Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ahmad Farhan Saukani

Kelas : Ilmu Politik 1A


NIM : 11231120000003
Masalah dan Opini

A. Hubungan Masalah dan Opini


Apa sebenarnya hubungan antara kedua topik di atas? Sekilas keduanya nampak tercerai
berai, namun sebetulnya tidak juga. Penulis sendiri mengaitkan keduanya pada hubungan akses
modalitas yang simetris; artinya, jika fakta P mendasari fakta Q, maka fakta Q juga mendasari fakta P.
Hal ini bertentangan dengan akses yang anti-simetris yang tidak timbal balik. Simetris: terdapat
sesuatu yang tidak bergantung satu-sama lain─diberi kuantor eksistensial 1. Jika pembaca sadar, satu
paragraf yang baru dibaca ini merupakan buah dari adanya “masalah”. Jika “masalah” tiada, maka
paragraf tentang “masalah” dan “opini” ini tidak akan ada.
Penulisan “masalah” membutuhkan argumentasi yang bisa dibilang personal awalnya, dan
apakah argumentasi itu? Itu adalah Opini. Ketika Opini mengalami kebuntuan dalam penulisan tentang
“masalah”, maka timbulah Masalah. Jadi tersingkap sekarang hubungan antara keduanya: ketika
penulis mengalami Masalah, maka penulis menulis dengan Opini, dan ketika Opini buntu, maka
Masalah hadir dan mesti dijelaskan menggunakan Opini lagi. Keduanya saling memengaruhi satu sama
lain dengan akses simetris.

B. Apa itu “Apa Itu”?


Pembahasan tentang “Apa Itu” adalah pembahasan tentang analisis dan analisis bisa
bersifat trivial, karna analisis tentang sesuatu itu adalah sama saja dengan menyebut hal itu sendiri.
Misal:
P1: “Planet Venus adalah bintang fajar”
P2: “Planet Venus adalah Planet Venus” 2

1
Martin Suryajaya, Principia Logica (Jakarta Barat: Gang Kabel, 2022) h.562
2
Ibid h.483
P1 di atas nampak tidak informatif, karna sama saja menyebut Planet Venus sebagai objek. Analisis
hampir tidak terpilah dengan sinonim. Namun terdapat paradoks dari sana: jika analisis itu benar, maka
analisis itu trivial atau tidak informatif, namun, jika analisis itu salah, maka analisis itu keliru. (C.H
Langford, 2001) . Jadi makna apapun yang kita berikan pada sesuatu akan bersifat sama seperti kita
menyebut kata objek itu sendiri. Walaupun Martin Suryajaya, dalam bukunya Principia Logica bisa
mengatasi paradoks analisis itu dengan menghubungkan segitiga nalar Kant-Carnap-Frege dengan
menghubungkan Metafisika-Intensi-Epistemologi.3 Dengan segitiga itu, Bung Martin mengatasi
bahwasannya perbedaan makna yang diberikan tidak semata makna yang setara/trivial, namun
perbedaan makna/intensi juga berarti perbedaan ekstensi dalam semesta modal, dan perbedaan intensi
juga berarti perbedaan signifikansi kognitif antar person atau subjek yang menalar atau memberikan
makna.
Jadi, jika proposisi A dan B sama maknanya, maka A dan B memiliki ekstensi yang sama.
Carnap mengungkapkan hubungan ini dengan mendefinisikan intensi sebagai “fungsi dari
kemungkinan ke ekstensi” (David Chalmers, 2006).
P1: Planet Venus adalah bintang fajar
P2: Planet Venus adalah bintang senja4
P3: Planet Venus adalah bintang favorit anak saya
Ketiga proposisi di atas berasal dari ekstensi yang sama, namun mengapa ketiganya hadir dengan
intensi yang berbeda? Karna ketiganya memiliki ekstensi yang satu yang niscaya. Dengan contoh di
atas, bisa terlihat mau Analysans (hal yang menjelaskan) itu berbunyi a, b, c etc. ekstensinya akan tetap
sama , yakni Planet Venus. Hal di atas menunjukkan ke-trivialan analisis. Untuk membuat proposisi di
atas tidak trivial, adalah dengan mempostulatkan keberadaan epistemologi/signifikansi kognitif yang
berbeda dari setiap person yang memberikan makna. Orang yang tau bahwa P1, belum tentu tau bahwa
P2. Orang yang tau P2 belum tentu tau bahwa P3─bisa ditukar-tukar. Hal ini menjustifikasi bahwa
pemberian makna pada Analysandum (hal yang dijelaskan) tidak trivial, karna melibatkan signifikansi
kognitif pada level modalitas semesta─dalam hal ini, metafisika.
Menuruti apa yang dikatakan C.H Langford tadi, tentang paradoks jika analysans sama
maknanya dengan analysandum, maka analisis itu trivial, dan jika analysans tidak sama maknanya
dengan analysandum, maka analisis itu salah5, bisa ditarik derivasinya pada persoalan tafsir-menafsir.
Dalam teori model logika klasik proposisional, dibedakan tiga formula perian tafsir nilai kebenaran:
sahih (benar di semua dunia mungkin), dapat-dipenuhi/satisfiable (benar setidak-tidaknya satu di dunia
mungkin), dan salah sepenuhnya atau kontradiksi. Gottlob Frege, pencetus filsafat analitik bilang
bahwasannya intensi memiliki takterhingga kemungkinan makna. Mengikuti segitiga nalar di atas,
maka, takterhingganya dunia mungkin/dunia yang dapat dipikirkan = takterhingganya makna. Artinya,

3
Ibid h.392
4
Ibid h.483
5
Langford, “The Notion Of Analysis’s in Moore Philosophy” . Dalam Analytic Philosophy: An Anthology, disunting
oleh A.P Martinich dan David Sosa (Oxford: Blackwell Publishers, 2001) h. 403-413
jika ada ketakterhinggaan makna yang bisadiberikan, maka ada takterhingga pula kebenaran yang ada
tentang sesuatu yang dimaknai. Hal itu hanya bisa salah jika ia kontradiktif. Jika ada sekurangnya satu
hal yang bisa dibenarkan dari analisis, maka analisis itu benar. Dengan adanya hal ini Roy T. Cook
mengajukan tesis pluralisme model, yang artinya menoleransi model atau pemaknaan yang satisfiable
sebagai hal yang bisa ditoleransi sebagai analisis objek. Semua analisis dianggap benar dan dapat
dianggap wajar selama hal itu terdapat benar sekurangnya satu dari himpunan analysans. 6 Maka selagi
hal itu tidak kontradiktif, hal itu masih dapat ditolerir sebagai analisis yang sama maknanya. Frasa
paradoks seperti “gunung tanpa lereng”, “segitiga persegi”, “masalah yang tak bermasalah”, “fakta
yang opini” merupakan analisis yang tak dapat ditolerir karna absurdio in terminis.

C. Apa itu Masalah?

Dari sekian banyaknya omong-kosong di atas barulah penulis bisa dengan lega
mendefinisikan apa itu masalah. Mengikuti argumen awal, masalah hadir sebagai kebuntuan dalam
penulisan Opini jika ditilik lewat definisi berdasarkan hubungan simetris keduanya. Definisi pertama
dengan begitu telah didapatkan. Dengan dapat ditolerirnya definisi di atas, maka seharusnya bisa
ditarik ke dunia yang lebih luas bahwa bukan hanya dalam kebuntuan penulisan opini saja masalah
bisa hadir, namun juga “opini” ini bisa disubtitusikan secara universal menjadi segala sesuatu yang
dijalankan/pragma, sesuatu yang dijalankan pada dunia aktual. Kalimatnya bisa disederhanakan
menjadi: Masalah adalah suatu error atau kesalahan yang hadir ketika sesuatu yang diharapkan,
dipikirkan, atau algoritma seperti ide membuat kursi, ide menjalankan program organisasi, bahkan ide
hari ini mau dihabiskan dengan cara apa mengalami kesalahan yang tak terduga dalam konsepsi kita
tentang apa yang diharapkan. Masalah adalah ceteris paribus dalam logika ketika turun menjadi
kausalitas.

Immanuel Kant dalam The Critique Of Pure Reason menawarkan konsep konsepsi murni
tentang pemahaman kita tentang objek. 7Kant menggunakan Estetika Transendental dan Logika
Transendental untuk mendapatkan pengetahuan tentang objek. Berbeda dengan Hume, atau Berkeley
misal yang saling menafikan satu sama lain, Kant mengambil setengah antara keduanya, dan membuah
setengah antara keduanya. Untuk bisa mendapatkan pemahaman utuh atau Kesatuan sistematis tentang
objek, diperlukan sintesis atau pengetahuan yang tercerai berai lewat pengalaman dan indra yang
akhirnya disatukan oleh perekat yang satu, menggunakan logika, disebut Pemahaman. Pemahaman
kita atas objek, tidak bisa merupakan analisis yang setengah-setengah, misal afirmasinya saja, atau

6
"Along these lines we can formulate a sort of principle of logical tolerance: Any formalism is prima facie just as
legitimate as any other with regard to modeling mathematical discourse. What will distinguish one or more of
these formalisms from the rest is not a priori arm-chair philosophizing with regard to the proper bounds of logic,
but rather careful consideration of their naturalness and fruitfulness with regard to whatever specific goals we have
in mindThus the utility of a certain formal system will be a function of the shape of actual mathematical discourse
and the particular questions we want answered (as well as many other factors), and it might turn out to be the case
that a number of incompatible formalization will prove indispensable in answering different questions" (Cook 2000,
32).
7
Kant, “The Critique of Pure Reason” terj. Supriyanto Abdullah, (Yogyakarta: Penerbit Indoloterasi, 2017)
negasinya saja. Pemahaman kita tentang objek haruslah merupakan kesatuan dari segala kualitas yang
termaktub dalam identitas objek itu.

Misal, pengetahuan kita soal kebaikan tidak bisa hanya didapatkan dari pengetahuan dan
intuisi kita tentang kebaikan semata, namun juga lewat kontradiksinya, yaitu kejahatan. Dengan
demikian, totalitas tidak lain hanyalah pluralitas yang dianggap sebagai kesatuan; dan pembatasannya
hanyalah merupakan realitas yang digaabungkan dengan negasi.8 Sama saja dengan masalah, ia tidak
bisa kita pikirkan semata-mata hanya lewat identitas dirinya saja, namun juga lewat kontradiksinya,
yaitu hal yang diharapkan terjadi, terjadi. Seperti yang ditulis dalammodul Perumusan Masalah
Penelitian: “Masalah adalah kesenjangan (discrepancy) antara apa yang seharusnya (harapan) dengan
apa yang ada dalam kenyataan sekarang”. 9 Namun, dengan timbulnya masalah, akan hadir pula intensi
baru akibat kausalitas yang terdistorsi. Jika kenyataan atau faktanya bertambah atau berubah
(distorted), maka aka nada penambahan intensi, yang artinya ada perubahan identitas. Jika identitas
berubah, maka objek baru bisa terlahir. Tidak sedikit benda-benda yang kita kenali saat ini lahir karna
adanya masalah, misal saja kue brownies, tercipta karna kesalahan seorang wanita yang lupa
memasukkan pengembang kue ke dalam adonan yang membuat kue nya menjadi bantet. Misal lagi,
saat Leo Hendrik Baekeland memiliki ide untuk menggantikan lak atau sehallac karna dinilai merusak
lingkungan, ia memutar otak untuk menemukan bahan yang bisa dibentuk dan dipanaskan tanpa
terdistorsi, hasilnya tak sesuai dan terciptalah plastik. 10 Masalah sangat diperlukan dalam penulisan
karya tulis ilmiah, tetapi bagaimana cara mendapatkannya?

C.1 Cara Mendapatkan Masalah

Masalah, dengan definisi di atas, tidak didapatkan begitu saja. Ia hadir karna kesalahan dari
apa yang diharapkan. Namun ia bisa diundang atau dipantik dengan beberapa cara, misal lewat
pertanyaan. Sokrates menjalankan program filsafatnya dengan apa yang dinamakan dialektika.
Dialektika di sini berbeda dengan dialektika yang kita kenal pada Hegel atau Marx, namun dialektika
Sokrates; diambil dari kata dialog yang artinya berbincang. Sokrates selalu keliling kota untuk
menemukan lawan bicaranya, mengobrol soal hidup dan menegasikan lawan bicaranya.Lawan bicara
dipantik akal budinya lewat pertanyaan-pertanyaan yang konstruktif. Pertanyaan Sokratik termasuk
dalam Intuisionisme Metafilosofis dalam kajian Metafilsafat, yakni jenis filsafat yang lahir lewat
intuisi─Arm-Chair Philosophy. Filsafat yang dijalankan hanya dengan duduk-duduk.

Saat itu, Sokrates, dalam Politeia, yang ditulis Plato, mengawali diskusi tentang keadilan
dengan Kephalos, Polemarkhos, Thrasymakhos, dan Glaukon. Di akhir perdebatan panjang itu, setelah
tiga posisi pertama berhasil dijawab Sokrates, definisi keadilan yang ditagihkan oleh Glaukon dan

8
Ibid h.120-121
9
Mahdiyah, Perumusan Masalah dalam Penelitian: Studi Mandiri dan Seminar Proposal Penelitian (Jakarta:
Universitas Terbuka, 2014)
10
Joris Mercelis, Technology and Culture, (Published By: The Johns Hopkins University Press)
didukung Adeimantos masih belum disanggah Sokrates, maka Sokrates mulai dengan jalan memutar
yang panjang. 11

Selain lewat Pertanyaan Sokratik, masalah juga bisa didapatkan dengan cara-cara yang
biasanya fenomenolog lakukan. Dalam dua karya Edmund Husserl, Logical Investigation, dan Ideas of
Pure Phenomenology, ia mulai merumuskan metode reduksi fenomenologis (The Method of
Phenomenological Reduction). 12 Husserl pencetus disiplin fenomenologi dalam filsafat, diikuti anak-
anak muridnya semisal, Gaddamer, Heidegger, Maurice Merleau Ponty, bahkan Sartre. Fenomenologi,
berarti mendasarkan pengetahuan pada pengalaman pertama, fenomena (phenomenon), yakni
pengalaman atau sintesis yang tercerai-berai jika menggunakan bahasa Kant. Fenomenologi, berarti
mewajarkan pengetahuan pertama seseorang, yang tercerai-berai itu sebagai kebenaran yang satisfiable.
Misal,
P1: Bulan itu besar, lebih dari gajah
P2: Bulan lebih kecil dari gajah

Intuisi P2 tidak bisa dianggap salah, karna memang, bagi orang yang pertama kali melihat bulan, bulan
akan terlihat lebih kecil daripada gajah. Namun timbul masalah dari sana, karna sejatinya, jika dilacak
lewat empirisme, bulan sangat jauh lebih besar dari gajah, bahkan dari gunung. Cara mendapatkan
masalah dengan demikian bisa didapatkan dengan pertama kali hanya dengan melihat, merasakan,
meyakini, barulah ketika keyakinan itu salah, maka masalah didapatkan dan mesti diruncingkan lewat
metode. Husserl menawarkan tiga metode fenomenologis, yaitu tiga reduksi. Reduksi Fenomenologis,
atau “epoche”, yakni menyingkirkan yang hanya berupa kenampakan di permukaan. Reduksi Eidetis,
eidetic, berarti intisari. Maksudnya adalah mencari hakikat dari fenomena yang nampak, pencarian
hakikat. Misal,bengkoknya pensil di dalam air disebabkan karna pembiasan cahaya. Terakhir, Reduksi
Transendental. Di sini subjek mesti memasuki alam Immanuel Kant, yakni ruang dalam logika
transcendental. Objek tidak lagi berdiri secara Univok, atau Ekuivok (keduanya memiliki sifat sui
generis), alam transcendental tidak keduanya, dia Analog, yakni memiliki semua unsur sifat yang bisa
dimasukkan dalam objek itu. Objek itu adalah keseluruhan sistematis yang menyertai objek itu. Dalam
ruang transcendental, kontradiksi bisa terjadi.

Dengan pembacaan masalah secara Husserlian, bisa ditarik hikmahnya, yakni jika masalah
terjadi, maka ada sejumlah, atau sekurangnya satu intensi yang terdistorsi sehingga menimbulkan
implikasi logis yang lain, yang menyebabkan objek itu tidak mencapai kesatuan sistematis kategori itu.
Dan, jika ada sintesis yang terdistorsi, akan muncul makna baru yangh berarti lahir objek baru.

D. Apa itu Opini

Dengan mengacu pada definisi yang sama seperti di atas, Opini tidak bisa diceraikan dari
kontradiksinya, yaitu fakta. Dalam dunia kepenulisan, pasti dikenal dualisme antara Opini dan Fakta.

11
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Politik Klasik: dari Prasejarah hingga abad ke-4 M, (Tangerang Selatan:
Marjin Kiri, 2016) h.144-150
12
Shofiyullah Mz, Fenomenologi Edmund Husserl (Suatu Pendekatan Memahami Ketegangan Religiusitas), Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin Esensia , Vol.3, No. 2, Juli,2002,253
Opini lahir dari intuisi sang penulis, sedangkan fakta dari nature. Definisi intuisi bisa diderivasikan
dari definisi apa itu intuisi. Intuisi, tidak dapat diceraikan dari tritunggal justified-true-belief.
Pengetahuan intuitif selalu berdasar pada keyakinan yang benar dan terjustifikasi. Namun sayangnya,
justified-true-belief tidak bisa dijadikan acuan kebenaran yang sahih. Paradoks Gettier menjelaskan
kegoyahan tritunggal itu untuk bisa menyebut pengetahuan itu sebagai benar. Di sana terlihat jelas
pertarungan fakta dan opini. Paradoks Gettier merupakan himpunan dari Intuisionisme Metafilosofis,
yakni Eksperimen Pikiran. Di sana diandaikan dunia di mana beberapa proposisi berlaku, bagaimana
kita mengatasi proposisi itu bisa masuk pula dalam bagian perumusan masalah.

Edmund Gettier mengandaikan dua orang, Smith dan Jones, sama-sama melamar sebuah
pekerjaan, dan Smith tak sengaja mendengar dari pimpinan perusahaan bahwa Jones akan mendapat
pekerjaan dan sebelumnya Smith melihat Jones mengantungi sepuluh koin setelah keluar kantor. Maka
Smith meyakini P1dan P2:

P1: Jones adalah orang yang akan mendapat pekerjaan dan mengantungi sepuluh koin
P2: Orang yang akan mendapat pekerjaan adalah orang yang mengantungi sepuluh koin

Sekarang andaikan jika Smith lah yang mendapat pekerjaan dan di dalam kantungnya
terdapat sepuluh koin, maka P2 benar, walaupun P1 salah13. Dengan adanya paradoks Gettier, dapat
disimpulkan bahwa intuisi berbentuk justified-true-belief tidak dapat dijadikan sebagai acuan
pengetahuan yang benar. Pengetahuan/epistemology atau dalam hal ini opini, tidak betul-betul bisa
menjelaskan fakta yang apa adanya. Walaupun Smith memiliki justifikasi bahwa P2 benar yakni P1,
rasa-rasanya justified-true-belief Smith atas P2, tidak bisa dianggap sebagai pengetahuan dan opini
yang benar, karna P1 itu sendiri salah. Bisa disimpulkan bahwasannya, meskipun kita bisa menuliskan
fakta itu dengan bernagai macam cara, tulisan opini kita tidak bisa menjamin kesimpulan tentang fakta
yang benar.

Namun, untuk bisa menulis, seorang penulis tidak bisa menggunakan apapun lagi selain
intuisi dan gagasannya. Jika penulis menulis tanpa opini, tulisan itu akan menjadi trivial dan tidak
informatif dan pekerjaan kepenulisan itu akan sangat mudah digantikan oleh A.I. Satu-satunya cara
melarikan diri dari kepenulisan Opini, adalah lewat sains, eksperimentasi ekstrem gaya Quine yang
ujung-akhirnya adalah positivisme. Namun positivisme sangat rigid dan membunuh kreativitas, jadi
opini bisa dipakai sebagai senjata manusia untuk kreatif. Bagi Philip Sidney, sastrawan adalah satu-
satunya seniman yang bisa dikatakan benar-benar mencipta. Ia ibarat Tuhan yang menciptakan alam
semesta berdasarkan citra kepribadian-Nya.14 Seni adalah mikrokosmos.

D.1 Jenis-jenis Opini

13
Martin Suryajaya, Principia Logica (Jakarta Barat: Gang Kabel, 2022) h.434
14
Philip Sidney, “Defense of Poeisie” 8, h.30-35 dikutip dari Martin, Sejarah Estetika (Yogyakarta: Penerbit Gang
Kabel, 2016) h.230
Menurut Iswandi Syahputra, sebuah opini bisa saja didukung oleh fakta-fakta dan sejumlah
prinsip, dalam hal ini menjadi argumen atau alasan yang melandasinya.15 Dan opini terbagi dalam
beberapa jenis:

1. Opini Pribadi, yakni pendapat asli satu orang,


2. Opini Kelompok, yakni pendapat beberapa orang atau kelompok, menyangkut
kepentingan banyak orang,
3. Opini Mayoritas, yakni pendapat terbanyak,
4. Opini Minoritas, yakni pendapat terdikit,
5. Opini Publik, yakni pendapat masyarakat-publik terkait kepentingan masyarakat-publik,
6. Opini Massa, yakni opini yang bersifat massa, bisa dikendalikan.16

D.2 Penulisan Opini

Kebanyakan opini, memiliki karakteristik cenderung subjektif atau cenderung objektif.


Kecenderungan ini bisa digambarkan dengan skala fuzzy logic menggunakan Himpunan Cantor 0-1.
Nilai 0 untuk subjektif dan 1 untuk objektif (mendekati fakta). Mengapa mendekati fakta dan bukan
menggambarkan fakta? Karna opini, mau seobjektif apapun ia, pasti memiliki intuisi yang termaktub
di dalamnya; dan seperti yang telah dibahas, intuisi dengan justified-true-belief masih tidak bisa
dipercaya penuh. Dalam buku yang diedit bersama Joseph Keim Campbell, Michael O’Rourke, dan
Matthew H. Slater berjudul Carving Nature at Its Joints: Natural Kinds in Metaphysics and Science,
17
metode mencacah alam tepat pada sambungannya (carving nature at its joints) digunakan untuk
mengklasifikasikan objek dalam sains, menganalisis objek dengan pisau analisis. Kita bayangkan
analisis sebagai pisau, tidak mungkin ada yang menjamin bahwa cacahan itu benar-benar bersih,
bahwa cacahan itu tidak menambah atau mengurangi sesuatu pun dari objek yang dicacah. Kita selalu
membawa (cacahan kepada pisau kita), atau menambahkan (membawa objek dari pisau pada objek
yang dipotong). Hal ini berlaku pada analisis opini kita. 18 Mau bagaimanapun objektifnya fakta yang
kita bawa, tidak menjamin bahwa ada interpretasi subjektif yang kita bawa ke dalam analisis opini.
Maka, walaupun analisis kita berada pada skala 1 sekalipun, akan tetap ada invarian yang dilestarikan,
yakni cacahan subjektif.

Dan menuruti premis yang dibawakan Roy T. Cook tentang pluralisme model di atas,
tentang ditoleransinya tafsiran satisfiable sebagai kebenaran, maka akan timbul pula masalah baru.
Akan ada dimensi pragmatis dalam urusan tafsir-menafsir. Katakanlah dalam analisis hukum,
kepentingan setiap orang yang berbeda dan saling bertubrukan itu bisa tetap memiliki justifikasi
walaupun ia bernilai salah di mata moral. Dan ini menjadi senjata yang berbahaya.Maka penulisan
opini, dengan ini mesti diikuti dengan tanggung-jawab moral dengan dalil imperatif kategoris.

15
Iswandi Syahputra, Opini Publik, Konsep, Pembentukan, dan Pengukuran (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2018) h.1-2
16
Ibid h.3
17
Joseph Keim Campbell, Michael O’Rourke, dan Matthew H. Slate, Carving Nature at Its Joints: Natural Kinds in
Metaphysics and Science, (Massachusetts: A Bradford Book, The MIT Press, 2011)
18
Martin Suryajaya, Principia Logica (Jakarta Barat: Gang Kabel, 2022) h.558
DAFTAR PUSTAKA

C.H Langford. (2001). "The Notion of Analysis's in Moore Philosophy: Analytic Philosophy: An
Anthology. Oxford: Blackwell Publishers.
Cook, Roy T. 2000. Logic-as Modeling: A New Perspectives on Formalization. Disertasi PhD,
The Ohio State University.
David Chalmers. (2006). The Foundations of Two-Dimensional Semantics. Oxford: Clarendon
Press.
Iswandi Syahputra, (2018). Opini Publik, Konsep, Pembentukan, dan Pengukuran . Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.

Joris Mercelis, Technology and Culture, (Published By: The Johns Hopkins University Press)
Joseph Keim Campbell, Michael O’Rourke, dan Matthew H. Slate, (2011). Carving Nature at
Its Joints: Natural Kinds in Metaphysics and Science, Massachusetts: A Bradford Book, The
MIT Press.

Kant, Immanuel. (2017) “The Critique of Pure Reason” terj. Supriyanto Abdullah. Yogyakarta:
Penerbit Indoloterasi.

Mahdiyah. , (2014). Perumusan Masalah dalam Penelitian: Studi Mandiri dan Seminar Proposal
Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka.

Philip Sidney. Defense of Poeisie.

Shofiyullah Mz. (2002). Fenomenologi Edmund Husserl (Suatu Pendekatan Memahami


Ketegangan Religiusitas), Vol.3, No. 2, Juli,2002. Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Esensia.

Suryajaya, Martin (2016). Sejarah Pemikiran Politik Klasik: dari Prasejarah hingga abad ke-4
M. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
--------------- .(2016). Sejarah Estetika. Yogyakarta: Penerbit Gang Kabel
--------------- .(2022). Principia Logica. Jakarta Barat: Gang Kabel.

Anda mungkin juga menyukai