Anda di halaman 1dari 286

BAB I

SEJARAH FILSAFAT BAHASA DAN SEMIOTIKA

A. Pengertian Filsafat Analitis

Filsafat analitis (Analytical Philosophy) adalah satu


mainstream dalam bidang filsafat yang muncul sebagai
reaksi atas pemikiran neohegelianisme yang masuk ke
Inggris pada pertengahan abad kesembilanbelas. Para
filsuf Inggeris yang dapat dikategorikan sebagai filsuf
analitis awal seperti: G.E.Moore dan Bertrand Russell
menganggap bahwa ungkapan filsafat neohegelianisme
itu selain sulit dimengerti, tetapi juga telah menyimpang
dari logika akal sehat. Charlesworth, salah seorang
pemerhati Filsafat analitis mengomentari bahwa filsafat
di Inggris setelah melewati kurun waktu lima puluh
tahun mulai bangkit dalam suatu bentuk revolusi
menentang pengaruh pemikiran neohegelianisme
(Charlesworth, 1959 : 1).
Hamersma, penulis Filsafat Barat Moderen
menegaskan bahwa filsafat analitis melahirkan

1
kecenderungan filsafat yang bercorak logosentrisme.
Logosentrisme artinya terkait dengan bahasa, teks, isi
pemikiran, kata, dan pembicaraan. Tujuan analisis
bahasa adalah menghasilkan pengetahuan yang benar
tentang dunia, karena unsur-unsur terkecil bidang pikiran
(mind), yaitu unsur terkecil dari bahasa (logical
atomism) merupakan gambaran dari unsur paling kecil
bidang matter, yaitu atomic facts. Hamersma menyitir
pemikiran Russell yang menekankan analisis bahasa
sebagai jalan aman untuk menghindari spekulasi
metafisis sebagaimana yang dilakukan penganut
neoidealisme (Hamersma, 1983: 135-141).
Sejatinya benih-benih filsafat analitis sudah
muncul dalam pemikiran Immanuel Kant yang secara
tajam memilah dan membedakan beberapa bentuk
putusan. Menurut Quine dalam artikelnya yang berjudul
Two Dogmas of Empiricism, Kant membedakan antara
kebenaran analitis dan sintesis yang dipengaruhi
pemikiran Hume tentang pembedaan antara relasi
gagasan dan fakta, sebagaimana pula halnya pembedaan
yang dilakukan Leibniz tentang pembedaan antara
kebenaran akal dan kebenaran fakta. Kebenaran akal

2
bagi Leibniz berarti benar dalam semua dunia yang
mungkin (Quine, 1997: 197). Hamersma membedakan
tiga macam pengetahuan dalam pemikiran Kant, yaitu
pengetahuan analitis - a priori, sintetis - a posteriori, dan
sintetis - a priori (Hamersma, 1983: 29).
Pertama, pengetahuan analitis adalah jenis
pengetahuan yang predikat sudah termuat dalam subjek,
predikat dapat diketahui melalui analisis subjek. Contoh:
Lingkaran ini bulat; jumlah sebuah sudut segitiga adalah
180 derajat. Solomon menjelaskan tentang analitis dalam
pemikiran Kant sebagai berikut:
―Analytic (of) a sentence or truth) demonstrably
true (and necessasarily true) by virtue of the
logical form or the meanings of the components
words. The concept was introduced by Kant, who
defined it in terms of a sentence (he called it a
judgment) in which the predicate was contained
in the subject and added nothing to it‖ (Solomon,
1992: 329).

Berdasarkan penjelasan Solomon ini ada dua ciri


penting yang terdapat dalam pernyataan analitis yaitu
predikat sudah termasuk ke dalam subjek dan
pengetahuan analitis ini tidak menambahkan sesuatu
yang baru.

3
Kedua, pengetahuan sintetis-a posteriori adalah
jenis pengetahuan yang predikatnya dihubungkan dengan
subjek berdasarkan pengalaman inderawi. Solomon
menegaskan bahwa apa yang dimaksudkan dengan a
posteriori adalah bentuk pengetahuan yang diperoleh
setelah dialami, after experience or empirical . Contoh:
―hari ini cuaca panas sekali‖, ini merupakan hasil
pengamatan inderawi (Solomon, 1992: 330).
Ketiga, pengetahuan sintetis - a priori yaitu jenis
pengetahuan yang menempatkan akal budi dan
pengalaman inderawi secara serentak. Contoh: 10 x 100
=1000. Ilmu pengetahuan alam juga bersifat sintetis - a
priori, sehingga untuk penjelasannya diperlukan sebuah
analisis struktur seluruh proses pengetahuan (Hamersma,
1983: 29). A priori menurut Solomon bebas dari semua
pengalaman. Ia menegaskan:
‖A priori knowledge is always necessary, for there
can be no imaginable instances that would refute it
and no intelligible doubting of it. Knowledge is a
priori if it can be proven independently of
experience‖ (Solomon, 1992: 330).

Kant sendiri menegaskan tentang bentuk putusan


analitis dan sintetis dengan mengatakan bahwa dalam

4
semua keputusan dimana relasi subjek pada predikat
dipikirkan (Kant menyebutnya keputusan afirmatif),
maka relasi tersebut hanya dapat dibedakan dalam dua
cara. Relasi pertama, predikat B termasuk ke dalam
subjek A. Relasi kedua, predikat B terletak di luar
konsepsi A. Relasi pertama dinamakan Kant dengan
istilah keputusan analitis, sedangkan relasi kedua
dinamakannya keputusan sintetis. Keputusan analitis
yang bersifat afirmatif menunjukkan bahwa hubungan
antara predikat dengan subjek diketahui melalui
identitas, sedangkan dalam keputusan sintetis hubungan
antara predikat dengan subjek diketahui tanpa identitas.
Kant menegaskan hal tersebut dalam pernyataan sebagai
berikut:
‖In all judgements wherein the relation of a
subject to the predicate is cogitated (I mention
affirmative judgements only here; the application
to negative will be very easy), this relation is
possible in two different ways. Either the predicate
B belongs to the subject A, as somewhat which is
contained (though covertly) in the conception A; or
the predicate B lies completely out of the
conception A, although it stands in connection with
it. In the first instance, I term the judgement
analytical, in the second, synthetical. Analytical

5
judgements (affirmative) are therefore those in
which the connection of the predicate with the
subject is cogitated through identity; those in
which this connection is cogitated without identity,
are called synthetical judgements‖ (Kant, 2009:
25).

Sebagaimana yang diketahui dalam pemikiran


Kant, bentuk penyimpulan analitis - a priori merupakan
ciri pemikiran rasionalisme yang menyatakan bahwa
predikat sudah dengan sendirinya termasuk ke dalam
subjek; tidak dengan sendirinya mengenai kenyataan;
tidak memberikan pengertian baru. Pernyataan analitis -
a priori hanya merupakan pengertian formal, suatu
tautologi, sebenarnya hanya suatu konsep. Kant
menegaskan tentang analitis dalam pernyataan
berikut:‖Analytical judgements (affirmative) are
therefore those in which the connection of the predicate
with the subject is cogitated through identity” (Kant,
2009: 15). Contoh: Lingkaran itu bulat. Bulat merupakan
hakikat dari sebuah lingkaran, sehingga pernyataan
―lingkaran itu bulat‖ hanya merupakan bentuk
penegasan. Menurut Quine, sebuah pernyataan dikatakan
analitis bilamana pernyataan itu benar atas dasar makna

6
dari pernyataan itu sendiri dan terbebas dari fakta
(Quine, 1994: 197).
Adapun bentuk penyimpulan sintetis-a posteriori
adalah perpaduan dari dua atau beberapa komponen
sehingga membentuk pengertian baru. Sifat sintetis a
posteriori yaitu adanya relasi subjek dan predikat
berdasarkan objek riil, sehingga menimbulkan kesatuan
dari hal-hal yang berbeda. Contoh: Tembok kampus
UGM itu berwarna krem. Krem bukanlah merupakan
keniscayaan dari tembok kampus UGM tersebut, dalam
hal ini perpaduan tembok dan warna krem lebih
didasarkan pada pencerapan inderawi manusia (a
posteriori), karena bisa saja terjadi tembok gedung itu
dicat dengan warna selain krem (misalnya: putih). Kant
kemudian memadukan kedua bentuk penyimpulan itu
menjadi sintetis – a priori, yaitu bentuk penyimpulan
yang predikat belum dengan sendirinya termasuk ke
dalam subjek, namun memberikan pengertian baru.
Contoh: Air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius;
Bumi berputar sekitar porosnya setiap 24 jam. Sifat
sintesis a priori ini ialah pengertian umum-universal dan
pasti (Harun Hadiwijono, 1980 : 65; Bakker, 1984: 90).

7
Kant sendiri menjelaskan tentang pengetahuan a priori
dan a posteriori bahwasanya yang dimaksud dengan
istilah pengetahuan a priori, yaitu kita akan
meletakkannya dalam pengertian akibat yang
ditimbulkannya, bukan sebagai seperti pengetahuan yang
tergantung pada pengalaman, melainkan pengetahuan
yang sama sekali terlepas dari pengalaman. Pengetahuan
a priori ini berbeda dengan pengetahuan empiris, ia
bersifat murni, karena di dalamnya tidak ada unsur
empiris. Kant mencontohkan pengetahuan a priori dalam
proposisi ―setiap perubahan ada penyebabnya‖, alasan
Kant perubahan merupakan suatu konsepsi yang dapat
dijabarkan dari pengalaman (Kant, 2009:29).
Di samping itu Kant mementingkan pengetahuan
empiris (empirical knowledge) yang menentukan sebuah
objek melalui persepsi. Pengalaman adalah sebuah
sintesis persepsi, namun tidak termuat dalam persepsi
melainkan terkandung dalam pengalaman itu sendiri
dalam suatu kesadaran kesatuan sintesis dari bermacam-
macam persepsi. Kesatuan sintesis inilah yang
membentuk hakikat dalam berbagai pengetahuan tentang
objek yang diindera, yakni dalam pengalaman yang

8
dibedakan dari intuisi atau sensasi indera semata
(Cassirer, 1968: 152).
Judowibowo menengarai bahwa filsafat analitis
yang menaruh perhatian terhadap analisis bahasa sebagai
sebuah metode penyelidikan filsafati ini berkembang dan
dapat dibagi ke dalam tiga tahap yang berbeda, yaitu
tahap Atomisme Logis (Logical Atomism), Positivisme
Logis (Logical Positivism), dan Filsafat Bahasa Biasa
(Ordinary Language Philosophy) (Judowibowo, TT: 3).
Berdasarkan hasil penelusuran penulis atas sejarah
perkembangan pemikiran filsafat analitis, maka sejatinya
sejarah perkembangan filsafat analitis dapat ditelusuri
dalam lima tahap, yaitu tahap perintis filsafat analitis
yang didukung filsuf analitis awal seperti: G.E.Moore
dan B.Russell; tahap penentuan bahasa ideal bagi
filsafat yang dimotori oleh B.Russell dan Ludwig
Wittgenstein periode Tractatus (dinamakan Atomisme
Logis); tahap penentuan kriteria makna ungkapan
filsafati yang dikemukakan A.J.Ayer sebagai tokoh
Positivisme Logis; tahap kesadaran atas pentingnya
bahasa biasa sebagai bentuk komunikasi yang hakiki
yang dimotori Ludwig Wittgenstein periode

9
Philosophical Investigations dan J.L.Austin (Ordinary
Language Philosophy); tahap penerapan filsafat
analitis ke dalam berbagai kajian ilmiah seperti yang
dilakukan J.F.Lyotard. Kelima tahap tersebut
memainkan peranan penting sekaligus memperlihatkan
corak pemikiran yang cukup berbeda, meskipun tentu
saja ada kemiripan yang dapat ditemukan dalam setiap
tahapan.
Russell sebagai salah seorang tokoh filsafat analitis
menegaskan bahwa tugas sentral filsafat ialah
memahami dunia, untuk dapat menjalankan tugas sentral
filsafat tersebut menurut Russell ada dua kewajiban
filosofis. Pertama, menganalisis keyakinan-keyakinan
filosofis yang paling penting, sehingga menjadikan para
filsuf kritis terhadap dirinya sendiri dan pemikiran orang
lain mengenai apa makna dan kandungan dari keyakinan
tersebut. Kedua, memiliki dasar-dasar yang memadai
sebagai syarat untuk meyakininya dengan cara
mengajukan bukti atau argumen yang kuat dan valid
tentang kebenaran keyakinan filosofis, sekaligus mampu
menjawab secara efektif kritik terhadap keyakinan yang
dimiliki para filsuf (Magee, 2000: 120-121). Tugas

10
filsafat analitis lainnya yang tidak kalah penting, yaitu
memberikan klarifikasi terhadap pernyataan-pernyataan
filsafat itu sendiri, sehingga tidak terjadi
kesalahpahaman atas gagasan yang diungkapkan para
filsuf. Wittgenstein menegaskan tugas filsafat itu dalam
pernyataan berikut:
―The object of philosophy is the logical clarification
of thoughts. Philosophy is not a theory but an
activity. A philosophical work consist essentially of
elucidations. The result of philosophy is not a
number of philosophical propositions, but to make
propositions clear‖ (Wittgenstein, 1995: 77).
(―Objek filsafat adalah klarifikasi logis dari
pemikiran-pemikiran. Filsafat bukanlah sebuah teori
namun suatu aktivitas. Sebuah karya filosofis
dasarnya terdiri dari penjelasan-penjelasan. Hasil
dari filsafat bukanlah sejumlah proposisi filosofis,
tetapi untuk membuat proposisi menjadi jelas‖).

Filsafat analitis bertitik tolak dari asumsi bahwa


analisis linguistik merupakan satu-satunya aktivitas
filosofi yang sah, karena para filsuf analitis menganggap
bahwa pernyataan metafisis sebagai persoalan yang tidak
mengandung arti atau omong kosong (nonsense). Tujuan
analisis linguistik adalah menjadikan setiap pernyataan
sedapat mungkin sesuai dengan data atau pengalaman,

11
sekaligus menjelaskan permasalahan dan menghilangkan
kekaburan dalam pernyataan filosofis. Filsafat itu pada
hakikatnya hanya membicarakan bahasa, sehingga
apabila seorang filsuf telah memutuskan bahwa suatu
pernyataan itu bermakna, dan memberitahukan tentang
alam dan tidak hanya tentang caranya mempergunakan
perkataan, maka tibalah giliran para ahli sains untuk
menguji kebenaran pernyataan tersebut (Titus, dkk,
1984:367-368).
Hans-Johann Glock dalam karyanya What is
Analytic Philosophy? menjelaskan bahwa istilah filsafat
analitis itu sesungguhnya merupakan istilah teknis yang
dipergunakan oleh para akademikus, mahasiswa, dan
intelektual profesional yang bertitik tolak dari tradisi
intelektual yang mengakui paradigma atas sebuah
fenomena historis yang bersifat intrinsik tentang cara
kerja metode analitika bahasa. Istilah analisis sendiri
pada mulanya dijabarkan dari persoalan yang diajukan
Socrates untuk mendefinisikan beberapa istilah
seperti:‖kebaikan‖, ―pengetahuan‖, yang kemudian
dikembangkan oleh Plato sebagai pembagian atau
pembelahan (division). Istilah analysis sendiri berasal

12
dari bahasa Yunani analusis yang artinya membubarkan
(dissolving) dan melepaskan (loosening up). Istilah
tersebut juga dihubungkan dengan konsep analysandum
yaitu sesuatu yang akan dianalisis, dan analysans,
kegiatan menganalisis (Glock, 2008: 21).
Martinich dan David Sosa dalam karyanya Analytic
Philosophy: An Anthology menjelaskan bahwa istilah
filsafat analitis merupakan sebuah gerakan filsafat yang
pada awalnya muncul di Inggris untuk melakukan
perincian atas konsep yang kompleks sehingga dapat
ditemukan konsep yang lebih sederhana. Sebagai contoh:
konsep pengetahuan (knowledge) yang dipahami ke
dalam beberapa konsep seperti: kebenaran, kepercayaan,
dan pembenaran, kemudian dianalisis sehingga menjadi
kepercayaan yang dibenarkan (justified true belief).
Filsafat analitis pada awalnya mendapat pengaruh dari
Frege dan Russell, kemudian dikembangkan lebih lanjut
oleh Wittgenstein, hingga memengaruhi tokoh-tokoh
seperti; A.J.Ayer, Austin, G.Ryle, W.V.O.Quine.
Mereka dipandang sebagai filsuf analitis yang
mengembangkan berbagai konsep pemikiran tentang
analitika bahasa (Martinich and Sosa, 2001: 1-3).

13
Martinich dalam karyanya yang lain, A Companion
To Analytic Philosophy menegaskan bahwa istilah umum
filsafat analitis secara praktis digunakan pada paruh
pertama abad keduapuluh di negara-negara berbahasa
Inggris dan Jerman, kemudian berkembang pula di
Amerika Utara, Australia, dan Selandia Baru. Analisis
konsep bertujuan untuk memecah konsep-konsep yang
kompleks ke dalam bentuk komponen-komponen yang
lebih sederhana. Rancangan konseptual inilah yang
membedakan aktivitas filosofis dari berbagai analisis
yang yang diterapkan terhadap objek-objek nir-
konseptual (Martinich and Sosa, 2001: 1).
Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan para
pemikir dan komentator di atas maka dapat dipahami
bahwa filsafat analitis merupakan sebuah gerakan yang
pada awalnya muncul di Inggris, kemudian
memengaruhi pemikiran filsafat secara luas dengan
fokus utama pada kegiatan menganalisis konsep
pemikiran agar diperoleh kejelasan makna. Analisis
konsep pemikiran dapat berkembang secara luas, karena
bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan
dan pemikiran itu merupakan seni dalam kehidupan

14
sosial. Quine dalam kata pengantar bukunya Word and
Object menegaskan bahwa bahasa adalah seni sosial,
karena dalam mendapatkan bahasa seseorang sangat
tergantung pada isyarat hubungan antara subjek tentang
apa yang dikatakan dan kapan itu dikatakan (Quine,
1994: ix). Dengan demikian analisis konsep mutlak
diperlukan untuk mendapatkan kejelasan makna dan
menghindarkan pemaknaan subjektif yang berlebihan
dalam memahami suatu objek. Dalam hal ini problem
arti atau makna merupakan salah satu fokus pembicaraan
para filsuf analitis

B. Kajian Filsafat Bahasa


Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang
filsafat yang menaruh perhatian terhadap penggunaan
bahasa dalam bidang filsafat. Para filsuf analitis
meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan penggunaan
bahasa dalam bidang filsafat, sehingga menimbulkan
kekacauan dan kesalahpahaman atas makna yang
sesungguhnya. Para filsuf analitis menengarai bahwa
salah satu sumber kekacauan bahasa dalam filsafat
bersemi dalam cabang metafisika. Kaum metafisikus

15
dianggap paling bertanggungjawab atas penggunaan
bahasa yang bernuansa ambiguitas (ambiguity),
ketidaktersuratan (inexplicitness), kekaburan
(vagueness), sehingga diperlukan klarifikasi dan
penjernihan atas bahasa filsafat.
Filsafat bahasa lahir sebagai sikap skeptis atas
ungkapan metafisika yang mengaburkan makna suatu
ungkapan dengan realitas yang sesungguhnya. Filsafat
bahasa menurut Honderich dalam The Oxford
Companion to Philosophy (1995: 937) mengkaji tentang
presupposition of language dan nature of language.
Kajian tentang presupposition of language
membicarakan masalah bahasa privat, ide bawaan, dan
intensionalitas bahasa. Kajian tentang nature of language
membahas masalah gramatika bahasa, relasi antara
bahasa dengan sistem simbol lain, serta relasi bahasa
dengan interpretasi, penerjemahan, dan analisis.
Kaelan (2009: 5-6) menemukenali filsafat bahasa
itu ke dalam dua macam pengertian; pertama, perhatian
pra filsuf terhadap bahasa dalam memecahkan dan
menjelaskan problema dan konsep dalam bidang filsafat.
Kedua, filsafat bahasa sebagaimana halnya dengan

16
cabang-cabang filsafat lainnya, hanya fokus
pembahasannya meletakkan bahasa sebagai objek
material filsafat, sehingga membahas hakikat bahasa itu
sendiri.
Toety Herati meletakkan perbincangan filsafat
bahasa ini sebagai bentuk meta-language yang
menekankan pada metode analisis sebagai pendekatan
khas filsafat analitis. Lantaran menganalisis bahasa
filsafat maka dinamai filsafat bahasa (Toety Herati,
1984: 73).
C. Pengertian Semiotika
Semiotika merupakan bidang kajian yang
berkembang cukup pesat dalam wilayah kebahasaan dan
komunikasi. Kedua wilayah tersebut membutuhkan cara
pemahaman yang komprehensif. Semiotika dalam kajian
wilayah kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari jasa
Ferdinand de Saussure; sedangkan semiotika dalam
kajian wilayah komunikasi tidak dapat dipisahkan dari
rintisan pemikiran Charles Sanders Peirce. Studi tentang
tanda yang dinamakan semiotika ini dikembangkan oleh
filsuf, ahli logika, Charles Sanders Peirce dan ahli
linguistik Ferdinand de Saussure. Kedua pakar tersebut

17
menyebutnya dengan istilah yang mirip, namun sedikit
berbeda. Peirce menamakan studi tentang tanda dengan
istilah semeiotic, sedangkan Saussure menyebutnya
dengan istilah semiology.
Kedua tokoh ini dianggap sebagai pemicu kelahiran
semiotika dalam dunia ilmiah, meskipun keduanya
memiliki pemikiran yang khas dan melahirkan dua
mainstream dalam dunia semiotika. Sepintas terlihat
bahwa kedua mainstream itu menimbulkan cara pandang
yang berbeda, namun sesungguhnya keduanya saling
melengkapi, lantaran baik wilayah kebahasaan maupun
komunikasi pada hakikatnya merupakan dua hal yang tak
terpisahkan. Di satu pihak bahasa merupakan sarana bagi
komunikasi, sedangkan di pihak lain komunikasi
membutuhkan bahasa untuk mengungkapkan gagasan
pemikiran.
Bahasa merupakan suatu bentuk tanda yang
disepakati oleh para penggunanya, sehingga tumbuh dan
berkembang dalam kebudayaan manusia yang dinamis
dan terbuka. Proses perkembangan bahasa bertitik tolak
dari kebutuhan komunikasi untuk saling mengenal satu
sama lain, mengidentifikasi sesuatu, mengekspresikan

18
gagasan. Bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan
kajian yang banyak dibicarakan dalam semiotika, karena
kajian tentang tanda termasuk hal yang menjadi
perhatian para tokoh semiotika.
Umberto Eco dalam karyanya Theory of Semiotics
menyatakan bahwa setiap tindakan untuk berkomunikasi
dengan atau antar mahluk hidup menuntut syarat atas
suatu sistem penandaan menjadi suatu kondisi yang
dibutuhkan. (Eco, 1976: 9). Dalam karyanya itu Eco
mengemukakan daftar beberapa batas suatu bidang
seperti: semiotika kebun binatang, tanda-tanda pabrik
tua, strategi berkomunikasi, kode-kode perasaan, kode
musik, bahasa formal, bahasa tulisan, bahasa asli,
komunikasi visual, sistem objek, susunan alur, teks
estetis, komunikasi massa, pidato, dan lain-lain (Eco,
1976: 9-10). Dengan demikian terlihat bahwa semiotika
mencakup wilayah kajian yang sangat luas dan beragam,
bahkan pada gilirannya memberi pengaruh besar bagi
perkembangan budaya kontemporer sebagaimana yang
tercermin dalam kehidupan manusia dewasa ini.

19
BAB II
PERSOALAN MAKNA DALAM STATEMEN
FILSAFAT

Salah satu masalah yang paling banyak menarik


perhatian para filsuf bahasa dan semiotikawan adalah
masalah arti atau makna ungkapan (problem of
meaning). Stephen Ullmann menyatakan bahwa makna
merupakan istilah yang paling ambigu dan paling
kontroversial dalam teori bahasa. Alasannya, pernyataan-
pernyataan akan makna biasanya membuang sebagian
unsur yang ada pada sasaran gejala makna, sedangkan
teori tentang tanda (semiotika) yang bersifat teknis
haruslah menyajikan kata-kata yang dipertajam
maknanya (Ullmann, 2009 :65). Kendatipun demikian
problem makna tetap mendapat perhatian yang besar di
kalangan para ahli bahasa dan para filsuf bahasa,
meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Bab ini
akan membahas problem makna dalam kajian Filsafat
Bahasa dan Semiotika agar dapat dilihat relasi antara
kedua bidang kajian tersebut, sekaligus dapat menarik
perbedaan di antara keduanya.

20
A. Problem Makna Dalam Filsafat Bahasa

Problem makna ungkapan di kalangan para filsuf


bahasa melahirkan beberapa teori seperti: Teori ideasi,
teori tingkah laku, dan teori acuan, namun teori arti yang
paling banyak menarik perhatian para ahli filsafat bahasa
adalah teori acuan (Referential theory), meskipun kedua
teori lainnya juga tidak kalah pentingnya dalam kajian
filsafat tanda. Oleh karena itu untuk memperjelas
perbedaan dan menunjukkan karakteristik masing-
masing teori arti itu berikut akan dipaparkan ketiga jenis
teori arti tersebut.

1. Teori Ideasi (Ideasional Theory)

Teori ini yang pada mulanya digagas oleh John


Locke dalam karyanya An Essay Concerning Human
Understanding. Locke mengatakan bahwa penggunaan
kata merupakan markah gagasan yang dapat diindera,
dan gagasan itu berpihak pada pengertian yang tepat dan
langsung. The use, then, of words, is to be sensible
marks of ideas; and the ideas they stand for are their
proper and immediate signification, ujar Locke (Locke,

21
2004: 251). Locke menyatakan bahwa kata-kata atau
ungkapan bahasa itu sesungguhnya merupakan tanda-
tanda yang dapat diinderai dari gagasan penggunanya.
Seseorang yang menggunakan tanda bahasa itu merekam
gagasan tentang tanda itu ke dalam pikirannya. Ketika
seseorang mengungkapkan kata-kata kepada orang lain
sesungguhnya orang tersebut bermaksud menyampaikan
gagasan yang ada dalam pikirannya atau yang
diketahuinya kepada pihak lain. Locke menegaskan hal
itu dalam pernyataan sebagai berikut:

―Words, in their immediate signification, are the


sensible signs of his ideas who uses them. The use
men have of these marks being either to record
their own thoughts, for the assistance of their own
memory or, as it were, to bring out their ideas, and
lay them before the view of others: words, in their
primary or immediate signification, stand for
nothing but the ideas in the mind of him that uses
them, how imperfectly soever or carelessly those
ideas are collected from the things which they are
supposed to represent. When a man speaks to
another, it is that he may be understood: and the
end of speech is, that those sounds, as marks, may
make known his ideas to the hearer‖ (Locke, 2004:
251).
(―Kata-kata, dalam pemaknaan langsung, adalah
tanda-tanda yang masuk akal atas ide-ide orang

22
yang yang menggunakannya. Mereka yang
menggunakannya memiliki tanda ini, baik untuk
mencatat pemikiran mereka sendiri, untuk
membantu memori mereka sendiri atau untuk
menunjukkan ide-ide mereka, dan meletakkan
pandangan mereka sebelum pandangan orang lain:
kata-kata, pada dasarnya atau pemaknaan langsung,
bukanlah untuk menggantikan sesuatu tetapi
gagasan ada dalam pikiran orang yang
menggunakannya, betapapun tidak sempurnanya,
namun ide-ide tersebut dihimpun dari hal-hal yang
mereka anggap mewakili. Ketika seorang berbicara
kepada yang lain, itu berarti bahwa dia dapat
dimengerti: dan akhir wicara bahasa adalah, bahwa
suara-suara, sebagai tanda, menjadikan gagasannya
dikenal pendengarnya").
Alston dalam bukunya Philosophy of Language,
menengarai bahwa teori ideasi ini berupaya
menemukenali arti kata pada gagasan yang menimbulkan
dan yang ditimbulkannya. Alston menegaskan bahwa the
ideational theory is based on an equally fundamental
insight – that words have the meaning they do only
because of what human beings do when they use
language. Prinsip umum teori ini menggariskan bahwa
kata mengandung makna lantaran manusia
mempergunakan bahasa. Teori ini fokus pada aspek-
aspek dalam komunikasi, dalam upaya untuk

23
mendapatkan ciri-ciri penggunaan bahasa, maka hal itu
memberikan unit-unit linguistik makna yang mereka
miliki (Alton, 1964: 19).
Judowibowo menegaskan bahwa menurut teori
ideasi ini, apa yang memberi arti atau makna dari suatu
kata atau ungkapan bahasa adalah kenyataan bahwa kata
atau ungkapan bahasa ini secara teratur digunakan dalam
komunikasi sebagai suatu tanda (mark) untuk
menyatakan suatu ide kepada pihak lain. Jika suatu kata
atau ungkapan bahasa itu digunakan menurut teori
ideasi, maka harus memenuhi beberapa persyaratan
sebagai berikut:
‖1) harus ada ide dalam pikiran si pembicara, 2) si
pembicara harus mengeluarkan kata atau ungkapan
bahasa agar orang lain mendengar bahwa ide yang
dimaksud itu ada dalam pikiran si pembicara pada
waktu itu, 3) apabila komunikasi itu berhasil, maka
ungkapan bahasa tadi harus menimbulkan ide yang
sama dalam pikiran si pendengar‖ (Judowibowo,
TT: 19).

Toety Herati menegaskan bahwa teori ideasi ini


menghubungkan makna kata dengan suatu idea atau
representasi psikis yang ditimbulkan kata tersebut
kepada kesadaran (Toeti Heraty, 1984: 76). Berdasarkan

24
pemaparan singkat tentang teori ideasi tersebut, maka
keterkaitan teori ideasi dengan filsafat tanda menjadi
jelas, yakni adanya ide dalam pikiran si pembicara
merupakan sebuah proses kehadiran tanda, karena ide
bisa muncul manakala ada tanda yang memicu timbulnya
ide. Contoh: Ketika ide tentang pesawat helikopter
muncul di benak para ilmuwan (Leonardo da Vinci),
maka ide itu tidaklah berasal dari wilayah kosong atau
tak bertuan, melainkan tanda yang diperlihatkan oleh
gerak terbang seekor capung. Ide yang lebih rumit,
misalnya ide naga yang ada dalam pikiran masyarakat
Cina, meskipun naga itu hewan dongeng yang bersifat
khayali, karena tidak ada dalam kenyataan, namun tanda-
tanda seperti: ular besar bertanduk, berkaki, dan
bersayap bisa berasal dari gabungan beberapa jenis
hewan seperti: ular, burung, dan dinosaurus. Ide dipicu
oleh tanda, dan pada gilirannya tanda baru dapat lahir
dari ide-ide berikutnya. Dengan demikian ada relasi yang
saling melengkapi antara ide dan tanda, sehingga
merangsang pengamatan subjek.

25
2. Teori Tingkah laku (Behavioral Theory)

Teori ini menemukenali (mengidentifikasi) arti


ungkapan bahasa dengan situasi pengucapan dan
tanggapan atau reaksi yang dilakukan lantaran adanya
ucapan tersebut. Bentuk paling sederhana dari teori
tingkah laku ini terletak pada arti suatu ungkapan bahasa
yang menempatkan situasi pengungkapan bahasa dari si
pembicara dan tanggapan (response) yang
ditimbulkannya pada pendengar (Judowibowo, TT: 18).
Teori tingkah laku ini menanggapi bahasa sebagai
semacam kelakuan dan mengembalikannya kepada
stimulus dan response. Makna menurut teori tingkah
laku adalah rangsangan untuk menimbulkan perilaku
tertentu sebagai tanggapan atas rangsangan itu tadi
(Toeti Heraty, 1984: 76).
Gagasan teori tingkah laku menurut Alston diambil
alih dari psikologi dengan kesadaran akan kompleksitas
yang terlibat di dalamnya. Bentuk sederhana teori
tingkah laku ini ditemukan dalam karya para ahli
linguistik yang mengambil alih gagasan tentang tingkah
laku yang terdapat dalam pikiran psikolog dengan

26
menyadari akan kerumitan yang terdapat di dalamnya.
Bloomfield mengatakan bahwa makna suatu bentuk
linguistik adalah situasi yang ada dalam diri si pembicara
dan tanggapan yang timbul dari si pendengar (Alston,
1964: 26).
Inti pemikiran teori tingkah laku ini terletak pada
situasi pengucapan yang dilakukan si pembicara
sehingga menimbulkan tanggapan dari si pendengar.
Beberapa contoh yang diucapkan si pembicara yang
diharapkan menimbulkan tanggapan (baik langsung
maupun tidak) kepada pendengar antara lain:
a. ―Tolong ambilkan saya kunci di atas meja itu!‖
b.―Dapatkah anda mengecilkan suara musik itu,
karena suaranya sangat mengganggu konsentrasi
belajar saya?‖
c. ―Silahkan keluar dari raungan ini, jika anda tidak
setuju dengan keputusan saya!‖
Ketiga ungkapan di atas mengandaikan ada situasi
tertentu yang berlaku antara si penyampai dan si
pendengar. Ungkapan pertama mengandaikan adanya
situasi yang lebih akrab, sehingga si pembicara
mengajukan permohonan atau meminta tolong kepada si

27
pendengar. Ungkapan kedua mengandaikan situasi yang
menunjukkan adanya gangguan suara (misalnya: musik)
yang menyulitkan si pembicara dalam konsentrasi
belajar, sehingga meminta toleransi kepada si pendengar
(dalam hal ini orang yang menyetel radio). Ungkapan
ketiga mengandaikan adanya situasi perbedaan pendapat
dalam pengambilan keputusan, sehingga pihak
pengambil keputusan mengusir pihak yang tidak setuju
dengan pendapatnya. Ketiga situasi yang berbeda
dilontarkan dengan ungkapan yang berbeda pula,
sehingga tanggapan yang diharapkan juga berbeda.
Kendatipun demikian teori tingkah laku ini beranggapan
bahwa tanggapan (response) yang diharapkan itu benar-
benar terjadi. Meskipun hal itu belum tentu terjadi dalam
kenyataan, misalnya dalam ungkapan pertama yang
terkait dengan permohonan tolong, namun belum pasti si
pendengar akan memenuhi permintaan si pembicara
dengan berbagai alasan seperti: memang tidak kunci di
atas meja tempat pembicaraan atau si pendengar tidak
mau mengambilkan kunci karena si pendengar sendiri
sedang sibuk atau memang enggan untuk menuruti
permintaan itu. Alston menyebutkan adanya tiga alasan

28
mengapa teori tingkah laku itu tidak dapat berlangsung
sebagaimana mestinya. Pertama, ada keseragaman yang
sama untuk beberapa kalimat yang berbeda dengan
makna yang berbeda. Kedua, melalui kalimat deklaratif
yang harus melakukan suatu bentuk peristiwa yang jauh
dari situasi pengucapan, sehingga ada tekanan yang kuat
untuk menemukan beberapa bentuk situasi umum.
Misalnya: ―Mozart mengarang lagu pada usia 25 tahun‖.
Situasi pengucapan itu terjadi sekitar tahun 1781, karena
Mozart lahir pada tahun 1766. Dengan demikian
keseragaman situasi tidak mencukupi secara radikal
untuk membedakan beberapa pernyataan dari pernyataan
lainnya dengan makna yang berbeda. Ketiga, dalam
semua kasus akan timbul kesulitan besar untuk
menemukan bentuk umum yang melahirkan tanggapan
yang jelas pada pengucapan kalimat yang dibuat.
Contoh: ―silahkan masuk!‖ merupakan sebuah ungkapan
yang jelas, tetapi tanggapan yang timbul bisa berbeda-
beda, karena orang yang mendengar pernyataan itu
punya alasan yang berbeda untuk tidak masuk ke dalam
seperti yang dikehendaki oleh si penutur. Misalnya:

29
karena orang yang mendengar tidak ingin bertemu
dengan si penyapa.
Teori tingkah laku didasarkan atas asumsi bahwa
setiap ungkapan yang dilontarkan dalam situasi umum
akan menghasilkan tanggapan yang sama.

3. Teori Acuan (Referential Theory)


Teori acuan didasarkan pada suatu asumsi bahwa
setiap ungkapan bahasa yang dipergunakan itu
membicarakan atau mengacu pada sesuatu. Teori acuan
merupakan jawaban pertama atas pertanyaan tentang
makna kata atau ungkapan. Makna kata atau ungkapan
menurut teori acuan, dianggap identik dengan objek
yang menjadi acuan kata atau ungkapan tersebut. Contoh
yang paling banyak dijumpai ialah nama diri (proper
names) yang langsung menunjuk satua ekstralinguistik
yang sekaligus menjadi makna nama tersebut.Teori
acuan dalam perkembangan selanjutnya beranggapan
bahwa makna suatu kata atau ungkapan identik dengan
relasi antara kata dan acuannya (Toeti Heraty, 1984: 76).
Senada dengan pernyataan di atas, maka
Judowibowo juga menengarai bahwa ada dua versi

30
dalam teori acuan, yang pertama menyatakan bahwa arti
sebuah kata atau ungkapan adalah sesuatu yang
diacunya. Versi kedua teori acuan menyatakan bahwa
arti sebuah kata atau ungkapan dan acuan adalah
hubungan antara acuan dengan ungkapan atau kata
(Judowibowo, TT: 15). Teori acuan versi kedua lebih
luas pengertiannya daripada versi pertama yang hanya
menempatkan arti pada sesuatu yang diacu, karena relasi
atau hubungan antara acuan dengan ungkapan
mengandaikan lingkup yang lebih luas.
Gottlob Frege menyatakan bahwa ada relasi antara
pengertian (Sinn) dan acuan (Bedeutung). Frege
mempersoalkan bagaimana terbentuknya relasi antara
objek atau relasi antara nama-nama atau tanda-tanda
objek. Frege menyatakan bahwa sebuah relasi akan
mengungkapkan sesuatu pada dirinya sendiri, dan tentu
saja setiap sesuatu itu berdiri pada dirinya sendiri, bukan
pada sesuatu yang lain. Apabila seseorang mengatakan
bahwa a = b, maka itu berarti nama atau tanda a dan b
dimaksudkan sebagai sesuatu yang sama, sehingga relasi
antara tanda-tanda tersebut harus dijelaskan. Dalam hal
ini relasi antara nama-nama atau tanda-tanda hanya

31
sejauh mereka dinamakan atau ditandakan sesuatu,
namun pemberian nama itu sendiri bersifat arbitrer.
Frege menegaskan bahwa tanda dan nama dipahami
sebagai bentuk penunjukkan nama diri (proper names).
Pengertian dari sebuah nama diri dimunculkan setiap
orang yang sudah cukup akrab dengan bahasa yang
dipergunakannya. Acuan sebuah nama diri adalah objek
itu sendiri yang ditunjuk melalui artinya, gagasan yang
dimiliki dalam hal ini cenderung bersifat subjektif.
Misalnya seseorang mengamati bulan menggunakan
teleskop, ia membandingkan bulan itu sendiri pada
acuannya, maka bulan itu adalah objek yang diamati,
yang diperantarai oleh objek kaca pembesar yang
merupakan alat kelengkapan teleskop, dan melalui
retina mata si pengamat. Citra optik dalam teleskop
terletak di satu sisi dan tergantung pada sudut
pengamatan. Apabila pengamatan itu dilakukan oleh
beberapa pengamat, maka hal itu akan menjadi lebih
objektif (Frege, 2008: 113-115).
Acuan (Bedeutung) menurut Toety Herati (1984:
75-76), tidak dapat dipertahankan sebagai satu-satunya
penjelasan tentang makna, karena dalam kenyataan

32
berbahasa satu acuan dapat disebutkan dengan kata atau
ungkapan yang berbeda-beda. Misalnya: ―isteri abang
saya‖ dan ―kakak ipar saya‖. Demikian pula halnya
dengan kata-kata deiktik seperti: ―aku‖, ―kini‖, ―tadi‖,
―nanti‖, ―di sini‖ adalah kata yang dalam struktur bahasa
menunjuk pada tempat dan situasi tuturan. Kata-kata
deiktik itu menurut Toety Herati menunjukkan koordinat
ruang dan waktu (spasiotemporal), yakni saat dan tempat
kata-kata itu diucapkan (Toety Herati,1984: 75-76).
Ullmann mengemukakan konsep teori acuan
(Referensial) berdasarkan model segitiga dasar yang
diajukan Ogden dan Richards bahwa ada relasi anatara
pikiran sebagai referensi dengan lambang dan acuan itu
sendiri (Ullmann, 2009: 66).
Meskipun tidak ada satu teori arti yang cukup
memuaskan untuk memahami secara tuntas masalah arti,
namun ketiga teori arti di atas memberi gambaran
tentang cara para ahli untuk mengungkap asal muasal
makna dari suatu ungkapan. Penelusuran alur pemikiran
para filsuf analitis tentang berbagai persoalan yang
terkait dengan upaya untuk menjernihkan persoalan
bahasa dalam dunia filsafat pada khususnya, dan bidang-

33
bidang studi lainnya pada umumnya, kiranya perlu
dilakukan.

B. Makna dalam Semiotika


Semiotika merupakan sebuah kajian ilmiah yang
mendapat perhatian serius dari banyak peminat budaya
dan filsafat dewasa ini. Semiotika bersumber dari bahasa
Yunani semeion yang berarti tanda (sign). Gorny dalam
sebuah artikel ilmiah, mendefinisikan semiotika sebagai
sebuah ilmu tentang tanda dan atau sistem tanda. Dalam
definisi tersebut ada dua asumsi, yaitu tanda, dan sesuatu
yang diketahui tentang tanda itu. Dalam penjelasannya
Gorny menggambarkan pemikiran St. Augustine yang
menyadari sulitnya membedakan sesuatu dari tanda.
Oleh karena itu menurut Augustine, seseorang harus
mampu mengetahui sesuatu dan membicarakan tentang
sesuatu hanya dengan bantuan tanda, yakni melalui
penempatan kembali sesuatu dengan tanda-tandanya.
Selanjutnya oleh Peirce, seorang pelopor semiotika
modern, hal tersebut dinamakannya dengan terminologi
fixed idea, gagasan yang pasti.

34
(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
h.1).

Ada pula yang mendefinisikan semiotika sebagai


bentuk penerapan metode linguistik atas objek selain
bahasa alami, artinya semiotika terkait dengan bahasa
dalam pengertian artifisial. Dengan demikian semiotika
adalah suatu cara pandang atas segala sesuatu
sebagaimana hal tersebut dibentuk dan berfungsi sesuai
dengan bahasa. Semiotika mencakup segala hal yang
dapat digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem
kekeluargaan, permainan kartu, bahasa isyarat, ekspresi
wajah, seni memasak, ritual agama, dan lain-lain.
(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
h.2).

Chandler memberikan julukan khusus kepada


manusia sebagai homo significans, artinya manusia
adalah mahluk pembuat tanda dan selalu terkait dengan
pemahaman makna tanda. Manusia menyadari bahwa
kehidupan di sekitarnya dipenuhi dengan berbagai
macam tanda, baik yang dapat ditafsir langsung maupun
yang membutuhkan pemahaman secara lebih mendalam.

35
Tanda selalu melibatkan aktivitas mental dan pikiran
manusia, sehingga pemikiran manusia mengalami
pengembangan yang pesat tergantung pada kemauan dan
kemampuan manusia itu sendiri dalam memahami dan
memaknai tanda. (Chandler,
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/sem02.ht
m1, page 1).

Tanda itu sendiri dapat mengambil berbagai bentuk


dalam kata, suara, bau, rasa, tindakan, atau objek.
Namun bukan berarti setiap tanda mengandung makna
secara intrinsik, ia mengandung makna manakala kita
menanamkan itu ke dalamnya. Segala sesuatu dapat
menjadi sebuah tanda sepanjang seseorang menafsirkan
itu sebagai bermakna, mengacu atau menggantikan
sesuatu yang lain. Manusia hanya berpikir dalam tanda,
ujar Peirce dalam Elements of Logic (1998: 169).
Namun penafsiran makna suatu tanda terkait dengan
sistem konvensi yang dikenal luas, hal ini dikenal
dengan istilah simbol..
Van Zoest mengajukan dua pengertian tentang
semiotika, yaitu pengertian sederhana dan pengertian

36
yang luas. Semiotika dalam pengertian yang sederhana
adalah studi penggunaan dan proses tanda (Zoest, 1991:
54). Semiotika dalam pengertian yang lebih luas adalah
studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan tanda; cara berfungsi tanda, hubungannya dengan
tanda-tanda yang lain, pengiriman dan penerimaan oleh
mereka yang menggunakan tanda (van Zoest, 1992: 5).
John Locke mengungkapkan pemikiran tentang
tanda ke dalam filsafat melalui karyanya Essay
Concerning Human Understanding. Ia menjelaskan
bahwa bentuk wicara bahasa yang kabur dan tidak
berarti, dan penyalahgunaan bahasa merupakan hal yang
bersifat misteri bagi ilmu, sehingga kata-kata menjadi
sukar dipahami dan diterapkan. Ada kata-kata yang
sedikit mengandung makna, namun ada pula kata-kata
yang tidak mengandung makna apa pun. Setiap kata
dapat dipelajari dan dipahami secara keliru, sehingga
menimbulkan spekulasi yang tinggi, menurut Locke
memang tidak mudah untuk meyakinkan bagi seseorang
yang mengatakan atau yang mendengarkan, bahwa
sesungguhnya mereka menutupi ketidaktahuan dan hal
ini jelas merupakan rintangan untuk mendapatkan

37
pengetahuan yang benar (Locke, 1910: 8-9). Tuhan
menurut Locke dalam sebuah artikelnya yang berjudul
Meaning and Reference, merancang manusia untuk
menjadi mahluk sosial yang mampu mencipta bahasa.
Kemampuan bahasa terlihat dalam kemampuan berbagai
organ yang dapat mengartikulasikan suara, yang
dinamakan kata (Locke, 1965: 53). Salah satu butir
penting dalam sumbangsih Locke terhadap pemikiran
tentang tanda adalah penegasannya tentang perlunya ide
yang jelas dan terpilah (clear and distinct) dalam
pemikiran dan pernyataan setiap orang, meskipun ia
menyadari bahwa tidak setiap orang dapat
mengungkapkan pengertian secara sempurna.
Pemahaman atas sesuatu hal dalam pikiran seseorang
menurut Locke, sangat ditentukan dari apa yang
seseorang lihat dan persepsi, ini yang dinamakannya
sebagai bentuk gagasan yang sudah ditentukan
(determined idea), yakni di saat gagasan itu secara
objektif ada dalam pikiran seseorang setiap saat, dan
kemudian digabungkan pada nama atau suara yang
diartikulasikan. Gagasan yang sudah diwujudkan ke
dalam bentuk kata atau suara, menurut Locke merupakan

38
tanda (sign) yang terus menerus hadir dalam pikiran
seseorang untuk mewakili objek yang sama (Locke,
1910: 12).
Eugene Gorny dalam artikelnya yang berjudul
What is Semiotics?
(http://www.zhurnal.ru/staff/gorny/english/semiotic.htm:
hal. 2-3) mengajukan tiga definisi mengenai semiotika.
Pertama, semiotika adalah sebuah ilmu tentang tanda
dan atau sistem tanda. Dalam definisi ini Gorny
menjelaskan bahwa seseorang mampu mengetahui dan
membicarakan tentang sesuatu hanya dengan bantuan
tanda, yaitu melalui penempatan kembali sesuatu objek
dengan tandanya. Oleh karena itu Gorny menegaskan
semiotika adalah sebuah sarana yang
mempertimbangkan sesuatu sebagai tanda dan sistem
tanda. Kedua; semiotika adalah sebuah penerapan
metode linguistik pada objek selain bahasa alami. Disini
semiotika merupakan suatu cara pandang atas sesuatu
sebagaimana halnya fungsi bahasa. Segala sesuatu dapat
digambarkan sebagai bahasa seperti: sistem kekerabatan,
permainan kartu, gerak tubuh dan ekspresi wajah, seni
kuliner, ritual keagamaan. Lebih lanjut Gorny

39
menyatakan bahwa semiotika adalah sebuah transfer dari
bahasa metafor ke dalam fenomena yang non-linguistik.
Ketiga; semiotika sebagai suatu ilmu yang
dilembagakan oleh para semiotikawan. Tanda orientasi
semiotika sebagai karya yang diterima adalah
penggunaan terminologi semiotika konvensional
(seperti: sign, code, signification, semiosis, etc) bersama
dengan acuan pada karya semiotika lainnya. Dengan
demikian definisi semiotika yang ketiga ini adalah
semiotika sebagaimana yang dimaksudkan oleh para
semiotikawan.
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang
tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi makna. Tanda
merupakan sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu
yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang
dapat diamati dapat disebut tanda, karena itu tanda tidak
hanya terbatas pada benda, namun bisa berupa peristiwa.
Sebagai contoh: sebuah bendera kecil, sebuah isyarat
tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan
makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf,
peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu,
letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga,

40
rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat,
berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk
bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan,
kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap
sebagai tanda (Zoest, 1993:18).
Jack Solomon dalam bukunya The Signs of Our
Time menjelaskan bahwa semiotika merupakan ilmu
tentang tanda yang erat kaitannya dengan kehidupan
budaya dan ditentukan oleh enam prinsip sebagai
berikut. Pertama; semiotika selalu mempertanyakan
pandangan umum hal-hal tertentu, karena pandangan
tersebut merupakan ―pandangan komunal‖. Kedua;
semiotika merupakan pandangan orang awam yang
biasanya dimotivasi oleh ketertarikan kultural yang
mempengaruhi kesadaran yang terkait dengan alasan
ideologis. Ketiga; semiotika merupakan sebuah sikap
budaya yang cenderung untuk menyembunyikan
ideologinya di belakang perlindungan alam, memberikan
keyakinan bahwa yang mereka lakukan adalah biasa dan
alamiah serta mengutuk praktik kebudayaan yang
berseberangan sebagai hal yang tidak alamiah.
Keempat; semiotika merupakan sebuah cara

41
mengevaluasi sistem dalam praktik kebudayaan,
seseorang harus memiliki latar belakang ketertarikan.
Kelima; Semiotika merupakan sebuah kerangka mitis,
artinya manusia tidak memersepsikan dunianya secara
langsung, namun melihatnya lewat saringan berupa
mode semiotik atau kerangka mitis. Keenam; semiotika
merupakan sebuah barometer kebudayaan yang
menandakan adanya pergerakan dinamis dari sejarah
sosial (Solomon, 1988: 10).
Deborah L.Smith-Shank yang menerapkan
pendekatan semiotika dalam bidang pendidikan
menyatakan bahwa semiotika merupakan sebuah
pendekatan yang memahami kodrat makna,
pengetahuan, budaya, bahkan kehidupan (termasuk
manusia, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam). Oleh
karena itu semiotika dapat dipergunakan pula sebagai
pendekatan terhadap landasan filsofis pendidikan.
Sebuah tanda, lanjut Deborah, dapat bersifat verbal,
visual, isyarat, musik, dan lain-lain. Sebuah tanda
menggantikan sesuatu yang dinamakan objek melalui
penciptaan interpretan yang merupakan sebuah tanda
ekstra (tambahan) yang menggantikan beberapa aspek

42
objek. Interpretan itu boleh jadi sebuah pemikiran atau
notasi yang menghadirkan kembali suatu objek, tetapi
interpretan bukan merupakan objek itu sendiri. Lebih
lanjut Deborah menegaskan pemikiran salah seorang
tokoh semiotika, yakni Peirce tentang tanda dalam
pengalaman manusia di dunia ini selalu diperantarai
melalui tanda, sehingga seseorang tidak pernah
mengetahui objek secara penuh dan langsung.
Seseorang hanya dapat mengetahui objek secara parsial,
hanya melalui penafsiran atas tanda-tanda dari objek
yang memberikan kepadanya pandangan sekilas pada
beberapa hal atau kapasitas objek (Deborah, 2005: 225-
226).
Semiotika sebagai teori tentang tanda sangat
terkait dengan interpretasi dan klasifikasi. Interpretasi
diperlukan dalam kaitannya dengan menafsirkan makna
dari sebuah tanda. Klasifikasi diperlukan dalam
kaitannya dengan kemampuan untuk memilah-milahkan
dan menempatkan tanda dalam kategori yang tepat.
Sebagai contoh seorang ahli zoologi mengetahui
klasifikasi hewan yang dapat diinterpretasi berdasarkan
bahasa objek (object-language) yang khusus. Misalnya:

43
apabila seorang zoologis membicarakan tentang
‖mamalia‘, maka kemampuan ahli zoologi tersebut untuk
melakukan klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi
sangat penting. Misalnya: penelusuran tentang asal mula
seekor anjing mulai dari species, family hingga genus.
(Eco, 1984: 54-55). Semiotika juga dapat dipergunakan
untuk menginterpretasi dan mengklasifikasi perihal
budaya, termasuk wayang. Misalnya interpretasi atas
tokoh-tokoh film sebagai simbol kebaikan dan kejahatan;
simbol kejujuran dan kelicikan; simbol keteguhan
prinsip dan keraguan, dan seterusnya.
Tanda dan logika adalah dua hal yang saling terkait
dalam rangka membentuk penafsiran pemikiran manusia.
Oleh karena itu sebuah momen pikiran akan
memperlihatkan bahwa berbagai fakta yang sudah siap
untuk diasumsikan manakala persoalan logis atau
tidaknya suatu tanda dipertanyakan. Dengan demikian
setiap bentuk transformasi pikiran dari sangsi menjadi
percaya merupakan hal yang mungkin terjadi. Subjek
dalam transformasi terarah pada beberapa aturan yang
mengikat seluruh pikiran seseorang. Objek penalaran itu
ditemukan berdasarkan pertimbangan dari sesuatu yang

44
sudah siap untuk diketahui, bukan dari sesuatu yang
tidak diketahui. Konsekuensinya, sebuah penalaran
dianggap baik manakala menghasilkan sebuah
kesimpulan yang benar dari premis-premis yang benar
pula. Dengan demikian persoalan validitas murni bertitik
tolak dari fakta, bukan pemikiran, dan fakta itu dibentuk
dan disusun dalam premis (Buchler, 1955:7-9). Relasi
timbal balik antara logika dan tanda identik dengan relasi
antara premis atau pernyataan dengan fakta, karena
premis atau pernyataan merepresentasikan logika,
sedangkan fakta merepresentasikan tanda.
Namun untuk mendapatkan artikulasi tanda yang
tepat dibutuhkan kejernihan pikiran, sehingga hal
pertama yang penting diketahui adalah bahwasanya
logika mengajarkan kepada seseorang bagaimana cara
membuat gagasan atau pikiran dalam diri seseorang
sehingga menjadi terang atau jernih. Seseorang yang
mengetahui dengan baik apa yang dipikirkannya berarti
ia memiliki pemahaman tentang makna, hal tersebut
memberikan dasar yang kuat bagi pikiran yang baik
(Buchler, 1955: 25).

45
BAB III

POKOK-POKOK PEMIKIRAN PARA


FILSUF ANALITIS

Sebagaimana yang diungkapkan di atas


bahwasanya pemikiran dalam filsafat analitis dapat
dibagi ke dalam lima tahap perkembangan dengan corak
yang khas, yaitu tahap perintis dengan tokoh utama
Moore; tahap Atomisme Logis dengan tokoh utama
Russell dan Wittgenstein periode Tractatus; tahap
Positivisme Logis dengan tokoh utama A.J.Ayer; tahap
Filsafat Bahasa Biasa dengan tokoh utama Wittgenstein
periode Philosophical Investigations, dan tahap aplikatif
dengan tokoh utama J.F.Lyotard. Pengkajian atas
pemikiran dalam filsafat analitis akan difokuskan pada
pemikiran para filsuf tersebut di atas.

A. G.E. Moore (1873 – 1958)


George Edward Moore termasuk salah satu filsuf
Inggris yang paling gigih menentang pandangan
neohegelianisme yang berkembang pada awal abad

46
keduapuluh. Kebanyakan pernyataan pengikut
neohegelianisme itu menurut Moore, sulit bahkan tidak
terpahami dengan common sense atau akal sehat
manusia. Oleh karena itu salah satu cara untuk
menentang pemikiran mereka itu, maka diperlukan
standar yang bisa diterima oleh kebanyakan pemikiran
manusia, dalam hal ini common sense merupakan tolok
ukur yang dianggap Moore paling memadai. Karya
Moore yang menganalisis alur pemikiran idealisme
berjudul Philosophical Studies, kemudian karyanya
yang mengkaji tentang common sense adalah Some
Main Problems of Philosophy; sedangkan Principia
Ethica merupakan kajian tentang meta-etika atau filsafat
analitis yang diarahkan ke dalam bidang etika.

1. Penolakan atas Idealisme


Penganut idealisme modern menurut Moore mencoba
menerangkan berbagai pemikiran tentang alam semesta
(universe) yang bermuara pada pandangan yang bersifat
spiritual. Ada dua butir penting pemikiran idealisme
yang terkait dengan penjelasan tentang alam semesta.
Pertama, bahwasanya alam semesta sangat berbeda dari

47
apa yang menampak, dan kedua bahwa alam semesta itu
memiliki sejumlah besar sifat-sifat yang tidak
tertangkap oleh indera manusia. Moore mencontohkan
kursi, meja, gunung terlihat sangat berbeda dari manusia,
demikian pula halnya dengan keseluruhan alam semesta
yang dinyatakan penganut idealisme sebagai sesuatu
yang spiritual. Hal itu menurut Moore sama halnya
dengan menganggap alam semesta itu jauh lebih luas
maknanya daripada apa yang bisa dipikirkan oleh
seseorang (Moore, 1951 : 1).
Moore menyebutkan dua hal yang menjadi
kesulitan dalam perdebatan filosofis, pertama keluasan
pandangan yang berbeda antara pemikiran idealistik
dengan pandangan sehari-hari tentang dunia. Kedua,
perbedaan tentang penggunaan proposisi yang harus
dibuktikan oleh penganut idealisme, sebab mereka
cenderung memandang atau mengasumsikan bahwa
realitas (reality) ini merupakan sesuatu yang bersifat
spiritual. Moore menyatakan bahwa mungkin saja untuk
mengatakan bahwa realitas itu bersifat spiritual, namun
rangkaian argumen yang dibangun untuk menyatakan hal
itu bisa salah (Moore, 1951: 2). Setiap sensasi atau

48
gagasan yang ada dalam pikiran seseorang harus
membedakan dua unsur, yaitu objek dan kesadaran. Di
saat sebuah gagasan itu muncul, maka seseorang harus
memilih beberapa hal, yakni hanya objek, atau kesadaran
semata, ataukah keduanya sekaligus. Sesuatu objek
hanya eksis karena didukung oleh fakta mental, dengan
demikian objek dan kesadaran itu sama-sama eksis, hal
ini dinamakannya objek pada kesadaran dalam berbagai
gagasan. Objek dalam hal ini semata-mata adalah isi dari
gagasan. Moore menegaskan bahwa dalam setiap
peristiwa dapat dibedakan dua unsur, yaitu pertama,
fakta tentang adanya perasaan atau pengalaman; kedua,
apa yang dialami, sensasi atau gagasan itu yang
dikatakan sebagai bentuk keseluruhan yang harus
dibedakan dua aspek yang tidak terpisah (inseparable
aspects) yakni isi (contents) dan keberadaan (existence)
(Moore, 1951: 20-21).
Moore dalam bukunya Some Main Problems of
Philosophy bab XII menolak pandangan Idealisme
Bradley tentang makna realitas. Istilah real yang
dipergunakan dalam bidang filsafat mengandung
pengertian teknis yang berbeda dalam penggunaan hidup

49
sehari-hari. Penggunaan istilah-istilah seperti: ―real‖,
―exists‖ dalam bidang filsafat berbeda dengan apa yang
dipahami dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Para
filsuf idealisme menurut Moore memahami makna
istilah real itu secara ambigu, bermakna ganda. Hal ini
diungkapkan Moore dalam pernyataan berikut:
―What is the meaning of the word ‗real‘? What I
want to do is to raise certain questions about the
nature of this notion, which is called up by the
word ‗real‘, not merely to call it up. And, therefore,
I think it perhaps unfortunate of me to describe this
question of mine as a question as to the meaning of
the word ‗real‘. The fact that the very same words:
What is the meaning of the word ‗real‘? may be
used to express these two entirely different
questions, may, I think, give rise to
misunderstandings as to the precise nature and
bearings of the one which I do want to raise. And I
want now, by the help of this distinction, to try to
point out more clearly exactly what the chief
question I do want to raise is, and what its
bearings are‖ (Moore, 1953: 218-219).
(―Apa arti dari kata 'nyata'? Hal yang saya ingin
lakukan adalah untuk memunculkan pertanyaan-
pertanyaan tertentu tentang sifat dari gagasan, yang
disebut oleh kata 'nyata', tidak hanya untuk
menyebutkannya. Karena itu, saya pikir itu
mungkin menguntungkan saya untuk menjelaskan
pertanyaan saya sebagai pertanyaan untuk arti kata

50
'nyata'. Kenyataan bahwa kata-kata yang sama:
Apa arti dari kata 'nyata'? dapat digunakan untuk
mengekspresikan dua pertanyaan yang sama sekali
berbeda, mungkin, saya pikir, menimbulkan
kesalahpahaman sebagai sifat yang tepat dan
mendukung dari satu yang saya ingin munculkan.
Dan yang saya inginkan sekarang, dengan bantuan
dari perbedaan ini, untuk mencoba menunjukkan
lebih jelas apa pertanyaan utama yang saya ingin
munculkan, dan sesuatu yang mendukungnya‖).

Abbas Hamami mengomentari pemikiran Moore


bahwa objek sebagai material thing merupakan benda
yang memiliki kedudukan ontologis real. Sesuatu yang
real bukanlah merupakan hal yang terdapat dalam
aktivitas mental, melainkan realitas yang memiliki
eksistensi yang berdiri sendiri, terpisah dari sesuatu yang
lain (Abbas Hamami, 2005: 47). Moore sendiri
menegaskan bahwa sesuatu yang real harus memenuhi 3
syarat sebagai berikut. Pertama, segala sesuatu
dikatakan real karena mempunyai hubungan dengan
yang lain, sehingga jika tidak ada hubungan dengan yang
lain maka ia bukan sesuatu yang real. Kedua, sifat makna
kata real adalah suatu bagian unsur dari sesuatu yang
termasuk di dalamnya, dan karena itu tidak dapat

51
diidentikkan dengan keseluruhan dari bagian. Ketiga,
kata real adalah sifat yang mengandung tingkatan,
sehingga dapat bersifat kurang real´atau lebih real
(Moore, 1953: 231).
Pandangan metafisika Moore menegaskan bahwa
objek harus dipisahkan dari kesadaran. Objek tidak
menyatu dengan subjek dalam kesadaran sebagaimana
yang dianut oleh kaum idealis (Abbas Hamami, 2005:
47). Disinilah pentingnya peran common sense dalam
memahami realitas menurut pandangan Moore.

2. Common sense
Kebanyakan filsuf menurut Moore
menggambarkan tentang alam semesta itu dengan cara
yang berbeda-beda, hal itu disebabkan mereka tidak
menggunakan common sense. Hal yang paling
mengagumkan dan menarik yang dilakukan para filsuf
itu menurut Moore adalah cara ke luar dari atau bahkan
bertentangan dengan common sense. Padahal menurut
Moore, berdasarkan common sense itu manusia mampu
mempercayai adanya sejumlah besar objek material di
alam semesta seperti: manusia, hewan, tumbuh-

52
tumbuhan, benda-benda tak bernyawa (gunung, batu-
batuan). Semua unsur alam semesta itu dipercayai oleh
manusia lantaran common sense mempercayai adanya itu
semua. Namun di samping objek material yang bersifat
fisik, manusia dengan common sense-nya juga percaya
bahwa ada fenomena yang sangat berbeda seperti pikiran
(minds), tindakan mental atau kesadaran (consciousness)
(Moore, 1953: 2-4).
Moore menyebutkan tiga karakteristik paling
penting dari objek material sebagai berikut. Pertama,
objek material merupakan sesuatu yang berbeda dari
tindakan kesadaran. Kedua, semua objek material itu
terletak dalam dimensi ruang dan waktu. Ketiga, objek
material memiliki sifat yang khas, yakni selalu eksis
meskipun manusia tidak menyadarinya (Moore, 1953:
9).
Apakah yang terjadi dalam pikiran manusia ketika
seseorang mendapatkan pengetahuan tentang objek
material melalui pancaindera? Persoalan ini diajukan
oleh Moore untuk menegaskan cara kerja persepsi
inderawi yang mendukung aktivitas common sense.
Moore mencontohkan ketika seseorang memegang

53
sebuah benda (misalnya: pensil) dan orang lain
menyaksikannya, maka dapat dikatakan bahwa orang
yang memegang dan yang menyaksikannya itu sama-
sama melihat objek yang sama, yaitu pensil yang benar-
benar ada. Hal ini memunculkan pertanyaan: peristiwa
apa yang terjadi dalam pikiran setiap orang yang
menyaksikan pensil tersebut? Menurut Moore, tanpa
mengasumsikan apa yang dilakukan orang-orang yang
memegang dan menyaksikan suatu benda, dalam
kenyataannya mereka semua tahu keberadaan objek
material yang sama. Hal ini dinamakan pengetahuan
tentang keberadaan objek material yang diperoleh
melalui persepsi inderawi. Proses persepsi inderawi itu
sendiri terjadi melalui beberapa tahapan sebelum
seseorang memutuskan objek material apa yang ia amati.
Pertama, adanya data inderawi, kemudian data tersebut
dapat dilihat warnanya, terletak pada wilayah yang
terlihat (misalnya ada sinar), ada ukuran dan bentuk.
Kedua, sebelum data inderawi itu masuk ke dalam
pikiran seseorang, maka Moore menamakannya
pemahaman langsung (direct apprehension), artinya
setiap tindakan persepsi inderawi paling tidak terdiri atas

54
data inderawi yang pasti. Ketiga, apa yang terjadi dalam
persepsi inderawi sesungguhnya adalah ketika seseorang
mencoba untuk menemukan sesuatu atau peristiwa
melalui pengamatan atas pikirannya sendiri (Moore,
1953: 52).

3. Analitika Bahasa Dalam Meta Etika


Moore dalam karyanya Principia Ethica
menjelaskan tentang analisis terminologi etika melalui
pendekatan filsafat analitis. Moore menegaskan bahwa
dalam kehidupan sehari-hari banyak putusan etika yang
dimunculkan manusia berupa ucapan seperti: ―Ia seorang
pria yang baik‖, ―Pria itu seorang penjahat atau
kriminal‖, ―peminum alkohol itu buruk, sedangkan orang
yang pantang alkohol itu baik‖. Pernyataan-pernyataan
tersebut menurut Moore merupakan persoalan etika yang
perlu didiskusikan. Moore mengajukan alasan kebenaran
suatu pernyataan tentang karakter seseorang atau benar
atau salahnya tindakan moralitas seseorang. Ketika
pernyataan-pernyataan yang terkait dengan putusan dan
tindakan moral itu dilontarkan, maka di dalamnya
melibatkan berbagai istilah seperti:‖virtue‖, ―vice‖,

55
―duty‖, ―right‖, ―Ought‖, ―good‖, ―bad‖. Di saat
itulah menurut Moore manusia sedang membuat putusan
dan pertimbangan etis. Pada saat seseorang mengatakan
bahwa ―orang itu baik‖, maka secara umum
dimaksudkan bahwa orang itu melakukan tindakan yang
benar. Demikian pula ketika seseorang mengatakan
bahwa ―pemabuk itu merupakan tindakan yang buruk‖,
maka yang dimaksudkan secara umum adalah tindakan
minum alkohol itu salah atau tindakan yang buruk
(Moore, 1954: 1-2). Keunikan etika menurut Moore,
bukan terletak pada penyelidikan tentang tindakan
manusia, melainkan penjelasan tentang sifat sesuatu
yang ditunjuk oleh istilah ―baik‖ atau sebaliknya sifat
yang ditunjuk oleh istilah ―buruk‖ (Moore, 1954 :36).
Moore menganalisis berbagai terminologi yang
banyak dijumpai dalam bidang etika, sehingga bagi
Moore persoalan etika itu lebih menyangkut pemahaman
atas makna istilah yang timbul dalam ungkapan bahasa
sehari-hari. Berbagai pengertian seseorang tentang
kebenaran, kebebasan, kebajikan berada dalam beberapa
alternatif ukuran yang lebih baik pada kebahagiaan atau
hal yang menyenangkan. Kebahagiaan menurut

56
pandangan Moore termasuk ke dalam bagian kebaikan
yang paling pokok (ultimate good). Moore menunjukkan
dua prosedur yang perlu diperhatikan ketika seseorang
bermaksud melakukan pertimbangan moral secara
umum. Pertama, keputusan intuitif yang dilakukan
seseorang setelah ada pertimbangan atas pertanyaan
manakala putusan moral ditempatkan sebelumnya. Ada
relasi antara subjek yang sadar dengan objek moral
bilamana muncul kesadaran yang mengiringinya dan
diakibatkan dari putusan itu bukan merupakan hal yang
pokok dan keinginan yang bersifat intrinsik Moore
berpendapat bahwa ada objek yang lebih daripada
sekadar sesuatu yang bersifat material, ketika
dipertimbangkan terpisah dari relasi kesadaran manusia.
Kedua, perbandingan menyeluruh atas pertimbangan
kemanusiaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
(Moore, 1954: 86).
Moore menegaskan bahwa dalam etika, hukum
hipotetis yang berbunyi ―tindakan yang tepat akan
menghasilkan pengaruh yang tepat pula‖, tidak dapat
diterapkan. Alasan Moore, sebuah keputusan etika yang
benar dapat memengaruhi tindakan yang pasti dari

57
seseorang akan dihadapkan pada dua persoalan berikut:
Pertama, seseorang dapat mengetahui bahwa sebuah
tindakan yang terberi (given) akan menghasilkan
pengaruh yang pasti, di bawah kondisi peristiwa apa pun;
kedua, seseorang dapat mengetahui tidak hanya suatu
tindakan tertentu yang akan menghasilkan pengaruh
yang baik, tetapi di antara seluruh peristiwa berikutnya
juga dipengaruhi oleh tindakan yang berada dalam
persoalan, maka keseimbangan dari kebaikan akan
menjadi lebih besar daripada beberapa kemungkinan
tindakan lainnya yang akan ditampilkan. Ini sama halnya
dengan memutuskan bahwa sebuah tindakan itu secara
umum sebagai suatu sarana untuk berbuat baik adalah
dengan memutuskan tidak hanya bahwa tindakan yang
bersifat umum dapat diarahkan melakukan beberapa
kebaikan, tetapi tindakan umum itu juga dapat
melakukan kebaikan tertinggi yang berlaku dalam
berbagai peristiwa (Moore, 1954: 22-23).

58
B. Bertrand Russell (1872 – 1970)

Atomisme Logis ini adalah suatu faham atau ajaran


yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah
menjadi proposisi-proposisi atomis atau proposisi-
proposisi elementer, melalui teknik analisis logis atau
analisis bahasa. Setiap proposisi atomis atau proposisi
elementer itu tadi mengacu pada atau mengungkapkan
keberadaan suatu fakta atomis, yaitu bagian terkecil dari
realitas. Pandangan kaum Atomisme Logis ini
bermaksud menunjukkan adanya hubungan yang mutlak
antara bahasa dengan realitas.
Para peminat filsafat analitis pada umumnya
mengenal konsep Atomisme Logis ini melalui dua
sumber konsep kepustakaan. Sumber kepustakaan
pertama adalah hasil karya Bertrand Russell yang
berjudul Logic and Knowledge. Karya tersebut
merupakan kumpulan artikel yang pernah ditulis Russell
dalam majalah The Monist pada 1918 dan 1919. Avrum
Stroll menggambarkan pendekatan filsafat Russell
sebagai filsafat ilmiah yang didasarkan pada logika
matematik. Apa yang dimaksudkan Russell dengan

59
filsafat ilmiah pada hakikatnya ialah epistemologi kaum
empiris dan teori pengetahuan yang didasarkan pada
logika matematik (Stroll, 2000: 45). Sumber kepustakaan
kedua adalah karya Russell yang berjudul An Inquiry
into Meaning and Truth yang membahas tentang proper
names dan basic propositions. Sebenarnya masih ada
sumber kepustakaan lainnya, yaitu kata pengantar yang
dibuat Russell untuk karya Wittgenstein yang berjudul
Tractatus Logico- Philosophicus, namun secara umum
orang menganggap keseluruhannya sebagai karya
Wittgenstein, padahal itu merupakan pemikiran Russell
sendiri sebagai bentuk komentar atas pemikiran
Wittgenstein dalam karya tersebut..

1. Konsep Atomisme Logis Bertrand Russell


Russell pada mulanya mengikuti garis pemikiran
Moore sebagai upaya untuk menentang pengaruh neo-
hegelianisme di Inggeris dengan bertitik tolak pada akal
sehat (common sense). Russell dalam perkembangan
pemikiran selanjutnya, mengambil jalan yang berbeda
dengan jalan yang ditempuh Moore. Penggunaan bahasa
biasa bagi maksud filsafat sebagaimana yang diinginkan

60
Moore menurut Russell, tidaklah tepat. Russell tidak
sekedar bermaksud mengarahkan teknik analisis yang
diajukan oleh Moore itu untuk menentang ungkapan
kosong dari kaum Hegelian, akan tetapi Russell juga
mencoba untuk membentuk filsafat yang bercorak ilmiah
dengan cara menerapkan metode ilmiah pada filsafat
(Charlesworth,1959 : 49). Russell menegaskan bahwa
dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah
selayaknya seorang filsuf menggunakan bahasa biasa,
sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk
(abominable), juga merupakan penghalang besar bagi
kemajuan filsafat (Charlesworth,1959 : 51-52). Berbagai
bentuk kalimat menurut Russell mengungkapkan
pertanyaan (interogative), mengungkapkan harapan
(optative), kalimat seru (exclamatory), dan menunjukkan
perintah (imperative) mengandung maksud-maksud
tertentu, bersifat indikatif, sehingga masing-masing
mengandung logika tersendiri (Russell,1980: 30).
Russell berupaya menentukan titik-tolak
pemikirannya berdasarkan bahasa logika, sebab Russell
berkeyakinan bahwa teknik analisis yang didasarkan
pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa

61
dan struktur realitas. Persoalan logis menjadi sangat
penting bagi Russell, karena hal itu merupakan kondisi
terbentuknya simbolisme yang akurat, artinya setiap
kalimat mengandung arti yang terbatas dan pasti, meski
dalam kenyataannya, bahasa biasanya kabur, sehingga
apa yang disampaikan tidak pernah benar-benar tepat.
Salah satu hal yang penting menurut Russell adalah
kondisi simbolisme terhadap keunikan makna atau acuan
dalam simbol atau kombinasi simbol. Sebuah bahasa
logis yang sempurna harus mengandung aturan sintaksis
yang dapat mencegah bahasa yang tidak bermakna, dan
salah satu langkah yang tepat adalah dengan meletakkan
simbol tunggal yang memiliki makna unik dan terbatas
(Russell, 1995: 8).
Meskipun Russell tidak secara tegas menolak tugas
filsafat yang dijalankan oleh para filsuf terdahulu—
pembahasan tentang dunia secara menyeluruh—namun
ia tidak menyetujui pandangan para filsuf sebelumnya
yang menganggap bahwa itulah tugas filsafat yang
paling utama. Tugas filsafat pada hakikatnya adalah
analisis logis yang diikuti oleh sintesis logis. Walaupun
pembahasan atau pembentukan yang bersifat menyeluruh

62
merupakan bagian dari tugas filsafat, namun Russell
tidak percaya bahwa hal itu merupakan bagian yang
paling penting. Bagian terpenting menurut Russell justru
terkandung dalam kritik dan penjelasan terhadap
pernyataan yang mungkin untuk dijawab sebagai dasar
dan pengakuan yang tidak dapat diganggu gugat
(Charlesworth,1959 : 49).
Analisis logis di sini mengandung pengertian, suatu
upaya untuk mengajukan alasan a priori yang tepat bagi
pernyataan, sedangkan sintesis logis berarti menentukan
makna pernyataan atas dasar empirik atau pengalaman.
Cara yang demikian itu menurut Russell merupakan
upaya untuk menerapkan teknik analisis bahasa dalam
rangka memecahkan masalah filsafat. Namun Russell
lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis,
karena teori yang bersifat empiris semata atau hanya
didasarkan atas fakta, tidak dapat menjangkau hal-hal
yang bersifat universal. Kebenaran yang bersifat logis
dan matematis menurut Russell manakala diungkapkan
melalui analisis logis akan dapat meyakinkan seseorang
untuk mengakui kepribadian sifat-sifat universal yang
tak terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat

63
empiris murni tidak dapat mempertanggungjawabkan hal
seperti itu (Charlesworth,1959: 50). Russell
menganjurkan untuk mencari teori ilmiah yang lain,
lebih daripada sekadar empiris murni. Pandangan yang
demikian inilah yang agaknya membuat Russell lebih
mencurahkan pemikirannya untuk membentuk suatu
bahasa ideal bagi filsafat dengan didasarkan pada
bahasa logika. Bahasa ideal yang dimaksud ialah bahasa
yang mengandung makna yang unik, terbatas, tidak
bermakna ganda.
Russell menyusun sebuah konsep Atomisme Logis,
artinya melalui titik tolak bahasa logika ia menjalankan
teknik analisis bagi bahasa filsafat untuk memeroleh apa
yang disebutnya dengan atom logis. Hal yang
menyebabkan ajarannya itu dinamakan doktrin
Atomisme Logis ialah karena atom-atom yang ingin
diperolehnya sebagai hasil analisis terakhir bukan
merupakan atom fisik, melainkan atom logis; artinya
filsafat pertama-tama harus merupakan suatu bentuk
analisis logis apabila filsafat akan dikategorikan sebagai
kegiatan ilmiah. Filsafat Atomisme Logis yang diajukan
Russell ini bertitik tolak dari prinsip isomorfi,

64
kesepadanan, sehingga pengetahuan itu merupakan
sejumlah pernyataan yang tersusun membentuk suatu
sistem yang mengacu pada unsur pada realitas.
Kesepadanan atau prinsip isomorfi merupakan
kesesuaian struktur antara bahasa logis dengan realitas
(Toety Herati, 1984: 85-86).

2. Corak Logis (Logical Types)


Benar (true) atau salah (false) yang diterapkan
pada kalimat menurut Russell selalu mensyaratkan
bahasa lain pada tataran yang lebih tinggi. Konsepsi
mengenai hirarki bahasa inilah yang membahas teori tipe
(theory of types) yang dapat dipergunakan untuk
memecahkan masalah paradoks (Russell, 1980: 62).
Titik-tolak pada bahasa logika, dimaksudkan Russell
untuk menentukan corak logis yang terkandung dalam
suatu ungkapan. Sebagaimana pula halnya dengan
Moore, Russell melihat bahwa penyimpangan yang
terjadi dalam bahasa filsafat itu lebih banyak
ditimbulkan oleh ketidakpahaman terhadap bahasa
logika. Russell menengarai adanya perbedaan corak logis
ini melalui perbedaan antara dua kalimat yang struktur

65
bahasanya sama, namun memiliki struktur logis yang
berbeda (Charlesworth, 1959 : 52). Penjelasan Russell
mengenai suatu pengertian atau istilah yang memiliki
corak logis yang sama diungkapkan melalui contoh
berikut: ―A dan B hanya dapat dikatakan memiliki corak
logis yang sama, jika unsur A mengandung kesesuaian
dengan unsur B, sehingga akibat yang berlaku atau unsur
lawan bagi B dapat digantikan pada A. Hal ini dapat
diilustrasikan sebagai berikut: Socrates dan Plato
dianggap memiliki corak yang sama, sebab ―Socrates
adalah seorang filsuf‖ dan ―Plato seorang filsuf‖,
keduanya mengandung fakta yang sama, yakni sama-
sama berperan sebagai filsuf‖ (Charlesworth,1959: 53).
Setiap kata itu mempunyai fungsi logis yang
berbeda; kata kerja misalnya, tidak dapat dipergunakan
sebagai kata benda, dan kata sifat tidak dapat
dipergunakan sebagai kata penghubung. Hal yang
penting menurut Russell adalah, kesimpulan logis secara
umum itu digambarkan berdasarkan fakta
(Charlesworth,1959 : 53). Ini berarti dua istilah yang
dianggap memiliki corak logis yang sama, bukan
lantaran istilah tersebut dipandang menurut berbagai

66
penafsiran yang mungkin dikenakan bagi istilah itu,
tetapi yang lebih banyak ditonjolkan di sini adalah aspek
logis yang didukung oleh fakta tertentu, sehingga dapat
ditarik kesimpulan yang logis pula bagi istilah yang
diperbandingkan. Jadi kalau dikatakan ―Socrates‖ dan
―Plato‖ adalah dua nama yang memiliki corak logis yang
sama, kesimpulan itu didasarkan pada kenyataan bahwa
keduanya termasuk atau digolongkan ke dalam kelas
atau kategori sebagai filsuf. Pemahaman corak logis
yang terkandung dalam ungkapan menurut Russell akan
dapat membedakan antara bentuk tatabahasa berupa
penampakan bentuk logis dengan bentuk sintaksis
berupa bentuk logis yang nyata dari sebuah kalimat.

3. Prinsip Isomorfi
Seluruh pengetahuan hanya dapat dipahami apabila
diungkapkan dalam bentuk bahasa logika. Keyakinan ini
diwujudkannya dalam karya yang disusunnya bersama
A.N. Whitehead, yaitu Principia Mathematica. Karya
tersebut memperlihatkan bahwa konsep-konsep
matematika dapat didefinisikan dengan menggunakan
istilah logika saja, dan dalil matematik dapat dibuktikan

67
dengan hanya menggunakan definisi dan prinsip logika
(Bertens, 1976 : 28). Russell berkeyakinan, dengan
memadukan prinsip matematik ke dalam prinsip logika,
maka akan mampu memecahkan persoalan filsafat.
Kecenderungannya untuk menerapkan metode ilmiah –
dengan bertitik tolak pada prinsip logika itu— pada
bidang filsafat inilah yang merupakan inti pemikiran dari
Atomisme Logis. Upaya untuk mengungkapkan
pengetahuan yang benar ke dalam bentuk pernyataan
yang benar –atas dasar prinsip logika— telah membawa
Russell memasuki wilayah analisis bahasa.
Analisis bahasa yang benar itu dapat menghasilkan
pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena
unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomis)
merupakan gambaran unsur paling kecil dari dunia fakta
atau fakta atomis (Hamersma, 1983 : 135). Atau dengan
kata lain, ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau
realita di satu pihak dan dunia kata atau simbol di pihak
lain: ada isomorfi, kesepadanan antara unsur bahasa dan
unsur kenyataan (Toety Herati, 1984 : 75). Prinsip
isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu
kata atau ungkapan, sehingga dengan memberikan dasar

68
acuan itu Russell menganggap telah ‖mengisi‖ setiap
pernyataan dengan fakta.
Gambaran yang jelas tentang pemberian dasar
acuan (reference) bagi kata atau istilah sebagai unsur-
unsur bahasa itu dapat dilihat pengelompokan sebagai
berikut.
Pertama; Nama Diri (proper names), yaitu jenis-
jenis kata yang mengacu pada nama pengganti diri atau
sesuatu yang ditunjuk oleh nama diri tersebut. Misalnya;
si Badu, Jawa, kuda. Kedua; Nama Diri Logis, yaitu
jenis-jenis kata deiktik atau jenis-jenis kata yang
mempunyai acuan lebih dari satu arti / maknanya sangat
tergantung pada si penutur atau situasi penuturannya.
Misalnya jenis kata penunjuk, ‖ini‖, ‖itu‖, dan jenis kata
ganti, ‖aku‖, ‖dia‖, ‖engkau‖, dan lain-lain. Ketiga;
Unique definite description atau Deskripsi Penunggal,
yaitu rangkaian kata atau gatra yang mengacu pada
seseorang atau sesuatu menurut batasan yang telah
ditentukan dalam deskripsi tersebut. Misalnya:
‘Pemenang piala Dunia Sepak Bola 2010 di Afrika
Selatan‘. Deskripsi ini mengacu pada Kesebelasan
Spanyol‖ (Toety Herati, 1984 : 96).

69
Uraian mengenai pemberian dasar acuan terhadap
kata atau istilah ini merupakan salah satu upaya Russell
untuk membuktikan adanya kesepadanan atau kesesuaian
antara unsur bahasa dengan unsur realitas. Logika pada
umumnya membagi kata-kata ke dalam beberapa
kategori seperti: nama-nama, predikat, relasi diadik,
relasi triadis, dan seterusnya. Kendatipun demikian hal
ini belum mencakup keseluruhan kata, sebab ada kata-
kata yang tidak termasuk ke dalam kategori logis,
sehingga diragukan apakah kata-kata itu meliputi kata-
kata untuk sikap proposisional seperti: percaya, hasrat,
kesangsian, dan lain-lain. Demikian pula halnya
kesulitan atas bentuk partikular egosentris seperti: aku,
disini, sekarang. Kata-kata sifat proposisional dan
partikular egosentris menurut Russell harus
dipertimbangkan sebagai nama diri logis (Russell, 1980:
94; Toety Herati, 1984: 86).
Hal lain yang tak kalah pentingnya sehubungan
dengan prinsip isomorfi ini adalah, kecenderungan
pandangan Russell ke arah metafisika, sebab mengatakan
bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta atomis, jelas
sekali merupakan suatu pendapat metafisis (Bertens,

70
1981 : 31, Wittgenstein,1995: 31). Inilah sesungguhnya
tujuan utama yang terkandung dalam prinsip isomorfi
itu. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell ini
merupakan suatu ―Pluralisme radikal‖ (Bertens, 1981 :
31), sebab realitas atau dunia fakta itu dipecah menjadi
fakta atomis. Corak pandangan metafisis yang
didasarkan atas analisis bahasa itu merupakan ciri khas
yang menandai kaum Atomisme Logis yang diteruskan
dan diperkuat dalam pemikiran Wittgenstein.

4. Fungsi Kebenaran
Pandangan Russell mengenai analisis bahasa dapat
diperkuat dengan dasar-dasar logika, salah satu
diantaranya ialah fungsi kebenaran. Analisis logis
terhadap bahasa akan menempatkan studi tentang
tatabahasa yang mampu menjelaskan secara lebih terang
persoalan-persoalan filsafat ketimbang sesuatu yang
biasanya dianggap sudah benar oleh kebanyakan filsuf.
Russell mengajukan contoh tentang pernyataan yang
terkait dengan kalimat yang bertatabahasa tunggal,
namun struktur logisnya jamak, sebagai berikut:

71
―Saya pergi keluar dan mendapatkan hari ini
sedang hujan‖. Kalimat ini dipecah ke dalam dua
pernyataan yang memilki struktur logis sendiri-sendiri,
yaitu: (1). Saya pergi keluar, (2) Saya mendapatkan hari
sedang hujan. Kedua kalimat itu dihubungkan secara
logis dengan kata penghubung ‖dan‖, ‖atau‖, sehingga
jika kalimat pertama diganti dengan simbol ‖p‖, kalimat
kedua diganti dengan simbol ‖q‖, maka kalimat tersebut
dapat disingkat menjadi p dan q. Ini berarti, kalimat
‖saya pergi keluar dan mendapatkan hari sedang hujan‖
merupakan sebuah fungsi kebenaran dari ‖saya pergi
keluar‖ dan ‖saya mendapatkan hari sedang hujan‖. Kata
penghubung ‖dan‖ ‖atau‖ dalam logika formal, selalu
memberikan arti minimum sebagaimana yang telah
ditunjukkan dalam contoh tersebut. Setiap pernyataan
yang kompleks dibentuk melalui penggunaan pernyataan
tunggal yang merupakan fungsi kebenaran dari unsur-
unsur pernyataan yang kompleks. Russell menegaskan
bahwa sebuah kalimat merupakan bentuk atomis
bilamana tidak mengandung kata-kata logis dan bukan
kalimat subordinat. Bentuk atomis tidak mengandung
‖atau‖, ‖semua‖ atau hal yang sama dengan itu. Sebagai

72
contoh: ‖Saya kira hari akan hujan‖, kalimat ini
mengandung kalimat subordinat yaitu ‖hari akan hujan‖.
Sebuah kalimat merupakan bentuk atomis jika ia
mengandung satu relasi kata dan sejumlah kata lain yang
terkecil (Russell, 1980: 95).

5. Proposisi Atomis dan Proposisi Majemuk


Pembahasan tentang proposisi atomis dan proposisi
majemuk ini dapat ditemukan pada bagian awal
Tractatus, hasil karya Wittgenstein, yang pengantarnya
ditulis oleh Russell. Pembahasan Russell tentang
proposisi atomis dan proposisi majemuk ini berkaitan
erat dengan upayanya untuk menjelaskan kesepadanan
antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Sebab
bahasa yang dianggap sebagai keseluruhan dari proposisi
atomis itu tidak hanya mengacu pada fakta atomis yang
merupakan unsur yang membentuk realitas, tetapi bahasa
itu juga merupakan bidang atau yang akan digarap
melalui teknik analisis logis. Bahasa, khususnya bahasa
filsafat dapat mencerminkan realitas sejauh dapat
dilakukan analisis logis yang diikuti dengan sintesis

73
logis, sehingga diperoleh proposisi yang paling
sederhana yang mengacu pada fakta yang paling
sederhana pula –fakta atomis— yaitu proposisi atomis.
Setiap proposisi itu pada hakikatnya mengacu pada dua
hal yaitu data inderawi (particularia) yang merupakan
hasil persepsi konkret individual, dan sifat atau
hubungan (universalia) dari data inderawi itu tadi (Toeti
Heraty, 1984 : 86).
Suatu proposisi (dapat bernilai benar atau salah)
yang menjelaskan suatu fakta atomis itu dinamakan
proposisi atomis (Russell, 1995: 13). Proposisi atomis ini
merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana,
karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk.
Misalnya; x adalah y (ini adalah putih) atau xRy (ini
berdiri disamping itu) (Bertens, 1981 : 29). Setiap
proposisi atomis itu mempunyai arti / makna sendiri-
sendiri yang terpisah satu sama lain. Pemberian kata
penghubung seperti ‖ada‖, atau ‖atau‖, maka seseorang
dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russell
mengajukan contoh untuk menjelaskan proposisi atomis
dan proposisi majemuk itu sebagai berikut:

74
―Socrates was a wise Athenian, consists of two
facts, ‗Socrates was a wise‘ and ‗Socrates was an
Athenian‘. A fact which has no parts that are facts
is called by Mr Wittgenstein a Sachverhalt. This is
the same thing that calls an atomic fact. An atomic
fact, although it contains no parts that are facts,
nevertheless does contain parts‖ (Russell, 1995:
12).
(―Kalimat ‗Socrates adalah warga Athena yang
bijaksana‘, terdiri dari dua fakta, yaitu ‗Socrates
adalah orang yang bijaksana‘ 'dan' Socrates adalah
warga Athena‘. Menurut Mr. Wittgenstein, sebuah
fakta yang tidak memiliki bagian-bagian yang
berupa fakta disebut Sachverhalt. Hal ini sama
dengan ‗fakta atomik‘. Sebuah ‗fakta atomik‘,
meskipun tidak berisi bagian-bagian yang
merupakan fakta, namun tetap mengandung
bagian-bagian‖).

Kedua proposisi atomis itu membentuk proposisi


majemuk setelah dihubungkan dengan kata ―yang/dan‖.
Kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi
molekuler atau proposisi majemuk ini tergantung pada
kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang
terdapat di dalamnya. Atau dengan kata lain, proposisi
molekuler atau majemuk itu merupakan fungsi
ketidakbenaran dari proposisi-proposisi atomis, sebab

75
tidak ada fakta molekuler atau fakta majemuk, yang ada
hanyalah fakta atomis (Russell, 1995: 13-17).
Suatu proposisi atomis menurut Russell dalam kata
pengantar Tractatus Logico-Philosophicus, mempunyai
arti tertentu karena mengacu pada fakta atomis. Fakta
atomis itu sendiri tidak dapat dikatakan benar atau
salahnya, sebab ia tidak dapat mengungkapkan dirinya
sendiri. Hanya bahasa –proposisi atomis— yang
merupakan sarana untuk mengungkapkan perihal fakta
atomis itulah yang dapat dinilai benar atau salahnya;
sedangkan unsur yang terdapat dalam proposisi atomis
seperti; Socrates, bijaksana, dan lain-lain disebut objek
(Russell, 1995: 12).
Konsep Atomisme Logis Russell inilah yang akan
dilanjutkan dan dikembangkan oleh Wittgenstein dalam
Tractatus Logico-Philosophicus.

C. Ludwig Wittgenstein I (1889 – 1951)

Sumber kepustakaan tentang Atomisme Logis


adalah Tractatus Logico-Philosophicus yang ditulis
Ludwig Wittgenstein pada saat berkecamuknya Perang

76
Dunia Pertama, yaitu antara tahun 1914 sampai 1918.
Konsep Atomisme Logis dari Wittgenstein itu baru
dikenal pada 1921 dalam edisi bahasa Jerman, Logisch
Philosophische Abhandlung. Setahun kemudian barulah
dipublikasikan dalam bahasa Inggris, dengan judul
Tractatus Logico-Philosophicus. Konsep Atomisme
Logis Wittgenstein hampir sejalan dengan pemikiran
Russell, meskipun ada beberapa perbedaan istilah yang
berbeda di antara keduanya. Wittgenstein menggunakan
istilah Sachverhalten yang dalam bahasa Inggeris
diterjemahkan ke dalam dua istilah yaitu atomic fact dan
state of affairs, sedangkan Russell lebih menyukai
penggunaan istilah atomic fact. Kendatipun Wittgenstein
termasuk salah seorang mahasiswa Russell sewaktu
kuliah di Cambridge, namun banyak para pengamat
Filsafat Analitis yang mengakui bahwa Tractatus
mengandung penguraian yang paling kuat dan rinci
mengenai Atomisme Logis. Akan tetapi baik dalam
pemikiran Russell maupun dalam pemikiran
Wittgenstein, pemikiran tentang Atomisme Logis
terletak dalam satu arah yang sama, yaitu menekankan

77
pada analisis bahasa melalui teknik analitika, bukan
membahas tentang fakta atau realitasnya sendiri.

1. Konsep Atomisme Logis Wittgenstein Periode I


Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode,
periode pertama filsafatnya (Wittgenstein I), dikenal
melalui karyanya Tractatus Logico-Philosophicus,
sedangkan periode kedua filsafatnya (Wittgenstein II),
termuat dalam karyanya Philosophical Investigations.
Khusus pembahasan mengenai konsep Atomisme Logis
ini dapat ditemukan dalam periode pertama filsafatnya,
sekaligus Wittgenstein I ditempatkan sebagai tokoh
utama Atomisme Logis. Pembahasan mengenai konsep
Atomisme Logis dari Wittgenstein ini dikaitkan
langsung dengan karya besarnya, Tractatus Logico-
Philosophicus.
Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah
karya filsafat yang dirumuskan secara padat, dan disusun
berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang
masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali
dalil ketujuh atau penutup. Dalil utama yang ditandai
dengan bilangan bulat (1, 2, 3, dan seterusnya) dijelaskan

78
oleh dalil di belakangnya yang ditandai dengan pecahan
desimal (1.1, 1.11, 1.12, dan seterusnya). Kurang lebih
ada lima ratus dua puluh lima (525) dalil yang termuat
dalam 189 halaman minus index dalam buku versi
bahasa Inggris dan bahasa Jerman tersebut.
Kendatipun Tractatus bukanlah sebuah karya
filosofis yang panjang, namun isinya memuat dasar-
dasar pemikiran luas dari Wittgenstein, sehingga
pengaruh yang ditimbulkannya begitu besar dalam
bidang filsafat, khususnya bagi gerakan baru yang
dikenal dengan nama filsafat analitis. Sejak
dipublikasikannya buku ini untuk pertama kali (1921),
hampir dapat dipastikan, metode analisis bahasa telah
mendapatkan tempat yang cukup terhormat di
gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar
Wittgenstein mulai dikenal peminat filsafat sebagai
seorang tokoh utama Atomisme Logis disamping Russell
yang telah lebih dahulu dikenal sebagai seorang filsuf.

2. Dalil Utama Tractatus Logico-Philosophicus


Tractatus Logico-Philosophicus ditulis pada saat
Perang Dunia I berisikan 7 dalil utama sebagai berikut.

79
1. The world is everything that is the case
(Wittgenstein, 1995: 31).
(―Dunia adalah segala sesuatu yang
sedemikian‖).
2. What is the case, the fact, is the existence of
atomic facts ((Wittgenstein, 1995: 31).
(―Apakah yang sedemikian itu, fakta, yaitu
keberadaan fakta-fakta atomis‖).
3. The logical picture of the facts is the thought
( Wittgenstein, 1995: 43).
(―Gambaran logis fakta adalah pikiran‖).
4. The thought is the significant proposition
(Wittgenstein, 1995: 61).
(―Pikiran adalah proposisi yang bermakna‖).
5. Proposition is a truth-functions of elementary
propositions.
(―Proposisi adalah suatu fungsi kebenaran
proposisi-proposisi elementer‖).
(An elementary proposition is a truth-function
of itself) Wittgenstein, 1995: 103).
(―Sebuah proposisi elementer adalah suatu
fungsi kebenaran dari dirinya sendiri‖).

80
6. The general form of truth-function is
proposition (Wittgenstein, 1995: 153).
(―Bentuk umum fungsi kebenaran adalah
proposisi‖).
7. Whereof one cannot speak, thereof one must
be silent (Wittgenstein, 1995: 189).
(―Sesuatu yang tidak dapat dibicarakan atau
dipikirkan sebaiknya dibiarkan dalam
keheningan‖).
Dalil pertama The world is everything that is the
case, merupakan sebuah sikap metafisis baru yang
berbeda dengan metafisika sebagaimana yang
dikemukakan para filsuf terdahulu bahwa dunia atau
realitas itu adalah segala sesuatu yang sedemikian.
Istilah ―yang sedemikian (case)‖ dimaknai dalam dalil
berikutnya. Dalil pertama ini menggambarkan tentang
realitas atau dunia yang terdiri atas berbagai fakta (case).
Hal ini menunjukkan bahwa Wittgenstein memulai
pernyataan filosofis dari hal-hal sederhana dunia atau
realitas yang meliputi berbagai fakta. Ia menegaskan
bahwa keseluruhan realitas itu merupakan dunia, the
total reality is the world‖ (Wittgenstein, 1995: 39).

81
Dalil kedua What is the case, the fact, is the
existence of atomic facts, menegaskan tentang
keberadaan state of affairs. Apa yang dimaksud dengan
yang sedemikian itu, tak lain adalah fakta, yaitu
keberadaan fakta-fakta atomis (state of affairs). Dalam
dalil 2.01, Wittgenstein menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan fakta atomis adalah kombinasi objek-
objek, An atomic fact is a combination of objects
(entities, things) (Wittgenstein, 1995: 31). Lebih lanjut
Wittgenstein menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
objek, sesuatu, entitas disini adalah pengetahuan
manusia tentang kualitas internal yang mencakup ruang,
waktu, warna yang merupakan bentuk-bentuk objek
(Wittgenstein, 1995: 33). Objek-objek itulah yang
mengandung kemungkinan semua bentuk peristiwa,
states of affairs (Wittgenstein, 1995: 35).Totalitas
keberadaan fakta atomis itulah yang dinamakan dunia,
The totality of existent atomic facts is the world
(Wittgenstein, 1995: 37). Bertens mengomentari bahwa
state of affairs merupakan sebuah keyakinan metafisis
yang bercorak pluralistis (Bertens,1981: 43-44), karena
mengandaikan dunia terdiri atas fakta atomis jelas

82
merupakan sikap dan pandangan metafisis yang
pluralistis.
Dalil ketiga, ―The logical picture of the facts is the
thought‖ menegaskan bahwa gambaran logis fakta itu
adalah pikiran, atau bisa dikatakan bahwa pikiran itu
mencerminkan gambaran logis fakta. Dalil ketiga ini
pula yang kemudian dikembangkan menjadi teori
gambar (The Picture Theory). Teori gambar adalah
sebuah pandangan yang menegaskan adanya paralelitas
antara dunia dengan bahasa. Pikiran merupakan
cerminan gambaran logis fakta, sedangkan bentuk
pikiran diungkapkan ke dalam bahasa. Wittgenstein
menggambarkan tentang gambaran fakta dalam pikiran
untuk kemudian diungkapkan ke dalam bahasa sebagai
berikut:
―We make to ourselves pictures of facts. To the
objects correspond in the picture the elements of
the picture. The elements of the picture stand, in
the picture, for the objects. The picture consists in
the fact that its elements are combined with one
another in a definite way. In the picture and the
pictured, there must be something identical in
order that the one can be a picture of the other at
all‖ (Wittgenstein, 1995: 39-41).

83
("Kita membuat penggambaran fakta-fakta bagi
diri kita sendiri. Untuk objek sesuai dengan unsur-
unsur gambar. Unsur-unsur gambar berdiri, dalam
gambar, untuk objek. Gambar terdiri dalam
kenyataan bahwa unsur-unsur itu dikombinasikan
satu sama lain dalam cara yang pasti. Pada gambar
dan foto, harus ada sesuatu yang identik agar salah
satu dapat menjadi gambar dari lain secara
keseluruhan").
Dalil-dalil inilah yang kemudian dikenal sebagai
teori gambar atau teori cermin (The Picture Theory).
Dalil keempat The thought is the significant
proposition menyatakan bahwa pikiran itu adalah
proposisi yang mengandung makna, artinya hasil pikiran
yang baik dapat disusun ke dalam suatu proposisi.
Wittgenstein menegaskan bahwa keseluruhan proposisi
adalah bahasa. Manusia memiliki kemampuan untuk
membentuk bahasa, sehingga setiap pengertian manusia
tentang sesuatu hal dapat diungkapkan ke dalam bahasa.
Bahasa sehari-hari atau bahasa percakapan menurut
Wittgenstein merupakan bagian kehidupan manusia,
dengan demikian proposisi merupakan gambar realitas.
Proposisi adalah model realitas sebagaimana manusia
memikirkannya. Bahasa dapat dipergunakan untuk

84
menyembunyikan pikiran seseorang, sehingga dari
bentuk penampilan eksternal seseorang melalui bahasa
tidak dapat disimpulkan begitu saja apa yang sedang ia
pikirkan (Wittgenstein, 1995: 63).
Dalil kelima berbunyi Proposition is a truth-
functions of elementary propositions. (An elementary
proposition is a truth-function of itself), maksudnya
proposisi adalah fungsi kebenaran dari proposisi
elementer, sedangkan sebuah proposisi elementer tak
lain merupakan fungsi kebenaran dirinya sendiri. Hal ini
ditegaskan Wittgenstein yang menyatakan bahwa
proposisi yang paling sederhana, yakni proposisi
elementer, menjelaskan keberadaan suatu fakta atomis.
Proposisi elementer itu terdiri atas nama-nama yang
merupakan koneksi dan rangkaian dari nama-nama
tersebut. Ketika seseorang menganalisis proposisi, maka
seseorang harus sampai pada proposisi elemeter yang
mengandung nama-nama dalam bentuk kombinasi
langsung (Wittgenstein, 1995: 89). Ini berarti proposisi
elementer yang benar akan membentuk proposisi, karena
proposisi elementer itu menjelaskan keberadaan suatu
fakta atomis atau setiap proposisi elementer selalu

85
mengacu pada fakta atomis, sehingga kebenarannya
dapat diterima secara logis. Oleh karena itu analisis logis
berfungsi untuk melacak keberadaan proposisi
elementer.
Dalil keenam The general form of truth-function is
proposition; bentuk umum fungsi kebenaran merupakan
proposisi yang mengungkapkan bahwa proposisi
adalah elemen atau anggota dari seluruh pernyataan,
yaitu bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi
logika itu merupakan tautologis, sehingga tidak
mengatakan tentang sesuatu, karena itu dinamakan
proposisi analitis. Fakta bahwa proposisi logika
merupakan tautologis menunjukkan sifat-sifat formal
dari bahasa, sehingga menurut Wittgenstein agar
proposisi-proposisi dihubungkan bersama dalam suatu
cara yang terbatas untuk membentuk suatu tautologi,
maka proposisi tersebut harus memiliki sifat struktur
yang terbatas. Proposisi-proposisi itu membentuk suatu
tautologi ketika mereka dihubungkan satu sama lain
menunjukkan bahwa proposisi itu memiliki sifat-sifat
struktur (Wittgenstein, 1995: 155-157). Tautologi
merupakan bentuk pengulangan gagasan atau kata

86
berlebih yang tidak diperlukan. Misalnya: pria duda,
wanita janda. Proposisi logika tidak dapat diuji secara
empirik, karena itu para logikus menjadikannya sebagai
postulat (Wittgenstein, 1995: 163).
Dalil ketujuh yang berbunyi Whereof one cannot
speak, thereof one must be silent; menegaskan sikap
penolakan terhadap sesuatu yang bersifat inexpressible,
yaitu hal yang dinamakan The Mystically. Ada 3 hal
yang dinamakan sebagai The Mystically oleh
Wittgenstein, yaitu subjek, kematian, dan Tuhan. Subjek
menurut Wittgenstein tidak termasuk ke dalam dunia,
melainkan hanya terletak pada batas dunia, Subject does
not belong to the world but it is a limit of the world
(Wittgenstein, 1995: 5.632). Misalnya: pemikiran Martin
Bubber tentang ―Aku‖ sebagai subjek dalam pendekatan
dialogis menimbulkan dua pendekatan terhadap ―aku‖
dan dua macam hubungan terhadap lingkungan. Dua
hubungan tersebut tidak dapat ditukar sama lain.
Pertama hubungan ―aku‖ dengan ―aku‖ yang lain atau
hubungan antara subjek (I – Thou). Kedua hubungan
antara ―aku‖ dengan sesuatu sebagai objek (I – It),
menggambarkan hubungan antara seseorang dengan

87
benda (Titus, Smith, and Nolan, 1984 60). Perbincangan
tentang subjek itu termasuk ke dalam wilayah
metafisika. Kematian juga merupakan tema yang sering
dibicarakan dalam metafisika atau wilayah agama
menurut Wittgenstein bukanlah sebuah peristiwa
kehidupan, karena kematian tidak dialami dalam
kehidupan. Death is not an event of life. Death is not
lived through (Wittgenstein, 1995: 6.4311).
Unsur the Mystically ketiga yang dicap
Wittgenstein sebagai sesuatu yang bersifat inexpressible
adalah Tuhan yang tidak pernah mewujudkan dirinya di
dunia, God does not reveal himself in the world.
(Wittgenstein, 1995: 6.432), karena itu mengungkapkan
tentang keberadaan Tuhan dalam bahasa yang logis
merupakan sesuatu yang tidak bermakna (senseless).
Ketiga hal tersebut tidak dapat dibicarakan dan
diungkapkan ke dalam proposisi yang logis, oleh karena
itu sesuatu yang tidak dapat dipikirkan secara logis
sebaiknya didiamkan saja. Inilah makna pernyataan
Wittgenstein dalam dalil penutupnya yang
berbunyi:‖Whereof one cannot speak, thereof one must
be silent‖ (Wittgenstein, 1995: 189).

88
3. Konsep Tanda Dalam Tractatus
Ada beberapa butir pemikiran Wittgenstein dalam
Tractatus yang membicarakan tentang masalah tanda.
Pertama; dalil 3.327 yang berbunyi:‖The sign
determines a logical form only together with its logical
syntactic application‖ (Wittgenstein, 1995: 57). Tanda
menentukan sebuah bentuk logis hanya bersama dengan
aplikasi sintaksis logis, artinya sebuah tanda dalam
pemikiran Wittgenstein I merupakan sesuatu yang
mengandung struktur logis, sehingga dalam
penerapannya dapat dipahami manusia secara logis pula.
Pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa
bahasa sebagai tanda dalam kehidupan manusia
mengandung struktur logis, sehingga membuka peluang
bagi orang lain untuk memahami apa yang ingin
disampaikan.
Kedua; dalil 3.33 yang berbunyi:‖In logical syntax
the meaning of a sign ought never to play a role; it must
admit of being established without mention being thereby
made of the meaning of a sign; it ought to presuppose
only the description of the expressions‖. (Wittgenstein,

89
1995: 57). (―Dalam sintaksis logis, makna tanda
seharusnya tidak pernah memiliki peran. Sebuah tanda
harus mengakui telah didirikan tanpa menyebutkan
bahwa dia terbuat dari makna tanda. Sebuah tanda juga
seharusnya hanya mengandaikan deskripsi dari
ekspresi‖). Meskipun makna tanda tidak memiliki peran,
namun tanda tetap diakui keberadaannya tanpa
menyebutkan cara pembentukan makna dari sebuah
tanda; tanda dalam hal ini hanya menggambarkan
ungkapan. Disini ada unsur spontanitas yang melekat
kuat pada sebuah tanda, namun yang perlu dipahami
adalah maksud yang terkandung dalam pemaparan suatu
ungkapan. Ketika seseorang mengungkapkan tanda
bahasa berupa tuturan tentang sesuatu hal kepada pihak
lain, maka belum tentu ia memikirkan makna tanda yang
diungkapkannya. Hal yang dipentingkan bagi si penutur
adalah bagaimana mengungkapkan tanda itu kepada
pihak lain. Di sini terjadi proses dinamika tanda yang
lebih mengutamakan teknik pengungkapan, sedangkan
pemahaman atas makna tanda merupakan hal yang
muncul kemudian.

90
Ketiga; dalil 3.3442 yang berbunyi:‖The sign of the
complex is not arbitrarily resolved in the analysis, in
such a way that its resolution would be different in every
propositional structure‖ (Wittgenstein, 1995: 61).
(―Tanda kompleks tidak serta-merta diselesaikan dalam
analisis, sedemikian rupa sehingga resolusinya akan
berbeda dalam setiap struktur proposional"). Tanda yang
kompleks dalam hal ini mengacu pada proposisi
majemuk yang dapat dipecah ke dalam proposisi yang
lebih kecil, yakni proposisi elementer melalui teknik
analisis. Contoh: ―Megawati ketua Umum PDIP yang
mantan Presiden RI ke-5 berpidato pada peringatan Hari
Lahirnya Pancasila‖ terdiri atas dua proposisi elementer,
yaitu (1) Megawati sebagai ketua umum PDIP berpidato
pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 2011,
(2). Megawati sebagai mantan presiden RI ke-5
berpidato pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni
2011.

4. Bahasa Logika
Sebagaimana halnya dengan Russell, Wittgenstein
juga bertitik-tolak pada bahasa logika untuk

91
merumuskan persoalan filsafat. Wittgenstein dalam
pendahuluan Tractatus mengatakan bahwa cara
merumuskan persoalan filsafat oleh para filsuf terdahulu
terbentur pada kesalahpahaman mengenai bahasa logika
(Wittgenstein, 1995: 27). Pengamatan yang cermat
terhadap struktur logis proposisi, serta kesimpulan logis
mengenai realitas, dimaksudkan untuk menjernihkan
kesalahpahaman yang diperbuat para fisuf terdahulu.
Penyebab utama kekacauan bahasa dalam filsafat bagi
Wittgenstein, lantaran tidak ada tolok ukur yang dapat
menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau
tidak, oleh karena itu agar tidak terjerumus dalam
kesalahan serupa, perlu disusun kerangka bahasa logika
bagi filsafat. Ini merupakan langkah awal yang
diperlihatkan dalam bukunya Tractatus, sehingga dalil
yang dimuat dalam bukunya itu disusun berdasarkan
konsep logika. Hacker, salah seorang penulis artikel
tentang Ludwig Wittgenstein dalam A Companion to
Analytic Philosophy mengatakan bahwa menurut
Tractatus fungsi bahasa yang mendasar adalah
mengomunikasikan pemikiran melalui ungkapan dalam
bentuk yang dapat dipersepsi. Peranan proposisi, yaitu

92
kalimat yang mengandung pengertian, adalah
menggambarkan berbagai bentuk peristiwa. Jika bentuk
peristiwa digambarkan melalui suatu proposisi, maka
hasilnya ada dua kemungkinan, yaitu proposisi itu benar
atau sebaliknya proposisi itu salah (Hacker, 2001: 72).
Peran proposisi untuk menggambarkan bentuk-bentuk
peristiwa (state of affairs) inilah yang merupakan sentral
pemikiran Wittgenstein dalam Tractatus. Tugas utama
filsafat adalah menggambarkan realitas sebagaimana
adanya melalui ungkapan yang tepat dan logis, karena itu
pemikiran filsafat terdahulu perlu diklarifikasi dan
dianalisis secara kritis.
Proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam
filsafat terdahulu itu bukannya salah, melainkan tidak
terpahami, oleh karena itu, seseorang tidak dapat
memberikan jawaban terhadap persoalan serupa itu,
selain hanya membiarkannya dalam bentuk semula yang
tidak terpahami. Persoalan dan proposisi yang diajukan
para filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena
mereka tidak mengerti bahasa logika (Wittgenstein,
Ludwig, 1995 : 63). Seseorang tidak dapat memikirkan
sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan membuat

93
orang itu berpikir tidak logis pula (Wittgenstein, Ludwig,
1995: 43).
Penggunaan bahasa logika yang sempurna berarti
pemakaian alat-alat bahasa –kata dan kalimat— secara
tepat, sehingga setiap kata hanya mempunyai suatu
fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya ―mewakili‖
suatu keadaan faktual saja. Suatu bahasa logika yang
sempurna mengandung aturan sintaksis sehingga
mencegah ungkapan tidak bermakna, dan mempunyai
simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas.
salah Satu fungsi filsafat menurut Wittgenstein, adalah
menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau
dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu
yang dapat dikatakan (Edwards, Paul, 1967 : 331). Suatu
karya filsafat bagi Wittgenstein seharusnya mengandung
penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat
bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan
membuat ungkapan itu menjadi jelas. Wittgenstein
menegaskan pandangannya sebagai berikut:
‖The object of philosophy is the logical
clarification of thoughts. Philosophy is not theory
but an activity. A philosophical work consists
essentially of elucidations. The result of philosophy

94
is not a number of ‗philosophical propositions‘, but
to make propositions clear‖ (Wittgenstein,
Ludwig, 1995: 77).
(―Objek filsafat adalah klarifikasi logis pikiran.
Filsafat bukanlah teori melainkan suatu aktivitas.
Suatu karya filsafat pada hakikatnya berisikan
penjelasan-penjelasan. Hasil filsafat bukan lah
sejumlah proposisi filsafati, melainkan membuat
proposisi-proposisi tersebut menjadi jelas‖).
Upaya yang ditempuh Wittgenstein untuk membuat
jelas ungkapan atau bahasa dalam filsafat ini serupa pula
halnya dengan Russell, yaitu menentukan kesesuaian
antara struktur bahasa dengan struktur realitas.
Pandangan ini lebih dikenal dengan nama teori gambar
(the picture theory).

5. Teori Gambar (The Picture Theory)


Teori gambar adalah suatu pandangan yang
menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa
dengan realitas atau dunia fakta. Teori ini serupa dengan
prinsip isomorfi (kesepadanan) dari Bertrand Russell.
Memang di sinilah letak kesamaan yang paling jelas
antar kedua tokoh Atomisme Logis ini. Kendatipun
dalam penguraian selanjutnya akan dijumpai beberapa

95
titik perbedaan di antara keduanya. Namun pada
prinsipnya keduanya sependapat bahwa ada paralel
mutlak antara bahasa dengan realitas.
Unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung
sebuah ungkapan yang bermakna –dengan sendirinya
merupakan proposisi— adalah suatu bentuk peristiwa
ataupun suatu keadaan faktual (states of affairs).
Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi adalah
gambaran realitas, jika seseorang memahami proposisi
itu berarti ia mengetahui bentuk peristiwa atau keadaan
faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut.
Seseorang dengan mudah dapat memahami proposisi itu
tanpa perlu diberitahu lagi pengertian yang terkandung di
dalamnya (Wittgenstein, 1995: 67).
Sebuah proposisi harus dapat menunjukkan
pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang
yang dihadapkan pada posisi seperti itu hanya perlu
mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ untuk menyetujui realitas
yang dikandungnya (Wittgenstein, 1995: 67). Di sini
terlihat adanya upaya Wittgenstein untuk menempatkan
kembali pengertian proposisi sesuai dengan pengertian
semula dalam lingkup logika sebagaimana yang pernah

96
diajukan oleh Aristoteles dalam prinsip logika. Selama
ini kebanyakan filsuf telah menyalahgunakan pemakaian
proposisi untuk mengungkapkan sesuatu yang tak
terkatakan, sehingga sulit bagi seseorang untuk dapat
mengatakan ‖ya‖ atau ‖tidak‖ terhadap kemungkinan
realitas yang dikandungnya. Oleh karena itu ungkapan
dalam filsafat terdahulu itu tidak dapat dikategorikan
sebagai suatu proposisi, karena tidak mencerminkan
realitas apa pun. Dalam pandangan Wittgenstein,
pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang
digambarkan atau dihadirkan di dalamnya (Pitcher, 1964
: 45).
G.H. Von Wright, salah seorang sahabat
Wittgenstein, memberikan penjelasan tentang ‖teori
gambar‖. Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian
antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam
realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh
Wittgenstein, sehingga seseorang dapat mengatakan
bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar
karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur
gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan
dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi,

97
struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi
kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu
kemungkinan mengenai keadaan faktual atau bentuk
suatu peristiwa (Pitcher, 1964 : 78).
Unsur-unsur gambar adalah alat-alat dalam bahasa,
seperti kata dalam kalimat, sedangkan unsur realitas
adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek
perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada dua
faktor utama yang mendukung teori gambar ini, yaitu
proposisi yang menggunakan alat dalam bahasa filsafat
dan fakta yang ada dalam realitas. Jenis proposisi yang
paling sederhana dinamakan proposisi elementer yang
merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk
peristiwa. Keseluruhan proposisi elementer itu tadi
merupakan bayangan seperangkat benda atau hubungan
antar-benda di dunia, dan bayang-bayang itu kemudian
menggiring benda atau hubungan antar-benda itu
menjadi suatu gambar timbul (Sokolowski, 1964 : 179).
Meskipun Wittgenstein tidak pernah memberikan
contoh tentang proposisi elementer, namun dalam
pengantar Tractatus yang ditulis Russell itu dapat
dijumpai contoh tentang proposisi elementer, karena

98
Wittgenstein berkeyakinan bahwa ia mempunyai alasan
baik untuk menentukan adanya proposisi elementer
biarpun contohnya tidak mungkin diberikan (Bertens,
1981 : 44). Proposisi elementer tidak dapat diajukan
contohnya, maka keberadaan suatu bentuk peristiwa
yang dungkapkan melalui proposisi elementer itu pun
tidak diberikan contohnya oleh Wittgenstein. Proposisi
elementer hanya mengatakan suatu bentuk peristiwa
merupakan suatu gabungan objek atau sesuatu yang
konkret (Wittgenstein, 1995: 31). Bentuk peristiwa itu
merupakan bagian terkecil (elementer atau atomis) yang
sesuai dengan proposisi elementer (Pitcher, 1964: 46).
Wittgenstein sendiri mengatakan bahwa jenis proposisi
yang paling sederhana –suatu proposisi elementer—
menjelaskan keberadaan suatu bentuk peristiwa
(Wittgenstein,1995: 89).
Suatu bentuk peristiwa yang dianggap sebagai
suatu situasi atomis tidak mengandung kemungkinan
untuk benar atau salah, tetapi proposisi elementer
sebagai alat bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa
itu kepada seseorang, dapat diperiksa benar atau
salahnya. Setiap proposisi pada hakikatnya bersifat benar

99
atau salah, sehingga sebuah proposisi mempunyai dua
kutub dalam arti ia mengandung kebenaran jika
bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung
kesalahan jika tidak bersesuaian dengan suatu peristiwa.
Pengertian situasi atomis dianggap sebagai suatu
bentuk peristiwa, karena Wittgenstein sendiri tidak
menjelaskan secara lebih rinci tentang apa yang
dimaksudkannya dengan situasi atomis tersebut.
Sokolowski menafsirkan tentang situasi atomis bahwa
istilah ‘atom‘ dipergunakan Wittgenstein serupa halnya
dengan istilah ‘Archai‘ yang dipakai para filsuf Yunani,
yaitu suatu keharusan prinsip filsafat. Alasan
Wittgenstein, sesuai dengan apa yang disimpulkannya
bahwa seseorang mengalami realitas material sebagai
bentuk keluasan, oleh karena itu harus ada beberapa
bagian benda yang sifatnya terbatas, yakni atom, yang
dapat memperluas dirinya sendiri dan sebagai komponen
dasar bagi pembentukan benda dalam lingkup yang luas
(Sokolowski, 1964: 179).
Wittgenstein sebagaimana halnya dengan Russell
juga memiliki pandangan yang bercorak metafisis, sebab
dengan meletakkan fakta atomis sebagai komponen

100
dasar realitas, berarti kedua filsuf tersebut telah
menunjukkan asal dunia dari fakta atomis. Bahkan dalil
pertama dan kedua yang termuat dalam Tractatus pun
sesungguhnya merupakan titik-tolak pemikiran
Wittgenstein untuk menyusun pandangan metafisis.
‖The world is everything that is the case. The world is
the totality of facts, not of things. What is the case, the
fact, is the existence of atomic facts‖ (Wittgenstein,
1995: 31). (‖Dunia adalah segala sesuatu yang
sedemikian. Dunia adalah keseluruhan fakta, bukan
benda-benda. Apa yang sedemikian itu, fakta, yaitu
keberadaan fakta atomis‖).
Pitcher menjelaskan bahwa suatu bentuk peristiwa
(a state of affairs yang dialihbahasakan dari bahasa
Jerman (Sachverhalten) adalah suatu fakta atomis yang
diungkapkan ke dalam proposisi elementer, sedangkan
dunia dalam pandangan Wittgenstein terdiri dari
berbagai fakta atomis. Kendatipun bila dipandang secara
umum, buku Tractatus Logico-Philosophicus tampaknya
bercorak anti metafisis, sebab Wittgenstein menolak
pandangan metafisikus terdahulu lantaran menurutnya
para filsuf itu tidak memberikan tanda-tanda yang pasti

101
dalam ungkapan-ungkapan metafisis itu. Tractatus
sendiri jelas merupakan sebuah karya metafisis, dan itu
bukanlah kecenderungan yang kecil dari buku tersebut.
Tetapi dalam hal ini, Wittgenstein bukan
membangkitkan kembali metafisika seperti yang terlihat
dalam pandangan filsuf terdahulu, ia hanya hanya ingin
membangkitkan kembali kemungkinan untuk
menerangkan metafisika (Edwards, 1967 : 331).
Penjelasan tentang dunia atau realitas, sebagai salah satu
masalah utama dalam metafisika yang coba diatasi
Wittgenstein dengan cara terlebih dahulu meletakkan
situasi atomis itu sebagai prinsip filsafatnya. Secara
logis, kemungkinan mengenai situasi atomis (bentuk-
bentuk peristiwa) itu di dalam sesuatu yang bersifat
konkret memang dapat diterima sebagai pertimbangan
awal, karena dalam logika tak ada sesuatu yang bersifat
kebetulan (Wittgenstein, 1995: 31). Proposisi elementer
sebagai pencerminan penggunaan bahasa logika, jelas
merupakan ungkapan yang mengacu pada sesuatu yang
bersifat logis yaitu, situasi atomis atau bentuk peristiwa.
Atau dengan kata lain, kecenderungan teori gambar ini

102
ke arah metafisika merupakan sesuatu yang tak
terbantahkan.

D. Alfred Jules Ayer (1910-1989)

Ayer dikenal sebagai tokoh utama dalam


Positivisme logis. Aliran ini semula dikenal dengan
nama Lingkungan Wina yang didirikan pada 1922 oleh
Moritz Schlick. Tokoh yang tergabung dalam aliran ini
adalah para ahli matematik, logika, dan sains, sehingga
dapat diduga bagaimana corak pemikiran aliran ini pada
umumnya. Kecenderungan terhadap sesuatu yang
bersifat positif dan pasti, serta dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah merupakan corak
pandangan aliran yang khas dari kaum Positivisme Logis
ini. Aliran ini secara nyata dipengaruhi oleh pemikiran
Moore dan Atomisme Logis Russell dan Wittgenstein,
terutama dalam penerapan teknik analisis bahasa. Namun
dalam hal tertentu penganut Positivisme Logis bahkan
lebih tegas dalam pendirian mereka menolak metafisika.
Teknik analisis bahasa dari kaum Atomisme Logis yang
telah diwarnai corak positif oleh kaum Positivisme Logis

103
ini, menimbulkan perbedaan yang hakiki di antara kedua
aliran ini.
Kendati demikian menurut komentar Charlesworth,
sejarah filsafat mencatat tradisi analisis bahasa yang
sesungguhnya terdapat dalam pemikiran Moore-Russell-
Wittgenstein. Positivisme Logis hanya dianggap sebagai
suatu penyelangan dari tradisi analisis yang
sesungguhnya dari ketiga tokoh Analitika bahasa
tersebut. Corak positif yang diterapkan dalam teknik
analisis bahasa oleh kaum Positivisme Logis begitu
ketat dan kaku, sehingga ada kecenderungan untuk
menilai bahwa kaum Positivisme Logis ini telah
membekukan metode filsafat Moore dan Wittgenstein itu
menjadi suatu dogma (Charlesworth, 1959: 127). Salah
satu jasa kaum Positivisme Logis adalah menjadikan
filsafat analitis lebih dikenal di kalangan filsafat di luar
Inggris.

1. Prinsip Verifikasi (Verification Principle)


Tokoh-tokoh Positivisme Logis ini menerapkan
prinsip verifikasi yang semula dipergunakan dalam
bidang fisika itu ke dalam teknik analisis bahasa. Cara

104
yang demikian itu membawa perubahan yang cukup
besar terhadap teknik analisis bahasa yang telah diajukan
oleh Russell dan Wittgenstein, terutama mengenai tolok
ukur untuk menentukan bermakna atau tidaknya suatu
pernyataan. Sesuatu yang tidak dapat diukur bagi
Positivisme Logis berarti tidak mempunyai makna.
Makna sebuah proposisi tergantung apakah seseorang
dapat melakukan verifikasi terhadap proposisi yang
bersangkutan (Charlesworth, 1959: 138).
Meskipun tokoh Positivisme Logis secara umum
menerima prinsip verifikasi itu sebagai tolok ukur untuk
menentukan konsep tentang makna, namun mereka
membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip
verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme Logis
Moritz Schlick misalnya, menafsirkan verifikasi ini
dalam pengertian pengamatan empirik secara langsung
bahwa hanya proposisi yang mengandung istilah yang
diangkat langsung dari objek yang diamati yang
dinamakannya kalimat Protokol itulah yang benar-benar
mengandung makna (Charlesworth, 1959: 131). Schlick
menjelaskan bahwa salah satu cara pengetahuan itu
dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa

105
semacam itu terlihat dalam kalimat protokol dan inilah
yang menjadi permulaan bagi ilmu (Beerling, 1966:
107). Penafsiran Schlick mengenai prinsip verifikasi ini
menimbulkan perdebatan di kalangan kaum Positivisme
Logis itu sendiri, terutama penganut Positivisme Logis
yang muncul kemudian. Upaya untuk meletakkan prinsip
verifikasi hanya pada peristiwa yang dapat dialami
secara langsung, sama halnya telah menafikan bidang
sejarah sebagai produk masa lampau dan prediksi
(ramalan) ilmiah sebagai produk bagi masa yang akan
datang.
Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logis
yang muncul kemudian, atau dapat dikatakan sebagai
generasi penerus tradisi Positivisme Logis, menyadari
pula kelemahan yang terkandung dalam prinsip
verifikasi yang diajukan Schlick itu Ayer memperluas
prinsip verifikasi itu dalam pengertian berikut:
―The principle of verification is supposed to
furnish a criterion by which it can be determined
whether or not a sentence is literally meaningful. A
simple way to formulate it would be to say that a
sentence had a literal meaning, if and only if the
proposition it expressed was either analytic or
empirically verifiable (Ayer, 1952 : 5).

106
("Prinsip verifikasi merupan sebuah pengandaian
untuk memberikan suatu kriteria yang dapat
menentukan apakah sebuah kalimat secara harfiah
itu bermakna atau tidak. Sebuah cara sederhana
untuk merumuskan bahwa sebuah kalimat memiliki
arti harfiah, jika dan hanya jika proposisi yang
diungkapkan teruji secara analitis atau empiris").
Prinsip verifikasi ini tidak hanya menguji kalimat
secara empiris, tetapi juga menguji kalimat yang dapat
dianalisis. Penafsiran yang diajukan Ayer terhadap
prinsip verifikasi ini setidaknya berhasil mengatasi
kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh
Positivisme Logis sebelumnya, yang hanya menerima
proposisi yang dapat diverifikasi secara empirik. Hal
mana terlihat jelas dalam pandangan Moritz Schlick,
yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat
protokol, atau kalimat yang dapat diperiksa benar atau
salahnya melalui pengamatan empirik secara langsung.
Prinsip verifikasi seperti yang diajukan Schlick itu
menurut Ayer, merupakan verifiable dalam arti yang
ketat (strong verfiable) yang dibedakannya dengan
verifikasi dalam arti yang lebih longgar (weak
verifiable). Ayer menegaskan hal itu dalam pernyataan
sebagai berikut.

107
―A further distinction which we must make is the
distinction between ‗strong‘ and the ‗weak‘ sense
of the term ‗verifiable‘. A proposition is said to be
verifiable, in the strong sense of the term, if and
only if, its truth could be conclusively established
in experience. But it is verifiable, in the weak
sense, if it is possible for experience to render it
probable (Ayer, 1952 : 37).
(―Pembedaan lebih lanjut yang harus dibuat adalah
pembedaan antara yang dapat diverifikasi secara
‗ketat' dan 'longgar'.'. Sebuah proposisi dikatakan
telah terverifikasi dalam arti yang ketat, jika dan
hanya jika, kebenarannya dapat ditegakkan secara
meyakinkan dalam sebuah pengalaman. Namun hal
tersebut akan terverifikasi dalam arti yang longgar,
jika hal tersebut memungkinkan bagi sebuah
pengalaman").
Ayer melalui kedua macam pengertian verifiable
ini, terutama verifiable dalam arti longgar (weak sense)
telah membuka kemungkinan untuk menerima
pernyataan dalam bidang sejarah masa lampau dan juga
prediksi ilmiah atau perkiraan atas peristiwa masa depan,
sebagai pernyataan yang mengandung makna.

2. Proposisi Analitis
Atas dasar apakah seseorang dapat melakukan
analisis terhadap sebuah proposisi? Bagaimana analisis

108
terhadap proposisi dapat mengandung makna?
Pembahasan mengenai kedua masalah ini sebenarnya
merupakan bentuk penjabaran lebih lanjut dari prinsip
verifikasi yang telah dibicarakan di depan. Ayer
merumuskan bahwa suatu kalimat mengandung makna
jika ada dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu
dapat dianalisis atau diverifikasi secara empiris, ini
berarti hanya ada dua macam proposisi yang diterima
oleh Ayer, yaitu proposisi empiris dan proposisi analitis.
Proposisi empiris bagi Ayer lebih mudah dipahami,
karena hal itu dikaitkan langsung dengan pengalaman
yang pasti atau pengalaman yang mungkin. Proposisi
empiris adalah sebuah dan semua hipotesis yang dapat
dibenarkan atau ditolak berdasarkan pengalaman
inderawi. Proposisi empiris itu merupakan rekaman hasil
pengamatan, sehingga dapat dilakukan pengujian (verify)
atas hipotesis tersebut melalui pengalaman inderawi
selanjutnya (Ayer,1952 : 93-94). Seseorang dalam
proposisi empiris akan dihadapkan pada bentuk-bentuk
peristiwa atau kenyataan yang memungkinkan untuk
diverifikasi, baik yang dibenarkan maupun yang ditolak
secara empiris. Jadi kalau ada pernyataan yang berbunyi:

109
―Planet Uranus memiliki duapuluh bulan‖, maka
pernyataan ini merupakan proposisi empiris, karena
pernyataan tersebut mengandung kemungkinan untuk
diverifikasi. Misalnya; pengiriman satelit Voyager II
oleh Badan Ruang Angkasa Amerika sebagai upaya
untuk membuktikan apakah pernyataan tersebut dapat
dibenarkan atau ditolak. Apabila dalam pembuktian nanti
ditemukan ada duapuluh lima ataupun tigapuluh buah
bulan yang mengitari planet Uranus, berarti pernyataan
di atas ditolak, namun pernyataan itu tetap mengandung
makna, karena ada cara untuk membuktikannya.
Berbeda halnya dengan proposisi analitis yang sifat
pembenaran atau penolakannya bukan didasarkan pada
pengalaman, melainkan lebih didasarkan atas benar atau
tidaknya melalui definisi, yakni semata-mata benar
berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan
simbolnya; benar atau tidaknya berdasarkan pada a
priori, pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis
atau perkiraan logis; mengandung kepastian dan
keniscayaan, yaitu yang dinamakan tautologi, suatu
pernyataan yang secara logis bersifat mesti benar; serta
mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan

110
didasarkan pada penggunaan istilah yang pasti, jadi
maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal
(Charlesworth,1959: 132).
Suatu proposisi analitis yang semata-mata benar
berdasarkan susunan simbolnya dapat dijumpai dalam
matematik. Jadi kalau dikatakan ―10 x 10 = 100‖, maka
kebenaran proposisi itu semata-mata tergantung pada
fakta bahwa ungkapan simbol ―10 x 10‖ adalah sinonim
dengan ―100‖.
Kebenaran proposisi analitis yang didasarkan pada
a priori artinya, penjelasan yang sama merupakan
pegangan untuk setiap kebenaran a priori lainnya.
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan refleksi logis (a
priori) menurut Ayer, seperti halnya contoh pengertian
bahwa setiap spesialis mata (occulist) adalah seorang
dokter mata, didasarkan atas fakta bahwa simbol ‖dokter
mata‖ itu secara logis sama artinya dengan spesialis mata
(Ayer, 1952: 85).
Proposisi analitis yang mengandung kepastian dan
keniscayaan tautologi, berarti ada hubungan yang sudah
memang semestinya. Misalnya; ‖Semua lingkaran
bulat‖. Pernyataan semacam ini merupakan tautologi,

111
karena ―bulat‖ itu merupakan sifat yang sudah
semestinya ada pada setiap lingkaran.
Proposisi analitis yang semata-mata didasarkan
penggunaan istilah yang pasti maksudnya, proposisi
analitis itu termasuk proposisi yang tidak mempunyai
kandungan faktual, dan itu berarti, tidak ada pengalaman
yang dapat membuktikan ketidakbenarannya (Ayer,
1952: 79). Contoh: Beberapa jenis serangga termasuk
parasit atau kalau tidak, maka tak ada satu pun serangga
yang parasit. Seseorang hanya perlu menganalisis istilah,
bukan melakukan pengamatan untuk mendapatkan ada
atau tidaknya serangga yang dikategorikan sebagai
parasit.

3. Eliminasi Metafisika
Ayer sebagaimana halnya kaum Positivisme Logis
pada umumnya secara tegas menolak metafisika. Alasan
yang dkemukakannya saat itu sekaligus menampakkan
konsekuensi tugas filsafat menurut kacamata Positivisme
Logis. Ayer menggabungkan pandangan Moore yang
bertitik-tolak dari penggunaan bahasa sehari-hari,
dengan pandangan Atomisme Logis yang didasarkan

112
pada kerangka bahasa logika. Kendatipun tampak
kecenderungan yang lebih kuat dalam pemikiran Ayer
itu untuk menerapkan teknik-teknik analisis bahasa dari
Atomisme Logis, namun analisis bahasa sehari-hari
seperti dalam pandangan Moore digunakan dengan
maksud untuk mencegah atau menilai sejumlah
pandangan metafisis (Charlesworth,1959: 135).
Konsekuensi utama yang ditimbulkan oleh prinsip
verifikasi menurut pandangan Ayer, baik verifiable
dalam arti yang ketat maupun verifiable dalam arti yang
lunak, dan proposisi-proposisi analitis yang
mengungkapkan bahasa lain yaitu, pengeliminasian
terhadap metafisika (the elemination of metaphysics).
Proposisi-proposisi metafisika yang mencoba
mengungkapkan tentang ‖Substansi‖, ‖Eksistensi‖,
‖Keabadian jiwa‖, dan lain sebagainya, itu tidak
bermakna atau tidak mengandung pengertian apa pun,
nonsensical (Ayer, 1952: 42, 127). Proposisi-proposisi
seperti itu bagi Ayer tidak dapat dianalisis bukan hanya
lantaran tidak dapat diverifikasian secara empirik, tetapi
juga lantaran bentuk-bentuk peristiwa tidak mungkin
relevan untuk dikatakan benar atau salahnya (Ayer,

113
1952: 41). Tugas filsafat yang paling utama dan
mendasar adalah menyingkap dan menghapuskan
kekacauan metafisika yang dianggap sebagai parasit
dalam pemikiran ilmiah, dan juga dalam pemikiran kita
sehari-hari (Ayer,1952 : 48).
Fungsi filsafat dalam pandangan Ayer itu bersifat
kritik, artinya kritik yang dilancarkan oleh filsafat itu
memang berguna untuk mengantar seseorang ke arah
pintu gerbang ilmiah, namun itu bukan berarti filsafat
merupakan suatu jenis Super sciences, ilmu yang paling
hebat. Tugas filsafat bukanlah menetapkan praandaian-
praandaian bagi ilmu pengetahuan. Filsafat tidak
mengandung tugas positif seperti yang dimiliki ilmu
pengetahuan empiris, fungsi filsafat itu semata-mata
bersifat kritik (Ayer,1952: 48). Kritik tersebut diarahkan
pada ungkapan metafisis dan segala bentuk penafsiran
metafisis yang dapat menjerumuskan seseorang kepada
pernyataan yang tidak bermakna (meaningless).
Kajian yang terkait dengan bidang etika termasuk
hal yang dianggap tidak bermakna oleh Ayer. Istilah
moral atau etik mempunyai hubungan erat dengan arti
asalnya, yaitu berasal dari kata Latin: moralis, dan istilah

114
ethics berasal dari bahasa Yunani: ethos. Keduanya
berarti kebiasaan atau cara hidup, akhlak, moril (Prent,
dkk, 1969: 56). Istilah-istilah tersebut kadang dipakai
sebagai sinonim. Dewasa ini orang condong untuk
memakai istilah moralitas untuk menunjukkan tingkah
laku itu sendiri, sedang istilah etika, menunjuk kepada
penyelidikan tentang tingkah laku (Titus, Smith &
Nolan, 1979 : 141). Etika adalah salah satu cabang
filsafat yang menyelidiki tentang tingkah laku manusia
yang dilakukan secara sadar, sehingga dapat dibedakan
mana tingkah laku yang baik, mana yang buruk.
Tanggapan Positivisme Logis terhadap pernyataan dalam
bidang etika tidak jauh berbeda dengan tanggapan
mereka terhadap bidang metafisika. Apabila seseorang
mengungkapkan perasaan moral tertentu ataupun
berpura-pura menentang pengungkapan perasaan moral
pihak lain, maka sesungguhnya secara sederhana tidak
ada pengertian yang perlu dipersoalkan dalam hal itu.
Pernyataan yang mengungkapkan perasaan moral
dikategorikan sebagai pernyataan yang tidak bermakna,
karena tidak dapat diuji benar atau salahnya berdasarkan
fakta (Ayer, 1952: 107-108).

115
Pernyataan dalam theologis menurut Positivisme
Logis, hanya mengungkapkan reaksi emosional terhadap
kehidupan, tetapi tidak menyatakan apa-apa yang ada
atau yang terjadi; dengan kata lain, tidak
mengkomunikasikan informasi (Liek Wilardjo, 1987 :
49). Apabila seorang theolog mengatakan bahwa ‘Tuhan
itu menciptakan alam semesta dalam enam masa‘, maka
seorang penganut Positivisme Logis menganggap
pernyataan semacam itu tidak menghadirkan informasi
apa pun. Pernyataan demikian itu terletak di luar wilayah
berlakunya prinsip verifikasi, karena manusia sebagai
subjek dalam kehidupan di dunia ini tidak mampu
melakukan verifikasi atas pernyataan tersebut. Atau
dengan kata lain, ucapan-ucapan itu tidak mempunyai
‘factual content‘, tidak mempunyai kandungan faktual.
Ucapan semacam itu tidak mempunyai makna kognitif,
tidak berbicara tentang sesuatu fakta. Nilai pernyataan
yang nonkognitif, emosional, atau ekspresif, berarti
ucapan tersebut secara faktual tidak mengandung arti apa
pun, semuanya tidak bermakna (Bertens,1987 : 146).
Alasan utama penghapusan metafisika oleh kaum
Positivisme Logis ini bukan saja lantaran ungkapan-

116
ungkapan metafisis itu tidak dapat diverifikasi secara
empiris, dan bukan pula sekadar tidak dapat
dikategorikan sebagai proposisi-proposisi analitis. Hal
yang lebih penting adalah upaya kaum Positivisme Logis
ini untuk menjadikan filsafat sebagai pendamping utama
atau pengantar ke arah bidang ilmiah dalam rangka
menyusun pandangan yang positivistik mengenai dunia.
Cara untuk mencapai tujuan itu salah satu syarat
utamanya adalah menyingkirkan permasalahan-
permasalahan semu (pseudo problems) yang ditimbulkan
para metafisikus. Alasan utama menentang para
metafisikus itu bukan lantaran sang metafisikus itu
mencoba menggunakan pengertian dalam suatu bidang
yang tidak dapat mendatangkan manfaat apa pun,
melainkan lantaran sang metafisikus itu mengajukan
kalimat yang gagal atau tidak memenuhi syarat tertentu
untuk dikatakan kalimat yang benar-benar mengandung
makna secara harafiah. Oleh karena itu diperlukan suatu
tolok ukur yang pasti atas pernyataan semacam itu. Ayer
menegaskan bahwa kriteria yang dipergunakan untuk
menguji keaslian pernyataan yang didasarkan atas fakta
adalah tolok ukur dapat diverifikasi atau tidaknya

117
pernyataan tersebut. Seseorang yang mengatakan bahwa
sebuah kalimat mengandung makna faktual kepada
orang lain berarti, jika dan hanya jika, ia mengetahui
bagaimana cara menguji proposisi yang ia ungkapkan
tersebut. Ia juga harus mengetahui bentuk pengamatan
yang mengarahkannya di bawah kondisi yang pasti,
sehingga ia mengakui proposisi itu benar atau
menolaknya karena proposisi itu salah (Ayer, 1952 : 35).
Penolakan Ayer pada khususnya, atau kaum
Positivisme Logis pada umumnya, terhadap metafisika
itu lebih didasarkan pada kriteria-kriteria logis yang
tidak dimiliki ungkapan-ungkapan metafisika. Penerapan
prinsip verifikasi (verification principle) untuk menguji
apakah suatu pernyataan itu dapat dikatakan sebagai
bermakna atau tidak, diterima sebagai suatu cara yang
paling tepat atau memadai untuk menghapus metafisika
dalam bidang filsafat.

E. Ludwig Wittgenstein II

Pemikiran Atomisme Logis dan juga Positivisme


Logis selama hampir tiga dasawarsa tertanam kuat dalam

118
sejarah perkembangan analitis, namun selanjutnya terjadi
perubahan arah pemikiran yang cukup mendasar. Para
tokoh analitika bahasa yang muncul kemudian
menyadari bahwa teknik analisis bahasa yang semata-
mata diarahkan pada pencarian makna bahasa dalam arti
penonjolan aspek semantis semata, menggiring mereka
pada perdebatan tentang makna ungkapan yang tidak
berkesudahan. Filsuf analitis yang muncul belakangan
mulai meragukan metode dan kriteria pembedaan atas
ungkapan yang bermakna dan yang tidak bermakna.
Penentuan bahasa ideal yang didasarkan pada logika
bahasa sempurna ternyata tidak mampu menampung
seluruh gagasan filosofis yang terus berkembang dalam
pemikiran. Sekelompok filsuf analitis mulai
mengalihkan perhatian pada titik-tolak penggunaan
bahasa biasa, sehingga muncul aliran filsafat analitis
yang dinamakana Ordinary Language Philosophy,
Filsafat Bahasa Biasa. Tokoh yang mendobrak dominasi
positivisme logis dalam bidang filsafat itu ialah
Wittgenstein periode II.
Permasalahan utama yang lebih penting daripada
masalah makna menurut penganut faham Filsafat Bahasa

119
Biasa, yaitu bagaimana penggunaan suatu istilah atau
ungkapan dapat mengandung arti demikian dalam
penggunaannya, oleh karena itu perlu terlebih dahulu
diselidiki atau diteliti aspek pragmatisnya daripada aspek
semantisnya. Penyelidikan terhadap aspek pragmatis
bahasa tentu saja tidak akan menyentuh isi
permasalahan, apabila diletakkan dalam kerangka bahasa
logika semata, sebab bahasa logika mengandaikan suatu
uniformitas bahasa, tidak lebih dari salah satu upaya
saja dalam perbincangan mengenai realitas. Padahal
dalam realitas itu sendiri, terutama dalam kehidupan
sehari-hari, manusia terlibat dalam kompleksitas arus
lalu lintas bahasa. Setiap komunitas bahasa punya
peranan dan makna tersendiri menurut aspek
penggunaannya, yang kadang kala malahan tidak
mengandung sifat logis. Tetapi mereka yang terlibat
dalam penggunaan bahasa seperti itu, yang dianggap
tidak mengandung sifat logis tadi, mempunyai
pengertian dan pemahaman yang cukup jelas tentang arti
istilah atau ungkapan yang mereka pergunakan. Contoh:
bahasa komunikasi yang dipergunakan sekelompok anak
balita dalam pergaulan mereka, sama-sama mereka

120
pahami, meskipun orang dewasa di luar komunitas
mereka mungkin banyak yang tidak paham apa makna
ucapan mereka. Logika bahasa orang dewasa berbeda
dengan logika bahasa anak-anak, sehingga orang dewasa
tidak dapat mencampuri permainan bahasa di kalangan
anak-anak balita itu tadi, karena mereka memiliki cara
pemahaman tersendiri.
Tokoh filsafat analitis yang dapat dipandang sebagai
pembuka jalan bagi aliran filsafat bahasa biasa adalah
Wittgenstein. Setelah sukses besar yang dicapainya
melalui karya Tractatus Logico-Philosophicus, akhirnya
ia menyadari bahwa bahasa logika ternyata mengandung
kelemahan, yaitu tidak mampu menyentuh seluruh
realitas yang tampak jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Wittgenstein II mengalihkan perhatian pada
keanekaragaman (pluriformity) bahasa biasa dan cara
penggunaannya. Wittgenstein dalam periode kedua
filsafatnya ini lebih dekat kepada pemikiran Moore yang
beranjak dari penggunaan bahasa biasa untuk memahami
berbagai aspek kehidupan.

1. Pemikiran Ludwig Wittgenstein Periode II

121
Wittgenstein dalam periode filsafatnya yang kedua
ini –lazim dikenal dengan sebutan Wittgenstein II,
periode pemikiran filsafatnya ini diungkapkan dalam
karyanya yang berjudul Philosophical Investigations
(PI). Buku ini diterbitkan untuk pertama kali pada tahun
1953, dua tahun setelah kematiannya, dalam teks bahasa
Inggris di samping teks aslinya bahasa Jerman,
Philosophische Untersuchungen. Berbeda dari karyanya
yang pertama Tractatus yang di dalamnya disuguhkan
berbagai bentuk dalil yang ketat dan rumit, PI ini
disuguhkan dalm bentuk section yang terdiri dari banyak
contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam periode kedua ini, Wittgenstein mengubah
alur pemikirannya yang semula bertitik-tolak dari bahasa
logika ke arah penggunaaan bahasa biasa dengan
berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Meskipun
arah pemikiran Wittgenstein periode I dan periode II
oleh banyak komentator dianggap berbeda, namun
sesungguhnya bagi Wittgenstein pemikiran lama
(Tractatus) dan pemikiran baru (Philosophical
Investigations) dipadukan dalam suatu cara pandang
yang khas.

122
Wittgenstein sendiri dalam kata pengantar buku
Philosophical Investigations menegaskan posisi dirinya
sebagai berikut:
―Four years ago I had occasion to re-read my first
book (The Tractatus Logico-Philosophicus) and to
explain its ideas to someone. It suddenly seemed to
me that I should publish those old thoughts and the
new ones together; that the latter could be seen in
the right light only by contrast with and against the
background of my old way of thinking‖
(Wittgenstein, 1983: viii).
(―Empat tahun lalu saya berkesempatan untuk
membaca kembali buku pertama saya (Tractatus
Logico-Philosophicus) dan untuk menjelaskan
gagasan-gagasan yang ada di buku tersebut kepada
seseorang. Tiba-tiba saya berpikir bahwa saya
harus memublikasikan pikiran-pikiran lama dan
baru saya secara bersamaan. Pikiran-pikiran baru
dapat dilihat dari cahaya yang tepat dengan
penggunaan kontras yang membelakangi
latarbelakang dari cara berpikir saya yang
terdahulu‖).

Pernyataan ini mengandung arti, ada pertalian yang


cukup erat di antara kedua karyanya itu, kendati ada
perubahan arah yang cukup mendalam. Charlesworth,
salah seorang komentator filsafat analitis memberikan
penafsiran yang cukup jelas tentang pertalian yang ada di

123
antara kedua buku Wittgenstein itu. Suatu cara yang
terbaik untuk menggambarkan hubungan di antara kedua
karya Wittgenstein itu menurut Charlesworth adalah
dengan mengatakan bahwa PI merupakan pengembangan
dari gagasan yang sebelumnya sudah terkandung dalam
Tractatus menjadi kunci pemahaman baru, gagasan itu
ditampilkan dalam ruang lingkup yang baru, diterapkan
dalam suatu cara yang berbeda. Jadi apa yang dikatakan
dengan bahasa secara umum dalam Tractatus
diterjemahkan dalam istilah bagian dari ―tata permainan
bahasa‖. Batas bahasa pada Tractatus diubah menjadi
batas dari bagian ―tata permainan bahasa‖, ―apa yang
tidak dapat diungkapkan‖ diubah menjadi aturan atau
―paradigma‖ permainan bahasa‖ (Charlesworth,1959 :
104).
Kendati terdapat pertalian yang begitu erat di
antara kedua karya Wittgenstein itu, namun semangat
pembaharuan yang terkandung dalam periodenya yang
kedua ini menimbulkan perbedaan yang hakiki di antara
kedua karya Wittgenstein itu . Hal ini tercemin dalam
penolakannya terhadap tiga hal yang dulu diandaikan
begitu saja pada periodenya yang pertama, yaitu:

124
―(1). bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan
saja, yakni menetapkan States of Affairs (keadaan
faktual), (2). bahwa kalimat mendapat maknanya
dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu
keadaan faktual, dan (3). bahwa setiap jenis bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang
sempurna, biarpun pada pandangan pertama
barangkali sukar untuk dilihat‖ (Bertens, 1981: 48).

Ketiga macam perbedaan ini atau tiga pengandaian


yang termaktub dalam periode pertama yang kemudian
ditolak dalam periode kedua itu, akan terungkap lebih
jelas, terutama terkait dengan konsep language-games.

2. Permainan Bahasa (Language-games)


Sebagian besar isi kandungan PI diarahkan untuk
menjelaskan konsep mengenai permainan bahasa
(Language-games) ini. Permainan bahasa adalah proses
menyeluruh penggunaan kata, termasuk juga pemakaian
bahasa yang sederhana sebagai suatu bentuk permainan.
Dalam praktek penggunaan bahasa, ada sebagian orang
yang menyebutkan kata-kata, sedangkan sebagian
lainnya melakukan hal yang dimaksudkan dengan kata-
kata tersebut. Dalam instruksi bahasa, proses berikut
akan terjadi, yaitu mempelajari nama-nama objek seperti

125
seseorang mengucapkan kata tertentu (misalnya: kursi),
sedangkan yang lainnya menunjuk benda yang disebut
kursi itu tadi. Hal-hal semacam ini menurut Wittgenstein
terjadi dalam kehidupan sehari-hari manusia, sehingga
terjadi proses penggunaan bahasa. Wiitgenstein
menamakan proses penggunaan bahasa tersebut sebagai
suatu bentuk permainan bahasa (language-games).
―We can also think of the whole process of using
words as one of those games by means of which
children learn their native language. I will call
these games ‗language-games‘ and will sometimes
speak of a primitive language as a language-game.
I shall also call the whole, consisting of language
and the actions into which it is woven, the
‗language-game‖ (Wittgenstein, 1983: 5).
(―Kita juga dapat menganggap seluruh proses
menggunakan kata-kata sebagai salah satu dari
permainan yang dengan keberadaan (permainan
tersebut) anak-anak dapat mempelajari bahasa asli
mereka. Saya akan menyebut permainan ini
sebagai ‗permainan bahasa‘ dan terkadang akan
menganggap bahasa primitif sebagai ‗permainan
bahasa‘ pula. Saya juga akan menyebut
keseluruhan, terdiri dari bahasa dan tindakan yang
terjalin, sebagai ‗permainan bahasa").
Istilah ―permainan bahasa‖ timbul sebagai suatu
gagasan filsafati ketika suatu hari Wittgenstein melihat

126
pertandingan sepak bola, tiba-tiba melintas dalam
benaknya bahwa sesungguhnya dalam bahasa, manusia
pun terlibat dalam suatu bentuk permainan kata (Pitcher,
1964: 244). Sudah barang tentu gagasan mengenai
penggunaan istilah ―permainan bahasa‖ itu sendiri tidak
akan dapat terwujud dengan baik apabila Wittgenstein
tidak menghubungkannya dengan kenyataan yang ada,
yaitu adanya keanekaragaman (pluriformitas) bahasa
yang dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari.
Keanekaragaman yang dimaksud Wittgenstein di sini
bukanlah berbagai macam bahasa seperti: bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman dan
semacamnya, dan bukan pula ragam bahasa ilmu
pengetahuan seperti: bahasa sastera, bahasa kedokteran,
bahasa filsafat dan sejenisnya— melainkan
keanekaragaman bahasa yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari, dalam berbagai komunitas seperti: bahasa
para remaja, bahasa para balita, bahasa komunitas waria,
bahasa komunitas pedagang di pasar Beringharjo, dan
lain sebagainya. Pembicaraan mengenai keanekaragaman
―permainan bahasa‖ menurut Wittgenstein itu meliputi
antara lain:

127
― Review the multiplicity of language games in the
following examples and in others : Giving orders
and obeying them – Describing the appearance of
an object or giving it measurement – constructing
an object from a description ( a drawing ) –
reporting an event – speculating about an event –
forming and testing a hypothesis – presenting the
result of an experiment in tables and diagrams –
making up a story and reading it – play acting—
singing catches – guessing riddles – making a joke
; telling it – solving a problem in practical
arithmetic – translating from one language into
another – asking, thanking, cursing, greeting,
praying‖ ( Wittgenstein, 1983 : 11).
(―Perhatikanlah keanekaragaman permainan bahasa
dalam contoh berikut: Memberikan perintah dan
menaatinya - Menggambarkan penampilan suatu
objek atau memberikan pengukuran terhadap objek
tersebut - membangun sebuah objek dari sebuah
deskripsi (gambar) - melaporkan peristiwa -
berspekulasi tentang sebuah acara (event) -
membentuk dan menguji hipotesis - menyajikan
hasil eksperimen dalam bentuk tabel dan diagram -
mengarang cerita dan membacakannya – berakting
- bernyanyi - menebak teka-teki - membuat lelucon
dan menceritakannya kembali ke orang lain -
memecahkan soal dalam aritmatika praktis –
menerjemahkan bahasa dari satu bahasa ke yang
lain - bertanya, berterima kasih, mengutuk,
menyapa, berdoa").

128
Keanekaragaman permainan bahasa sebagaimana
yang terlihat dalam contoh di atas menunjukkan bahwa
masing-masing permainan bahasa itu memiliki ruh dan
aturan main tersendiri.
Setiap ragam permainan bahasa itu mengandung
aturan tertentu yang mencerminkan ciri khas dari corak
permainan bahasa yang bersangkutan, karena itu
perhatian di sini diarahkan untuk membandingkan
keanekaragaman alat-alat dalam bahasa dan cara
penggunaannya, keanekaragaman itu meliputi jenis-jenis
kata dan kalimat (Wittgenstein, Ludwig, 1983).
Wittgenstein dalam Lectures and Conversation membuat
analogi penggunaan jenis kata dan kalimat dalam bahasa
itu dengan alat-alat pertukangan sebagai berikut:
―I have often compared language to a tool chest,
containing a hammer, chisel, matches, nails, screw,
glue. It is not a chance that all these things have
been put there—but there are important differences
between the different tools – they are used in a
family of ways—though nothing could be more
different than glue and a chisel. There is constant
surprise at the new tricks language plays on us
when we get into new field‖ (Barret, TT: 1).
(―Saya sering membandingkan bahasa dengan
‗kotak perkakas‘ yang berisi palu, pahat, korek api,

129
paku, sekrup, lem. Sekilas agak mustahil bahwa
semua perkakas tersebut diletakkan di dalam ‗kotak
perkakas‘. Tetapi ada perbedaan penting antara
alat-alat tersebut, yaitu mereka digunakan dalam
bentuk seperti keluarga, meskipun tidak ada yang
bisa lebih berbeda dari lem dan pahat. Ada kejutan
yang selalu muncul di saat strategi baru yang
dimainkan dalam bahasa ketika kita masuk ke
bidang baru‖).

Sebagaimana lazimnya dalam sebuah permainan,


orang yang terlibat dalam permainan tertentu –misalnya
permainan catur— haruslah terlebih dahulu mengetahui
aturan yang digariskan dalam permainan tersebut. Aturan
itu dibutuhkan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan
permainan itu secara baik, jelas, dan bertanggung jawab.
Gambaran mengenai aturan permainan ini ditunjukkan
oleh Wittgenstein melalui contoh sebuah permainan
catur, sebagai berikut:
‖... the game is supposed to be defined by the rules!
So, if a rule of the game prescribes that the kings
are to be used for drawing lots before a game of
chess, then that is an essential part of the
game.What objections might one make to this? That
one does not see the point of this prescription.
Perhaps as one wouldn‘t see the point either of a
rule by which each piece had to be turned round
three times before one moved it. If we found this

130
rule in a board-game we should be surprised and
should speculate about the purpose of the rule‖
(Wittgenstein, 1983: 150-151).
(‖... permainan seharusnya dibatasi oleh aturan!
Jadi, jika aturan permainan menentukan bahwa raja
yang akan digunakan dalam pertandingan catur,
maka itu adalah bagian penting dari permainan
tersebut. Apakah ada orang yang tidak setuju akan
hal ini? Jika ada, maka bisa dipastikan bahwa orang
yang tidak setuju tersebut tidak mampu melihat hal
penting ini. Mungkin orang tersebut tidak akan
melihat bahwa salah satu dari aturan dimana
masing-masing bagian harus dipikir tiga kali
sebelum ia menggerakkan biji catur. Jika kita
menemukan aturan ini dalam permainan berbasis
papan (contoh: catur) maka kita harus
mempertanyakan tentang tujuan dari aturan
permainan tersebut").

Ilustrasi yang dikemukakan Wittgenstein tersebut


menggambarkan pentingnya peran sebuah aturan
permainan (rule of the game). Sebuah permainan
haruslah ditentukan oleh aturan, demikian pula halnya
dengan permainan catur yang menentukan bahwa buah
raja memegang peranan yang sangat penting, bahkan
merupakan bagian yang esensial dalam permainan
tersebut. Apabila buah raja sudah direbut atau dikuasai
pihak lawan berarti permainan sudah usai, demikian pula

131
halnya dengan buah catur yang lain, masing-masing
mempunyai peran penting dalam permainan catur.
Apabila seseorang menjumpai penerapan aturan ini di
atas papan catur, maka tentu orang tersebut akan merasa
kagum dan berpikir tentang maksud atau tujuan suatu
aturan. Setiap permainan masing-masing memiliki aturan
main yang berbeda-beda, sehingga tidak ada aturan
umum yang berlaku bagi semua permainan sebagaiman
yang diungkapkan Wittgenstein dalam pernyataan
berikut:
―Consider for example the proceedings that we call
‗games‘. I mean board-games, card-games, ball-
games, Olympic games, an so on. What is common
to them all? – Don‘t say:‘There must be something
common, or they would not be called ‗games‘, --but
look and see whether there is anything common to
all. For if you look at them you will not see
something that is common to all, but similarities,
relationships, and a whole series of them at that.
To repeat:‘don‘t think, but look! (Wittgenstein,
1983: 31).
("Pertimbangkan misalnya proses yang kita sebut
'permainan'. Maksud saya adalah permainan
berbasis papan, permainan kartu, permainan bola,
Olimpiade dan lain sebagainya. Apa yang sama
dari permainan-permainan itu? - Jangan katakan
bahwa 'Harus ada sesuatu yang sama, atau mereka

132
tidak akan pernah disebut sebagai ‗permainan', -
tapi amati dengan jeli apakah ada sesuatu yang
sama untuk semua. Sebab jika Anda melihat
mereka, Anda tidak akan melihat sesuatu yang
umum untuk semua, tetapi kesamaan, hubungan,
dan seluruh rangkaian mereka pada saat itu. Jadi,
'Jangan berpikir, tapi amatilah!‖).

Begitu pula halnya yang terjadi di dalam


‖permainan bahasa‖, setiap bentuk permainan bahasa itu
memiliki aturan sendiri yang tidak dapat
dicampuradukkan begitu saja. Aturan permainan bahasa
dalam memberi perintah misalnya, berbeda dengan
aturan permainan bahasa dalam bersenda-gurau. Masing-
masing mengandung ketentuan yang mencerminkan
bentuk permainan bahasa yang bersangkutan. Kekacauan
akan timbul manakala seseorang menerapkan aturan
permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan
yang lain, sehingga mustahil dapat ditentukan aturan
umum yang dapat merangkum berbagai bentuk
permainan bahasa tersebut. Wittgenstein dalam periode
kedua ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap
teorinya sendiri dalam periode pertama yang
menganggap bahwa kata atau kalimat mendapat

133
maknanya sendiri dengan satu cara saja. Wittgenstein
dalam periode kedua ini justru menganggap ―makna
sebuah kata tergantung penggunaannya dalam kalimat,
sedangkan makna kalimat tergantung pengunaannya
dalam bahasa (Judowibowo, TT: 9). Seseorang baru
dapat mengetahui makna sebuah kata atau kalimat,
bilamana ia telah mengetahui dalam ruang lingkup yang
mana kata atau kalimat tersebut dipergunakan. Hal yg
menonjol dalam pemikiran Wittgenstein II ini ialah
pernyataannya yang berbunyi:‖don‘t think, but look!‖.
Jangan pikirkan, tetapi lihatlah! Wittgenstein periode
kedua lebih mementingkan aspek jalannya bahasa dalam
kehidupan, bukan rekayasa bahasa dalam pikiran.
Seseorang dalam kehidupan sehari-hari acapkali
menjumpai kata atau ungkapan yang sama yang
dipergunakan dalam berbagai bentuk permainan bahasa.
Apakah ini ada sesuatu yang bersifat umum yang
terkandung di dalam pengertian kata atau ungkapan
tersebut? Kata atau ungkapan tersebut menurut pendapat
Wittgenstein bukanlah dalam pengertian umum,
sehingga dapat membuat seseorang mempergunakan kata
atau ungkapan yang sama untuk semua hal, sebab kata

134
atau ungkapan itu dihubungkan satu sama lain dalam
banyak cara yang berbeda. For a large class of cases,
though not for all, in which we employ the word
‗meaning‘ it can be defined thus: the meaning of a word
it its use in language (Wittgenstein, 1983 : 20).
Penjelasan atas pandangan di atas ditunjukkan
Wittgenstein dengan mengajukan contoh tentang ―aneka
kemiripan keluarga‖ (family resemblances) sebagai
analogi dari bentuk permainan bahasa.

―I can think of no better expression to characterize


these similarities than ‗family resemblances‘; for
the various resemblances between members of a
family: build, features, colour of eyes, gait,
temperament, etc. overlap and criss-cross in the
same way – And I shall say ‗games‘ form a family‖
(Wittgenstein, 1983 : 32).
(―Saya pikir tidak ada ungkapan yang lebih tepat
untuk mengkarakterisasi kesamaan suatu kemiripan
keluarga, karena berbagai kemiripan antara anggota
keluarga: postur, roman muka, warna mata, gaya
berjalan, temperamen, dan lain-lain, tumpang tindih
dan bersaling-silang. Dan saya akan mengatakan
bahwa 'permainan' akan membentuk sebuah
keluarga‖).

135
Kemiripan yang terdapat di antara anggota keluarga
sebagaimana yang dikemukan Wittgenstein analog
dengan kemiripan penggunaan kata dalam berbagai
kehidupan sehari-hari, kata yang sama ketika
dipergunakan dalam lingkup yang berbeda, maka
maknanya juga berbeda. Lebih tepat dikatakan
mengandung kemiripan makna, bukan kesamaan makna.
Magee menafsirkan konsep family resemblances
Wittgenstein itu sebagai bentuk keberbagaian makna
dari sebuah kata, artinya tidak terdapat satu ciri tunggal
yang berlaku umum pada semua penggunaan yang sah
dari sebuah kata (Magee, 2005: 194). Penerapan kata
atau kalimat yang sama dalam pelbagai cara yang
berbeda, bukan mengandung makna yang sama,
melainkan dasar-dasar kemiripan yang sifatnya umum.
Dua saudara kembar sekalipun tidak akan memiliki
kesamaan yang bersifat mutlak, pasti ada perbedaan
tertentu yang membuat seseorang dapat membedakan
antara keduanya. Akan tetapi seseorang dapat
mengatakan bahwa kedua saudara kembar itu benar-
benar mirip, meskipun tidak sama persis. Hal yang sama
berlaku pula bagi penggunaan kata atau kalimat yang

136
sama dalam banyak cara yang berbeda, meskipun
mengandung sesuatu yang bersifat umum
(kemiripannya), namun maknanya tergantung pada cara
penggunaannya.
Magee memberikan contoh tentang persoalan yang
sering diajukan Socrates seperti:‖apakah keberanian itu?
Apa kebaikan itu? Apa keindahan itu?‖ Ketika
pertanyaan-pertanyaan tersebuat diajukan berarti
Socrates meyakini bahwa ada entitas-entitas aktual yang
direpresentasikan oleh istilah ‖keberanian‖, ‖kebaikan‖,
‖keindahan‖, yang jelas istilah-istilah tersebut tidak
mengacu pada objek materiil, melainkan entitas yang
memiliki sebuah eksistensi yang bersifat otentik. Dalam
hal ini tidak ada makna baku yang dapat dikenakan pada
istilah-istilah tersebut, kata-kata hanya memiliki makna
sejauh ada kriteria yang mengatur penggunaan kata
tersebut, dan kriteria itu bersifat intersubjektif. Kata-
kata harus memiliki sebuah dimensi sosial dan publik,
atau sesuai dengan konteks penggunaannya (Magee,
2005:195).

3. Tugas utama Filsafat

137
Wittgenstein melalui konsep tentang language-
games bermaksud menunjukkan kekacauan penggunaan
bahasa dalam filsafat. Artinya, penggunaan istilah atau
ungkapan yang telah membingungkan dan memusingkan
begitu banyak orang, sesungguhnya disebabkan para
filsuf tidak mengikuti aturan permainan bahasa.
Wittgenstein mengatakan: ―For philosophical problems
arise when language goes on holiday‖ (Wittgenstein,
Ludwig, 1983 :19). Ada beberapa kelemahan bahasa
filsafat yang ditengarai Wittgenstein sebagai berikut.
Pertama; kecenderungan untuk mencari
pengertian yang bersifat umum dengan merangkum
berbagai gejala ke dalam suatu sifat umum, Craving for
Generality, yaitu kecenderungan untuk mencari sesuatu
yang yang umum pada semua satuan-satuan konkret
(entities) yang diletakkan atau dihimpunkan di bawah
suatu istilah umum Atau dengan kata lain, ―seseorang
mencari kesatuan pengertian dalam keanekaragaman,
kesamaan dalam perbedaan, ketunggalan dalam
kemajemukan, craving for unity (Wittgenstein, 1972 :
17).

138
Kedua;ketika para filsuf menggunakan kata
―knowledge‖, ―being‖, ―object‖, ―I‖, ―proposition‖,
―name‖, dan mencoba membangkitkan hakikat sesuatu,
maka Wittgenstein mempertanyakan hal tersebut: apakah
kata-kata tersebut sesungguhnya dipergunakan dalam
cara language-games yang sesuai dengan lingkupnya?
(Wittgenstein, 1983 : 48).
Ketiga; penyamaran pengertian atau pengertian
yang terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak
dapat difahami, seperti: ―keperiadaan‖, ―ketiadaan‖, dan
lain sebagainya. Oleh karena itu Wittgenstein
menganjurkan agar kita ―melewati atau menghindari
penyamaran dari sesuatu yang tidak terpahami itu
dengan menunjukkan bahwa itu sebenarnya omong-
kosong saja (Pitcher, 1964 : 198).
Berdasarkan kelemahan bahasa filsafat
sebagaimana dikemukakan di atas, maka Wittgenstein
menunjukan beberapa tugas utama filsafat sebagai
berikut.
Pertama; bertitik-tolak pada penggunaan bahasa
sehari-sehari, dengan meneliti dan membedakan aturan-
aturan dalam pemainan bahasa. Penggunaan istilah-

139
istilah dalam metafisika digiring kembali ke dalam
penggunaannya dalam penggunaan sehari-hari
(Wittgenstein, 1983: 48).
Kedua; menunjukkan kepada lalat jalan keluar dari
sebuah botol lalat, ‖What is your aim in philosophy? To
shew the fly the way out of the fly-bottle‖ (Wittgenstein,
1983: 103). (‖Apakah tujuan filsafat? Menunjukkan
kepada lalat jalan keluar dari botol lalat‖). Analogi ini
dikenakan bagi para filsuf yang mencoba menjelaskan
realitas melalui penggunaan atau ungkapan yang
membingungkan, sehingga mereka terjebak ke dalam
bahasa yang mengikat pemikiran mereka sendiri.
Keadaan itu diibaratkan dengan ‖lalat‖ yang terbang
dalam sebuah botol bening, tetapi merasa dirinya sudah
menjelajahi dunia yang sesungguhnya. Wittgenstein
menegaskan bahwa seseorang yang terperangkap di
dalam kekacauan filsafat, tak ubahnya seperti seseorang
yang terjebak dalam sebuah ruangan, walau pun ia ingin
keluar dari ruangan tersebut namun ia tidak tahu caranya.
Filsafat analitis merupakan solusi untuk mengatasi dan
membantu menunjukkan jalan keluar dari jebakan
bahasa.

140
Ketiga; filsafat menurut Wittgenstein tidak ikut
campurtangan dalam penggunaan bahasa aktual, filsafat
pada akhirnya hanya menggambarkan jalannya bahasa.
Filsafat tidak memberikan dasar bagi bahasa, melainkan
membiarkan bahasa berlangsung sebagaimana adanya
(Wittgenstein, 1983: 49). Jalan keluar yang ditawarkan
Wittgenstein adalah melalui penampakan jalannya
bahasa, yang dapat membuat seseorang mengakui jalan
itu meskipun timbul dorongan kesalahpahaman.
Persoalan filsafat itu dipecahkan bukan melalui
pengajuan keterangan baru, melainkan dengan menyusun
kembali apa yang telah diketahui (Pitcher, 1964 : 193).

F. John Langshaw Austin (1911-1960)

Salah satu karya Austin yang termashur adalah


How To Do Things With Words, yang diterbitkan untuk
pertama kali setelah dua tahun kematiannya (1962).
Austin di dalam bukunya ini membedakan secara cermat
beberapa macam tindakan bahasa dan jenis ucapan
dengan pelbagai implikasi dan kriterianya masing-
masing. Ada garis kesamaan secara umum antara

141
pandangan Austin dengan Wittgenstein II, namun uraian
yang diajukan Austin jauh lebih rumit dan rinci, dan
lebih diarahkan pada si penutur (subjek) dengan pelbagai
konsekuensi yang seharusnya dilaksanakan. Karyanya
yang lain, juga diterbitkan setelah kematiannya, adalah
Philosophical Papers (1961) dan Sense and Sensibilia
(1962). Tulisan ini secara khusus menyoroti pandangan
Austin yang terdapat dalam How To Do Things With
Words, sebab buku ini secara khusus membahas tentang
berbagai aspek yang terkandung di dalam bahasa biasa
atau bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Hal ini pula yang membuat Austin dikelompokkan
ke dalam aliran Filsafat Bahasa Biasa (Ordinary
Language Philosophy).

1. Jenis Ucapan (Utterances)


Austin membedakan antara dua macam ucapan
yang acapkali kita jumpai dalam bahasa pergaulan, yaitu
ucapan konstatif (Constative Utterances) dengan ucapan
performatif (Performative Utterances). Kedua ucapan itu
bukan saja berbeda pada aspek pengucapannya, akan
tetapi juga situasi, prasyarat, dan implikasi yang

142
ditimbulkannya. Masing-masing ucapan terletak pada
situasi tertentu, mengandung prasyarat tertentu bagi
pengucapannya, serta menimbulkan implikasi tertentu
pula bagi si penutur dan pendengarnya. Hal yang
dipentingkan Austin adalah adalah kekhasan masing-
masing ucapan dengan berbagai konsekuensi yang
terkandung di dalamnya. Penelitian dan penyelidikan
atas ciri khas setiap ucapan tersebut, menimbulkan cara
pandang baru dari aliran Filsafat Bahasa Biasa, yaitu
menempatkan si penutur (subjek) pada kedudukan yang
lebih istimewa.
Ucapan Konstatif (Constative Utterance) adalah
ucapan atau tuturan yang dipergunakan manakala
digambarkan suatu keadaan faktual, dalam batas ini
pandangan Austin masih sejalan dengan faham
Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Ucapan
konstatif masih senada dengan pemikiran Wittgenstein I
dan Ayer yang memberlakukan prinsip verifikasi untuk
menggambarkan benar atau salahnya suatu pernyataan.
Setiap ucapan konstatif ini mengandung suatu
pernyataan yang memungkinkan si pendengar untuk
menguji kebenarannya secara empiris, atau berdasarkan

143
pengalaman baik secara langsung atau tidak. Istilah
‖konstatif‖ ini dipergunakan Austin untuk
menggambarkan semua pernyataan yang dapat dinilai
benar atau salahnya (Austin,1962 : 3). Sebuah
pernyataan dikatakan konstatif apabila menggambarkan
keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa
benar atau salahnya. Seseorang dapat membuktikan
kebenaran ucpan seperti itu dengan melihat, menyelidiki,
ataupun mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan
si penutur. Austin mendasarkan pandangannya bahwa
―pada hakikatnya ucapan konstatif itu berarti membuat
pernyataan yang isinya mengandung acuan historis atau
peristiwa nyata‖ (Austin, 1962 : 3).
Bahasa pergaulan menurut Austin tidak hanya
meliputi ucapan konstatif, karena ada macam ucapan
yang lain, yaitu ucapan performatif. Ucapan performatif
ini tidak dapat diperiksa benar atau salahnya, hal ini
belum disinggung dan dibahas secara rinci oleh para
tokoh analitika bahasa sebelumnya, sebab ‖selama ini
kebanyakan filsuf (para pengikut Atomisme Logis dan
Positivisme Logis) mengandaikan begitu saja bahwa
ucapan yang dapat dipastikan benar atau tidak benarlah

144
yang bermakna‖ (Bertens, 1981 : 58). Austin
memperkenalkan ucapan performatif untuk
menjernihkan kesalahpahaman yang mudah terjadi
dalam penentuan konsep makna bagi suatu ucapan.
Ucapan Performatif (Performative Utterance)
menurut Austin berbeda dengan ucapan konstatif yang
dapat memeriksa benar atau salahnya, dan oleh karena
itu pula dapat ditentukan kandungan makna dari ucapan
tersebut. Ucapan performatif tidak dapat diperlakukan
seperti itu, karena itulah Austin menegaskan bahwa
ucapan performatif tidak dapat dikatakan benar atau
salah seperti halnya ucapan konstatif, melainkan layak
atau tidaknya (happy or unhappy) untuk diucapkan oleh
seseorang (Austin, 1962: 53). Ucapan performatif
menjadi tidak layak, bukannya tidak bermakna manakala
diucapkan oleh sembarang orang yang tidak berwenang
atau tidak berhak mengucapkannya, dan tidak pula layak
untuk diucapkan dalam sembarang keadaan. Peranan si
penutur di dalam ucapan performatif ini dengan
berbagai konsekuensi yang terkandung dalam isi
ucapannya sangat diutamakan. Penjelasan yang lebih
rinci tentang keutamaan si penutur itu dalam ucapan

145
performatif ini, dapat dilihat dalam contoh di bawah ini
yang menjelaskan pemikiran Austin.
a. ―Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri
yang sah‖.
b. ―Saya namakan kapal ini Ratu Elizabeth‖.
c. ‖Saya memberikan dan mewariskan jam ini kepada
saudara saya‖
d. ‖Saya berani bertaruh 6 dolar besok hari akan
hujan‖ (Austin, 1962 : 5)
Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa
peranan si penutur (subjek) bertautan erat dengan apa
yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang
terkandung dalam ucapn performatif adalah, apakah si
penutur mempuyai wewenang (kewajaran / kelayakan)
untuk melontarkan ucapan seperti itu. Ucapan ―saya
bersedia menerima wanita ini sebagai istri saya yang
sah‖ hanya layak dilontarkan di depan penghulu bagi
mereka yang menikah secara Islami, namun tidak layak
diucapkan hanya berdua tanpa saksi, tanpa penghulu,
tanpa wali nikah. Seseorang yang tidak punya saham
apapun dalam pembuatan atau pembelian sebuah kapal,
tidak pula layak untuk menamakan kapal yang dimaksud

146
sebagai ‖Ratu Elizabeth‖. Pernyataan berikutnya tentang
seseorang yang tidak pernah memiliki sebuah jam, maka
tidak layak pula untuk melontarkan ucapan ‖saya
memberikan dan mewariskan jam tangan kepunyaan
saya ini kepada saudara saya‖. Ucapan performatif
menurut pandangan Austin dapat dikenali melalui ciri-
ciri berikut:
1) Diucapkan oleh orang pertama (seperti: ‖saya
menamakan‖saya bersedia‖, ‖saya bertaruh‖),
2) orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi
tertentu,
3) bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu),
4) orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif
dengan isi pernyataan tersebut‖. (Austin, 1962 : 56-
57)
Keempat ciri tersebut bisa saja dikenakan bagi
ucapan konstatif, namun penekanan utama dalam ucapan
konstatif tidak terletak pada si penutur (subjek),
melainkan pada objek tuturan, dalam hal ini peristiwa
faktual. Ucapan performatif memberi penekanan utama
pada si penutur dengan kelayakan pengucapannya.
Kendatipun demikian keempat ciri tersebut belumlah

147
menjamin kelayakan suatu ucapan performatif. Ada
beberapa prasyarat yang dibutuhkan agar ucapan
performatif layak untuk diucapkan. Prasyarat yang
diajukan Austin itu adalah:
1). Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku
atau sesuai dengan kesepakatan dalam suatu lingkungan
tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula, yang
meliputi pengucapan kata yang pasti oleh orang-orang
tertentu dalam keadaan yang pasti. Austin menegaskan
dalam pernyataan berikut:‖There must exist an accepted
conventional procedure having a certain conventional
effect, that procedure to include the uttering of certain
words by certain circumstances, and further‖ (Austin,
1962:14). (‖Harus ada prosedur yang sudah disepakati
yang mengandung akibat pasti yang sudah disepakati
pula, bahwasanya prosedur itu mencakup pengucapan
kata yang pasti berdasarkan keadaan yang pasti, dan
selanjutnya‖).
2). Mereka yang terlibat dalam situasi yang
melingkupinya (seperti; janji, sumpah, penganugerahan,
dan lain-lain) memang sudah selayaknya atau
berkepentingan untuk mengucapkannya sesuai dengan

148
prosedur yang ditempuhnya. Austin menegaskan bahwa
di saat seseorang berada dalam suatu situasi tertentu,
maka hendaklah orang tersebut mengikuti prosedur yang
berlaku dalam situasi tersebut (Austin, 1962: 15).
3). Prosedur itu harus dilaksanakan oleh semua
pihak yang terlibat secara tepat. Austin menegaskan
bahwa seluruh prosedur haruslah dijalankan oleh semua
yang terlibat secara tepat, ‖The procedure must be
executed by all participants both correctly‖ (Austin,
1962: 15).
Apabila salah satu dari prasyarat tersebut tidak
dipatuhi atau dilanggar, maka Austin tidak mengatakan
ucapan performatif itu salah, melainkan tidak layak
(unhappy) diucapkan. Ucapan performatif yang tidak
layak itu menurut Austin telah mengalami kegagalan
(infelicities). Austin mengatakan hal itu sebagai
berikut:‖the utterance is then, we may say, not indeed
false but in general unhappy. And for this reason we call
the doctrine of the things that can be and go wrong on
the occasion of such utterances, the doctrine of the
infelicities‖(Austin, 1962: 14). (‖Tuturan ini tidak dapat
dikatakan salah, tetapi secara umum dikatakan tidak

149
bahagia. Berdasarkan alasan ini, maka ajaran tentang
sesuatu yang dikatakan salah itu dinamakan sebagai
ajaran tentang kegagalan").
Sebuah ucapan performatif yang tidak layak,
lantaran tidak mengikuti prosedur yang lazim berlaku
dalam lingkungan masyarakat tertentu, tak ubahnya
dengan ‖seseorang yang kawin dengan seekor monyet,
atau seorang pendeta yang membaptis beberapa ekor
burung penguin‖ (Austin, 1962 : 24). Orang lain tidak
dapat menyalahkan apabila ada seseorang yang
melangsungkan perkawinannya dengan seekor monyet
atau pun tindakan si pendeta yang membaptis burung-
burung penguin. Orang lain hanya dapat mengatakan
tindakan seperti itu tidak patut atau tidak layak
dilakukan, karena kedua perbuatan itu tidak lazim
berlaku dalam masyarakat. Pembahasan Austin
mengenai ucapan performatif ini tidak begitu terpaku
pada analisis konsep filsafat semata, bahkan dapat pula
dipergunakan untuk menganalisis berbagai ucapan dalam
kehidupan manusia sehari-hari.

150
2. Tindak Bahasa (Speech Acts)
Pembahasan Austin mengenai ucapan konstatif dan
ucapan performatif, terutama ucapan performatif adalah
titik-tolak yang mengarah pada pembahasannya tentang
tindakan bahasa (speech acts). Tesis utamanya mengenai
tindak bahasa ini berbunyi: ―Dalam mengatakan sesuatu,
berarti kita melakukan sesuatu pula‖, by saying or in
saying something we are doing something (Austin, 1962:
12). Setiap pernyataan yang dilontarkan seseorang
mencerminkan tindakan atau perbuatan yang akan
dilakukannya. Suatu tindakan bahasa tidak sekedar
mengungkapkan gaya bicara si penutur, tetapi dapat
mencerminkan tanggung jawab si penutur terhadap isi
tuturan, dan dapat pula mengandung maksud tertentu
untuk mempengaruhi orang lain. Austin membedakan
tindak bahasa menjadi tiga jenis, yaitu tindak lokusi
(locutionary act), Illokusi (illocutionary act), dan
perlokusi (perlocutionary act). Setiap jenis tindak bahasa
itu mempunyai ciri khasnya sendiri, ada faktor tertentu
yang menonjol dalam setiap jenis tindak bahasa itu,
namun ada pertautan erat di antara ketiga jenis tindak

151
bahasa tersebut, dalam arti jenis tindak bahasa yang satu
merupakan sarana bagi jenis tindak bahasa lainnya.

1). Tindak Lokusi (Locutionary Act)


Tindak lokusi menurut pandangan Austin, lebih
umum sifatnya dibandingkan jenis tindak bahasa yang
lain. Si penutur dalam tindak lokusi, melakukan tindak
bahasa dengan mengatakan sesuatu yang pasti. Tindak
lokusi merupakan tindak bahasa secara umum yang
dikaitkan dengan tindak fonetik (phonetic act), tindak
fatik (phatic act), dan tindak retik (rhetic act). Tindak
fonetik menurut Austin adalah tindak pengucapan bunyi
yang pasti (uttering certain noises). Tindak fatik adalah
tindak pengucapan kosa kata yang pasti (uttering of
certain vocables or words). Tindak retik adalah
penampilan sebuah tindakan yang menggunakan kosa
kata dengan pengertian dan acuan terbatas. Austin
menegaskan:‖the rhetic act is the performance of an act
using those vocables with a certain more-or-less definite
sense and reference‖ (Austin, 1962: 95). (―tindakan retik
adalah perbuatan menggunakan kosakata yang memiliki
pengertian dan acuan tertentu‖).

152
Sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturan yang
diungkapkan itu, dimaksudkan untuk memperjelas
tindakan bahasa yang dilakukan itu sendiri. Austin
mengajukan contoh tindakan lokusi sebagai berikut: ―Ia
mengatakan kepada saya: ―Tembaklah dia!‖ berarti
melalui ucapan ―tembaklah‖ mengarah dan mengacu
pada orang ketiga‖ (Austin, 1962: 101). Tidak ada
keharusan di sini bagi ―saya‖ (si penutur) untuk
melaksanakan isi ucapannya itu (menembak dia),
artinya, tindak lokusi ini tidak mencerminkan tanggung
jawab si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya.
Tindak lokusi ini lebih menonjolkan gaya bicara si
penutur dalam mengungkapkan sesuatu, dan tidak
mengandaikan situasi atau kondisi tertentu yang
menjamin atau mengharuskan si penutur untuk
melaksanakan isi tuturannya itu. Kendati ada sesuatu
yang diutamakan dalam isi tuturan seperti ucapan ―Saya
akan ada di sana‖, namun itu tidak berarti si penutur
benar-benar telah atau akan melaksanakan isi ucapannya.
Austin menegaskan bahwa dalam tindak lokusi ada
beberapa hal yang dilibatkan, yaitu fonetik, fatik, dan
retik, Austin menjelaskan hal itu sebagai berikut:

153
―Obviously, to perform a phatic I must perform a
phonetic act, or, if you like, in performing one I am
performing the other (phatic acts are a sub-class of
phonetic acts). Obviously in the definition of the
phatic act two things were lumped together,
vocabulary and grammar. The phatic act, however,
like the phonetic, is essentially mimicable,
reproducible (intonation, winks, gesture)‖ (Austin,
1962: 95-96).
(―Jelaslah, untuk melakukan tindak fatik saya harus
melakukan tindak fonetik, atau, jika Anda suka,
dalam melakukan salah satunya saya melakukan
yang lain (tindak fatik adalah sub-kelas dari
tindakan fonetik). Dalam definisi tindak fatik ada
dua hal yang disatukan, yaitu kosakata dan tata
bahasa. Namun, bagaimanapun juga, tindak fatik,
seperti fonetik, pada dasarnya dapat ditiru dan
diulang (intonasi, kedipan mata, gerakan‖).

Meskipun tindak lokusi tidak mencerminkan


tanggung jawab si penutur untuk melaksanakan isi
tuturannya, karena masih umum sifatnya, namun bagi
Austin ―tindak lokusi itu justru merupakan dasar untuk
melaksanakan tindak bahasa lainnya, terutama tindak
illokusi‖ (Austin, 1962 : 54). Tindak lokusi ini
sesungguhnya merupakan dasar bagi tindakan illokusi,
sebab pada tindak illokusi akan dijumpai implikasi yang

154
lebih luas dan rinci tentang peranan si penutur terhadap
isi tuturannya.

2). Tindak Illokusi (Illocutinary Act)


Pembahasan Austin mengenai tindak illokusi lebih
rinci dibandingkan pembahasannya mengenai tindak
lokusi. Hal ini dapat dipahami, sebagaimana komentar
yang diajukan oleh Alston, karena konsep mengenai
suatu tindakan illokusi itu merupakan konsep yang
paling dasariah dalam ilmu semantis (menyelidiki arti
atau makna ungkapan dalam bahasa) dan karena itu juga
sangat penting dalam filsafat bahasa. Sebagaimana tokoh
analitika bahasa lainnya –meskipun dalam pandangan
kebanyakan tokoh Filsafat Bahasa Biasa aspek pragmatis
lebih diutamakan daripada aspek semantis, Austin juga
berusaha mencari konsep yang memadai tentang masalah
arti atau makna. Hal ini tersirat (implisit) dalam
uraiannya mengenai tindak bahasa. Tindak illokusi yang
merupakan salah satu jenis tindak bahasa ini dapat
ditafsirkan sebagai dasar dari teori arti.
Austin menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan
tindak illokusi ini dalam pernyataannya yang berbunyi

155
:―tindakan dalam mengatakan sesuatu merupakan lawan
terhadap tindakan mengatakan sesuatu‖. Austin
menegaskan hal itu sebagai berikut‖…the performance
of an ‗illocutionary‘ act i.e. performance of an act in
saying something as opposed to performance of an act of
saying something‖ (Austin, 1962 : 99). Tindakan dalam
mengatakan sesuatu (in saying) dibedakan dari tindakan
tentang mengatakan sesuatu (of saying), sebab tindakan
yang pertama mengandung tanggung jawab si penutur
untuk melaksanakan isi tuturannya, sedang tindakan
yang kedua hanya mengungkapkan sesuatu. Tindakan
dalam mengatakan sesuatu (in saying something)
mengandung tanggungjawab si penutur, karena di
dalamnya terdapat daya atau kekuatan (illocutionary
forces) (Austin, 1962: 99-100). Contoh-contoh berikut
memperlihatkan sejauh mana daya atau kekuatan yang
terkandung dalam tindakan illokusi ini memainkan
peranan pada diri si penutur:
a). Saya berjanji akan menghadiri pesta ulang
tahunnya.
b). Saya menyarankan kepadanya untuk bersikap
jujur dalam berbisnis.

156
c). Saya bertanya kepada dosen Filsafat Bahasa
tujuan utama matakuliah tersebut.
d). Dosen Filsafat Bahasa itu mengumumkan pada
kami bahwa ujian akan dilaksanakan minggu
depan.
e). Prajurit itu melapor kepada atasannya bahwa ia
siap untuk melaksanakan tugasnya.
f). Komandan pasukan itu memerintahkan anak
buahnya untuk menyerbu musuh sesuai dengan
strategi yang ditentukan.
g). Saya menduga pencuri memasuki rumah saya
melalui jendela.
Semua contoh di atas merupakan contoh tindakan
illokusi, sebab dalam berjanji, menyarankan, bertanya,
mengumumkan, melapor, memerintahkan, menduga,
(Austin, J.L., 1962 : 98) terkandung suatu daya yang
menuntut tanggung jawab si penutur untuk
melaksanakan isi tuturannya. Daya itu pula yang
membuka peluang bagi si penutur untuk melaksanakan
isi tuturannya tersebut dalam tindakan nyata.
Kendatipun demikian, dalam tindak illokusi itu
terlebih dahulu harus dilihat apakah situasi dan kondisi

157
yang melingkupi memang sesuai dengan isi tuturan.
Manakala isi tuturan tidak sesuai dengan situasi dan
kondisi yang melingkupinya, maka tindakan illokusi itu
tidaklah akan dapat mencerminkan tanggung jawab si
penutur. Misalnya kita ambil contoh a). Saya berjanji
akan menghadiri pesta ulang tahunnya, di situ
seharusnya situasi dan kondisi tertentu sudah ada terlebih
dahulu, antara lain:
a). Memang ada pesta ulang tahun yang akan
diselenggarakan.
b). Pesta ulang tahun itu memang belum
berlangsung.
c). Ada kemungkinan bagi si penutur (saya) untuk
pergi menghadiri pesta ulang tahun tersebut.
d). Si penutur (saya) mempunyai minat ingin
menghadiri pesta ulang tahun itu‖ (Alston, 1964 :
39)
Apabila salah satu dari keempat hal tersebut tidak
ada atau tidak sesuai dengan kenyataan, berarti tindakan
illokusi itu tidak akan mencerminkan tanggung jawab si
penutur terhadap isi tuturannya, sehingga timbul
kejanggalan, yakni hal yang bersifat tidak semestinya

158
dalam pengungkapan isi tuturan itu. Bukankah janggal
kedengarannya apabila ‖saya berjanji menghadiri pesta
ulang tahunnya‖, padahal tidak ada pesta ulamng tahun
yang akan diselenggarakan (point a); atau bahkan pesta
ulang tahun yang dimaksud itu telah usai sebelum isi
tuturan diungkapkan (point b); dan sangatlah tidak
bertanggung jawab apabila isi tuturan itu diungkapkan
padahal si penutur tidak memiliki peluang atau
kemungkinan untuk menghadirinya (point c); mungkin
lantaran si penutur harus menjalankan tugasnya ke luar
kota; atau bahkan si penutur sebenarnya tidak punya
minat sama sekali untuk menghadiri pesta ulang tahun
itu (point d).
Satu hal yang perlu diketahui bahwa ‖situasi atau
keadaan yang dikemukakan di atas (point a, b, c, d)
bukanlah merupakan syarat bagi tindak illokusi,
kendatipun keadaan itu dibutuhkan bagi tindak illokusi
yang wajar dan bertanggung jawab‖ (Austin, J.L., 1962 :
3). Keadaan itu tidak dapat dianggap sebagai syarat yang
mutlak bagi tindakan illokusi, karena mungkin saja
dalam kasus tertentu si penutur memang tidak
mengetahui berlakunya keadaan yang demikian.

159
Misalnya saja dalam tuturan ‖saya berjanji akan
menghadiri acara wisudanya‖, mungkin si penutur
memang benar-benar tidak mengetahui bahwa acara
wisuda yang akan dihadirinya itu telah usai. Jadi
seseorang tidak dapat menyalahkan atau menuduhnya
sebagai orang yang tidak bertanggung jawab terhadap isi
tuturannya. Di sini hanya diandaikan bahwa seseorang
yang melakukan tindak illokusi itu telah mengetahui
terlebih dahulu situasi dan keadaan tertentu yang
berkenaan dengan isi tuturannya.
Petunjuk yang paling penting untuk diperhatikan
dalam kaitannya dengan tindak illokusi ini adalah
bahwasanya sesuatu yang dikehendaki bagi pengucapan
suatu kalimat yang layak bagi suatu tindak illokusi,
bukan lantaran keadaan lingkungan itu secara aktual
menimbulkan pengaruh yang pasti. Atau dengan kata
lain, si penutur benar-benar mempercayai pengaruh yang
ditimbulkan oleh keadaan itu bagi tindakan bahasa yang
dilakukannya, melainkan si penutur semata-mata
memiliki tanggung jawab terhadap tindak bahasa yang
dilakukannya. Si penutur benar-benar mengakui bahwa

160
apa yang diperbuatnya itu telah diarahkan sesuai dengan
aturan yang dikehendaki (Austin, 1962 : 99).
Setelah melihat ciri yang menandai suatu tindakan
illokusi, terutama tanggung jawab si penutur terhadap isi
tuturannya dijumpai bahwa ciri serupa juga berlaku bagi
ucapan performatif (performative utterance).
Bahwasanya baik tindak illokusi maupun ucapan
performatif, menuntut tanggung jawab si penutur untuk
melaksanakan tindakan yang sesuai dengan isi tuturan
atau isi ucapannya. Tengara ini dilontarkan oleh Austin
sendiri yang menegaskan bahwa sesungguhnya kata
kerja yang dikelompokkan ke dalam tindak illokusi
memang erat hubungannya dengan kata kerja
performatif. Seseorang dapat mengatakan bahwa tuturan
seperti, ‖saya mengingatkan Anda bahwa...‖, ataupun
‖saya memerintahkan Anda untuk...‖, jelas merupakan
kata kerja performatif; kata ‖mengingatkan‖ dan
‖memerintah‖ itu juga merupakan suatu tindak illokusi.
Jadi jelaslah bahwa seseorang dapat menggunakan
ucapan performatif pada tindak illokusi‖ (Alston, 1964:
35). Kata kerja yang termasuk ke dalam tindakan illokusi
selain di atas juga meliputi; meramalkan, mengakui,

161
berpendapat memrotes, meminta, mengemukakan,
mengungkapkan, bersyukur, dan lain-lain mengandung
force (daya) dalam diri subjek penutur.
Tindak illokusi dan ucapan performatif sama-sama
menekankan pentingnya pelaksanaan terhadap isi tuturan
atau isi ucapan untuk menegakkan rasa tanggung jawab
pada diri si penutur. Keterkaitan yang erat di antara
tindak illokusi dengan ucapan performatif itu
disimpulkan oleh Austin bahwasanya bilamana
seseorang melontarkan ucapan performatif, maka
sebenarnya itu juga berarti ia melakukan tindak illokusi
(Alston, 1964: 40).

c. Tindak Perlokusi (Perlocutionary Act)


Jenis tindak bahasa lainnya yang tak kalah
pentingnya dibandingkan dengan tindak lokusi dan
illokusi adalah tindak perlokusi (perlocutionary act).
Jika dalam tindak illokusi seseorang melihat isi tuturan
lebih mengena pada diri si penutur, maka dalam tindak
perlokusi ini isi tuturan lebih mengena pada diri si
pendengar. Jadi tindak perlokusi ini adalah akibat atau
pengaruh yang ditimbulkan oleh isi tuturan, baik nyata

162
maupun tidak. Di sini terkandung unsur kesengajaan dari
si penutur melalui isi tuturan yang dilontarkannya.
Austin menegaskan bahwa mengatakan sesuatu
acapkali akan menimbulkan pengaruh yang pasti
terhadap perasaan, pemikiran, atau perilaku si pendengar
atau si penutur itu sendiri, ataupun bagi orang lain. Hal
ini dapat dilakukan dengan cara merancang,
mengarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada
perkataan yang akan diungkapkan. Pelaksanaan jenis ini
dinamakan sebagai pelaksanaan tindak perlokusi. Tesis
utama dalam tindak perlokusi berbunyi:‖in saying x I
was doing y or I did y‖ (Austin, 1962:120). Tujuan
tertentu yang dirancang ataupun ditetapkan oleh si
penutur ke dalam isi tuturannya itulah yang merupakan
ciri khas dari tindak perlokusi, yakni penekanan pada
akibat yang ditimbulkan. Contoh tindak perlokusi dapat
dilihat sebagai berikut:
1). Saya telah membuat temanku melupakan
kesedihannya.
2). Saya meyakinkan dia bahwa belajar secara rutin
akan memberikan hasil yang lebih baik.

163
3). Saya membujuk anak saya agar menghentikan
tangisannya.
Jenis-jenis kata kerja lainnya yang merupakan ciri
khas tindakan perlokusi ini adalah: ‖membimbing x
mempelajari sesuatu, memperdayakan, mengajak,
merangsang, mengejutkan, menggembirakan,
menyebabkan x melakukan sesuatu, membangkitkan
membingungkan, menyebabkan x memikirkan tentang
sesuatu, meredakan ketegangan, mempermalukan,
menarik perhatian, menjemukan, dan lain-lain‖ (Alston,
1964 : 35).
Pengaruh atau akibat yang timbul dalam tindak
perlokusi, memang dirancang dan diarahkan sedemikian
rupa, sehingga ada upaya untuk mempengaruhi
pendengar secara maksimal. Apabila dikatakan ‖saya
membujuknya agar ia mau meminjami saya uang‖, maka
di sini terkandung upaya di penutur (saya) untuk
memperoleh pinjaman uang dari seseorang melalui cara-
cara tertentu.
Perbedaan yang penting antara illokusi dan
perlokusi terkait dengan akibat adalah kalau dikatakan
akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak illokusi itu

164
memang sudah semestinya demikian (lazim), karena
bertitik tolak dari tanggung jawab subjek. Sebaliknya
akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak perlokusi
merupakan hasil yang diinginkan atau telah
diperhitungkan sebelumnya oleh si penutur. Jadi, tujuan
atau maksud si penutur untuk mempengaruhi
pendengarnya itulah yang paling menonjol dalam tindak
perlokusi ini. Contoh paling jelas tentang tindak
perlokusi banyak dijumpai dalam bahasa iklan dan
bahasa politik, baik di media elektronik maupun di
media cetak yang dengan berbagai cara bermaksud
merayu dan meyakinkan calon konsumen atau calon
pemilih tentang keunggulan produk atau partai politik
mereka.

G. Jean Francois Lyotard (1924-1998)

Lyotard dikenal sebagai filsuf posmodernisme


yang menyuarakan surutnya narasi besar (grand
narratives) yang menindas berupa ideologi-ideologi, dan
lahirnya paradigma budaya baru yang didasarkan pada
skeptisisme terhadap teori-teori penjelasan universal

165
pada umumnya. Lyotard menegaskan bahwa dalam era
postmodern ini terjadi perlawanan dan pembebasan
terhadap perbudakan ideologi. Dewasa ini dimensi
kemanusiaan berpeluang mengangkat keanekaragaman
narasi kecil (mini-narratives), mengembalikan
kekuasaan politik pada individu dalam bentuk kebebasan
mengungkapkan pendapat dan keberanian mengritik
pemerintah dan kekuasaan negara yang cenderung
otoritarian (Sim, 2003: 3).
Lyotard juga menyerukan bentuk perlawanan
terhadap inhumanisme yang ditimbulkan oleh hubungan
manusia dengan teknologi, karena ia melihat dalam
beberapa dasawarsa terakhir ini relasi antara manusia
dengan mesin berubah secara dramatis. Apabila pada
awal perkembangan kebudayaan modern manusia masih
mampu memegang kendali atas mesin, semakin lama
hubungan itu dikuasai oleh mesin, terutama artificial
intelligence seperti computer, laptop, notebook, dan
sejenisnya. Bahkan para pendukung artificial
intelligence mulai menyadari masalah yang muncul
seputar hubungan manusia dengan mesin, sehingga
mereka memperkirakan pada abad mendatang masalah

166
kecerdasan massif akan menguasai politik global (Sim,
2003: 14-15).
Teknologi bagi Lyotard merupakan suatu bentuk
permainan yang lebih menekankan pada efisiensi, bukan
pada persoalan benar, adil atau indah. Lyotard
menegaskan hal itu dalam pernyataan
berikut:―Technology is therefore a game pertaining not
to the true, the just, or the beautiful, etc, but to
efficiency: a technical ‗move‘ is ‗good‘ when it does
better and/or expendes less energy than another‖
(Lyotard, 1984: 44). Penerapan teknologi dalam
kehidupan manusia merupakan sebuah permainan yang
mengandung aturan main, dan salah satu aturan main itu
adalah efisiensi. Aturan main lainnya berupa kegunaan,
kepraktisan, dan kebaharuan sebagai tuntutan bagi
pengembangan teknologi itu sendiri. Meskipun dalam
kenyataan, teknologi sebagai sarana permainan memiliki
aturan main sebagaimana dikemukakan di atas, namun
sesungguhnya terjadi penyimpangan aturan main dalam
teknologi itu dalam kehidupan manusia, yaitu
ketidakmampuan manusia mengendalikan perkembangan
teknologi, sehingga manusia justeru diperbudak oleh

167
teknologi. Teknologi dalam hal ini, bukan lagi menjadi
gerak permainan, tetapi sudah menjadi momok yang
menakutkan dan mengancam kehidupan manusia.
Misalnya: pengembangan senjata pemusnah massal yang
dilakukan oleh negara-negara maju seperti Amerika,
Inggris, Perancis.
Lyotard dalam karyanya yang berjudul The
Postmodern Condition: A Report on Knowledge
menengarai bahwa postmodern merupakan suatu bentuk
ketidakpercayaan terhadap metanarratives, yakni cerita-
cerita besar yang dijanjikan pada zaman modern seperti:
mitos pembangunan. Keraguan atau ketidakpercayaan
itu menurut Lyotard, merupakan bentuk kemajuan ilmu,
karena krisis yang terjadi dewasa ini diakibatkan
manusia terlalu percaya dan menyandarkan diri pada
cerita-cerita besar (Grand narratives). Fungsi naratif
dalam keadaan semacam itu telah menghilangkan peran
manusia sebagai subjek, sekaligus juga lebur ke dalam
kumpulan komponen bahasa naratif, termasuk dalam
bahasa denotatif, preskriptif, dan deskriptif. Kendatipun
demikian Lyotard menekankan bahwa manusia sekarang
tidak perlu mencari kombinasi bahasa yang standar atau

168
normatif, karena hal yang demikian tidak diperlukan
dalam komunikasi (Lyotard, 1989: xxiv).
Lyotard menawarkan konsep language-games
sebagai jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan
komunikasi dunia modern. Gagasan language-games
Lyotard ini diilhami oleh pemikiran Wittgenstein periode
Philosophical Investigations. Beberapa gagasan yang
dikembangkan Lyotard dari pemikiran Wittgenstein itu
meliputi hal-hal sebagai berikut.
Pertama; Lyotard menolak sudut pandang
tradisional yang menentukan kesatuan, proses
pascamodern mengarah pada pembebasan suatu
pluralitas bentuk-bentuk kehidupan, pengetahuan dan
tindakan yang mandiri, heteromorf, dan nonreduktif.
Lyotard justru lebih berorientasi pada instabilitas,
paralogi, dan diskontinyuitas (Asikin Arif, 1991 : 13).
Pluralitas merupakan salah satu tema yang paling
menonjol dalam pemikiran Wittgenstein II, yakni dalam
keanekaragaman tata permainan bahasa.
Kedua; Lyotard juga mengarahkan perhatian pada
analisis atas kehidupan sehari-hari, yang diistilahkan
dengan le quotidien, artinya analisis kehidupan sehari-

169
hari dipandang sebagai alternatif positif terhadap teori
global (Rosenau, P.M., 1992 : xiii). Aspek pragmatika
bahasa merupakan karakteristik pemikiran Wittgenstein
II, terutama dalam pernyataannya yang berbunyi: ‖The
meaning of a word is its use in the language. And the
meaning of a name is sometimes explained by pointing
its bearer‖ (Wittgenstein, 1983: 20-21). Atau penegasan
yang dikemukakan oleh (Judowibowo, TT: 9) mengenai
tesis pokok Wittgenstein II yang berbunyi: ―Makna
sebuah kata terletak pada penggunaannya dalam bahasa,
sedang makna bahasa terletak pada penggunaanya dalam
hidup sehari-hari‖.
Ketiga; penerapan konsep Language-games untuk
menjelaskan keberbagaian atau keanekaan fenomena
kehidupan dunia industrial modern. Setiap bidang
kehidupan bergerak sesuai dengan aturan mainnya
sendiri-sendiri, sebagaimana halnya cara bergerak biji-
biji catur di atas papan catur. Langkah bidak berbeda
dari langkah kuda, menteri, raja, gajah, dan seterusnya
(Lyotard, 1989 : 12). Lyotard mengamati adanya tiga hal
penting yang menjadi prinsip dalam teorema permainan
bahasa, yaitu: (1) Bahwa aturan-aturan tidak

170
melegitimasi dirinya sendiri, melainkan merupakan
objek perjanjian, baik eksplisit maupun tidak, antara para
pemain. (2) Bahwa jika tidak ada aturan, maka tidak ada
permainan, bahkan suatu perubahan aturan tanpa batas
melanggar kodrat permainan, sebuah gerak atau tuturan
tidak memuaskan dan tidak termasuk ke dalam
permainan yang dibatasi. (3) Setiap tuturan haruslah
dipikirkan sebagai sebuah gerak dalam suatu permainan
(Lyotard, 1989: 10).
Asikin Arif mengomentari bahwa secara metodis,
Lyotard menggunakan teori permainan bahasa
(language-games) sebagai sarana untuk menggambarkan
berbagai bentuk kehidupan, pengetahuan, dan tindakan
masyarakat posmoderen yang berbeda-beda, yang
dianalogikan dengan permainan bahasa. Masing-masing
permainan bahasa memiliki keunikan dan tidak
terbandingkan satu sama lain (incommensurable),
sebagaimana halnya pandangan Wittgenstein dalam
Philosophical Investigations bahwa tidak ada bahasa
yang bersifat umum (general language), yang ada
hanyalah bahasa-bahasa khusus, oleh karena itu mengerti
(verstehen) dan konsensus hanya ada dalam lingkup

171
language-games. Pemikiran posmodernisme Lyotard
yang bersandarkan pada keanekaragaman permainan
bahasa ini menurut Asikin Arif merupakan bentuk
pembelaan terhadap polimorfi permainan bahasa yang
menekankan pada semboyan ―biarkanlah bermain‖
(Laisser joner) dan ―bertaruhlah‖ (faites vos jeux)
sebagai imperatif posmodernisme (Asikin Arif, TT: 12).
Wittgenstein mengungkapkannya dengan
pernyataan:‖Don‘t think, but look!‖ (Wittgenstein, 1983:
31).
Posmodernisme bagi Lyotard merupakan
intensifikasi dinamisme, yaitu upaya terus menerus
untuk mencari kebaruan, eksperimentasi, dan revolusi
kehidupan (Bambang Sugiharto, 1996: 27). Kebaruan,
eksperimentasi, dan kreativitas dalam revolusi kehidupan
merupakan karakteristik language-games yang bagi
Wittgenstein sendiri selalu mengalami perkembangan
dan suatu ketika bisa menjadi usang (obsolete).
Judowibowo mengomentari bahwa istilah language-
games dipakai Wittgenstein dalam arti bahwa menurut
kenyataan, wicara bahasa (the speaking of language)
merupakan suatu bentuk kehidupan yang selalu muncul

172
silih berganti, sehingga yang lama menjadi
obsolete¸usang dan dilupakan untuk kemudian muncul
hal-hal yang baru (Judowibowo, TT: 9). Kebaruan
merupakan suatu bentuk kreativitas yang muncul dalam
setiap periode kehidupan manusia, sehingga
keberlangsungan hidup akan menciptakan wicara bahasa
yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.

173
BAB IV
PEMIKIRAN TOKOH-TOKOH SEMIOTIKA

A. Ferdinand de Saussure (1857-1913)


Istilah semiologi diperkenalkan Saussure untuk
mengacu pada studi atau kajian tentang bahasa yang
didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan
tingkah laku manusia membawa makna atau selama
berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem
perbedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu.
Di mana ada tanda di sana ada sistem. Harimurti
Kridalaksana dalam kata pengantar Linguistik Umum
menjelaskan bahwa Saussure membayangkan sebuah
disiplin ilmu yang mempelajari tanda dalam kehidupan
masyarakat. Disiplin ilmu tersebut mempelajari antara
lain sumber tanda dan kaidah yang mengatur tanda
tersebut. Ilmu tersebut dinamakan Saussure, semiologi.
Semiologi itu didasarkan pada asumsi bahwa selama
perbuatan manusia membawa dan mengandung makna
dan berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya ada
sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan
makna itu terjadi. Di mana ada tanda di sana ada sistem

174
(Harimurti, 1996: 26). Interkoneksi antara tanda yang
satu dengan tanda yang lain akan membentuk sistem,
sistem yang dimaksudkan Saussure di sini adalah sistem
kebahasaan, linguistik.
Saussure mendefinisikan semiologi sebagai
bidang studi yang meliputi seluruh persoalan linguistik
sebagai suatu kasus yang khusus (Sowa, 2000: 1).
Saussure menurut Georges Mounin, dapat dipandang
sebagai tokoh dalam bukunya Cours de linguistique
generale, karena Saussure telah membaptis dan
mendefinisikan secara garis besar ilmu umum tentang
semua sistem tanda (atau tentang semua simbol), sistem-
sistem itu membuat manusia bisa berkomunikasi di
antara mereka‖ (Martinet, 2010:2). Ada lima pokok
pikiran penting Saussure yang perlu mendapat perhatian,
yakni pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan
signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi);
(3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4)
synchronic dan diachronic; (5) Syntagmatic dan
associative (paradigmatik). Kelima hal tersebut terkait
dengan sistem kebahasaan yang dapat dijelaskan sebagai
berikut.

175
1.Bahasa sebagai sistem tanda; terdiri atas dua bagian,
yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda).
Signifier (penanda) adalah aspek material bahasa berupa
bunyi dan coretan yang bermakna, apa yang dikatakan
atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified
(petanda) adalah gambaran mental, pikiran, konsep dari
bahasa. Kedua unsur tersebut saling terkait dalam sistem
bahasa, penanda dan petanda merupakan kesatuan ibarat
dua sisi dari sehelai kertas. Hubungan antara signifier
(penanda) dan signified (petanda) menurut Saussure
bersifat arbitrer, semena, sebarang atau berubah-ubah.
Setiap tanda dalam jaringan sistem diibaratkan dua sisi
pada selembar kertas (Sobur, 2009 :46). Relasi antara
penanda dan petanda secara bersamaan membentuk
tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain, sehingga
keduanya membentuk suatu kesatuan, yaitu tanda, yang
seringkali dinamakan struktur (Hoed, 2008: 90).

2. Bahasa sebagai sistem nilai; terdiri atas bentuk dan


materi atau isi. Bentuk dan isi dapat diibaratkan dengan
permainan catur yang fungsinya dibatasi aturan
permainan. Contoh: mahasiswa Yogyakarta yang

176
terbiasa menumpang bis Trans Yogya setiap hari akan
menganggap dan mengatakan bahwa ia naik bis yang
sama, meskipun bis lainnya, dan sopirnya berbeda.
Bentuk atau wadah bis itu sama, yakni Trans Yogya, tapi
isinya berubah-ubah. Contoh lain: kata ―politik‖
misalnya dapat diucapkan secara berlainan oleh orang
yang berbeda (komentator, masyarakat awam, actor
politik), meskipun demikian kata tersebut ―politik‖
sebagai bagian dari suatu sistem bahasa, pada hakikatnya
tetap sama, yang berbeda hanyalah isi atau materi
psikologis si penyampainya.

3. Langage, langue, parole. Langage adalah


kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia
sebagai pembawaan, meskipun pembawaan ini harus
dikembangkan dalam lingkungan masyarakat pengguna
bahasa dan stimulus yang mendukungnya. Langage ini
mengacu pada bahasa pada umumnya yang terdiri atas
langue dan parole. Langue merupakan sistem sosial,
bukan tindakan yang direncanakan sendiri, karena
langue merupakan bentuk perjanjian bersama. Langue
adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat

177
sosial budaya. Langue merupakan tataran konsep dan
kaidah. Langue dapat dibandingkan dengan permainan
catur. Seseorang yang ingin bermain bulu tangkis tidak
harus mengetahui bahwa permainan tersebut berasal dari
Inggeris. Orang tersebut juga tidak perlu mengetahui
bahan baku cock itu terbuat dari bulu ayam asli ataukah
plastik. Asal-usul permainan dan bahan untuk membuat
cock itu tidak relevan untuk memahami permainan bulu
tangkis, yang penting adalah aturan permainan bulu
tangkis itu sendiri harus dikuasai setiap pemain,
sebagaimana halnya bahasa. Unit dasar langue adalah
kata. Parole adalah bahasa yang hidup (living speech),
bahasa sebagaimana yang terlihat dalam penggunaannya.
Parole adalah tataran praktek berbahasa dalam
masyarakat. Parole lebih terarah pada faktor pribadi
pengguna bahasa, unit dasarnya adalah kalimat, bagian
dari bahasa yang sepenuhnya individual, karena
memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan
kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya
(Sobur, 2009: 51-52; Hoed, 2008: 49-50). Parole
adalah aktivitas berbicara, sedangkan langue lebih
merupakan sistem abstrak yang mendasari parole.

178
Keduanya memiliki hubungan yang erat dan
komplementer, parole sebagai implementasi terus-
menerus dari sistem dasar yang ada dalam langue
(Hartley, 2010: 222). Saussure menganalogikan langue
dengan sebuah kamus yang dimiliki setiap pengguna
bahasa. Ketika terjadi komunikasi, maka seorang penutur
seolah-olah mencari dalm kamus tersebut citra akustis
yang sesuai dengan konsep yang ingin diungkapkannya.
Lawan bicaranya memiliki kamus yang sama, sehingga
memungkinkan terjadinya komunikasi. Setelah
menangkap rangkaian bunyi yang dilontarkan si penutur,
maka lawan bicara itu tadi mencari konsep dari citra
akustis yang ditangkapnya agar dapat memecahkan kode
– kode tersebut. Saussure membayangkan kamus
tersebut sebagai sebuak kumpulan guratan ingatan
dalam otak setiap pemakai bahasa. Adapun parole
merupakan penggunaan bahasa secara individual.
Penutur seolah-olah memilih unsur-unsur tertentu dari
kamus umum tersebut (Krampen, 1992: 57). Apabila
relasi langue dan parole itu dianalogikan dengan
pementasan wayang, maka alur cerita wayang secara
umum merupakan kamusnya (langue), sedangkan

179
pengungkapan cerita wayang oleh para dalang dengan
berbagai gayanya masing-masing dinamakan parole.

4. Synchronic & Diachronic. Synchronic adalah studi


yang menggambarkan tentang keadaan tertentu suatu
bahasa pada suatu masa tertentu pula. Sinkronis
mengandung arti bertepatan dengan waktu, sehingga
bahasa dipelajari tanpa mempersoalkan urutan waktu.
Diakronis artinya menelusuri waktu, sehingga studi
diakronik atas bahasa adalah deskripsi tentang
perkembangan sejarah bahasa tertentu dari masa ke masa
(Bertens, 2001: 184). Sinkronis merupakan kajian
tentang tanda pada suatu saat di dalam waktu, biasanya
saat ini. Diakronis merupakan telaah tentang bagaimana
perubahan makna dan bentuk tanda dalam
perkembangan waktu. Danesi mencontohkan analisis
diakronis dengan melihat kata person (pribadi). Kata
person pada zaman Yunani Kuno, ada hubungannya
dengan topeng yang dipakai seorang aktor pada saat ia
sedang bermain di atas panggung. Selanjutnya kata
person berubah maknanya menjadi karakter si pemakai
topeng, dan makna ini dipertahankan dalam dunia teater

180
dengan istilah dramatis personae, karakter pelaku
drama. Dewasa ini, kata person memiliki makna seorang
manusia yang hidup, berinteraksi, mengungkapkan
perasaan, mengatur rona wajah yang sesuai, dan
seterusnya (Danesi, 2010: 36).

5. Syntagmatic & Associative. Sintagmatis artinya


kumpulan tanda yang tersusun secara logis sehingga
membentuk makna. Contoh: Seekor burung bertengger
di atas ranting pohon. Kata ―burung‖ dikombinasikan
dengan ―seekor‖, ―bertengger‖, ―di atas‖, ―ranting‖ ,
―pohon‖, sehingga membentuk rangkaian yang
membentuk sintagma. Asosiatif atau paradigmatis
artinya hubungan yang saling menggantikan dalam
kaitannya dengan sintagmatik. Misalnya: ―burung‖ bisa
digantikan dengan ―ayam‖, ―tupai‖, namun pengubahan
itu tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, sehingga
rangkaian bunyi atau konsep itu adalah:‖seekor burung
bertengger di atas ranting pohon‖ (Sobur, 2009: 54-55).
Relasi yang bersifat sintagmatik menurut Saussure
adalah relasi antara sejumlah unsur yang berkaitan satu
sama lain dalam ruang dan waktu yang sama, biasa

181
dinamakan in praesentia. Relasi yang bersifat asosiatif
merupakan relasi antara unsur dengan unsur lain yang
diasosiasikan, sehingga tidak terletak dalam ruang dan
waktu yang sama, biasa juga dinamakan relasi in
absentia (Hoed, 2008: 51).
Para ahli semiotika menempatkan Saussure dalam
kedudukannya sebagai seorang strukturalis, karena
Saussure mementingkan relasi antar komponen. Ada tiga
prinsip dasar strukturalisme, yaitu (1) struktur dan sistem
selalu hadir bersama, (2) struktur dan sistem bersifat
abstrak dan merupakan sebuah construct, bangun, (3)
struktur dan sistem merupakan satuan yang bersifat
tertutup dan memenuhi dirinya sendiri (Hoed, 2008: 51).

B. Charles Sanders Peirce (1839 – 1914)

1. Relasi Triadis;Objek, Representamen, Interpretan


Semiotika yang dikatakan sebagai ilmu tentang
pemaknaan tanda ini sebagaimana yang telah dikenal
dalam dunia filsafat bersumber dari dua mainstream
yaitu Saussure dan Peirce. C.S.Peirce di samping tokoh
semiotika juga dikenal sebagai filsuf pragmatis Amerika,

182
mengemukakan gagasan tentang teori makna yang
mengenali isi sebuah proposisi dengan sesuatu yang
dapat dialami, sehingga dapat dibedakan mana yang
benar atau salah. Tanda bagi Peirce adalah hal yang
menggantikan seseorang untuk hal lain dalam beberapa
kapasitas. Peirce menegaskan hal tersebut sebagai
berikut:‖A sign, or representamen, is something which
stands to somebody or something in some respect or
capacity‖ (Peirce Volume 2, 1998:135). Sesuatu yang
digunakan agar tanda bisa berfungsi menurut Peirce
dinamakan ground. Relasi dalam tanda selalu
berlangsung hubungan yang bersifat triadis, yakni
ground, object, and interpretant. Relasi triadis antara
ground (representamen), object, and interpretant.

Peirce memperkenalkan istilah semiosis dan


semiotic yang keduanya mengacu pada tanda. Istilah
semiosis berasal dari bahasa Yunani sēmeíōsis
penjabaran dari kata kerja sēmeiô, sēma, menandai, yaitu
berbagai bentuk kegiatan, tindakan, serta proses yang
melibatkan tanda, dalam hal ini meliputi pula produksi
makna. Istilah semiosis ini diperkenalkan pertama kali

183
pada zaman Romawi semasa Cicero, yang artinya sebuah
penyimpulan dari tanda. Peirce menegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan semiosis adalah seluruh tindakan
dinamik atau tindakan kekuatan yang kasar (brute force),
baik yang bersifat fisik maupun psikis. Tindakan
tersebut terletak diantara dua subjek, baik subjek yang
sama-sama bereaksi satu sama lain, ataupun salah satu
subjek yang menempati posisi sebagai agen sedangkan
yang lainnya sebagai pasien. Peirce menegaskan hal
tersebut dalam pernyataan sebagai berikut.
―It is important to understand what I mean by
semiosis. All dynamical action, or action of brute
force, physical or psychical, either takes place
between two subjects [whether they react equally
upon each other, or one is agent and the other
patient, entirely or partially] or at any rate is a
resultant of such actions between pairs (Peirce,
1998,Volume 5: 332).

Subjek yang menempati posisi sebagai agen berarti


lebih aktif, sedangkan yang menempatkan diri sebagai
pasien berarti lebih pasif. Semiosis ini melibatkan suatu
kerja sama antara tiga subjek seperti: suatu tanda,
objeknya, dan interpretannya. Semiotika bagi Peirce
merupakan tindakan (action), pengaruh (influence), atau

184
kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object),
dan interpretan (interpretant). Peirce mengungkapkan
perihal kerja sama tiga subjek dalam pernyataan berikut:
―But by semiosis I mean, on the contrary, an action, or
influence, which is, or involves, a cooperation of three
subjects, such as a sign, its object, and its interpretant,
this tri-relative influence not being in any way resolvable
into actions between pairs‖ (Peirce, 1998, Volume 5:
332).
Semiosis merupakan pengalaman setiap orang dalam
setiap momen kehidupannya, sedangkan semiotics
merupakan teori yang terkait dengan pengalaman
manusia di atas, atau nama lain untuk logika, atau ajaran
tentang tanda. Peirce menegaskan keterkaitan antara
semiotika dengan logika dalam pernyataan
berikut:‖Logic, in its general sense, is, as I believe I have
shown, only another name for semiotic, the quasi-
necessary, or formal, doctrine of signs‖ (Peirce, 1998,
Volume 2: 134). Semiotika sebagai ajaran tentang tanda
dikatakan sebagai kebutuhan semu (quasi-necessary)
menurut Peirce artinya, seseorang yang mengamati
karakter dari setiap tanda sebagaimana yang ia ketahui,

185
dan berdasarkan suatu pengamatan, maka ia telah
melalui sebuah proses yang disebut abstraksi. Dengan
demikian orang tersebut dapat menggiring ke pernyataan
tentang tanda yang mungkin saja keliru, dan oleh karena
itu satu pengertian tentang tanda bukan berarti hal yang
seharusnya ada pada seluruh tanda yang digunakan
melalui kecerdasan ilmiah, sebab kemampuan tersebut
dipelajari melalui pengalaman (Peirce, 1998, Volume 2:
134). Dengan demikian ada proses abstraksi
(rasionalitas) di satu pihak, ada pula pengalaman
(empiris) di pihak lain dalam pemahaman atas tanda.

Relasi triadis ini selalu berkembang secara dinamis,


sehingga pada saat interpretant didefinisikan sebagai
tanda lain, yang telah dibuat di dalam pikiran seseorang,
maka ada keberlanjutan semiosis, interpretan dapat
mengacu pada objek baru dan demikian seterusnya.
(Zoest, 1991: 56).

2. Relasi Triadis: Ikon, Indeks, Simbol

Relasi triadis juga dijelaskan Peirce dalam kaitan


antara ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang

186
dicirikan oleh persamaannya (resembles) dengan objek
yang digambarkan. Ikon dalam pemikiran Peirce adalah
tanda yang fungsi kerjanya memiripkan objek atau
membuat sama. Foto seseorang adalah suatu ikon.
Hubungan antara ikon dan objeknya bagi Peirce tidak
terjadi begitu saja. (Berger, 2010: 244). Ikon ditandai
oleh kemiripan sebagaimana contoh dalam sebuah foto
yang dapat dilihat antara objek yang difoto dengan yang
terdapat dalam fotonya. Tanda visual seperti fotografi
dinamakan ikon, karena tanda yang ditampilkan
mengacu pada persamaannya dengan objek. Sebuah foto
mantan presiden Indonesia, Soekarno adalah ikon dari
objek atau sosok atau figur yang bernama bernama
Soekarno, karena foto mantan presiden Indonesia
tersebut berusaha mencerminkan objek yang diacunya.
Karena bentuknya yang sama/mirip dengan objek, ikon
dapat diamati dengan cara melihatnya. Penempatan
gambar pria dan wanita di kamar mandi merupakan ikon
untuk membedakan kamar mandi pria dan kamar mandi
wanita.

187
Indeks dalam pemikiran Peirce adalah tanda yang
terhubung secara kausal pada objeknya. Sebagai contoh;
asap akan menjadi indeks adanya api; asap disebabkan
oleh api dan menunjuk pada keberadaan api.
Kebanyakan pengetahuan kita tentang sesuatu bersifat
tidak langsung dari indeksikal, yakni berkaitan dengan
sebab akibat. (Berger, 2010: 244). Indeks merupakan
tanda yang hubungan eksistensialnya langsung dengan
objeknya. Indeks memperlihatkan koneksi kausal seperti
hubungan antara api dengan asap, hubungan antara
gejala dengan penyakit. Hubungan antara kedua hal
tersebut dapat dipahami, dapat diperhitungkan. Contoh
lain yaitu: hujan abu yang menyelimuti wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya pada bulan Maret tahun 2014
yang lalu adalah indeks dari meletusnya gunung Kelud
di Kediri, Jawa Timur. Terendamnya bangunan di
Jakarta pada musim penghujan setiap tahun adalah
indeks dari banjir. Sebuah indeks dapat dikenali bukan
hanya dengan melihat objek sebagaimana halnya dengan
ikon, namun yang perlu dipikirkan adalah hubungan
antara dua objek tersebut. Objek berupa rumah yang
terendam dan objek berupa banjir memiliki hubungan

188
yang bersifat logis dan niscaya, ada hubungan sebab
akibat yang tercakup di dalamnya. Dalam indeks,
kategori hubungan kausal dapat dipahami secara logis,
sehingga kalau ada pertanyaan mengapa banyak abu
yang menyelimuti kota Yogyakarta dan sekitarnya pada
bulan November 2010, jawabannya adalah disebabkan
erupsi Gunung Merapi. Kalau ditelusuri lebih jauh lagi
mengapa erupsi gunung Merapi berdampak hujan abu di
Yogyakarta? Jawabannya disebabkan tingginya lontaran
abu vulkanik yang mencapai 7 km diikuti hembusan
angin yang mengarah ke Yogyakarta, Klaten, Botolali
dan sekitarnya. Mengapa selalu terjadi banjir di Jakarta,
Bandung, Semarang, dan kota besar lainnya di
Indonesia? jawabannya bisa diajukan oleh ahli
lingkungan. Pencarian sebab atas suatu peristiwa
merupakan penelusuran atas indeks.
Jeanne Martinet (2010: 48-49) memasukkan hal-
hal berikut ke dalam golongan indeks. Pertama;
ramalan dan firasat yang dianggap dapat
memberitahukan kepada seseorang (tentu saja kalau
orang tersebut mempercayainya) kejadian atau fenomena
yang akan terjadi melalui suatu ikatan tersembunyi

189
dengan manusia, karena itu kedua hal tersebut dikenali
oleh manusia. Misalnya: ketika banyak hewan yang
berhamburan turun dari gunung Merapi, maka hal ini
merupakan ramalan atau firasat atau pertanda bahwa
gunung Merapi itu akan meletus dalam waktu singkat.
Kedua; simptom seperti demam, rasa sakit tertentu,
warna organ mata tertentu menunjuk pada penyakit
tertentu. Dalam hal ini para dokter dapat mendiagnosis
gejala yang tampak itu dengan memberikan resep untuk
menyembuhkan penyakit tersebut. Contoh lain ketika
seorang sopir sedang mengendarai mobil tiba-tiba suara
mesin yang semula halus dan stabil berubah menjadi
kasar dan labil, maka hal ini menunjukkan terjadinya
gangguan mesin, sehingga perlu diperiksa dan
diperbaiki. Ketiga; jejak atau bekas yang menunjukkan
keberadaan atau telah terjadinya sesuatu di tempat
tertentu. Contoh: mobil yang direm mendadak
meninggalkan bekas ban di aspal. Ketika kita bertamu di
rumah seseorang kita melihat di asbak ada puntung
rokok yang menunjukkan sebelum kita datang ada tamu
perokok yang berkunjung disitu.

190
Menurut Martinet, salah satu ciri indeks itu
adalah bisa dipersepsi, terlihat jelas, bisa diidentifikasi.
Oleh karena itu tugas manusia harus mengidentifikasi
apa yang diindikasikan oleh suatu objek dan manusialah
yang mampu menginterpretasi indeks sesuai dengan
yang diinginkannya (Martinet, 2010: 49).
Simbol bagi Peirce adalah bentuk tanda yang
didasarkan pada konvensi. (Berger, 2010: 247). Simbol
adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya
berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Simbol
ditandai dengan kesepakatan seperti halnya bahasa,
gerak isyarat, yang untuk memahaminya harus dipelajari.
Makna suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan
atau kesepakatan bersama, atau sudah diterima oleh
umum sebagai suatu kebenaran. Contoh: lampu lalu
lintas adalah simbol, yakni warna merah artinya
berhenti, hijau berarti jalan, warna kuning berarti
pengguna jalan harus berhati-hati. Simbol adalah sesuatu
yang maknanya diterima sebagai suatu kebenaran
melalui konvensi atau aturan dalam kehidupan dan
kebudayaan masyarakat yang telah disepakati.

191
C. Umberto Eco (1932 - ....)
Umberto Eco dalam karyanya yang berjudul A
Theory of Semiotics memperkenalkan semiotika secara
umum dengan menunjukkan wilayah penelitian
(boundaries of research) pada tiga tipe: Pertama,
wilayah akademik dalam pengertian berbagai disiplin
lain di luar semiotika sudah atau sedang melakukan
penelitian tentang subjek-subjek yang mau tak mau juga
harus dikenali seorang semiotikawan sebagai pokok
bahasannya misalnya: logika formal, semantika filosofis,
dan logika bahasa alami berkenaan dengan persoalan
nilai kebenaran dalam sebuah kalimat dengan berbagai
bentuk tindak wicara, sementara etno metodologi juga
membahas persoalan yang sama dari sudut pandang
berbeda. Pendekatan semiotika dapat dipergunakan
sebagai upaya tentatif untuk menyatukan atau
mempertemukan berbagai hasil dari disiplin lain melalui
definisi ulang dalam kerangka teoritisnya (Eco, 2009: 4).
Kedua, ada wilayah kerja sama (co-operative) dalam
pengertian berbagai disiplin ilmu telah mengelaborasi
teori-teori atau deskripsi-deskripsi yang diakui setiap
orang memiliki relevansi semiotik. Misalnya teori

192
linguistik dan teori informasi telah menghasilkan karya
penting tentang pengertian kode; kinesika dan
proksemika telah menghasilkan telaah yang variatif
tentang bentuk komunikasi non-verbal. Dalam hal ini
pendekatan semiotika dapat menghasilkan serangkaian
kategori terpadu dalam rangka kerja sama dengan
disiplin lain.(Eco, 2009: 5). Semiotika dalam arti kedua
terkait dengan program interdisipliner atau kerjasama
antara semiotika dengan unit budaya lain.
Ketiga, ada wilayah empiris yang dibaliknya terdapat
berbagai fenomena yang memiliki relevansi semiotik,
meskipun berbagai pendekatan belum sepenuhnya
berhasil mendefinisikannya secara teoritis. Contohnya:
lukisan, jenis objek arsitektural, dan lain-lain. Batas-
batas empiris tersebut menurut Eco tidak pakem, namun
terus bergeser seiring dilakukannya penelitian baru (Eco,
2009: 5).
Umberto Eco menyatakan bahwa setiap tindakan
untuk berkomunikasi dengan atau antar mahluk hidup
menuntut syarat bahwa suatu sistem penandaan menjadi
suatu kondisi yang dibutuhkan. (Eco, 2009: 9). Dalam
karya A Theory of Semiotics Eco mengemukakan daftar

193
beberapa batas suatu bidang seperti: semiotika kebun
binatang, tanda-tanda pabrik tua, strategi berkomunikasi,
kode-kode perasaan, kode musik, bahasa formal, bahasa
tulisan, bahasa asli, komunikasi visual, sistem objek,
susunan alur, teks estetis, komunikasi massa, pidato, dan
lain-lain. (Eco, 1976: 9-10).
Eco memerinci bidang kajian (political boundaries)
mulai dari proses komunikatif yang nampaknya lebih
alamiah, hingga sistem budaya yang lebih kompleks.
Pertama, semiotika binatang (Zoosemiotics) terkait
dengan perilaku komunikatif masyarakat non-human.
Kedua, tanda-tanda bauan (olfactory signs) artinya ada
bau yang bernilai konotatif, namun ada juga bau yang
memiliki acuan yang pasti sebagai indikator proksemik
atau proses kimiawi. Ketiga, komunikasi rabaan (tactile
communication) merupakan perilaku proksemik dan
perilaku sosial yang ditandai oleh ciuman, pelukan,
tamparan, dan lain-lain. Keempat, kode cecapan ((code
of taste) ditandai dengan sentuhan indera pengecap
seperti dalam praktek kuliner. Kelima, paralinguistik
merupakan kajian tanda-tanda supra-segmental yang
membenarkan komunikasi linguistik yang dikaitkan

194
dengan bunyi yang dihubungkan dengan kelamin, usia,
kesehatan, nada suara, control vocal bibir, dan lain-lain.
Keenam, semiotika medis (medical semiotics) kajian
antara tanda atau simptom dengan rasa sakit yang
ditunjukkan seseorang (pasien). Ketujuh, kinesik dan
proksemik, gagasan bahwa gerak tangan tergantung pada
kode-kode budaya. Kedelapan, kode-kode musik
(musical codes); komunikasi musik sebagai sistem yang
memiliki struktur. Kesembilan, bahasa yang
diformalkan (formalized languages), seperti bahasa
aljabar, matematika, kimia yang masuk ke dalam lingkup
semiotika karena setiap tanda berupa kode yang
disepakati dalam bidang tersebut mengandung makna
tertentu (Eco, 1992: 34-37).
Tanda merupakan salah satu fenomena kehidupan
yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia,
karena hampir sebagian besar dinamika hidup manusia
itu diwarnai oleh tanda. Eco membedakan dua tipe tanda
dalam komunikasi hidup manusia, yaitu tanda alamiah
dan tanda non-intensional. Tanda alamiah adalah
kejadian atau peristiwa fisik yang bersumber dari alam
(Eco, 1976: 16-17; van Zoest, 1992: 45). Ilustrasi

195
tentang tanda yang dapat ditangkap manusia, misalnya;
seorang dokter yang menemukan jenis hubungan antara
bintik-bintik merah pada kulit pasien dengan penyakit
tertentu (bisa campak, bisa pula demam berdarah).
Hubungan yang sedemikian itu diidentifikasi dalam
kasus medis, sehingga membentuk konvensi semiotika.
Demikian pula halnya peristiwa yang bersumber dari
alam juga harus diidentifikasi sebagai tanda, karena di
dalamnya terdapat konvensi yang menempatkan korelasi
kode antara ekspresi (kejadian atau peristiwa) dan isi
berupa sebab atau akibatnya. Suatu peristiwa dapat
menjadi wahana tanda apabila penyebab atau akibatnya
tidak dapat diketahui secara jelas. Eco menegaskan
bahwa pengertian tanda sebagaimana ilustrasi di atas
merupakan kasus inferensi. Ia menyatakan hal tersebut
sebagai berikut:
‖We are able to infer smoke the presence of fire,
from a wet spot to fall of a raindrop, from a track
on the sand the passage of a given animal an so
on. All these are cases of inference and our
everyday life is filled with a lot of these
inferential acts. It is incorrect to say that every
act of inference is a semiosis act -- even though
Peirce did so‖ (Eco, 1976: 17).

196
("Kami mampu menyimpulkan bahwa asap ada
karena ada api, dari tempat basah hingga
jatuhnya titik-titik hujan, dari jejak di atas pasir,
lintasan yang dilewati hewan, dan sebagainya.
Hal-hal tersebut merupakan kasus penyimpulan
dan gambaran kehidupan kita sehari-hari yang
notabene diisi dengan berbagai tindakan
penyimpulan. Tidak benar adanya jika seseorang
berpendapat bahwa setiap tindakan penyimpulan
adalah tindakan semiosis - meskipun Peirce
berpendapat seperti itu‖).

Eco menegaskan bahwa tidak semua aktus inferensi


atas tanda alami itu dapat dikatakan sebagai sebagai
sebuah aktus semiosis (semiosic actus), sebelum hal itu
disepakati oleh masyarakat pengguna tanda atau apabila
asosiasi telah dimaklumi secara kultural dan dikodekan
secara sistematis (Eco, 1976: 17). Contoh: apabila
seorang dokter menemukan adanya relasi konstan antara
bintik-bintik merah pada tubuh seorang pasien dengan
jenis penyakit tertentu (demam berdarah, campak),
dalam hal ini memang telah terjadi inferensi. Hal
tersebut baru menjadi konvensi semiotis apabila relasi
tersebut dicantumkan dalam ensiklopedi kedokteran dan

197
dipakai sebagai referensi para ahli medis untuk
menentukan gejala suatu penyakit.
Tanda non-intensional merupakan perilaku manusia
yang mengisyaratkan tanda meskipun perilakunya
tersebut tidak disadari si pelaku. Misalnya: gerak isyarat
(gestural behaviour) (Lihat van Zoest, 1992: 46), dalam
tanda non-intensional ini seseorang melakukan sebuah
tindakan yang dipandang orang lain sebagai sarana
pemberian sinyal, meskipun si pengirim tidak menyadari
bahwa tindakannya itu dapat dipergunakan dan dipahami
orang lain sebagai sarana untuk memberitahukan sesuatu
(Eco, 1976: 18).
Teori tentang tanda sangat terkait dengan interpretasi
dan klasifikasi. Interpretasi diperlukan dalam kaitannya
dengan menafsirkan makna dari sebuah tanda.
Klasifikasi diperlukan dalam kaitannya dengan
kemampuan untuk memilah-milahkan dan menempatkan
tanda dalam kategori yang tepat. Sebagai contoh seorang
ahli zoologi mengetahui klasifikasi hewan yang dapat
diinterpretasi berdasarkan bahasa objek (object-
language) yang khusus. Misalnya: ketika seorang
zoologis membicarakan tentang ‖mamalia‘, maka

198
kemampuan ahli zoologi tersebut untuk melakukan
klasifikasi kategori atas ‖mamalia‖ menjadi sangat
penting (Eco, 1984: 54-55). Interpretasi dan klasifikasi
merupakan kunci penting bagi penelitian ilmiah, karena
sangat menentukan struktur pemikiran yang jelas dan
jernih.
Umberto Eco, sebagai seorang profesor semiotika,
membahas semiotika sebagai studi komunikasi melalui
tanda dan simbol di Universitas Bologna. Eco banyak
mengangkat tanda dan simbol dalam kehidupan
masyarakat moderen seperti: penggunaan Hand-phone,
hologram, dan berbagai macam peralatan moderen
lainnya. Eco dalam karyanya Theory of Semiotic,
menegaskan bahwa semiotika berurusan dengan segala
sesuatu yang dapat dipandang atau dianggap sebagai
tanda. Sebuah tanda adalah segala sesuatu yang dapat
dipakai sebagai pengganti sesuatu yang lain secara
signifikan, oleh karena itu menurut Eco, semiotika secara
prinsip merupakan disiplin yang mengkaji segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk berdusta. Alasan Eco, jika
sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan
kedustaan, maka berarti hal itu juga tidak dapat

199
digunakan untuk mengungkapkan kebenaran; atau
dengan kata lain, kajian tersebut tidak dapat digunakan
untuk mengatakan apa-apa. Eco menyimpulkan bahwa
teori kedustaan merupakan program yang dapat dicakup
bagi semiotika umum (Eco, 1979:7).
Penelitian tentang tanda menurut Eco merambah ke
dalam berbagai sistem kehidupan manusia, mulai dari
yang sederhana hingga ke yang paling rumit. Dalam
contoh penerapan sistem tanda yang sederhana, Eco
mengilustrasikan perempuan sebagai sebuah tanda yang
mengonotasikan suatu sistem kewajiban sosial manakala
ia sudah berfungsi sebagai isteri. Berbeda halnya dengan
perempuan yang tampil sebagai benda dalam arti fisik,
ketika ia dikonsumsi secara fisik sebagaimana layaknya
makanan atau barang-barang lain. (Eco, 2009:37).
Umberto Eco dalam karyanya Travels in Hyper-Reality
banyak menyoroti penggunaan dan pemaknaan tanda
dalam dunia kontemporer seperti pertunjukan sekolah
holografi di New York, holografi sebagai mukjizat
teknik sinar laser yang paling mutakhir. (Eco, 2009: 25).
Eco menegaskan bahwa tanda merupakan segala
sesuatu yang dapat dianggap sebagai pengganti sesuatu

200
yang lain secara signifikan, pendapat ini sejalan dengan
pemikiran Peirce yang memandang tanda itu sebagai
sesuatu yang menggantikan sesuatu yang lain. Semiotika
menurut Eco pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu
yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk mendustai, mengelabui atau mengecoh. Jika
sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengecoh berarti
hal tersebut tidak dapat digunakan untuk ‖mengatakan‖
sesuatu pun. Oleh karena itu Eco menegaskan dengan
demikian teori kebohongan atau dusta dapat diambil
sebagai program yang cakupannya lebih luas bagi
semiotika umum (Eco, 2009: 6).
Eco membedakan tanda atau marka denotatif dan
konotatif. Marka atau tanda denotatif adalah kumpulan
tanda yang membentuk dan mengisolasi unit kultural
yang pada awalnya berkaitan dengan wahana-tanda dan
menjadi sandaran bagi setiap konotasi yang lain. Marka
atau tanda konotatif adalah tanda yang berperan
membentuk satu atau lebih unit kultural lain yang
diekspresikan oleh wahana-tanda sebelumnya. Eco
menegaskan perbedaan di antara keduanya dengan
mengatakan bahwa tanda denotatif terletak dalam sistem

201
semantik yang kepadanya kode mengaitkan wahana-
tanda tanpa ada mediasi yang lain atau langsung. Tanda
konotatif meletakkan sistem semantik di mana kode
mengaitkan wahana-tanda melewati mediasi tanda
denotatif lain, sehingga menciptakan korelasi antara
fungsi tanda dengan sebuah unit semantis yang baru.
Sebuah denotasi merupakan sebuah unit kultural atau
sifat semantis yang sifat acuannya sudah dikenali secara
kultural; sedangkan konotasi merupakan unit kultural
atau sifat semantis yang belum tentu berkorespondensi
atau bersesuaian dengan sifat referennya yang dikenali
secara kultural (Eco, 2009: 126 -127).
Eco menegaskan bahwa simbol merupakan ungkapan
yang mengandung makna secara tidak langsung (symbols
as expression conveying an indirect meaning), karena itu
kandungan penuh dari suatu tanda dapat diaktualisasikan
melalui penafsiran yang progresif. Namun gagasan
penafsiran yang berakar pada suatu penyimpulan saja
tidak mencukupi untuk menangkap cara simbolik,
diperlukan pemahaman atas setiap karakter fenomen
semiotika secara luas. (Eco, 1984: 136-137).

202
Berdasarkan pemikiran dari beberapa tokoh semiotika
yang dikemukakan di atas, maka kita dapat
mengidentifikasi beberapa teori semiotika sebagai
berikut.
1.Teori semiotika sebagai relasi triadis seperti dalam
pemikiran Peirce, yakni relasi antara objek itu sendiri,
objek yang ada dalam pikiran kita atau representamen,
dan situasi penafsiran atau interpretan.
2. Teori semiotika sebagai relasi diadis antara penanda
dan petanda seperti yang terdapat dalam pemikiran
Saussure, yakni bidang penanda atau bentuk yang
ditangkap indera kita (signifier) dan bidang petanda
berupa konsep atau makna (signifier).
3.Teori semiotika sebagai proses dialektika antara
Langue dan parole seperti yang dikemukakan Barthes,
yakni masing-masing tidak dapat mempunyai makna
sepenuhnya kecuali dengan proses dialektika yang
menghubungkannya satu sama lain; tidak ada langue
tanpa parole, dan tidak ada parole yang berada di luar
langue. Artinya langue berkedudukan sebagai sistem
bahasa, sedangkan parole merupakan tindakan
individual yang selektif, aktualisasi, dan terdiri dari

203
beragam kombinasi, sehingga subjek pembicara dapat
menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan
pemikiran pribadinya.
4.Teori semiotika sebagai bentuk relasi antara penanda
(signifier) dan petanda (signified) dalam suatu area yang
membatasinya sebagaimana dikemukakan Arthur Asa
Berger.
5.Teori semiotika sebagai actus semiosis seperti yang
dikemukakan Eco, yaitu tindakan penyimpulan (actus
inference) atas tanda yang sudah disepakati oleh
masyarakat pengguna tanda, telah dimaklumi secara
kultural dan dikodekan secara sistematis.

D. Arthur Asa Berger (1933-...)


Berger merupakan seorang semiotikawan Amerika
yang sangat kondang belakangan ini, mengangkat
beberapa kasus aktual yang terjadi di Amerika untuk
memahami fenomen tanda dengan bertitik tolak dari para
pemikiran tanda terdahulu seperti: Saussure, Peirce,
Roland Barthes. Berger dalam karyanya yang berjudul
Signs in Contemporary Culture mengamati berbagai hal
yang terkait dengan bagaimana tanda-tanda bekerja,

204
bentuk-bentuk tanda, aspek-aspek visual tanda, tanda-
tanda imajiner, tanda-tanda yang mengelabui, dan tanda-
tanda dan identitas.
Berger mengangkat beberapa kasus aktual yang
terjadi di Amerika untuk memahami fenomen tanda
dengan bertitik tolak dari para pemikira tanda terdahulu
seperti: Saussure, Peirce, Roland Barthes. Berger dalam
karyanya yang berjudul Signs in Contemporary Culture
mengamati berbagai hal yang terkait dengan bagaimana
tanda-tanda bekerja, bentuk-bentuk tanda, aspek-aspek
visual tanda, tanda-tanda imajiner, tanda-tanda yang
mengelabui, dan tanda-tanda dan identitas. Arthur Asa
Berger sendiri ketika membicarakan tentang budaya
kontemporer, banyak memberikan ilustrasi tentang
budaya imajiner seperti: penggambaran secara verbal,
impian, halusinasi, bayangan, dan berbagai tanda yang
mengelabui (banci, wig, pengecatan rambut, pengisi BH)
(Berger, 1989: 57-61).
Lebih lanjut Berger memberi contoh bagaimana
penanda-penanda (signifiers) dalam budaya kontemporer
dihadapkan pada petanda (signified) dalam tabel sebagai
berikut (Berger, 1989: 76)..

205
Signifier Signified
Long hair Counterculture (especially if
dirty)
Short hair Businessman (square)
Very short hair Gay or military or both
Crew cut Military
Tan Sports-loving, leisure class
Pale Intellectual (therefore sickly
also)
Levi‘s Casual, proletarian ?
Designer jeans Classy, wealthy
K-Mart jeans Working class
Three-piece pin stripe Executive, businessman
Briefcase Old-fashione
Attache case Conventional business type
Hand purse Europhile, pseudo-Italian
Day pack Outdoorsy
Shopping bag Peasant
Sandals Arty
Wingtips Business type

206
Work boots Laborer
Hiking boots Environmentalist, hiker
Aviator glasses Middle-class square
Wires Antiquarian
Dark sunglasses Gangster Type, paranoid
Bow tie Egghead
Thick tie Behind the times
String tie Hick, westerner

Klasifikasi penanda (signifier) dan petanda


(signified) yang disusun Asa Berger di atas memang
cenderung mengacu pada budaya masyarakat Amerika
dan Eropa. Namun apabila dilakukan adaptasi tentunya
dapat pula diberlakukan dalam kehidupan budaya mana
pun, termasuk di Indonesia. Pengelompokkan penanda
yang terkait dengan gaya rambut (warna merah tua)
misalnya bisa saja bersifat universal, atau paling tidak
penanda dan petanda gaya Amerika dan Eropa ditiru
oleh masyarakat kontemporer di Indonesia.
Penjelasan Berger tentang bagaimana tanda-tanda
bekerja bertitik tolak dari analisis semiotik Holmes yang

207
memperlihatkan karakteristik petanda manusia seperti:
orang pandai, kemerosotan dan nasib, kemasan,
kemunduran moral, dan seterusnya. Kemudian alasan di
balik penyimpulan penanda yang meliputi: kapasitas topi
berbentuk kubik, topi yang sangat berkualitas,
pengamanan topi dengan susunan tertentu, keretakan
elastis pada pengaman topi, dan seterusnya (Berger,
2010: 24).
Penjelasan Berger tentang bentuk-bentuk tanda
terkait dengan berbagai bentuk reklame seperti: tanda
periklanan, objek dan budaya material, aktivitas dan
penampilan, suara dan music (Berger, 2010: 35-39).
Cara kerja iklan yang menarik perhatian Berger tidak
hanya terkait dengan sifatnya yang komersial, tetapi juga
aspek keindahan yang digunakan sebagai indikator dari
sifat perusahaan ketika mendesain reklame (Berger,
2010: 35).
Aspek visual tanda dalam pandangan Berger terkait
dengan penggunaan warna, ukuran, ruang lingkup,
kontras, bentuk, detail. Pilihan warna menurut Berger
cenderung member kesan tertentu, seperti warna merah
memberi kesan nafsu, bahaya, panas, dan terkait emosi.

208
Ukuran tanda juga mempengaruhi dan memberi
penekanan nilai keindahan, terutama sebagai sarana
komunikasi. Ruang lingkup tanda pada iklan
menampilkan perasaan meruang yang diasosiasikan
dengan status tinggi dalam rumah, bangunan, dan
sebagainya (Berger, 2010: 47-50).

Berger (1989: 89) juga menampilkan beberapa


macam pekerjaan dan profesi di mana tanda digunakan,
penanda dan petanda dari profesi tersebut. Misalnya
pada wilayah kedokteran, penandanya (signifier) adalah
simtom atau gejala, sedangkan petandanya (signified)
adalah jenis penyakitnya. Dalam pemikiran Berger,
semiotika berkembang menjadi kajian yang sangat actual
dan kompleks, karena semiotika dapat menjadi pisau
analisis bagi kehidupan masyarakat modern dan budaya
kontemporer, termasuk analisis dalam bidang
kriminologi untuk menganalisis berbagai bentuk
kejahatan.

209
BAB V

FENOMENA BAHASA DALAM BUDAYA


KONTEMPORER

A. Budaya Kontemporer

Istilah budaya kontemporer banyak dipergunakan


para pemerhati budaya dewasa ini, namun jarang ada
yang memberikan definisi tentang apa yang dimaksud
dengan istilah tersebut. Salah seorang penulis semotika
kenamaan, Arthur Asa Berger, memberi judul bukunya
Signs in Contemporary Culture, meskipun Berger tidak
memberi definisi yang tersurat tentang budaya
kontemporer. Istilah budaya sendiri mengandung banyak
makna, antara lain yang dikemukakan Triandis
sebagaimana disitir oleh Samovar bahwa kebudayaan
merupakan elemen subjektif dan objektif yang dibuat
manusia di masa lalu untuk meningkatkan kemungkinan
bertahan hidup dan berakibat dalam kepuasan perilaku
dalam ruang ekologis. Samovar menggarisbawahi satu
hal penting dalam pengertian kebudayaan di atas, yaitu

210
buatan manusia untuk mempertegas bahwa budaya
berhubungan dengan aspek non-biologis dari kehidupan
manusia. Aspek non-biologis ini berbeda dengan aspek
biologis yang tidak harus dipelajari seperti: makan, tidur,
menangis, rasa takut (Samovar, 2010: 27). Tanda
termasuk aspek non-biologis, karena harus dipelajari,
bahkan berkembang menjadi proses pembiasaan yang
lebih panjang dan meresap dalam pemikiran manusia.
Bahasa merupakan salah satu bentuk tanda non-biologis
tersebut karena harus dipelajari dan terus berkembang
dan membentuk budaya dalam kehidupan manusia.
Istilah kontemporer lebih mengacu pada waktu
yang sama atau pada masa kini atau dewasa ini, sehingga
kontemporer mengacu pada dimensi waktu yang terletak
pada keterlibatan subjek pada zamannya. Ketika
seseorang menggunakan istilah kontemporer berarti
orang tersebut berada pada zaman yang dimaksud, dan
mengalami apa yang terjadi pada waktu yang sama
dengan masa hidupnya. Budaya kontemporer mengacu
pada sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan pada masa
kini. Fenomena budaya kontemporer memperlihatkan
bahwa sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat pada

211
masa kini banyak dipengaruhi gaya hidup yang diwarnai
aspek pencitraan, karena dampak teknologi, terutama
teknologi komunikasi dan informasi yang mendunia.
Kendatipun budaya sains rasional berkembang maju di
Indonesia, namun kenyataan menunjukkan bahwa
irasionalitas emosional masih tumbuh subur dalam
masyarakat Indonesia. Contohnya ialah penjelasan
fenomena erupsi Gunung Merapi 6 November 2010 dan
gempa di Yogyakarta 27 Mei 2006. Ada sebagian
masyarakat yang memberikan penjelasan fenomena
alami tersebut secara ilmiah rasional, namun sebagian
masyarakat menjelaskan dan masih percaya dengan
takhayul dan hal-hal yang bersifat irasionalitas
emosional (Besari, 2008: 334). Hal ini berarti budaya
kontemporer di Indonesia masih bercampuraduk antara
aspek ilmiah rasional dengan irasionalitas dan
emosionalitas.
Arthur Asa Berger sendiri ketika membicarakan
tentang budaya kontemporer, banyak memberikan
ilustrasi tentang budaya imajiner seperti: penggambaran
secara verbal, impian, halusinasi, bayangan, dan
berbagai tanda yang mengelabui (banci, wig, pengecatan

212
rambut, pengisi BH) (Berger, 1989: 57-61). Budaya
kontemporer dengan demikian mengacu pada tanda atau
sesuatu yang terjadi dalam waktu kekinian sebagai
sebuah gejala yang dapat diamati dewasa ini. Sebuah
budaya kontemporer merupakan proses terbentuknya
kebiasaan baru yang menjadi tren, gaya mutakhir.
Ada beberapa karakteristik yang cukup dominan
pada jaman kontemporer ini.
Pertama; pluralitas dapat dianggap sebagai salah
satu karakteristik pada zaman kontemporer, karena ide
tentang keberagaman justeru banyak diusung oleh para
filsuf pada masa ini, yaitu posmodernisme atau
pascamodernisme. Ada dua orientasi pascamodernisme,
yaitu pascamodernisme skeptis dan pascamodernisme
afirmatif. Penganut pascamodernisme skeptis
menegaskan bahwa setelah modernism yang ada
hanyalah pluralisme radikal, artinya tidak ada kebenaran
tunggal yang berperan sebagai pusat. Tokoh-tokoh yang
dipandang sebagai pendukung pascamodernisme skeptis
ini antara lain: Michel Foucault, Roland Barthes,
Derrida, Richard Rorty. Pascamodernisme afirmatif
menolak tendensi nihilisme, bagi mereka pluralisme

213
tidak serta merta meniscayakan nihilisme dan
menyangkal ide tentang kebenaran, namun lebih
meletakkan kebenaran dalam konteks lokal dan mini
naratif seperti pandangan Lyotard (Sahal, 1993: 66-67).
Pluralitas itu mencakup pula masalah metodologis,
sehingga tokoh seperti Feyerabend menawarkan metode
apa saja sah (Anything goes) dalam dunia ilmiah.
Feyerabend menegaskan bahwa tidak ada satu pun teori
yang berlaku atas seluruh fakta dalam ranah ilmu
tersebut, karena itu sebuah teori berpeluang untuk salah.
Fakta-fakta dibentuk oleh ideologi yang lebih tua, dan
pertentangan antara fakta dan teori justeru membuktikan
adanya kemajuan, progress (Feyerabend, 1978: 55).
Wittgenstein dalam Philosophical Investigations
memotret multiformitas permainan dalam kehidupan
sehari-hari seperti: permainan catur, kartu, bola, dan
lain-lain (Wittgenstein,1983 : 31).
Kedua; relativisme merupakan isu yang banyak
dilontarkan para filsuf posmodernisme, karena
lenyapnya kebenaran absolut sebagaimana dikemukakan
di atas, maka yang tersisa hanyalah kebenaran relatif,
karena pada masa kolonial pemikiran yang paling

214
dominan adalah positivisme. Relativisme berarti
pengakuan bahwa setiap satuan budaya memiliki kriteria,
kebenaran, dan makna sendiri. Tidak ada lagi kebenaran
yang dianggap sebagai landasan bersama, masing-
masing tidak bisa diperbandingkan (incommensurable)
dan berada dalam derajat setara. Gellner mengungkapkan
bahwa pengetahuan atau moralitas secara umum
dipandang sebagai angan-angan belaka (chimera). Setiap
kebudayaan harus menggelindingkan pengetahuan dan
moralitasnya sendiri. Makna merupakan sesuatu yang tak
terbandingkan satu sama lain (incommensurable), makna
merupakan konstruksi budaya. Penyelidikan lintas
budaya (cross-cultural) atau lintas semantik (cross-
semantic) hanya dimungkinkan jika kehormatan,
martabat, dan kesamaan budaya lain dihargai (Gellner,
1992: 73).
Ketiga; diskursus tentang kebenaran yang lebih
berorientasi pada runtuhnya klaim atas kebenaran
absolut dalam perdebatan epistemologis. Paradoks
kontemporer menurut Sudarminta tentang kebenaran
terlihat pada munculnya dua sikap ekstrem, yaitu krisis
kepercayaan terhadap setiap tuntutan kebenaran yang

215
diusung dan dipengaruhi oleh relativisme-skeptis di satu
pihak, dan tuntutan kebenaran mutlak yang
dikumandangkan kelompok fundamentalis agama dan
kaum dogmatis-ideologis di pihak lain (Sudarminta,
2007: 1-2). Richard Rorty dalam karyanya Philosophy
and Social Hope menegaskan bahwa dalam filsafat
kontemporer, kebenaran itu tidak berkorespondensi
dengan realitas, Truth without correspondence to
Reality. Rorty dalam salah satu pernyataannya
mengilustrasikan tentang ketidaktahuan seseorang bahwa
nilai pandangan Heidegger tentang kebenaran dan
rasionalitas itu berasal dari fakta bahwa Heidegger
merupakan seorang nazi (Rorty, 1999: 23-24).
Pernyataan Rorty ini merupakan sebuah sindiran bahwa
nilai moralitas, rasionalitas yang dituangkan dalam
berbagai karya manusia itu tidak merupakan jaminan
dapat dilaksanakan dalam dalam kehidupan manusia
secara nyata. Turner lebih jauh mengedepankan
pandangan posmodernisme bahwa berbagai spesialisasi
dalam ilmu merupakan strategi utama era modern
sebagai bentuk kesepakatan bahwa realitas bisa dibagi,
sebagai akibat dari upaya yang serius untuk mencapai

216
kebenaran yang dilakukan kelompok sosial dalam
mencari kekuasaan. Pandangan ini secara khusus
menjelaskan sentralitas tesis Nietzsche, the will to
power, dalam epistemologi kontemporer yang
menunjukkan bahwa pencarian kebenaran selalu berarti
membangun kekuasaan (Turner, 2000: 9).
Keempat; tema local-narrative lebih digemari
daripada grand-narrative. Runtuhnya mitos cerita besar
yang digantikan cerita kecil menurut Lyotard, menandai
lahirnya sebuah era kontemporer yang dinamakan
posmodernisme (Lyotard, 1984: 302). Lyotard dalam
The Postmodern Condition menggunakan language-
games, permainan bahasa untuk menganalisis apa yang
dianggapnya sebagai jaman (Turner, 2000: 183).
Language-games itu sendiri berasal dari ide Wittgenstein
dalam Philosophical Investigations yang mengacu pada
keanekaragaman penggunaan bahasa dalam kehidupan
sehari-hari dengan penekanan pada aspek use, bukan
pada logika bahasa semata, sehingga meaning is in use,
makna terletak pada penggunaannya merupakan indikasi
pragmatik dan makna secara kontekstual. The meaning

217
of a word is its use in the language (Wittgenstein, 1983:
20).
Kelima; hipermodernisme yang dibedakan dari
posmodernisme, karena yang belakangan ini kurang
memperhitungkan perubahan besar dalam masyarakat
kontemporer. Konsep posmodernisme lebih menekankan
pada keterputusan dari modernitas atau merupakan
bentuk perlawanan, sedangkan hipermodernisme justeru
mengarah pada radikalisasi modernitas. Haryatmoko
menengarai beberapa ciri konsep hipermodernisme
seperti: radikalisasi modernitas yang diamati dari
hubungan antara perubahan tekno-ekonomi dan struktur
politik kekuasaan, pribadi yang sangat individualis
masuk dalam putaran globalisasi ekonomi yang dikuasai
hukum pasar, dikondisikan oleh waktu yang semakin
cepat dan padat, pencarian kepuasan langsung dengan
menyingkirkan norma kolektif, makna disekat menjadi
makna disini dan sekarang (hic et nunc), kebahagiaan
pribadi menggantikan tindakan kolektif. Haryatmoko
menyimpulkan bahwa hipermodernisme bukanlah
kematian modernisme, melainkan upaya untuk mencapai
puncak modernisme melalui globalisasi liberalisme,

218
komersialisasi gaya hidup, dan eksploitasi rasio
instrumental yang berlebihan (Haryatmoko, 2009: 8).
Kendatipun fenomen budaya kontemporer
mengusung tema pascamodernisme hingga
hipermodernisme, namun kebutuhan akan kepastian
makna tanda merupakan sesuatu yang tidak bisa
dihindarkan. Logika makna atas tanda masih mendapat
tempat yang penting dalam budaya kontemporer.

B. Bahasa Dalam Hipertekstualitas Dunia Maya

Dewasa ini peran komputer dan internet dalam


dunia komunikasi sudah tidak dapat diabaikan, bahkan
dapat dikatakan memegang peran yang sangat sentral
dalam kehidupan kaum intelektual di belahan negara
mana pun. Laptop, komputer, jaringan internet sudah
merupakan kebutuhan utama di kalangan intelektual,
karena melalui sarana dan media itu mereka dapat
mengekspresikan dan mengasah gagasannya, sehingga
selalu muncul ide baru. Komputer menurut Danesi
(2010: 202), telah memperkenalkan suatu bentuk
tekstualitas yang dinamakan hipertekstualitas, yaitu

219
sistem teks yang saling terkait, sehingga seorang
pemakai komputer bisa berpindah dari satu teks ke teks
lainnya. Perpindahan dari satu teks ke teks lainnya dalam
dunia internet dimungkinkan dengan ditemukannya
hyperlinks, yaitu bagian dari suatu dokumen yang bisa
dihubungkan dengan dokumen-dokumen lain yang
terkait. Ketika sebuah hyperlink diklik, maka si
pengguna segera terhubung dengan dokumen yang
ditunjukkan oleh tautan itu. Hipertekstualitas menurut
Danesi, memungkinkan seorang pengguna untuk
berselancar melalui berbagai topik yang terkait tanpa
melihat urutan tampilan topik. Hipertekstualitas mulai
diperkenalkan sebagai sebuah fitur umum sistem
komputer pada tahun 1987 oleh Apple yang
mendistribusikan program baru yang dinamakan
hypercard. Program ini bisa memberikan fungsi tautan
yang memungkinkan pengguna berselancar di berbagai
file teks dan grafis yang ada di komputer dengan
mengklik kata-kata kunci dan ikon yang telah disediakan
programmer (Danesi, 2010: 203).
Akses berbagai informasi memang terjadi di sini,
sehingga menimbulkan kemudahan dalam yang

220
memperkaya dimensi pengetahuan si pengguna. Peran
pengajar (guru, dosen) sebagian besar diambil alih oleh
internet dengan berbagai jaringan yang ditawarkan,
sehingga guru dan dosen lebih berperan sebagai
fasilitator. Bahkan dalam berbagai kasus, siswa dan
mahasiswa memiliki pengetahuan yang lebih kaya
daripada guru dan dosen, karena mereka lebih rajin dan
tekun berselancar di dunia maya untuk mencari
informasi yang terkait dengan ilmu yang mereka pelajari.
Meskipun cukup banyak informasi sampah yang
bertebaran di dunia maya seperti: gambar dan cerita
porno, namun perputaran dan perpindahan teks yang
membantu perkembangan pendidikan tidak dapat
dipungkiri. Tawaran informasi yang tersedia bahkan
melebihi perkiraan dan keinginan yang dimiliki si
pengguna, mulai dari berbagai informasi tentang hampir
seluruh cabang pengetahuan manusia, topik ilmiah yang
paling serius sampai katalog senda gurau, dan lain
sebagainya.
Danesi menambahkan bahwa upaya menafsirkan
sebuah teks dalam komputer itu memerlukan tiga jenis
proses. Pertama, disyaratkan adanya kemampuan untuk

221
mengakses kandungan teks pada tingkat penanda
(signifier). Artinya, kemampuan untuk menafsirkan kata-
kata, citra, dan berbagai tampilan yang ada. Oleh karena
itu hanya mereka yang memiliki pengetahuan tentang
kode (verbal dan nonverbal) penyatuan teks itulah yang
bisa melakukannya dengan baik. Kedua, mensyaratkan
adanya pengetahuan tentang bagaimana hubungan A=B
itu dapat tersingkap dalam teks tertentu. Artinya
bagaimana suatu teks (A) dapat memunculkan artinya
(B) melalui serangkaian proses signifikasi internal dan
eksternal. Ketiga, adanya berbagai faktor kontekstual
yang memasuki seluruh proses untuk memberikan
kendala pada interpretant tentang maksud si pengarang
(Danesi, 2010: 204).
Sebuah contoh sederhana ketika seseorang
menggunakan komputer atau laptop, maka orang tersebut
harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang
penggunaan tanda yang terdapat pada komputer atau
laptop. Bahasa menjadi berkembang dalam konteks
tanda-tanda atau ikon komputer, laptop, Hand-phone,
dan jenis-jenis Gadget lainnya.

222
Penguasaan keterampilan, pemahaman dan
pengetahuan yang cukup atas penggunaan tanda atau
ikon pada laptop atau komputer atau jenis Gadget
lainnya menjadikan si pengguna dapat memanfaatkannya
secara optimal. Penguasaan keterampilan dan
pengetahuan atas penggunaan ikon pada laptop dan
komputer ini menunjukkan bahwa sifat-sifat tanda yang
berlaku cenderung bersifat logis-universal. Ikon yang
dipergunakan pada laptop dan komputer ini mewakili
bahasa logis-rasional sebagaimana yang dimaklumatkan
para penganut aliran atomisme logis dan positivisme
logis, yaitu bahasa standar yang memiliki makna unik
dan terbatas yang berlaku secara universal. Bahasa
logika yang diwakili dalam bentuk ikon menunjukkan
bahwa ketepatan makna dan acuan yang jelas masih
sangat dibutuhkan dalam dunia kontemporer. Komputer
dan internet dewasa ini sudah merupakan sarana atau
jembatan lintas budaya yang membuat jarak antar
budaya semakin pendek.
Perkembangan juga terjadi dalam bahasa dalam
komunikasi via internet, Hand-phone dan alat digital
lainnya,, sehingga melahirkan berbagai jenis permainan

223
bahasa (language-games) seperti: bahasa alay,
vickybulary, bahasa preman, waria, dan lain sebagainya.
Kesemuanya mengandung makna sesuai dengan
interpretasi yang diberikan anggota komunitasnya.
Bahasa universal bergeser ke arah bahasa komunitas.

C. Problem Makna Dalam Hipersemiotika

Perkembangan pemikiran tentang tanda dalam era


kontemporer ditandai dengan berbagai dinamika budaya,
politik, media, dan konsep pencitraan yang mendorong
manusia untuk mengoptimalkan penggunaan tanda
sesuai dengan bidang yang mereka tekuni. Istilah
hipersemiotika itu sendiri menurut Yasraf Amir Piliang
dimaksudkan sebagai semiotika yang berlebihan atau
semiotika yang melampaui batas (Yasraf Amir Piliang,
2003: 49). Terminologi hiper berarti ―di atas‖:
hiperkinesis, ―berlebihan‖, ―di luar ―atau ―terlampau‖,
―melampaui batas‖: hiperemia, hiperbol. Istilah
hipersemiotika secara terminologis, mengacu pada sikap
yang berlebihan atas tanda, sehingga menimbulkan

224
asosiasi yang bermakna melampaui hal yang
sesungguhnya.
Yasraf Amir Piliang menengarai bahwa
hipersemiotika digunakan untuk menjelaskan sebuah
kecenderungan yang berkembang pada pemikir
semiotika mutakhir seperti: Umberto Eco, Jean
Baudriliard, Ludwig Wittgenstein, Jacques Derrida. Ada
beberapa prinsip yang terdapat dalam hipersemiotika
sebagai berikut.
Pertama, prinsip perubahan dan transformasi
dalam hipersemiotika yang lebih menekankan pada
perubahan tanda, produksi tanda, dinamika pembiakan
tanda daripada struktur tanda, reproduksi kode dan
makna, relasi yang tetap. Inti terpenting dalam prinsip
perubahan tanda ini adalah bahwasanya tanda-tanda
tidak lagi menggantungkan dirinya pada konvensi, kode
atau makna yang ada, melainkan diproduksi oleh mesin
produksi semiotika yang terus berputar tanpa henti.
Kedua, prinsip imanensi artinya hipersemiotika
lebih menekankan sifat imanensi, permainan permukaan
material, permainan penanda, pengolahan bentuk,
permainan kulit atau sisi luar, penjelajahan jagad raya

225
simulasi daripada sifat transendensi, kedalaman
(metafisis), petanda, ketetapan makna, kepastian isi
(content), kanon-kanon representasi. Inti terpenting
dalam prinsip imanensi ini ialah sebuah tanda tidak lagi
menggantungkan dirinya pada rujukan realitas,
melainkan mengembangkan dirinya di dalam medan
permainan pure simulacrum yang membentuk dunia
hiperealitas.
Ketiga, prinsip pembedaan (difference) artinya
hipersemiotika lebih menekankan pembedaan daripada
identitas, konvensi, dan kode sosial. Inti terpenting
dalam prinsip pembedaan ini ialah hipersemiotika
memproduksi pembedaan tanda yang tidak harus selalu
baru, melainkan lebih menelusuri puing-puing atau
bunga rampai tanda masa lalu (pastiche) dalam rangka
menciptakan relasi dialogis antar waktu, antar ruang
dalam sebuah wadah ruang yang sama.
Keempat, prinsip permainan bahasa (language-
games) artinya hipersemiotika menekankan permainan
bahasa pada tingkat parole, event, reinterpretasi tanda
daripada langue, sistem, dan pembangunan ulang
struktur. Pada intinya hipersemiotika merupakan mesin

226
permainan bahasa yang memproduksi permainan tanda
sebagai komoditi tanpa mengikatkan diri pada sebuah
sistem yang tetap, sehingga makna tidak mendapatkan
ruang.
Kelima, prinsip simulasi yaitu penciptaan realitas
yang tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata (first
reality), melainkan menjelma menjadi realitas kedua
(second reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri
(simulacrum of simulacrum). Intinya ialah fenomena
meleburnya tanda dan realitas yang ditemukan dalam
media digital seperti internet.
Keenam, prinsip diskontinyuitas artinya
hipersemiotika lebih menekankan pada diskontinyuitas
semiotis daripada kontinyuitas semiotika. Intinya
hipersemiotika menggiring orang untuk semakin jauh
dari sistem atau struktur awal yang mengikat mereka,
dunia dikuasai komoditi dan tanda kapitalisme (Yasraf
Amir Piliang, 2003: 49-52). Keenam prinsip ini erat
kaitannya dengan bahasa sebagai sarana komunikasi
dalam kehidupan budaya.
Bahasa merupakan salah satu sarana kehidupan
manusia yang sangat penting. Bahasa lisan dan tulisan

227
telah membentuk kebudayaan dan memainkan peran
vital bagi pengembangan ilmu. Komunikasi antar
manusia dan antar peradaban dapat berlangsung lantaran
jasa bahasa. Fern Johnson seorang ahli kebudayaan
mengaitkan bahasa, komunikasi dan kebudayaan ke
dalam enam asumsi berikut:1) seluruh aktivitas
komunikasi berlangsung dalam kerangka kerja budaya,
(2) semua individu mengolah pengetahuan kebudayaan
yang mereka gunakan untuk berkomunikasi, (3) dalam
masyarakat multikultur, ada ideologi linguistik yang
dominan, yang menggantikan kelompok budaya lain, (4)
anggota kelompok yang terpinggirkan akan mengolah
pengetahuan dua kebudayaan sekaligus, yaitu
kebudayaan mereka sendiri dan kebudayaan dominan,
(5) pengetahuan kebudayaan, baik yang terpelihara
maupun yang lewat, secara konstan berubah; (6) semua
budaya pendamping saling memengaruhi dan
memanfaatkan satu sama lain (Littlejohn & Foss, 2009:
263). Bahasa terkait erat dengan budaya, karena bahasa
merupakan simbol kolektif yang mengacu pada stereotip
budaya, artinya dalam memori kolektif itulah bahasa
berperan dalam interaksi antara anggota masyarakat,

228
sehingga mereka mampu menggambarkan realitas
kehidupan mereka. Jager menegaskan hal itu sebagai
berikut:
‖in the store of collective symbols that all the
members of a society know, a repertoire of images
is available with which visualize a complete picture
of social reality and/or the political landscape of
society, and through which we then interpret these
and are provided with interpretations‖ (Jager,
2007: 35).
(―Di perbendaharaan simbol kolektif, semua
anggota masyarakat tahu bahwa memori gambar
tersedia dalam bentuk visualisasi gambar yang
lengkap tentang realitas sosial dan/atau panorama
politik masyarakat, dan yang kemudian kita
tafsirkan dan sediakan interpretasinya‖).

Norman Fairclough, seorang ahli bahasa kehidupan


sosial di Lancaster University, UK, menunjukkan relasi
antara semiosis, bahasa, dan kehidupan sosial.
Fairclough membangun sebuah metode riset ilmu sosial
berdasarkan pendekatan analisis wacana kritis, Critical
Discourse Analysis (CDA) yang didasarkan atas
pandangan semiosis sebagai suatu bagian yang tidak
dapat direduksi atau dihilangkan dari proses kehidupan
sosial. Semiosis itu mengandung semua bentuk

229
penyusunan makna termasuk citra visual, bahasa isyarat
(body language), maupun bahasa. Fairclough melihat
kehidupan sosial merupakan jaringan antar koneksi
(interconnected networks) tindakan sosial dalam
berbagai bidang seperti: ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya), dan setiap tindakan itu mengandung unsur
semiotis. Relasi sosial, identitas sosial, nilai budaya dan
kesadaran merupakan bagian semiotika. Analisis wacana
kritis (Critical Discourse Analysis) yang dicanangkan
Fairclough merupakan analisis hubungan dialektis antara
semiosis (termasuk bahasa) dan unsur-unsur lain dari
tindakan sosial (Fairclough, 2007: 122). Pemahaman atas
teks, bagi Zoest teks bukan hanya yang bersifat tertulis
dan lisan, teks merupakan kesatuan lambang yang saling
berhubungan satu sama lain mencakup: ekspresi muka,
sikap, gerak-gerik anggota badan (Zoest, 1996: 106).
Wittgenstein dalam periode Philosophical Investigations
memandang kesemuanya itu sebagai bentuk language-
games yang tidak hanya dipahami dalam bentuk
ungkapan verbal, melainkan juga dalam bentuk ekspresi
body language. Kesemuanya itu merupakan realitas yang
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial.

230
Perkembangan kehidupan sosial di era kontemporer turut
mempengaruhi cara pandang masyarakat atas realitas
yang ada di sekitarnya, sehingga ikut pula
mempengaruhi semiotika. Hal ini pada gilirannya
menjadikan semiotika beralih ke tataran yang lebih
daripada semiotika yang selama ini dikenal, yaitu
hipersemiotika.
Perkembangan kehidupan sosial dan budaya di
Indonesia sendiri dapat menggunakan jasa
hipersemiotika sebagai pisau analisis, misalnya bagi
fenomena multikultural di Indonesia. Fenomen pertama
yang terkait dengan prinsip perubahan tanda dalam
lingkup kebudayaan di Indonesia, adalah bahwasanya
tanda-tanda tidak lagi menggantungkan dirinya pada
konvensi, kode atau makna yang ada. Meski pun
semboyan Bhinneka Tunggal Ika masih diharapkan
sebagai suatu bentuk konvensi untuk menyatukan
keanekaragaman dalam semangat kesatuan, namun
dalam kenyataan, ikatan semacam itu melemah karena
berbagai faktor seperti: otonomi daerah, kesenjangan
ekonomi, kasus korupsi, dan berbagai faktor lain yang
mengurangi kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Daya

231
penguat ke arah kesatuan memudar seiring dengan
penyimpangan dan ketidaksesuaian dengan hati nurani
atau kehendak rakyat. Masyarakat mengalami
kegamangan dalam merengkuh identitas atau jati diri
bangsa yang memiliki kesatuan nasib dan cita-cita masa
depan. Dewasa ini muncul kesadaran baru atas arti
pentingnya Bhinneka Tunggal Ika sebagai wahana untuk
mempersatukan bangsa Indonesia agar tidak terjebak ke
dalam perpecahan antar kelompok. Habibie dalam Pidato
Bersejarah Memperingati Hari Peringatan Pancasila 1
Juni 2011, menengarai bahwa pada dewasa ini terlihat
adanya sikap intoleransi dan kecenderungan
mempergunakan kekerasan dalam penyelesaian
perbedaan, bahkan ada pihak yangi mengatasnamakan
agama, sehingga menjadi kontraproduktif bagi
perjalanan bangsa yang multikultural ini. Habibie
melihat bahwa fenomena fanatisme kelompok,
penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror
kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi
membangun budaya demokrasi yang beradab, etis, dan
eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan
menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan. Ia

232
melihat bahwa krisis ini terjadi karena luruhnya
kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik
sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran
komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara
(Habibie, 2011: 3). Hilangnya ruang publik sebagai
sarana komunikasi atas dasar solidaritas berganti
menjadi ruang publik sebagai sarana bisnis, kepentingan
politik, dan berbagai kepentingan lainnya yang tidak lagi
menghargai rasa kebersamaan, melainkan lebih
mengedepankan kepentingan kelompok dan individual
semata.
Fenomen kedua berupa berkembangnya prinsip
imanensi dimana sebuah tanda tidak lagi
menggantungkan dirinya pada rujukan realitas. tetapi
berkembang dalam ranah permainan pure simulacrum
sebagaimana yang dibahas oleh Baudrillard dalam The
Consumer Society. Menurut Baudrillard, dalam
kehidupan praktis, berkah konsumsi tidak dialami
sebagai hasil karya atau hasil dari proses produksi,
melainkan dialami sebagai suatu keajaiban, miracle
(Baudrillard, 1998: 31). Baudrillard membagi simulacra
ke dalam tiga tahapan, yaitu counterfeit/imitation,

233
production, simulation, masing-masing tahap
berhubungan dengan proses penandaan. Pada tahap
counterfeit Baudrillard mengasumsikan adanya suatu
peran sentral dalam struktur masyarakat dan pemaknaan
realitas. Pada tahap counterfeit atau imitation ini alam
menjadi paradigma fungsi dalam kehidupan masyarakat,
sehingga manusia berada di bawah nilai hukum alam.
Tahap ini tercermin dalam masyarakat abad pertengahan
dan masyarakat feodal. Kemudian tahap production yang
diawali dari revolusi industri, terjadi peningkatan
produksi dan reproduksi objek secara cepat, sehingga
tanda mengacu pada hukum perubahan dan berada di
bawah nilai hukum komersial. Tahap production ini
terjadi pada zaman modern. Tahap ketiga dinamakan
simulation yang tercermin ke dalam tiga tahap, yaitu
topeng dan sikap tidak wajar sebagai dasar realitas
(masks and perverts a basic reality), kemudian diikuti
tahap ketidakhadiran topeng sebagai basis realitas
(masks the absence of a basic reality), akhirnya tidak ada
relasi dengan realitas apa pun, sepenuhnya murni
simulacrum. Pada tahap counterfeit dan production tanda
menurut Baudrillard masih terkait beberapa cara dengan

234
kenyataan, namun dalam tahap simulation acuan pada
realitas menjadi lenyap sama sekali (Ramirez, 2005: 83).
Kekuatan ideologis ide kebahagiaan dalam masyarakat
modern muncul bukan berasal dari kecenderungan
alamiah pada setiap individu untuk mewujudkan
kebahagiaan dirinya sendiri, namun yang terjadi dalam
kenyataan adalah mitos kebahagiaan dalam kehidupan
masyarakat modern bermuara pada mitos persamaan (the
myth of equality). Kebahagiaan mengandung pemaknaan
dan fungsi ideologi menjadi sesuatu yang sangat penting
sebagai sarana mencapai mitos egaliter, kebahagiaan
merupakan sesuatu yang terukur (measurable).
Baudrillard melakukan kritik terhadap masyarakat
modern dan menekankan bahwa kebahagiaan harus
bebas dari tanda dan dapat mewujud pada hal-hal lain
yang ada di sekitar manusia, kebahagiaan tidak
memerlukan pembuktian (Baudrillard, 1998: 49).
Pandangan Baudrillard ini menunjukkan sebuah
kecenderungan bahwa gaya hidup konsumtivistik, pamer
kekayaan, munculnya kelompok kecil di Indonesia yang
dinamakan Yuppies pada era tahun 90-an, gaya hidup
selebritis bukanlah merupakan wujud kebahagiaan yang

235
sesungguhnya, melainkan sebuah topeng untuk menutupi
kegelisahan hidup yang mereka alami. Satu hal yang
lebih mengkhawatirkan adalah fenomen budaya yang
menampilkan gaya hidup selebritis sebagai sebuah jalan
pintas menuju kesuksesan dengan tampilnya tayangan
seperti: idola cilik, karena anak-anak kecil disulap
menjadi selebriti untuk memenuhi ambisi orang tuanya
atau lingkungannya.
Fenomen ketiga berupa prinsip pembedaan yang
menekankan pembedaan tanda yang tidak harus selalu
baru, tetapi lebih mengacu pada bunga rampai tanda
masa lalu (pastiche) dalam rangka menciptakan relasi
dialogis antar waktu, antar ruang dalam sebuah wadah
ruang yang sama. Tuntutan atas kebaruan tanda hanya
ingin menunjukkan bahwa baru itu identik dengan
progresif. Padahal dalam kehidupan modern kebaruan itu
justeru identik dengan cepat usang, artinya produk
modernitas sebagai tanda masyarakat modern
menciptakan komoditas yang cepat usang agar
konsumen terus menerus memperbarui barang-barang
yang mereka pakai.

236
Fenomen keempat berupa mesin permainan bahasa
yang memproduksi permainan tanda sebagai komoditi
tanpa mengikatkan diri pada sebuah sistem yang tetap,
sehingga makna tidak mendapatkan ruang, sebagaimana
yang terlihat dalam kasus codeswitching. Salah satu
contoh yang terkenal dari permainan bahasa semacam
ini dikenal dengan istilah codeswitching, alih kode,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Kasijanto
Sastrodinomo dalam artikel di TEMPO yang berjudul
―Umar Kayam dan Alih Kode‖. Codeswitching atau alih
kode ialah praktek berbahasa seseorang yang
menggunakan dua atau lebih variasi bahasa dalam suatu
cakapan. Codeswitching ini bisa ditemukan pada semua
speech communities atau komunitas cakapan yang
memiliki lebih daripada satu cara bicara dalam khazanah
bahasanya (Kasijanto, 2011: 54). Contoh kalimat bahasa
Jawa yang pernah dikemukakan Umar Kayam berbunyi
sebagai berikut:‖Manawi sampun dipun waos tor-ipun,
kula aturi cepat menyusun proposal-ipun supados
enggal dipun oke pimpinan proyek‖ (Umar Kayam
dalam Kasiyanto Satrodinomo, 2011: 54). Kalimat
tersebut merupakan penggabungan antara bahasa Jawa,

237
Indonesia (cepat, menyusun, pimpinan, proyek), dan
bahasa Inggeris (―oke‖, tor singkatan dari Term of
Reference). Wittgenstein dalam pemikirannya tentang
language-games menegaskan bahwa ada banyak bentuk
permainan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Wittgenstein menyatakan hal itu sebagai berikut:
‖We can also think of the whole process of using
words as one of those games by means of which
children learn their native language. I will call
these games ‗language-games‘ and will somethings
speak of a primitive language as a language-game
(Wittgenstein, 1983: 5). (―Kita juga dapat
berpendapat bahwa seluruh proses dalam
menggunakan kata-kata sebagai dalam satu
permainan yang digunakan oleh anak-anak untuk
belajar bahasa asli mereka. Saya akan
menyebutnya sebagai permainan 'language-game'
dan berpendapat bahwa bahasa primitif merupakan
language-game‖).

Codeswitching atau alih kode termasuk salah satu


bentuk permainan bahasa sebagai kebiasaan berbahasa
yang terbentuk oleh dua atau lebih aneka bahasa menjadi
suatu tuturan yang dimengerti oleh pihak yang
berkomunikasi.

238
Fenomen kelima berupa penciptaan realitas yang
tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata (first
reality), tetapi sudah berubah menjadi realitas kedua
(second reality) yang referensinya adalah dirinya sendiri
(simulacrum of simulacrum). Sebagai contoh: dunia
virtual dapat mengantarkan orang biasa menjadi sangat
terkenal seperti yang terjadi pada kasus Briptu Norman.
Kemampuan meniru gaya penyanyi India Shah Rukh
Khan mengubah realitas dunia nyata menjadi realitas
kedua yang acuannya bukan lagi pada penyanyi India
tadi, melainkan pada figur Briptu Norman sebagai idola
baru di kalangan penggemar dunia hiburan. Penyanyi
asli digantikan kedudukannya oleh penyanyi lip-sing,
sehingga terjadi perubahan cara pandang masyarakat.
Kehidupan masyarakat bergeser dari sesuatu yang
otentik kepada pseudo-objects dan pseudo-events.
Baudrillard menegaskan:‖It is in the form that everything
has changed: a neo-reality has everywhere been
substituted for reality, a neo-reality entirely produced by
combining elements of the code‖ (Baudrillard, 1998:
126).

239
Fenomen keenam berupa derasnya arus
hipersemiotika yang menggiring manusia moderen
untuk semakin jauh dari sistem atau struktur awal yang
mengikat mereka, dunia modern dikuasai komoditi dan
tanda kapitalisme. Hal ini ditandai dengan menguatnya
berbagai tawaran iklan di berbagai media, visual, audio,
dan audio-visual. Kemunculan Multi Level Marketing
(MLM) termasuk salah satu fenomen masyarakat
modern yang mencoba menggiring opini publik kepada
komoditas yang ditawarkan dengan berbagai pemikat
atau iming-iming prestasi dan perolehan hasil yang
menyenangkan. Disini terlihat bahwa teori Austin
tentang perlocutionary act masih sangat relevan, karena
salah satu bentuk tanda kapitalisme adalah iklan yang
berupaya memengaruhi (persuade) masyarakat agar
membeli produk mereka sebanyak mungkin.
Kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menjadi
fenomen yang sangat dominan untuk menjual barang dan
jasa, namun kadangkala mengorbankan nilai-nilai moral
dengan cara penipuan dan pembohongan publik.
Misalnya: SMS yang disebar ke HP konsumen yang
menjanjikan berbagai hadiah menarik, tetapi

240
sesungguhnya kebohongan, bahkan cenderung pada
penipuan.
Bahasa dalam lingkup itu memainkan peranan yang
sangat dominan untuk mengembangkan budaya modern
menjadi sebuah pilihan. Ketika proses produk dan
pemaknaan tanda bahasa dikuasai oleh kelompok
tertentu (misalnya: kaum kapitalis), maka simbol-simbol
lain mengalami degradasi, sehingga diperlukan tafsir
ulang. Contoh: ideologi Pancasila yang seharusnya
berpihak kepada rakyat mulai mengalami krisis karena
terjadi penyalahgunaan simbol ideologis oleh elit politik.
Pada gilirannya rakyat mengalami rasa ketidakpercayaan
(distrust) terhadap ideologi yang mereka anggap tidak
lagi berpihak kepada masyarakat kecil.
Eco dalam karyanya yang berjudul Travels in
Hypereality mengemukakan bahwa dalam kehidupan
kontemporer sekarang ini kekuasaan (power) tidak hanya
ada di tangan negara (state), melainkan juga dalam
kelompok-kelompok kecil. Eco menyitir pandangan
Barthes yang mengatakan bahwa kekuasaan dewasa ini
hadir dalam proses mekanisme perubahan sosial yang
paling sulit. Kekuasaan itu tidak hanya hadir dalam

241
negara, kelas, kelompok, tetapi bahkan dalam mode
(fashion), opini masyarakat, dunia hiburan, olahraga,
berita, informasi, keluarga dan relasi pribadi. Kekuasaan
itu bahkan hadir dalam dorongan-dorongan pembebasan
yang berupaya untuk meniadakan kekuasaan itu sendiri
(Eco, 1986: 240). Sikap untuk meniadakan kekuasaan
sering terlihat pada protes atau demonstrasi yang
bertujuan meruntuhkan kekuasaan pemerintah seperti
yang terjadi di Tunisia, Mesir, Libya, dan beberapa
negara Timur Tengah lainnya pada awal hingga
pertengahan tahun 2011 yang lalu, termasuk demonstrasi
anarkhis yang belakangan sering terjadi di Indonesia,
termasuk teror bom dengan merusak tempat-tempat
ibadah yang dilakukan kelompok tertentu. Sikap
anarkhis di sini berarti meniadakan peran pemerintah
dalam mengambil keputusan atau jalan yang dapat
ditempuh sesuai prosedur hukum. Di sini pula bahasa
memainkan peran yang sangat penting seperti: yel-yel
politik untuk membangkitkan semangat massa,
terminologi jihad yang dimaknai khusus oleh komunitas
tertentu, dan bahasa sarkastik yang acapkali dilontarkan
kaum demonstran.

242
D. Rekayasa Makna Dalam Hiperealitas

Eco dalam bukunya Theory of Semiotics


menjelaskan bahwa semiotika merupakan bagian dari
filsafat bahasa, kemudian ia menengarai adanya rekayasa
makna dalam teori semiotika yang dinamakannya
dengan teori kebohongan, sebab semiotika berurusan
dengan segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai
tanda. Sebuah tanda menurut Eco, ialah segala sesuatu
yang dapat dipakai untuk pengganti sesuatu yang lain
secara signifikan. Sesuatu yang lain, yang digantikan
oleh tanda itu, tidak harus benar-benar eksis atau berada
di suatu tempat agar tanda dapat menggantikannya.
Berdasarkan hal yang demikian itulah Eco
menyimpulkan bahwa semiotika secara prinsip
merupakan disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang
dapat digunakan untuk berbohong. Alasannya, jika
sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan
kebohongan, berarti ia juga tidak dapat dipergunakan
untuk mengungkapkan kebenaran. Hal itu sama artinya
semiotika tidak bisa digunakan untuk mengatakan apa-
apa. Eco menegaskan hal itu dalam pernyataan berikut:

243
‖Semiotics is in principle the discipline studying
everything which can be used in order to lie. If
something cannot be used to tell a lie, conversely it
cannot be used to tell the truth: it cannot in fact be
used to tell at all‖ (Eco, 1976: 7).
(―Semiotika terdapat di dalam prinsip disiplin
dalam mempelajari segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk berbohong. Jika sesuatu tidak
dapat digunakan untuk mengatakan kebohongan,
sebaliknya hal itu juga tidak dapat digunakan untuk
mengatakan kebenaran: sehingga kalau demikian
halnya, semiotika tidak dapat digunakan untuk
memberitahukan apapun‖).

Senada dengan pemikiran Eco tersebut, Habermas


dalam On the Pragmatics of Communication
membedakan tindakan komunikatif (Communicative
action) dengan tindakan strategis (strategic action).
Manusia dalam tindakan komunikatif, membangun
komunikasi berdasarkan tuntutan validitas yang bersifat
timbal balik yang bertujuan untuk menjangkau
pemahaman, sedangkan dalam tindakan strategik lebih
bersifat satu arah. Habermas menyatakan bahwa dalam
tindakan strategis ini dapat terjadi tindakan strategis
yang bersifat terbuka (openly strategic action) dan
tindakan strategis yang tersembunyi (latenly strategic

244
action). Tindakan strategis yang tersembunyi artinya
komunikasi dapat didistorsi secara sistematik
(systematically distorted communication) dan
dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu
(Habermas, 2003: 93).
Sedemikian luasnya dimensi yang dicakup dalam
bidang semiotika ini, sehingga diperlukan batas-batas
yang tegas untuk memagari disiplin ini agar tidak
terjebak ke dalam dimensi eksoterik, pengetahuan yang
dimengerti oleh siapa saja tanpa dasar pemahaman yang
jelas. Semiotika harus diletakkan ke dalam dimensi
esoterik, yaitu pengetahuan yang bersifat khusus,
terbatas, dan memiliki sistematisasi yang jelas.
Semiotika esoterik inilah yang dilakukan C.S.Peirce
dengan meletakkan logika sebagai basis pemahaman atas
realitas, dan memagari kajian semiotika berdasarkan
prinsip triadis. Semiotika dapat berperan sebagai pisau
analisis bagi proses pemaknaan atas tanda-tanda dalam
kehidupan manusia sejak purba hingga zaman
kontemporer. Semiotika dapat berfungsi sebagai titik
tolak pendekatan atas berbagai problem yang
berkembang dalam kehidupan manusia kontemporer,

245
termasuk hiperealitas. Dalam seluruh kajian hiperealitas
itu pula peran bahasa, baik lisan maupun tertulis menjadi
sangat penting, karena problem makna dan rekayasa
makna dalam budaya kontemporer yang terlihat pada
hipersemiotika dan hiperealitas melibatkan bahasa.

E. Komunikasi Lintas Budaya

Perkembangan dunia industri yang dilanjutkan


dengan revolusi informasi dan komunikasi membawa
pengaruh besar dalam kehidupan manusia moderen.
Komunikasi lintas budaya merupakan fenomena
kehidupan budaya kontemporer yang dipacu arus
globalisasi. Globalisasi tidak hanya dipahami dalam
lingkup ekonomi, namun merambah ke berbagai bidang
kehidupan seperti: politik, budaya, teknologi, bahkan
agama. Karena itu globalisasi menurut Samovar, terdiri
atas tindakan atau proses yang melibatkan dunia dan
berakibat luas dalam beragam sendi kehidupan
masyarakat (Samovar, Cs, 2010: 3). Hampir tidak ada
aspek kehidupan masyarakat dewasa ini yang terlepas
dari pengaruh globalisasi, terlebih dengan pengaruh

246
media, teknologi informasi dan komunikasi yang
sedemikian pesat seperti dewasa ini. Bahkan masyarakat
suku terasing seperti suku Bushman, yang digambarkan
dalam film Gods Must Be Crazy juga tidak kalis terhadap
pengaruh globalisasi, ketika digambarkan seorang pilot
pesawat melemparkan botol Coca Cola yang jatuh di
perkampungan mereka, sehingga pola komunikasi
mereka pun ikut berubah. Semula suku Bushman tidak
mengenal konflik, karena mereka merupakan komunitas
kecil yang cinta damai, namun gara-gara terjadi
perebutan antar anggota suku untuk menggunakan botol
Coca Cola tersebut, mereka menjadi sering bertengkar,
sehingga terciptalah suasana konflik di antara anggota
komunitas tersebut. Banyak suku terasing di Indonesia
seperti: suku Dayak di Kalimantan, suku Talang Mamak
di Riau, suku Anak Dalam di Jambi, Suku Baduy di
Jawa Barat dan Banten yang sebelum bersentuhan
dengan peradaban moderen hidup dalam suasana damai
dengan hukum adat yang mengikat komunitas mereka,
namun kemudian mengalami perubahan yang tidak
terpahami oleh cara berpikir dan cara hidup mereka.
Demikian pula halnya dengan kehidupan manusia

247
moderen, banyak konflik dan kosa kata yang hadir dan
berkembang dalam kehidupan mereka seiring dengan
penggunaan alat-alat teknologi moderen seperti: pulsa,
fitur, unduh, dan lain-lain.
Komunikasi lintas budaya sudah menjadi bagian
kehidupan masyarakat global, karena jarak antar budaya
menjadi lebih dekat lantaran pengaruh teknologi
informasi dan komunikasi. Teknologi informasi dan
komunikasi meningkatkan percepatan dan kemudahan
warga dunia untuk saling berhubungan satu sama lain.
Kemajuan teknologi juga digambarkan Samovar,
menjamin peningkatan informasi di masa depan. Sistem
internet baru yang dinamakan The Grid (Jaringan)
mampu beroperasi 10.000 kali lebih cepat dari koneksi
broadband pada umumnya. Era teknologi informasi
antara tahun 2006 dan 2010 terjadi pertambahan dan
percepatan informasi setiap tahun di dunia digital,
sehingga meningkat lebih dari 6 (enam) kali lipat
(Samovar, 2010: 7). Situs Wikileaks yang menghebohkan
dunia informasi dunia maya di tahun 2010 membuktikan
bahwa dunia maya mampu menembus tembok-tembok
rahasia berbagai negara. Sistim komunikasi digital

248
menurut Danesi, memberikan layanan online berupa
berita, papan buletin, jurnal, permainan, perpustakaan,
dan banyak hal lain. Surat elektronik (e-mail) termasuk
salah satu sistem komunikasi digital yang banyak
dipergunakan, hingga facebook, twitter, dan berbagai
macam sistem komunikasi yang semakin mendekatkan
jarak antar manusia, antar budaya, antar negara (Danesi,
2010: 208).
Komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antar
manusia yang persepsi budaya dan sistem simbolnya
cukup berbeda dalam suatu komunikasi. Menurut
Samovar Cs, komunikasi antara budaya itu melibatkan
budaya dominan dan subkultur. Budaya dominan ialah
kelompok yang memiliki kewenangan, kontrol, dan
kekuasaan untuk mengatur pola hubungan antar
masyarakat, bangsa, dan negara. Pola hubungan antar
negara dalam dunia kontemporer misalnya didominasi
negara-negara maju seperti: Amerika, Inggeris, Cina,
Perancis, dan lain-lain. Subkultur adalah kelompok atau
komunitas sosial yang memiliki karakter komunikasi,
persepsi, nilai-nilai, kepercayaan, dan tindakan yang
membedakan mereka dari kelompok dan komunitas lain

249
dan juga dari budaya dominan (Samovar, 2010: 14-15).
Dalam hal ini pertemuan antara budaya dominan dengan
subkultur pada umumnya menimbulkan dampak
komunikasi, sehingga memengaruhi peran tanda dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Komunikasi
dalam hal ini merupakan proses dinamis di mana orang
berusaha untuk berbagi masalah internal mereka dengan
orang lain melalui penggunaan simbol. Manusia menurut
Erns Cassirer adalah animal symbolicum, mahluk
pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia, simbol
merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan
sesuatu hal yang lain. Manusia menggunakan simbol
untuk memberikan makna, dan memungkinkan suatu
budaya disampaikan dari satu generasi ke generasi. Hal
yang penting diketahui adalah bahwa suatu simbol itu
menjadi simbol ketika sejumlah orang sepakat
menjadikannya suatu simbol. Oleh karena itu tidak ada
hubungan budaya antara simbol dan artinya,
hubungannya berubah dan bervariasi dalam semua
budaya (Samovar, 2010: 18-20).
Samovar Cs menyebutkan ada 5 (lima) elemen
budaya, yaitu sejarah, agama, nilai, organisasi sosial, dan

250
bahasa. Pertama; sejarah berisikan cerita tentang masa
lalu yang memberikan identitas, nilai, aturan tingkah
laku, dan sebagainya kepada anggota komunitas suatu
budaya. Sejarah memberikan pelajaran tentang motivasi
di balik pembangunan Tembok Besar Cina, candi
Borobudur, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dan lain
sebagainya. Kedua; agama berupa upacara, ritual, hal-
hal tabu, perayaan sebagai aktivitas dan kepercayaan
yang dilakukan suatu komunitas yang berfungsi untuk
kontrol sosial, penyelesaian konflik, penguatan
kelompok solidaritas, penjelasan tentang sesuatu yang
sukar dirasionalkan, dan dukungan emosional. Ketiga;
nilai merupakan kritik atas pemeliharaan budaya secara
keseluruhan karena hal ini mewakili kualitas yang
dipercayai masyarakat untuk kepentingan dan kelanjutan
hidup mereka. Keempat; organisasi sosial mewakili unit
sosial yang beraneka ragam seperti: keluarga,
pemerintah, sekolah, yang membantu anggota suatu
kelompok budaya untuk mengatur kehidupan mereka.
Kelima; bahasa sebagai wadah untuk berbagi pikiran,
perasaan, dan informasi, bahkan merupakan metode

251
utama dalam menyebarkan budaya antara anggota
masyarakat (Samovar, 2010: 29-31).
Sistem tanda dalam kelima elemen budaya tersebut
memainkan peranan yang sangat penting. Sejarah tidak
akan ada artinya apabila tidak terjadi proses interpretasi,
dan proses interpretasi itu pun tidak harus persis sama
bagi generasi yang satu dengan generasi yang lain.
Misalnya: candi Borobudur bagi generasi awal
pembuatan dianggap sebagai tempat ibadah, namun bagi
generasi berikutnya lebih dipandang sebagai tempat
rekreasi. Agama berupa upacara, ritual, tabu, dan lain
juga melibatkan sistem penandaan yang mengandung
makna khusus bagi para pengikutnya. Misalnya: upacara
sekaten memiliki makna khusus bagi warga Yogyakarta.
Nilai sebagai bentuk kualitas yang dipercaya masyarakat
membentuk sistem tanda yang diyakini dan harus
dijalankan apabila masyarakat tersebut ingin diakui
eksistensinya oleh kelompok masyarakat lain. Contoh:
kejujuran akademik dalam dunia ilmiah merupakan nilai
yang dipercaya sebagai identitas anggota masyarakat
ilmiah. Organisasi sosial memiliki aturan main (rule of
the game) yang unik dan khas tergantung pada bentuk

252
dan kepentingannya, sehingga sistem tanda yang
dikembangkan juga sangat bervariasi. Misalnya: sekolah
memiliki aturan main yang khas, berbeda dengan aturan
main dalam sepak bola. Namun ada substansi yang sama,
seperti: disiplin, kejujuran (fair play) dalam kedua
institusi yang berbeda tersebut. Bahasa sebagai sistem
simbol lebih banyak terkait dengan sistem simbol yang
disepakati oleh anggota suatu komunitas. Oleh karena itu
bahasa merupakan cerminan identitas budaya suatu
komunitas. Bahasa merupakan sejumlah simbol atau
tanda yang disepakati untuk digunakan oleh sekelompok
orang untuk menghasilkan arti. Hubungan antara simbol
yang dipilih dan arti yang disepakati kadang berubah-
ubah, karena itu simbol yang bervariasi dapat digunakan
oleh budaya yang berbeda-beda untuk mengidentifikasi
istilah tertentu. Misalnya: kucing (Indonesia), kissa
(Finlandia), katze (Jerman), neko (Jepang), pusa
(Tagalog), gato (Spanyol), dan seterusnya Samovar, Cs.,
2010: 268). Dengan demikian peran tanda dan simbol
sangat tergantung pada budaya di mana tanda dan simbol
itu dibentuk.

253
F. Logika Makna

Ada kaitan yang erat antara logika dengan makna,


terutama dalam bentuk pernyataan menurut pemikiran
Atomisme Logis dan Positivisme Logis. Makna suatu
pernyataan sangat ditentukan oleh struktur logis yang
terkandung dalam struktur bahasa. Suatu pernyataan
merupakan ungkapan yang dapat dipahami karena
mengandung kebenaran logis. Namun dalam budaya
kontemporer yang diangkat oleh pendukung
posmodernisme, maka makna suatu pernyataan tidak
harus selalu didukung logika dalam arti yang ketat. Suatu
pernyataan acapkali dapat dipahami dalam lingkup
tertentu, namun sulit dipahami pihak lain. Misalnya:
pernyataan yang diungkapkan politikus mungkin dapat
dipahami oleh kalangan politikus, namun tidak
terpahami pihak lain di luar politikus. Contoh: ‖Dalam
suatu sistem negara demokratis, maka sistem monarkhi
yang dianut Sultan di DIY bertentangan dengan
semangat demokrasi‖. Pernyataan yang dilontarkan para
politikus di era Reformasi ini mungkin dipahami para
politisi, terutama dari kalangan Partai Demokrat, namun

254
bagi pihak lain, termasuk pendukung Sultan
Hamengkubuwono X, pernyataan tersebut dianggap
tidak logis, karena merendahkan status Keistimewaan
Yogyakarta. Disini terjadi perbedaan logika makna
antara dua pihak yang berseberangan pendapat atas suatu
pernyataan. Pernyataan politik tersebut dianggap
mengundang perdebatan logika makna. Kendatipun
demikian dalam dunia politik logika makna yang
dimaksud itu pada umumnya lebih mengacu pada
kepentingan kelompok.
Bahasa politik selalu menyembunyikan
kepentingan kelompok. Pembelaan terhadap kepentingan
kelompok lebih dominan daripada pembelaan terhadap
kepentingan masyarakat luas atau kebenaran. Manipulasi
bahasa di sini acapkali terjadi untuk tujuan tertentu
melalui berbagai macam cara, terutama penampilan
kefasihan tuturan untuk meyakinkan pihak lain yang
dalam terminologi Austin dinamakan perlocutionary act.
Permainan retorika dalam bidang politik yang cenderung
mengarah pada pemujaan pada elokuensi, kefasihan
bicara. Barthes menyatakan bahwa elokuensi adalah
suatu bentuk kefasihan bicara sebagai usaha untuk

255
memiliki kesadaran tentang pemikiran yang lahir dalam
diri seseorang, sehingga orang tersebut dapat
memproduksi kefasihan itu disaat berkomunikasi dengan
orang lain (Barthes, 2007: 129). Elokuensi ini menurut
Barthes dapat dipelajari dalam retorika yang termasuk
dalam bidang langage. Namun kefasihan bicara yang
dimaksud Barthes bukanlah cara bertutur yang terjebak
ke dalam keinginan yang menyala-nyala untuk
berpendapat tanpa didasari prinsip retorika yang benar.
Barthes menunjukkan teknik retorika dalam 5 operasi
prinsipal sebagai berikut. Pertama, inventio artinya
menemukan inti perbincangan tentang apa yang
dikatakan. Kedua, disposition artinya menyusun secara
sistematis tentang isi perbincangan yang telah
ditemukan. Ketiga, elocution artinya menambahkan
ornamen kata-kata untuk memperindah dan memperkaya
isi tuturan. Keempat, action artinya memainkan
diskursus sebagaimana halnya seorang aktor drama
melalui gerak tubuh dan diksi, pilihan kata yang tepat.
Kelima, memoria artinya menggunakan ingatan, hapalan
isi tuturan sehingga dapat lebih meyakinkan pada pihak

256
yang diajak komunikasi tentang kefasihan bicara
(Barthes, 2007: 132-138).
Logika makna (logic of meaning) dalam berbagai
tanda, termasuk tanda yang diungkapkan secara verbal,
merupakan inti persoalan yang dibahas Wittgenstein
dalam Tractatus Logico-Philosophicus memang tidak
lagi mendominasi pemaknaan tanda secara keseluruhan,
namun hakikat logika dengan berbagai kemungkinannya
ada dalam fakta, sehingga Wittgenstein sendiri
menegaskan:―A logical entity cannot be merely possible.
Logic treats of every possibility, and all possibilities are
its facts‖ (Wittgenstein, 1995: 31). Hakikat logika bukan
terletak pada kemungkinan, melainkan fakta. Oleh
karena itu ketika seseorang melontarkan ucapan tanpa
didasarkan atas fakta, maka ucapannya itu menjadi
senseless, sia-sia.

G. Aturan Main Dalam Fenomen Tanda

Setiap permainan memerlukan sebuah aturan main


dalam rangka mendukung esensi permainan tersebut.
Aturan main merupakan ruh dari sebuah permainan.

257
Dewasa ini budaya kontemporer mencerminkan berbagai
bentuk hiper, seperti: hipersemiotika, hipertekstualitas,
hiperealitas, dan hipermodernisme menunjukkan adanya
perkembangan dalam berbagai komunitas, sehingga
terbentuk pula berbagai aturan main (rule of the games)
yang berbeda-beda. Problem makna dalam
hipersemiotika yang merupakan gejala penggunaan tanda
secara berlebihan dalam kehidupan kontemporer ditandai
dengan beberapa ciri sebagai berikut.
1.Terjadinya perubahan dan transformasi tanda, sehingga
tanda tidak lagi menggantungkan diri pada konvensi
atau makna yang ada.
2. Prinsip imanensi; hipersemiotika lebih menekankan
pada permainan permukaan material daripada
kedalaman metafisis.
3. Prinsip perbedaan (difference); hipersemiotika lebih
mementingkan perbedaan daripada identitas,
konvensi, dan kode sosial.
4. Prinsip permainan bahasa (language-games);
hipersemiotika menekankan permainan bahasa pada
tingkat parole daripada langue, lebih mementingkan
event daripada sistem.

258
5. Prinsip simulasi (simulation); yaitu penciptaan realitas
kedua (second reality) yang referensinya adalah
dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum).
6. Prinsip diskontinuitas (discontinuity); durasi atau
interupsi yang penuh interupsi, keterputusan, dan
persimpangan yang menciptakan sebuah ruang bagi
perbedaan dan permainan bebas tanda dan kode (Lihat
Yasraf Amir Piliang, 2010: 50-52).
Pada gilirannya dalam realitas kebudayaan
muncullah kecenderungan beroperasinya tanda-tanda
palsu (pseudo-sign) dan tanda dusta (false-sign) yang
menciptakan berbagai bentuk kejahatan (kriminalitas)
dalam bidang hukum dan politik (Yasraf Amir Piliang,
2009: 171-172). Kasus Nazarudin, bendahara Partai
Demokrat yang melarikan diri ke luar negeri (akhirnya
tertangkap di Columbia) untuk kemudian melancarkan
serangan dan tuduhan korupsi kepada ketua umum Partai
Demokrat, Anas Urbaningrum merupakan contoh
tentang berkembangnya tanda-tanda palsu dalam dunia
politik di Indonesia. Sebaliknya Anas Urbaningrum
menuduh Nazarudin melakukan fitnah atas dirinya.
Belakangan terbukti memang Anas terlibat dalam kasus

259
korupsi wisma Atlet Hambalang, sehingga pernyataan
Anas bahwa apabila ia terbukti melakukan korupsi maka
bersedia digantung di Monas, merupakan bahsa politis
yang menyembunyikan kebenaran alias dusta atau
pembohongan publik. Pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan di berbagai media cetak maupun elektronik
menunjukkan eksisnya tanda palsu dan tanda dusta
dalam komunikasi publik.
Problem aturan permainan bahasa dalam tanda yang
lebih mementingkan event daripada sistem, pada
gilirannya dapat melanggar hakikat aturan permainan
bahasa itu sendiri, manakala aturan (rule) dipandang
bukan bagian dari sistem. Wittgenstein menegaskan:
―Is what we call obeying a rule something that it
would be possible for only one man to do, and to do
only once in his life?This is of course a note on the
grammar of the expression to obey a rule‖
(Wittgenstein, 1983: 80).
(―Apakah apa yang kita sebut sebagai mematuhi
sebuah peraturan merupakan hal yang mungkin
untuk dilaksanakan oleh seseorang, dan hanya
dilaksanakan satu kali dalam hidupnya? Hal ini
tentunya merupakan catatan pada ekspresi tata
bahasa untuk mematuhi sebuah peraturan‖).

260
Wittgenstein membedakan antara interpretasi
dengan aturan, karena itu ia menegaskan bahwa
seseorang yang berpikir tentang menaati sebuah aturan
berarti ia tidak lagi menaati aturan. Ia menegaskan lebih
lanjut dalam pernyataan berikut:
―And hence also obeying a rule is a practice. And to
think one is obeying a rule is not to obey a rule.
Hence it is not possible to obey a rule privately;
otherwise thinking one was obeying a rule would be
the same thing as obeying it (Wittgenstein, 1983: 81).

Hal ini berarti mematuhi aturan itu merupakan


sebuah praktik dalam kehidupan bersama, bukan dalam
arti perorangan.
Aturan untuk ditaati, bukan untuk dipikirkan,
karena orang yang terlibat dalam sebuah permainan per
se memahami dan melaksanakan aturan main secara
spontan. Hukum dan politik bukan identik dengan dusta,
melainkan ketegasan, kejujuran, dan kemampuan
meyakinkan pihak lain. Apabila kemampuan
meyakinkan pihak lain dilakukan dengan cara-cara dusta,
maka telah terjadi pelanggaran terhadap aturan main.,
Daya (Force) dalam terminologi Austin, yang

261
terkandung dalam tindak ilokusi diabaikan oleh si
penutur, sehingga tuturan itu mengalami kegagalan,
infelicities. Daya (force) yang terdapat dalam diri subjek
agar menjaga konsistensi antara tuturan dengan tindakan
merupakan fenomen tanda yang sulit ditemukan dalam
dunia politik di Indonesia. Pada akhirnya situasi politik
yang tidak sehat akan melahirkan komunikasi politik
yang tidak sehat pula, sehingga aturan main dalam tanda
politik juga dilanggar. Di sini bahasa memainkan
peranan penting, karena bahasa hadir dalam ruang
publik, termasuk dalam bidang politik, sehingga mampu
memengaruhi hitam putih warna politik di Indonesia.

H. Tanda Sebagai Bentuk Komunikasi Visual


Tanda sebagai ungkapan verbal dan komunikasi
visual dalam bentuk gambar yang hadir dalam budaya
kontemporer, yang dibuat secara sengaja untuk
mempertegas kehadiran suatu objek visual tertentu.
Namun dalam kehadiran tanda artifisial itu muncul
berbagai pemahaman spectator, yakni orang yang
mengamati tanda visual tersebut dengan berbagai
kemungkinan yang beragam. Ada tanda yang

262
kehadirannya mengundang decak kagum karena
dianggap menunjukkan kreativitas si pembuat tanda.
Namun ada pula tanda yang menyulitkan spectator
dalam memahami maksudnya, karena logika pemahaman
tandanya tidak lengkap, sehingga membingungkan dan
membutuhkan reinterpretasi lebih lanjut. Ada pula tanda
yang sifatnya menyesatkan karena ketidakpahaman si
pembuat tanda dalam membangkitkan asosiasi spectator.
Namun ada pula tanda yang kehadirannya dianggap
meyakinkan, karena menggunakan ikon-ikon tertentu,
sehingga membangkitkan kenangan atau keinginan
spectator. Berikut ditunjukkan beberapa tanda yang
hadir di sekitar kehidupan budaya kontemporer di
Indonesia. Misalnya gambar kartun sebagai bentuk
protes terhadap korupsi yang dianggap sebagai kejahatan
luar biasa di Indonesia.

263
Gambar 1
Gambar 1 di atas mencerminkan betapa korupsi di
Indonesia merambah ke dalam segala aspek kehidupan
birokrasi, sehingga bilamana koruptor dihukum mati,
maka neraka menjadi penuh. Gambar tersebut
merupakan gaya sarkasme, yaitu kritik pedas terhadap
para koruptor yang dianggap sebagai tindakan melawan
hukum dan dosa besar, sehingga diganjar dengan neraka.
Ilustrasi lain dari komunikasi visual (Gambar 2) muncul
dalam bentuk language-games seperti: apel malang
sebagai analogi mata uang rupiah dan apel Washington
sebagai analogi mata uang dolar dalam kasus korupsi
wisma Atlet Hambalang.
264
Gambar 2
Berikut Gambar 3 yang memperlihatkan bentuk protes
terhadap biaya pelayanan kesehatan yang tinggi di
Indonesia

265
Gambar 3
Gambar di atas mencerminkan komunikasi visual untuk
menyindir biaya kesehatan yang tinggi di Indonesia,
sehingga orang miskin dilarang sakit, agar tidak
mengeluarkan biaya. Di samping komunikasi visual
yang mencerminkan bentuk protes, baik yang bergaya
sarkasme maupun sindiran, ada pula komunikasi visual
yang berupa tanda yang memperlihatkan kreativitas
sebagai berikut. Contoh tanda kreatif seperti yang
dilakukan dilakukan penjual martabak di salah satu sudut
jalan di Yogyakarta.

266
Gambar 4
Penjual Martabak dan Terang Bulan ini memberi nama
yang unik dan kreatif pada jenis-jenis Martabak dan
Terang Bulan yang diperdagangkannya seperti tertera
dalam daftar di atas, tujuannya adalah mengundang rasa
penasaran calon pembeli sehingga ingin mencoba.

267
Gambar 5
Gambar ini dapat ditemukan di masjid kampus
Universitas Trunojoyo, Bangkalan, Madura yang
sifatnya meyakinkan jamaah masjid agar tidak membuat
keributan di dalam masjid. Meskipun dilihat dari bentuk
penanda atau ikon yang menggambarkan anak kecil yang
menempelkan jari telunjuk di bibirnya sudah cukup
sebagai bentuk peringatan agar pengunjung masjid tidak
membuat ribut, namun perlu ditambah dengan ungkapan
bahasa ―Dilarang berbicara nyaring!‖, untuk lebih
meyakinkan jama‘ah masjid.

268
Contoh tanda sebagai bentuk perlawanan:

Gambar 6
Baliho besar yang terpasang di daerah Kabupaten
Purworejo dan Bagelen ini merupakan bentuk
perlawanan Koalisi Nasional Penyelamat Kretek
(KNPK) terhadap tokoh-tokoh seperti: Menkes R.I.
Endang H.S, Seto Mulyadi, Todung Mulya Lubis, dan
lainnya yang dianggap memerangi rokok karena
dianggap membahayakan kesehatan masyarakat.

269
Begitu banyak cara yang dapat digunakan dalam
komunikasi visual untuk memengaruhi orang lain,
meskipun ada yang ditampilkan dalam bentuk berterang,
ada yang tersembunyi dengan bahasa sindiran, ada juga
yang bersifat persuasif, namun kesemuanya mengandung
pesan tertentu kepada pihak lain. Dengan demikian
filsafat bahasa dengan pengajuan teori analitika bahasa
dan semiotika dapat dipergunakan sebagai pisau analisis
untuk memahami budaya kontemporer dengan berbagai
fenomen tanda yang hadir dalam kehidupan manusia.

270
DAFTAR PUSTAKA

Alston, W.P. 1964, The Philosophy of Language,


Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
Ammerman, Robert R., Editor, 1994, Classics of
Analytic Philosophy, Hackett Publishing Company,
Inc., Indianapolis.
Ayer, A.J., 1952, Language, Truth, and Logic, Dover
Publications, New Jersey.
Bambang Sugiharto, 1996, Postmodernisme: Tantangan
Bagi Filsafat, Cetakan ke-5, Kanisius, Yogyakarta.
Barrett, Cyril, TT, Wittgenstein Lectures &
Conversations, University of California Press.
Barthes, Roland, 1972, Mythologies, diterjemahkan
Ikramullah Mahyudin Membedah Mitos-mitos
Budaya Massa, Hill and Wang, New York.
--------------------, 2007, L‘aventure Semiologique,
Penerjemah: Stephanus Aswar Harwinarko
(Petualangan Semiologi), Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Baudrillard, Jean, 1998, The Consumer Society, Sage
Publications Ltd, London.

271
Beaney, Michael., 2006, ―Wittgenstein on Language:
From Simples to Samples dalam The Oxford
Handbook of Philosophy of language, Edited by:
Ernest Lepore and Barry C.Smith, Clarendon Press,
Oxford.
Berger, Arthur Asa., 1989, Signs in Contemporary
Culture, Sheffield Publishing Company,
Wisconsin.
Cassirer, Ernst ; 1987. Manusia dan Kebudayaan,
diindonesiakan oleh Alois A.
Nugroho, Gramedia, Jakarta.
Cassirer, H.W., 1968, Kant‘s Firrst Critique, Humanities
Press Inc., Second Impression, London.
Charlesworth, M.J., 1959, Philosophy And Linguistic
Analysis, Duguesne University Press, Pittsburgh.
Chomsky, Noam., 1997, Language and Problems of
Knowledge, Ninth Printing, The MIT Press,
Massachusetts.
Danesi M &P. Perron, 1999, Analyzing Cultures,
Indiana University Press, Indianapolis.
Danesi, Marcel., 2010, Understanding Media Semiotics,
Penerjemah: A.Gunawan Admiranto (Pengantar

272
Memahami Semiotika Media), Jalasutra,
Yogyakarta.
Eco, Umberto, 1979, Theory of Semiotics, Indiana
University Press, Bloomington.
------------------, 1984, Semiotics and the Philosophy of
Language, Macmillan Press, London.
-----------------., 2009, Tamasya Dalam Hiperealitas,
Penerjemah: Iskandar Zulkarnaen. Jalasutra,
Yogyakarta.
Fairclough, Norman, 2007, ―Critical Discourse Analysis
as a Method in Social Sientific Research, dalam
Methods of Critical Discourse Analysis, Edited by:
Ruth Wodak and Michael Meyer, Sage
Publications, Los Angeles.
Feyerabend, Paul., 1978, Against Method: Outline of an
anarchistic theory of knowledge, Lowe and
Brydone Printers Limited, Norfolk.
Gellner, Ernest., 1992, Postmodernism, Reason and
Religion, Routledge, London.
Habermas, Jurgen, 2003, On the Pragmatics of
Communication, edited by: Maeve Cooke,
Blackwell Publishing Ltd, Oxford.

273
Hacker, P.M.S., 2001, ―Ludwig Wittgenstein (1889-
1951)‖, dalam A Companion To Analytic
Philosophy, Edited by: A.P.Martinich and David
Sosa, Blackwell Publishers Ltd., Oxford.
Hamersma, Harry, 1983, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat
Moderni, Gramedia, Jakarta.
Harun Hadiwijono, 2011, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Cetakan ke-24, Kanisius, Yogyakarta.
Haryatmoko, 2009, ―Petaka Hipermodernisme‖, dalam
Basis nomor 05-06, Tahun ke-58, Mei-Juni 2009.
Hartley, John., 2010, Communication, Cultural, and
Media Studies: The Key Concepts, Penerjemah:
Kartika Wijayanti (Communication, Cultural, dan
Media Studies: Konsep Kunci), Jalasutra,
Yogyakarta.
Jager, Siegfried.,2007, ―Discourse and Knowledge:
Theoretical and Methodological Aspects of a
Critical Discourse and Dispositive Analysis‖,
dalam Methods of Critical Discourse Analysis,
Edited by: Ruth Wodak and Michael Meyer, Sage
Publications, Los Angeles.

274
Johann Glock, Hans, 2008, What is Analytic
Philosophy?, Cambridge University Press
Kaelan., 2009, Filsafat Bahasa, Semiotika, dan
Hermeneutika, Penerbit Paradigma, Yogyakarta.
Kant, Immanuel., 1956, Critique of Practical Reason,
Translated with an Introduction by: Lewis White
Beck, The Liberal Arts Press, New York.
--------------------, 2009, Critique of Pure Reason,
Translated by J. M. D. Meiklejohn, published by
eBooks@Adelaide , Last updated Sat Aug 28
19:10:06 2010.
Kasijanto Sastodinomo, 2011, ―Umar Kayam dan Alih
Kode‖, dalam TEMPO N0: 3952 Edisi 21-27
Februari 2011, Jakarta.
Kṏvecses, Zoltan., Language, Mind, and Culture,
Oxford University Press, Oxford.
Lechte, John., 2001, Fifty Key Contemporary Thinkers,
Diterjemahkan oleh: A. Gunawan Admiranto (50
Filsuf Kontemporer), Kanisius, Yogyakarta.
Littlejohn S.W. dan Foss K.A., 2009, Theories of Human
Communication, Penerjemah: Mohammad Yusuf

275
Hamdan (Teori Komunikasi), Penerbit Salemba
Humanika, Jakarta.
Locke, John, 1910, An Essay Concerning Human
Understanding, Rendered into HTML by Steve
Thomas, eBooks@Adelaide 2004, Last updated
Mon Mar 5 11:42:51 2007.
-----------------, 1965, ―Meaning and Reference‖, dalam
Meaning and Knowledge: Systematic Readings in
Epistemology, Editor: Ernest Nagel & Richard B.
Brandt, Harcourt, Brace & World, Inc, New York.
Lyotard, J.F., 1989, The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge, Manchester University
Press, Manchester.
Magee, Bryan., 1998, The Story of Thought, DK
Publishing, Inc., London.
------------------.,2001, The Story of Thought,
Penerjemah: Marcus Widodo & Hardono Hadi,
(Kisah Tentang Filsafat), Kanisius, Yogyakarta.
Martinet, Jeanne., 2010, Semiologi: Kajian Teori Tanda
Saussuran, Judul asli: lefs Pour La Semiologie,
Penerjemah: Stephanus Aswar Herwinarko,
Jalasutra, Yogyakarta.

276
Martinich A.P. and David Sosa, 2001, Analytic
Philosophy: An Anthology, Editor, Blackwell
Publishers Ltd, Oxford.
Merrell, Floyd, 1991, Signs Becoming Signs, Indiana
University Press, Bloomington & Indianapolis.
Moore, G.E., 1951, Philosophical Studies, Routledge &
Kegan Paul LTD, London.
……………., 1953, Some Main Problems of Philosophy,
George Allen & Unwin Ltd, London.
…………..., 1954, Principia Ethica, Cambridge
University Press, Cambridge.
Mustansyir, Rizal., 2002, Filsafat Analitis: Sejarah
Perkembangan, Pemikiran, dan Peran Para
Tokohnya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
---------------,-------., 2009, Hermeneutika Filsafati:
Sejarah Perkembangan Pemikiran Para Tokoh,
Pustaka Rasmedia, Yogyakarta.
Padinjarekutt, Joanne., 1974, The Principle of
Verification: A Historical Study in Logical
Positivism, Dissertatio ad Lauream in Facultate
Philosophica, Pontificiae Universitatis
Gregorianae, Roma

277
Peirce, C.S., 1998, Principles of Philosophy, Volume 1,
Edited by: Charles Hartshorne and Paul Weiss,
Colected Papers of Charles Sanders Peirce,
Thoemmes Press, England.
--------------., 1998, Elements of Logic, Volume 2, Edited
by Charles Hartshorne and Paul Weiss, Colected
Papers of Charles Sanders Peirce, Thoemmes
Press, England.
……………, 1878, How to Make Our Ideas Clear, in
Popular Science Monthly, 12 January 1878.
Piliang, Yasraf Amir., 2004, Posrealitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra,
Yogyakarta.
Pitcher, George, 1964, The Philosophy of Wittgenstein,
Englewood Cliffs, New Jersey.
Quine, W.V.O., 1994, Word & Object, Twentieth
printing, The MIT Press, Cambridge.
-------------------.,1997,―Two Dogmas of Empiricism‖,
dalam Classics of Analytical Philosophy, edited by:
Robert R.Ammerman, Hackett Publishing
Company, Indianapolis.

278
Rorty, Richard., 1999, Philosophy and Social Hope,
Penguin Books, London.
Russell, Bertrand, 1980, An Inquiry Into Meaning and
Truth, Reprinted seven times, Unwin Paperbacks,
London.
Sahal, Ahmad., 1993, ―Agama dan Tantangan
Posmodernisme‖, dalam Islamika, no. 2 Oktober-
Desember 1993, Jakarta.
Samovar. Larry A, Cs, 2010, Communication Between
Cultures, Penerjemah: Indri Margaretha Sidabalok
(Komunikasi Lintas Budaya), Edisi 7, Penerbit
Salemba Humanika, Jakarta.
Saussure, Ferdinand de., 1996, Pengantar Linguistik
Umum, Penerjemah: Rahayu S. Hidayat, Judul asli:
Cours de Linguistique Generale, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Schilpp, Paul Athur (Editor)., 1951, The Philosophy of
John Dewey, Tudor Publishing Company, New
York.
Sim, Stuart., 2003, Lyotard and the Inhuman, Alih
bahasa: Sigit Djatmiko (Lyotard dan Nirmanusia),
Penerbit Jendela, Yogyakarta.

279
Smith-Shank, Deborah.L., 2007, ―Reflections on
Semiotics, Visual Culture, and Pedagogy‖, dalam
Semiotica, 164-1?4 (2007), DOI
10.1515/SEM.2007.027.
Solomon, Jack, 1988, The Signs of Our Time, Jeremy
P.Tarcher, Inc., Los Angeles.
Solomon, Robert C., 1992, Introducing Philosophy; A
Text with Integrated Readings, Fifth Edition,
Harcourt Brace College Publishers, Fort Worth,
Texas.
Stroll, Avrum., 2000, Twentieth-Century Analytic
Philosophy, Columbia University Press, New York.
Titus, Smith, Nolan., 1984, Living Issues in Philosophy,
Alihbasa: H.M.Rasjidi (Persoalan-Persoalan
Filsafat), Bulan Bintang, Jakarta.
Toeti Heraty, 1984, Aku Dalam Budaya, Pustaka Jaya,
Jakarta.
Turner, Bryan., 2000, Teori-teori Sosiologi Modernitas
Posmodernitas, Penerjemah: Imam Baehaqi dan
Ahmad Baidlowi, judul asli: The Theories of
Modernity and Postmodernity, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.

280
Ullmann, Stephen., 2009, Semantics, an Introduction to
The Science of Meaning, Adaptasi Bahasa:
Sumarsono (Pengantar Semantis), Cetakan II,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wittgenstein, L, 1972, The Blue and Brown Books,
Translated by: G.E.M. Anscombe, Basil Blackwell,
Oxford.
……………….., 1983, Philosophical Investigations,
Translated by: G.E.M.Anscombe, Third edition,
Basil Blackwell, Oxford.
………………..,1995, Tractatus, Logico-Philosophicus,
German text with an English Translation by: C.K.
Ogden, Ninth Edition, Routledge and Kegan Paul
Ltd, London.
Zoest, Art van., 1991, ―Refleksi Atas Semiotis‖, dalam
Jurnal Filsafat, thn 1 no.1, Jakarta.

Sumber-sumber Lain

Feibleman, James.K., 1940, ―Peirce‘s Phaneroscopy‖,


dalam Philosophy and Phenomenological
Research, Volume 1, No. 2 (Dec. 1940);

281
(http:www.jstor.org/stable/2102740)
Accessed:14/04/2010 01:12
Gorny, Eugene, 2005, ―What is Semiotics?‖,
(http‖//www.zhurnal.ru/staff/gorny/English/semioti
cs.htm), diakses pada tanggal 14 Juni 2005.
Haryatmoko, 2009, ―Petaka Hipermodernisme‖, dalam
Basis nomor 05-06, Tahun ke-58, Mei-Juni 2009.
Judowibowo, Poerwowidagdo, Tanpa Tahun, Filsafat
Bahasa, Diktat Kuliah pada Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada.
Marwoto dan Witdarmono., 2004, Proverbia Latina,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Ramirez, Alvaro, 2005, Don Quijote and the Age of
Simulacra, (http://www.jstor.org/stable/20063078)
Accessed:09/02/2011 05.11.

282
INDEKS
A
Acuan 18, 27-30, 48, 54-55, 132, 140, 174, 186,
190.
Analitis 1-15, 17, 31-33, 41, 45, 63, 65, 72, 91, 94,
96, 100, 104, 106-108, 111, 128, 229.
A priori 2-4, 6-8, 98-99.
A posteriori 3-4, 6-7.
Atomisme 9, 32, 45-46, 50, 54, 57, 62-65, 81, 90,
100, 106, 131-132, 174, 204.
Ayer 9, 13, 32, 89, 93-97, 99-103, 105, 131,
221.
Austin 9, 13, 129-145, 147-151, 191, 206, 212.

B
Bedeutung 28, 30.
Berger, Arthur Asa, 175-176, 179, 192-199, 201
C
Charlesworth 1, 47, 49-52, 90-93, 98, 100, 111-
112.
Codeswitching 188-189

283
Common sense 33, 38-39, 46, 221
E
Eco, Umberto 19, 180-182, 184-193, 213, 227, 2309-
232.
Elementer 45, 66, 71, 77, 84-86, 88-89
F
Feyerabend 165
Force 144, 149, 212
G
Games, language-games 112-115, 118-120, 123, 125-
126, 154, 156, 158-160, 168, 175, 178, 182, 189,
203, 208-209, 215.
H
Habermas 195-196.
I
Ideasi 18, 20-22.
Ikon 172, 174, 214, 219.
K
Kategori 50, 53, 56, 83, 100, 103-104.
L

284
Language 9, 16-17, 20-21, 107, 112-115, 117, 122,
125-126, 130, 156-160, 168-169, 175, 178, 181-
182, 189, 209, 215.
M
Moore, George-Edward 1, 9, 32-44, 51, 90-91, 100, 109.
P
Peirce, Charles-Sanders 196
Q
Quine 2, 6, 13-15.
S
Sinn 28
T
Tingkah Laku (Teori) 18, 23,-27, 102.
U
Utterance 130-132, 137, 148
W
Wittgenstein, Ludwig 9, 11, 13, 32, 46, 56-57, 59-92,
106-115, 117-123, 125-129, 131, 156-160,
165, 168-169, 176, 181, 189, 207-208, 211-
212.

285
GLOSARIUM

Per se (bhs Latin) artinya terbukti dengan sendirinya,


dengan sendirinya.
Analysis (Bahasa Yunani) analusis; artinya
membubarkan (dissolving) dan melepaskan
(loosening up).
Analysandum; sesuatu yang akan dianalisis.
Analysans, kegiatan menganalisis
Significans, Homo; sesuatu yang terkait dengan makna;
manusia merupakan mahluk hidup yang
berkempentingan dengan makna, sehinga dapat
diberi predikat homo significans, mahluk
pembuat makna
Simulacrum (Latin); simulare artinya meniru, mengarah-
arah; contoh yang menyamai
Simulatio; artinya kepura-puraan.

286

Anda mungkin juga menyukai