ar-Rum: 19)
Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah
tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah
Allah ialah dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa
pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk
zakat, Allah akan memberikan barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya.
Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum mengharamkannya
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa’ ayat 160-161. “Maka
disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, kami harankan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan
karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” (Qs.
An-Nisa: 160-161).”
Riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam
ayat ini Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya.
Ayat ini juga menggambarkan Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat
orang Yahudi walaupun tidak terus terang menyatakan larangan bagi orang Islam.
Tetapi ayat ini telah membangkitkan perhatian dan kesiapan untuk menerima
pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa pelarangan riba sudah pernah terdapat
dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat bahwa akan turun ayat berikutnya
yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum Muslim.
Tahap ketiga, riba itu diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan” (Qs. Ali-Imran: 130).
Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara
tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan
kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar
pada masyarakat sejak zaman jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga
perasaan mereka yang telah biasa melakukan riba siap menerimanya.
Tahap keempat, ayat riba diturunkan oleh Allah SWT. Yang dengan jelas
sekali mengharamkan sebarang jenis tambahan yang diambil daripada jaminan.

15
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan
sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya.” (Qs. Al-Baqoroh: 278-279).
Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba
secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai
bentuknya, dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah
melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan
kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Ayat ini merupakan peringatan keras dan ancaman yang sangat tegas bagi
orang yang masih tetap mempraktekkan riba setelah adanya peringatan tersebut.
Ibnu Juraij menceritakan Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwasannya ayat ini
maksudnya ialah, yakinilah bahwa Allah dan Rasul akan memerangi kalian.
Sedangkan menurut ‘Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman Allah
tentang riba, makasudnya, barangsiapa yang masih tetap melakukan praktek riba
dan tidak melepaskan diri darinya, maka wajib atas Imam kaum Muslimin untuk
memintanya bertaubat, jika ia mau melepaskan diri darinya, maka keselamatan
baginya, dan jika menolak, maka ia harus dipenggal lehernya.19

3.1 Kesimpulan

Time value of money juga merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa
nilai uang sekarang akan lebih berharga dari pada nilai uang masa yang akan datang
atau suatu konsep yang mengacu pada perbedaan nilai uang yang disebabkan karena
perbedaan waktu. Sedangkan, Economic value of time adalah sebuah konsep
dimana waktulah yang memiliki nilai ekonomi, bukanlah uang memiliki nilai
waktu.
Konsep dasar perhitungan pada kontrak berbasis Economic value of time
adalah nisbah. Economic value of time relatif lebih adil dalam perhitungan kontrak
yang bersifat pembiayaan bagi hasil (profit sharing).
Kritik yang diambil atas konsep Time value of money yaitu menggunakan
sistem bunga, adanya unsur ketidak pastian (gharar), hanya menghitung inflasi, dan
konsep ini idak berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Perbedaan yaitu Time value of money menggunakan sistem bunga
sedangkan Economic value of time menggunakan bagi hasil.

19 Hisyam Dien. Pengertian Riba, Jenis-Jenis Riba, Contoh-Contoh Riba. (Online). Tersedia di
http://www.globalmuslim.web.id/2013/01/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-contoh.html. Diakses
pada 26 Mei 2018, 08:01

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Ekonomi


Makro.Jakarta: IIIT Indonesia
2. Karim, Adiwarman. 2010. Ekonomi Makro Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
3. R. Lasher, William. 2008. Financial Management: a Practical
Approach. USA: Thomson South- Western
4. Ifham Sholihin, Ahmad. 2010. Buku Pintar Syariah. Jakarta:PT.Gramedia
Pustaka Utama
5. Ibnu Soim, Muhammad. 2013. Economic Value of Time. http://ibnu-
soim.blogspot.co.id/2014/05/bab-i-economic-value-of-time.html. Diakses
pada 24 Mei 2018, pkl 20.23
6. Suselo, Dedi. 2015. Dunia Manajemen.
http://dedisuselopress.blogspot.co.id/2015/11/time-value-of-money-and-
economic-value.html. Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 20.00 4
7. Hasnah. 2015. Konsep Time Value of Money dan Economic Value of Time.
http://hasnah921.blogspot.co.id/2015/09/kaidah-fiqhiyah-al-umuuru-
bi.html, Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.30
8. Hasanah, Mauizhotul. 2015. Time Value of Money VS Economic Value of
Time. http://makalahmauizhotul.blogspot.co.id/2015/07/time-value-of-
money-vs-economic-value.html. Diakses pada 24 Mei 2018, pkl 21.33
9. Wikipedia.2014. Riba. (Online). Tersedia di
http://id.wikipedia.org/wiki/Riba. Diakses pada 26 Mei 2018, 12:50
10. Amar Fauzi, Abu. 2014. Riba dalam Prespektif Islam, Kristen, Yahudi,
Yunani dan Romawi. Surabaya.
11. Maulan, Rizka. 2014. Larangan Riba dalam Islam. (Online). Tersedia di
https://investasisyariahonline.wordpress.com/seputar-riba/larangan-riba-
dalam-islam/. Diakses pada Diakses pada 26 Mei 2018, 12:53
12. Dien, Hisyam. 2013. Pengertian Riba, Jenis-Jenis Riba, Contoh-Contoh
Riba. (Online). Tersedia di
http://www.globalmuslim.web.id/2013/01/pengertian-riba-jenis-jenis-riba-
contoh.html. Diakses pada 26 Mei 2018, 08:01

17

Anda mungkin juga menyukai